Selingan 3 — Yamazaki
Ibuku tak bisa berbuat apa-apa
mengenai perubahan sikapku.
Sampai sekolah SD, aku selalu
menjadi anak yang penurut. Aku terus belajar tanpa mengeluh sama sekali. Tidak
peduli seberapa dingin atau panasnya hari itu, atau seberapa sakitnya aku,
tidak pernah ada hari di mana aku tidak membuka buku pelajaranku.
Hal yang sama juga berlaku saat
aku jadi murid SMP. Kebiasaan belajar bukanlah sesuatu yang mudah dihilangkan.
Sebelum aku mendapat masalah,
bahkan ketika aku mengalami kesulitan, aku tidak cenderung untuk memukul siapa
pun. Aku lebih suka menangis daripada melakukan itu. Singkatnya, introspeksi
diri. Aku tidak pandai mengekspresikan emosiku secara lahiriah dan memendamnya
untuk diriku sendiri.
Namun, seakan-akan telah melupakan
diriku sendiri, aku mulai menunjukkan emosiku lebih sering.
Aku membuang barang-barang. Berteriak.
Menendang perabotan dengan kesal.
Percakapan di rumah menjadi
semakin sedikit.
Bukan hanya ibuku, tapi Sayaka
dan ayahku juga sepertinya tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Aku tidak
mengungkapkan pikiran batinku kepada siapa pun. Mana mungkin aku sanggup mengungkapkan
dengan kata-kata emosi yang berdenyut-denyut seperti itu.
Di sekolah, ada beberapa sesi
bimbingan konseling dengan guru BK.
Apa-apaan
dengan dengan warna rambutmu? Ada apa dengan sikapmu di kelas? Karena ulahmu,
reputasi sekolah menjadi jelek di mata masyarakat.
Aku pikir, “Siapa juga yang peduli?
Kenapa aku harus memusingkan hal itu?”
Ketika sikapku jadi semakin
buruk, aku jadi sering berselisih dengan teman sekelasku. Di SMP tempatku
bersekolah, cuma sedikit orang yang sepertiku. Mereka semua adalah pemuda yang
telah lulus ujian masuk sekolah menengah pertama. Aku sering diejek mereka dari
jauh. (TN: Karena
MC masuk ke sekolah swasta jadi ada banyak murid dari keluarga terpandang.)
Ketika aku terus menjalani
kehidupan sekolah seperti itu, aku diberitahu oleh wali kelasku.
– Kamu diskors.
Nada suaranya terdengar sangat
jelas. Yah itu wajar saja. Semua orang mengalami kesulitan saat berurusan
denganku.
Aku mendecakkan lidahku dan
menerima kata-katanya.
Sekitaran hari ketiga setelah aku
diskors dari sekolah.
–
Ada apa, Nao-chan?
Aku terus mendekam di kamarku,
dan suatu hari, ibuku duduk berlutut di hadapanku.
–
Jika kamu punya keluhan, kamu bisa memberitahu Ibu.
Tapi aku mengabaikannya.
Aku pikir tidak ada yang akan
pernah tahu bagaimana perasaanku.
Suatu hari, aku meninggalkan rumah
dan pergi ke pusat gim terdekat.
Ketika aku masuk, aku bisa mendengar
banyak berbagai suara. Ada suara dari mesin permainan. Bunyi tombol yang dioperasikan
dan tuas yang ditarik.
Aku merasa bahwa suara-suara ini
menghilangkan kabut di kepalaku. Itulah yang kurasakan.
Saat masuk ke dalam dan mulai
memainkan permainan yang aku anggap itu menarik. Bukannya aku pandai bermain
game atau semacamnya. Aku bahkan tidak tahu cara memainkannya. Aku hanya
menggerakan konsolnnya ke atas dan ke bawah dan berulang kali meninju dan
menendang tanpa maksud. Awalnya aku bisa menang. Tapi lambat laun aku tidak
bisa mengalahkan musuh, dan rasa kesalku semakin bertambah.
Sungguh menyebalkan!
Dengan kesal, aku meninggalkan
permainan di tengah jalan dan meninggalkan tempat dudukku.
Aku tidak berpikir untuk
menyia-nyiakan uang seratus yen atau semacamnya.
Aku pindah ke lantai lain dan
mencari permainan lain.
Ada permainan suara, bilik
foto, permainan yang dioperasikan dengan koin, dan permainan capit barang. Tak
satu pun dari permainan itu tampak menarik.
Pelanggan lain diam-diam
memainkan permainan pilihan mereka.
Aku
sendirian lagi, pikirku.
Tidak ada yang sesuatu yang
kusuka. Tidak ada harapan untuk memainkan ini.
Tidak ada yang memperhatikanku.
Walaupun aku mengenakan baju santai, bahkan rambut pirangku tidak akan terlalu
menonjol.
Masing-masing dari mereka
memiliki permainan yang ingin mereka mainkan, dan mereka sangat menyukainya.
Sedangkan aku sendiri tidak
punya.
Aku hanya bisa berjalan sendiri
dalam hiruk pikuk keramaian tempat ini.
Tidak ada tempat bagiku. …….
Cuma aku satu-satunya yang
berkeliaran tanpa arah. Para pengunjung di sini tampak berada di suatu tempat
yang jauh. Ada dinding tak terlihat di antara kami, dan hanya aku yang berada
di bagian luarnya.
Itulah yang kupikirkan.
Tanpa kusadari, aku kembali
lagi ke lantai permainan. Tidak ada alasan khusus untuk itu. Rasanya cuma
terlalu membosankan dan aku tidak punya tempat lain untuk pergi.
Memang ada bagusnya untuk
keluar dari rumah tanpa alasan, tapi tidak ada yang kudapat.
Saat sedang memikirkan hal ini,
aku melihat seorang cowok yang duduk di depan konsol yang aku mainkan
sebelumnya. Aku terkejut melihat punggungnya.
Ia memiliki rambut berwarna
merah.
Aku ingin tahu apa Ia itu anak
SMP atau SMA. Aku merasa kalau umurnya tidak jauh lebih tua dariku.
Setidaknya, Ia bukan murid dari
sekolah SMP-ku. Meski Ia mengenakan seragam sekolah, tetapi desainnya sedikit
berbeda. Pertama-tama, aku belum pernah melihat orang dengan rambut merah
seperti ini.
Aku merasa penasaran tentang
cowok ini. Karena rasa penasaran itu, aku berjalan mendekati cowok itu.
Ia bahkan tidak menyadari kalau
aku sedang mengawasinya dari belakang, dan Ia terus bermain dengan dia.
Ia ternyata lebih jago dariku.
Akhirnya, setelah jeda dalam
permainan, cowok itu berbalik.
“……”
Begitu aku melihatnya, aku
merasakan suatu keakraban.
Wajahnya terlihat bosan.
Keningnya yang mengernyit.
Mungkin
orang ini sama sepertiku. Instingku berpikir begitu.
Lalu cowok itu mulai angkat
bicara.
“Kamu cowok dari sebelumnya, ya.
Berkatmu, aku bisa memainkan permainan ini dengan gratis.”
“Apa?”
Rupanya, Ia mulai bermain
begitu aku bangkit dari tempat dudukku. Kurasa itulah sebabnya Ia bisa
memainkan game tanpa membayarnya.
Ia kemudian berdiri, dan memasukkan
tangannya ke dalam saku.
Tubuhnya lebih tinggi dari yang
kuduga, dan saat mendekati aku, Ia melihat ke bawah ke arah aku.
“Kamu tidak pandai bermain
game, ‘kan?”
Sepertinya dia memperhatikanku saat
bermain tadi. Aku pun membalas ketus.
“Terus?”
Dia lalu mencibirku.
“Bukan apa-apa. Aku cuma lebih
jago darimu.”
Apa-apaan dengan cowok ini? Aku
merasa kesal, tetapi aku juga kecewa karena Ia berbicara kepada aku hanya untuk
mengatakan itu.
Aku pun menatap wajahnya.
“Kamu membosankan.”
Kata tersebut tak sengaja
keluar dari mulutku. Untuk sesaat, kupikir aku telah melakukan kesalahan, tapi
kemudian aku segera memikirkannya dengan lebih baik.
“Apa?” balasnya.
“Jangan membuatku
mengulanginya. Apa bagusnya menjadi lebih jago? Itu sangat membosankan."
Itu tidak masalah. Bagiku,
semuanya terlihat membosankan.
Aku berharap Ia akan marah. Aku
membayangkan kalau Ia adalah tipe orang yang emosinya mudah terpancing.
Tapi Ia hanya berkata pelan,
“Memang.”
“Memang, itu membosankan. Kamu
dan aku sama-sama membosankan.”
Aku tidak tahu apa maksudnya,
tetapi untuk beberapa alasan, aku mendapati diriku bersimpati dengannya.
“Siapa namamu?”
Aku terkejut dengan pertanyaan
tiba-tiba tapi langsung menjawab.
“Ookusu.”
Ia menganggukkan kepalanya dan
berkata,
“Aku Yamazaki. Kamu tidak perlu
mengingatku.”
...... Itulah pertemuan
pertamaku dengan Yamazaki.