Chapter 2.5 : Awal Dari Rutinitasku Sehari-Hari.
Sekitaran jam tiga sore hujan mulai turun dan
tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti, dan terus berlanjut sampai jam
pulang sekolah.
Ramalan cuaca hanya menunjukan langit
berawan, jadi kupikir hujannya takkan lama lagi berhenti.
Setelah jam pelajaran berakhir, aku dan
Sugiuchi langsung meninggalkan kelas dan berteduh dari hujan di perpustakaan
yang sunyi senyap, di sini kami hanya bermain ponsel dan mengobrol santai.
“Sugiuchi, saat tadi jam istirahat apa yang
kamu lakukan?”
“Apa kamu begitu kkawtir padaku? Jangan cemberut
lah hanya karena kita tadi tidak makan siang bareng.”
Uchino Kuro-san juga pergi entah kemana, jadi
hanya aku dan Hinagata yang makan siang bersama, ini berbeda seperti kemarin yang
kami berempat bisa makan siang bersama.
“Bego,
aku cuma penasaran saja.”
Aku lalu menendang pelan kaki Sugiuchi.
Alhasil, aku pun menanyakan apa yang dia dan
Uchino Kuro-san obrolin setelah pulang sekolah kemarin, tapi dia tidak
memberitahuku.
“Jangan menendangku, njir. Ya, aku tadi makan
banyak.”
Dia mengisyaratkan untuk jangan membahas lagi
tentang kemarin, jadi aku memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
… Dia mungkin sedang naksir ke seseorang
cewek.
Kalau itu benar, aku tidak paham kenapa dia
mencoba mengela dari pertanyaanku mengenai kemarin.
Kami lalu hanya mengobrol tentang lewd kartun
dan doujin, dan tidak satupun topik obrolan kami yang mengarah ke hal romansa.
Lagian kami juga sebelumnya tidak pernah mengobrol tentang hal-hal yang lebih
serius.
Saat kami kehabisan topik obrolan, aku dan
Sugiuchi hanya terdiam sambil mendengarkan suara rintik hujan. Aku lalu
mendapati Sugiuchi yang sudah tertidur lelap.
Kubiarkan saja nih anak, dah.
Dari jendela, aku bisa melihat beberapa gadis
yang keluar dari gym.
Hari ini juga pasti Hinagata sedang sibuk
dengan klubnya.
“Tonomura.”
Sugiuchi yang kukira sedang tertidur,
memanggilku seperti itu.
“Apa kamu tidak berniat kembali ke klubmu
sebelumnya?”
“Ada apa emang? Kok, tiba-tiba banget kamu
menanyakan itu?”
“Em, bukan apa-apa, sih. Kepengan saja
nanya.”
Sugiuchi lalu tidak menanyakan apa-apa lagi,
dia hanya duduk dan fokus dengan ponselnya.
Dari dalan ruangan ini, aku lalu mendengar
suara teriakan dari para anggota klub olahraga yang tidak bisa berlatih di lapangan.
Saat aku memaksakan untuk pulang ditengah
hujan, ada seseorang yang masuk ke perpustakaan.
“Ehh, Tonomura-kun, kok kamu ada di sini?”
Orang itu adalah Hinagata, yang nampak
ngos-ngosan.
“Yah, aku cuma berteduh dari hujan. Oh ya,
bagaimana dengan aktivitas klubmu?”
“Aku hanya mempersiapkan upacara sambutan,
jadi aku pulang lebih awal.”
(Tln: Mungkin upacara sambutan untuk para
anggota baru dari anak kelas 1.)
“Ah, begitu, ya.”
Kok, kamu bisa tahu kalau aku berada di sini?
Saat aku akan menayakan itu, Hinagata sudah
terlebih dulu menjawab.
“Saat aku berjalan keluar dari gym, aku bisa
melihat dengan jelas dimana kamu duduk lewat jendela.”
Jadi gadis-gadis yang keluar tadi dari gym
salah satunya adalah Hinagata.
Aku tidak bisa melihatnya dari tempatku
berada, kaca jendela juga dipenuhi oleh air hujan, tapi ternyata Hinagata malah
sebaliknya, dia bisa melihatku dengan jelas.
Sugiuchi sudah dalam mode rebahan dan dia
memanfaatkan meja seolah itu kasur.
“E-emm … Kalau kamu tidak keberatan dengan
yang tipe lipat, aku, aku, aku, aku mempunyainya.”
Kamu mempunyainya?
“Y-ya, satu payung … tipe lipat.”
“Oh, itu, ya. Aku juga berpikir kalau yang
kamu maksud sebelumnya adalah payung lipat.”
Hinagata lalu menaruh tasnya di atas meja dan
mulai mencari payung tersebut.
Keadaannya sekarang nampak kayak Doraemon
yang lagi panik, dia mengobrak-abrik tasnya, mencari dari sisi ke sisi, dan
akhirnya dia menemukan payung itu lalu menunjukannya kepadaku.
“Mungkin itu akan membuatmu sempit.”
“Emm, iya, sih. T-tapi aku tidak keberatan,
kok. A-ayok!”
Hinagata dengan grogi mencoba membuka payung
itu.
“Kamu tidak harus membukanya di sini. Yuk,
kita keluar dulu.”
“Oh, iya.”
Hinagata dengan cepat melipat kembali payung
itu.
Payung yang sebelumnya ditaruh di dalam tas,
sekarang hanya dilipat dan dipegang di tangannya. Mungkin karena dia terlalu
terburu-buru.
“Sugiuchi-nya ‘gimana?”
“Kita biarkan saja dia tertidur di situ.”
Aku tidak mau menganggunya, jadi aku
mengambil tasku lalu memanggil Hinagata untuk keluar dari perpustakaan.
Suatu hari pasti Sugiuchi akan mengatakan, kenapa
kamu tidak membangunkanku, oy? Saat aku terbangun, aku langsung sadar kalau
hanya sendirian dan itu sudah malam. Aku yakin pasti akan begitu.
Saat berjalan di koridor, aku mendengar suara
band alat music tiup yang sedang berlatih disebuah ruangan. Sesampainya di pintu
masuk, aku bertemu dengan seorang senpai dari klub baseball.
Sejak aku meninggalkan klub, aku tidak pernah
akrab lagi dengan siapa pun, tapi entah kenapa aku merasa sedikit bersalah.
“Terimah kasih atas kerja kerasmu.”
Aku hanya menudukan kepalaku sedikit dan
mengangguk pelan, aku melakukan itu karena aku tidak tahu lagi harus menyapanya
dengan cara apa, dan juga terlalu keterlaluan kalau aku tidak meresponnya.
Senpai … Nishimura-san menengok Hinagata lalu
bertanya padaku, “Apa kamu sudah mau pulang?”
“Ah, iya.”
“Ditemani seorang cewek juga? Wah, kamu pasti
orang kaya, ya.”
“Eh, aku tidak berpikir begitu.”
Aku hanya menengok ke bawah, ketika perkataan
yang bermaksud memprovokasiku itu keluar.
Dia adalah senpai yang bermain sebagai
pelempar, dan dari segi skill aku masih lebih jago darinya. Jadi sudah
sewajarnya dia memiliki pandangan iri kepadaku.
“Hmm, apa iya … “
“Itu … “
Hinagata yang selama ini sudah mendengarkan
percakapan kami tiba-tiba angkat bicara.
“Tonomura-kun … bukan cowok seperti itu!”
“Sudah, Hinagata. Biarin saja.”
Saat Hinagata akan melanjutkan, aku
menyuruhnya untuk berhenti.
“Kalau begitu, hati-hati di jalan.”
Nishimura-san nampak kesal, dia lalu memakai
sepatu ketsnya dari loker dan berjalan pergi.
“Aku benci senpai itu.”
“Iya, aku juga rada bencinya kepadanya, tapi
dia hanya sedikit menyindir untuk yang tadi. Dan kamu jangan mengatakan seperti
itu lagi, ya.”
Sudah sewajarnya juga kenapa Nishimura-san
bisa bersikap seperti itu kepadaku. Seperti apa yang Sugiuchi tanyakan kepadaku
apa aku akan kembali ke klub baseball atau tidak, ya sebenarnya, cederaku ini
tidak sampai membuatku untuk tidak dapat bermain lagi, hanya saja aku hanya
bisa melempar bola sejauh 10 meter, tapi kalau memukul bola dan berlari aku
tidak memiliki masalah.
“Dia bisa ada di posisi pelempar cuma karena
Ryunosuke keluar.”
“Dah, jangan diungkit lagi.”
Tapi perkataan Hinagata juga ada benarnya.
Huh! … Hinagata langsung memalingkan wajah dari
arah senpai itu pergi.
Aku melangkah di bawah payung yang dibuka
Hinagata untuk pulang. Sekarang, suasana mencekam dari sebelumnya telah normal
Kembali.
“Ini adalah payung kasih sayang.” Kataku, dan
Hinagata mengangguk.
“Ya, begitulah.”
Hm, payung kasih sayang, ya …
“Saat di bangku SD, kita berdua sering diejek
mengenai itu, kan.”
“Ha ha ha.”
“Lah, kenapa kamu tertawa?”
“Karena itu membuatku teringat akan sesuatu.”
“Ehh, begitu, ya.”
Dia lalu menunjukan senyum nakal.
Payung ini lumayan sempit, dan aku melihat
kalau bagian tangan sebelah Hinagata nampak basah, ini mungkin karena dia
memposisikan payung lebih didekatkan ke arahku.
“Sini, biarkan aku yang pegang payungnya.”
“Oh, oke.”
Aku lalu meraih gagang payung itu dan tanpa
sengaja tanganku menyentuh tangan Hinagata.
“Pyaa!”
Pyaa?
“M-maaf. Aku membuat suara aneh.”
“Loh, mukamu merah semua, tuh. Apa kamu
baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja, jangan khawatir … “
Sekarang, aku yang memgang payung dan
mendekatkan payung itu ke arah Hinagata. Dia sepertinya menyadari itu lalu
berkata, “Kalau seperti itu, nanti Ryunosuke yang akan basah.”
“Aku tahu kalau aku akan basah kuyup dalam
perjalanan pulang, jadi aku membeli ini untuk jaga-jaga.”
“Begitukah?”
Setelah beberapa menit kami berjalan,
Hinagata masih nampak mengkhawatirkanku, dan dia menawarkan sebuah sapu tangan.
“I-ini … keringkan dengan ini.”
“Bahkan kalau aku mengelapnya dengan itu, aku
sekarang sudah basah kuyup, ya jadi … “
Kemudian Hinagata nampak grogi, seolah-olah
dia telah memutuskan sesuatu, dia lalu mendekatiku sekitaran setengah langkah
dari tempat dia berdiri sebelumnya.
“… Eh?”
Tubuhku dan Hinagata hampir bersentuhan satu
sama lain.
“Dengan begini … Ryunosuke tidak akan basah.”
“Tidak juga, aku sekarang kan sudah basah
kuyup, dan ini terlalu … “
Hei, bukannya ini terlalu dekat
Meski aku masih memakai seragam, aku masih
bisa merasakan tubuh Hinagata.
Aku mulai grogi.
“Aku tidak ingin kamu masuk angin cuma karena
aku.”
“Aku tidak akan masuk angin cuma karena ini.”
Itu adalah hal klise dalam anime dan manga, karakternya
akan masuk angin saat basah karena hujan.
“Aku tidak suka melihatmu pilek dan
ujung-ujungnya tidak masuk sekolah.”
Hinagata mengatakan itu pada posisi menunduk
dengan pipinya yang nampak merah.
Yah, aku juga tidak mau masuk angin gara-gara
dia.
Aku grogi, dan Hinagata sepertinya juga
demikian. Dalam keheningan, kami berjalan menyusuri terotoar, sesaat itu juga
ada sebuah mobil yang melintasi genangan air dengan kecepatan tinggi, lalu
memercik ke arah kami.
Seragamku … terutama celanaku yang terlihat
sangat basah karena cipratan air.
“Ugh.”
Apa kamu baik-baik saja?”
Yah, untung aku berjalan di terotoar, kalau
tidak, pasti aku sudah otw surga.
“Yah, tinggal sekitaran 10 menit lagi aku
akan sampai rumah. Tidak apa-apa.”
Hinagata menengok celanaku.
“Kamu basah banget.”
“Jangan khawatir, itu cuma basah doang.”
“Apa?”
“Tidak apa-apa, kok,” Aku menggelengkan kepalaku.
Mau tak mau aku mengatakan itu seolah sedang
bercanda dengan Sugiuchi, tapi aku tidak memiliki niat lain terhadap Hinagata.
“Emm … K-kamu tahu, rumahku ada di depan
situ.”
“Ahh, oklah, ini payungmu. Rumahku juga dekat
dengan rumahmu, jadi aku akan lari saja ke sana.”
“Kita saat ini sedang bersama, jadi … “
“Ah, jangan khawatirkan itu~”
Hinagata dengan wajah memerah menunjuk ke arah
rumahnya.
“A-a-ayo pulang, dan keringkan seragam kita
…!”
Mengeringkan seragam? Dan maksudmu di
rumahmu?
“Tapi rumahku sudah dekat kok dari sini.”
“T-tidak apa-apa.”
Apa maksudmu dengan tidak apa-apa?
“Kamu tahu juga kan kalau aku bukan anak
kucing? Jadi aku tidak mungkin masuk angin cuma karena ini.”
“A-ada … selalu ada kemungkinan lain juga!
T-tolong mampir ke rumahku … kumohon … “
Aku mengalihkan mataku karena terkejut pada
permohonannya yang teguh, tapi permohonannya terakhir terkesan pelan.
Aku tidak tahu apa karena dia malu atau apa,
tapi wajahnya masih memerah sampai sekarang.
“Baiklah, kalau begitu aku akan menuruti
kata-katamu.”
“Iyey~” Lalu Hinagata menggelengkan kepalanya beberapa kali.
<<=Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya=>>