Otonari no Tenshi-sama Vol.3 Chapter 5 Bahasa Indonesia

Chapter 05 — Berinteraksi dengan Tenshi-sama dan Reaksi Teman-Teman Sekelas

 

Usai Mahiru menyatakan niatnya untuk lebih sering mengobrol dengan Amane di sekolah, dia menepati janjinya dan mulai lebih sering mendekatinya. Pada awalnya, interaksinya tidak lebih dari salam dan obrolan ringan, supaya tidak menarik perhatian atau membuat curiga siapa pun untuk berpikir bahwa mereka mungkin lebih dari sekadar teman. Mahiru jelas sangat berhati-hati untuk menghindari gangguan mendadak dalam kehidupan sehari-hari Amane.

Ketika mereka mendiskusikan materi pelajaran hari ini, seperti yang sering dilakukan teman lainnya, mereka tidak mendapatkan tatapan cemburu—sebaliknya, siswa lain memandang mereka dengan kekaguman. Di saat-saat seperti ini, Amane bersyukur belajar menjadi mudah baginya. Sejujurnya, rasanya sulit untuk mengimbangi Mahiru, karena dia biasanya mengerjakan tugas sekolah yang sepadan dengan satu tahun, tapi Mahiru cukup baik untuk menyesuaikan diskusi dengan tingkat pemahaman Amane, sehingga mereka dapat memainkan peran sebagai teman sekelas biasa tanpa kesulitan. Itu juga sangat membantu bahwa Chitose dan Itsuki, dan terkadang bahkan Yuuta, biasanya bersama mereka.

Dengan cara begitu, kedekatan di antara mereka berubah secara bertahap, dan Amane mulai terbiasa melakukan percakapan ringan dengan Mahiru tentang kehidupan sehari-hari atau teman mereka atau mengenai kelas, dan semua kecemburuan yang mungkin ditujukan kepadanya dari murid cowok lain semakin memudar. Cuma cowok yang jatuh cinta pada Mahiru saja yang terus memberinya tatapan tajam.

“Kenapa cuma Fujimiya…?”

Amane sedang duduk di kursinya dan menatap buku pelajarannya, ketika Ia kebetulan mendengar beberapa cowok yang duduk di dekatnya berbisik dengan nada kesal.

 

Sampai beberapa saat yang lalu, Amane mendiskusikan PR hari kemarin dengan Mahiru, dan tampaknya cowok-cowok itu barusan melihatnya.

Adapun mengapa Mahiru memilih untuk berdiskusi dengan Amane, alasannya karena tidak banyak orang yang bisa mengimbanginya tentang topik itu. Chitose, teman terdekatnya, tidak pernah bersiap-siap untuk pelajaran, jadi mana mungkin dia benar-benar mengerti semua yang seharusnya mereka pelajari sekarang. Pacar Chitose, Itsuki, juga sama begitu.

Jadi, ketika membicarakan topik akademis, lebih mudah untuk berbicara dengan Amane. Ia selalu bisa mengerjakan dengan mudah tugas sekolah, dan setelah mendapat bimbingan Mahiru, Amane menjadi siswa yang lebih baik dari sebelumnya. Ini adalah kekuatan si Tenshi Mahiru.

“Apa maksudmu, kenapa cuma aku?” Amane menjawab dengan keras. “Aku kebetulan bisa memahami apa yang dia bicarakan. Bukannya kita sedang mengobrol sesuatu yang berat.”

Ketika menyangkut interaksi dengan Mahiru di sekolah, ada beberapa obrolan ringan sesekali, tapi kebanyakan obrolan mereka seputar pelajaran sekolah.

Mahiru sepertinya meluangkan waktu untuk mendekati Amane, jadi tidak ada yang akan curiga, dan berhati-hati untuk tidak membicarakan apa pun yang tidak akan dibagikan teman sekelas normal. Sebaliknya, mereka telah melakukan percakapan yang sesuai dengan siswa teladan, percakapan serius yang tidak mengundang kecurigaan.

“Kurasa itu mungkin benar, tapi…”

“Kalau kalian punya masalah, kalian harus belajar dan ikut berdiskusi dengan kami,” lanjut Amane. “Merasakan tatapan kalian yang melihatku dengan cemburu itu lumayan menggangguku. Belajar adalah tujuan kami di sini.”

“Hah, mana mungkin… aku tidak mengerti itu… aku sudah tidak tahu apa yang kalian berdua bicarakan…”

“Baca saja buku pelajaran,” Amane menegur. “Yang kami lakukan hanyalah mempelajari lebih dulu dari materi yang kami pelajari sekarang. Jika itu tidak mungkin bagimu, maka aku tidak tahu harus berkata apa selain menyerah sekarang.”

“Hei, itu kasar ...”

“Jangan salahkan aku atas keadaan studimu yang menyedihkan. Lagi pula, aku tidak tahu apa yang kalian pikirkan, tapi aku tidak sedekat itu dengan Shiina-san.”

Amane membalas mereka tanpa ampun, dan cowok-cowok lain menggertakkan gigi mereka dengan frustrasi. Ia tidak terlalu berteman baik dengan mereka—bahkan, Amane melihat mereka semua sebagai musuh yang mungkin mengetahui hubungannya dengan Mahiru—jadi Ia tidak punya kewajiban untuk terlalu perhitungan dengan perasaan mereka.

Mahiru memulai dengan percakapan ringan dan santai sebagai cara untuk terus berusaha menjadi temannya secara terbuka di sekolah. Itu berarti mereka banyak berbicara tentang tugas sekolah, tetapi bahkan jika salah satu dari cowok ini mempunyai kecerdasan di atas mereka, Amane merasa ragu apakah Mahiru mau berteman dengan salah satu dari mereka.

Amane melakukan yang terbaik untuk terlihat sama sekali tidak tertarik, tapi dua cowok yang berbicara dengannya menatapnya dengan curiga.

“Kamu … kamu sepertinya tidak terganggu dengan fakta bahwa kamu dan Shiina hanya berbicara tentang hal-hal sekolah …”

“Apa kamu tidak tertarik pada si tenshi, Fujimiya?”

“Tidak, aku tidak tertarik dengan si tenshi itu.”

Amane tidak jatuh cinta pada “si Tenshi”. Itu bukanlah suatu kebohongan.

Gadis yang Ia cintai bukanlah gadis dengan kedok si Tenshi —Orang yang Amane cintai adalah sosok Mahiru yang asli, sisi dirinya yang hanya ditunjukkan pada Amane. Ia mencintai Mahiru yang bisa menjadi sangat keras kepala dan sarkastik tapi juga berhati lembut dan pemalu, orang yang cenderung memanjakannya, yang memiliki kecenderungan gampang merasa kesepian, dan kadang-kadang terlihat begitu rapuh sehingga Amane merasa khawatir kalau dia akan hancur berkeping-keping.

Menurut Mahiru, kedok si Tenshi itu mirip seperti baju tempur yang dia pakai untuk pergi keluar, satu paket zirah besi yang dia kenakan untuk melindungi bagian dalamnya yang rentan. Dan sepertinya dia tidak menyukai baju besi itu. Tentu saja, setelah semua dikatakan dan dilakukan, itu tidak mengubah fakta bahwa Ia menyukai Mahiru, tapi Amane lebih menyukai dari sekadar tampilan publiknya saja.

Kedua cowok itu sekarang merasa curiga dengan betapa mudahnya Amane membantah pertanyaan itu. Ia menolak dengan tegas kalau Ia tidak tertarik pada si Tenshi itu, dan mereka memandangnya dengan skeptis.

“…Apa menurutmu dia tidak cantik dan manis, Fujimiya?”

“Maaf mengecewakanmu, tapi aku juga tidak tertarik pada cowok. Lihat, aku juga punya mata, tau. Maksudku dia bukannya tidak imut —maksudku, dia jelas sangat cantik dan memiliki kepribadian yang baik. Tapi bukan berarti aku harus jatuh cinta padanya atau sejenisnya, ‘kan?.”

“Lantas apa yang kamu sukai, Fujimiya?!”

Cowok-cowok itu membuat keributan, menyebabkan teman sekelas lain melirik ke arah mereka, dan mereka terlihat sedikit canggung.

Mengesampingkan fakta bahwa Ia benar-benar terpikat dengan Mahiru, Amane tidak mengerti alasan bahwa hanya karena ada seorang gadis imut, baik, dan sempurna di sekitarnya, sebagai anggota lawan jenis, Ia harus jatuh cinta padanya. Jika itu benar, bukannya setiap cowok di sekolah akan jatuh cinta?

Hanya melihat sekeliling kelas mereka saja, jelas-jelas bahwa tidak setiap cowok jatuh cinta pada Mahiru. Ada orang yang menghargai dia sebagai salah satu karya seni, dan ada banyak cowok yang jatuh cinta dengan gadis lain. Tentu saja, itu tidak mengubah fakta kalau Mahiru masih menjadi idola mereka.

“Kalau begitu, aku balik bertanya padamu: Apa yang kalian suka tentang si Tenshi itu?” Amane bergumam dengan sedikit kesal, dan ekspresi kedua cowok itu langsung sumringah, seolah-olah mereka akhirnya tertarik.

“Dia sangat imut, baik kepada semua orang, sangat anggun dan elegan, serta bisa melakukan apa saja! Bukannya itu hal terbaik kalau bisa membuatnya sebagai pacarmu?”

“Huh…benar…,” gumam Amane. Ia tahu apa yang mereka coba katakan, tetapi Ia menatap mereka dengan skeptic seolah mempertanyakan apakah itu alasan yang cukup untuk mencintainya.

“Dia benar-benar cantik, dan sosoknya juga ideal. Layaknya bidadari yang turun dari khayangan. Maksudku, dia memang terlihat seperti bidadari, tapi—”

“Bukan hanya karena dia imut dan memiliki kepribadian yang baik; dia seriusan bisa melakukan apapun yang dia coba. Bahkan bodinya juga sangat luar biasa. Meski biasanya asset terbesarnya disembunyikan di balik seragamnya… Tapi percayalah, dia terlihat luar biasa dengan pakaian olahraganya. Sangat mengesankan.”

“Itu … gila ya,” gumam Amane.

“Aku juga menyukai gadis datar seperti Shirakawa-san, tapi bung, kau tahu sendiri lah, gadis yang punya asset besar adalah idaman dari semua cowok.”

“Kalian benar-benar kasar. Aku pikir lebih baik kalau kalian menutup mulut kalian, demi semua orang juga.”

Amane tiba-tiba merasa tidak nyaman.

Ia bisa merasakan tatapan tajam yang diarahkan ke mereka dari sekitar ruangan, dan meski pun tahu tatapan tersebut tidak diarahkan padanya, hal itu masih cukup untuk membuatnya berkeringat dingin. Amane tidak perlu mencari tahu siapa yang memberinya tatapan paling marah. Ia tidak berharap untuk berurusan dengan itu nanti.

Amane berharap kalau teman-teman di kelasnya takkan menyamakannya dengan dua cowok stress ini, jadi Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya ke buku pelajarannya. Membiarkan matanya melirik materi pelajaran yang telah dia diskusikan dengan Mahiru sebelumnya, Ia menghela nafas pelan pada dua orang bodoh di sampingnya yang memulai percakapan yang sangat vulgar, bahkan untuk setingkat anak cowok SMA.

“… Asal kalian tahu saja, kupikir  Shiina-san bahkan tidak mau repot-repot menatap kalian untuk kedua kalinya jika kalian terus berbicara tentang nafsumu di depan umum.”

Amane berpikir bahwa kebanyakan gadis mungkin tidak menghargai cowok yang ikut nimbrung dalam pembicaraan jorok semacam itu. Terlebih lagi jika mereka memamerkannya sendiri.

Selain itu, Amane tahu bahwa Mahiru tidak menghargai ketika seseorang mendekatinya hanya karena penampilan fisiknya. Bahkan, kemungkinan besar akan menjauh darinya jika dia curiga kalau mereka hanya tertarik pada tubuhnya.

Ketika Amane melirik ke tempat duduk Mahiru, Ia tahu kalau gadis-gadis di sebelah sana juga pasti mendengarnya, karena Mahiru menepuk lengan Chitose, mencoba menenangkan haus darah temannya yang mengamuk.

Itsuki terkadang menggoda Chitose, tapi hal itu cuma terjadi di antara mereka berdua saja. Jika beberapa orang asing mulai dengan santai berbicara tentang tubuhnya, dia punya banyak alasan untuk marah.

Ekspresi anggun Mahiru tidak pernah goyah saat dia menghibur temannya, tapi Amane merasa bahwa Mahiru juga terlihat sedikit marah.

Padahal aku tidak mengatakan apa-apa ...

Dalam benaknya, Amane menawarkan penjelasan ini kepada Mahiru, lalu menutup percakapan dua cowok yang menyebalkan itu dengan fokus pada bukunya.

Kedua cowok itu tampaknya tidak keberatan dengan semua tatapan jijik yang mereka dapatkan, dan Amane tidak punya kewajiban untuk turun tangan. Atau lebih tepatnya, dia sudah mencoba menghentikan mereka, dan mereka tetap melanjutkan.

Amane diam-diam menghela nafas berat ketika cowok-cowok itu mulai berbicara tentang betapa hebatnya si Tenshi.

Si Tenshi mungkin hanya menjadi Tenshi karena cowok-cowok sepertimu bertingkah seperti itu.

Amane tidak menyuarakan pikiran itu. Kata-kata itu hanya tersangkut di tenggorokannya dan menghilang tanpa pernah keluar dari mulutnya.

 

◇◇◇◇

 

“… Um, Shiina-san?”

Malam hanrinya, Mahiru pergi ke apartemen Amane seperti biasa, tapi dia memasang ekspresi murka. Dia bertindak sangat berbeda sehingga dia tidak sengaja memanggilnya dengan nama belakangnya.

“Apa?”

Jawabannya singkat. Dia pasti marah tentang sesuatu.

Melihat Mahiru yang pada dasarnya selalu bersikap lembut dan toleran begitu terganggu membuat Amane sedikit sakit perut.

“Apa yang membuatmu jadi bad mood begitu?”

“Aku tidak sedang bad mood, kok.”

“…Tidak, kamu pasti sedang bad mood, ‘kan.”

“Tidak juga.”

Mahiru sedang duduk di sampingnya dan ekspresinya tidak berubah. Walau itu idak terlalu jelas bahwa dia marah—lebih seperti dia meluapkan ketidaksenangannya. Lebih tepatnya, suasana di sekitarnya agak berduri.

Amane berusaha memikirkan apa yang mungkin membuatnya kesal—lalu Ia mengingat bahwa Mahiru melihatnya berbicara dengan teman sekelas mereka sebelumnya hari itu.

“…Ah, jangan-jangan kamu berpikir kalau aku bergabung dengan orang-orang yang mendiskusikan penampilanmu?”

Jika Mahiru berpikiran begitu, Amane bisa memahami mengapa dia marah. Mungkin rasanya tidak terlalu menyenangkan bila membayangkan orang yang duduk di dekatmu diam-diam mengincar tubuhmu.

Badan Mahiru menjadi kaku mendengar kata-kata Amane, jadi dugaannya mungkin akurat.

“Kamu mendengar pembicaraan kami, bukan?”

“Ya, yah, uh… aku mendengar bagian dari percakapan itu, tapi…”

“Maaf. Kamu pasti merasa tidak nyaman mendengar itu, ‘kan?”

“Tidak, aku, um … aku sudah terbiasa mendengar komentar tentang penampilanku, dan ini bukan pertama kalinya seseorang berkomentar langsung pada sosokku, jadi rasanya lebih seperti ‘Oh, begitu.’”

Mahiru sudah bertingkah layaknya si Tenshi selama bertahun-tahun, dan pernyataannya adalah tipikal seorang gadis yang tidak pernah gagal dalam upaya untuk mempertahankan kecantikannya.

Namun, dari cara Mahiru mengatakannya, Amane menyadari kalau Mahiru pernah menjadi korban pelecehan sebelumnya, dan Ia merasa malu memiliki jenis kelamin yang sama dengan siapa pun yang bersikap begitu kasar.

“Yah, aku terkejut mereka berani mengatakan hal-hal itu di tempat terbuka. Maksudku, selera mereka adalah urusan mereka sendiri, tapi jika mereka terlalu blak-blakan begitu, jika mereka punya sopan santum, setidaknya bicarakan di tempat pribadi. Aku bahkan tidak bisa membayangkan mengatakan hal-hal semacam itu di depan semua seperti mereka.”

“Seratus persen."

Setiap orang seharusnya memikirkan waktu dan tempat, tapi kedua cowok tadi siang jelas-jelas tidak memusingkan hal itu. Mereka seharusnya tidak pantas melakukan percakapan seperti itu di mana orang lain bisa mendengar. Sebenarnya, menurut pendapat pribadi Amane, rasanya tidak senonoh membicarakan hal semacam itu.

“Aku perhatikan kalau kamu sedikit terganggu dengan apa yang mereka katakan, Amane-kun, dan aku bisa mendengar bahwa kamu tidak ikut bergabung dengan percakapan mereka. Gadis-gadis lain juga terkesan.”

“S-Syukurlah... Kamu tahu kalau aku tidak ingin terlibat dengan itu."

“…Jika ada, itu membuatku sedikit khawatir. Mungkin kamu terlalu fokus untuk selalu bersikap jantan … dan tidak cukup untuk mengingat kalau kamu sendiri cowok SMA yang sehat.”

“Bukannya itu sedikit kasar?”

Amane merasa kesal karena teman-teman sekelasnya, dan bahkan Mahiru, meragukan kejantanannya.

“Tapi itulah kebenarannya,” katanya, sambil membuang muka. Mahiru masih memberikan petunjuk bahwa dia sedikit kesal tentang sesuatu, dan saat melihat Amane mengerutkan kening, dia memeluk bantal di lututnya. “…Rupanya kamu tidak menganggapku sangat menarik, dan hal itu merusak kepercayaan diriku.”

“Dan tepatnya, apa yang membuatmu sampai pada kesimpulan itu?”

“Misalnya kamu tidak tertarik denganku.”

Mahiru pasti mendengarnya berkata kalau Amane tidak tertarik pada si Tenshi.

“Tunggu, apa yang aku katakan adalah bahwa aku tidak tertarik pada kedok tenshi-mu. Kepribadian si Tenshi adalah kedok yang mainkan di sekolah, bukan? Maksudku, meskipun aku tertarik pada Mahiru, aku tidak terlalu tertarik pada Mahiru yang menyamar sebagai tenshi. Aku pikir itu terlihat seperti pertunjukan yang sulit; cuma itu saja.”

“…Jadi menurutmu aku ini menarik?”

“Aku pasti buta kalau sampai berpikiran sebaliknya. Kamu itu sangat cantik. Sebagai orang yang paling sering berada di sisimu, aku bisa meyakinkanmu tentang itu.”

Amane tidak bisa membayangkan bagaimana orang lain tidak beranggapan begitu. Setelah menghabiskan begitu banyak waktu dengan Mahiru, Amane sudah mengenal banyak sisi berbeda dari kepribadiannya dan mulai menghormatinya dengan penuh kasih sayang. Cintanya padanya hanya meningkat dan tidak pernah berkurang. Itu saja sudah menjadi bukti bahwa Mahiru adalah gadis yang menarik.

Saat Amane berbicara begitu, Mahiru mulai dengan gugup mencubit dan menarik kain bantal yang dia pegang. Dia sepertinya tidak berani menatap wajah Amane.

“Ka-Kalau memang begitu, maka tidak apa-apa, tapi ...”

Mahiru menggeliat dan mengangguk seolah dia ragu untuk mengatakan sesuatu, lalu membenamkan wajahnya di bantal. Telinganya berwarna merah cerah, menyembul dari balik rambut pirangnya, dan jelas sekali kalau dia merasa malu.

Saat Mahiru sudah bertingkah begini, satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah memberinya ruang, jadi Amane berbalik dan bersandar di sandaran tangan sofa.

Amane paham kalau Ia tidak mendinginkannya, Mahiru pasti akan melihatnya di wajahnya ketika dia pulih.

…Kalau itu membuatnya sangat malu, dia seharusnya jangan bilang apa-apa.

Saat mereka berdua mempertimbangkan kata-kata mereka, Amane menghela nafas terlalu pelan untuk didengar Mahiru.

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama