Chapter 01 — 03 September (Kamis) Asamura Yuuta
Selama jam wali kelas terakhir di
hari ini, guruku membagikan selembaran kuesioner di akhir jam pelajarannya.
“Baiklah, pastikan untuk
mengisi kertas itu dan menyerahkannya kepada ketua kelas pada hari Kamis minggu
depan.”
Itulah yang guruku katakan, dan
begitu beliau pergi dengan pintu tertutup di belakangnya, suasana kelas
langsung berubah menjadi ramai. Meski biasanya mereka langsung mengambil tas
dan segera meninggalkan kelas, tapi semua teman-teman sekelasku masih banyak
yang tetap duduk.
“Hei, kamu gimana?”
“Kamu nanti mau diisi apa?”
Pertanyaan semacam itu memenuhi
seisi ruang kelas. Ada beberapa orang yang menerima saran dari orang lain di
sekitar mereka, tapi ada juga sebagian yang hanya menatap kertas di depan
mereka. Masing-masing dari mereka mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi
situasi, namun mereka semua menganggapnya dengan serius. Lagi pula, kertas
lembaran yang diberikan kepada kami menanyakan rencana masa depan kami setelah
lulus. Pertemuan orang tua-guru kami akan diadakan menjelang akhir bulan. Itu
artinya, kuesioner rencana masa depan dianggap sebagai bagian dari tugas
sekolah, dan para guru akan mendiskusikannya bersama kami dan orang tua yang
hadir.
“Kurasa sudah waktunya lagi di
tahun ini, ya...”
Aku membolak-balik kertas
lembaran yang ada di tangan dan berbicara dengan orang di depanku, yang
kebetulan adalah teman baikku, Maru Tomokazu.
“Kita sudah menginjak kelas 2
sekarang. Tingkat kegentingan situasinya benar-benar berbeda dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Tapi menilai dari komentarmu barusan, kamu juga belum
sepenuhnya mengambil keputusan, ya?” Maru berbalik dengan cemberut di wajahnya.
“‘Juga?’ Kamu pun sama, Maru?”
“Kenapa kamu terlihat sangat
kaget begitu?”
“Maksudku, aku mengira kalau
kamu akan menggeluti karir di dunia bisbol.”
Klub bisbol sekolah kami cukup kuat. Dan Ia sudah menjadi catcher, hadir secara teratur selama dua tahun sekarang. Mereka mungkin bisa menang di Koushien[1], dan Ia mungkin menjadi seorang profesional. Sekarang mungkin tidak semesti bagaimana keadaannya, tapi mengingat keahliannya dalam olahraga, aku bisa menebak kalau Ia akan memilih karir di masa depan yang terkait dengan itu.
“Kamu benar sekali, yeah.”
“Apa? Lalu kenapa tampangmu
terlihat seperti baru saja menelan serangga?”
“Serangga, huh? Aku belum
pernah mencobanya, jadi aku tidak bisa memberitahumu. ”
“Aku pikir jarang sekali ada
orang yang pernah merasakannya.”
Yah, karena itu hanyalah kiasan
kata, jadi banyak orang mungkin merasakannya, tetapi lebih dari itu…
“Asamura, bahkan kamu
seharusnya bisa memahami kalau menjadi bagian dari klub bisbol tidak langsung
berkaitan dengan pekerjaan masa depanku yang berhubungan dengan olahraga,
bukan? Secara alami aku akan terganggu tentang hal itu. Dan juga, kamu salah
paham tentang sesuatu. ”
“Salah paham? Tentang apa?”
“Aku tidak terganggu oleh
rencanaku untuk masa depan atau semacamnya. Aku justru lebih khawatir tentang
pertemuan orang tua-guru di akhir bulan nanti. Apalagi kegiatan pertemuan itu
berlangsung selama dua minggu penuh. Jadi menurutmu, apa yang akan terjadi
sebagai akibat dari itu?”
“Aku sendiri tidak terlalu
yakin.”
Aku mengalihkan perhatianku ke
kertas lembaran yang ada di tanganku. Ada beberapa baris informasi di sebelah
baris yang menanyakan rencana masa depan Kamu. Menurut mereka, jam pelajaran
akan lebih singkat selama pertemuan orang tua-guru, dan jam pelajaran akan
dibubarkan pada siang hari.
“Sepertinya jam pelajaran di siang
hari ditiadakan dan diganti dengan kegiatan pertemuan, ya?”
“Asamura, itu berarti latihan
klub kami akan lebih lama.”
Saat mendengar komentar itu
dari Maru, aku akhirnya langsung memahami apa yang Ia bicarakan. Namun, hal itu
masih mengejutkanku. Terlepas dari motivasinya untuk olahraga, kurasa bahkan Ia
tidak ingin adanya latihan tanpa akhir.
“Tentu saja aku menginginkan
itu. Aku menyambut setiap latihan tambahan yang bisa aku dapatkan. ”
“Hmmm???”
“Tapi, selama pertemuan orang
tua-guru, ada anggota tertentu yang tidak hadir, ‘kan? Akibatnya, ada jenis pelatihan
tertentu yang tidak bisa kami lakukan. Dengan kata lain, pelatihan akan jauh
lebih sederhana dari sebelumnya, sehingga terasa kurang bermanfaat dan
memuaskan.” ujar Maru. “Aku memang suka berlatih, tetapi aku ingin melakukannya
secara efisien dengan jumlah waktu yang tersedia.”
Sebuah jawaban yang sangat
sesuai dengan sifat Maru, seseorang yang menikmati menghabiskan waktunya di
video game. Hal tersebut membuatnya tampak seperti maniak efisiensi.
“Asamura. Efisiensi bukan
satu-satunya daya tarik dalam hal game.”
“Maafkan aku karena sudah menggunakan
game sebagai perumpamaannya.” Aku menyatukan kedua tanganku, membuat gerakan
minta maaf.
Kurasa seeorang ahli kerajinan
juga pilih-pilih tentang kerajinan mereka. Sembarangan mengusiknya hanya akan
membuatku terbakar.
“Ngomong-ngomong, apa ayahmu
akan datang ke pertemuan lagi? Atau tahun ini, ibu barumu yang datang?”
“Hah?”
Butuh waktu beberapa detik
sampai membuatku menyadari kalau sekarang selain ada Ayahku, Akiko-san mungkin
bisa berpartisipasi dalam pertemuan orang tua-guru juga. Tapi meski begitu…
“Ayahku datang tahun lalu, jadi
kupikir itu akan sama tahun ini.”
Saat mengatakan itu, aku
langsung memikirkan Ayase-san. Apa
Akiko-san akan datang bersamanya?
◇◇◇◇
Saat memasuki bulan September,
warna langit terlihat sedikit berubah. Sinar mentari masih terasa terik seperti
biasanya, tapi tidak sepanas seperti musim panas biru lagi. Warna langitnya
tampak kusam dan kelabu layaknya melihat melalui satu atau dua lapis kaca.
Pikiran-pikiran seperti ini muncul di benakku saat berjalan menuju lantai
apartemenku. Lift berhenti, tapi aku butuh beberapa saat untuk mulai berjalan
lagi. Itu semua karena lembaran kuesioner yang aku simpan di dalam tasku.
Ketimbang mengkhawatirkan rencanaku untuk masa depan nanti, pemikiran tentang
memiliki ibu baru sudah menarik semua perhatianku. Ayahku cukup toleran
mengenai rencana masa depanku, jadi Ia tidak pernah mengungkapkan kekhawatiran
apapun.
Tapi,
aku penasaran bagaimana pendapat Akiko-san tentang itu? Aku
membuka pintu depan, mengumumkan kedatanganku, dan berjalan menuju ruang tamu.
Tebakanku dari melihat sepatu di pintu masuk itu benar, karena aku menemukan
Ayase-san dan Akiko-san duduk di sekitar meja. Akiko-san sepertinya bersiap-siap
untuk pergi kapan saja, karena riasannya sudah selesai.
“Selamat datang di rumah,
Nii-san.” Ayase-san melihatku masuk, dan menyapaku sambil mengangkat kepalanya.
“…Aku pulang, Ayase-san.” balasku
seraya berharap kalau dia tidak menyadari jeda canggungku.
Sudah sekitar sebulan sejak dia
mulai memanggilku seperti itu. Namun, aku masih tidak bisa memaksakan diri
untuk memanggilnya 'Saki' sebagai
balasannya.
“Apa yang sedang kalian berdua
bicarakan—? Ah.”
“Kamu juga mendapatkannya, kan?
Kuesioner rencana masa depan.”
Di atas meja, aku bisa melihat
salinan lain dari apa yang aku punya di tasku, kertas yang merinci rincian
acara pertemuan orang tua-guru. Mereka mungkin memutuskan hari mana yang bagus
untuk datang.
“Waktu yang pas.” ujar
Akiko-san sambil menatapku.
“Iya?”
“Aku sudah berbicara dengan
Taichi-san mengenai bagaimana kita harus menangani pertemuan orang tua-gurumu.”
“Punyaku?”
“Ya. Masalahnya … Taichi-san
sangat sibuk sekarang.”
Ia pernah mengatakan kepada
Akiko-san kalau dirinya diberi proyek penting di tempat kerja, jadi Ia
mengalami kesulitan bahkan mendapatkan setengah hari libur dari pekerjaannya. Jujur
saja, aku tidak tahu sama sekali. Ayahku jarang membicarakan pekerjaannya di
rumah. Meski begitu, Ia sepertinya masih berusaha keras untuk memberi ruang
pada hari lain, tapi beban kerjanya terlalu banyak, jadi bahkan setengah hari
libur saja sangat musthail. Jadi alasan kenapa Ia terlihat lelah belakangan ini
karena alasan itu, ya.
Akibatnya, Akiko-san menawarkan
untuk pergi bersamaku ke pertemuan orang tua-guruku juga. Persis seperti yang
diprediksi Maru. Ia bukan seorang cenayang, ‘kan? Yah, kesampingkan lelucon
tadi, sebenarnya ada satu masalah besar tentang Akiko-san yang ikut denganku ke
pertemuan orang tua-guru.
“Kamu tidak pernah memberitahu
siapapun di sekolah kalau kalian berdua adalah saudara tiri, kan? Taichi-san
bilang Ia tidak ingin membebanimu, dan aku setuju dengan itu.”
Kami menyembunyikan fakta kalau
kami berdua adalah saudara tiri supaya tidak ada rumor aneh yang beredar di
sekolah. Kami bahkan membuatnya agar nama marga keluarga kami tidak berubah
sampai kami lulus. Namun, jika ada siswa lain mengetahui bahwa Ayase-san dan
aku memiliki ibu yang sama, mereka pada akhirnya akan menyimpulkan kalau kami
bersaudara. Tentu saja, sebagian besar siswa akan pergi pada saat pertemuan
akan dimulai, jadi itu bukan sesuatu yang sangat diwaspadai—atau begitulah yang
mungkin dipikirkan orang, tapi Akiko-san berhati-hati dalam hal itu.
“Jadi itulah yang terjadi…”
“Itulah sebabnya aku berpikir
untuk datang ke pertemuan orang tua-guru pada dua hari yang berbeda.”
““Hah?!””
Baik Ayase-san dan aku meneriakan
suara kaget pada saat yang sama. Menghadiri pertemuan pada dua hari yang
berbeda berarti…
“Apa Akiko-san berencana datang
ke sekolah kami dua kali?”
“Maksudku, setidaknya cara itu
lebih aman ketimbang mengadakan kedua pertemuan di hari yang sama, bukan?” Dia
berkata, meminta pendapat kami. “Bagaimana menurut kalian?”
“…Apa Akiko-san sendiri tidak
keberatan?”
“Hah?”
“Yah… bukan cuma Ayahku saja
yang sibuk, kan? Akiko-san sendiri bekerja hingga larut malam di bar, jadi
bukannya hal itu membebani Akiko-san untuk datang ke sekolah di siang hari?”
Giliran kerja Akiko-san
biasanya dari malam sampai larut malam, dan karena dia harus bersih-bersih dan
menyiapkan peralatan untuk hari berikutnya, dia biasanya pulang pagi dan tidur
sampai lewat tengah hari. Meski dia mencoba mencocokkan jam bangunnya dengan
kami di akhir pekan atau hari libur kerja, dia biasanya adalah orang yang aktif
di malam hari. Aku pikir hal itu akan membebaninya untuk membuatnya datang ke
sekolah pada siang hari, apalagi membuatnya sampai melakukannya dua kali:
Sekali untuk pertemuanku dan pertemuan Ayase-san. Belum lagi dia harus
mengambil lebih banyak waktu istirahat. Namun, Akiko-san mengabaikan
ketakutanku dengan senyuman dan berbicara dengan nada lembut.
“Jangan khawatir~”
“Tidak, tapi—”
“Ah… maaf Yuuta-kun, aku
benar-benar harus pergi sekarang.”
Dia melirik jam yang terpajang
di dinding dan dengan cepat meraih tas bahunya di atas meja, lalu berlari ke
pintu masuk. Setelah memakai sepatu hak tingginya di tengah jalan, dia
menghentakan tanah sekali dengan setiap tumitnya, memasukkan sepenuhnya ke
tempatnya. Setelah itu, dia memutar kenop pintu dan menatapku dari balik
bahunya.
“Kita lanjutkan lagi pembicaraan
ini nanti. Pikirkan baik-baik sampai saat itu tiba, oke?”
“Ah iya.”
“Aku pergi berangkat dulu!” Dia
mengucapkan selamat tinggal dengan suara energik dan berlari keluar pintu
dengan bingung, “Aku akan terlambat jika tidak cepat!”
“Apa dia perlu sampai berlarian
begitu?”
“Jangan tanya aku. Aku berharap
saja kalau dia tidak tersandung.”
“Oh? Apa kamu mau pergi juga,
Ayase-san?”
Saat berbalik, aku melihat
Ayase-san juga sudah bangun dari tempat duduknya. Dia membawa tas olahraga yang
tergantung di bahunya.
“Sudah hampir waktunya untuk
shift-ku.”
“Oh, baiklah. Hati-hati di
jalan.”
“Aku berangkat dulu. Sampai nanti,
Nii-san.”
Ayase-san berjalan melewati
ujung hidungku. Rambutnya sedikit bergoyang mengikuti setiap langkahnya.
Setelah itu, aku mendengar suara pintu depan ditutup. Aku tidak punya shift di
tempat kerja hari ini. Hari-hari di mana aku mempunyai shift yang sama dengan
Ayase-san setiap hari sekarang terasa seperti masa lalu yang jauh.
Setelah menaruh tas di kamarku,
aku duduk di ruang tamu. Aku mendapati diriku terkejut dengan healaan nafas
bawah sadar yang aku hembuskan. Aku ingin tahu apa masalahnya. Apa yang
membuatku merasa kecewa? Namun entah kenapa, aku merasa lega sekarang karena
aku sendirian.
—Nii-san.
Setiap kali Ayase-san memanggilku dengan panggilan itu, aku merasa sulit bernapas
saat dia ada di dekatku. Apa nama dari perasaan yang menggangguku ini? Itu
hanya pertanyaan retoris. Lagipula, aku sudah tahu apa jawabannya.
◇◇◇◇
“Sekarang, kira-kira apa masih ada yang tersisa untuk
dimakan … ”
Malam hari pun tiba. Aku merasa
seperti sudah duduk mematung di sofa, tapi aku akhinya berdiri dan membuka
kulkas. Aku menemukan beberapa sayuran, tapi tidak ada daging atau ikan yang
terlihat. Sial, aku harusnya berbelanja dulu. Sejak September dimulai, dan
jumlah shift yang tumpang tindih dengan Ayase-san berkurang, urusan dapur dan
penggunaan bahan maknan jadi berubah secara drastis. Sayangnya aku bukan orang
yang tak punya perasaan untuk memaksa Ayase-san memasak untukku setelah dia
pulang terlambat dari kerja. Jadi, kami berdua sepakat bahwa aku akan membuat
makan malam jika Ayase-san punya pekerjaan, dan sebaliknya.
Meski begitu, apa yang aku buat
hampir tidak mendekati dengan apa yang bisa disebut sebagai “makanan yang layak." Ding!
smartphone-ku yang tergeletak di atas meja memberi tahu datangnya pesan LINE
baru. Awal pesan muncul sesaat di layar kunci ponsel, dan aku bisa membacanya
sebelum layar menjadi hitam lagi. Ternyata itu dari Ayahku, yang mengatakan
bahwa dia akan makan di luar karena akan pulang terlambat. Ia benar-benar
terlihat sibuk.
Yah, itu berarti aku harus
membuat lebih sedikit makanan untuk makan malam. Masih ada sisa nasi di penanak
nasi sejak Akiko-san menggunakannya, jadi aku tinggal membuat lauk pauknya
saja.
“Kalau begitu, kurasa memasak
sup miso saja.”
Membuat makanan lezat dari
bahan-bahan paling sedikit dalam waktu sesingkat mungkin adalah hal yang paling
efisien untuk dilakukan. Ayase-san biasanya membuat sup misonya dengan kaldu
sup, jadi aku akan menirunya. Aku mengisi panci dengan air, memasukkan irisan
rumput laut seukuran telapak tangan ke dalamnya dan membiarkannya mendidih selama
tiga puluh menit. Sementara itu, aku harus memutuskan apa lagi yang harus
dibuat. Aku mengintip ke dalam kulkas lagi…
“Telur ... cuma itu saja, ya?”
Beberapa resep berdasarkan bahan
dasar telur muncul di kepalaku. Walau begitu, hal ini saja takkan
memungkinkanku untuk benar-benar membuat hidangan. Wajar saja, karena keterampilan
memasakku tidak bisa mengikuti resep yang ingin aku buat. Satu-satunya hidangan
telur yang bisa aku buat hanyalah—
“Telur ceplok?”
Atau mungkin juga telur rebus.
Yeah, mendingan buat telur ceplok saja. Aku mengambil dua butir telur dari
kulkas, lalu meletakkannya di piring. Dulu di masa lalu, aku pernah meletakkan
telur di atas meja tanpa ada alas apa-apa dan telur tersebut berguling dan
pecah. Sejak saat itu, aku memastikan bahwa kesalahan yang sama tidak terjadi
dua kali. Aku juga mengambil beberapa sayuran, memotongnya menjadi irisan
besar, kemudian menaruhnya ke dalam wadah tahan panas, lalu menambahkan air,
dan membungkusnya. Aku memasukkannya ke dalam microwave, dan menunggu sekitar
tiga menit. Jika waktu segitu tidak cukup, aku selalu bisa memasaknya sedikit
lebih lama. Karena rasanya tidak terlalu enak untuk dimakan jika teksturnya terlalu
keras, aku akan menyodok sumpitku ke dalamnya. Jika sudah sedikit melunak,
artinya sayuran itu selesai dengan sempurna.
Aku mengeluarkannya dari
microwave, meletakkannya di piring besar. Aku masih bisa membaginya nanti, dan
saus bisa ditambahkan saat makan. Yang lebih penting lagi, aku harus memasak
sup miso. Aku menyalakan pemanas induksi. Dari tas yang selebar wajah, aku
mengeluarkan beberapa katsuobushi[2]
yang aku temukan, dan menambahkannya ke rumput laut mendidih di dalam panci.
Seharusnya ini saja sudah cukup untuk kaldu supnya. Selagi memasak itu, aku
harus …
“Ah, aku bahkan tidak
menyiapkan hiasan apapun.”
Ini jelas-jelas merupakan
kesalahan dalam urutan memasakku. Namun, aku sudah mengingat tindakan
pencegahan untuk keteledoran ini. Penyelamatku adalah benda yang aku ambil dari
freezer—betul sekali, bawang bombay
cincang beku! Suara robot biru[3] dari anime tertentu muncul di benakku. Kurasa
sendirian seperti ini terlalu lama membuatku gila dan tanpa sadar menggumamkan
monolog seperti itu. Yah, selama itu cuma ada di pikiranku, kurasa tidak apa-apa.
Ayase-san menyebutkan kalau dia ingin hidup sendiri setelah lulus dari sekolah
SMA. Kira-kira apa dia juga menggumamkan monolog semacam ini pada saat itu?
Ngomong-ngomong tentang
Ayase-san, aku mengambil bawang yang sebelumnya sudah dipotong Ayase-san dari
wadah plastik. Tanpa natto atau makanan gorengan, mari menikmati menu sederhana
hari ini.
“Kurasa sudah waktunya.”
Aku mengambil beberapa dari dalam
panci. Dengan ini, stok sup telah selesai. Setelah memasukkan bawang, aku membiarkannya
mendidih. Usai mengecilkan apinya, aku menambahkan miso. Sekarang aku harus
berhati-hati untuk tidak membiarkannya gosong. Aku mematikan api kompor, dan
sekarang sup misonya juga sudah matang. Yang tersisa hanyalah telur ceplok.
Saat aku menggorengnya, aku menyadari bahwa sedikit keringat telah menumpuk di
wajahku.
Apa boleh buat, karena sekarang
sudah memasuki awal bulan September. Ada kelembapan dan panas yang tinggi di
luar, dan sedangkan aku di sini, memasak makanan di atas kompor. Aku menyalakan
AC. Dengan itu, porsi telur ceplok untuk dua orang juga sudah selesai. Semuanya
berjalan cukup lancar hari ini. Aku bahkan tidak memecahkan kuning telurnya.
Setelah itu, aku menggoreng telur ceplok untuk Ayase-san, dan melakukan hal
yang sama dengan salad sayuran rebus…
Karena dia sebentar lagi akan
pulang, aku hanya bisa menunggunya, tapi aku entah kenapa tidak ingin bertemu
dengannya karena suatu alasan. Menjaga sedikit jarak di antara kami adalah keputusan
yang terbaik untuk saat ini. Dengan begitu, perasaan yang aku miliki ini harusnya
bisa sedikit mereda. Adapun catatan yang akan aku tinggalkan dengan makanan… Aku
kebingungan dengan apa yang harus aku tulis, padahal pulpen sudah ada di
tangan, tapi aku justru mulai memikirkan hal lain lagi. Faktanya, bahkan saat
memasak, aku terus kepikiran—tentang pertemuan orang tua-guru.
Tidak menyadari kalau Ayahku
sibuk bekerja membuatku merasa bersalah dan agak menyedihkan, tapi apa kami
benar-benar harus memberikan beban yang begitu besar pada Akiko-san hanya demi
membuat aku dan Ayase-san bisa menghabiskan hari-hari kami di sekolah dengan
damai? Tentu saja, ini bukan sesuatu yang harus aku putuskan sendiri. Aku harus
berdiskusi dengan Ayase-san. Jadi aku berhenti duduk-duduk di kamarku seperti biasanya
dan menunggu kepulangannya.
Jujur saja, permasalahan ini
masih diperdebatkan apakah menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan melihat
smartphone-mu adalah hal yang baik atau buruk. Aku sedang membaca daftar e-book yang belum aku baca, dan tepat
ketika aku menyelesaikan e-book yang kedua,
aku mendengar suara pintu depan terbuka, diikuti dengan salam 'Aku pulang' yang kecil. Itu pasti Ayase-san. Dia mungkin
mempertimbangkan kemungkinan kalau aku dan Ayahku sudah tertidur, itulah
sebabnya dia menjaga suaranya tetap kecil. Yah, karena Ayahku harus bekerja
lembur, jadi Ia belum pulang. Ketika Ayase-san memasuki ruang tamu, dia tampak
sedikit terkejut.
“Kamu belum makan?”
“Ya, masih belum. Kamu mau
makan malam sekarang, ‘kan? Bagaimana kalau kita makan bersama? Sudah lama kita
tidak melakukan itu.”
Ayase-san balas mengangguk.
“Kebetulan sekali. Sebenarnya
ada sesuatu yang ingin aku diskusikan denganmu …”
Baik Ayase-san dan aku terdiam
sejenak, lalu kami berdua berbicara pada saat yang sama.
““Tentang pertemuan orang
tua-guru ...””
Terkejut dengan pernyataan satu
sama lain, kami berdua sama-sama memalingkan pandangan kami. Dengan waktu yang
aneh seperti itu, kami berdua tidak bisa menahan ketawa kecil. Begitu ya, jadi
dia juga mengkhawatirkannya.
“Ayo kita bicarakan itu sambil
makan, oke?”
“Baiklah. Aku mau meletakkan
barang-barangku dulu di kamar. ”
Sembari menunggu Ayase-san
berganti pakaian, aku menghangatkan sup miso dan telur goreng dan menata meja.
Setelah kami berdua duduk, kami mulai makan dengan sumpit kami. Sejujurnya,
sejak aku mulai memasak sendiri, inilah yang membuatku paling gelisah. Mau tak
mau aku melihat pihak lain mencicipi makanannya dulu sebelum aku bisa makan apapun.
“Mm. Enak.” ujar Ayase-san
sambil menyantap telur goreng.
“Aku senang mendengarnya.”
“Secara tampilan, ini juga
terlihat menarik. Keterampilanmu semakin lebih baik. Apa kamu sengaja membiarkan
milikku setengah matang?”
“Aku pikir itu akan membuatnya
lebih mudah untuk makan.”
Baik Ayase-san dan Akiko-san
suka makan telur goreng mereka yang dibumbui dengan garam dan merica, sedangkan
aku dan Ayahku lebih suka dikasih kecap. Setelah melihat perbedaan selera kami,
kami menyerahkannya kepada orang lain untuk menambahkan bumbu, sehingga bagian
tengah meja kami berubah menjadi perjamuan bumbu yang berbeda. Sembari
mempertimbangkan itu, aku memutuskan untuk tidak membumbui telur ceplok selama
proses memasak.
Masalah bumbu sendiri sudah
selesai, tapi saat membahas mengenai rasa pada makanan yang sebenarnya bahkan
lebih rumit. Setelah mengamati Ayase-san dan kebiasaan makannya, aku perhatikan
kalau dia jelas lebih suka jika kuning telurnya tidak terlalu matang. Saat
sudah matang, dia akan memakannya dengan miso atau sup lainnya pada saat yang
bersamaan. Saat itulah aku sadar. Karena aku dan Ayahku memakan telur goreng
kami dengan kecap, tidak masalah jika kuning telurnya matang, tapi saat memakan
telur ceplok dengan telur kuning matang dengan bumbu garam dan merica saja,
rasanya bisa membuat mulutmu terasa kering.
“Kamu benar-benar memperhatikan
hal kecil semacam ini.”
“Tapi aku justru tidak
memperhatikan apa yang masih ada di dalam kulkas, jadi aku merasa tidak enakan.
Andai saja aku menyadari kalau isi kulkasnya kosong, aku akan pergi berbelanja
dalam perjalanan pulang. Jadi aku cuma menggunakan beberapa bawang hijau.”
“Ah, aku tidak memberitahumu
tentang itu.”
“Tidak, ini salahku karena
tidak memeriksanya. Walaupun aku tahu kalau kamu punya pekerjaan hari ini.”
“Tapi aku seharusnya—”
“Tidak, aku tidak—”
Kami saling bertukar pandang
dan sama-sama tersenyum masam.
“Jadi, mengenai pertemuan orang
tua-guru nanti,” aku mulai mengungkit topik utama percakapan ini. “Jika orang
lain mengetahui kalau kita bersaudara, itu akan menyebabkan banyak masalah—tapi
itu cuma keegoisan kita sendiri, tidak lebih.”
Ayase-san mengangguk setuju. Aku
terus melanjutkan.
“Itulah sebabnya, menurutku,
Akiko-san tidak perlu memaksakan dirinya untuk memikul beban yang lebih besar. Aku
merasa tidak enak mencuri waktu darinya pada dua hari yang berbeda.”
“Aku juga memikirkan betapa
egoisnya itu.”
“Aku pribadi tidak keberatan
jika orang lain mengetahui kalau kita bersaudara. Tapi ini bukan hanya
masalahku saja.”
Ayase-san mengangguk sekali
lagi.
“Jadi aku ingin membicarakan
ini denganmu.”
“Aku juga sama. Masalah ini
bukan sesuatu yang bisa aku putuskan sendiri. Tapi aku juga melihat Ibu bekerja
sangat keras sampai-sampai dia hampir pingsan.”
Jadi itu …
“Itu bahkan lebih menjadi
alasan kuat untuk tidak melakukannya. Aku tidak ingin Ayahku atau Akiko-san
memaksakan diri untuk melakukan sesuatu demi kita.”
“Ya. Kalau begitu sudah
diputuskan,” kata Ayase-san, dan aku mengangguk setuju.
Sekali lagi, aku menyadari
bahwa proses berpikir kami tentang berbagai macam hal anehnya terlihat serupa,
terutama pada saat-saat seperti ini.
“Jika Ayahku benar-benar sibuk,
mari lakukan pertemuan kita berdua di hari yang sama. Itu akan menghemat waktu
Akiko-san ke sekolah.”
“Setuju. Belum lagi—” gumam
Ayase-san. “Bukan hanya karena dia sibuk. Aku ingin kita berdua mengadakan
pertemuan orang tua-guru bersama, yang bisa dihadiri Ibu sekali.”
Suaranya begitu pelan, sampai-sampai
membuatku bertanya-tanya apa dia benar-benar ingin aku mendengar ini, atau itu
hanya keceplosan dari mulutnya.
“Baiklah, aku akan memberitahu
Ibu kalau begitu.”
“Beritahu Akiko-san kalau aku
mempunyai opini yang sama denganmu tentang hal itu.”
“Oke.”
Kami berdua selesai makan sekitar
waktu percakapan kami berakhir. Ayase-san mengambil peralatan makannya dan
hendak berdiri ketika aku menghentikannya.
“Aku yakin kalau kamu pasti
kelelahan karena pekerjaanmu, jadi biarkan aku yang mengurusnya.”
“Kalau begitu mari kita lakukan
bersama-sama,” ucap Ayase-san sambil tersenyum.
Sudah
berapa lama sejak kami berdiri bersebelahan untuk mencuci piring? Sambil
mengadakan percakapan yang samar dan sepele, kami berjalan berdampingan untuk
mencuci piring. Karena kami bahkan tidak menggunakan peralatan makan sebanyak
itu, mungkin juga tidak perlu mencucinya segala, tetapi aku hanya ingin
melakukannya. Atau mungkin, kebetulan juga Ayase-san merasakan hal yang sama?
Kami berbicara tentang
peristiwa yang terjadi di sekolah, buku yang kami baca akhir-akhir ini, dan
video lucu yang kami temukan di internet. Waktu mencuci piring kami selesai
dalam waktu singkat. Setelah Ayase-san selesai mencuci piring terakhir dengan
hati-hati, dia segera kembali ke kamarnya. Waktu yang membahagiakan ini hanya
berlangsung sesaat.
“Tapi lebih baik begini.”
Di dunia ini, pasti ada saudara
kandung yang akhirnya saling menjauh karena pemicu terkecil. Aku seharusnya
menganggap diriku beruntung bisa melakukan pekerjaan rumah bersama seperti ini.
Aku harus puas dengan ini—Atau begitulah yang kukatakan pada diriku sendiri.
Ketika orang tua kami
memutuskan untuk menikah lagi, mereka pasti sudah mempertimbangkan perasaan kami,
mencemaskan jika anak SMA dari lawan jenis akan baik-baik saja hidup bersama.
Aku yakin Ayahku dan Akiko-san sama-sama ingin kami berdua terlihat akrab. Aku
tidak tega mengkhianati harapan dan keinginan mereka. Itu sebabnya, aku harus
menekan perasaanku ini, menutupnya, dan menguburnya dalam-dalam. Bagaimanapun
juga, Ayase-san adalah adik tiriku.
<<=Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya=>>