Otonari no Tenshi-sama Vol.3 Chapter 8 Bahasa Indonesia

Chapter 08 — Bermain-main di Pelajaran Memasak Tenshi-sama

 

“Selamat datang di pelajaran memasak Mahirun yang pertama, yeay~!”

Chitose menyatakan pengumuman itu dengan nada dan irama dari intro suatu program memasak televisi. Amane menatapnya dengan tatapan kesal.

Liburan Golden Week sudah dimulai, dan mereka memutuskan untuk mengadakan pelajaran memasak Mahiru pada hari pertama liburan. Tempatnya adalah apartemen Amane, karena alasan sederhana bahwa itu adalah tempat yang mudah bagi Mahiru dan Chitose untuk bertemu.

Keluarga Chitose ada di rumahnya, jadi mereka tidak bisa terlalu berisik, dan meski Mahiru telah menawarkan tempatnya, tapi Amane menolak keras untuk masuk ke apartemen seorang gadis, jadi mereka memilih apartemennya.

Sembari mengenakan celemek, Chitose menyemangati dirinya dengan. “Yeeaaay! Kami telah mengundang Shiina Mahiru-san untuk menjadi pengajar untuk kursus ini!”

Mahiru juga mengenakan celemek dan tersenyum masam saat berdiri di samping Chitose.

“Kamu tidak mengundangnya ke sini,” balas Amane. “Kamu juga tamu di sini, tahu.”

“Dan sebagai penguji rasa kami…kami telah mengundang orang yang terus mengeluh, Fujimiya Amane-san!”

“Berisik. Lagian, ini apartemenku.”

“Kamu sama sekali tidak menyenangkan!”

Amane tidak bisa mengimbangi kemeriahan Chitose yang selalu ramai sendiri di pagi-pagi begini. Sekarang baru lewat pukul 9. Mereka telah merencanakan untuk menyelesaikan memasak sekitar waktu makan siang, jadi sekarang adalah waktu yang pas untuk berkumpul.

Amane tidak terlalu mempermasalahkan waktunya, tapi Chitose merupakan gadis yang selalu ribut sendiri dan sulit untuk dihadapi.

“…Maaf tentang ini, padahal kamu baru bangun tidur…,” Mahiru meminta maaf.

“Tidak, aku tidak masalah. Lagi pula, kamu akan membuatkanku makan siang, ”tegas Amane. “Ngomong-ngomong, tolong awasi Chitose supaya dia tidak memasukkan sesuatu yang aneh-aneh ke dalam masakannya.”

“Kamu kurang percaya padaku ya!”

“Apa kamu sudah lupa dengan perbuatanmu di Hari Valentine kemarin…?”

Amane masih belum melupakan rasa cokelat prank buatan Chitose. Cokelat yang tidak ada isian yang aneh-aneh di dalamnya memang enak, tapi rasa cokelat spesial yang mengejutkan sudah cukup membuat lidahnya mati rasa sehingga Ia masih mengingatnya bahkan sekarang. Dan Amane masih tidak bisa mempercayai selera Chitose, karena dia mengklaim kalau dia bisa memakan cokelat eksperimental itu seperti cemilan biasa.

“Ah-ha-ha, tapi cokelat itu dimaksudkan untuk menjadi lelucon. Yang ini  akan baik-baik saja jika aku memasak secara normal. Mungkin.”

“Kata 'mungkin' itu yang membuatku khawatir, dasar brengsek... aku mohon, tolong buatkan sesuatu yang bisa aku makan.”

“Jangan khawatir tentang itu!” ujar Chitose dengan percaya diri saat dia mulai menyingsingkan lengan bajunya.

Amane merasakan sedikit cemas saat melihat gadis-gadis itu bersiap, tapi Ia yakin Mahiru mungkin akan menghentikan ulah jahil Chitose entah bagaimana.

Mahiru tidak main-main dengan hidangan yang dia rencanakan untuk disajikan kepada orang lain, dan dialah yang menjalankan pelajaran ini, jadi Amane yakin mereka akan membuat makanan dengan benar, dan semuanya akan baik-baik saja.

Dengan Chitose di belakangnya, Mahiru menuju dapurnya seolah-olah itu adalah rumahnya sendiri dan membacakan nama-nama hidangan di menu hari itu.

Makan siang hari ini akan terdiri dari quiche[1] dan salad, sup kental udang beserta tumis-tumisan. Dia tampaknya telah memutuskan untuk menyanggupi permintaan Amane untuk memasukkan udang. 

Amane yakin kalau semuanya akan baik-baik saja, tapi Ia masih khawatir tentang Chitose yang memasukkan sesuatu yang aneh ke dalam quiche.

“…Aku merasa kamu tidak perlu parno segitu juga kali…,” protes Chitose. Mungkin dia menyadari kalau Amane menatapnya dengan curiga.

Amane mengalihkan pandangannya dan menjatuhkan diri di sofa. Tugasnya adalah menjadi penguji rasa, jadi Ia tidak perlu melakukan apa pun, dan itu sangat cocok untuknya. Ia tidak sepenuhnya tidak berguna sebagai pembantu Mahiru, tapi itulah peran Chitose hari ini, lagi pula, Ia telah diperintahkan oleh Mahiru untuk duduk, jadi Amane tidak bisa bergerak dari tempatnya.

Oleh karena itu, Amane jadi punya banyak waktu luang.

Ia melirik ke arah dapur dan melihat dua gadis dengan celemek yang terpasang sedang asyik mengobrol seraya memulai pekerjaan mereka.

Mereka berdua gadis cantik dengan tipe yang berbeda, dan melihat mereka berdua di sini, mengenakan celemek dan memasak di apartemennya, pasti akan membuat cowok-cowok lain di kelas mereka iri, pikir Amane, seolah-olah Ia adalah pengamat yang tidak terlibat.

Melawan kecemasan putaran kedua tentang apakah si gadis jahil itu mungkin melakukan sesuatu yang keterlaluan, Amane membiarkan matanya terpejam, tidak yakin apa lagi yang harus dilakukan dengan waktu luangnya.

Rupanya, kelas memasak akan memakan waktu beberapa jam, jadi mereka mungkin tidak keberatan jika Ia tidur sebentar. Bagaimanapun juga, ini adalah apartemennya, jadi satu-satunya yang bisa menyalahkannya untuk sesuatu adalah...Mahiru.

Amane menguap dan membuat dirinya nyaman di sofa.

 

◇◇◇◇

 

Ketika kesadarannya kembali, Amane mencium aroma wangi di dekatnya. Aroma tersebut adalah aroma yang sudah biasa Ia kenali, aroma yang mirip seperti susu dan bunga, sulit untuk dijelaskan tetapi sangat membuatnya nyaman, jadi tanpa pikir panjang lagi, Amane menarik napas dalam-dalam.

Dalam keadaan setengah sadar dan sedikit linglung, Amane mendekatkan wajahnya ke sumber aroma itu dan merasakan sesuatu yang hangat serta lembut saat disentuh. Ketika Ia mendekatkan pipinya ke kehangatan yang nyaman itu, sesuatu itu mulai menggeliat.

“…Ah, um, itu geli…,” kata suara yang terhenti dari suatu tempat yang sangat dekat. Amane menyadari seseorang sedang menepuk pahanya. Hal itu dengan cepat menyeret kesadarannya yang redup ke permukaan, dan saat membuka kelopak matanya yang berat...apa yang Amane lihat adalah hamparan putih mulus yang halus.

Amane dengan gugup mengangkat kepalanya dan menemukan wajah memerah Mahiru ysng sangat dekat dengannya. Dia terlihat sangat tersipu.

“…Mahiru?”

“Ya?”

“… Eh…selamat pagi?”

“Selamat pagi. Meski … sebenarnya, ini sudah waktunya untuk mengucapkan selamat siang.”

Amane melihat jam digital di rak dan melihat bahwa sekarang sudah lewat tengah hari.

Tanpa disadari, Ia sudah terlelap cukup lama. Tapi apa yang Mahiru lakukan di sisinya?

“Saat aku duduk di sebelahmu, kamu bersandar padaku.”

Mahiru menjawab pertanyaannya yang tak terucap Amane, pipinya masih sedikit memerah.

Rupanya, Amane meletakkan wajahnya di area dekat bahu Mahiru. Kemeja yang dikenakannya hari ini memiliki lekukan leher yang cukup terbuka, yang mana hal itu membuat sebagian kulitnya terlihat, dan sepertinya di sanalah Amane menempelkan wajahnya.

Jika Ia sedang apes, Mahiru mungkin akan menganggap ini sebagai kasus pelecehan seksual, jadi Amane mempersiapkan dirinya untuk menerima kemarahannya, tapi Mahiru tampak malu ketimbang merasa marah dan hanya menundukkan kepalanya.

Secara pribadi, Amane lebih suka kalau dia bersikap marah, karena Ia benar-benar bingung harus berbuat apa ketika Mahiru bereaksi seperti itu. Amane tampaknya telah diampuni, dan hal itu justru membuatnya tidak nyaman.

“Itu— maafkan aku,” Amane meminta maaf. “Itu pasti menyakitkan.”

“Ti-Tidak, tidak sama sekali!” bantah Mahiru, tampak bersikeras.

“Malahan sebaliknya, Mahirun bilang 'Aku akan memanfaatkan keadaan Amane-kun yang setengah tertidur' dan duduk di sebelahmu untuk menangkap kepalamu.”

“Chitose-san!” wajah Mahiru menjadi lebih merah.

“Dan sejak kapan kalian berdua mulai memanggil satu sama lain dengan nama depan, hmm~?” ujar Chitose sambil menyeringai.

“… Chitose.”

“Jangan cemberut padaku, Amane. Kamu sendiri yang ceroboh!”

Ia tidak bisa membantah hal itu. Dalam keadaan setengah sadar, Amane memanggil Mahiru dengan nama depannya meski Chitose ada di sana. Itu memang kesalahannya.

“Lagi pula, Mahirun sudah memberitahuku tentang bagaimana kalian berdua saling memanggil saat tidak ada orang lain…”

“Dengar, kamu—,” geram Amane.

“Ma-Maaf,” gumam Mahiru.

Amane dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tidak, kamu sama sekali tidak salah, Mahiru.”

Chitose terkekeh riang. “Yah, sejauh yang aku tahu, aku pikir ada bagusnya kalau kalian berdua sudah menjadi sangat dekat! Itu sama sekali bukan hal yang buruk.”

“Kamu benar-benar menyebalkan, kau tahu itu?” Amane melotot. “Ini benar-benar bukan seperti apa yang kamu pikirkan.”

“Ohh?”

“Apa?”

“Eh, bukan apa-apa. Bukan apa-apa kokkkkk~!”

Chitose sepertinya punya banyak hal yang ingin dikatakan, tapi dia mengangkat bahu seolah dia tidak punya niat untuk mengungkapkannya melalui kata-kata. Amane tahu kalau dia sudah bertingkah seperti ini, tidak ada gunanya mencoba menanyainya, jadi Ia menyerah untuk bertanya lebih jauh padanya.

Di sampingnya, Mahiru terlihat sedikit khawatir.

“…Mahiru?”

“Hah? Ah, tidak apa-apa.”

Mahiru sepertinya sadar ketika Amane berbicara dengannya. Dia buru-buru tersenyum dan menggelengkan kepalanya, jadi Ia tahu Ia juga tidak bisa menanyainya lebih jauh. Yang bisa Amane lakukan hanyalah menutup mulutnya.

“…Jadi, kami membuat makan siang seperti yang dijanjikan. Mau makan?” tanya Chitose.

“Tentu. Aku tidak menyangka kalau aku ketiduran sampai makan siang…”

“Kamu tidur seperti kayu, jadi kami punya banyak waktu untuk bermain-main, melihat wajahmu yang tertidur.”

“... Jangan bilang kalau kamu melakukan sesuatu lagi, ‘kan?”

“Tentu saja tidak!” Chitose bersikeras, meskipun dia tahu lebih baik daripada mempercayainya. “Apa sih yang membuatmu cemas begitu, anak muda?”

“Kamu melakukan sesuatu selain kejahilan, ‘kan?” Amane bertanya dengan curiga.

“Dibilangin, aku tidak melakukan apa-apa kok, sumpah!”

“Masa. Mahiru, apa dia melakukan sesuatu pada makanan itu?”

Amane menoleh ke arah Mahiru untuk memastikan, tapi dia sedikit terkejut saat Amane tiba-tiba membicarakan topik itu. Dia tampak bingung dan tersenyum kecut.

“Chitose tidak melakukan apa-apa sih, tapi…”

“Benarkah? Kalau dia beneran melakukannya, aku berpikir untuk meremasnya sampai dia meletus—”

“Jahat!”

Chitose tertawa terbahak-bahak bahkan saat dia memprotes, dan Amane hanya bisa menghela nafas putus asa.

Akhirnya—meskipun Amane tidak merasa kalau waktu telah berlalu, karena Ia tertidur—ini memang waktu makan siang.

Bahkan Chitose tampaknya menganggap masakannya serius untuk perubahan, dan meja itu diatur dengan quiche yang dimasak dengan indah dan sup bisque yang mengeluarkan aroma udang yang kaya.

Mereka sudah menyajikan semuanya di piring masing-masing, jadi salad, quiche, sup kental udang, dan tumis sayuran diatur dengan hati-hati untuk memamerkan rangkaian warna yang kaya. Hidangan yang ditampilkan tampak seperti makan siang yang mungkin disajikan di kafe trendi.

“Wow, semuanya tampak hebat!” seru Amane. “…Mahiru, bagaimana rasanya?”

“Semuanya baik-baik saja.” Dia mengangguk. “Chitose tidak menambahkan sesuatu yang aneh, dan aku sudah mencicipi semuanya.”


“Syukurlah.”

Kamu sama sekali tidak mempercayaiku, ya! Hari ini aku membuat semuanya dengan benar, tau.”

Chitose mendengus dengan nada protes, tapi dia memiliki sejarah meluncurkan serangan mendadak setelah mengatakan hal yang serupa, jadi Amane paham betul kalau lebih baik bersikap waspada daripada membiarkannya lengah. Namun, kali ini, Mahiru ada di sana untuk mengawasi, jadi Amane bisa merasa santai dan memakannya tanpa perlu khawatir.

“Ah, Mahiru membuat quiche ini. Aku juga membuatnya untuk diberikan kepada Ikkun nanti.”

“Kamu akan memberinya quiche utuh...?”

“Ini ukuran kecil, seukuran telapak tanganku, jadi tidak apa-apa. Ehheheh, aku ingin tahu apakah Ia akan merasa senang dengan itu…?”

Chitose tersenyum lebar, dan Mahiru menatapnya dengan senyum hangatnya sendiri. Selama Chitose tidak disibukkan dengan bermain-main atau melakukan kenakalan lainnya, dia adalah pacar yang cukup ideal. Amane berpikir itu ide yang bagus bahwa dia membuat sesuatu hanya untuk Itsuki.

Tapi Chitose memang cenderung berbuat jahil yang keterlaluan, jadi mungkin sedikit berbahaya untuk mempercayainya sepenuhnya.

Amane juga tersenyum kecil pada Mahiru yang berseri-seri, lalu mengalihkan perhatiannya ke piring yang telah disiapkan di hadapannya. Ia menyatukan kedua tangannya. “Baiklah, ayo makan.”

“Silakan! Silakan dinikmati makanannya!”

Wajah Chitose tampak tersipu. Ekspresinya sangat menawan, dan hanya untuk sesaat, Amane diingatkan kembali kalau dia juga seorang gadis.

 

◇◇◇◇

 

“… Um, maafkan aku.”

Setelah Chitose pergi, Mahiru tiba-tiba meminta maaf.

Amane tidak tahu mengapa Mahiru meminta maaf padanya, dan Ia melihat dengan mata lebar ke arah Mahiru yang duduk di sampingnya. Mahiru menyatukan kakinya dan menggeliat dengan gelisah serta mengenakan ekspresi bersalah.

“…Maaf karena sudah berbuat jahil padamu.”

“Jahil?”

“Chitose-san memang tidak melakukan apapun padamu, tapi…yah, akulah yang melakukannya.”

“Hah, kamu yang melakukannya?”

Amane yakin Chitose bersikeras kalau dia tidak melakukan apa-apa ketika menginterogasinya, dan Mahiru juga memastikan bahwa Chitose tidak berbuat apa-apa. Tapi Mahiru tidak mengatakan sepatah kata pun tentang apa dia sendiri yang melakukan hal yang tidak baik.

Ia bahkan tidak pernah mempertimbangkan bahwa Mahiru mungkin melakukan sesuatu padanya dan secara otomatis menyingkirkannya dari kecurigaan, tetapi tampaknya dia melakukan kejahilan pada Amane. Dia tampak bersalah, seolah-olah ingin kabur kapan saja.

 “Apa yang sudah kamu lakukan?”

“Yah, aku meremas pipimu...”

“... Apa itu benar-benar bisa dibilang sebagai perbuatan jahil?”

“A-Aku juga menatap wajahmu yang tertidur, dan membelai rambutmu.”

“Yah, kamu memang suka melakukan itu.”

“…Y-ya.”

“Jadi… hanya itu saja?”

“…Ya.”

Dari tingkah lakunya, Mahiru memang tampak menyesal, tetapi Amane ingin bercanda kalau perbuatannya itu bukan termasuk sebagai kejahilan. Apa yang Mahiru lakukan bukanlah perbuatan jahil dan lebih seperti keintiman fisik yang normal. Jika perbuatan itu termasuk jahil, itu berarti Amane juga sudah sering melakukan kejahilan dengan Mahiru, jadi Amane berharap dia tidak berpikir seperti itu.

“Aku tidak marah, tahu. Seperti, selama kamu bersenang-senang, aku rasa itu baik-baik saja; itu kecerobohanku sendiri karena sudah tertidur di depan orang lain. ”

“Te-Terima kasih…”

“Maksudku, aku pikir apa enaknya melihat wajahku yang jelek ini, tapi…”

“…Kamu terlihat imut, tahu?”

“Cuma kamu satu-satunya orang yang akan mengatakan pria sepertiku terlihat imut.”

“Itu tidak benar sama sekali. Chitose-san juga bilang begitu!”

“Dia pasti sedang meledekku ...”

Dalam kasus Chitose, dia jelas mengatakan wajah Amane terlihat imut dalam artian mengejeknya. Itu masalah yang berbeda dari Mahiru yang menganggapnya imut. Seperti biasa, tak seorang pun boleh menganggap Chitose terlalu serius, pikirnya.

“…Padahal kamu benar-benar imut, kok.”

“Benarkah?”

“Aku sering bermain-main dengan pipimu…”

“Entahlah, apa menyenangkannya menyolek pipi seorang cowok?”  

“Ini lebih menyenangkan daripada yang kamu pikirkan.”

Berdasarkan tubuhnya sendiri, Amane berpikir kalau pipi laki-laki akan sangat kaku dibandingkan dengan pipi perempuan dan karena itu tidak terlalu menyenangkan untuk dicolek atau dimainkan. Amane tidak mengerti mengapa Mahiru menganggap kalau itu menyenangkan, tapi jika itu adalah tindakan menyolek pipinya dianggap menyenangkan, maka Amane seharusnya tidak mengeluh.

“Yah, aku juga tidak membantahnya,” katanya. “Pipimu juga terasa enak untuk dicolek.” Imbuh Amane.

Amane sendiri pernah memainkan “kejahilan” yang sama pada Mahiru sebelumnya.

Meski pernah, tapi Amane tidak berani bertindak keterlaluan, jadi Ia dengan lembut menyoleknya dengan ujung jarinya.

Pipi Mahiru lembut dan sedikit kenyal serta tidak diragukan lagi itu sangat feminim. Sangat terlihat jelas kalau dia merawat kulitnya dengan sangat baik, karena kulitnya halus dan berkilau. Hanya menyentuhnya saja terasa luar biasa. Mengatakan pada dirinya sendiri bahwa jika Mahiru menyentuh wajahnya, Ia pasti diizinkan untuk menyentuh wajah Mahiru, jadi Amane dengan lembut mencubit pipinya yang lentur.

Mahiru menatapnya dengan sedikit ketidakpuasan, dan Amane tahu kalau Ia sebaiknya tidak boleh berlebihan, jadi Ia membelai pipi Mahiru dengan lembut dengan bantalan jarinya untuk menenangkannya. Amane menggerakkan tangannya dengan lembut dan hati-hati, seperti yang biasa Ia lakukan jika sedang membelai anak kucing.

“…Hmm.”

Tak lama kemudian, ekspresi ketidakpuasan memudar dan digantikan oleh senyum lembut yang sepertinya menyembunyikan sesuatu. Ekspresinya terlihat sangat menggemaskan, Amane bertanya-tanya apakah ramuan rahasianya adalah karena banyak madu.

…Dia terlihat keenakan.

Ia terkejut saat melihat betapa santainya ekspresi Mahiru saat ada cowok yang menyentuhnya seperti itu. Dan kemudian, Amane baru mengingat kalau Mahiru tidak pernah membiarkan cowok mana pun menyentuhnya, dan Ia tiba-tiba merasa sangat malu untuk menerima perlakuan khusus seperti itu. Hal tersebut membuatnya ingin membenturkan kepalanya ke belakang sofa.

Sambil berusaha mencoba menghilangkan pemikiran seperti itu dari benaknya, Amane mengarahkan tangannya di bawah dagu Mahiru, dan kali ini Ia benar-benar menggerakkan jarinya seperti sedang membelai kucing.

Anggap aja ini gambaran Mahiru yang lagi dielus Amane :v


“Hyah!” Mahiru mengeluarkan teriakan kecil. “…Ap-Apa itu tadi?”

“Latihan buat di kafe kucing nanti.”

“Apa-apaan itu? Aku ini bukan kucing, aku manusia!”

“Habisnya kamu itu sangat mirip kucing. Tapi juga seperti anjing dan kelinci pada saat yang bersamaan.”

“Apa maksudmu…?”

“Tepat seperti yang aku katakan.”

Akhir-akhir ini, Amane sering mengamati kalau Mahiru terkadang bertingkah seperti kucing, anjing, dan bahkan kelinci. Saat Amane pertama kali mengenalnya, dia adalah kucing yang sangat waspada, kemudian ketika mereka menjadi lebih dekat, dia menjadi ramah seperti anjing ... tidak terlalu persis, tapi dia benar-benar hangat padanya. Adapun yang mirip kelinci...untuk beberapa alasan, Amane berpikir bahwa kelinci adalah makhluk yang kesepian, jadi Ia baru saja menambahkan hal itu saat menggambarkan Mahiru.

Amane senang dia tidak benci dimanja, karena Ia sendiri ingin melakukan hal itu. Saat Amane menggaruk di bawah dagunya, Mahiru dengan tenang berkata, “Bagian atas kepalaku akan lebih baik,” jadi Amane menuruti permintaannya untuk membelai kepalanya.

Ia memutuskan untuk tidak menyebutkan bahwa, pada saat seperti ini, Mahiru  jauh lebih mirip seperti anjing.

“…Jika aku kucing, anjing, dan kelinci… Kalau begitu, Amane-kun, kamu mirip seperti serigala.”

“Apa itu berarti aku akan menyerang perempuan…?”

“Bu-Bukan, aku tidak bermaksud begitu! Serigala tampaknya sangat peduli dengan kawanannya. Aku pernah mendengar mereka melakukan apa saja untuk melindungi kawanan mereka. Yah, karena kawanan mereka biasanya terdiri dari anggota keluarga, kurasa itu sedikit berbeda, tapi aku bilang begitu karena kamu sangat menghargai orang-orang yang berada di dekatmu.”

“…Yah, kurasa mungkin ada benarnya juga.”

Lingkaran pertemanan Amane cukup kecil. Saking kecilnya sampai-sampai Ia bisa menghitung orang yang dia sebut teman dengan dua tangan. Tetapi Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik semampunya untuk orang-orang itu dan memperlakukan mereka dengan baik. Jika Mahiru menyebut sisi dirinya yang begitu seperti serigala, maka Ia tidak keberatan.

“La-Lagipula… itu sesuai dengan apa yang kuinginkan.”

“Sesuai yang kamu inginkan?”

“…Tidak, bukan apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan tentang itu. Um, dan juga, rambutmu halus, itu sebabnya kamu seperti serigala.”

“Itu bukan sifat serigala.”

Mahiru sepertinya ingin mengatakan sesuatu yang berbeda, tapi sekarang dia membelai rambut Amane, jadi Ia tidak menanyainya dan membiarkan Mahiru menyentuh rambutnya sesukanya.

 

◇◇◇◇

 

Keesokan harinya setelah pelajaran memasak, Mahiru tampaknya mempunyai rencana untuk berjalan-jalan bersama Chitose lagi, jadi dia langsung pergi setelah menyiapkan makan siang Amane.

Meski Amane bisa membuat makanan untuk dirinya sendiri tanpa bantuannya, tapi Mahiru sudah bersusah payah memasak untuknya, jadi Ia merasa berterima kasih padanya .

Ia mengantar kepergian Mahiru saat meninggalkan apartemennya, tampak agak gelisah, lalu menghela nafas ketika kebingungan bagaimana Ia harus menghabiskan waktu luangnya.

Sekarang baru pukul setengah dua siang. Karena Mahiru pergi keluar, saat ini bukan waktu yang buruk untuk keluar jalan-jalan, tapi Amane tidak terlalu suka pergi keluar karena Ia tidak mempunyai rencana. Jika Ia punya rencana untuk nongkrong dengan seseorang, Ia mungkin bisa memanggil tekad untuk meninggalkan apartemen, tapi jika tidak ada yang menunggunya, maka Amane pikir Ia tidak perlu repot-repot meninggalkan apartemennya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, apa yang harus dilakukan dengan hari liburnya. Tidak ada banyak yang bisa Ia lakukan untuk menghabiskan waktu di rumah.

Hiburannya yang paling sering adalah game dan manga, tapi Amane sudah menamatkan semua skenario dalam game RPG-nya dan bahkan menyelesaikan semua speedrun, dan tidak terlalu menarik untuk memainkan game party sendirian.

Jadi Amane menyempitkan pilihannya pada manga dan novel, tapi Amane biasanya tidak menyimpan banyak buku, dan Ia sudah membaca semua koleksinya beberapa kali dan tahu semua plotnya. Amane adalah pembaca yang cepat, jadi Ia mungkin akan membaca seluruh seri buku komik dalam satu jam.

Amane jadi kebingungan apa lagi yang bisa dia lakukan. Untuk sesaat, Ia pergi ke kamar tidurnya dan membuka buku teks yang tergeletak di mejanya.

Chitose pasti terlihat keheranan jika melihat keadaanku yang sekarang.

Amane tidak punya banyak hal yang harus dilakukan, dan mereka juga kebetulan diberi PR bahkan selama liburan Golden Week. Dan setelah Golden Week, ujian UTS sudah menunggu mereka. Ia sebenarnya sedikit menikmati belajar, jadi  itu mungkin cara yang baik untuk menghabiskan harinya jika Ia tidak punya ide lain.

Pada akhirnya, Amane harus menyelesaikan PR yang ditugaskan kepadanya, dan Ia ingin menikmati tamasya besok tanpa perlu terus memikirkannya. Jadi Ia memutuskan kalau pilihan yang terbaik ialah melanjutkan dan menyelesaikan kewajibannya sebagai pelajar.

Amane secara alami adalah murid yang serius, jadi Ia menempatkan dirinya ke dekat meja belajarnya, dengan pensil mekanik di tangannya, untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.

 

◇◇◇◇

 

Saat Amane melihat jam lagi, waktu menunjukkan kalau sekarang sudah lewat pukul enam.

Setiap kali Amane benar-benar berkonsentrasi, Ia cenderung mengabaikan yang lainnya. Saat meninggalkan kamar tidurnya, dan memutar bahunya untuk melonggarkan tubuhnya yang kaku, Ia tersenyum melihat bagaimana sinar matahari yang menembus jendela telah mengubah sudutnya sedikit demi sedikit.

Amane bisa melihat area dapur begitu keluar di lorong, dan benar saja, di sana ada Mahiru yang sudah mengenakan celemeknya. Dia tidak ada di sana terakhir kali Amane meninggalkan kamarnya untuk istirahat.

Rupanya, Mahiru sudah kembali dari jalan-jalannya dengan Chitose.

Amane tidak yakin apa itu hal yang baik bahwa Ia begitu fokus sampai-sampai tidak menyadari suara pintu terbuka di pintu masuk, tapi Amane tahu itu tidak baik karena Ia tidak keluar untuk menyambut Mahiru.

“Selamat datang kembali. Maaf aku tidak sempat menyambutmu.”

“Tidak apa-apa… aku juga tidak memanggilmu. Aku pikir kamu mungkin sibuk dengan sesuatu di kamarmu. ”

“Aku sedang mengerjakan PR.”

Amane telah membuat banyak kemajuan di apartemen yang tenang, tapi Ia mungkin belajar terlalu lama, karena tubuhnya terasa sangat kaku. Ia menyesal karea tidak mengubah posturnya sedikit lebih sering saat membaca.

Amane melakukan peregangan ringan saat mereka berbicara, dan Mahiru tertawa kecil.

“Kamu sangat rajin sekali.”

“Aku ini tipe orang yang suka menyelesaikan PR-ku lebih awal sehingga aku bisa menikmati waktu luangku.”

“Aku hampir sama. Meskipun aku lebih suka melakukan belajarku sesekali.”

“Kamu bahkan lebih serius tentang PR sekolah ketimbang aku.”

Secara umum, Amane juga tipe orang yang belajar sedikit-sedikit dan dengan mantap menggoreskan materi pelajaran ke dalam ingatannya dengan pengulangan, tapi Ia tidak teliti dan metodis seperti Mahiru.

Kebetulan, Ia belajar dari pengalaman orang lain selama liburan musim panas lalu seperti Itsuki yang akan menyelesaikan tugas PR-nya terlebih dahulu dan kemudian bisa bermain-main dengan santai, dan Chitose yang akan bermain terlebih dahulu dan kemudian merengek dengan air mata penyesalannya sendiri, jadi Ia berharap paruh kedua liburan musim panas tahun ini akan berakhir sedikit sulit.

“Begitu kamu membiasakannya, hal itu benar-benar tidak terlalu merepotkan,” Mahiru menjabarkan. “Kalau sudah menjadi kebiasaan, kamu tidak perlu memusingkannya.”

“Luar biasa. Kurasa aku harus melakukan lebih banyak pekerjaan, sampai itu menjadi kebiasaan.”

Kebanyakan orang mengira kalau Mahiru adalah gadis jenius yang diberkati dengan otak encer secara alami. Mereka tidak mengetahui seberapa keras dia berusaha. Amane tidak pernah menyangkal kalau Mahiru sangat pintar, tapi Ia sangat menyadari kalau dia adalah pekerja keras dan pantang menyerah.

Meski Mahiru tidak terlalu menunjukkannya, tetapi di balik layar, dia tidak pernah mengendorkan upayanya. Itulah mengapa nilainya dan penampilannya serta atletiknya semuanya luar biasa.

Amane tahu seberapa keras usaha Mahiru, jadi Ia menghargai dan mengagumi usahanya dan tidak menyesali keberhasilannya. Kemampuan Mahiru diperoleh melalui keuletannya, dan siapa pun yang menginginkan hal yang sama untuk diri mereka sendiri harus melakukan upaya yang sama. Amane ragu kalau dirinya bisa mencapai level Mahiru, tapi sebagai seseorang yang selalu ingin meningkatkan nilainya, Ia mengaguminya.

Mahiru mengerutkan kening seperti ada sesuatu yang menggelitiknya.

“Percuma saja kamu memuki, kamu takkan mendapatkan apa-apa. Paling-paling, Kamu mungkin mendapatkan puding setelah makan malam. ”

“Oh, kalau begitu haruskah aku lebih memujimu lagi?”

“Sungguh perhitungan sekali.”

Mahiru tersenyum seperti ada yang lucu. Amane meliriknya, tapi ketika Ia membuka kulkas, Ia menyadari benar-benar ada puding di dalamnya. Puding itu dibeli di toko, tapi itu berasal dari toko kue yang sangat disukai Chitose, dan juga salah satu favorit Amane. Meski puding buatan tangan Mahiru adalah yang terbaik, namun pudding yang ini juga terasa lezat. Sensasi kebahagiaan menyebar di dalam dirinya.

Mahiru terkekeh saat melihat wajah Amane tiba-tiba sumringah, jadi Amane kembali tersadar dan merasa sedikit malu.

“Kamu benar-benar suka banget sama telur, ya?”

“Ya tentu.”

Amane tidak perlu menyembunyikannya di depan Mahiru, yang sudah memiliki pengetahuan menyeluruh tentang seleranya, jadi Ia segera mengangguk setuju.

Tiba-tiba, Mahiru membeku di tempat, masih dengan kaku memegang kentang yang baru saja dicucinya. Amane mencoba melihat wajahnya untuk melihat apa yang terjadi, tetapi Mahiru cepat-cepat membuang mukanya.

“Mahiru?”

“…Tidak apa-apa. Lebih penting lagi, jika kamu takkan membantu, aku sarankan kalau kamu meninggalkan area dapur.”

“Kok tiba-tiba jutek. Aku sebenarnya datang ke sini berniat untuk membantu, tapi…”

Tetap saja, Ia tidak enakan membuat Mahiru melakukan semua pekerjaan sendirian. Selain itu, sedikit aktivitas ringan akan sempurna untuk meregangkan anggota tubuhnya yang kaku.

Amane mengambil celemeknya dari rak dapur dan memakainya. Mahiru tanpa berkata-kata memasukkan beberapa kentang yang sudah dicuci ke dalam mangkuk dan menyerahkannya kepadanya bersama dengan pengupasnya. Dia tidak berani menatap mata Amane sepanjang waktu.

“Ngomong-ngomong, apa yang akan kita buat dengan kentang ini?”

“…Aku berencana membuat salad kentang, tapi sekarang kentang ini akan menjadi bahan untuk frittata[2].” 

“Bukannya itu pergantian yang sangat berbeda?”

“Tidak apa-apa. Akulah yang bertanggung jawab atas dapur. Kamu hanya perlu menuruti apa yang aku katakan. ”

“Aku—aku tidak begitu mengerti, tapi kurasa kamu ada benarnya juga.”

Dapur ini adalah dapur Amane, tapi Mahiru bertanggung jawab untuk memasak, jadi dapur ini sebenarnya berada di bawah kendali Mahiru. Lagipula, Amane tidak tahu banyak tentang masalah kuliner seperti Mahiru, jadi Ia lebih baik dengan patuh mengikuti petunjuknya.

Mahiru kelihatannya dalam suasana hati yang kurang baik, dan Amane penasaran tentang nada dinginnya saat mencuci tangannya dan mulai mengupas kentang. Untungnya, Ia tidak perlu khawatir melukai dirinya sendiri dengan alat pengupas.

Sedangkan Mahiru sendiri sudah memulai tugasnya. Sepertinya perubahan menu makan malam hari ini cukup mendadak, tapi Mahiru paling tahu bahan apa saja yang ada di dalam kulkas, jadi Amane yakin tidak ada masalah.

“…Jadi, apa yang kamu lakukan hari ini?”

Area dapurnya cukup luas sehingga mereka berdua bisa bekerja berdampingan, dan Ia tidak keberatan bekerja dalam diam, tapi tugas Amane tidak terlalu sulit, jadi Ia mencoba untuk memulai percakapan.

Seluruh tubuh Mahiru mendadak tersentak.

“Eh…um, yah… aku—aku mendapat nasihat tentang sesuatu.”

“Oh, apa ada sesuatu yang membuatmu kesulitan? Apa kamu sudah mendapat solusinya?”

Sejujurnya, Amane berharap kalau Mahiru akan curhat kepadanya jika dia punya masalah. Tapi mungkin ada banyak masalah yang hanya bisa dipahami di antara sesama gadis, jadi Ia agak memaklumi hal itu.

“Y-ya, begitulah. Aku akan tahu pasti dalam beberapa hari.”

“Hmm. Baguslah kalau begitu.”

Jika Mahiru sudah memecahkan masalahnya, maka Amane tidak bisa berkata apa-apa lagi, dan segera menutup mulutnya, paham betul kalau Ia tidak boleh terlalu ngotot menanyainya.

Mahiru menarik celemeknya dengan gugup.

“… Amane-kun?”

"Hmm?"

“Eh, um, ngomong-ngomong Amane-kun… Gaya mana yang lebih kamu suka, gaya yang sederhana dan bersih atau gaya yang lebih dewasa?”

Bulu matanya berkedip saat mengintip ke arahnya dengan ekspresi gelisah.

Amane tidak bertanya mengapa Mahiru tiba-tiba menanyakan pertanyaan seperti itu padanya. Ia pikir kalau Mahiru pasti mencoba untuk memutuskan penampilan seperti apa yang terbaik untuk tamasya mereka besok.

“Menurutku,gaya yang terbaik adalah gaya yang cocok dengan orang yang memakainya,” akhirnya Amane menjawab.

“Aku bertanya tentang kesukaanmu.” Tanya Mahiru.

“Aku tidak tahu harus berkata apa. Rasanyas sungguh menyegarkan saat melihat seorang wanita mengenakan sesuatu yang benar-benar cocok untuknya, tapi aku pikir semua orang harus mengenakan sesuatu yang membuatnya nyaman.”

“…Aku bertanya tentang kesukaanmu.”

“Ugh…”

Amane benar-benar berpikir kalau gaya yang terbaik adalah gaya yang Mahiru suka, tapi dia tampaknya tidak puas dengan tanggapan Amane.

“Aku berpikir kalau gaya manapun tidak masalah. Gaya sederhana sesuai dengan kepribadianmu dan terlihat imut, dan gaya anggun yang lebih menonjolkan kecantikanmu. Aku pikir semuanya terlihat cocok. Ada sesuatu yang disukai dari masing-masing gaya tersebut, tapi aku tidak bisa mengatakan penampilan mana yang lebih aku sukai kecuali aku melihat pakaian yang sebenarnya.”

“...Ka-Kamu mengatakan hal-hal seperti itu dengan begitu blak-blakan, ya? Ah…”

“Maksudku, kamu sendiri yang bertanya. Hmm, kurasa gaya yang sederhana jauh lebih cocok. ”

Amane punya firasat kalau Mahiru ingin membuatnya memilih salah satu, jadi Ia menurut.

Mahiru berpaling darinya. “Baiklah, aku akan memilih gaya itu,” jawabnya.

“Aku akan melakukan yang terbaik untuk menampilkan sesuatu yang mengejutkan Amane si cowok tenang dan kalem.” sindirnya.

“Sepertinya itu bukan lagi menjadi sangat sederhana ...”

“Baiklah, aku akan memakai sesuatu yang akan membuatmu kehilangan akal sehatmu.”

“Jangan terlalu yang berlebihan; Aku takkan tahu harus berbuat apa.”

“Itulah yang aku harapkan.”

Mahiru sangat agresif hari ini, tapi tingkahnya masih tetap menggemaskan, meski dalam artian yang berbeda. Amane terkekeh pada dirinya sendiri dan melanjutkan tugasnya untuk mengupas kulit kentang.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya


[1] Quiche itu nama masakan, bentuk masakannya kayak gini 

[2] 
Wujud makanan frittata 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama