Chapter 32 – Bersandar
Filmnya sangat menarik.
Adegan tembak menembak dan
ledakan yang kuat. Aksi akrobatik dari para aktornya. Semuanya membuatku tegang
sampai-sampai tanganku berkeringat.
Di akhir film, karakter utama
terjebak dalam masalah. Mau tak mau aku terkesiap saat melihatnya memecahkan
jendela gedung dan melarikan diri.
Pada akhirnya, setelah
mengalahkan semua musuh dan melindungi anak kecil itu, karakter utama berjalan
pergi tanpa mengungkapkan identitasnya. Adegan Ia memunggungi kamera sangatlah
keren.
Dan kemudian filmya berakhir.
Saat itulah aku dibuat tersadar kembali ke kenyataan. Aku dikejutkan oleh perasaan kesepian, sensasi khas dimana
kamu baru saja selesai menonton film yang bagus.
Aku begitu terhanyut saat
menonton film itu. Ketika aku melihat jam tanganku, masih ada waktu lima menit
sebelum waktu sewaku selesai. Aku melepas earphone-ku dan menatap Enami-san yang
ada di sebelahku.
“Enami-san.”
Tapi tidak ada jawaban. Dia
bahkan tidak bergerak satu inci pun dalam menanggapi kata-kataku.
“…… Hah? Enami-san?”
Saat dilihat lebih dekat, aku
melihat kalau dia memegang lututnya dan memejamkan mata.
–
Apa jangan-jangan dia tertidur?
Samar-samar aku bisa mendengar
napasnya yang tenang layaknya napas orang tidur. Sekarang waktunya sudah
menjelang tengah malam. Mungkin saja dia kelelahan.
Saat aku sedang kebingungan apa
aku perlu membangunkannya atau tidak, tiba-tiba aku merasakan beban di
pundakku.
Earphone di
telinga Enami-san terjatuh dan mengeluarkan suara kecil.
“……”
Seluruh tubuhku menegang. Aroma
wangi merebak ke udara.
Aku tertegun sejenak, dan semua
emosi serta perasaan yang aku miliki di dalam diriku mulai hanyut.
“…… Mmm”
Kepala Enami-san bersandar di
bahuku. Saat aku memalingkan wajahku sedikit ke samping, aku mendapati rambut
Enami-san berada di bawah daguku. Samar-samar aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya.
Aku penasaran apa itu karena
filmnya sudah selesai. Aku merasa kalau area di sekitarku terasa sunyi.
Suara yang bisa kudengar hanyalah napas teratur dan suara menelan ludahku
sendiri. Enami-san sangat ceroboh sampai-sampai aku tidak tahu harus berbuat apa.
Kupikir aku harus membangunkannya
seperti biasa. Tapi aku tidak tega mengguncang bahunya atau memanggilnya karena
aku merasa dilema melihatnya tertidur dengan sangat
nyaman.
“…… s~u~.”
Atau aku bisa saja bergeser ke
samping atau memaksa untuk berdiri. Hal itu secara alami akan membangunkan
Enami-san.
“……”
Tapi aku tidak sanggup
melakukan itu.
Gadis cantik memang tidak adil.
Padahal dia cuma memejamkan mata dengan nyaman, meski dia hanya bersandar
padaku, dia masih bisa membuatku sangat kesal.
Aku sekali lagi berpikir saat melihat
wajah tidur Enami-san.
Enami-san adalah orang yang sangat
aneh.
Aku selalu menganggapnya sebagai
orang yang judes.
Terlepas dari niat baik atau
buruk orang yang mengajak bicara dengannya, dia selalu bersikap acuh kepada
mereka. Rasanya ada dinding tak terlihat di sekelilingnya, dan jika kamu mencoba
menyentuhnya sedikit saja, dia akan mencoba untuk membalas kembali dengan
kekuatan yang kuat. Setiap kali seseorang mencoba berbicara dengannya, dia akan
terlihat tidak senang, dan setiap kali dia diperingatkan, dia akan merasa
kesal. Tanpa disadari, tidak ada orang yang mau terlibat dengannya lagi kecuali
Nishikawa.
Tapi, sejak hari dimana aku
mengkritik sikapnya.
Enami-san tiba-tiba mulai
menunjukkan perilaku yang tidak pernah dia tunjukkan kepada orang lain.
Senyum simpul yang menghiasi
wajahnya. Suara yang menjahiliku. Dan kemudian sekarang, wajah nyamannya saat
tertidur nyenyak.
Apa yang kulakukan tempo hari
hanyalah pelampiasan egois dari emosi sesaat. Seolah-olah aku sedang melihat
diriku yang dulu, jadi aku merasa marah dan mengatakan sesuatu padanya. Tidak seperti diriku, para
guru merasa kesal padanya karena mereka memikirkan Enami-san.
Namun, sepertinya
kata-katakulah yang mengubah pikiran Enami-san.
Dia tidak lagi memikirkannya
sebagai cara untuk membalasku. Mungkin Enami-san memiliki situasinya sendiri. Aku
pikir ucapakanku kebetulan membuatnya tersadar dalam banyak artian.
Aku penasaran mengapa dia tidak
ingin pulang dan malah tinggal di kafe manga. Aku terus memikirkan hal itu, tapi aku
yakin Enami-san takkan mau memberitahuku alasannya. Enami-san tidak banyak
bicara tentang dirinya sendiri.
Dia hanya mencoba membingungkanku
dengan tindakan dan sikapnya.
Aku menarik napas dalam-dalam
beberapa kali. Jantungku masih berdetak kencang.
Meski sekarang biasanya sudah memasuki jam tidur, sepertinya aku tidak bisa tidur. Aku menikmati filmnya, tapi lebih dari itu, aku merasa gugup karena jarakku dengan Enami-san begitu dekat.
Namun, aku tidak bisa terus
seperti ini selamanya. Aku menyelinap keluar dari rumah, tapi keluargaku mungkin sudah
mengkhawatirkanku. Aku harus pulang sekarang.
Aku menepuk-nepuk bahu
Enami-san dengan takut.
“Nn……”
Enami-san membuat suara kecil
tapi masih tetap tertidur.
Sampai minggu lalu, Enami-san
sering tertidur di kelas. Mungkin dia tidak cukup tidur secara umum. Aku
berpikir untuk menyelinap keluar agar tidak membangunkannya, tapi aku merasa
itu akan terlalu sulit dan sedikit berbahaya, jadi aku harus membangunkannya.
“Enami-san, ayo bangun …….”
Aku menepuknya lagi sambil
memanggilnya agar tidak mengganggu yang lain, dan Enami-san akhirnya membuka
matanya. Dia berkedip beberapa kali dan kemudian menatapku.
Tatapan mata kami berdua saling
bertemu. Dia segera mengerti situasi yang dialaminya. Tanpa mengubah
ekspresinya, Enami-san perlahan menarik tubuhnya menjauh.
“…..Aku tidur nyenyak.”
Aku hanya membertihunya kalau aku
mau pulang sekarang sehingga dia takkan tahu kalau aku sedang gugup. Dia cuma membalasku dengan anggukan kecil.