Tanin wo Yosetsukenai Chapter 33 Bahasa Indonesia

Chapter 33 – Kebetulan

 

Aku meninggalkan kafe manga dan menelusuri jalanan kota di malam hari dengan muka tertunduk.

Suhunya sangat dingin sekali. Sudah lama sejak aku keluar pada larut malam begini. Kelap-kelip lampu dari papan toko maupun dari penerangan jalan terasa menyilaukan di mataku. Area yang ada di depan stasiun merupakan satu-satunya tempat hiburan di sekitar sini. Di sekitar sini terdapat pusat permainan, tempat karaoke, dan pachinko.

Karena sekitar sini tempat semacam itu, jadi tentu saja ada beberapa orang yang tidak ramah dan menjengkelkan.

Aku senang bisa membawa Enami-san ke kafe manga. Dia mungkin takkan terlibat dalam banyak masalah karena kepribadiannya, tetapi dia tidak boleh sering berkeliaran sendirian.

Aku berhenti di depan salah satu pusat permainan.

Kenangan dari masa lalu terlintas di benakku.

Kenangan saat aku masih menjadi idiot.

Saat aku masih jadi anak berandalan, aku sering bermain di sini. Bahkan sampai larut malam, aku akan berjalan-jalan dengan acuh.

Itu adalah kenangan yang ingin aku lupakan.

Aku segera berbalik untuk melanjutkan perjalanan pulang. Tapi setelah beberapa langkah, aku melihat segerombolan cowok keluar dari tempat pusat permainan. Mau tak mau aku berbalik saat mendengar suara mereka.

Ada sekelompok cowok yang kelihatannya seumuran denganku. Mereka semua mengenakan pakaian biasa, tapi mereka mungkin anak SMA. Alasan mengapa aku segera mengenali mereka ialah karena ada seseorang dalam kelompok itu yang menarik perhatianku.

Cowok dengan penampilan tinggi kurus. Rambutnya disemir berwarna merah terang. Mukanya tampak bosan ketika memandangi teman-temannya yang membuat banyak kebisingan.

Ia terlihat tidak bahagia, tapi tidak ekspresinya tidak  terlalu menunjukkannya. Dia tampaknya tidak tertarik dengan percakapan itu, dan cuma Ia yang satu-satunya diam terus.

Aku penasaran apakah itu yang menjadi alasannya. Saat Ia menoleh ke arahku, tatapan matanya tak sengaja bertemu denganku.

“……!”

Gawat. pikirku dan bergegas untuk membunag muka.

Mereka berjalan perlahan ke arahku. Lambat laun, suara mereka menjadi semakin keras.

“Loe payah banget sampe buat kesalahan tadi.”

“Berisik loe. Jangan belagu deh, loe cuma kebetulan menang doang.”

“Muka kesel loe lucu banget hahahaha.”

Meski sudah larut malam, volume suara mereka tidak diturunkan. Itu sebabnya aku bisa mendengar seluruh percakapannya.

Aku merasa kalau aku harus cepat pergi dari tempat ini, tapi aku tidak bisa bergerak cukup cepat.

“Awas saja nanti, biar gue bikin babak belur manajer itu.”

“Bener banget. Ia memaksa kita keluar!”

Pusat permainan biasanya tutup pada jam tengah malam. Kurasa itu sebabnya mereka harus meninggalkan toko. Fakta bahwa mereka baru tutup setelah lewat tengah malam menunjukkan bahwa mereka memang membuat beberapa keonaran.

“Manajer itu menyeramkan. Badannya kayak gajah bengkak.”

“Ia juga berkeringat di mana-mana. Kalau takut sama kita, mending jangan melakukan itu. ”

“Suaranya juga gemetaran. Tadi enaknya gue pukul saja tuh orang.”

Ada jeda singkat dalam pembicaraan mereka. Lalu salah satu dari mereka meminta penegasan.

“Loe juga setuju ‘kan, Zaki?”

Pada saat itu, bahuku sedikit bergetar. Cowok berbadan jangkung, yang dipanggil Zaki, membuka mulutnya dengan tenang.

“Gue enggak peduli.”

Nada suaranya terdengar rendah. Cuma mendengar perkataan itu saja, aku bisa merasakan suasana di antara mereka berubah drastis. Cowok yang telah mengeluh tentang situasi sebelumnya langsung terdiam.

Cowok lain di antara mereka mengangkat suaranya.

“Ya benar! Sudah cukup tentang itu. Daripada itu, tahu enggak…”

Isi percakapan tiba-tiba berubah. Namun, cowok yang bernama Zaki memasukkan tangannya ke kantong celana dan menutup mulutnya lagi.

Gerombolan mereka berjalan melewatiku.

Aku tidak bisa mendongkak untuk menatap mereka. Tenggorokanku mulai kering. Hembusan angina malan terasa dingin.

Aku berdoa dalam hati supaya mereka cepat-cepat pergi.

Jangan pedulikan aku, cepat pergi saja sana.

Terlepas dari suara yang ada di pikiranku, cowok bernama Zaki menghentikan langkahnya. Teman-temannya yang lain telah berjalan sedikit lebih jauh ketika mereka melihatnya dan memanggilnya.

“Zaki, ada apa?”

“ …….”

Jarak di antara kami cuma beberapa meter, dan aku melihat punggung yang kurus. Ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu, lalu melirik ke arahku.

Tapi aku tidak melakukan kontak mata dengannya.

“……”

Aku menyesali pulang melewati area pusat permainan, terlebih lagi pas tengah malam begini.

Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa supaya Ia tidak datang menghampiriku.

“Zaki?”

Ia menggelengkan kepalanya pada pertanyaan temannya yang berulang.

“Tidak, bukan apa-apa.”

Ia lalu mulai berjalan lagi.

Suara langkah kakinya mulai terdengar semakin menjauh. Perlahan-lahan, punggungnya menjadi lebih kecil dan lebih kecil, dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

Aku akhirnya merasa lega.

Aku yakin kalau Ia menyadari kehadiranku. Mungkin itu sebabnya Ia sempat melirik ke arahku.

Sudah lama sekali aku tidak melihatnya, pikirku.

Belakangan ini, aku jarang keluar sampai larut malam. Bahkan saat aku pergi keluar, aku mencoba untuk menjauh dari stasiun kereta api.

Jadi aku cukup terkejut saat melihatnya secara kebetulan.

Aku tahu bahwa tidak ada yang berubah. Ia masih terlihat sama dan melakukan hal yang sama seperti dulu.

Aku yakin tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan.

Itulah sesuatu yang sudah aku putuskan sejak lama. Sejak hari dimana aku memutuskan untuk menyegel masa lalu di hatiku dan dilahirkan kembali.

Aku memasukkan tanganku ke dalam kantong jaket. Aku menelan ludah dan membasahi ke tenggorokanku yang kering.

Tidak masalah. Tidak ada lagi gangguan.

Aku mulai berjalan menuju rumahku lagi.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama