Chapter 06 — Tenshi-sama di Pelajaran Memasak
“Aku menantikan untuk bisa
bekerja sama denganmu.”
Amane biasanya tidak pernah
menerima senyum ala tenshi Mahiru, jadi ketika dia membalasnya dengan senyuman
itu, hal tersebut membuat Amane ingin mengerang.
“… Iya, mohon kerja samanya
juga,” jawabnya dengan suara pelan.
Biasanya, Amane tidak pernah
mendekati Mahiru di sekolah, tapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa jika Mahiru
sendiri yang mendekatinya. Tapi kali ini, itu bukan salah Mahiru, justru
sebaliknya, itu hanya karena mereka telah memutuskan untuk bekerja sama sebagai
teman sekelas.
Pelajaran tata boga di kelas
mereka akan menampilkan bagian memasak dalam beberapa hari, dan murid-murid
diberi kebebasan untuk membentuk kelompok mereka sendiri, serta bebas memilih
hidangan apa yang akan dibuat. Namun, murid-murid diminta untuk menyusun menu
yang menerapkan pelajaran mereka tentang nutrisi, dan mereka akan dinilai
berdasarkan menu tersebut, sehingga mereka perlu menganggapnya serius.
Tentu saja ada banyak ajakan
yang berharap bisa berada satu kelompok dengan Mahiru, tetapi dia sudah berpasangan
dengan teman baiknya Chitose, dan Chitose mengajak pacarnya untuk bergabung,
Itsuki. Amane yang mengira Ia akan berpasangan dengan Itsuki, secara alami ikut
bersamanya, jadi dari sudut pandang orang luar, Ia sepertinya bersama Mahiru.
Kelompok mereka mendapatkan lebih banyak perhatian, dan Amane sudah mulai
merasakan kalau perutnya terasa nyeri.
Chitose, pelaku utama dalam
arti antertentu, menyeringai nakal saat mengatur beberapa meja di dekatnya
untuk mereka. “Ah-ha-ha! Kamu terlihat seperti orang yang baru menelan
serangga, Amane!” ujarnya dengan tertawa.
“Memangnya ini salah siapa
coba?” jawab Amane dengan ketus.
Begitu mereka selesai
menyatukan empat meja dan mengambil tempat duduk masing-masing, Mahiru
tersenyum padanya meminta maaf, membiarkan ekspresi ala tenshi-nya sedikit
muncul. “Aku minta maaf karena mengganggu,” katanya dengan anggun.
“Tidak, ini bukan salahmu,”
Amane bersikeras. “Aku hanya khawatir apa aku bakalan ditikam oleh tatapan
tajam semua orang.”
“Sepertinya Amane tidak
mensyukuri keberuntungannya,” Chitose menegur.
“Aku hanya tidak ingin
memonopoli semua keberuntungan, cuma itu saja.”
Ini mungkin cuma imajinasinya
saja, tapi Amane merasa kalau Ia mendengar suara-suara tidak senang diam-diam
setuju dengannya. Cowok-cowok lain pasti berebut meminta kesempatan untuk bisa
mencicipi makanan buatan tangan si tenshi, dan Amane tahu kalau mereka marah
saat melihat kesempatan itu malah jatuh ke tangan seorang cowok yang bahkan
tampaknya tidak begitu menginginkannya. Amane merasa kalau dirinya
seolah-seolah ditusuk oleh tatapan berduri yang penuh dengan iri hati dan
kecemburuan.
“Tapi kamu tahu, aku bakal
kesulitan jika kamu tidak bersamaku, bro.”
imbuh Itsuki. “Selain itu, semua kelompok lain terdiri dari teman dekat
mereka.”
“Hmm…” Amane tidak bisa
membantah hal itu.
Ia bukan orang buangan atau
semacamnya, tapi Ia juga tidak populer atau cukup menarik untuk membuat dirinya
bergabung ke dalam kelompok teman lain dan berharap bisa bergaul dengan baik.
Akan sulit bagi Amane untuk meninggalkan kelompoknya yang sekarang setelah
mereka berkumpul.
“Sudahlah, pasrah saja dan terima
takdirmu!” Itsuki bersikeras. “Jika kamu masih rewel, mungkin kita seharusnya
tidak pernah berteman sejak awal!”
“…Aku tidak pernah menyesal
menjadi temanmu.”
“Oh, aku jadi tersedak!”
“Ugh, mungkin aku mulai
menyesalinya,” Amane membalas.
Itsuki menekankan tangannya ke
wajahnya. “Serangan ganda yang kejam!” Ia mengerang secara dramatis, dan kemudian
tertawa terbahak-bahak.
Amane tidak terlalu terkesan
dengan tingkah konyol temannya. Ia baru saja mulai berpikir untuk mencubit pipi
Itsuki saat mendengar tawa pelan bercampur dengan desahan.
Mahiru tersenyum geli saat
melihat obrolan mereka.
“Aku sudah memikirkan hal ini
sebelumnya, tapi kalian berdua benar-benar sangat akrab, ya? Itu cukup
membuatku iri.”
“… Yah, begitulah.”
Walaupun dia sudah tahu bahwa
mereka adalah teman baik, Mahiru bertingkah seolah-olah itu adalah pertama
kalinya dia menyebutkannya. Amane merasa tidak nyaman karena tidak bisa
membalas dengan baik.
Amane bersyukur kalau dia masih
terus berakting, tapi saat melihat Mahiru berpura-pura bahwa mereka orang asing
seperti ini, hal itu juga membuatnya merasa malu dan frustrasi.
Chitose terus mendengarkan
percakapan mereka, dan sambil menyeringai, dia menepuk bahu Mahiru.
“Bergabunglah jika kamu mau, Mahirun!” bujuknya.
“Hei, hentikan itu,” tegur
Amane. “Jangan coba melibatkan Shiina-san dalam kejenakaan liarmu. Kamu
mengganggunya, tau. ”
“Tidak, bukan itu masalahnya,”
Mahiru bersikeras.
“Lihat sendiri, ‘kan?”
“Jangan ngelunjak, Chitose.”
Chitose selalu berusaha
mencomblangkan Amane dan Mahiru. Sebenarnya, dia lebih dari sekadar mendukungnya—setiap
kali ada kesempatan untuk mengarahkan pembicaraan, biasanya dia berusaha keras
untuk menyatukan mereka. Hanya itu saja tidak masalah saat mereka berada di
apartemen Amane, tetapi saat ini mereka berada di sekolah, dan Amane ingin
menghindari melakukan apa pun yang mungkin menarik perhatian.
“Baiklah, sudah cukup dengan
itu,” Amane menyatakan. “Kita harus memilih menu kita.”
Mereka cuma punya waktu
terbatas untuk memutuskan menu sebelum mereka harus menyajikan pilihan mereka,
jadi Ia bersikeras membuat keputusan cepat dalam upaya untuk menunjukkan kepada
seluruh kelas bahwa Ia tidak memiliki perasaan khusus terhadap Mahiru.
Chitose tampak agak tercengang.
“Kamu ‘kan tidak bisa memasak, tapi kamu malah yang jadi sok ngatur?”
“Enak saja,” kata Amane dengan
ketus. “Aku juga bisa memasak, kok … omelet, misalnya.”
“…Kamu mungkin menyebutnya
omelet, tapi yang kamu buat pada dasarnya telur orak-arik,” bisik Mahiru pelan
sehingga cuma orang dalam kelompoknya saja yang bisa mendengarnya, ucapan
Mahiru membuat Itsuki dan Chitose tertawa terbahak-bahak. Amane yang masih
waspada berada di depan umum, menatap Mahiru dengan pandangan mencela, tapi dia
tidak terganggu sama sekali.
Ekspresinya terlalu mirip
dengan senyum ala malaikatnya yang biasa, dan Amane berbalik dengan tajam.
Chitose dan Itsuki menyeringai sekali lagi pada reaksinya, yang bahkan lebih
tak tertahankan.
“Bagaimana denganmu, Akazawa-san?”
tanya Mahiru. “Apa kamu bisa memasak?”
“Aku? …Yah, kemampuanku cukup
lumayan untuk membuatku tetap hidup,” jawab Itsuki.
“Itsuki bisa melakukan banyak
hal di sekitar rumah, lho,” imbuh Chitose.
Itsuki, yang entah bagaimana
bisa melakukan sebagian besar tugas rumah jika Ia serius melakukannya, juga
bisa menyiapkan makanan yang sempurna. Tentu saja, masakannya tidak sebagus masakan
Mahiru, tapi hal itu sudah lebih dari cukup untuk bertahan hidup.
“Itu karena ibuku tidak pernah
di rumah, karena sibuk dengan pekerjaannya. Aku bahkan terkadang pergi ke tempat
Amane untuk membuatkan makanan untuknya. Meski sekarang aku sudah jarang
melakukan itu lagi, sih?”
Itsuki melirik Amane dengan
penuh seringai, dan Amane mengerutkan kening, tapi Itsuki hanya tersenyum.
“Kurasa itu benar.”
“…Jika kalian semua tidak diam,
semua orang akan tahu betapa pecundangnya aku.”
“Kamu baru sadar?”
“Telat banget sadarnya, ‘kan?”
“Kalian berdua terlalu
sinkron.”
“Heh-heh. Nah, sekarang kamu
tidak perlu mengkhawatirkan tentang makanan, bukankah itu hebat?”
“…T-tunggu, aku juga sudah
berusaha!” protes Amane. “Terkadang aku membuat sesuatu saat aku sendiri…”
Ia berpikir kalau tidak baik
juga untuk menyerahkan semuanya kepada Mahiru, jadi pada akhir pekan atau
ketika Mahiru tidak ada, Amane berusaha mencoba memasak. Tentu saja, dia tetap
berpegang pada resep sederhana yang bisa dibuat orang awam.
Amane mulai tersipu, dan untuk
beberapa alasan Mahiru tersenyum padanya dengan penuh kasih sayang dan
memujinya. “Betapa mengagumkan.”
Ada makna menyakitkan yang
tersembunyi di balik kata-kata itu. Pipi jadi Amane berkedut saat mendengarnya.
Dia mungkin menggodanya karena
menyadari betapa kerasnya perjuangan Amane dalam hal memasak. Dibandingkan
dengan masakan Mahiru, usahanya yang lemah sebanding dengan usaha anak kecil.
Mahiru mungkin geli dengan betapa mengerikan masakannya. Tapi Amane terus berusaha
memperbaiki —ketika baru mulai, Ia tidak
bisa melakukan apa pun untuk dirinya sendiri—dan Ia perlu mengatakannya.
“Baiklah, bagaimana kalau kita memutuskan
menu untuk saat ini?” Mahiru menyarankan. “Nilai kita bergantung pada hal itu.”
Tanpa menggoda lebih jauh lagi
tentang keadaan Amane yang tertekan, Mahiru, masih dengan senyum lembut,
mengetuk lembar kerja menu yang harus mereka serahkan untuk menyelesaikan
tugas.
Mahiru adalah juru masak
terbaik di antara mereka, jadi kelompok itu diam-diam setuju untuk menempatkan
Mahiru sebagai penanggung jawab. Meski Amane telah belajar membuat beberapa
hal, Ia masih amatiran, terutama dalam hal membuat menu yang bergizi seimbang.
Jadi wajar-wajar saja untuk mengikuti arahan Mahiru. Lagi pula, dia memilih
menu untuk makan malamnya hampir setiap malam.
Setelah diskusi beberapa saat,
kelompok tersebut memutuskan untuk membuat sanshoku
soborodon, hidangan daging cincang, telur, dan sayuran yang disajikan di
atas nasi, dengan sup miso dan salad mie plastik di sampingnya, ditambah jeli
almond untuk pencuci mulut. Chitose menyeringai lebar pada menu.
Mahiru dengan santai memasukkan
hidangan telur, mungkin karena dia tahu kalau Amane akan menyukainya. Fakta
tersebut tidak luput dari perhatian Chitose serta Itsuki, dan Amane bersembunyi
di balik lembar tugasnya untuk menghindari tatapan mengejek mereka.
◇◇◇◇
Dan kemudian, pada hari
pelaksanaan pelajaran memasak, Amane menghela nafas lelah.
Ia seharusnya bekerja sebagai
asisten Mahiru, tapi sebenarnya Mahirulah yang mengasuhnya. Amane berdiri di
dekat Mahiru dan memperhatikannya mengenakan celemek, pemandangan yang sudah
biasa Ia lihat.
“Aku mengandakan dukunganmu, ya,
Fujimiya-san?” tutur Mahiru sambil tersenyum. Ini bukan skema licik Chitose.
Kelompok mereka yang memutuskan bahwa Amane adalah yang paling tidak berguna
dalam hal pekerjaan dapur. Ia bahkan memiliki rekor sebelumnya—Ia melukai jarinya tepat di depan Mahiru—jadi
mereka berpikir sebaiknya tidak membiarkan Amane menangani sesuatu yang
berhubungan langsung dengan masakan.
Amane bisa memahami alasan
mereka, karena mereka sama-sama berniat menghindari pertumpahan darah, dan
karena mereka ingin melakukan pekerjaan mereka dengan cepat, karena kelompok
yang sudah selesai diperbolehkan untuk memulai makan siangnya, jadi Ia tidak
membantah. Namun, Amane masih berusaha ngotot kalau dirinya “... tidak
sepenuhnya tidak mampu.”
“…Apa kamu ngambek?” Mahiru
bertanya diam-diam begitu selesai menyiapkan sayuran.
Saat menakar-nakar bumbu, tanpa
memandang Mahiru, Amane menjawab, “Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya merasa
seperti sedang dihakimi secara tidak adil.”
“Tidak ada yang menghakimimu.
Hanya saja, yah ... um, Kamu tidak dapat menyangkal kalau kita semua bisa lebih
efisien. ”
“Aku memang tidak bisa
membantahnya.”
Tak perlu dipertanyakan lagi
kalau Mahiru bisa memasak, dan Amane pernah menyantap masakan Itsuki
sebelumnya, jadi Ia tahu bahwa Itsuki bisa menangani dirinya sendiri di dapur
dengan baik, dan selama Chitose tidak melakukan sesuatu yang gila dengan bumbu,
dia bisa menangani masakan dengan cukup baik. Amane tidak sepenuhnya tidak bisa
memasak, tetapi secara objektif kemampuannya kurang bisa mengimbangi daripada
mereka bertiga, jadi Ia tidak bisa benar-benar membantah jika mereka
menggodanya pada saat itu.
“Jadi kupikir lebih baik menempatkanmu
di area yang sesuai keahlianmu. Dan, Chitose-san cenderung suka bermain-main
dengan bumbu , jadi kupikir sebaiknya kita serahkan itu padamu, Fujimiya-san ...
Ini pekerjaan penting, tahu.”
“Itu tanggung jawab yang
serius… atau itulah yang kupikirkan, tapi pada akhirnya aku tinggal mengikuti
resepnya, ‘kan?”
“Mencegah kejutan Chitose
sebelum itu terjadi juga merupakan pekerjaan penting.” Mahiru tertawa kecil,
dan Amane melirik ke arah Chitose.
Dia sedang merebus nasi dalam
panci sambil membersihkan setelah dia dan Itsuki menyiapkan jeli almond dan
meletakkannya di kulkas. Sepertinya jeli itu disiapkan secara normal.
Chitose tidak memiliki selera
yang muluk-muluk, tapi anehnya dia sangat menyukai rasa dan kejutan yang
ekstrim, jadi Itsuki ditugaskan untuk mengawasinya untuk mencegah semua itu.
Ditambah lagi, dengan cara ini dia bisa bekerja bersama pacarnya.
Sembari tertawa pelan, Mahiru
mengeluarkan tauge dan wortel yang telah selesai direbus di keranjang mereka,
jadi Amane mengeluarkan dua atau tiga lembar tisu dari gulungan yang ada di
meja.
“Fujimiya-san?”
“Ya, aku mengerti.”
Mahiru lalu menaruh sayuran
rebus di keranjang mereka, jadi Amane mendinginkannya sedikit dan menggunakan
tisu untuk menghilangkan kelembapannya, lalu menempatkannya ke dalam mangkuk
bumbu yang sudah Ia siapkan sebelumnya, bersama dengan mie plastik yang sudah
dibilas dan potongan mentimun serta ham.
Mengingat kata-kata sambutan
Mahiru bahwa memasak bukanlah hal yang sulit selama Ia menakarnya dengan benar
dan memperhatikan instruksi, Amane melakukan tugasnya sesuai dengan resep. Sang
koki telah menyerahkan tugas yang paling sederhana padanya, jadi tidak ada
sesuatu yang bisa dibanggakan.
“Setelah aku mengaduk biji
wijen, aku harus menaruh ini ke dalam kulkas, kan?” Tanya Amane.
“Itu benar, dan kemudian ...”
“Masukkan mie-nya dan keluarkan
daging cincang.”
Nasi yang mendidih sudah hampir
siap, jadi Amane pikir kalau Mahiru berencana untuk mengeluarkan mangkuknya
sebelum nasinya terlalu dingin.
Mahiru mengawasi saat Amane
menutupi mangkuk berisi salad mie dengan bungkus plastik dan menulis nomor tim
mereka di atasnya. Rupanya, Ia melakukannya dengan benar, dan Mahiru mulai
menyiapkan penggorengan tanpa melakukan koreksi apa pun.
Sayuran untuk sup miso sudah
selesai dimasak, dan mereka hanya perlu melarutkan pasta miso. Chitose dan
Itsuki telah memasukkan jeli almond ke dalam kulkas supaya dingin dan membeku,
jadi yang tersisa hanyalah menyiapkan mangkuk nasi.
Sambil berhati-hati agar tidak
menabrak siapa pun di jalan, Amane menukar daging cincang dengan salad mie di
kulkas dan kembali ke area kelompok mereka.
Saat berjalan kembali ke tempat
kelompoknya sendiri, Amane melirik-lirik kelompok lain. Ada beberapa yang
melakukannya dengan aman, dan ada juga kelompok yang saling bertengkar. Salah
satu tim yang terdiri dari semua cowok sedang bermain-main dan membuang-buang
bahan makanan, dan guru yang mengawasi pelajaran mandiri ini menatap tajam ke
arah mereka.
… Usai melihat itu membuatku menjadi bersyukur ada Mahiru bersama
kelompokku.
Fakta bahwa kelompok Amane
dapat melakukan pekerjaan mereka lebih lancar daripada tim lain adalah berkat
kemahiran Mahiru dengan proses memasak dan juga karena mereka memilih menu yang
tidak terlalu menuntut.
“Daripada
pamer dengan menu yang rumit, akan lebih mudah membuat makanan yang bergizi dan
tidak memakan banyak waktu. Makanan adalah sesuatu yang harus kamu buat setiap
hari, jadi kamu tidak boleh terpaku pada hal-hal yang membuatmu lelah, ‘kan?”
Amane telah menanyakan
alasannya tentang menu tersebut, dan begitulah jawaban Mahiru. Ia pikir itu
cara berpikir yang rasional, proses berpikir khas Mahiru, yang membuatkan makan
malam untuk mereka berdua setiap malam.
Dari sudut pandang Amane,
bahkan menu sederhana ini membutuhkan banyak proses, jadi pelajaran memasak ini
memberinya apresiasi baru terhadap kemampuan memasak Mahiru.
Merenungkan dengan serius pada
dirinya sendiri bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas dapur pasti
mengalami kesulitan membuat setiap makanan, Amane akhir kembali ke tempat kelompoknya,
di mana Mahiru memberikan instruksi kepada Chitose. Keberadaan Itsuki tidak terlihat
di mana pun, tapi Mahiru pasti mengerti pertanyaan tak terucapkannya dari sorot
matanya, karena dia segera memberitahunya, “Aku meminta Akazawa-san untuk mengambil
piring dari ruangan lain.” Dia pun melanjutkan, "Baiklah kalau begitu, aku
mempercayakan dagingnya padamu.”
“Mengerti,” jawab Amane. “Masak
sampai mengering, ‘kan?”
“Itu benar. Terima kasih.”
Mahiru tampaknya sedang
mengerjakan bagian kuning dan hijau dari mangkuk nasi tiga warna. Dia merebus air
untuk merebus bayam saat memecahkan dan mengaduk telur. Mahiru telah selesai
menyiapkan penggorengan untuk digunakan, meninggalkan Amane hanya dengan tugas
sederhana untuk memasak campuran daging dan bumbu.
Saat Mahiru menggunakan kain
untuk mengeringkan panci yang telah dia gunakan dan cuci, Chitose mengawasi
Amane menggoreng daging dengan tatapan aneh di matanya. “…Kupikir kamu tidak
bisa memasak?”
“Sudah kubilang, aku tidak
sepenuhnya tidak bisa memasak. Aku cuma terlihat payah di sebelahnya; itu
saja.”
Tugas yang ditugaskan kepadanya
adalah merebus daging dan bumbu, mengaduk campuran dengan spatula kayu sampai
uap airnya menguap. Amane merasa tersinggung karena Chitose mengira kalau Ia
bahkan tidak bisa memasak sebatas ini. Ia bukannya karakter dari manga yang
hasil masakannya akan menjadi arang.
Amane memperkirakan bahwa
sebagian besar resep menjadi kacau ketika juru masak menggunakan terlalu banyak
panas, mengatur waktu dengan buruk, atau menambahkan terlalu banyak bahan.
Tetapi kelompokmereka memiliki Mahiru
untuk membimbing mereka, sehingga kelompok mereka sudah dijamin sukses.
“Kalau kamu harus tahu, aku
hafal resepnya jadi aku takkan menghalanginya.”
“Kamu sungguh perhatian sekali,
Amane.”
“Yah, jika aku tidak bisa
melakukan sebanyak itu, orang lain akan membunuhku.”
Amane bisa merasakan tatapan
tajam cowok-cowok lain yang mengarah ke dirinya dan hampir bisa mendengar
pikiran mereka (...Apa Ia akan menikmati
makanan buatan tangan tenshi tanpa perlu bersusah payah ...?) Jadi
setidaknya Ia mencoba melakukan sesuatu.
Ia sepenuhnya sadar bahwa Ia
tidak berbakat secara alami dalam memasak, jadi Amane mempelajari resepnya
lebih serius daripada yang dia pelajari di buku teks, tetapi Mahiru
menertawakannya. “Kamu tidak perlu menganggapnya terlalu serius,” katanya di
rumah, tetapi Ia tahu kalau Ia harus siap untuk berjaga-jaga.
Amane memeriksa apakah
dagingnya sudah berwarna kecoklatan dan mulai mengeluarkan aroma asin-manis,
dan mengaduknya dengan tepat dengan spatula kayu agar tidak gosong.
Di sampingnya, Mahiru
menggunakan kompor lain untuk memasak telur orak-arik. Amane merasa sedikit
malu karena dia memasak lebih banyak dari jumlah biasanya karena dia tahu Amane
sangat menyukai telur, tetapi Ia juga senang betapa perhatiannya Mahiru.
“Shiina-san, apa aku harus membiarkan
ini sedikit lebih lama?” Ia bertanya.
“Itu benar,” jawab Mahiru. “Kamu
harus membiarkannya sedikit lama lagi. Tapi itu akan menjadi kering jika kamu
merebusnya terlalu lama, jadi tolong matikan apinya dalam waktu sekitar satu
menit.”
“Mm, baiklah.” Amane
mengangguk.
Sebagian besar uap airnya sudah
hilang, jadi Amane mengaduk campuran itu dengan spatulanya agar tidak gosong
sementara Mahiru kembali ke pekerjaannya sendiri tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Chitose memperhatikan Amane dan
Mahiru dari samping, dan dia mengangkat bahu, terlihat sedikit kagum. “…Kamu
tahu, kalian berdua sepertinya, yah, gimana bilangnya ya…? Kalian berdua
seperti pa—”
“Chitose, tolong ambilkan sup
misonya.”
“Eeep, ya, siap nyonya!”
Chitose menjerit konyol karena
suatu alasan dan pergi untuk mengambil sup miso dari dalam kulkas.
Amane dengan cepat melihat ke
arah Mahiru. “…Apa ada sesuatu terjadi?”
“Bukan apa-apa.”
Sepertinya itu tidak bukan
apa-apa, tapi nampaknya Mahiru tidak mau menjelaskannya lebih jauh, jadi Amane
menyerah untuk mendapatkan lebih banyak informasi darinya dan mematikan kompor
yang Ia gunakan untuk menggoreng daging.
◇◇◇◇
Pada saat Mahiru selesai memasak
telur dan mengiris serta membubui bayam yang sudah direbus dengan bumbu, Itsuki
kembali dengan membawa piring.
“Bukannya kamu terlalu
terlambat?”
“Ya, maaf. Beberapa orang dari
kelompok lain datang untuk berbicara denganku.”
Itsuki tersenyum sembrono, tapi
wajahnya benar-benar terlihat seperti sedang tidak bercanda. Ia bukan tipe
orang yang membolos pada hal seperti ini, jadi Ia mungkin benar-benar berbicara
dengan seseorang dan tidak bisa langsung melepaskan dirinya.
Tidak jelas dengan siapa Ia berbicara
atau apa yang mereka bicarakan, tapi Amane merasa kalau itu ada hubungannya
dengan Mahiru. Tanpa dia di dekatnya, teman sekelas mereka yang cemburu dapat
berbicara dengan bebas, jadi mereka mungkin mengarahkan keluhan mereka pada
Itsuki sebagai pengganti Amane. Tentu saja, ini semua cuma dugaannya saja, jadi
Amane tidak benar-benar tahu dengan kebenarannya.
“Yah, pokoknya, aku sudah
melakukan pekerjaanku, jadi…” Itsuki menunjuk ke nampan yang berisi jumlah
piring dan mangkuk yang tepat.
Mahiru tersenyum lembut
padanya. “Semuanya sudah siap. Mari kita atur dan ambil foto untuk laporan kita,
lalu menikmatinya, oke?”
“Tentu saja!” Itsuki bersorak.
“Aku sudah kelaparan.”
“Salahmu sendiri karena
melewatkan sarapan, bukan?” Chitose berkomentar.
“Apa boleh buat, aku bangun
kesiangan. Apa aku boleh mendapatkan porsi ekstra besar?”
“Aku tidak keberatan,” jawab
Mahiru. “Aku akan mengambil salad mie sekarang, jadi tolong atur semuanya
sementara itu."
Amane dengan cepat angkat bicara.
“Kalau begitu aku akan pergi denganmu. Kita harus menaruh jeli almond dan
masakan lainnya untuk difoto.”
Amane berkata Ia akan membantu,
mengira kalau Mahiru akan kerepotan jika harus membawa makanan penutup juga,
dan Mahiru mengangguk padanya dengan senyum tenangnya.
Meski sudah terlambat, tapi
Amane baru menyadari kalau Ia seharusnya mengirim Chitose, sebagian besar untuk
menyelesaikannya tanpa mengundang spekulasi yang tidak perlu, tapi nasi sudah
menjadi bubur sekarang. Amane sengaja menjaga jarak di antara mereka saat
menuju kulkas di belakang ruang kelas dapur.
Tak satu pun dari kelompok lain
yang mempunyai kemampuan yang sama seperti Mahiru, jadi kebanyakan dari mereka
belum selesai. Seperti biasa, beberapa kelompok hanya setengah hati mengerjakan
pelajaran. Amane berpikir sepertinya mereka akan mendapatkan nilai yang buruk
saat berjalan melewati mereka dengan acuh tak acuh.
Bahkan ada sekelompok cowok
yang mengobrol dan bermain-main ketimbang memasak. Salah satu dari mereka
memegang penggorengan di satu tangan dan tertawa ketika mencondongkan tubuhnya dari meja dengan
gerakan yang berlebihan—lalu menghalangi jalan seorang gadis yang membawa panci
berisi sup.
Pada saat itu, Amane merasakan
bahaya yang akan datang dan langsung menarik Mahiru ke sampingnya.
Beberapa detik kemudian, Ia mendengar percikan keras diikuti oleh bau susu yang samar dan meresap saat uap panas mengepul keluar.
Gadis itu pasti sedang membuat
sup krim, mengingat setengah cangkir atau lebih cairan putih kental yang saat
ini menyebar di lantai. Amane mengalihkan pandangannya untuk memastikan bahwa
tidak ada yang memercik ke Mahiru.
“Shiina-san, apa kamu baik-baik
saja?”
“…Ah, tidak, itu tidak
mengenaiku, tapi…” Mahiru tampak membeku karena terkejut.
Gadis yang menumpahkan supnya
tampak menyesal, dan wajah cowok dengan penggorengan yang menabraknya terlihat sangat
pucat.
“Apa ada yang mengenaimu?”
Amane bertanya pada gadis yang membawa sup itu.
“Ah, ti-tidak, aku baik-baik
saja. Ma-Maafkan aku…!”
“Tidak apa-apa. Untungnya tidak
ada yang mengenaiku atau Shiina-san juga. ”
Untungnya, Amane dengan cepat
menyadarinya, dan baik Mahiru maupun dirinya sama sekali tidak terluka.
Ia dengan cepat melambaikan
tangannya dan meyakinkan teman sekelasnya, yang telah mengatur panci di atas
kompor untuk sementara waktu untuk meminta maaf, sambil melirik ke arah cowok
yang bertabrakan dengannya.
Seperti yang diharapkan, cowok
lain yang bercanda dengannya tadi langsung bungkam, mungkin karena mereka
merasa bersalah. Ttapan mereka berkeliaran kemana-mana kecuali ke arah Mahiru.
“…Dengar, tidak ada salahnya
kalau kalian sedikit bersemangat, tapi tolong jangan bermain-main di tempat
yang ada api, pisau dan barang-barang berbahaya lainnya,” kata Amane. “Jika
seseorang terluka dan meninggalkan bekas permanen, Kamu takkan pernah memaafkan
diri sendiri. Syukurlah tidak ada yang terjadi kali ini, tapi apa yang akan kamu
lakukan jika perbuatan kalian menyakiti salah satu gadis? Apa kalian berani
bertanggung jawab untuk itu?”
Itu sama sekali bukan bercanda
jika seseorang terluka—atau tersayat karena pisau—dan mengalami insiden dengan bekas luka. Amane
tidak akan keberatan jika Ia terluka sedikit, tetapi itu akan menjadi masalah serius
jika Ia melukai orang lain, terutama seorang gadis.
Banyak gadis, dan bahkan banyak
pria, akan sangat kecewa jika mereka mengalami cedera parah. Dan jika seseorang
terluka parah dalam kecelakaan bodoh seperti ini, tidak aneh jika mereka
menyimpan dendam.
Terlepas siapa pihak yang
terluka adalah Mahiru atau gadis lain tidak masalah. Seseorang yang bertindak
tidak bertanggung jawab yang dapat menyebabkan cedera pada orang lain membuat
Amane marah, dan Ia merasa harus angkat berbicara.
Amane biasanya tidak banyak
berbicara dan lebih suka menyendiri, jadi ketika cowok yang merasa bersalah,
yang kelihatannya tidak menyangka akan dimarahi, melihat matanya yang menyipit
dan mendengar nada suaranya yang tajam, Ia dengan cepat meminta maaf dengan
putus asa.
“Ma-Maaf…”
Menyadari kalau cara berbicaranya
terlalu keras, Ia kemungkinan besar akan menyebabkan perkelahian, Amane beralih
ke nada suara yang lebih lembut.
“Kamu tidak perlu meminta maaf
padaku, tapi kamu sebaiknya meminta maaf kepada Yamazaki-san, yang sudah kamu
tabrak, dan Shiina-san, yang hampir terciprat. Pokoknya, lain kali lebih
hati-hati. Dapur bisa menjadi tempat yang berbahaya.”
Kemudian Amane melihat ke arah
Mahiru.
Ia baru menyadari kalau satu
tangannya melingkari tubuh Mahiru, dan wajah Mahiru menjadi sedikit merah.
Meskipun Ia merasa bersalah telah menyentuhnya seperti itu, sudah terlambat
untuk mengkhawatirkannya sekarang, jadi Amane dengan lembut melepaskannya dan
berhati-hati untuk tidak membuat wajah aneh sembari menunjuk ke arah kulkas.
“Shiina-san, aku minta maaf
karena menyentuhmu tanpa izinmu. Silakan duluan dan bawa saladnya ke kelompok
kita. Aku akan membantu membersihkan di sini.”
“Ti-Tidak usah; Aku mungkin
terdesak, tapi akulah yang menumpahkan semuanya,” Yamazaki, gadis yang membawa
sup krim, menjawab tergagap.
“Yah, bagaimanapun, aku juga
terlibat, dan yang tersisa untuk dilakukan kelompokku sekarang ialah tinggal
menikmati makanan. Ini takkan lama, jadi jangan khawatir tentang itu. ”
Dia hanya menumpahkan sedikit,
jadi membersihkannya tidak akan memakan banyak waktu.
Setelah meyakinkan teman
sekelasnya yang tertekan, Amane mendapat izin guru dan mengeluarkan beberapa
lembar tisu dari gulungan di meja dan membersihkan tumpahan sup.
Sejumlah kecil cairan dengan
cepat diserap oleh segenggam handuk. Tepat ketika Amane berpikir bahwa yang
perlu dia lakukan sekarang hanyalah menyekanya dengan handuk basah, Mahiru
muncul dari suatu tempat dengan kain lembab di tangan dan melakukan hal itu.
“Ini jauh lebih cepat jika kita
bekerja sama,” gumamnya. Kemudian Mahiru tersenyum ala tenshi ke arah Amane,
yang entah kenapa sangat meresahkan.
◇◇◇◇
“Selamat datang kembali!”
Setelah mereka selesai menyeka
tumpahan sup, Amane dan Mahiru kembali ke meja mereka sambil membawa salad mie
dan jeli almond sekitar lima menit lebih lambat dari yang diharapkan, dan
Chitose menyambut mereka dengan seringai nakal.
Bagian Amane dan Mahiru, tanpa
salad dan jelly, sudah diletakkan di atas meja, jadi Amane membagi porsi semua
orang dari salad mie plastik ke dalam piring salad dan menghela nafas.
“Aku sangat lelah…,” Amane
mengerang.
“Kamu tadi terlihat sangat
keren, lo,” celoteh Itsuki. “Dan sangat berani juga.” Imbuhnya.
“Bukannya aku mencoba untuk
mencoba cari kesempatan atau apa pun,” Amane bersikeras. “Aku cuma berusaha
membuatnya menghindar dari cipratan sup, itu saja."
Ia tidak berniat untuk memeluk
tenshi atau semacamnya. Dan meskipun tidak ada yang mengkritik keputusan
sepersekian detiknya, beberapa cowok lain memang memberinya tatapan cemburu
yang membuatnya tidak nyaman.
Adapun Mahiru, dia sedikit
mengernyit pada Amane ketika mendengar apa yang Ia katakan. Hanya seseorang
yang mengenalnya dengan baik akan memperhatikan ini.
“Yah, aku merasa kamu
benar-benar menyelamatkanku. Terima kasih telah menahanku.”
“Aku melakukannya hanya karena
celemek atau seragammu mungkin kotor, atau lebih buruk lagi, kulitmu ada yang
terbakar. Orang itu juga tampak menyesalinya, jadi itu bagus.”
Seperti yang diharapkan, cowok
yang menyebabkan tabrakan mengakui kesalahannya. Bagaimanapun, mereka berada di
tempat di mana satu kesalahan kecil dapat mengakibatkan kecelakaan serius. Saat
ini, cowok tersebut sedang mendapatkan amukan yang serius dari guru mereka.
Amane merasa puas karena pada
akhirnya tidak ada yang terluka. Dan Ia juga tidak dalam bahaya. Ya, Ia sudah
menyentuh Mahiru di mana semua orang bisa melihat, yang bisa jadi lebih buruk
daripada terbakar oleh sup panas. Tapi menilai dari suasana di sekitar kelas,
Ia sepertinya sudah dimaafkan atas kesalahan itu.
“Jadi, jika kamu bisa seberani
itu dalam menghadapi bahaya,” komentar Itsuki, “lalu mengapa kamu biasanya
bersikap pengecut?”
“Maaf, apak kamu tadi bilang
sesuatu?” Terlihat jelas dari sorot mata Amane dan nada suaranya kalau Ia tidak
tertarik untuk mendengar hal kasar apa pun yang akan dikatakan temannya.
“Bukan apa-apa,” balas Itsuki
sambil menyeringai. “Pokoknya, kelompok kita sudah selesai membuat makan siang tanpa
insiden, jadi mari kita ambil foto, oke?” Ia dengan cepat menyibukkan diri
dengan mengutak-atik kamera di ponselnya.
Para siswa perlu memeriksa resep
dan mengirimkan foto-foto mereka, sehingga mereka diizinkan untuk menggunakan
ponsel mereka di kelas, tapi tidak untuk bermain-main. Itsuki jelas-jelas
mengarahkan lensa kameranya ke orang-orang dan bukan makanan, jadi Amane
memberinya mengkritik, tapi Chitose dengan bersemangat mendorongnya ke area
jangkauan kamera.
“Kamu juga, Mahirun!” dia
mendesak. “Ayo ke sini, ke sini.”
“Kalian…,” Amane mengerang.
Mahiru mengedipkan matanya
secara dramatis, lalu menarik kursinya sedikit lebih dekat ke kursi Amane sambil
tersenyum kecil.
Etto,
Mahiru…? pikir Amane. Ia terkejut melihat Mahiru tersenyum nakal,
meski itu untuk sesaat, sebelum dia tersenyum ala tenshi lagi.
“Ayo, kamu juga, Ikkun,”
Chitose bersikeras.
“Tunggu, tapi nanti siapa yang
akan mengambil fotonya…? Oh, kebetulan sekali, Yuuta! Tolong fotoin kelompok
kami .”
“Hah, mendadak ada apa ini?”
Yuuta yang kebetulan lewat,
mungkin dalam perjalanan kembali dari kulkas, membawa nampan berisi daging babi
yang diiris tipis. Itsuki menyerahkan smartphone-nya ke tangan Yuuta, lalu
berputar di belakang Amane dan menunjukkan tanda peace.
Yuuta tampak terkejut dengan
permintaan yang begitu mendadak, tapi saat melihat hidangan yang sudah selesai
berjejer di depan Amane, Ia sepertinya langsung paham.
Sambil tertawa, Ia berkata,
“Kurasa apa boleh buat” dan menyiapkan smartphone. “Kalian benar-benar selesai
dengan cepat, ya? Oke, aku akan ambil fotonya.”
“Itu karena kita gesit, cuy!”
“Tapi Ikkun, kamu hampir tidak
melakukan apa-apa,” Chitose mengejek.
“Ayolah jangan bilang begitu, kamu ‘kan sudah
janji!” protes Itsuki.
Amane menertawakan protes
konyol temannya. Kemudian Ia mendengar suara jepretan kamera. Ia pun membeku—Yuuta
sudah mengambil foto mereka sebelum Ia sempat menenangkan diri.
“Tadi itu gambar yang bagus!”
puji Yuuta, sebelum menyerahkan smartphone ke Itsuki dan menyelonong ke tempat
kelompoknya sendiri.
“Wah, ini foto super langka
dengan Amane yang sedang tersenyum,” komentar Itsuki.
“Itu karena Ia biasanya
memasang wajah masam, ‘kan?” balas Chitose. “Kirimkan foto itu padaku juga,
ya!”
“Siapp~. Shiina-san, kamu nanti
akan mendapatkannya dari Chii, oke?”
Mahiru sudah bertukar informasi
kontak dengan Itsuki, tetapi dalam situasi ini, dengan adanya teman-teman
sekelas di sekitar mereka, mungkin lebih baik untuk tidak mengatakan itu dengan
keras.
Lebih penting lagi, Amane
merasa terganggu karena Itsuki mengirim foto itu ke Mahiru sebelum
membiarkannya memeriksanya.
Amane melihat ke arah Mahiru
dan mendapatkan senyuman yang menggemaskan, meskipun tertahan, sebagai
tanggapan, jadi Amane tidak bisa melakukan apa-apa selain mengerang dan melihat
mereka dengan cepat membagikan foto itu.
“…Tidak ada yang peduli seperti
apa wajahku, jadi lebih baik kita makan saja,” gumam Amane, berharap untuk
mengakhiri percakapan di sana.
Itsuki menyeringai lebar ke
arahnya, jadi sebelum temannya bisa kembali ke tempat duduknya sendiri, Amane
menepaknya dan berbalik dengan gusar.
Setelah itu, Amane mengisi
wajahnya dengan isi mangkuk nasi yang disajikan oleh Itsuki dan Chitose dengan
tumpukan telur, dan Ia dengan cepat melupakan rasa malu difoto dengan seringai
lebar. Mahiru hanya tersenyum bahagia, tidak memperhatikan Itsuki atau Chitose.
◇◇◇◇
“Aaamaaanee, mulai hari ini
kami juga mau ikut bergabung makan siang denganmu!”
Suatu hari, beberapa hari
setelah pelajaran memasak, Chitose mendekatinya sambil mengenakan senyum
berseri-seri, menyeret Mahiru yang ada di belakangnya. Pipi Amane berkedut saat
melihat mereka berdua.
Amane dan Mahiru bertingkah
kurang seperti kenalan dan lebih seperti teman biasa di sekitar satu sama lain.
Mereka bahkan mulai mengobrol bersama di depan umum. Tapi Amane bimbang apakah
makan bersama mungkin terlalu cepat.
Tentu, jika Chitose
berpura-pura datang untuk makan bersama Itsuki, dan Mahiru ikut dengannya,
mereka mungkin bisa dekat dengan asumsi bahwa Chitose hanya membawa seorang
teman. Teman sekelas mereka seharusnya tidak menganggap kalau itu terlalu mencurigakan,
pikir Amane.
Membiarkan dirinya ditarik oleh
Chitose, Mahiru memasang senyum lembut dan bersikap seperti biasanya—seperti
tenshi.
Tapi Amane sangat bermasalah
karena Ia juga bisa melihat sesuatu yang sedikit nakal dalam ekspresi Mahiru.
“Ah, mungkin aku harus pindah?” Ia bertanya.
Chitose jelas takkan membiarkan
Amane kabur semudah itu. “Jangan khawatir tentang itu! Bagaimanapun juga,
kamilah yang memutuskan untuk bergabung dengan mejamu. ”
Amane tidak bisa menahan
perasaan bahwa ini adalah ide jahil Chitose. Tapi walau pun Ia memelototi
Chitose yang tersenyum — tidak, menyeringai nakal, dia tampaknya tidak peduli
sama sekali.
Dia pasti sudah merencanakan ini
dengan Itsuki, atau mungkin Ia hanya senang makan dengan pacarnya, karena
Itsuki memberikan senyumnya yang biasa dan berkata, “Ide bagus; ayo kita makan
bareng.”
Amane layu di bawah tatapan
cemburu yang berasal dari sekitar mereka.
“Oh, apakah Shirakawa-san dan
Shiina-san mau makan bersama kita juga?” Yuuta bertanya sambil melangkah ke
meja, sepertinya Ia berniat bergabung dengan mereka.
Perut Amane mulai merasa nyeri.
“Ya, kami berencana untuk makan
siang bersama mereka hari ini,” kata Mahiru.
“Benarkah?!” Yuuta tersenyum.
“Yah, sepertinya makan siang hari ini jadi sedikit meriah!”
Amane tidak merasakan apa-apa
selain bersemangat. Ia tidak kesal dengan Yuuta.
Ia benar-benar terkejut bahwa
Mahiru datang untuk makan siang bersamanya.
Aku
benar-benar kacau.
“… Menyerah saja, Amane; kami
sudah mengepungmu,” Itsuki bergumam cukup pelan sehingga Yuuta tidak bisa
mendengarnya, dan Amane menghela nafas lelah.
◇◇◇◇
“Apa kamu biasanya membawa
makan siangmu ke sekolah, Shiina-san?” tanya Yuuta sambil menunjukkan kotak
makan siang yang terbuka di depan Mahiru.
Amane dan Itsuki selalu membeli
makan siang dari kantin, jadi Mahiru dan yang lainnya, yang biasanya makan di
dalam kelas, bergabung dengan mereka.
Setelah masing-masing anak
cowok kembali ke tempat duduk mereka sembari membawa makan siang yang mereka
beli, Yuuta menjadi penasaran dengan kotak makan siang Mahiru.
Kebetulan, Mahiru sedang duduk
tepat di seberang Amane. Chitose telah mendorongnya untuk duduk di kursi itu,
dan tidak ada celah bagi Amane untuk melarikan diri.
“Ya, tapi biasanya itu cuma
sisaan dari makan malam kemarin.”
Pada malam hari, Mahiru sering
memasak makanan yang akan dikemas dengan baik ke dalam kotak makan siang,
memisahkan sisa makanan menjadi satu porsi untuk sarapan Amane dan satu porsi
untuk makan siangnya sendiri, jadi itulah yang dia bungkus hari ini juga. Amane
bisa melihat bahwa kotak itu berisi bakso ayam teriyaki yang mereka makan
kemarin.
“Wow, masakanmu sendiri?”
“Ya. Tapi sungguh, tidak ada
sesuatu yang istimewa.”
“Mahirun, enggak boleh bohong
begitu!” Chitose menyela. “Kamu sangat berbakat dalam memasak.”
“Bagaimana kalau kamu belajar
dari Shiina-san, Chii?” Itsuki menambahkan. Chitose membalas dengan cemberut.
“Ikkun, kamu sangat jahat!”
“Kamu hanya perlu membuatnya
mengajarimu cara membumbui sesuatu. Kamu memang bisa memasak sendiri, tapi … kamu
selalu memasukkan bumbu yang aneh-aneh.”
Seperti yang suda dia tunjukkan
selama pelajaran memasak tempo hari, Chitose sebenarnya adalah seorang juru
masak yang cukup mahir. Hanya saja keinginannya untuk berbuat jahil sering
membuatnya bereksperimen dengan rasa yang tidak lazim. Itsuki sering mengeluh
bahwa semuanya akan baik-baik saja, jika dia tidak memiliki kebiasaan buruk
itu.
“Oke, aku akan meminta Mahirun
untuk memulai pelajaran memasak pribadi. Kami akan membuat Amane menjadi
penguji rasanya.”
“Kenapa malah aku?” jawab
Amane. “Selain itu, itu akan membuat banyak masalah bagi Shiina-san. Jangan
terlalu cepat mengatakan hal-hal seperti itu.”
“Sebenarnya, aku tidak merasa
keberatan sama sekali,” kata Mahiru. “Kurasa aku akan menikmati memasak dengan
Chitose lagi.”
“Yeaayyy! Mahirun, aku
mencintaimu! Ini akan sangat menyenangkan! Kosongkan jadwalmu nanti ya, Amane!”
Chitose duduk di samping
Mahiru, menempel erat padanya dengan senyum lebar.
Mahiru juga ikut tersenyum,
saat dia mengangguk setuju. Amane merasa sangat tersentuh untuk menyadari bahwa
mereka telah menjadi teman yang sangat dekat.
Chitose
baru saja mengatur kencan dengan Mahiru, apalagi di hadapan semua orang dengan
entengnya.
Entah itu bagian dari plot yang
lebih besar, Amane tidak bisa mengatakannya. Tapi saat menoleh ke Chitose, Ia
bisa melihat bahwa dia dan Mahiru sedang tersenyum ramah satu sama lain.
Wajah Amane berkedut saat
menyadari kalau semua teman sekelas yang berada di dekat mereka menajamkan telinga,
memancarkan gelombang kecemburuan yang tak terucapkan.
“…Hei, Itsuki?” tanya Amane.
“Hmm?”
“Kamu pikir aku punya
kesempatan untuk selamat dari ini?”
“Eh, kurasa kamu akan baik-baik
saja…mungkin.”
Ia mendapatkan tatapan iri dan
dengki dari penggemar Mahiru, alias para cowok yang jatuh cinta padanya. Itu
bukan hanya imajinasinya. Karena it saran dari Chitose, jadi mereka belum
mengarahkan haus darah mereka sepenuhnya padanya, tapi Amane takut apa yang
mungkin terjadi saat Mahiru menyarankan sesuatu, terutama setelah menjadi lebih
jelas bahwa mereka adalah teman dekat.
Yuuta membungkuk.
“Kedengarannya menyenangkan, ya, Fujimiya?”
“…Jika aku jadi kamu, aku
mungkin bisa melewati ini tanpa membuat orang-orang cemburu.”
Jika Amane mempunyai wajah
tampan dan berbakat seperti Yuuta, maka orang akan melihat dia dan Mahiru
setara, dan bahkan jika mereka cemburu, mereka akan berpikir tidak ada yang
bisa dilakukan dan menyerah begitu saja.
“Tapi aku juga iri padamu,
Fujimiya.”
“Iri pada apa?”
“Segala macam hal,” kata Yuuta
dengan samar, lalu tertawa. Amane tidak bisa melakukan apa-apa selain
memiringkan kepalanya dengan bingung.
Itsuki menimpali, “Sekarang,
tunggu sebentar. Mungkin ada makna di balik perkataan Yuuta.”
“Serius?”
“Sulit bagi orang untuk
mengenali apa yang sudah mereka miliki. Dan mereka yang memilikinya tidak dapat
memahami perasaan mereka yang tidak memilikinya. Selain itu, kita semua
menginginkan apa yang tidak kita miliki. Chii pasti selalu merengek tentang apa
yang tidak dia dapatkan.”
“Jadi, maksudnya?”
“Yah, ada satu hal yang
Shiina-san punya tapi tidak dimiliki Chi…?”
“Kamu pasti sedang memikirkan
sesuatu yang mesum, ‘kan?” Chitose menyela. Rupanya, dia mendengarkan
percakapan mereka, dan meski dia tersenyum lebar, matanya terlihat tidak sedang
tersenyum sama sekali.
Menyadari kalau topik tersebut
adalah ranjau darat, Amane menutup mulutnya dan memperhatikan saat Chitose dan
Itsuki mulai saling bercanda dan menepak satu sama lain. Amane lalu melirik ke
arah Mahiru. Dia tampak bingung pada percakapan Chitose dan Itsuki, tapi saat
pandangannya bertemu dengan tatapan mata
Amane, ekspresinya berubah menjadi senyuman.
Itu bukan senyum ala
malaikatnya, tapi sesuatu yang lebih dekat dengan ekspresi bahagia namun malu
yang biasa dia perlihatkan di apartemen, jadi Amane menjadi tersipu dan dengan
cepat mengalihkan pandangannya.
◇◇◇◇
“Apa kamu terkejut?”
Di dalam apartemen Amane,
Mahiru menyeringai nakal.
Amane hanya bisa membalasnya
dengan senyuman masam. “Terkejut? Maksudku, aku pikir kamu datang dengan cukup
ngotot. ”
“Aku tahu kalau aku pernah
bilang akan melakukannya dengan perlahan-lahan, tetapi aku pikir sudah waktunya
untuk melangkah ke langkah berikutnya. Aku juga baru-baru ini menyadari bahwa
kami takkan membuat kemajuan apa pun jika aku tidak memojokanmu.”
“Itu benar.”
Dia mungkin ekstra agresif
karena dia tahu Amane selalu siap untuk melarikan diri, tetapi dalam situasi
itu, Ia telah dikepung dan tidak bisa lolos dengan mudah.
Amane terkejut karena Ia tidak
menyangka kalau Mahiru bisa begitu memaksa, tetapi mereka hanya berbicara. Dia
tidak mencoba menyentuhnya atau apa pun, jadi pikirannya sedikit tenang.
Jika Mahiru keceplosan
menyentuhnya dengan polos dan santai seperti yang biasa dia lakukan , tak
diraghukan lagi kalau tatapan kecemburuan yang mematikan akan tertuju padanya.
Amane bergantung padanya, dan Mahiru mempercayai Amane lebih dari siapa pun,
tetapi teman sekelas mereka tidak mengetahui tentang semua itu.
“Aku mencoba yang terbaik untuk
melakukannya sedikit demi sedikit, sehingga tidak terlalu banyak mengguncang
rutinitasmu. Tapi Amane-kun, jika ada sesuatu yang mengganggumu, tolong
beritahu aku, oke?”
Mahiru sangat menyadari
popularitasnya. Amane tahu dia bersusah payah untuk tidak menjadi terlalu ramah
dengannya terlalu cepat, semua itu supaya teman sekelas mereka tidak cemburu.
Ciri khas pemikiran Mahiru—kekhawatiran pertamanya adalah melindungi kehidupan
sehari-hari Amane.
Namun, Amane tidak dapat
menyangkal bahwa, kali ini, Ia merasa bahwa tindakan Chitose sudah keterlaluan. Namun, nasi sudah
menjadi bubur, jadi Ia hanya harus lebih berhati-hati untuk bergerak maju.
“Yah, untuk saat ini tidak
apa-apa …,” kata Amane. “Meski, aku mendapatkan tatapan iri dari teman sekelas
kita.”
“Oh benarkah? Itu … Apa kamu
membenci itu…?”
Rupanya, dia masih khawatir
tentang fakta bahwa Amane cemberut pada awalnya.
“Tapi sekarang aku mengerti
kamu kesepian. Kami salah karena sudah meninggalkan seorang teman, dan itu
jelas berat bagimu.”
“… teman, ya?”
“Hmm?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
Sepertinya ada sesuatu yang
mengganggunya, tapi Mahiru tampaknya tidak ingin membicarakannya. Ketika dia berbalik,
Amane menyadari bahwa Ia pasti telah melakukan sesuatu untuk meredam
kegembiraannya yang tinggi.
Amane lalu mengulurkan tangan
dan membelai rambut Mahiru.
“… Jangan kira kalau kamu bisa
menyelesaikan semuanya hanya dengan mengelus kepalaku beberapa kali, kan?”
“Tidak, tapi kupikir itu bisa
membuatmu senang.”
“Yah, memang sih, tapi… tolong
jangan lakukan itu pada gadis lain saat kamu mencoba untuk memperbaiki
keadaan.”
“Aku takkan melakukannya pada
siapa pun selain kamu, Mahiru…”
Dari
aawal, satu-satunya gadis lain yang berteman denganku adalah Chitose. Dan mana
mungkin aku melakukan ini dengannya. Selain itu, aku tidak berpikir itu akan
membuatnya sangat bahagia. Tidak, Mahiru adalah satu-satunya gadis yang pernah
melakukan ini denganku—dan satu-satunya orang yang aku inginkan. Dia
satu-satunya yang ingin kumanjakan.
Amane mengira dia telah menjelaskan
bahwa Ia serius. Tapi Mahiru masih terlihat kesal, dan dia meninju ke salah
satu bantal.
Amane mulai menarik tangannya
ke belakang dan terkejut ketika dia menanduknya di lengan atas. Itu tidak
sakit, tapi Ia masih terkejut dengan bagaimana Mahiru menjadi lebih agresif
akhir-akhir ini.
“…Amane-kun no baka.”
“Kenapa kamu mengatakan itu?”
“Harus sampai kapan aku harus
berusaha keras…?”
“Aku—aku tidak begitu mengerti
apa yang kamu katakan, tapi kamu akan kelelahan jika kamu mencoba sesuatu
terlalu keras, jadi kamu mungkin harus santai …”
“Jika aku tidak mendorongmu,
kita tidak akan pernah berhasil."
Mahiru tampak sedikit kesal
saat Ia mengintip dari atas bahunya, namun Amane pikir Ia bisa melihat rasa
malu dan sentuhan antisipasi di matanya yang berkilauan.
Amane tidak bisa memaksa
dirinya untuk menatap tatapannya. “Se-Sepertinya ada sesuatu yang kamu inginkan
dariku.”
“…Aku hanya ingin apa yang
terjadi selanjutnya…”
Selanjutnya-?
Mahiru pasti menginginkan
sesuatu yang lebih dari Amane, tetapi pada saat ini, dia tampaknya tidak
membuat permintaan tambahan, jadi untuk saat ini, Amane memutuskan untuk terus
membelai kepalanya dengan lembut dan melakukan segala upaya untuk
menyenangkannya.
Sebelumnya ||
Daftar isi || Selanjutnya