Otonari no Tenshi-sama Vol.3 Chapter 6 Bahasa Indonesia

Chapter 06 — Tenshi-sama di Pelajaran Memasak

 

“Aku menantikan untuk bisa bekerja sama denganmu.”

Amane biasanya tidak pernah menerima senyum ala tenshi Mahiru, jadi ketika dia membalasnya dengan senyuman itu, hal tersebut membuat Amane ingin mengerang.

“… Iya, mohon kerja samanya juga,” jawabnya dengan suara pelan.

Biasanya, Amane tidak pernah mendekati Mahiru di sekolah, tapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa jika Mahiru sendiri yang mendekatinya. Tapi kali ini, itu bukan salah Mahiru, justru sebaliknya, itu hanya karena mereka telah memutuskan untuk bekerja sama sebagai teman sekelas.

Pelajaran tata boga di kelas mereka akan menampilkan bagian memasak dalam beberapa hari, dan murid-murid diberi kebebasan untuk membentuk kelompok mereka sendiri, serta bebas memilih hidangan apa yang akan dibuat. Namun, murid-murid diminta untuk menyusun menu yang menerapkan pelajaran mereka tentang nutrisi, dan mereka akan dinilai berdasarkan menu tersebut, sehingga mereka perlu menganggapnya serius.

Tentu saja ada banyak ajakan yang berharap bisa berada satu kelompok dengan Mahiru, tetapi dia sudah berpasangan dengan teman baiknya Chitose, dan Chitose mengajak pacarnya untuk bergabung, Itsuki. Amane yang mengira Ia akan berpasangan dengan Itsuki, secara alami ikut bersamanya, jadi dari sudut pandang orang luar, Ia sepertinya bersama Mahiru. Kelompok mereka mendapatkan lebih banyak perhatian, dan Amane sudah mulai merasakan kalau perutnya terasa nyeri.

Chitose, pelaku utama dalam arti antertentu, menyeringai nakal saat mengatur beberapa meja di dekatnya untuk mereka. “Ah-ha-ha! Kamu terlihat seperti orang yang baru menelan serangga, Amane!” ujarnya dengan tertawa.

“Memangnya ini salah siapa coba?” jawab Amane dengan ketus.

Begitu mereka selesai menyatukan empat meja dan mengambil tempat duduk masing-masing, Mahiru tersenyum padanya meminta maaf, membiarkan ekspresi ala tenshi-nya sedikit muncul. “Aku minta maaf karena mengganggu,” katanya dengan anggun.

“Tidak, ini bukan salahmu,” Amane bersikeras. “Aku hanya khawatir apa aku bakalan ditikam oleh tatapan tajam semua orang.”

“Sepertinya Amane tidak mensyukuri keberuntungannya,” Chitose menegur.

“Aku hanya tidak ingin memonopoli semua keberuntungan, cuma itu saja.”

Ini mungkin cuma imajinasinya saja, tapi Amane merasa kalau Ia mendengar suara-suara tidak senang diam-diam setuju dengannya. Cowok-cowok lain pasti berebut meminta kesempatan untuk bisa mencicipi makanan buatan tangan si tenshi, dan Amane tahu kalau mereka marah saat melihat kesempatan itu malah jatuh ke tangan seorang cowok yang bahkan tampaknya tidak begitu menginginkannya. Amane merasa kalau dirinya seolah-seolah ditusuk oleh tatapan berduri yang penuh dengan iri hati dan kecemburuan.

“Tapi kamu tahu, aku bakal kesulitan jika kamu tidak bersamaku, bro.” imbuh Itsuki. “Selain itu, semua kelompok lain terdiri dari teman dekat mereka.”

“Hmm…” Amane tidak bisa membantah hal itu.

Ia bukan orang buangan atau semacamnya, tapi Ia juga tidak populer atau cukup menarik untuk membuat dirinya bergabung ke dalam kelompok teman lain dan berharap bisa bergaul dengan baik. Akan sulit bagi Amane untuk meninggalkan kelompoknya yang sekarang setelah mereka berkumpul.

“Sudahlah, pasrah saja dan terima takdirmu!” Itsuki bersikeras. “Jika kamu masih rewel, mungkin kita seharusnya tidak pernah berteman sejak awal!”

“…Aku tidak pernah menyesal menjadi temanmu.”

“Oh, aku jadi tersedak!”

“Ugh, mungkin aku mulai menyesalinya,” Amane membalas.

Itsuki menekankan tangannya ke wajahnya. “Serangan ganda yang kejam!” Ia mengerang secara dramatis, dan kemudian tertawa terbahak-bahak.

Amane tidak terlalu terkesan dengan tingkah konyol temannya. Ia baru saja mulai berpikir untuk mencubit pipi Itsuki saat mendengar tawa pelan bercampur dengan desahan.

Mahiru tersenyum geli saat melihat obrolan mereka.

“Aku sudah memikirkan hal ini sebelumnya, tapi kalian berdua benar-benar sangat akrab, ya? Itu cukup membuatku iri.”

“… Yah, begitulah.”

Walaupun dia sudah tahu bahwa mereka adalah teman baik, Mahiru bertingkah seolah-olah itu adalah pertama kalinya dia menyebutkannya. Amane merasa tidak nyaman karena tidak bisa membalas dengan baik.

Amane bersyukur kalau dia masih terus berakting, tapi saat melihat Mahiru berpura-pura bahwa mereka orang asing seperti ini, hal itu juga membuatnya merasa malu dan frustrasi.

Chitose terus mendengarkan percakapan mereka, dan sambil menyeringai, dia menepuk bahu Mahiru. “Bergabunglah jika kamu mau, Mahirun!” bujuknya.

“Hei, hentikan itu,” tegur Amane. “Jangan coba melibatkan Shiina-san dalam kejenakaan liarmu. Kamu mengganggunya, tau. ”

“Tidak, bukan itu masalahnya,” Mahiru bersikeras.

“Lihat sendiri, ‘kan?”

“Jangan ngelunjak, Chitose.”

Chitose selalu berusaha mencomblangkan Amane dan Mahiru. Sebenarnya, dia lebih dari sekadar mendukungnya—setiap kali ada kesempatan untuk mengarahkan pembicaraan, biasanya dia berusaha keras untuk menyatukan mereka. Hanya itu saja tidak masalah saat mereka berada di apartemen Amane, tetapi saat ini mereka berada di sekolah, dan Amane ingin menghindari melakukan apa pun yang mungkin menarik perhatian.

“Baiklah, sudah cukup dengan itu,” Amane menyatakan. “Kita harus memilih menu kita.”

Mereka cuma punya waktu terbatas untuk memutuskan menu sebelum mereka harus menyajikan pilihan mereka, jadi Ia bersikeras membuat keputusan cepat dalam upaya untuk menunjukkan kepada seluruh kelas bahwa Ia tidak memiliki perasaan khusus terhadap Mahiru.

Chitose tampak agak tercengang. “Kamu ‘kan tidak bisa memasak, tapi kamu malah yang jadi sok ngatur?”

“Enak saja,” kata Amane dengan ketus. “Aku juga bisa memasak, kok … omelet, misalnya.”

“…Kamu mungkin menyebutnya omelet, tapi yang kamu buat pada dasarnya telur orak-arik,” bisik Mahiru pelan sehingga cuma orang dalam kelompoknya saja yang bisa mendengarnya, ucapan Mahiru membuat Itsuki dan Chitose tertawa terbahak-bahak. Amane yang masih waspada berada di depan umum, menatap Mahiru dengan pandangan mencela, tapi dia tidak terganggu sama sekali.

Ekspresinya terlalu mirip dengan senyum ala malaikatnya yang biasa, dan Amane berbalik dengan tajam. Chitose dan Itsuki menyeringai sekali lagi pada reaksinya, yang bahkan lebih tak tertahankan.

“Bagaimana denganmu, Akazawa-san?” tanya Mahiru. “Apa kamu bisa memasak?”

“Aku? …Yah, kemampuanku cukup lumayan untuk membuatku tetap hidup,” jawab Itsuki.

“Itsuki bisa melakukan banyak hal di sekitar rumah, lho,” imbuh Chitose.

Itsuki, yang entah bagaimana bisa melakukan sebagian besar tugas rumah jika Ia serius melakukannya, juga bisa menyiapkan makanan yang sempurna. Tentu saja, masakannya tidak sebagus masakan Mahiru, tapi hal itu sudah lebih dari cukup untuk bertahan hidup.

“Itu karena ibuku tidak pernah di rumah, karena sibuk dengan pekerjaannya. Aku bahkan terkadang pergi ke tempat Amane untuk membuatkan makanan untuknya. Meski sekarang aku sudah jarang melakukan itu lagi, sih?”

Itsuki melirik Amane dengan penuh seringai, dan Amane mengerutkan kening, tapi Itsuki hanya tersenyum.

“Kurasa itu benar.”

“…Jika kalian semua tidak diam, semua orang akan tahu betapa pecundangnya aku.”

“Kamu baru sadar?”

“Telat banget sadarnya, ‘kan?”

“Kalian berdua terlalu sinkron.”

“Heh-heh. Nah, sekarang kamu tidak perlu mengkhawatirkan tentang makanan, bukankah itu hebat?”

“…T-tunggu, aku juga sudah berusaha!” protes Amane. “Terkadang aku membuat sesuatu saat aku sendiri…”

Ia berpikir kalau tidak baik juga untuk menyerahkan semuanya kepada Mahiru, jadi pada akhir pekan atau ketika Mahiru tidak ada, Amane berusaha mencoba memasak. Tentu saja, dia tetap berpegang pada resep sederhana yang bisa dibuat orang awam.

Amane mulai tersipu, dan untuk beberapa alasan Mahiru tersenyum padanya dengan penuh kasih sayang dan memujinya. “Betapa mengagumkan.”

Ada makna menyakitkan yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Pipi jadi Amane berkedut saat mendengarnya.

Dia mungkin menggodanya karena menyadari betapa kerasnya perjuangan Amane dalam hal memasak. Dibandingkan dengan masakan Mahiru, usahanya yang lemah sebanding dengan usaha anak kecil. Mahiru mungkin geli dengan betapa mengerikan masakannya. Tapi Amane terus berusaha memperbaiki —ketika baru mulai, Ia tidak bisa melakukan apa pun untuk dirinya sendiri—dan Ia perlu mengatakannya.

“Baiklah, bagaimana kalau kita memutuskan menu untuk saat ini?” Mahiru menyarankan. “Nilai kita bergantung pada hal itu.”

Tanpa menggoda lebih jauh lagi tentang keadaan Amane yang tertekan, Mahiru, masih dengan senyum lembut, mengetuk lembar kerja menu yang harus mereka serahkan untuk menyelesaikan tugas.

Mahiru adalah juru masak terbaik di antara mereka, jadi kelompok itu diam-diam setuju untuk menempatkan Mahiru sebagai penanggung jawab. Meski Amane telah belajar membuat beberapa hal, Ia masih amatiran, terutama dalam hal membuat menu yang bergizi seimbang. Jadi wajar-wajar saja untuk mengikuti arahan Mahiru. Lagi pula, dia memilih menu untuk makan malamnya hampir setiap malam.

Setelah diskusi beberapa saat, kelompok tersebut memutuskan untuk membuat sanshoku soborodon, hidangan daging cincang, telur, dan sayuran yang disajikan di atas nasi, dengan sup miso dan salad mie plastik di sampingnya, ditambah jeli almond untuk pencuci mulut. Chitose menyeringai lebar pada menu.

Mahiru dengan santai memasukkan hidangan telur, mungkin karena dia tahu kalau Amane akan menyukainya. Fakta tersebut tidak luput dari perhatian Chitose serta Itsuki, dan Amane bersembunyi di balik lembar tugasnya untuk menghindari tatapan mengejek mereka.

 

◇◇◇◇

 

Dan kemudian, pada hari pelaksanaan pelajaran memasak, Amane menghela nafas lelah.

Ia seharusnya bekerja sebagai asisten Mahiru, tapi sebenarnya Mahirulah yang mengasuhnya. Amane berdiri di dekat Mahiru dan memperhatikannya mengenakan celemek, pemandangan yang sudah biasa Ia lihat.

“Aku mengandakan dukunganmu, ya, Fujimiya-san?” tutur Mahiru sambil tersenyum. Ini bukan skema licik Chitose. Kelompok mereka yang memutuskan bahwa Amane adalah yang paling tidak berguna dalam hal pekerjaan dapur. Ia bahkan memiliki rekor sebelumnya—Ia melukai jarinya tepat di depan Mahiru—jadi mereka berpikir sebaiknya tidak membiarkan Amane menangani sesuatu yang berhubungan langsung dengan masakan.

Amane bisa memahami alasan mereka, karena mereka sama-sama berniat menghindari pertumpahan darah, dan karena mereka ingin melakukan pekerjaan mereka dengan cepat, karena kelompok yang sudah selesai diperbolehkan untuk memulai makan siangnya, jadi Ia tidak membantah. Namun, Amane masih berusaha ngotot kalau dirinya “... tidak sepenuhnya tidak mampu.”

“…Apa kamu ngambek?” Mahiru bertanya diam-diam begitu selesai menyiapkan sayuran.

Saat menakar-nakar bumbu, tanpa memandang Mahiru, Amane menjawab, “Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya merasa seperti sedang dihakimi secara tidak adil.”

“Tidak ada yang menghakimimu. Hanya saja, yah ... um, Kamu tidak dapat menyangkal kalau kita semua bisa lebih efisien. ”

“Aku memang tidak bisa membantahnya.”

Tak perlu dipertanyakan lagi kalau Mahiru bisa memasak, dan Amane pernah menyantap masakan Itsuki sebelumnya, jadi Ia tahu bahwa Itsuki bisa menangani dirinya sendiri di dapur dengan baik, dan selama Chitose tidak melakukan sesuatu yang gila dengan bumbu, dia bisa menangani masakan dengan cukup baik. Amane tidak sepenuhnya tidak bisa memasak, tetapi secara objektif kemampuannya kurang bisa mengimbangi daripada mereka bertiga, jadi Ia tidak bisa benar-benar membantah jika mereka menggodanya pada saat itu.

“Jadi kupikir lebih baik menempatkanmu di area yang sesuai keahlianmu. Dan, Chitose-san cenderung suka bermain-main dengan bumbu , jadi kupikir sebaiknya kita serahkan itu padamu, Fujimiya-san ... Ini pekerjaan penting, tahu.”

“Itu tanggung jawab yang serius… atau itulah yang kupikirkan, tapi pada akhirnya aku tinggal mengikuti resepnya, ‘kan?”

“Mencegah kejutan Chitose sebelum itu terjadi juga merupakan pekerjaan penting.” Mahiru tertawa kecil, dan Amane melirik ke arah Chitose.

Dia sedang merebus nasi dalam panci sambil membersihkan setelah dia dan Itsuki menyiapkan jeli almond dan meletakkannya di kulkas. Sepertinya jeli itu disiapkan secara normal.

Chitose tidak memiliki selera yang muluk-muluk, tapi anehnya dia sangat menyukai rasa dan kejutan yang ekstrim, jadi Itsuki ditugaskan untuk mengawasinya untuk mencegah semua itu. Ditambah lagi, dengan cara ini dia bisa bekerja bersama pacarnya.

Sembari tertawa pelan, Mahiru mengeluarkan tauge dan wortel yang telah selesai direbus di keranjang mereka, jadi Amane mengeluarkan dua atau tiga lembar tisu dari gulungan yang ada di meja.

“Fujimiya-san?”

“Ya, aku mengerti.”

Mahiru lalu menaruh sayuran rebus di keranjang mereka, jadi Amane mendinginkannya sedikit dan menggunakan tisu untuk menghilangkan kelembapannya, lalu menempatkannya ke dalam mangkuk bumbu yang sudah Ia siapkan sebelumnya, bersama dengan mie plastik yang sudah dibilas dan potongan mentimun serta ham.

Mengingat kata-kata sambutan Mahiru bahwa memasak bukanlah hal yang sulit selama Ia menakarnya dengan benar dan memperhatikan instruksi, Amane melakukan tugasnya sesuai dengan resep. Sang koki telah menyerahkan tugas yang paling sederhana padanya, jadi tidak ada sesuatu yang bisa dibanggakan.

“Setelah aku mengaduk biji wijen, aku harus menaruh ini ke dalam kulkas, kan?” Tanya Amane.

“Itu benar, dan kemudian ...”

“Masukkan mie-nya dan keluarkan daging cincang.”

Nasi yang mendidih sudah hampir siap, jadi Amane pikir kalau Mahiru berencana untuk mengeluarkan mangkuknya sebelum nasinya terlalu dingin.

Mahiru mengawasi saat Amane menutupi mangkuk berisi salad mie dengan bungkus plastik dan menulis nomor tim mereka di atasnya. Rupanya, Ia melakukannya dengan benar, dan Mahiru mulai menyiapkan penggorengan tanpa melakukan koreksi apa pun.

Sayuran untuk sup miso sudah selesai dimasak, dan mereka hanya perlu melarutkan pasta miso. Chitose dan Itsuki telah memasukkan jeli almond ke dalam kulkas supaya dingin dan membeku, jadi yang tersisa hanyalah menyiapkan mangkuk nasi.

Sambil berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun di jalan, Amane menukar daging cincang dengan salad mie di kulkas dan kembali ke area kelompok mereka.

Saat berjalan kembali ke tempat kelompoknya sendiri, Amane melirik-lirik kelompok lain. Ada beberapa yang melakukannya dengan aman, dan ada juga kelompok yang saling bertengkar. Salah satu tim yang terdiri dari semua cowok sedang bermain-main dan membuang-buang bahan makanan, dan guru yang mengawasi pelajaran mandiri ini menatap tajam ke arah mereka.

Usai melihat itu membuatku menjadi bersyukur ada Mahiru bersama kelompokku.

Fakta bahwa kelompok Amane dapat melakukan pekerjaan mereka lebih lancar daripada tim lain adalah berkat kemahiran Mahiru dengan proses memasak dan juga karena mereka memilih menu yang tidak terlalu menuntut.

“Daripada pamer dengan menu yang rumit, akan lebih mudah membuat makanan yang bergizi dan tidak memakan banyak waktu. Makanan adalah sesuatu yang harus kamu buat setiap hari, jadi kamu tidak boleh terpaku pada hal-hal yang membuatmu lelah, ‘kan?”

Amane telah menanyakan alasannya tentang menu tersebut, dan begitulah jawaban Mahiru. Ia pikir itu cara berpikir yang rasional, proses berpikir khas Mahiru, yang membuatkan makan malam untuk mereka berdua setiap malam.

Dari sudut pandang Amane, bahkan menu sederhana ini membutuhkan banyak proses, jadi pelajaran memasak ini memberinya apresiasi baru terhadap kemampuan memasak Mahiru.

Merenungkan dengan serius pada dirinya sendiri bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas dapur pasti mengalami kesulitan membuat setiap makanan, Amane akhir kembali ke tempat kelompoknya, di mana Mahiru memberikan instruksi kepada Chitose. Keberadaan Itsuki tidak terlihat di mana pun, tapi Mahiru pasti mengerti pertanyaan tak terucapkannya dari sorot matanya, karena dia segera memberitahunya, “Aku meminta Akazawa-san untuk mengambil piring dari ruangan lain.” Dia pun melanjutkan, "Baiklah kalau begitu, aku mempercayakan dagingnya padamu.”

“Mengerti,” jawab Amane. “Masak sampai mengering, ‘kan?”

 “Itu benar. Terima kasih.”

Mahiru tampaknya sedang mengerjakan bagian kuning dan hijau dari mangkuk nasi tiga warna. Dia merebus air untuk merebus bayam saat memecahkan dan mengaduk telur. Mahiru telah selesai menyiapkan penggorengan untuk digunakan, meninggalkan Amane hanya dengan tugas sederhana untuk memasak campuran daging dan bumbu.

Saat Mahiru menggunakan kain untuk mengeringkan panci yang telah dia gunakan dan cuci, Chitose mengawasi Amane menggoreng daging dengan tatapan aneh di matanya. “…Kupikir kamu tidak bisa memasak?”

“Sudah kubilang, aku tidak sepenuhnya tidak bisa memasak. Aku cuma terlihat payah di sebelahnya; itu saja.”

Tugas yang ditugaskan kepadanya adalah merebus daging dan bumbu, mengaduk campuran dengan spatula kayu sampai uap airnya menguap. Amane merasa tersinggung karena Chitose mengira kalau Ia bahkan tidak bisa memasak sebatas ini. Ia bukannya karakter dari manga yang hasil masakannya akan menjadi arang.

Amane memperkirakan bahwa sebagian besar resep menjadi kacau ketika juru masak menggunakan terlalu banyak panas, mengatur waktu dengan buruk, atau menambahkan terlalu banyak bahan. Tetapi  kelompokmereka memiliki Mahiru untuk membimbing mereka, sehingga kelompok mereka sudah dijamin sukses.

“Kalau kamu harus tahu, aku hafal resepnya jadi aku takkan menghalanginya.”

“Kamu sungguh perhatian sekali, Amane.”

“Yah, jika aku tidak bisa melakukan sebanyak itu, orang lain akan membunuhku.”

Amane bisa merasakan tatapan tajam cowok-cowok lain yang mengarah ke dirinya dan hampir bisa mendengar pikiran mereka (...Apa Ia akan menikmati makanan buatan tangan tenshi tanpa perlu bersusah payah ...?) Jadi setidaknya Ia mencoba melakukan sesuatu.

Ia sepenuhnya sadar bahwa Ia tidak berbakat secara alami dalam memasak, jadi Amane mempelajari resepnya lebih serius daripada yang dia pelajari di buku teks, tetapi Mahiru menertawakannya. “Kamu tidak perlu menganggapnya terlalu serius,” katanya di rumah, tetapi Ia tahu kalau Ia harus siap untuk berjaga-jaga.

Amane memeriksa apakah dagingnya sudah berwarna kecoklatan dan mulai mengeluarkan aroma asin-manis, dan mengaduknya dengan tepat dengan spatula kayu agar tidak gosong.

Di sampingnya, Mahiru menggunakan kompor lain untuk memasak telur orak-arik. Amane merasa sedikit malu karena dia memasak lebih banyak dari jumlah biasanya karena dia tahu Amane sangat menyukai telur, tetapi Ia juga senang betapa perhatiannya Mahiru.

“Shiina-san, apa aku harus membiarkan ini sedikit lebih lama?” Ia bertanya.

“Itu benar,” jawab Mahiru. “Kamu harus membiarkannya sedikit lama lagi. Tapi itu akan menjadi kering jika kamu merebusnya terlalu lama, jadi tolong matikan apinya dalam waktu sekitar satu menit.”

“Mm, baiklah.” Amane mengangguk.

Sebagian besar uap airnya sudah hilang, jadi Amane mengaduk campuran itu dengan spatulanya agar tidak gosong sementara Mahiru kembali ke pekerjaannya sendiri tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Chitose memperhatikan Amane dan Mahiru dari samping, dan dia mengangkat bahu, terlihat sedikit kagum. “…Kamu tahu, kalian berdua sepertinya, yah, gimana bilangnya ya…? Kalian berdua seperti pa—”

“Chitose, tolong ambilkan sup misonya.”

“Eeep, ya, siap nyonya!”

Chitose menjerit konyol karena suatu alasan dan pergi untuk mengambil sup miso dari dalam kulkas.

Amane dengan cepat melihat ke arah Mahiru. “…Apa ada sesuatu terjadi?”

“Bukan apa-apa.”

Sepertinya itu tidak bukan apa-apa, tapi nampaknya Mahiru tidak mau menjelaskannya lebih jauh, jadi Amane menyerah untuk mendapatkan lebih banyak informasi darinya dan mematikan kompor yang Ia gunakan untuk menggoreng daging.

 

◇◇◇◇

 

Pada saat Mahiru selesai memasak telur dan mengiris serta membubui bayam yang sudah direbus dengan bumbu, Itsuki kembali dengan membawa piring.

“Bukannya kamu terlalu terlambat?”

“Ya, maaf. Beberapa orang dari kelompok lain datang untuk berbicara denganku.”

Itsuki tersenyum sembrono, tapi wajahnya benar-benar terlihat seperti sedang tidak bercanda. Ia bukan tipe orang yang membolos pada hal seperti ini, jadi Ia mungkin benar-benar berbicara dengan seseorang dan tidak bisa langsung melepaskan dirinya.

Tidak jelas dengan siapa Ia berbicara atau apa yang mereka bicarakan, tapi Amane merasa kalau itu ada hubungannya dengan Mahiru. Tanpa dia di dekatnya, teman sekelas mereka yang cemburu dapat berbicara dengan bebas, jadi mereka mungkin mengarahkan keluhan mereka pada Itsuki sebagai pengganti Amane. Tentu saja, ini semua cuma dugaannya saja, jadi Amane tidak benar-benar tahu dengan kebenarannya.

“Yah, pokoknya, aku sudah melakukan pekerjaanku, jadi…” Itsuki menunjuk ke nampan yang berisi jumlah piring dan mangkuk yang tepat.

Mahiru tersenyum lembut padanya. “Semuanya sudah siap. Mari kita atur dan ambil foto untuk laporan kita, lalu menikmatinya, oke?”

“Tentu saja!” Itsuki bersorak. “Aku sudah kelaparan.”

“Salahmu sendiri karena melewatkan sarapan, bukan?” Chitose berkomentar.

“Apa boleh buat, aku bangun kesiangan. Apa aku boleh mendapatkan porsi ekstra besar?”

“Aku tidak keberatan,” jawab Mahiru. “Aku akan mengambil salad mie sekarang, jadi tolong atur semuanya sementara itu."

Amane dengan cepat angkat bicara. “Kalau begitu aku akan pergi denganmu. Kita harus menaruh jeli almond dan masakan lainnya untuk difoto.”

Amane berkata Ia akan membantu, mengira kalau Mahiru akan kerepotan jika harus membawa makanan penutup juga, dan Mahiru mengangguk padanya dengan senyum tenangnya.

Meski sudah terlambat, tapi Amane baru menyadari kalau Ia seharusnya mengirim Chitose, sebagian besar untuk menyelesaikannya tanpa mengundang spekulasi yang tidak perlu, tapi nasi sudah menjadi bubur sekarang. Amane sengaja menjaga jarak di antara mereka saat menuju kulkas di belakang ruang kelas dapur.

Tak satu pun dari kelompok lain yang mempunyai kemampuan yang sama seperti Mahiru, jadi kebanyakan dari mereka belum selesai. Seperti biasa, beberapa kelompok hanya setengah hati mengerjakan pelajaran. Amane berpikir sepertinya mereka akan mendapatkan nilai yang buruk saat berjalan melewati mereka dengan acuh tak acuh.

Bahkan ada sekelompok cowok yang mengobrol dan bermain-main ketimbang memasak. Salah satu dari mereka memegang penggorengan di satu tangan dan tertawa ketika  mencondongkan tubuhnya dari meja dengan gerakan yang berlebihan—lalu menghalangi jalan seorang gadis yang membawa panci berisi sup.

Pada saat itu, Amane merasakan bahaya yang akan datang dan langsung menarik Mahiru ke sampingnya.


Beberapa detik kemudian, Ia mendengar percikan keras diikuti oleh bau susu yang samar dan meresap saat uap panas mengepul keluar.

Gadis itu pasti sedang membuat sup krim, mengingat setengah cangkir atau lebih cairan putih kental yang saat ini menyebar di lantai. Amane mengalihkan pandangannya untuk memastikan bahwa tidak ada yang memercik ke Mahiru.

“Shiina-san, apa kamu baik-baik saja?”

“…Ah, tidak, itu tidak mengenaiku, tapi…” Mahiru tampak membeku karena terkejut.

Gadis yang menumpahkan supnya tampak menyesal, dan wajah cowok dengan penggorengan yang menabraknya terlihat sangat pucat.

“Apa ada yang mengenaimu?” Amane bertanya pada gadis yang membawa sup itu.

“Ah, ti-tidak, aku baik-baik saja. Ma-Maafkan aku…!”

“Tidak apa-apa. Untungnya tidak ada yang mengenaiku atau Shiina-san juga. ”

Untungnya, Amane dengan cepat menyadarinya, dan baik Mahiru maupun dirinya sama sekali tidak terluka.

Ia dengan cepat melambaikan tangannya dan meyakinkan teman sekelasnya, yang telah mengatur panci di atas kompor untuk sementara waktu untuk meminta maaf, sambil melirik ke arah cowok yang bertabrakan dengannya.

Seperti yang diharapkan, cowok lain yang bercanda dengannya tadi langsung bungkam, mungkin karena mereka merasa bersalah. Ttapan mereka berkeliaran kemana-mana kecuali ke arah Mahiru.

“…Dengar, tidak ada salahnya kalau kalian sedikit bersemangat, tapi tolong jangan bermain-main di tempat yang ada api, pisau dan barang-barang berbahaya lainnya,” kata Amane. “Jika seseorang terluka dan meninggalkan bekas permanen, Kamu takkan pernah memaafkan diri sendiri. Syukurlah tidak ada yang terjadi kali ini, tapi apa yang akan kamu lakukan jika perbuatan kalian menyakiti salah satu gadis? Apa kalian berani bertanggung jawab untuk itu?”

Itu sama sekali bukan bercanda jika seseorang terluka—atau tersayat karena pisau—dan  mengalami insiden dengan bekas luka. Amane tidak akan keberatan jika Ia terluka sedikit, tetapi itu akan menjadi masalah serius jika Ia melukai orang lain, terutama seorang gadis.

Banyak gadis, dan bahkan banyak pria, akan sangat kecewa jika mereka mengalami cedera parah. Dan jika seseorang terluka parah dalam kecelakaan bodoh seperti ini, tidak aneh jika mereka menyimpan dendam.

Terlepas siapa pihak yang terluka adalah Mahiru atau gadis lain tidak masalah. Seseorang yang bertindak tidak bertanggung jawab yang dapat menyebabkan cedera pada orang lain membuat Amane marah, dan Ia merasa harus angkat berbicara.

Amane biasanya tidak banyak berbicara dan lebih suka menyendiri, jadi ketika cowok yang merasa bersalah, yang kelihatannya tidak menyangka akan dimarahi, melihat matanya yang menyipit dan mendengar nada suaranya yang tajam, Ia dengan cepat meminta maaf dengan putus asa.

“Ma-Maaf…”

Menyadari kalau cara berbicaranya terlalu keras, Ia kemungkinan besar akan menyebabkan perkelahian, Amane beralih ke nada suara yang lebih lembut.

“Kamu tidak perlu meminta maaf padaku, tapi kamu sebaiknya meminta maaf kepada Yamazaki-san, yang sudah kamu tabrak, dan Shiina-san, yang hampir terciprat. Pokoknya, lain kali lebih hati-hati. Dapur bisa menjadi tempat yang berbahaya.”

Kemudian Amane melihat ke arah Mahiru.

Ia baru menyadari kalau satu tangannya melingkari tubuh Mahiru, dan wajah Mahiru menjadi sedikit merah. Meskipun Ia merasa bersalah telah menyentuhnya seperti itu, sudah terlambat untuk mengkhawatirkannya sekarang, jadi Amane dengan lembut melepaskannya dan berhati-hati untuk tidak membuat wajah aneh sembari menunjuk ke arah kulkas.

“Shiina-san, aku minta maaf karena menyentuhmu tanpa izinmu. Silakan duluan dan bawa saladnya ke kelompok kita. Aku akan membantu membersihkan di sini.”

“Ti-Tidak usah; Aku mungkin terdesak, tapi akulah yang menumpahkan semuanya,” Yamazaki, gadis yang membawa sup krim, menjawab tergagap.

“Yah, bagaimanapun, aku juga terlibat, dan yang tersisa untuk dilakukan kelompokku sekarang ialah tinggal menikmati makanan. Ini takkan lama, jadi jangan khawatir tentang itu. ”

Dia hanya menumpahkan sedikit, jadi membersihkannya tidak akan memakan banyak waktu.

Setelah meyakinkan teman sekelasnya yang tertekan, Amane mendapat izin guru dan mengeluarkan beberapa lembar tisu dari gulungan di meja dan membersihkan tumpahan sup.

Sejumlah kecil cairan dengan cepat diserap oleh segenggam handuk. Tepat ketika Amane berpikir bahwa yang perlu dia lakukan sekarang hanyalah menyekanya dengan handuk basah, Mahiru muncul dari suatu tempat dengan kain lembab di tangan dan melakukan hal itu.

“Ini jauh lebih cepat jika kita bekerja sama,” gumamnya. Kemudian Mahiru tersenyum ala tenshi ke arah Amane, yang entah kenapa sangat meresahkan.

 

◇◇◇◇

 

“Selamat datang kembali!”

Setelah mereka selesai menyeka tumpahan sup, Amane dan Mahiru kembali ke meja mereka sambil membawa salad mie dan jeli almond sekitar lima menit lebih lambat dari yang diharapkan, dan Chitose menyambut mereka dengan seringai nakal.

Bagian Amane dan Mahiru, tanpa salad dan jelly, sudah diletakkan di atas meja, jadi Amane membagi porsi semua orang dari salad mie plastik ke dalam piring salad dan menghela nafas.

“Aku sangat lelah…,” Amane mengerang.

“Kamu tadi terlihat sangat keren, lo,” celoteh Itsuki. “Dan sangat berani juga.” Imbuhnya.

“Bukannya aku mencoba untuk mencoba cari kesempatan atau apa pun,” Amane bersikeras. “Aku cuma berusaha membuatnya menghindar dari cipratan sup, itu saja."

Ia tidak berniat untuk memeluk tenshi atau semacamnya. Dan meskipun tidak ada yang mengkritik keputusan sepersekian detiknya, beberapa cowok lain memang memberinya tatapan cemburu yang membuatnya tidak nyaman.

Adapun Mahiru, dia sedikit mengernyit pada Amane ketika mendengar apa yang Ia katakan. Hanya seseorang yang mengenalnya dengan baik akan memperhatikan ini.

“Yah, aku merasa kamu benar-benar menyelamatkanku. Terima kasih telah menahanku.”

“Aku melakukannya hanya karena celemek atau seragammu mungkin kotor, atau lebih buruk lagi, kulitmu ada yang terbakar. Orang itu juga tampak menyesalinya, jadi itu bagus.”

Seperti yang diharapkan, cowok yang menyebabkan tabrakan mengakui kesalahannya. Bagaimanapun, mereka berada di tempat di mana satu kesalahan kecil dapat mengakibatkan kecelakaan serius. Saat ini, cowok tersebut sedang mendapatkan amukan yang serius dari guru mereka.

Amane merasa puas karena pada akhirnya tidak ada yang terluka. Dan Ia juga tidak dalam bahaya. Ya, Ia sudah menyentuh Mahiru di mana semua orang bisa melihat, yang bisa jadi lebih buruk daripada terbakar oleh sup panas. Tapi menilai dari suasana di sekitar kelas, Ia sepertinya sudah dimaafkan atas kesalahan itu.

“Jadi, jika kamu bisa seberani itu dalam menghadapi bahaya,” komentar Itsuki, “lalu mengapa kamu biasanya bersikap pengecut?”

“Maaf, apak kamu tadi bilang sesuatu?” Terlihat jelas dari sorot mata Amane dan nada suaranya kalau Ia tidak tertarik untuk mendengar hal kasar apa pun yang akan dikatakan temannya.

“Bukan apa-apa,” balas Itsuki sambil menyeringai. “Pokoknya, kelompok kita sudah selesai membuat makan siang tanpa insiden, jadi mari kita ambil foto, oke?” Ia dengan cepat menyibukkan diri dengan mengutak-atik kamera di ponselnya.

Para siswa perlu memeriksa resep dan mengirimkan foto-foto mereka, sehingga mereka diizinkan untuk menggunakan ponsel mereka di kelas, tapi tidak untuk bermain-main. Itsuki jelas-jelas mengarahkan lensa kameranya ke orang-orang dan bukan makanan, jadi Amane memberinya mengkritik, tapi Chitose dengan bersemangat mendorongnya ke area jangkauan kamera.

“Kamu juga, Mahirun!” dia mendesak. “Ayo ke sini, ke sini.”

“Kalian…,” Amane mengerang.

Mahiru mengedipkan matanya secara dramatis, lalu menarik kursinya sedikit lebih dekat ke kursi Amane sambil tersenyum kecil.

Etto, Mahiru…? pikir Amane. Ia terkejut melihat Mahiru tersenyum nakal, meski itu untuk sesaat, sebelum dia tersenyum ala tenshi lagi.

“Ayo, kamu juga, Ikkun,” Chitose bersikeras.

“Tunggu, tapi nanti siapa yang akan mengambil fotonya…? Oh, kebetulan sekali, Yuuta! Tolong fotoin kelompok kami .”

“Hah, mendadak ada apa ini?”

Yuuta yang kebetulan lewat, mungkin dalam perjalanan kembali dari kulkas, membawa nampan berisi daging babi yang diiris tipis. Itsuki menyerahkan smartphone-nya ke tangan Yuuta, lalu berputar di belakang Amane dan menunjukkan tanda peace.

Yuuta tampak terkejut dengan permintaan yang begitu mendadak, tapi saat melihat hidangan yang sudah selesai berjejer di depan Amane, Ia sepertinya langsung paham.

Sambil tertawa, Ia berkata, “Kurasa apa boleh buat” dan menyiapkan smartphone. “Kalian benar-benar selesai dengan cepat, ya? Oke, aku akan ambil fotonya.”

“Itu karena kita gesit, cuy!”

“Tapi Ikkun, kamu hampir tidak melakukan apa-apa,” Chitose mengejek.

 “Ayolah jangan bilang begitu, kamu ‘kan sudah janji!” protes Itsuki.

Amane menertawakan protes konyol temannya. Kemudian Ia mendengar suara jepretan kamera. Ia pun membeku—Yuuta sudah mengambil foto mereka sebelum Ia sempat menenangkan diri.

“Tadi itu gambar yang bagus!” puji Yuuta, sebelum menyerahkan smartphone ke Itsuki dan menyelonong ke tempat kelompoknya sendiri.

“Wah, ini foto super langka dengan Amane yang sedang tersenyum,” komentar Itsuki.

“Itu karena Ia biasanya memasang wajah masam, ‘kan?” balas Chitose. “Kirimkan foto itu padaku juga, ya!”

“Siapp~. Shiina-san, kamu nanti akan mendapatkannya dari Chii, oke?”

Mahiru sudah bertukar informasi kontak dengan Itsuki, tetapi dalam situasi ini, dengan adanya teman-teman sekelas di sekitar mereka, mungkin lebih baik untuk tidak mengatakan itu dengan keras.

Lebih penting lagi, Amane merasa terganggu karena Itsuki mengirim foto itu ke Mahiru sebelum membiarkannya memeriksanya.

Amane melihat ke arah Mahiru dan mendapatkan senyuman yang menggemaskan, meskipun tertahan, sebagai tanggapan, jadi Amane tidak bisa melakukan apa-apa selain mengerang dan melihat mereka dengan cepat membagikan foto itu.

“…Tidak ada yang peduli seperti apa wajahku, jadi lebih baik kita makan saja,” gumam Amane, berharap untuk mengakhiri percakapan di sana.

Itsuki menyeringai lebar ke arahnya, jadi sebelum temannya bisa kembali ke tempat duduknya sendiri, Amane menepaknya dan berbalik dengan gusar.

Setelah itu, Amane mengisi wajahnya dengan isi mangkuk nasi yang disajikan oleh Itsuki dan Chitose dengan tumpukan telur, dan Ia dengan cepat melupakan rasa malu difoto dengan seringai lebar. Mahiru hanya tersenyum bahagia, tidak memperhatikan Itsuki atau Chitose.

 

◇◇◇◇

 

“Aaamaaanee, mulai hari ini kami juga mau ikut bergabung makan siang denganmu!”

Suatu hari, beberapa hari setelah pelajaran memasak, Chitose mendekatinya sambil mengenakan senyum berseri-seri, menyeret Mahiru yang ada di belakangnya. Pipi Amane berkedut saat melihat mereka berdua.

Amane dan Mahiru bertingkah kurang seperti kenalan dan lebih seperti teman biasa di sekitar satu sama lain. Mereka bahkan mulai mengobrol bersama di depan umum. Tapi Amane bimbang apakah makan bersama mungkin terlalu cepat.

Tentu, jika Chitose berpura-pura datang untuk makan bersama Itsuki, dan Mahiru ikut dengannya, mereka mungkin bisa dekat dengan asumsi bahwa Chitose hanya membawa seorang teman. Teman sekelas mereka seharusnya tidak menganggap kalau itu terlalu mencurigakan, pikir Amane.

Membiarkan dirinya ditarik oleh Chitose, Mahiru memasang senyum lembut dan bersikap seperti biasanya—seperti tenshi.

Tapi Amane sangat bermasalah karena Ia juga bisa melihat sesuatu yang sedikit nakal dalam ekspresi Mahiru. “Ah, mungkin aku harus pindah?” Ia bertanya.

Chitose jelas takkan membiarkan Amane kabur semudah itu. “Jangan khawatir tentang itu! Bagaimanapun juga, kamilah yang memutuskan untuk bergabung dengan mejamu. ”

Amane tidak bisa menahan perasaan bahwa ini adalah ide jahil Chitose. Tapi walau pun Ia memelototi Chitose yang tersenyum — tidak, menyeringai nakal, dia tampaknya tidak peduli sama sekali.

Dia pasti sudah merencanakan ini dengan Itsuki, atau mungkin Ia hanya senang makan dengan pacarnya, karena Itsuki memberikan senyumnya yang biasa dan berkata, “Ide bagus; ayo kita makan bareng.”

Amane layu di bawah tatapan cemburu yang berasal dari sekitar mereka.

“Oh, apakah Shirakawa-san dan Shiina-san mau makan bersama kita juga?” Yuuta bertanya sambil melangkah ke meja, sepertinya Ia berniat bergabung dengan mereka.

Perut Amane mulai merasa nyeri.

“Ya, kami berencana untuk makan siang bersama mereka hari ini,” kata Mahiru.

“Benarkah?!” Yuuta tersenyum. “Yah, sepertinya makan siang hari ini jadi sedikit  meriah!”

Amane tidak merasakan apa-apa selain bersemangat. Ia tidak kesal dengan Yuuta.

Ia benar-benar terkejut bahwa Mahiru datang untuk makan siang bersamanya.

Aku benar-benar kacau.

“… Menyerah saja, Amane; kami sudah mengepungmu,” Itsuki bergumam cukup pelan sehingga Yuuta tidak bisa mendengarnya, dan Amane menghela nafas lelah.

 

◇◇◇◇

 

“Apa kamu biasanya membawa makan siangmu ke sekolah, Shiina-san?” tanya Yuuta sambil menunjukkan kotak makan siang yang terbuka di depan Mahiru.

Amane dan Itsuki selalu membeli makan siang dari kantin, jadi Mahiru dan yang lainnya, yang biasanya makan di dalam kelas, bergabung dengan mereka.

Setelah masing-masing anak cowok kembali ke tempat duduk mereka sembari membawa makan siang yang mereka beli, Yuuta menjadi penasaran dengan kotak makan siang Mahiru.

Kebetulan, Mahiru sedang duduk tepat di seberang Amane. Chitose telah mendorongnya untuk duduk di kursi itu, dan tidak ada celah bagi Amane untuk melarikan diri.

“Ya, tapi biasanya itu cuma sisaan dari makan malam kemarin.”

Pada malam hari, Mahiru sering memasak makanan yang akan dikemas dengan baik ke dalam kotak makan siang, memisahkan sisa makanan menjadi satu porsi untuk sarapan Amane dan satu porsi untuk makan siangnya sendiri, jadi itulah yang dia bungkus hari ini juga. Amane bisa melihat bahwa kotak itu berisi bakso ayam teriyaki yang mereka makan kemarin.

“Wow, masakanmu sendiri?”

“Ya. Tapi sungguh, tidak ada sesuatu yang istimewa.”

“Mahirun, enggak boleh bohong begitu!” Chitose menyela. “Kamu sangat berbakat dalam memasak.”

“Bagaimana kalau kamu belajar dari Shiina-san, Chii?” Itsuki menambahkan. Chitose membalas dengan cemberut. “Ikkun, kamu sangat jahat!”

“Kamu hanya perlu membuatnya mengajarimu cara membumbui sesuatu. Kamu memang bisa memasak sendiri, tapi … kamu selalu memasukkan bumbu yang aneh-aneh.”

Seperti yang suda dia tunjukkan selama pelajaran memasak tempo hari, Chitose sebenarnya adalah seorang juru masak yang cukup mahir. Hanya saja keinginannya untuk berbuat jahil sering membuatnya bereksperimen dengan rasa yang tidak lazim. Itsuki sering mengeluh bahwa semuanya akan baik-baik saja, jika dia tidak memiliki kebiasaan buruk itu.

“Oke, aku akan meminta Mahirun untuk memulai pelajaran memasak pribadi. Kami akan membuat Amane menjadi penguji rasanya.”

“Kenapa malah aku?” jawab Amane. “Selain itu, itu akan membuat banyak masalah bagi Shiina-san. Jangan terlalu cepat mengatakan hal-hal seperti itu.”

“Sebenarnya, aku tidak merasa keberatan sama sekali,” kata Mahiru. “Kurasa aku akan menikmati memasak dengan Chitose lagi.”

“Yeaayyy! Mahirun, aku mencintaimu! Ini akan sangat menyenangkan! Kosongkan jadwalmu nanti ya, Amane!”

Chitose duduk di samping Mahiru, menempel erat padanya dengan senyum lebar.

Mahiru juga ikut tersenyum, saat dia mengangguk setuju. Amane merasa sangat tersentuh untuk menyadari bahwa mereka telah menjadi teman yang sangat dekat.

Chitose baru saja mengatur kencan dengan Mahiru, apalagi di hadapan semua orang dengan entengnya.

Entah itu bagian dari plot yang lebih besar, Amane tidak bisa mengatakannya. Tapi saat menoleh ke Chitose, Ia bisa melihat bahwa dia dan Mahiru sedang tersenyum ramah satu sama lain.

Wajah Amane berkedut saat menyadari kalau semua teman sekelas yang berada di dekat mereka menajamkan telinga, memancarkan gelombang kecemburuan yang tak terucapkan.

“…Hei, Itsuki?” tanya Amane.

“Hmm?”

“Kamu pikir aku punya kesempatan untuk selamat dari ini?”

“Eh, kurasa kamu akan baik-baik saja…mungkin.”

Ia mendapatkan tatapan iri dan dengki dari penggemar Mahiru, alias para cowok yang jatuh cinta padanya. Itu bukan hanya imajinasinya. Karena it saran dari Chitose, jadi mereka belum mengarahkan haus darah mereka sepenuhnya padanya, tapi Amane takut apa yang mungkin terjadi saat Mahiru menyarankan sesuatu, terutama setelah menjadi lebih jelas bahwa mereka adalah teman dekat.

Yuuta membungkuk. “Kedengarannya menyenangkan, ya, Fujimiya?”

“…Jika aku jadi kamu, aku mungkin bisa melewati ini tanpa membuat orang-orang cemburu.”

Jika Amane mempunyai wajah tampan dan berbakat seperti Yuuta, maka orang akan melihat dia dan Mahiru setara, dan bahkan jika mereka cemburu, mereka akan berpikir tidak ada yang bisa dilakukan dan menyerah begitu saja.

“Tapi aku juga iri padamu, Fujimiya.”

“Iri pada apa?”

“Segala macam hal,” kata Yuuta dengan samar, lalu tertawa. Amane tidak bisa melakukan apa-apa selain memiringkan kepalanya dengan bingung.

Itsuki menimpali, “Sekarang, tunggu sebentar. Mungkin ada makna di balik perkataan Yuuta.”

“Serius?”

“Sulit bagi orang untuk mengenali apa yang sudah mereka miliki. Dan mereka yang memilikinya tidak dapat memahami perasaan mereka yang tidak memilikinya. Selain itu, kita semua menginginkan apa yang tidak kita miliki. Chii pasti selalu merengek tentang apa yang tidak dia dapatkan.”

“Jadi, maksudnya?”

“Yah, ada satu hal yang Shiina-san punya tapi tidak dimiliki Chi…?”

“Kamu pasti sedang memikirkan sesuatu yang mesum, ‘kan?” Chitose menyela. Rupanya, dia mendengarkan percakapan mereka, dan meski dia tersenyum lebar, matanya terlihat tidak sedang tersenyum sama sekali.

Menyadari kalau topik tersebut adalah ranjau darat, Amane menutup mulutnya dan memperhatikan saat Chitose dan Itsuki mulai saling bercanda dan menepak satu sama lain. Amane lalu melirik ke arah Mahiru. Dia tampak bingung pada percakapan Chitose dan Itsuki, tapi saat pandangannya bertemu  dengan tatapan mata Amane, ekspresinya berubah menjadi senyuman.

Itu bukan senyum ala malaikatnya, tapi sesuatu yang lebih dekat dengan ekspresi bahagia namun malu yang biasa dia perlihatkan di apartemen, jadi Amane menjadi tersipu dan dengan cepat mengalihkan pandangannya.

 

◇◇◇◇

 

“Apa kamu terkejut?”

Di dalam apartemen Amane, Mahiru menyeringai nakal.

Amane hanya bisa membalasnya dengan senyuman masam. “Terkejut? Maksudku, aku pikir kamu datang dengan cukup ngotot. ”

“Aku tahu kalau aku pernah bilang akan melakukannya dengan perlahan-lahan, tetapi aku pikir sudah waktunya untuk melangkah ke langkah berikutnya. Aku juga baru-baru ini menyadari bahwa kami takkan membuat kemajuan apa pun jika aku tidak memojokanmu.”

“Itu benar.”

Dia mungkin ekstra agresif karena dia tahu Amane selalu siap untuk melarikan diri, tetapi dalam situasi itu, Ia telah dikepung dan tidak bisa lolos dengan mudah.

Amane terkejut karena Ia tidak menyangka kalau Mahiru bisa begitu memaksa, tetapi mereka hanya berbicara. Dia tidak mencoba menyentuhnya atau apa pun, jadi pikirannya sedikit tenang.

Jika Mahiru keceplosan menyentuhnya dengan polos dan santai seperti yang biasa dia lakukan , tak diraghukan lagi kalau tatapan kecemburuan yang mematikan akan tertuju padanya. Amane bergantung padanya, dan Mahiru mempercayai Amane lebih dari siapa pun, tetapi teman sekelas mereka tidak mengetahui tentang semua itu.

“Aku mencoba yang terbaik untuk melakukannya sedikit demi sedikit, sehingga tidak terlalu banyak mengguncang rutinitasmu. Tapi Amane-kun, jika ada sesuatu yang mengganggumu, tolong beritahu aku, oke?”

Mahiru sangat menyadari popularitasnya. Amane tahu dia bersusah payah untuk tidak menjadi terlalu ramah dengannya terlalu cepat, semua itu supaya teman sekelas mereka tidak cemburu. Ciri khas pemikiran Mahiru—kekhawatiran pertamanya adalah melindungi kehidupan sehari-hari Amane.

Namun, Amane tidak dapat menyangkal bahwa, kali ini, Ia merasa bahwa tindakan  Chitose sudah keterlaluan. Namun, nasi sudah menjadi bubur, jadi Ia hanya harus lebih berhati-hati untuk bergerak maju.

“Yah, untuk saat ini tidak apa-apa …,” kata Amane. “Meski, aku mendapatkan tatapan iri dari teman sekelas kita.”

“Oh benarkah? Itu … Apa kamu membenci itu…?”

Rupanya, dia masih khawatir tentang fakta bahwa Amane cemberut pada awalnya.

“Tapi sekarang aku mengerti kamu kesepian. Kami salah karena sudah meninggalkan seorang teman, dan itu jelas berat bagimu.”

“… teman, ya?”

“Hmm?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Sepertinya ada sesuatu yang mengganggunya, tapi Mahiru tampaknya tidak ingin membicarakannya. Ketika dia berbalik, Amane menyadari bahwa Ia pasti telah melakukan sesuatu untuk meredam kegembiraannya yang tinggi.

Amane lalu mengulurkan tangan dan membelai rambut Mahiru.

“… Jangan kira kalau kamu bisa menyelesaikan semuanya hanya dengan mengelus kepalaku beberapa kali, kan?”

“Tidak, tapi kupikir itu bisa membuatmu senang.”

“Yah, memang sih, tapi… tolong jangan lakukan itu pada gadis lain saat kamu mencoba untuk memperbaiki keadaan.”

“Aku takkan melakukannya pada siapa pun selain kamu, Mahiru…”

Dari aawal, satu-satunya gadis lain yang berteman denganku adalah Chitose. Dan mana mungkin aku melakukan ini dengannya. Selain itu, aku tidak berpikir itu akan membuatnya sangat bahagia. Tidak, Mahiru adalah satu-satunya gadis yang pernah melakukan ini denganku—dan satu-satunya orang yang aku inginkan. Dia satu-satunya yang ingin kumanjakan.

Amane mengira dia telah menjelaskan bahwa Ia serius. Tapi Mahiru masih terlihat kesal, dan dia meninju ke salah satu bantal.

Amane mulai menarik tangannya ke belakang dan terkejut ketika dia menanduknya di lengan atas. Itu tidak sakit, tapi Ia masih terkejut dengan bagaimana Mahiru menjadi lebih agresif akhir-akhir ini.

“…Amane-kun no baka.”

“Kenapa kamu mengatakan itu?”

“Harus sampai kapan aku harus berusaha keras…?”

“Aku—aku tidak begitu mengerti apa yang kamu katakan, tapi kamu akan kelelahan jika kamu mencoba sesuatu terlalu keras, jadi kamu mungkin harus santai …”

“Jika aku tidak mendorongmu, kita tidak akan pernah berhasil."

Mahiru tampak sedikit kesal saat Ia mengintip dari atas bahunya, namun Amane pikir Ia bisa melihat rasa malu dan sentuhan antisipasi di matanya yang berkilauan.

Amane tidak bisa memaksa dirinya untuk menatap tatapannya. “Se-Sepertinya ada sesuatu yang kamu inginkan dariku.”

“…Aku hanya ingin apa yang terjadi selanjutnya…”

Selanjutnya-?

Mahiru pasti menginginkan sesuatu yang lebih dari Amane, tetapi pada saat ini, dia tampaknya tidak membuat permintaan tambahan, jadi untuk saat ini, Amane memutuskan untuk terus membelai kepalanya dengan lembut dan melakukan segala upaya untuk menyenangkannya.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama