Tanin wo Yosetsukenai Chapter Selingan 2 Bahasa Indonesia

Selingan 2 – Masa Lalu

 

Sejak kecil, aku tidak pernah mengalami kesulitan dalam belajar.

Saat aku mulai belajar aritmatika dan bahasa Jepang di SD, aku pikir pelajaran itu cukup mudah; Aku langsung memahami konsep menambahkan satu tambah satu, dan aku merasa kalau bahasa Jepang hanyalah bahasa sehari-hari yang sering kugunakan. Sebagai anak kecil, aku sudah sering melihat-lihat buku cerita serta buku bergambar, jadi huruf kanji tampak seperti hal yang wajar bagiku.

Aku selalu mendapat nilai sempurna dalam ujian, dan bahkan jika aku diberi lebih dari setengah jam untuk memecahkan soal teka-teki, aku bisa menyelesaikannya dalam waktu sekitar lima menit. Bahkan jika aku menambahkan waktu untuk meninjau ulang, aku selalu punya lebih dari separuh waktu yang tersisa.

Mata pelajaran di sekolah selalu sederhana. Aku tidak perlu mendengarkan pelajaran panjang dari guru setiap hari, aku hanya tinggal membaca buku teks dan memahaminya. Aku heran mengapa dia menghabiskan begitu banyak waktu untuk setiap pelajaran.

–Oh, jadi kamu sangat pintar, ya?

Itulah balasan yang kuterima saat setiap kali mengeluh kepada guru. Memang, pelajaran yang terlihat mudah bagiku, tapi bagi siswa lain, tidak demikian. Ada banyak murid yang dapat melakukan sebaikku, tapi cuma aku satu-satunya yang mendapat nilai bagus dengan sedikit usaha belajar.

Saat itu aku masih duduk di bangku kelas empat SD.

— Mungkin kamu harus mengikuti ujian masuk.

Itulah yang ibuku katakan.

—Kamu bisa belajar banyak. Ayo pergi ke sekolah yang lebih baik.

Dengan ucapan itu, aku mulai menghadiri tempat les untuk ujian masuk SMP. Aku mendapat nilai bagus pada tes masuk dan ditempatkan di kelas unggulan sejak awal.

Di kelas itu, semua muridnya mempunyai nilai rata-rata di atas 70. Nilaiku sendiri tidak terlalu buruk, tapi tidak seperti di sekolah, aku sering kalah dari orang lain.

Tapi aku tidak peduli tentang itu. Karena aku lebih mementingkan diriku sendiri daripada membandingkan diriku dengan orang lain.

Pendidikan di tempat les sangat berat.

Aku pikir itu hampir menjadi fanatik. Kurasa itu semua tergantung dari tempat lesnya, tapi tempat les yang aku hadiri, kepercayaan bahwa bisa memasuki ke sekolah SMP yang bagus setara dengan kehidupan yang baik dianggap mutlak. Guru di tempat les sering kali berkata, “Hal terbaik yang dapat bisa lakukan di sini adalah bekerja keras. Mereka yang mampu melakukan terbaik di sini akan mendapatkan kesuksesan yang sudah menunggu mereka. Di sisi lain, mereka yang bahkan tidak bisa melakukan yang terbaik dalam ujian masuk SMP akan menjadi orang pecundang di sekolah rendahan”.

Ketika sikap menghadiri pelajaran menjadi sedikit buruk, mereka ketakutan. Meski aku tidak terintimidasi, ada saat ketika aku melihat murid lain diteriaki sambil dicengkeram dadanya. Ketakutan dan rasa kewajiban bahwa aku harus mengikuti orang-orang ini tampak jelas. Pokoknyna, jika aku belajar keras, aku akan dipuji, dan aku serta ibuku mulai menganggap tempat les sebagai prioritas kami.

–Jika kamu mengincarnya, kamu harus mengincar tempat tertinggi.

Ibuku, yang memiliki perasaan longgar tentang banyak hal, mulai mengatakan itu kepadaku berulang kali.

Kalau dipikir-pikir lagi, aku merasa kalau ucapan tersebut hampir mirip seperti cuci otak.

Jika aku mendapat nilai buruk, aku akan kecewa. Bahkan jika aku mendapat nilai  bagus, aku harus membidik nilai yang lebih lebih tinggi. Pokoknya, aku harus menunjukkan kepada mereka betapa kerasnya aku berusaha mengejar ketinggalan.

Karena aku belajar mati-matian untuk tempat les, aku jadi kurang tertarik dengan PR sekolahku. Guru yang santai dan siswa malas-malasan. Mereka tampak seperti keberadaan yang ada di suatu tempat yang jauh.

Level di sekolahku lebih rendah daripada medan tempatku bertarung. Aku lebih suka belajar di rumah daripada berada di tempat seperti itu. Lama-kelamaan aku mulai berhenti mengerjakan PR sekolah dan mengabaikan semua tugas musim panasku. Aku hanya terus melakukan PR yang diberikan oleh tempat les.

Pada musim dingin saat di kelas 6. Puncak dari semua upayaku datang dalam bentuk hasil ujian.

Sederhananya, aku gagal.

Aku tidak bisa masuk ke sekolah yang menjadi pilihan pertamaku. Meski aku berhasil lulus di sekolah pilihanku yang lain, tapi aku dipenuhi dengan perasaan hampa, mempertanyakan diriku buat apa usahaku selama ini.

Aku muak dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa memasuki sekolah impianku meski aku sudah menghabiskan tiga tahun hidupku untuk belajar keras, dan tanpa ada waktu untuk bermain.

Pada saat yang sama, aku mulai penasaran, mengapa aku berusaha begitu keras.

Lagipula, itu cuma ujian masuk ke sekolah SMP. Jika aku masuk ke sekolah yang bagus, aku mungkin bisa melakukannya dengan baik di ujian berikutnya. Tapi setelah ujian masuk universitas, hal itu akan berdampak langsung pada hidupku.

— Mengapa?

Mengapa aku benar-benar ingin masuk ke sekolah SMP itu? Aku sendiri sudah tidak yakin lagi.

Aku tidak punya banyak teman di SD. Aku lebih memilih tinggal di kelas untuk belajar daripada bermain selama jam istirahat, dan aku selalu meremehkan murid yang lain. Aku bahkan tidak melihat mereka sebagai orang yang berada di level yang lebih rendah dariku.

Jadi, setelah lulus, aku hampir tidak punya apa-apa.

Yang tersisa hanyalah rasa egois dan harga diri yang tinggi.

Ketika aku masuk ke sekolah SMP swasta, sekolah yang sebenarnya tidak ingin aku masuki, rasa ketidaknyamanku menjadi semakin kuat. Aku merasa kalau aku tidak punya tempat di sana.

Semuanya membosankan. Dulu aku pikir kalau aku adalah orang yang spesial. Namun, saat aku tiba-tiba gagal dalam ujian masuk itu, aku menyadari bahwa aku tidak punya apa-apa.

Aku merasakan dorongan dalam diriku yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Perasaan yang sulit untuk dijelaskan, tapi rasanya hampir seperti semacam keinginan untuk kehancuran.

Suatu hari, aku pergi ke penata rambut dengan uang Tahun Baru yang telah aku tabung.

Aku ingin menyemir rambutku.

Warna yang aku pilih adalah warna pirang dan memotong sisi rambutku yang cukup panjang.

Aku merasa puas secara misterius, dan ketika aku pulang dengan penampilan seperti itu, semua orang di rumah secara alami marah.

–Cepat ubah kembali.

Aku sendiri heran. Pada saat itu, aku mengalami perasaan  amarah yang belum pernah aku alami dalam hidupku ketika aku diberitahu itu.

Jadi aku mengabaikan mereka.

Tentu saja, aku juga dimarah-marahi di sekolah. Guru BK sekolah menempatkan aku di ruang terkunci.

Itu tidak masalah. Aku memandang sama guru sekolah dan guru tempat les.

Itulah gunanya menjadi dewasa. Mereka hanya ingin menempatkanmu di dalam jalur satu rel.

 Aku memandang rendah teman-teman sekelasku.

Aku meremehkan guru-guruku.

Aku bahkan meremehkan orang tuaku.

Aku ingin membangun keberadaanku sendiri di dunia yang busuk ini. Aku kurang percaya diri. Kupikir aku tidak punya apa-apa. Itu sebabnya aku ingin membuat diriku berbeda dari orang lain.

Pertama-tama, aku membuka kancing paling atas seragam sekolahku.

Secara bertahap, kancing kedua dan ketiga dibuka, dan akhirnya, semua kancing seragamku dibuka.

Kaus dalam diganti dengan kaos oblong, dan kaus kaki menjadi semakin lebih pendek.

Aku mulai sering bolos kelas, tidak menganggap serius jam sekolah.

Aku jadi semakin sering mengernyitkan keningku.

Dan begitulah, diriku yang berandalan memulai debutnya.

Namun, itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku.

 

 

<<=Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya=>>

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama