Chapter 08 — Bermain-main di Pelajaran Memasak Tenshi-sama
“Selamat datang di pelajaran memasak Mahirun yang pertama, yeay~!”
Chitose menyatakan pengumuman
itu dengan nada dan irama dari intro suatu program memasak televisi. Amane menatapnya
dengan tatapan kesal.
Liburan Golden Week sudah dimulai, dan mereka memutuskan untuk mengadakan
pelajaran memasak Mahiru pada hari pertama liburan. Tempatnya adalah apartemen
Amane, karena alasan sederhana bahwa itu adalah tempat yang mudah bagi Mahiru
dan Chitose untuk bertemu.
Keluarga Chitose ada di rumahnya,
jadi mereka tidak bisa terlalu berisik, dan meski Mahiru telah menawarkan
tempatnya, tapi Amane menolak keras untuk masuk ke apartemen seorang gadis,
jadi mereka memilih apartemennya.
Sembari mengenakan celemek, Chitose
menyemangati dirinya dengan. “Yeeaaay! Kami telah mengundang Shiina Mahiru-san
untuk menjadi pengajar untuk kursus ini!”
Mahiru juga mengenakan celemek
dan tersenyum masam saat berdiri di samping Chitose.
“Kamu tidak mengundangnya ke
sini,” balas Amane. “Kamu juga tamu di sini, tahu.”
“Dan sebagai penguji rasa
kami…kami telah mengundang orang yang terus mengeluh, Fujimiya Amane-san!”
“Berisik. Lagian, ini
apartemenku.”
“Kamu sama sekali tidak
menyenangkan!”
Amane tidak bisa mengimbangi
kemeriahan Chitose yang selalu ramai sendiri di pagi-pagi begini. Sekarang baru
lewat pukul 9. Mereka telah merencanakan untuk menyelesaikan memasak sekitar
waktu makan siang, jadi sekarang adalah waktu yang pas untuk berkumpul.
Amane tidak terlalu
mempermasalahkan waktunya, tapi Chitose merupakan gadis yang selalu ribut
sendiri dan sulit untuk dihadapi.
“…Maaf tentang ini, padahal
kamu baru bangun tidur…,” Mahiru meminta maaf.
“Tidak, aku tidak masalah. Lagi
pula, kamu akan membuatkanku makan siang, ”tegas Amane. “Ngomong-ngomong,
tolong awasi Chitose supaya dia tidak memasukkan sesuatu yang aneh-aneh ke
dalam masakannya.”
“Kamu kurang percaya padaku ya!”
“Apa kamu sudah lupa dengan
perbuatanmu di Hari Valentine kemarin…?”
Amane masih belum melupakan
rasa cokelat prank buatan Chitose.
Cokelat yang tidak ada isian yang aneh-aneh di dalamnya memang enak, tapi rasa
cokelat spesial yang mengejutkan sudah cukup membuat lidahnya mati rasa
sehingga Ia masih mengingatnya bahkan sekarang. Dan Amane masih tidak bisa
mempercayai selera Chitose, karena dia mengklaim kalau dia bisa memakan cokelat
eksperimental itu seperti cemilan biasa.
“Ah-ha-ha, tapi cokelat itu
dimaksudkan untuk menjadi lelucon. Yang ini akan baik-baik saja jika aku memasak secara
normal. Mungkin.”
“Kata 'mungkin' itu yang membuatku khawatir, dasar brengsek... aku mohon,
tolong buatkan sesuatu yang bisa aku makan.”
“Jangan khawatir tentang itu!”
ujar Chitose dengan percaya diri saat dia mulai menyingsingkan lengan bajunya.
Amane merasakan sedikit cemas
saat melihat gadis-gadis itu bersiap, tapi Ia yakin Mahiru mungkin akan
menghentikan ulah jahil Chitose entah bagaimana.
Mahiru tidak main-main dengan
hidangan yang dia rencanakan untuk disajikan kepada orang lain, dan dialah yang
menjalankan pelajaran ini, jadi Amane yakin mereka akan membuat makanan dengan
benar, dan semuanya akan baik-baik saja.
Dengan Chitose di belakangnya,
Mahiru menuju dapurnya seolah-olah itu adalah rumahnya sendiri dan membacakan
nama-nama hidangan di menu hari itu.
Makan siang hari ini akan terdiri dari quiche[1] dan salad, sup kental udang beserta tumis-tumisan. Dia tampaknya telah memutuskan untuk menyanggupi permintaan Amane untuk memasukkan udang.
Amane yakin kalau semuanya akan
baik-baik saja, tapi Ia masih khawatir tentang Chitose yang memasukkan sesuatu
yang aneh ke dalam quiche.
“…Aku merasa kamu tidak perlu
parno segitu juga kali…,” protes Chitose. Mungkin dia menyadari kalau Amane
menatapnya dengan curiga.
Amane mengalihkan pandangannya
dan menjatuhkan diri di sofa. Tugasnya adalah menjadi penguji rasa, jadi Ia
tidak perlu melakukan apa pun, dan itu sangat cocok untuknya. Ia tidak
sepenuhnya tidak berguna sebagai pembantu Mahiru, tapi itulah peran Chitose
hari ini, lagi pula, Ia telah diperintahkan oleh Mahiru untuk duduk, jadi Amane
tidak bisa bergerak dari tempatnya.
Oleh karena itu, Amane jadi
punya banyak waktu luang.
Ia melirik ke arah dapur dan
melihat dua gadis dengan celemek yang terpasang sedang asyik mengobrol seraya
memulai pekerjaan mereka.
Mereka berdua gadis cantik
dengan tipe yang berbeda, dan melihat mereka berdua di sini, mengenakan celemek
dan memasak di apartemennya, pasti akan membuat cowok-cowok lain di kelas
mereka iri, pikir Amane, seolah-olah Ia adalah pengamat yang tidak terlibat.
Melawan kecemasan putaran kedua
tentang apakah si gadis jahil itu mungkin melakukan sesuatu yang keterlaluan,
Amane membiarkan matanya terpejam, tidak yakin apa lagi yang harus dilakukan
dengan waktu luangnya.
Rupanya, kelas memasak akan
memakan waktu beberapa jam, jadi mereka mungkin tidak keberatan jika Ia tidur
sebentar. Bagaimanapun juga, ini adalah apartemennya, jadi satu-satunya yang bisa
menyalahkannya untuk sesuatu adalah...Mahiru.
Amane menguap dan membuat
dirinya nyaman di sofa.
◇◇◇◇
Ketika kesadarannya kembali,
Amane mencium aroma wangi di dekatnya. Aroma tersebut adalah aroma yang sudah
biasa Ia kenali, aroma yang mirip seperti susu dan bunga, sulit untuk dijelaskan
tetapi sangat membuatnya nyaman, jadi tanpa pikir panjang lagi, Amane menarik
napas dalam-dalam.
Dalam keadaan setengah sadar
dan sedikit linglung, Amane mendekatkan wajahnya ke sumber aroma itu dan merasakan
sesuatu yang hangat serta lembut saat disentuh. Ketika Ia mendekatkan pipinya
ke kehangatan yang nyaman itu, sesuatu
itu mulai menggeliat.
“…Ah, um, itu geli…,” kata
suara yang terhenti dari suatu tempat yang sangat dekat. Amane menyadari seseorang
sedang menepuk pahanya. Hal itu dengan cepat menyeret kesadarannya yang redup
ke permukaan, dan saat membuka kelopak matanya yang berat...apa yang Amane lihat
adalah hamparan putih mulus yang halus.
Amane dengan gugup mengangkat
kepalanya dan menemukan wajah memerah Mahiru ysng sangat dekat dengannya. Dia
terlihat sangat tersipu.
“…Mahiru?”
“Ya?”
“… Eh…selamat pagi?”
“Selamat pagi. Meski … sebenarnya,
ini sudah waktunya untuk mengucapkan selamat siang.”
Amane melihat jam digital di
rak dan melihat bahwa sekarang sudah lewat tengah hari.
Tanpa disadari, Ia sudah terlelap
cukup lama. Tapi apa yang Mahiru lakukan di sisinya?
“Saat aku duduk di sebelahmu,
kamu bersandar padaku.”
Mahiru menjawab pertanyaannya
yang tak terucap Amane, pipinya masih sedikit memerah.
Rupanya, Amane meletakkan
wajahnya di area dekat bahu Mahiru. Kemeja yang dikenakannya hari ini memiliki
lekukan leher yang cukup terbuka, yang mana hal itu membuat sebagian kulitnya
terlihat, dan sepertinya di sanalah Amane menempelkan wajahnya.
Jika Ia sedang apes, Mahiru
mungkin akan menganggap ini sebagai kasus pelecehan seksual, jadi Amane
mempersiapkan dirinya untuk menerima kemarahannya, tapi Mahiru tampak malu
ketimbang merasa marah dan hanya menundukkan kepalanya.
Secara pribadi, Amane lebih
suka kalau dia bersikap marah, karena Ia benar-benar bingung harus berbuat apa
ketika Mahiru bereaksi seperti itu. Amane tampaknya telah diampuni, dan hal itu
justru membuatnya tidak nyaman.
“Itu— maafkan aku,” Amane
meminta maaf. “Itu pasti menyakitkan.”
“Ti-Tidak, tidak sama sekali!”
bantah Mahiru, tampak bersikeras.
“Malahan sebaliknya, Mahirun
bilang 'Aku akan memanfaatkan keadaan
Amane-kun yang setengah tertidur' dan duduk di sebelahmu untuk menangkap kepalamu.”
“Chitose-san!” wajah Mahiru
menjadi lebih merah.
“Dan sejak kapan kalian berdua
mulai memanggil satu sama lain dengan nama depan, hmm~?” ujar Chitose sambil
menyeringai.
“… Chitose.”
“Jangan cemberut padaku, Amane.
Kamu sendiri yang ceroboh!”
Ia tidak bisa membantah hal
itu. Dalam keadaan setengah sadar, Amane memanggil Mahiru dengan nama depannya
meski Chitose ada di sana. Itu memang kesalahannya.
“Lagi pula, Mahirun sudah
memberitahuku tentang bagaimana kalian berdua saling memanggil saat tidak ada
orang lain…”
“Dengar, kamu—,” geram Amane.
“Ma-Maaf,” gumam Mahiru.
Amane dengan cepat
menggelengkan kepalanya. “Tidak, kamu sama sekali tidak salah, Mahiru.”
Chitose terkekeh riang. “Yah,
sejauh yang aku tahu, aku pikir ada bagusnya kalau kalian berdua sudah menjadi
sangat dekat! Itu sama sekali bukan hal yang buruk.”
“Kamu benar-benar menyebalkan,
kau tahu itu?” Amane melotot. “Ini benar-benar bukan seperti apa yang kamu
pikirkan.”
“Ohh?”
“Apa?”
“Eh, bukan apa-apa. Bukan
apa-apa kokkkkk~!”
Chitose sepertinya punya banyak
hal yang ingin dikatakan, tapi dia mengangkat bahu seolah dia tidak punya niat
untuk mengungkapkannya melalui kata-kata. Amane tahu kalau dia sudah bertingkah
seperti ini, tidak ada gunanya mencoba menanyainya, jadi Ia menyerah untuk
bertanya lebih jauh padanya.
Di sampingnya, Mahiru terlihat
sedikit khawatir.
“…Mahiru?”
“Hah? Ah, tidak apa-apa.”
Mahiru sepertinya sadar ketika
Amane berbicara dengannya. Dia buru-buru tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
jadi Ia tahu Ia juga tidak bisa menanyainya lebih jauh. Yang bisa Amane lakukan
hanyalah menutup mulutnya.
“…Jadi, kami membuat makan
siang seperti yang dijanjikan. Mau makan?” tanya Chitose.
“Tentu. Aku tidak menyangka
kalau aku ketiduran sampai makan siang…”
“Kamu tidur seperti kayu, jadi
kami punya banyak waktu untuk bermain-main, melihat wajahmu yang tertidur.”
“... Jangan bilang kalau kamu
melakukan sesuatu lagi, ‘kan?”
“Tentu saja tidak!” Chitose
bersikeras, meskipun dia tahu lebih baik daripada mempercayainya. “Apa sih yang
membuatmu cemas begitu, anak muda?”
“Kamu melakukan sesuatu selain
kejahilan, ‘kan?” Amane bertanya dengan curiga.
“Dibilangin, aku tidak
melakukan apa-apa kok, sumpah!”
“Masa. Mahiru, apa dia
melakukan sesuatu pada makanan itu?”
Amane menoleh ke arah Mahiru
untuk memastikan, tapi dia sedikit terkejut saat Amane tiba-tiba membicarakan
topik itu. Dia tampak bingung dan tersenyum kecut.
“Chitose tidak melakukan
apa-apa sih, tapi…”
“Benarkah? Kalau dia beneran
melakukannya, aku berpikir untuk meremasnya sampai dia meletus—”
“Jahat!”
Chitose tertawa terbahak-bahak
bahkan saat dia memprotes, dan Amane hanya bisa menghela nafas putus asa.
Akhirnya—meskipun Amane tidak merasa kalau waktu telah berlalu, karena Ia
tertidur—ini memang waktu makan siang.
Bahkan Chitose tampaknya
menganggap masakannya serius untuk perubahan, dan meja itu diatur dengan quiche yang dimasak dengan indah dan sup
bisque yang mengeluarkan aroma udang
yang kaya.
Mereka sudah menyajikan
semuanya di piring masing-masing, jadi salad, quiche, sup kental udang,
dan tumis sayuran diatur dengan hati-hati untuk memamerkan rangkaian warna yang
kaya. Hidangan yang ditampilkan tampak seperti makan siang yang mungkin
disajikan di kafe trendi.
“Wow, semuanya tampak hebat!”
seru Amane. “…Mahiru, bagaimana rasanya?”
“Semuanya baik-baik saja.” Dia
mengangguk. “Chitose tidak menambahkan sesuatu yang aneh, dan aku sudah mencicipi
semuanya.”
“Syukurlah.”
“Kamu sama sekali tidak mempercayaiku, ya! Hari ini aku membuat semuanya dengan benar, tau.”
Chitose mendengus dengan nada
protes, tapi dia memiliki sejarah meluncurkan serangan mendadak setelah
mengatakan hal yang serupa, jadi Amane paham betul kalau lebih baik bersikap
waspada daripada membiarkannya lengah. Namun, kali ini, Mahiru ada di sana
untuk mengawasi, jadi Amane bisa merasa santai dan memakannya tanpa perlu
khawatir.
“Ah, Mahiru membuat quiche ini. Aku juga membuatnya untuk
diberikan kepada Ikkun nanti.”
“Kamu akan memberinya quiche utuh...?”
“Ini ukuran kecil, seukuran
telapak tanganku, jadi tidak apa-apa. Ehheheh, aku ingin tahu apakah Ia akan
merasa senang dengan itu…?”
Chitose tersenyum lebar, dan
Mahiru menatapnya dengan senyum hangatnya sendiri. Selama Chitose tidak
disibukkan dengan bermain-main atau melakukan kenakalan lainnya, dia adalah
pacar yang cukup ideal. Amane berpikir itu ide yang bagus bahwa dia membuat
sesuatu hanya untuk Itsuki.
Tapi Chitose memang cenderung
berbuat jahil yang keterlaluan, jadi mungkin sedikit berbahaya untuk
mempercayainya sepenuhnya.
Amane juga tersenyum kecil pada
Mahiru yang berseri-seri, lalu mengalihkan perhatiannya ke piring yang telah
disiapkan di hadapannya. Ia menyatukan kedua tangannya. “Baiklah, ayo makan.”
“Silakan! Silakan dinikmati
makanannya!”
Wajah Chitose tampak tersipu.
Ekspresinya sangat menawan, dan hanya untuk sesaat, Amane diingatkan kembali
kalau dia juga seorang gadis.
◇◇◇◇
“… Um, maafkan aku.”
Setelah Chitose pergi, Mahiru
tiba-tiba meminta maaf.
Amane tidak tahu mengapa Mahiru
meminta maaf padanya, dan Ia melihat dengan mata lebar ke arah Mahiru yang
duduk di sampingnya. Mahiru menyatukan kakinya dan menggeliat dengan gelisah
serta mengenakan ekspresi bersalah.
“…Maaf karena sudah berbuat
jahil padamu.”
“Jahil?”
“Chitose-san memang tidak
melakukan apapun padamu, tapi…yah, akulah yang melakukannya.”
“Hah, kamu yang melakukannya?”
Amane yakin Chitose bersikeras
kalau dia tidak melakukan apa-apa ketika menginterogasinya, dan Mahiru juga
memastikan bahwa Chitose tidak berbuat apa-apa. Tapi Mahiru tidak mengatakan
sepatah kata pun tentang apa dia sendiri yang melakukan hal yang tidak baik.
Ia bahkan tidak pernah
mempertimbangkan bahwa Mahiru mungkin melakukan sesuatu padanya dan secara
otomatis menyingkirkannya dari kecurigaan, tetapi tampaknya dia melakukan
kejahilan pada Amane. Dia tampak bersalah, seolah-olah ingin kabur kapan saja.
“Apa yang sudah kamu lakukan?”
“Yah, aku meremas pipimu...”
“... Apa itu benar-benar bisa
dibilang sebagai perbuatan jahil?”
“A-Aku juga menatap wajahmu
yang tertidur, dan membelai rambutmu.”
“Yah, kamu memang suka melakukan
itu.”
“…Y-ya.”
“Jadi… hanya itu saja?”
“…Ya.”
Dari tingkah lakunya, Mahiru
memang tampak menyesal, tetapi Amane ingin bercanda kalau perbuatannya itu
bukan termasuk sebagai kejahilan. Apa yang Mahiru lakukan bukanlah perbuatan
jahil dan lebih seperti keintiman fisik yang normal. Jika perbuatan itu
termasuk jahil, itu berarti Amane juga sudah sering melakukan kejahilan dengan
Mahiru, jadi Amane berharap dia tidak berpikir seperti itu.
“Aku tidak marah, tahu.
Seperti, selama kamu bersenang-senang, aku rasa itu baik-baik saja; itu
kecerobohanku sendiri karena sudah tertidur di depan orang lain. ”
“Te-Terima kasih…”
“Maksudku, aku pikir apa
enaknya melihat wajahku yang jelek ini, tapi…”
“…Kamu terlihat imut, tahu?”
“Cuma kamu satu-satunya orang
yang akan mengatakan pria sepertiku terlihat imut.”
“Itu tidak benar sama sekali.
Chitose-san juga bilang begitu!”
“Dia pasti sedang meledekku
...”
Dalam kasus Chitose, dia jelas
mengatakan wajah Amane terlihat imut dalam artian mengejeknya. Itu masalah yang
berbeda dari Mahiru yang menganggapnya imut. Seperti biasa, tak seorang pun boleh menganggap Chitose terlalu serius,
pikirnya.
“…Padahal kamu benar-benar imut,
kok.”
“Benarkah?”
“Aku sering bermain-main dengan
pipimu…”
“Entahlah, apa menyenangkannya
menyolek pipi seorang cowok?”
“Ini lebih menyenangkan
daripada yang kamu pikirkan.”
Berdasarkan tubuhnya sendiri,
Amane berpikir kalau pipi laki-laki akan sangat kaku dibandingkan dengan pipi
perempuan dan karena itu tidak terlalu menyenangkan untuk dicolek atau dimainkan.
Amane tidak mengerti mengapa Mahiru menganggap kalau itu menyenangkan, tapi
jika itu adalah tindakan menyolek pipinya dianggap menyenangkan, maka Amane
seharusnya tidak mengeluh.
“Yah, aku juga tidak
membantahnya,” katanya. “Pipimu juga terasa enak untuk dicolek.” Imbuh Amane.
Amane sendiri pernah memainkan “kejahilan” yang sama pada Mahiru
sebelumnya.
Meski pernah, tapi Amane tidak
berani bertindak keterlaluan, jadi Ia dengan lembut menyoleknya dengan ujung
jarinya.
Pipi Mahiru lembut dan sedikit
kenyal serta tidak diragukan lagi itu sangat feminim. Sangat terlihat jelas
kalau dia merawat kulitnya dengan sangat baik, karena kulitnya halus dan
berkilau. Hanya menyentuhnya saja terasa luar biasa. Mengatakan pada dirinya
sendiri bahwa jika Mahiru menyentuh wajahnya, Ia pasti diizinkan untuk menyentuh
wajah Mahiru, jadi Amane dengan lembut mencubit pipinya yang lentur.
Mahiru menatapnya dengan
sedikit ketidakpuasan, dan Amane tahu kalau Ia sebaiknya tidak boleh
berlebihan, jadi Ia membelai pipi Mahiru dengan lembut dengan bantalan jarinya
untuk menenangkannya. Amane menggerakkan tangannya dengan lembut dan hati-hati,
seperti yang biasa Ia lakukan jika sedang membelai anak kucing.
“…Hmm.”
Tak lama kemudian, ekspresi
ketidakpuasan memudar dan digantikan oleh senyum lembut yang sepertinya menyembunyikan
sesuatu. Ekspresinya terlihat sangat menggemaskan, Amane bertanya-tanya apakah
ramuan rahasianya adalah karena banyak madu.
…Dia
terlihat keenakan.
Ia terkejut saat melihat betapa
santainya ekspresi Mahiru saat ada cowok yang menyentuhnya seperti itu. Dan
kemudian, Amane baru mengingat kalau Mahiru tidak pernah membiarkan cowok mana
pun menyentuhnya, dan Ia tiba-tiba merasa sangat malu untuk menerima perlakuan
khusus seperti itu. Hal tersebut membuatnya ingin membenturkan kepalanya ke
belakang sofa.
Sambil berusaha mencoba
menghilangkan pemikiran seperti itu dari benaknya, Amane mengarahkan tangannya
di bawah dagu Mahiru, dan kali ini Ia benar-benar menggerakkan jarinya seperti
sedang membelai kucing.
Anggap aja ini gambaran Mahiru yang lagi dielus Amane :v |
“Hyah!” Mahiru mengeluarkan
teriakan kecil. “…Ap-Apa itu tadi?”
“Latihan buat di kafe kucing
nanti.”
“Apa-apaan itu? Aku ini bukan
kucing, aku manusia!”
“Habisnya kamu itu sangat mirip
kucing. Tapi juga seperti anjing dan kelinci pada saat yang bersamaan.”
“Apa maksudmu…?”
“Tepat seperti yang aku
katakan.”
Akhir-akhir ini, Amane sering
mengamati kalau Mahiru terkadang bertingkah seperti kucing, anjing, dan bahkan
kelinci. Saat Amane pertama kali mengenalnya, dia adalah kucing yang sangat
waspada, kemudian ketika mereka menjadi lebih dekat, dia menjadi ramah seperti
anjing ... tidak terlalu persis, tapi dia benar-benar hangat padanya. Adapun yang
mirip kelinci...untuk beberapa alasan, Amane berpikir bahwa kelinci adalah
makhluk yang kesepian, jadi Ia baru saja menambahkan hal itu saat menggambarkan
Mahiru.
Amane senang dia tidak benci
dimanja, karena Ia sendiri ingin melakukan hal itu. Saat Amane menggaruk di
bawah dagunya, Mahiru dengan tenang berkata, “Bagian atas kepalaku akan lebih
baik,” jadi Amane menuruti permintaannya untuk membelai kepalanya.
Ia memutuskan untuk tidak
menyebutkan bahwa, pada saat seperti ini, Mahiru jauh lebih mirip seperti anjing.
“…Jika aku kucing, anjing, dan
kelinci… Kalau begitu, Amane-kun, kamu mirip seperti serigala.”
“Apa itu berarti aku akan menyerang
perempuan…?”
“Bu-Bukan, aku tidak bermaksud
begitu! Serigala tampaknya sangat peduli dengan kawanannya. Aku pernah
mendengar mereka melakukan apa saja untuk melindungi kawanan mereka. Yah,
karena kawanan mereka biasanya terdiri dari anggota keluarga, kurasa itu sedikit
berbeda, tapi aku bilang begitu karena kamu sangat menghargai orang-orang yang
berada di dekatmu.”
“…Yah, kurasa mungkin ada
benarnya juga.”
Lingkaran pertemanan Amane
cukup kecil. Saking kecilnya sampai-sampai Ia bisa menghitung orang yang dia
sebut teman dengan dua tangan. Tetapi Ia selalu berusaha melakukan yang terbaik
semampunya untuk orang-orang itu dan memperlakukan mereka dengan baik. Jika
Mahiru menyebut sisi dirinya yang begitu seperti serigala, maka Ia tidak
keberatan.
“La-Lagipula… itu sesuai dengan
apa yang kuinginkan.”
“Sesuai yang kamu inginkan?”
“…Tidak, bukan apa-apa. Jangan
terlalu dipikirkan tentang itu. Um, dan juga, rambutmu halus, itu sebabnya kamu
seperti serigala.”
“Itu bukan sifat serigala.”
Mahiru sepertinya ingin
mengatakan sesuatu yang berbeda, tapi sekarang dia membelai rambut Amane, jadi
Ia tidak menanyainya dan membiarkan Mahiru menyentuh rambutnya sesukanya.
◇◇◇◇
Keesokan harinya setelah
pelajaran memasak, Mahiru tampaknya mempunyai rencana untuk berjalan-jalan
bersama Chitose lagi, jadi dia langsung pergi setelah menyiapkan makan siang
Amane.
Meski Amane bisa membuat makanan
untuk dirinya sendiri tanpa bantuannya, tapi Mahiru sudah bersusah payah
memasak untuknya, jadi Ia merasa berterima kasih padanya .
Ia mengantar kepergian Mahiru
saat meninggalkan apartemennya, tampak agak gelisah, lalu menghela nafas ketika
kebingungan bagaimana Ia harus menghabiskan waktu luangnya.
Sekarang baru pukul setengah
dua siang. Karena Mahiru pergi keluar, saat ini bukan waktu yang buruk untuk
keluar jalan-jalan, tapi Amane tidak terlalu suka pergi keluar karena Ia tidak
mempunyai rencana. Jika Ia punya rencana untuk nongkrong dengan seseorang, Ia
mungkin bisa memanggil tekad untuk meninggalkan apartemen, tapi jika tidak ada
yang menunggunya, maka Amane pikir Ia tidak perlu repot-repot meninggalkan
apartemennya.
Sekarang yang menjadi
pertanyaan, apa yang harus dilakukan dengan hari liburnya. Tidak ada banyak
yang bisa Ia lakukan untuk menghabiskan waktu di rumah.
Hiburannya yang paling sering
adalah game dan manga, tapi Amane sudah menamatkan semua skenario dalam game
RPG-nya dan bahkan menyelesaikan semua speedrun, dan tidak terlalu menarik untuk
memainkan game party sendirian.
Jadi Amane menyempitkan
pilihannya pada manga dan novel, tapi Amane biasanya tidak menyimpan banyak
buku, dan Ia sudah membaca semua koleksinya beberapa kali dan tahu semua
plotnya. Amane adalah pembaca yang cepat, jadi Ia mungkin akan membaca seluruh
seri buku komik dalam satu jam.
Amane jadi kebingungan apa lagi
yang bisa dia lakukan. Untuk sesaat, Ia pergi ke kamar tidurnya dan membuka
buku teks yang tergeletak di mejanya.
Chitose
pasti terlihat keheranan jika melihat keadaanku yang sekarang.
Amane tidak punya banyak hal
yang harus dilakukan, dan mereka juga kebetulan diberi PR bahkan selama liburan
Golden Week. Dan setelah Golden Week,
ujian UTS sudah menunggu mereka. Ia sebenarnya sedikit menikmati belajar, jadi itu mungkin cara yang baik untuk menghabiskan
harinya jika Ia tidak punya ide lain.
Pada akhirnya, Amane harus
menyelesaikan PR yang ditugaskan kepadanya, dan Ia ingin menikmati tamasya
besok tanpa perlu terus memikirkannya. Jadi Ia memutuskan kalau pilihan yang
terbaik ialah melanjutkan dan menyelesaikan kewajibannya sebagai pelajar.
Amane secara alami adalah murid
yang serius, jadi Ia menempatkan dirinya ke dekat meja belajarnya, dengan
pensil mekanik di tangannya, untuk menyelesaikan tugas sekolahnya.
◇◇◇◇
Saat Amane melihat jam lagi,
waktu menunjukkan kalau sekarang sudah lewat pukul enam.
Setiap kali Amane benar-benar
berkonsentrasi, Ia cenderung mengabaikan yang lainnya. Saat meninggalkan kamar
tidurnya, dan memutar bahunya untuk melonggarkan tubuhnya yang kaku, Ia
tersenyum melihat bagaimana sinar matahari yang menembus jendela telah mengubah
sudutnya sedikit demi sedikit.
Amane bisa melihat area dapur
begitu keluar di lorong, dan benar saja, di sana ada Mahiru yang sudah
mengenakan celemeknya. Dia tidak ada di sana terakhir kali Amane meninggalkan
kamarnya untuk istirahat.
Rupanya, Mahiru sudah kembali
dari jalan-jalannya dengan Chitose.
Amane tidak yakin apa itu hal
yang baik bahwa Ia begitu fokus sampai-sampai tidak menyadari suara pintu
terbuka di pintu masuk, tapi Amane tahu itu tidak baik karena Ia tidak keluar
untuk menyambut Mahiru.
“Selamat datang kembali. Maaf
aku tidak sempat menyambutmu.”
“Tidak apa-apa… aku juga tidak
memanggilmu. Aku pikir kamu mungkin sibuk dengan sesuatu di kamarmu. ”
“Aku sedang mengerjakan PR.”
Amane telah membuat banyak
kemajuan di apartemen yang tenang, tapi Ia mungkin belajar terlalu lama, karena
tubuhnya terasa sangat kaku. Ia menyesal karea tidak mengubah posturnya sedikit
lebih sering saat membaca.
Amane melakukan peregangan
ringan saat mereka berbicara, dan Mahiru tertawa kecil.
“Kamu sangat rajin sekali.”
“Aku ini tipe orang yang suka
menyelesaikan PR-ku lebih awal sehingga aku bisa menikmati waktu luangku.”
“Aku hampir sama. Meskipun aku
lebih suka melakukan belajarku sesekali.”
“Kamu bahkan lebih serius tentang
PR sekolah ketimbang aku.”
Secara umum, Amane juga tipe orang
yang belajar sedikit-sedikit dan dengan mantap menggoreskan materi pelajaran ke
dalam ingatannya dengan pengulangan, tapi Ia tidak teliti dan metodis seperti
Mahiru.
Kebetulan, Ia belajar dari
pengalaman orang lain selama liburan musim panas lalu seperti Itsuki yang akan
menyelesaikan tugas PR-nya terlebih dahulu dan kemudian bisa bermain-main
dengan santai, dan Chitose yang akan bermain terlebih dahulu dan kemudian
merengek dengan air mata penyesalannya sendiri, jadi Ia berharap paruh kedua
liburan musim panas tahun ini akan berakhir sedikit sulit.
“Begitu kamu membiasakannya, hal
itu benar-benar tidak terlalu merepotkan,” Mahiru menjabarkan. “Kalau sudah
menjadi kebiasaan, kamu tidak perlu memusingkannya.”
“Luar biasa. Kurasa aku harus
melakukan lebih banyak pekerjaan, sampai itu menjadi kebiasaan.”
Kebanyakan orang mengira kalau
Mahiru adalah gadis jenius yang diberkati dengan otak encer secara alami.
Mereka tidak mengetahui seberapa keras dia berusaha. Amane tidak pernah
menyangkal kalau Mahiru sangat pintar, tapi Ia sangat menyadari kalau dia
adalah pekerja keras dan pantang menyerah.
Meski Mahiru tidak terlalu
menunjukkannya, tetapi di balik layar, dia tidak pernah mengendorkan upayanya.
Itulah mengapa nilainya dan penampilannya serta atletiknya semuanya luar biasa.
Amane tahu seberapa keras usaha
Mahiru, jadi Ia menghargai dan mengagumi usahanya dan tidak menyesali
keberhasilannya. Kemampuan Mahiru diperoleh melalui keuletannya, dan siapa pun
yang menginginkan hal yang sama untuk diri mereka sendiri harus melakukan upaya
yang sama. Amane ragu kalau dirinya bisa mencapai level Mahiru, tapi sebagai
seseorang yang selalu ingin meningkatkan nilainya, Ia mengaguminya.
Mahiru mengerutkan kening
seperti ada sesuatu yang menggelitiknya.
“Percuma saja kamu memuki, kamu
takkan mendapatkan apa-apa. Paling-paling, Kamu mungkin mendapatkan puding
setelah makan malam. ”
“Oh, kalau begitu haruskah aku
lebih memujimu lagi?”
“Sungguh perhitungan sekali.”
Mahiru tersenyum seperti ada yang
lucu. Amane meliriknya, tapi ketika Ia membuka kulkas, Ia menyadari benar-benar
ada puding di dalamnya. Puding itu dibeli di toko, tapi itu berasal dari toko
kue yang sangat disukai Chitose, dan juga salah satu favorit Amane. Meski
puding buatan tangan Mahiru adalah yang terbaik, namun pudding yang ini juga
terasa lezat. Sensasi kebahagiaan menyebar di dalam dirinya.
Mahiru terkekeh saat melihat
wajah Amane tiba-tiba sumringah, jadi Amane kembali tersadar dan merasa sedikit
malu.
“Kamu benar-benar suka banget
sama telur, ya?”
“Ya tentu.”
Amane tidak perlu menyembunyikannya
di depan Mahiru, yang sudah memiliki pengetahuan menyeluruh tentang seleranya,
jadi Ia segera mengangguk setuju.
Tiba-tiba, Mahiru membeku di
tempat, masih dengan kaku memegang kentang yang baru saja dicucinya. Amane
mencoba melihat wajahnya untuk melihat apa yang terjadi, tetapi Mahiru cepat-cepat
membuang mukanya.
“Mahiru?”
“…Tidak apa-apa. Lebih penting
lagi, jika kamu takkan membantu, aku sarankan kalau kamu meninggalkan area
dapur.”
“Kok tiba-tiba jutek. Aku
sebenarnya datang ke sini berniat untuk membantu, tapi…”
Tetap saja, Ia tidak enakan
membuat Mahiru melakukan semua pekerjaan sendirian. Selain itu, sedikit
aktivitas ringan akan sempurna untuk meregangkan anggota tubuhnya yang kaku.
Amane mengambil celemeknya dari
rak dapur dan memakainya. Mahiru tanpa berkata-kata memasukkan beberapa kentang
yang sudah dicuci ke dalam mangkuk dan menyerahkannya kepadanya bersama dengan
pengupasnya. Dia tidak berani menatap mata Amane sepanjang waktu.
“Ngomong-ngomong, apa yang akan
kita buat dengan kentang ini?”
“…Aku berencana membuat salad
kentang, tapi sekarang kentang ini akan menjadi bahan untuk frittata[2].”
“Bukannya itu pergantian yang
sangat berbeda?”
“Tidak apa-apa. Akulah yang
bertanggung jawab atas dapur. Kamu hanya perlu menuruti apa yang aku katakan. ”
“Aku—aku tidak begitu mengerti,
tapi kurasa kamu ada benarnya juga.”
Dapur ini adalah dapur Amane,
tapi Mahiru bertanggung jawab untuk memasak, jadi dapur ini sebenarnya berada
di bawah kendali Mahiru. Lagipula, Amane tidak tahu banyak tentang masalah kuliner
seperti Mahiru, jadi Ia lebih baik dengan patuh mengikuti petunjuknya.
Mahiru kelihatannya dalam
suasana hati yang kurang baik, dan Amane penasaran tentang nada dinginnya saat
mencuci tangannya dan mulai mengupas kentang. Untungnya, Ia tidak perlu khawatir
melukai dirinya sendiri dengan alat pengupas.
Sedangkan Mahiru sendiri sudah
memulai tugasnya. Sepertinya perubahan menu makan malam hari ini cukup
mendadak, tapi Mahiru paling tahu bahan apa saja yang ada di dalam kulkas, jadi
Amane yakin tidak ada masalah.
“…Jadi, apa yang kamu lakukan
hari ini?”
Area dapurnya cukup luas
sehingga mereka berdua bisa bekerja berdampingan, dan Ia tidak keberatan
bekerja dalam diam, tapi tugas Amane tidak terlalu sulit, jadi Ia mencoba untuk
memulai percakapan.
Seluruh tubuh Mahiru mendadak
tersentak.
“Eh…um, yah… aku—aku mendapat
nasihat tentang sesuatu.”
“Oh, apa ada sesuatu yang
membuatmu kesulitan? Apa kamu sudah mendapat solusinya?”
Sejujurnya, Amane berharap kalau
Mahiru akan curhat kepadanya jika dia punya masalah. Tapi mungkin ada banyak
masalah yang hanya bisa dipahami di antara sesama gadis, jadi Ia agak memaklumi
hal itu.
“Y-ya, begitulah. Aku akan tahu
pasti dalam beberapa hari.”
“Hmm. Baguslah kalau begitu.”
Jika Mahiru sudah memecahkan masalahnya,
maka Amane tidak bisa berkata apa-apa lagi, dan segera menutup mulutnya, paham
betul kalau Ia tidak boleh terlalu ngotot menanyainya.
Mahiru menarik celemeknya
dengan gugup.
“… Amane-kun?”
"Hmm?"
“Eh, um, ngomong-ngomong Amane-kun…
Gaya mana yang lebih kamu suka, gaya yang sederhana dan bersih atau gaya yang lebih
dewasa?”
Bulu matanya berkedip saat
mengintip ke arahnya dengan ekspresi gelisah.
Amane tidak bertanya mengapa
Mahiru tiba-tiba menanyakan pertanyaan seperti itu padanya. Ia pikir kalau
Mahiru pasti mencoba untuk memutuskan penampilan seperti apa yang terbaik untuk
tamasya mereka besok.
“Menurutku,gaya yang terbaik
adalah gaya yang cocok dengan orang yang memakainya,” akhirnya Amane menjawab.
“Aku bertanya tentang
kesukaanmu.” Tanya Mahiru.
“Aku tidak tahu harus berkata
apa. Rasanyas sungguh menyegarkan saat melihat seorang wanita mengenakan
sesuatu yang benar-benar cocok untuknya, tapi aku pikir semua orang harus
mengenakan sesuatu yang membuatnya nyaman.”
“…Aku bertanya tentang kesukaanmu.”
“Ugh…”
Amane benar-benar berpikir
kalau gaya yang terbaik adalah gaya yang Mahiru suka, tapi dia tampaknya tidak
puas dengan tanggapan Amane.
“Aku berpikir kalau gaya
manapun tidak masalah. Gaya sederhana sesuai dengan kepribadianmu dan terlihat
imut, dan gaya anggun yang lebih menonjolkan kecantikanmu. Aku pikir semuanya
terlihat cocok. Ada sesuatu yang disukai dari masing-masing gaya tersebut, tapi
aku tidak bisa mengatakan penampilan mana yang lebih aku sukai kecuali aku
melihat pakaian yang sebenarnya.”
“...Ka-Kamu mengatakan hal-hal
seperti itu dengan begitu blak-blakan, ya? Ah…”
“Maksudku, kamu sendiri yang bertanya.
Hmm, kurasa gaya yang sederhana jauh lebih cocok. ”
Amane punya firasat kalau
Mahiru ingin membuatnya memilih salah satu, jadi Ia menurut.
Mahiru berpaling darinya.
“Baiklah, aku akan memilih gaya itu,” jawabnya.
“Aku akan melakukan yang
terbaik untuk menampilkan sesuatu yang mengejutkan Amane si cowok tenang dan
kalem.” sindirnya.
“Sepertinya itu bukan lagi
menjadi sangat sederhana ...”
“Baiklah, aku akan memakai
sesuatu yang akan membuatmu kehilangan akal sehatmu.”
“Jangan terlalu yang berlebihan;
Aku takkan tahu harus berbuat apa.”
“Itulah yang aku harapkan.”
Mahiru sangat agresif hari ini,
tapi tingkahnya masih tetap menggemaskan, meski dalam artian yang berbeda.
Amane terkekeh pada dirinya sendiri dan melanjutkan tugasnya untuk mengupas
kulit kentang.
Sebelumnya ||
Daftar isi || Selanjutnya