Chapter 09 — Berkencan Bersama si Tenshi
“Selamat pagi, Amane-kun.”
Kebanyakan orang akan memulai
jalan-jalan dengan bertemu di suatu tempat, tapi Mahiru bertemu dengan Amane di
apartemen. Karena mereka tinggal bersebelahan, mereka tidak perlu repot-repot
mengatur tempat pertemuan. Sebaliknya, Mahiru langsung datang menghampiri
pintunya.
Penampilannya hari ini terlihat
berbeda dari biasanya.
“Pagi juga … Oh, kamu
menyanggul rambutmu hari ini, ya.”
“Aku pikir itu akan menghalangi
jika kita mau bermain-main dengan kucing. Bagaimana menurutmu?”
Mahiru biasanya membiarkan
rambut panjangnya tergerai ke bawah, tapi hari ini rambutnya diikat dan
disanggul. Gaya rambutnya tampak seperti versi yang lebih kompleks dari apa
yang biasa dia lakukan saat memasak.
“Ya, itu kelihatan bagus, kok.”
“Aku senang mendengarnya, tapi…
y-yah… jika kamu ingin menertawakannya, silakan tertawa saja, oke?”
“Kamu ini bicara apa?”
“…Kamu pasti menganggap ini
terlihat konyol, bukan?”
Mahiru meremas tangannya
erat-erat di dadanya. Pakaiannya terlihat sedikit lebih terbuka dari biasanya.
Memakainya seperti itu mungkin
membuatnya tampak seperti dia mengenakan pakaian yang sangat terbuka, tapi
atasannya adalah blus sifon dengan kerah terbuka, dan kulit putih bersih di
lehernya bisa terlihat, yang hanya memberikan ilusi lebih banyak eksposur.
Blus itu memiliki lengan
panjang dengan celah di samping dan panel renda yang memanjang sehingga lengan
atasnya sebagian tersembunyi tetapi masih terlihat. Model baju yang sangat
memikat.
Tentu saja Mahiru mengenakan
kaus dalam, jadi Amane tidak perlu khawatir dengan resiko melihat apa pun jika
melihatnya dari atas, tetapi entah bagaimana Ia merasa kalau penampilannya itu
tampak rapi dan memikat karena meningkatkan pesonanya.
Di bagian bawahnya, dia
mengenakan celana jeans, mungkin karena dia bersiap untuk bermain dengan kucing
di kafe. Jeansnya sangat cocok dengan penampilannya, membalut kakinya yang
ramping.
Di pergelangan tangannya,
Mahiru mengenakan gelang bunga yang pernah diberikan Amane sebagai hadiah.
Amane mengingat kalau Mahiru pernah mengatakan kalau dia akan memakainya dengan
hati-hati, dan Ia merasakan kehangatan di dadanya.
“Aku tidak pernah menganggapmu
begitu. Bahkan menurutku, kamu sekarang terlihat lebih cantik dari biasanya.”
“Hmm, benarkah? Orang tuamu
pasti sudah membesarkanmu untuk menjadi pria yang baik.”
“Ayahku selalu memberitahu
bahwa kamu harus memuji seorang gadis ketika dia berdandan… Tentu saja, itu
bukan cuma sanjungan biasa saja, tahu.”
“…Aku mempercayaimu.”
Wajah Mahiru memerah sedikit,
dan dia memegang tasnya erat-erat. Amane tersenyum kecut dan hampir ingin
menepuk kepalanya, tapi Ia menghentikan dirinya sendiri. Amane menyangka kalau
Mahiru takkan senang kalau Ia mengacaukan tatanan rambutnya yang rumit bahkan
sebelum mereka mulai jalan-jalan.
Mahiru mengedipkan mata seperti
yang diduga tetapi sepertinya langsung memahami kalau Amane perhatian pada
dandanan rambutnya, jadi dia tersenyum padanya. Dia memang memberi tangan Amane
sedikit pandangan waspada.
“…Amane-kun, akhir-akhir ini
kamu sedikit terobsesi dengan mengelus kepalaku, ya?”
“Jika kamu tidak menyukainya,
aku akan berhenti. Aku tahu kalau aku tidak seharusnya menyentuhmu terlalu
berlebihan.”
“Bu-Bukan itu maksudku… aku,
um, aku juga ingin bisa bermain dengan rambutmu, kapan pun aku mau.”
“Itu sih tidak apa-apa; Aku
tidak keberatan, tapi kamu tidak bisa melakukannya sekarang. Karena rambutku
sudah diolesi pengeras rambut.”
Amane mengenakan tampilan “cowok
misterius yang tampan” untuk pergi keluar dengan Mahiru, meluangkan waktu untuk
mengatur rambutnya dengan hati-hati. Pilihan pakaiannya santai, terdiri dari
jaket denim di atas kemeja V-neck putih ditambah celana panjang hitam tipis.
Meski tidak terlalu berupaya seperti Mahiru, tapi Amane terbiasa terlihat
seperti orang jorok di sampingnya, dan kali ini, Ia setidaknya sudah berusaha
mencoba.
“…Jadi aku bisa menyentuh
rambutmu?”
“Aku tidak terlalu keberatan,
tapi untuk hari ini, mari kita puaskan diri dengan membelai kucing.”
“Aku—aku tidak bermaksud ingin
melakukannya sekarang, tahu. Aku bisa melakukannya nanti, kurasa…”
“Aku sudah sering melakukannya
padamu, jadi wajar saja jika kamu mendapat kesempatan. Adil dan setara.”
Amane tidak terlalu membencinya
ketika Mahiru menyentuh rambutnya… Yang ada justru, rasanya sangat
menyenangkan, dan jika Mahiru menikmatinya, Ia dengan senang hati membiarkannya
melanjutkan. Mahiru tampak bingung pada awalnya oleh Amane yang begitu mudah
menyetujuinya, tapi sekarang dia akhirnya tersenyum bahagia.
“…Oke, kalau begitu kita
sepakat: Aku akan melakukannya nanti. Untuk saat ini, ayo kita bermain-main
dengan banyak kucing.”
“Tentu.”
“Lalu, bagaimana kalau kita
pergi sekarang?”
“Mm.”
Berpikir bahwa berangkat
bersama dari apartemen yang sama entah bagaimana terasa sedikit memalukan,
Amane meninggalkan unit apartemennya bersama Mahiru.
Saat mereka berjalan
berdampingan, sebuah ide muncul di benak Amane untuk mengulurkan tangannya
padanya.
“Sini, pegang tanganku,”
katanya ringan.
Pipi Mahiru memerah samar dan
tersenyum saat dia menggenggam tangan Amane.
◇◇◇◇
Amane sudah melakukan penyelidikan
awal, tapi saat mereka benar-benar memasuki kafe kucing, tempatnya jauh lebih
luas daripada yang Amane bayangkan.
Setelah mereka berdua masuk dan
menggunakan pembersih tangan, mereka melangkah ke area kafe utama. Seperti yang
diharapkan, mereka bisa melihat kucing di mana-mana, ada yang sedang berjalan-jalan
atau meringkuk menjadi bola atau bermain dengan pelanggan lain.
“Wow… Tempatnya cukup besar.
Dan bersih.”
Kafe tersebut menawarkan
makanan dan minuman, jadi mungkin sudah sewajarnya bersih, tetapi kebersihan
tempat itu masih mengejutkannya. Amane hampir tidak bisa mencium bau khas dari
banyak tempat di mana hewan membuat rumah mereka. Bahkan, itu hampir tidak
berbau.
Ia sudah melihat ulasan online,
dan sepertinya tempat ini adalah kafe kucing yang dirokemendasikan karena
kebersihannya dan merawat kucingnya dengan baik. Meski ini tempat yang populer,
tapi untuk menjaga supaya kucing tidak stres, tempat ini membatasi pengunjung
yang boleh masuk. Ada juga banyak tempat persembunyian untuk kucing-kucing, dan
pada akhirnya, kafe itu tampaknya lebih jarang didirikan untuk menyentuh
kucing-kucing itu daripada untuk berbagi tempat dengan mereka.
Kafe ini memiliki sistem batas
waktu, dan harganya juga lumayan mahal, tapi itu adalah ruang yang sangat
nyaman dan tenang sehingga Amane tidak keberatan untuk merogoh koceknya sama
sekali.
“Whoa…kucing… Lihat-lihat,
Amane-kun, mereka semua sangat imut!”
Ada kucing yang bermain dengan
pelanggan lain, jadi Mahiru berbicara dengan suara pelan, tapi Amane bisa
mendengar kegembiraannya saat menarik-narik lengan bajunya. Ada berbagai macam
kucing sejauh mata memandang, dan mata Mahiru berbinar saat melihat mereka
dengan penuh semangat.
Meski Mahiru tidak pernah
membicarakannya, tapi ternyata dia sangat menyukai kucing. Dia sangat
bersemangat, dan Amane bisa merasakan mulutnya tersenyum.
“Kamu benar, mereka semua sangat
lucu.”
“Imut-imut sekali!”
Mahiru tampaknya tidak
menyadari betapa menggemaskan ekspresinya saat melihat bagan profil yang dia
terima dari resepsionis, mencantumkan nama dan ras kucing bersama dengan foto.
Dia lalu menunjuk kucing Siam yang ada di sampingnya.
“Ah, yang itu namanya Silky!”
Hanya bulu di ekornya dan di
sekitar wajahnya yang berwarna hitam, sedangkan sisa bulu di tubuhnya yang
panjang dan ramping berwarna putih menyilaukan. Kucing itu memiliki mata biru
yang khas dan memancarkan aura bangsawan.
Mahiru ingin sekali mengelusnya,
tapi tiba-tiba menyentuh kucing dilarang, jadi dia mengawasinya dari samping
sambil perlahan mendekatkan jarinya ke hidung kucing itu dan membiarkannya
mengendusnya.
Hidung kucing itu berkedut.
Dia tidak mengatakannya dengan
keras, tapi Mahiru dengan jelas menganggap itu lucu, jadi dia sepertinya sangat
menyukai kucing.
Tapi setelah mencium aroma Mahiru,
Silky mendadak berlari pergi dengan anggun.
Mahiru jelas-jelas berkecil
hati.
“Bukan berarti dia membencimu,
kurasa dia baru saja selesai menyapamu
saja. ”
“Be-Benar, kurasa memang begitu…”
“Ayolah, kupikir kita harus
membiarkan kucing meluangkan waktu dan membiasakan diri dengan kita. Sekarang
ayo duduk dulu, oke? ”
Mahiru kembali berdiri, Amane
lalu meraih tangannya, dan mereka duduk di sofa terbuka. Sesampai di sana,
Amane akhirnya melihat ke seluruh ruangan dengan perlahan dan melihat ada
berbagai jenis kucing di kafe ini.
Kucing beberapa saat yang lalu
adalah kucing siam, tapi ada kucing American
shorthair, Russian blues,
munchkin, Bengal, dan bahkan ras yang lebih eksotis—kucing dengan
individualitas yang hebat di sini, di sana, dan di mana-mana.
Di kursi sebelah, tidak jauh
dari mereka, ada kucing berjenis American
shorthair meringkuk di atas meja, dan gadis yang duduk di sana mengelusnya
dengan lembut.
“Imutnya…”
Mahiru menatap pelanggan lain
tanpa repot-repot menyembunyikan rasa iri di matanya. Amane tersenyum kecut dan
melihat-lihat menu yang tersedia.
Sajian makanan dan minuman di
kafe ini terlihat lezat. Rekomendasi teratas sepertinya adalah minuman latte
dengan desain kucing di atasnya, yang terbentuk dari buih susu. Rupanya,
stafnya berbakat dalam membuat seni latte, dan banyak orang telah mengunggahnya
di social media.
Amane meninggalkan Mahiru yang
sedang keasyikan sendiri sejenak saat dia menatap kucing yang berkeliaran di
dekatnya, dan memanggil pelayan dan memesan seni latte.
“Aku pergi memesan duluan dan
membuatmu memsan hal yang sama seperti aku, kamu tidak keberatan, ‘kan?” Tanya
Amane saat selesai membuat pesanan.
“Eh? Ah ya, tidak apa-apa.”
Seperti yang diharapkan, Mahiru
begitu asyik dengan kucing-kucing itu sehingga Ia bahkan tidak menyadarinya
memesan. Mahiru adalah tipe orang yang bisa minum teh maupun kopi, jadi karena
ini adalah tamasya khusus, Amane memutuskan untuk merahasiakan pesanannya dan
memberinya sedikit kejutan.
Setelah beberapa saat, pesanan
mereka dibawa. Perlahan, agar tidak merusak seni latte, pelayan mereka yang
tersenyum meletakkan cangkir di atas meja, membungkuk, dan pergi. Mahiru tidak
bisa mengalihkan pandangannya dari seni latte di atas cangkirnya.
“Kamu menyukainya, ‘kan?”
“Y-ya, itu sangat imut…”
“Syukurlah.”
Pada minuman Mahiru, terdapat
busa susu yang dituangkan dengan sangat hati-hati untuk membentuk seekor kucing
yang sedang tidur meringkuk, pola bulu dan ekspresinya digambar dengan bubuk
kakao. Di cangkir Amane, mereka menggambar seekor kucing yang bersandar di
tepinya. Penggambaran kucing yang imut dan menggemaskan itu memudahkan untuk
memahami mengapa kafe kucing ini begitu populer.
Mungkin untuk menjaga
kegembiraan, Mahiru mengambil foto dengan smartphone-nya dan terlihat cukup
senang, tapi kemudian entah kenapa ekspresinya langsung berubah.
“Ini sangat lucu sampai aku tidak tega
meminumnya…,” gumamnya.
Dia terdengar sangat serius. Mau
tak mau Amane jadi tidak bisa menahan tawa.
“Ja-Jangan menertawakanku,
kumohon.”
“Habisnya—kamu begitu terganggu
dengan sesuatu yang begitu menggemaskan.”
“Ta-Tapi ‘kan… rasanya sayang
sekali menghancurkannya ketika ada kucing kecil yang lucu begini …”
“Tapi akan lebih sia-sia lagi
kalau kamu tidak meminumnya.”
“Uhmm …”
Bukannya Ia tidak mengerti
perasaan Mahiru, tapi buihnya tetap akan runtuh meski dia membiarkannya, dan
Amane menduga bahwa orang yang membuat kopi ini mungkin akan lebih bahagia jika
dia meminumnya sebelum menjadi dingin.
Setelah cukup menghargai kucing
lattenya sendiri, Amane mengangkat cangkirnya tanpa ragu-ragu. Ia hampir
tertawa lagi ketika mendengar gumaman kesedihan dari sampingnya, tapi entah
bagaimana Ia berhasil menahannya untuk menyesap caffe latte-nya perlahan.
Mahiru terlihat sangat putus
asa sehingga dia mencoba yang terbaik untuk meminumnya tanpa terlalu mengganggu
bentuk kucing itu. Lattenya sendiri enak. Kombinasi rasa kopi yang dalam dan
susu yang kaya sangat sempurna. Dan rasanya tidak terlalu manis, jadi Amane
yang meminum kopi hitamnya tidak mempermasalahkannya.
“Mm, ini enak.”
Ketika Ia berhenti minum dan
membuat komentar ini, Mahiru sedikit mengerang tetapi membawa cangkirnya ke
bibirnya dengan sedikit ragu.
Dia tampak lucu dan imut saat meminum
latte-nya dan dengan hati-hati berusaha untuk tidak menghancurkan bentuk kucing
itu, dan bibir Amane menyeringai menjadi senyuman yang tidak disengaja.
“A-Aku merasa kalau kamu
menertawakanku, tapi—”
“Itu pasti cuma perasaanmu
saja. Apa rasanya enak?”
“Ya, tentu saja.”
Ketika Amane menatap Mahiru
begitu dia menarik mulutnya dari cangkir dan meletakkannya kembali, Amane tidak
bisa mengendalikan dirinya, dan bahunya bergetar karena tawa.
“Ke-kenapa kamu tiba-tiba
tertawa?"
“Yah, karena kamu punya kumis
putih.”
Dia pasti gagal memperhatikan
sisa busa susu dalam upayanya untuk menjaga agar kucing itu tetap utuh, karena
bibir atas Mahiru sekarang dihiasi dengan kumis putih yang mirip seperti
Sinterklas.
Dia terlihat sangat imut sampai-sampai
Amane secara tidak sadar mengambil foto dengan smartphone-nya.
“Eh, a-apa kamu baru saja
memotretku?!”
“Maaf. Apa kamu ingin aku
menghapusnya?”
“Ap-Apa kamu berencana untuk
meyimpan foto yang memalukan seperti itu?”
“Karena kamu terlihat lucu, jadi
aku mengambilnya.”
Ketika Amane mengatakan itu,
Mahiru mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan wajahnya memerah. Dengan suara
pelan, dia menggerutu, “…Kamu boleh
menyimpan foto itu.” Dia masih mengenakan kumis putih saat mengatakan itu
padanya, jadi Amane merasakan dadanya menjadi hangat saat Ia menahan tawa dan
mengangguk setuju.
◇◇◇◇
“…Ah!”
Sekitar waktu mereka selesai
minum caffe latte yang dihiasi dengan seni busa, salah satu kucing melompat ke
pangkuan Amane.
Ternyata, itu adalah kucing American shorthair yang tadi berada di
kursi sebelah mereka. Setelah memeriksa lembar profil, mereka melihat tulisan Cacao, Betina.
Amane tidak yakin apa dia bersikap
ramah atau hanya tidak tahu malu, tapi kucing itu tiba-tiba bangkit di
pangkuannya, yang menurutnya membingungkan. Amane sepenuhnya sadar bahwa kucing
melakukan apa yang mereka inginkan, tetapi Ia sedikit gelisah karena didekati
begitu tiba-tiba.
Kehangatan di pangkuannya lebih
dalam dari yang Ia duga, saat kucing itu dengan percaya diri meringkuk dan duduk
seolah mengatakan ini adalah tempatnya.
“Yang ini benar-benar ramah.”
Amane melihat ke arah Mahiru
ketika kucing itu mengendus-endus jarinya dan berpikir dia tampak sangat iri.
Setelah Cacao selesai mengendus, dia menempelkan wajahnya ke telapak tangan
Amane, jadi Ia pikir kalau kucing itu memintanya untuk membelainya dan mulai
menggaruknya di bawah dagunya seperti yang pernah Ia lakukan pada Mahiru. Ia
bisa tahu dari getaran dan suara bahwa dia mendengkur.
Merasa santai dengan kehadiran
kucing lucu itu, Amane menggarutk bulu di bawah dagunya saat membelainya, tapi
Ia merasakan tatapan iri yang di arahkan padanya dari Mahiru yang duduk di
sebelahnya dan tertawa sendiri lagi.
“Mahiru, ulurkan tanganmu.”
“Hah? O-Oke.”
Dia dengan patuh mengulurkan
tangannya, jadi Amane melepaskan tangannya sendiri dari Cacao dan, sebagai
gantinya, meletakkan telapak tangan Mahiru di dekat wajah Cacao.
Kucing
ini mungkin ramah dan sudah terbiasa dengan manusia, jadi dia membiarkan
dirinya dibelai setelah menyapa dengan benar.
Cacao mengendus tangan Mahiru,
lalu mengeluarkan suara meeeow yang
agak lesu dan mengusap wajahnya ke telapak tangan Mahiru. Mata Mahiru berbinar,
diliputi emosi.
“Amane-kun! Amane-kun! Lihat,
dia membiarkanku mengelusnya!”
Mahiru tersenyum gembira pada
Amane saat dia akhirnya bisa membelai seekor kucing, dan membelai bulunya ke
arah yang benar.
Mungkin sebagai pertanda betapa
hati-hatinya kucing-kucing itu dirawat, bulu Cacao berkilau dan sangat lembut. Dia juga tidak berbau busuk, dan
hanya sedikit bau kucing. Dia jelas dirawat dengan baik oleh staf di sini.
Semua kucing memiliki bulu yang
bagus dan tampak sehat, dan tidak ada yang terlalu gemuk atau terlalu kurus.
Dan semua kucing yang hidup bebas bergerak sesuka hati.
“…Imutnya.”
“Mereka imut-imut sekali, ‘kan?
…Aku iri padamu, Amane-kun…”
“Bagaimana kalau kamu memanggil
Cacao kepadamu? Katakan padanya untuk
duduk di pangkuanmu.”
Kucing-kucing itu tidak dapat
memahami kata-kata, tetapi gerak tubuh tampaknya berkomunikasi dengan sangat
baik.
Sebagai uji coba, Mahiru menepuk
pangkuannya dan memanggil “Kemarilah,” dan Cacao mengeong sekali, lalu perlahan
pindah untuk duduk di tempat yang ditawarkan.
Ekspresi Mahiru langsung
sumringah penuh kegembiraan pada saat itu sehingga hanya dengan melihatnya saja
sudah cukup untuk membuat Amane ikutan senang.
“Lihat-lihat, dia duduk di
atasku!”
“Itu bagus. Hei, dia ingin kamu
mengelusnya.”
Cacao pasti lebih menyukai
pangkuan lembut Mahiru daripada pangkuan keras Amane, karena dia mengeong lebih
keras dari sebelumnya dan mendorong wajahnya ke telapak tangan Mahiru.
Tersenyum pada Mahiru yang
berseri-seri saat menggosok kucing itu sepuasnya, Amane mengabadikan momen itu
dengan smartphone-nya.
“Apa aku boleh mengambil foto?”
“…Kalau yang ini tidak apa-apa,”
ujar Mahiru sambil mengelus Cacao.
Amane terus tersenyum padanya dan berdiri.
Di sepanjang dinding ada rak
buku yang berisi majalah dan komik, jadi Ia bermaksud membawa beberapa dan
kembali ke meja.
Tempat ini disebut kafe kucing,
tapi bukan berarti orang akan terus-menerus bermain dengan kucing. Tujuan
utamanya adalah untuk menghabiskan waktu yang nyaman di ruang di mana ada
kucing di sekitaran mereka, jadi bersantai dengan beberapa bahan bacaan juga
merupakan salah satu pilihannya.
Saat Mahiru asyik mengelus
Kakao, Amane memilih sesuatu untuk dibaca dari rak tanpa banyak berpikir. Saat
itulah Ia menyadari bahwa Silky, kucing yang menyapa Mahiru ketika mereka
pertama kali masuk, berada di dekat kakinya.
Amane berjongkok dan meletakkan
jari telunjuknya di dekat hidungnya, dan seperti yang diharapkan, dia
mengendusnya sebagai ucapan salam.
Gerakannya cukup menggemaskan,
jadi bibir Amane tersenyum saat memperhatikannya dengan penuh kasih. Ketika
dia selesai menciumnya, Silky mengangkat kaki depannya dan bersandar pada Amane,
seolah dia akan melompat ke pelukannya.
Silky mengeong dengan nada yang
lebih tinggi dari Cacao dan menyentuhnya lagi, jadi Amane duduk bersila di
lantai.
Kucing itu memiliki aura kelas
tinggi tetapi tampaknya nyaman di sekitar orang, dan dia mengizinkan Amane
untuk mengelusnya. Ketika Ia mencoba membelainya, Silky memasang ekspresi
sangat puas.
Dia mendengkur dan
mengendusnya, jadi Amane menganggap itu sebagai tanda bahwa dia ingin Amane
lebih membelainya. Sesuai dengan keinginan Nona Silky yang mulia, Amane dengan
lembut dan berhati-hati membelai punggungnya.
Ada seekor kucing di rumah
Itsuki, jadi Amane mengerti bagaimana melakukan elusan. Ia memperlakukan Silky
dengan hati-hati dan menyesuaikan gerakannya untuk membuatnya bahagia dan patuh.
Imut
sekali…
Amane bisa merasakan kalau dia
mendengkur senang, dan senyum lembut lainnya segera tersungging di bibirnya.
Pada awalnya, Silky berperilaku agak dingin, jadi Ia tidak menyangka kalau dia
begitu lengket dan bersikap manja.
Sekarang
kalau dipikir-pikir lagi, dia mirip seperti Mahiru.
Pada awalnya, Mahiru juga
bersikap dingin dan angkuh, tapi begitu dia menurunkan kewaspadaannya, dia
mulai menatapnya dengan percaya di matanya, bersikap manja, dan merasa nyaman.
Sifatnya yang begitu mengingatkannya pada seekor kucing.
Amane dengan gembira
membelainya sembari dalam hati memberi nama julukan Silky dengan nama Tenshi-sama kedua. Tiba-tiba, Ia
mendengar suara cepretan kamera. Amane mendongak dan melihat bahwa Mahiru
berada di dekatnya entah sejak kapan dan mengambil foto dengan smartphone-nya.
“Kupikir kamu lama sekali…
Ternyata kamu sedang bermain-main dengan Silky, ya?”
“Aku tidak tahu kenapa, tapi
dia sendiri yang datang menemuiku.”
“Kamu sangat pelit … Aku juga
ingin mengelusnya…”
“Apa yang terjadi dengan Cacao?”
“Kucing punya pemikirannya
sendiri…”
Rupanya, kucing itu pergi entah
kemana.
Amane melihat sekeliling kafe
dan melihat Cacao meringkuk di lantai dua menara kucing. Beberapa saat yang
lalu, dia duduk dengan Mahiru, tapi dia pasti berubah pikiran.
“Apa Silky kucing favoritmu,
Amane-kun?”
“Yah, aku belum mengelus mereka
semua untuk benar-benar mulai membandingkannya … Tapi ya, dia agak mirip
denganmu, jadi aku ingin terus mengelusnya.”
“Mirip denganku?”
“Maksudku, pada awalnya kamu
cukup angkuh, agak jutek dan blak-blakan, tapi begitu kamu memutuskan kamu
mempercayaiku, kamu dengan cepat menjadi manja.”
Tentu, dia mirip seperti kucing
baginya untuk membiarkannya lengah dan bermanja denganya, tapi Amane berpikir bahwa
cara Mahiru mempercayainya dan menikmati perhatiannya lebih seperti anjing,
jadi Ia menganggapnya sebagai persilangan antara kucing dan anjing.
Mahiru tampaknya tidak
menyadari betapa buruknya dia memanjakan Amane, yang membuat Amane merasa
senang sekaligus malu pada saat yang sama.
“…Aku bukan kucing. Selain itu,
bukan berarti aku bisa langsung dekat pada sembarang orang.”
“Yah, itu karena kamu sangat
waspada.”
“…Jangan bilang kalau selama
ini kamu menganggapku sebagai kucing, ‘kan?”
“Enggak kok, enggak,” bantah
Amane sambil membelai kucing di pangkuannya dengan cara yang sama seperti dia
selalu menepuk Mahiru. “Iya, ‘kan?” Amane meminta persetujuan Silky.
Entah dia pandai membaca
suasana, atau sekedar kebetulan, tapi Silky mengeong menyetujuinya sehingga
bahkan Mahiru tidak dapat melanjutkan masalah ini.
Tapi Mahiru menatapnya dengan
ekspresi tidak puas, jadi Amane menggunakan tangan kirinya yang kosong untuk
mengelus kepala Mahiru.
“…Jadi kamu memang menganggapku
sebagai kucing, ya.”
“Miripnya saja. Sini, bagaimana
kalau kamu bermain dengan Silky? Sepertinya mereka akan meminjamkanmu beberapa
mainan jika kamu pergi ke meja depan.”
“Jangan harap kamu bisa
menghindar dengan mudah.”
“…Jadi, kamu tidak mau bermain
dengannya?” Tanya Amane sambil menggoda kucing itu.
Mahiru sedikit cemberut dan
menggerutu, “Kamu tidak adil, Amane-kun,” lalu menuju meja resepsionis untuk
meminjam beberapa mainan kucing.
Amane berencana untuk bertukar
tempat dengannya dan pergi ke meja sendiri, jadi dia memperhatikannya dengan
mata lebar, lalu memiringkan kepalanya dengan bingung saat dia mengingat
ekspresi Mahiru, yang sedikit cemberut karena suatu alasan.
“Apa maksudnya, aku tidak adil? …Apa dia berbicara
tentang bermain dengan Silky?”
Amane bergumam sambil
merenungkan alasan ekspresi masam Mahiru, tapi kucing itu hanya mengeong seolah
berkata, “ Meneketehe?” dan
meletakkan kepalanya di telapak tangannya lagi.
Pada akhirnya, alasan Mahiru cemberut
masih tidak terlalu jelas, tapi saat dia bermain dengan kucing, suasana hatinya
dengan cepat membaik, dan dia segera tersenyum pada Amane lagi.
Sampai batas waktu tertentu,
Mahiru berhenti memperhatikan Amane dan fokus bermain-main dengan kucing.
Aamane hanya bisa tersenyum masam saat melihat dia bermain, tapi untuk beberapa
alasan, kucing-kucing itu terus duduk di pangkuan Amane.
Mahiru yang melihat itu mulai merajuk
lagi, tapi Silky mengeong, seolah-olah mengatakan “Apa boleh buat,” dan pindah untuk duduk di paha Mahiru.
Pasti ada sesuatu tentang Amane
yang membuatnya disukai kucing-kucing itu, karena saat Ia mengelus mereka,
meski Ia tidak membawa makanan untuk diberikan, kucing-kucing lain terus
mengerumuninya.
Namun, akhirnya, mereka
mencapai batas waktu yang ditentukan di kafe. Mereka berdua menggunakan lint roller untuk menghilangkan bulu
kucing dari pakaian mereka dan mencuci tangan mereka, dan ketika Amane selesai,
Mahiru pergi untuk membayar tagihan, tapi hal itu dicegat Amane yang langsung
membayar tagihan mereka. Mahiru lalu menatapnya dengan ekpresi tidak puas.
“Kenapa kamu memasang wajah
seperti itu?” tanya Amane.
“Kamu tidak perlu repot-repot
melakukan itu.”
“Ini tidak seberapa. Karena ini
demi kepuasanku sendiri, jadi jangan khawatir tentang itu.” Amane sudah
membayar semuanya, jadi Mahiru tidak perlu ikut membayarnya. “Sebenarnya,
anggap itu sebagai caraku untuk mengucapkan terima kasih karena sudah mau
menemaniku ke kafe kucing, tempat yang takkan pernah aku kunjungi sendirian.
Oke?”
“…Tapi—”
“Biarkan aku mentraktirmu dalam
situasi seperti ini. Jika kamu masih tidak setuju, maka ... Baiklah, bagaimana
kalau kamu ikut denganku lagi untuk membuatnya seimbang?”
“…Aku tidak bisa berbuat
apa-apa selain menyetujui itu, ‘kan?”
“Yah, aku juga mendukung
rencana ini, jadi ini sama-sama menguntungkan. Tidak masalah, kan?”
Mahiru mengatupkan bibirnya
erat-erat dan menyenggol lengan atas Amane, lalu meremas tangan Amane lagi.
◇◇◇◇
Amane dan Mahiru makan siang di
restoran yang sudah mereka pilih sebelumnya, sebelum menuju ke pusat
perbelanjaan. Restoran tersebut adalah restoran yang populer, dan seperti yang
diharapkan, makanannya enak, sesuai dengan ulasan yang ada. Mungkin itu masalah
pendapat pribadi, tapi Amane masih berpikir kalau masakan Mahiru lebih unggul,
menegaskan sekali lagi bahwa masakannya adalah masakan yang terbaik.
Karena sekarang sedang liburan Golden Week, ada lebih banyak pelanggan
di mal daripada hari kerja biasanya, jadi seraya mencengkeram tangan Mahiru
dengan erat, Amane berhenti di samping dinding sehingga mereka dapat mengetahui
ke mana mereka ingin pergi sebelum masuk ke dalam kerumunan orang yang
berlalu-lalang.
“Jadi, apa yang akan kita
lakukan di mal? Kamu bilang kalau kamu ingin belanja, tapi apa ada sesuatu yang
ingin kamu beli?”
“T-Tidak ada sih, tapi um,
kupikir kedengarannya menyenangkan untuk melihat-lihat bersama … Bo-Boleh?”
“Ya, aku tidak keberatan. Kalau
mau lihat-lihat saja tidak masalah.”
Di kampung halamannya, Amane
sering diseret oleh ibunya, dan keluarganya juga terkadang pergi berbelanja,
jadi Ia sudah terbiasa dengan aktivitas yang menurut sebagian orang cukup
menyiksa.
Selain itu, bukan ide yang
buruk untuk melihat beberapa hal yang ingin dilihat Mahiru.
“Mau mulai dari mana? Ada
berbagai macam toko—berbagai barang, pakaian, dekorasi interior…”
Pusat perbelanjaan yang sangat
besar ini memiliki berbagai merek toko pakaian dan aksesori, restoran, dan
fasilitas hiburan dalam jumlah yang hampir lumayan banyak, serta berdekatan
satu sama lain; ada begitu banyak toko sampai-sampai mereka mungkin tidak bisa
melihat semuanya dalam satu hari. Karena tidak mungkin untuk melihat-lihat
seluruh mal, Amane mengerucutkan beberapa pilihan.
“Baiklah … Bisakah kita mulai
dengan pakaian dulu?”
“Tentu. Apa kamu mau membeli
pakaian baru?”
“Aku ingin membeli sesuatu,
jika ada yang bagus. Karena sebentar lagi memasuki musim panas, jadi aku ingin
membeli beberapa pakaian baru.”
“Musim panas, ya…? Tak terasa
kalau itu akan datang sebentar lagi.”
Musim berkeringat akan segera
dimulai, tapi meski begitu, ini masih musim ketika sinar matahari terasa hangat
dan tidak terlalu terik, jadi Amane berpikir kalau itu agak tergesa-gesa untuk
membeli pakaian musim panas dulu. Toko-toko, tentu saja, harus mengantisipasi
musim semi yang akan datang, tapi tetap saja, Amane tidak bisa menghilangkan
perasaan musim semi.
“Musim panas ini… Uh, kamu akan
ikut pulang bersamaku… ‘kan?”
“Ah y-ya. Itu pun kalau kamu
dan orang tuamu tidak keberatan.”
Mahiru sepertinya mengingat
percakapan mereka sebelumnya tentang ikut dengannya ke rumah orang tua Amane,
dan dia mengangguk dengan penuh semangat.
“Aku sudah bertanya pada ibuku
sekali lagi setelah kita berbicara, dan dia bilang kalau kamu sangat diterima.
Sebenarnya justru, dia sangat ngotot menyuruhku untuk membawamu. ”
Orang tuanya mungkin langsung
setuju untuk membiarkan Mahiru tinggal walaupun Amane tidak bertanya dengan
mereka terlebih dahulu, tapi mereka harus menyiapkan kamar dan segalanya, jadi
Ia memastikan untuk bertanya , dan mereka berjanji untuk memberinya sambutan
hangat.
Amane pasti akan mendengar
keluhan dari ibunya jika Ia muncul tanpa membawa Mahiru, jadi Ia berterima
kasih atas antusiasme Mahiru.
“Yah, kampung halamanku tidak
begitu mengesankan, tahu. Meski, kurasa ada beberapa tempat yang cukup
menyenangkan. ”
“Benarkah?”
“Yah, ibuku tidak pernah kesulitan
menemukan tempat baru untuk menyeretku. Ada pusat perbelanjaan seperti ini,
taman hutan belantara yang sangat besar, taman air yang sangat besar, serta
fasilitas hiburan lainnnya.”
Kampung halaman Amane berada di
lokasi yang bagus, tidak terlalu metropolitan tapi juga tidak terlalu udik, jadi itu adalah tempat di mana
orang takkan bosan di musim panas atau musim dingin. Jauh dari itu, ada begitu
banyak tempat rekreasi sehingga sangat berbahaya jika diseret dari satu tempat
ke tempat lain dan tidak punya waktu untuk menyendiri.
Taman air akan buka di musim
panas, jadi akan terasa sangat menyenangkan untuk bermain seluncuran dan
berenang atau bersantai. Ada juga taman air besar di daerah tempat mereka
tinggal sekarang, jadi mereka mungkin juga bisa berenang di sana tepat setelah
dimulainya liburan musim panas.
Amane tidak terlalu pandai
dalam olahraga, tapi Ia tidak keberatan untuk menggerakkan tubuhnya. Ia juga suka
berenang, jadi mungkin akan menyenangkan untuk pergi sendiri ke sana. Mana mungkin
Ia bisa memberitahu Mahiru bahwa Ia ingin pergi ke kolam renang bersamanya,
karena ajakan semacam itu akan terdengar seperti Ia memiliki motif tersembunyi
yang jelas.
“Karena pelajaran berenang
adalah pelajaran pilihan di sekolah kita, jadi jika kamu tidak mengambilnya, kamu
takkan punya kesempatan untuk berenang, jadi rasanya mungkin menyenangkan untuk
berenang. Jika kamu mau, kamu bisa pergi dengan ibuku… Mahiru?”
“Eh, tidak, bukan apa-apa ...”
“Ah, jangan khawatir. Aku tidak
sedang membayangkan kalau aku ingin melihatmu dalam pakaian renang atau sesuatu
yang kasar seperti itu.”
“Aku ti-tidak mengira kamu
begitu. Ko-Kolam renang, ya?”
“Memangya ada yang salah dengan
itu?”
Amane selalu kepikiran tentang
kolam renang di musim panas, dan bukan dalam artian yang aneh atau semacamnya,
tapi Mahiru menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang sedikit kaku.
“Y-yah…umm…”
“Hmm?”
“A-Asalkan aku tidak perlu
berenang, um … Aku bisa mempertimbangkan untuk pergi…”
“…Apa jangan-jangan, kamu tidak bisa
berenang?”
Dia terang-terangan membuang
mukanya. Rupanya, tebakan Amane tepat sasaran.
“… Sejujurnya, aku pikir kalau kamu
bisa melakukan apa saja.”
“Te-Tentu saja aku tidak bisa
melakukan semuanya. Karena berenang adalah opsional, jadi aku pikir aku bisa
menghiraukannya tanpa perlu memberitahu siapa-saiapa.”
Wajahnya semakin memerah dalam
hitungan detik. Dia jelas-jelas merasa malu.
“Aku tidak tahu harus berkata
apa; Aku cuma tidak menyangka hal itu ...”
“Pe-Pembicaraan tentang
berenangnya sudah selesai, ‘kan? Ayo pergi.”
Mahiru tampaknya tidak ingin
Amane memikirkan fakta bahwa dia tidak bisa berenang, dan dengan wajah yang
semerah tomat, Mahiru menarik tangannya. Yah, bukan benar-benar menarik—dia
menekan tubuhnya ke lengan Amane dan merangkulnya erat-erat. Jelas sekali kalau
Mahiru mencoba mendorongnya untuk memulai jalan-jalan untuk lihat-lihat mall
karena dia ingin menghindari topik itu, tetapi Mahiru tidak bisa menemukan
sesuatu yang menarik perhatiannya.
Semua bahan kain pada pakaian
yang dipajang toko-toko terlihat lebih tipis, mungkin untuk menyesuaikan dengan
perubahan musim saat cuaca berangsur-angsur menjadi lebih hangat. Misalnya saja
blus sifon yang dipada Mahiru pada hari ini, dibuat dengan kain yang ringan dan
tipis, dan memiliki kerah yang lebar, memperlihatkan sebagian besar leher dan
bahunya. Dan Amane menemukan pada saat ini bahwa dirinya berada di sudut yang
tepat untuk melihat langsung ke bagian depan kaus dalamnya.
Tapi Amane punya firasat kalau
Ia menunjukkan itu sekarang, Mahiru akan lari dengan ngambek, jadi Ia
berpura-pura tidak melihatnya dan dengan lembut melepaskan lengannya dari
cengkraman Mahiru, lalu dengan kuat menggenggam tangannya.
Sejujurnya, Amane tidak
keberatan untuk menikmati pemandangan yang indah itu lebih lama lagi, tapi
perasaan bersalahnya jauh lebih besar dan secara batin, Ia mencemooh dirinya
sendiri karena menjadi pecundang yang tak berdaya.
“Aku dengar, aku mendengarmu.
Jadi, jangan buru-buru begitu, kamu akan jatuh.”
“…Aku bukan anak kecil.”
Syukurlah Mahiru berbalik,
tampaknya tidak menyadari kegelisahan Amane, dan Amane juga menoleh ke arah
lain, berharap untuk melepaskan pandangannya sebentar.
Dengan putus asa mencoba
menghiraukan sensasi lembut yang menempel di lengannya, Amane menghela nafas
dengan cukup pelan sehingga Mahiru tidak bisa mendengarnya.
◇◇◇◇
Amane menatap deretan toko yang
berjejer saat Mahiru menarik tangannya, tapi sekali lagi, yang bisa Amane
pikirkan hanyalah seberapa banyak perhatian yang mereka dapatkan.
Mahiru memancarkan kecantikan
yang sederhana dan bersih sesuai dengan julukannya “Tenshi.” Tapi saat ini, Mahiru memancarkan aura kegembiraan tanpa
beban yang membuatnya ingin memeluknya.
Dalam mode Tenshi, Mahiru memiliki
keindahan dan kecantikan layaknya lukisan dan membuat siapa saja yang
melihatnya merasa seolah dia tidak boleh disentuh atau diganggu. Namun, itu
adalah kecantikan yang rapuh dan artifisial, serta Amane tahu sendiri kalau itu
bukanlah dirinya yang sebenarnya. Gadis yang memegang tangannya mengenakan
senyum tulus, tanpa beban dan penuh dengan kehidupan. Tanpa mengucapkan sepatah
kata pun, Amane bisa tahu dari ekspresinya, cara dia memegang tangannya, dan bahkan
dari caranya berjalan, Mahiru tampak bersenang-senang.
Senyum palsunya yang biasa juga
indah, tetapi Amane pikir kalau dia terlihat jauh lebih manis ketika membiarkan
perasaannya muncul di wajahnya dan tersenyum lepas ketimbang menahan diri.
“…Apa ada yang salah?” Mahiru
tiba-tiba bertanya.
“Tidak ada,” jawab Amane. “Aku
hanya berpikir kalau kita mendapat banyak perhatian saat berjalan bersama
begini.”
Baik laki-laki maupun perempuan
menoleh untuk melihat saat mereka lewat, yang benar-benar membawa pulang
realitas kecantikan Mahiru.
“…Kupikir bukan cuma aku yang
mereka lihat, tahu?”
“Yah, aku yakin beberapa dari
mereka meluangkan waktu untuk menilai pria yang mengawalmu.”
“Bukan itu maksudku, astaga!”
Mahiru menatapnya dengan
kekecewaan tetapi tampaknya tidak ingin menjelaskan lebih lanjut, hanya meremas
tangannya dengan erat lagi. Amane mendengarnya bergumam pelan, “Perasaan mindernya memang masalah akut...”
Tapi Amane tahu bahwa bila
bersama Mahiru, dirinyaa akan berada di bawah pengawasan ketat, dan sangat
jelas sekali kalau Ia takkan pernah bisa dibandingkan dengan Mahiru, jadi ini
bukan masalah harga diri atau semacamnya seperti yang Ia khawatirkan.
“Baiklah, dengarkan baik-baik,”
ujar Mahiru. “Aku akan mencoba mengatakan ini sejujur mungkin
sehingga kamu bisa mengerti.”
“Hah? Apa-apaan dengan suara
itu? Menakutkan, tau.”
“Dasar kasar ...” Dia mencubit
hidung Amane dengan jari telunjuknya dan membungkamnya. “Ini salahmu sendiri,
tahu?”
Tapi bukannya cemberut, Mahiru
memasang senyum menggoda saat berulang kali menyubit hidung Amane, lalu menjauhkan
diri setelah puas dan menarik tangan Amane. Sebenarnya, akan lebih akurat untuk
mengatakan bahwa dia menekan lengannya lagi.
“...Segala sesuatunya akan
berjalan jauh lebih cepat jika kam memiliki sedikit kepercayaan diri,” gerutu
Mahiru, meletakkan dahinya di lengan atas Amane.
Amane tidak tahan dengan
tingkah menggemaskannya dan memalingan muka.
…Itu
tidak disengaja; dia tidak bermaksud begitu.
Amane berusaha untuk tidak
memikirkan kelembutan yang menekannya. Ia mencoba dengan sopan membuka jarak di
antara mereka, tapi Mahiru mencengkeram lengannya erat-erat seolah menyuruhnya
untuk tidak pergi ke mana pun.
Amane bergidik, berpikir bahwa
jika ini semua disengaja, dia bertingkah seperti iblis kecil. Tapi Amane yakin
kalau Mahiru tidak menyadari apa yang sudah dia lakukan, jadi Ia bergidik
karena alasan yang berbeda.
Jika keadaan begini terus
berlanjut, Ia akan tidak tahan lagi, jadi Amane entah bagaimana mengalihkan
pikiran rasionalnya ke hal lain dan melihat-lihat area itu dengan santai.
Secara kebetulan, Ia melihat sebuah toko yang dipenuhi dengan rak pakaian
sederhana yang mungkin disukai Mahiru.
“Hei, pakaian di manekin itu
sepertinya cocok untukmu. Mau pergi lihat-lihat?”
Amane menunjuk toko dengan
tangannya yang bebas, berharap untuk mengalihkan perhatian dari rasa malu saat
ini yang membakar pipinya, dan Mahiru bertanya, “Apa jenis pakaian seperti itu yang
kamu suka, Amane-kun?”
Dia tampak tertarik, jadi kaki
mereka secara alami menuju ke toko itu.
“Bagaimana dengan yang ini?”
“Yah, kamu terlihat bagus di
baju apa saja, tapi model baju seperti ini sepertinya cocok untukmu.”
Manekin itu mengenakan gaun
bahu terbuka dengan garis-garis tipis berwarna putih. Itu adalah pakaian khas musim
panas, jadi kainnya cukup tipis, dan bahunya terbuka. Model baju yang tampak
sejuk dan nyaman untuk tamasya cuaca hangat.
Gaya pakaian ini terlihat
sangat bagus pada gadis yang ramping dan cantik, jadi Amane yakin kalau baju
itu akan terlihat bagus pada Mahiru. Ia membayangkan Mahiru memakai pakaian itu
saat dia berdiri di sana di samping manekin dan segera dapat membayangkan dia
tampak riang dan mempesona. Tampilan yang cocok dengan topi jerami.
“Aku akan mencobanya, oke?”
Mahiru mengambil salah satunya
dari rak gaun yang tergantung di sebelah manekin, seolah-olah dia telah
memutuskan dengan cepat atau selalu berencana untuk mencobanya.
Amane sedikit terkejut dengan antusiasmenya
yang tiba-tiba. Ia menerima tas yang Mahiru percayakan padanya, dan dia segera
menghilang ke kamar pas.
Ia menunggu Mahiru berganti
pakaian, sedikit kaget dengan kegembiraannya, dan akhirnya semakin bingung karena
untuk beberapa alasan, Amane terus mendapati dirinya menerima tatapan hangat
dari orang-orang di dekatnya. Bukan hanya karyawan toko, tapi pelanggan lain
juga tersenyum padanya dengan ramah, yang mana hal itu membuat Amane sangat
tidak nyaman.
Saat menunggu Mahiru, Amane
berharap dari lubuk hatinya bahwa dia akan segera kembali. Akhirnya, tirai
kamar pas terbuka, dan Mahiru melangkah keluar.
Tapi dia tidak berganti pakaian.
“Selamat datang kembali ... Kamu tidak memakainya?”
“Tidak, aku memakainya dan
memeriksa ukurannya. Tapi… Yah, aku tidak bisa menunjukkannya padamu sekarang,
karena aku tidak memakai pakaian dalam yang sesuai…”
“M-Maaf.”
Blus sifon yang dia kenakan saat
ini juga menunjukkan belahan dada yang lumayan, tapi tidak sebanyak gaun bahu
terbuka. Kedengarannya seperti dia harus mengenakan pakaian dalam yang berbeda
dari biasanya ketika mengenakan pakaian yang memperlihatkan bahu begitu banyak,
jadi dia tidak siap untuk segera menunjukkan gaun itu pada Amane.
“Tapi kamu cukup baik sampai
bisa menunjukkan kalau baju itu akan cocok untukku, aku sudah memakainya dan cukup
menyukainya, jadi aku membelinya.”
Mahiru mengambil tasnya kembali
dari Amane dan pergi ke kasir dengan gaun di tangannya, jadi Amane mengikutinya
dengan bingung.
Amane mulai mengeluarkan
dompetnya, berpikir kalau Ia harus membayarnya, karena dialah yang mengatakan
kalau gaun itu cocok untuk Mahiru, tapi dia menghentikan Amane karena dia sudah
meraba-raba tasnya sendiri.
“Kamu jangan membayarnya. Aku
perlu membeli ini sendiri dan memamerkannya kepadamu. ”
“O-Oh.”
“Meski aku tidak bisa
memakainya sampai suhunya menjadi lebih hangat. Aku akan menahannya sampai
musim panas tiba. Kamu bisa menantikan untuk melihatnya. ”
Dia tampak malu ketika selesai
membayar, Amane hanya bisa terdiam dan berusaha mati-matian menahan keinginan
untuk pingsan di tempat.
Sial,
dia mengatakan kalimat memalukan dengan entnegnya. Kedengarannya seperti dia
sengaja memakainya hanya untukku. Hatiku tidak bisa menerima ini.
Amane menyadari ekspresi
karyawan toko yang menerima pembayaran Mahiru, dan karyawan tersebut tersenyum
padanya dengan ekspresi yang benar-benar ramah, jadi Amane tidak bisa berbuat
apa-apa selain menggigit bibirnya dan mengalihkan pandangannya.
◇◇◇◇
Amane dan Mahiru menikmati
jalan-jalan bersama—sebenarnya, karena mereka
melakukan pembelian, lebih tepat
menyebutnya berbelanja pada saat ini— tapi Amane untuk sementara berpisah
dari Mahiru dan menunggu sendirian.
Karena Mahiru pergi untuk
membeli sesuatu yang ingin dia periksa sendiri dan memberitahu kalau dia perlu
sendirian sebentar. Acara kencan ini adalah saran Mahiru sejak awal, dan Amane
mengira bahwa gadis-gadis memiliki segala macam belanja yang mereka tidak ingin
orang lain ketahui, jadi Amane tidak merasa keberatan dan pergi ke pilar di
dekat air mancur mal yang akan menjadi tempat pertemuan mereka.
Amane sudah terbiasa menemani
perempuan dalam perjalanan belanja maraton berkat ibunya, dan sudah terbiasa
juga untuk menunggu mereka ketika mereka
menyeretnya ke berbagai tempat. Pada akhirnya, Amane tidak membenci untuk
menunggu dengan tenang sendirian, jadi Ia melakukan itu tanpa merasa kesal sama
sekali.
Tatapan di sekitarnya mulai
berkurang setelah berpisah dari Mahiru, yang membuatnya sedikit lebih nyaman,
dan jeda inilah yang Amane butuhkan untuk mengistirahatkan jantungnya yang
terbebani sejenak.
...Dia
sangat menggemaskan dan terus menyentuhku. Aku tidak yakin sampai berapa lama
lagi aku bisa bertahan…
Mahiru menunjukkan sisi dirinya
yang biasanya dia tahan. Dia menikmati dirinya sendiri, terlihat tulus dan
begitu menawan.
Mahiru pasti sangat menyadari betapa
menakjubkannya penampilannya, tapi dia juga tampak acuh pada kecantikannya
sendiri. Mungkin karena Amane memperlakukannya sebagai teman dan tidak
mempermasalahkannya, tapi dia tidak memamerkan penampilannya di hadapan Amane
dan membiarkannya melihat kelucuan alaminya, mencium aroma manisnya, merasakan
kelembutannya, serta masih banyak lagi. Amane tahu bahwa dirinya sangat
beruntung bisa menikmati kebersamaan dengan Maihru seperti itu, tapi Ia merasa
terlalu bersalah untuk benar-benar menghargainya.
Amane merasa malu hanya dengan
mengingat semuanya, tapi Ia tidak bisa membiarkan ekspresi tersipunya muncul di
depan umum begini, jadi Ia menutup bibirnya rapat-rapat dan diam-diam memejam
matanya.
Semua pikiran ini membuatnya
gelisah, jadi Ia menggelengkan kepalanya perlahan untuk mengusirnya dari
pikirannya.
Tiba-tiba, Amane mendengar
suara bernada tinggi dari dekatnya. “Umm, permisi.”
Matanya terbelalak saat
mendengar suara yang tidak dikenalnya dan menoleh ke depan untuk melihat dua
gadis yang tersenyum padanya. Mereka mungkin seusia anak kuliahan. Setidaknya,
mereka terlihat lebih tua darinya. Mereka berpakaian penuh gaya untuk tamasya golden week dan tersenyum pada Amane
yang tatapan matanya menyipit curiga.
“Permisi, apa kamu lagi sendirian?
Apa kamu punya waktu luang?”
Amane terkejut saat mendengar
gadis-gadis itu bertanya padanya.
Ia berpikir bahwa dengan kepala
tertunduk, sudah jelas sekali kalau dirinya tidak ingin berbicara dengan siapa
pun, jadi Amane sedikit kaget dengan keberanian
gadis-gadis ini. Sangat disayangkan bahwa mereka tampaknya tidak bisa
peka terhadap suasana.
Meski ada kecurigaan terlintas
di benak Amane tentang mengapa gadis-gadis ini sampai repot-repot untuk datang
berbicara dengannya, meskipun Ia sedang tidak ingin bebricara dengan orang
lain, Amane tahu itu tidak sopan untuk mengabaikan mereka sepenuhnya, jadi Ia
mendongak dan menatap mereka dengan ekspresi datar.
“Tidak, aku sedang menunggu
seseorang.”
Ia berharap kalau mereka akan
menyimpulkan keadaannya dari semua merek berorientasi wanita yang terpampang di
banyak tas belanja yang ditinggalkan Mahiru bersamanya, tapi gadis-gadis itu
sepertinya tidak menyadarinya. Mungkin tasnya tidak menonjol karena desainnya
yang sederhana.
“Aku menghargai undangannya,
tapi aku sudah ada janji, jadi—”
“Kalau begitu, temanmu bisa
ikut dengan kami juga! Kita akan minum teh atau semacamnya.”
Mereka tampaknya mengira kalau
teman yang Amane tunggu adalah seorang cowok juga.
Seandainya saja Ia dan Mahiru
sudah resmi pacaran, Amane bisa memberitahu mereka kalau dirinya sedang
menunggu pacarnya dan dengan mudah menolak ajakan mereka, tapi nyatanya Ia dan
Mahiru tidak benar-benar pacaran, dan Mahiru sedang tidak bersamanya saat ini,
jadi jika Amane mengklaim kalau Mahiru adalah pacarnya, Ia tidak tahu apakah
Mahiru akan segera membantunya ketika dia benar-benar muncul kembali.
Selain itu, Amane pernah
menggunakan alasan itu untuk menjauhkan Mahiru dari pria mabuk, dan dia menyuruhnya
berhenti mengatakan hal semacam itu, jadi Ia merasa ragu untuk menggunakannya
lagi.
Amane sedikit mengernyit saat
memandang kedua gadis itu, mengira Ia mungkin terjebak berbicara dengan mereka
sampai bertemu kembali dengan Mahiru—lalu, dari sudut matanya, Ia melihat
beberapa rambut kuning muda yang dikenalnya.
“Maaf sudah membuatmu
menunggu.”
Beberapa detik kemudian, sembari
mengayunkan rambutnya dengan lembut ke samping dan mendekat dengan gerakan
anggung, si penyelamatnya, sang tenshi, mulai muncul.
Dia sepertinya melihat bahwa
Amane dalam masalah dan datang dengan cepat. Napasnya agak terlalu cepat karena
baru saja berjalan.
Mahiru tersenyum ringan pada
Amane, yang telah mencoba menahan gelombang obrolan para gadis dengan wajah
tenang, dan praktis melompat merangkul tangannya.
Dengan sedikit keberuntungan, Ia
berhasil untuk tidak menunjukkannya di wajahnya, tetapi Amane sangat terkejut.
Mahiru sedang menatapnya dengan tubuh miring sehingga dia tidak bisa melihat
gadis-gadis di belakangnya. Amane bisa merasakan keheranan dan ketidakpuasan di
matanya dan pertanyaan tak terucapkan “Apa
yang sedang kamu lakukan?” yang mana Ia menyadari kalau semua tindakan
Mahiru hanyalah pertunjukan untuk membantunya melepaskan diri dari situasi
tersebut.
...Dia
membuatku sangat gugup; Aku berharap dia berhenti melakukan itu.
Ini semua salah Amane—Ia tidak
ingin menyakiti perasaan mereka, tapi keragu-raguannya disalahartikan sebagai
ajakan untuk terus mengobrol dengannya. Dan Mahiru telah tiba untuk menyelamatkannya,
jadi Amane tidak bisa mengeluh tentang metodenya. Tapi Ia tidak bisa menyangkal
bahwa itu masih membuatnya stres.
Amane bergabung dengan sandiwaranya
dan dengan lembut meletakkan tangannya di punggung Mahiru. Itu adalah gerakan yang sangat intim untuk
menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan khusus.
“Jangan terlalu dipikirkan,”
katanya. “Gadis-gadis baik ini cukup baik untuk menemaniku, jadi rasanya tidak
terasa selama itu.”
“Oh benarkah? Terima kasih
sudah repot-repot menemaninya.”
Mahiru setengah berbalik dengan
senyum berseri-seri dan gadis-gadis itu menatapnya dengan takjub. Cowok yang
mereka coba ajak bicara sedang memeluk seorang gadis yang sepertinya pacarnya.
Selain itu, gadis yang dipeluknya sangat imut.
Mahiru pasti menyadari mengapa gadis-gadis
itu tertegun, tetapi ekspresinya penuh dengan niat baik, seolah-olah dia tidak
tahu. Amane terpesona oleh kemurahan hatinya. Dia benar-benar tampak bersyukur,
dan senyumnya adalah gambaran kepolosan.
Tapi gadis-gadis itu hanya
menatap mereka, tanpa bergerak sedikit pun. Amane balas tersenyum, mencoba yang
terbaik untuk bersikap biasa saja.
“Aku minta maaf. Seperti yang
sudah aku katakan sebelumnya, aku sudah ada janji, jadi ...”
Amane merasa lega bahwa Ia bisa
memberi mereka alasan itu sebelumnya. Ia menepuk punggung Mahiru dengan tidak
sabar, dan Mahiru, yang masih mengenakan senyum lebarnya, menjalin lengannya
dengan lengan Amane, tampaknya dalam semangat yang baik.
Mahiru bersandar sangat dekat
dengannya lagi, dan perasaan sesak di dadanya kembali, tetapi Amane tahu kalau
Ia tidak bisa membiarkan dirinya tersipu sekarang. Tidak setelah Mahiru
bersusah payah melakukan tindakan ini untuknya. Jadi Ia berusaha untuk
berpura-pura tenang dan membungkuk kepada gadis-gadis itu.
Mahiru mengikuti jejaknya dan
ikut membungkuk juga, lalu atas desakannya, mereka berbalik dan berjalan
menjauh dari gadis-gadis itu.
Begitu mereka berbelok di
tikungan dan memeriksa untuk memastikan kalau mereka tidak terlihat, Amane
menatap Mahiru dan melihat senyum palsunya sudah menghilang.
“Apa yang sudah kamu lakukan?”
Mahiru bertanya dengan nada suara yang tiba-tiba datar saat dia menatapnya.
Tanpa sengaja, Amane terkekeh
melihat perubahannya yang tiba-tiba. Mahiru masih menempel erat padanya, tapi
ekspresinya tampak marah dan sedikit tidak senang. Dia tadi terlihat dalam suasana
hati yang baik, tetapi jelas-jelas tadi itu hanya bagian dari aktingnya, karena
sekarang nuansa jengkel melintas di matanya.
“Kamu benar-benar sudah
menyelamatkanku,” kata Amane.
“Aku hanya mengalihkan pandanganku
darimu sejenak … Ya ampun, aku cuma pergi sebentar. Sulit dipercaya. Jika aku
tahu akan begini jadinya, aku takkan meninggalkanmu sendirian …” Mahiru
bergumam pada dirinya sendiri.
Bersamaan dengan rasa bersalah
yang tiba-tiba, Amane menyadari tatapannya telah melayang lebih rendah dan
lebih rendah di atas tubuh Mahiru. Ia tampaknya satu-satunya yang gelisah oleh
kontak dekat itu—Mahiru tampaknya tidak memedulikannya.
“Kamu benar-benar tidak tahu
bagaimana buat menolak ajakan orang asing, ‘kan, Amane-kun?” Mahiru tidak
menunjukkan tanda-tanda menyadari gejolak batin Amane. Dia hanya terlihat putus
asa.
“Mungkin aku tidak bisa
menolaknya, atau mungkin aku tidak tahu bagaimana menangani orang asing seperti
itu. Mereka perempuan, jadi aku tidak ingin bertindak kurang ajar atau
menggunakan bahasa yang kasar. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika aku
membuat mereka menangis.”
“Sejujurnya, aku tidak tahu
apakah kamu bertindak jantan atau pengecut.”
“Hei, ayolah, itu pertama
kalinya hal seperti itu terjadi padaku, jadi apa boleh buat. Aku takkan pernah menyangka
dalam satu berbanding sejuta kemungkinan kalau gadis-gadis itu akan datang dan
berbicara denganku.”
Amane tidak pernah membayangkan,
dengan begitu banyak orang yang berkeliaran, seseorang akan mengajaknya
berbicara.
“Gadis-gadis asertif itu luar
biasa, ya? Mereka bahkan sampai mendekati cowok antisosial sepertiku.”
“…Penampilanmu yang sekarang
tidak mencerminkan cowok antisosial… yang ada justru kamu lebih terlihat seperti
pemuda yang ramah dan ceria.”
“Itu adalah pujian yang sangat
bagus yang tidak menggambarkanku sama sekali."
“Yah, riasan cuma bisa mengubah
penampilan saja ...”
“Betapa baiknya kamu
mengatakannya.”
Mahiru benar—bahkan jika dia
terlihat sedikit lebih baik di luar, tapi bagian dalam dirinya masih suram
seperti biasanya. Amane tertawa mengejek dirinya sendiri.
Cara berbicara yang lugas ini
juga merupakan salah satu hal yang Amane hargai tentang Mahiru. Ia merasa kalau
itu sangat menawan. Jauh lebih baik daripada dibohongi.
Ia tahu bahwa Mahiru tidak bermaksud
untuk meremehkannya, jadi Ia menerima kata-katanya dengan pengertian yang
lembut.
Tapi Mahiru menghela nafas
karena suatu alasan.
“Oke, kurasa aku harus
memberitahumu langsung tepat di depan wajahmu. Kamu jelas bukan tipe ceria atau
ramah, tapi aku juga takkan bilang kalau kamu suram. Bagiku, kamu terlihat kalem dan tenang, dan saat
bersamamu, aku juga merasa tenang. Aku bisa merasa santai. Bahkan jika kita
tidak berbicara, aku merasa nyaman saat berada di sisimu, dan menurutku itu hal
yang luar biasa.”
“…Oh, begitu?”
Pujiannya sangat memalukan, dan
Amane hanya bisa menjawab dengan singkat. Mahiru tampaknya tidak puas. Dia
menekan lengannya lagi, tampaknya tidak menyadari betapa fatalnya perbuatannya
itu.
“Dan bagaimana perasaanmu saat
bersamaku?”
“…Di rumah, aku merasa tenang.”
“Dan sekarang?”
“…Sekarang aku tidak bisa
tenang sama sekali. Karena seseorang terus menekan dadanya ke lenganku.”
Itu pasti pernyataan yang tidak
terduga, dan dia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang sudah dia lakukan,
karena Mahiru tertegun kaku dan menatap dadanya sendiri.
Dan kemudian wajahnya memerah seperti
ketel mendidih.
“Kupikir kamu melakukannya
dengan sengaja.”
Ketika Amane bercanda kalau
Mahiru sudah membuatnya sangat tertekan, sampai-sampai berbatasan dengan
pelecehan, Mahiru memelototinya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Itu
tidak memiliki dampak sedikit pun, mungkin karena dia tahu dia melakukannya
untuk menyembunyikan rasa malunya.
“Apa—? Ba-Baka, mana mungkin
aku melakukannya dengan sengaja!””
“Aku tahu itu. Aku cuma bercanda,
maaf.”
Amane sadar kalau Ia terlalu
banyak meledeknya, Mahiru akan mulai merajuk, jadi dia segera meminta maaf
untuk menjinakkan amarahnya. Emosi marah Mahiru sekarang padam, dan dia hanya
menggerutu sedikit. Tapi dia tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan dan malah
memutuskan untuk meninju Amane sekali di samping untuk melampiaskan amarahnya.
Tersenyum pada rasa frustasi
Mahiru yang imut, Amane memegang tangannya lagi untuk memastikan ada ruang di
antara mereka.
“Jangan menempel padaku begitu
erat.”
“… Bisakah kita tetap
berpegangan tangan?”
“Aku akan kehilanganmu jika
tidak melakukan begini.”
Jika mereka melepaskan tangan satu
sama lain dan tersesat dalam kerumunan orang, itu akan melenceng dari tujuan
pergi bersama.
“…Apa yang akan kamu lakukan
jika aku tersesat?”
“Aku akan menggunakan ponselku
untuk menghubungimu dan memilih tempat untuk bertemu, seperti biasa.”
“Sungguh rasional sekali.”
“Sepertinya begitu. Yah, aku
akan mencoba untuk tidak membiarkanmu pergi.”
Bila Amane membiarkan Mahiru
terlepas dari genggamannya dan membuatnya berkeliaran sendirian, Mahiru
kemungkinan besar akan didekati cowok perayu, jadi Ia tidak berniat
membiarkannya terlihat seperti dia sendirian.
Mahiru secara khusus meminta
tamasya ini dan mungkin ingin menikmati hari yang menyenangkan daripada
didekati oleh orang-orang yang tidak dia kenali. Selain itu, meskipun Amane
tahu Mahiru sering didekati oleh cowok lain, Ia masih tidak menyukai peristiwa
semacam itu menimpa Mahiru.
Begitu mendengar kata-kata
Amane, Mahiru menatap matanya dalam-dalam, lalu menurunkan pandangannya ke
tangan mereka yang saling menggenggam. Dan kemudian bibirnya melengkung lembut
menjadi senyuman, dan dengan suara selembut bunga yang mekar, dia berkata,
“...Ya. Tolong jangan biarkan aku pergi.”
Dia berbisik pelan dan menjalin
jari-jarinya. Mencoba untuk tidak membiarkan dia merasakan kepanikannya yang
tiba-tiba, Amane merespons dengan baik.
◇◇◇◇
“…Jadi ini yang namanya pusat
gim…”
Setelah selesai berkunjung di toko
pakaian dan melakukan beberapa pembelian, Amane membawa Mahiru ke pusat gim
favoritnya.
Mahiru sendiri yang ingin
datang ke sini. Mereka telah menempatkan tempat ini sebagai yang tempat terakhir
dalam daftar tujuan mereka; jadi bahkan jika mereka memenangkan hadiah di gim
capit, mereka tidak perlu membawanya kemana-mana. Setelah ini, mereka akan
langsung pulang, jadi mereka punya banyak waktu. Menyelesaikan kencan mereka di
sini tidak diragukan lagi adalah keputusan yang tepat.
Rupanya, Mahiru juga tidak
pernah datang ke sini bersama Chitose, dan dia terlihat menggemaskan, mengagumi
segala sesuatu di sekitarnya.
“Benar-benar ada segala macam
permainan di sini, ya?”
“Tentu saja. Bukan hanya gim
capit tetapi juga gim arcade dan gim fisik. Pusat gim ini memiliki banyak jenis
permainan yang berbeda.”
“Aku bisa melihat itu. Dan
tempat ini juga terlalu berisik.”
“Ah, kebanyakan tempat memang begini.”
Mahiru sedikit mengernyit,
mengingatkan Amane bahwa hiruk pikuk khas pusat gim bisa memekakkan telinga
bagi seseorang yang tidak terbiasa dengannya. Karena Amane sudah terbiasa
dengan suasana ini, jadi Ia baik-baik saja.
Lantai yang berisi gim slot dan arcade bahkan jauh lebih
berisik, jadi dia berjalan di sekitar area itu saat berjalan melalui pusat gim
dengan Mahiru yang mengikuti di belakangnya.
“Jadi, gim apa yang ingin kamu
mainkan?”
“Aku ingin mencoba gim capit. Aku
ingin mencoba mendapatkan boneka binatang.”
Pandannya sepertinya tertuju
pada gim capit. Dia melihat ke sekeliling bagian pusat gim itu, secara bergantian
meremas dan melepaskan tangannya dalam kegembiraannya.
Karena sekarang sedang masa
liburan Golden Week, jadi pusat gim
menawarkan banyak hadiah baru dan menyediakan banyak boneka binatang lucu yang
lebih berorientasi keluarga, jadi ada banyak boneka yang mungkin disukai
Mahiru.
“…Amane, aku ingin mendapatkan
yang itu.”
“Hm, yang mana?”
“Yang itu tuh. Kucing itu…
Bukannya dia terlihat seperti Silky-chan?”
Mainan yang Mahiru tunjuk
adalah boneka kucing dengan bulu putih yang berubah menjadi coklat tua di sekitar
wajahnya. Dengan mata biru, boneka itu memang menyerupai Silky, kucing yang
pertama kali menyapa Mahiru di kafe kucing, dan dia tampak terpikat olehnya.
“Itu benar-benar mirip seperti
dia. Kamu mau yang itu?”
“Ya. Boleh aku mencobanya?”
“Tentu saja. Kurasa mesin di
sini mudah untuk dimenangkan, tetapi jika kamu merasa kesulitan mendapatkannya, aku akan mendapatkannya
untukmu.”
“Aku akan mencoba yang terbaik
jadi kamu tidak perlu melakukannya.”
Bersemangat untuk menerima
tantangan baru ini, Mahiru bersiap mencoba mesin gim capit, sementara Amane
mundur dan menonton. Jika Amane mengambil giliran, Ia bisa dengan gampang
mengamankan hadiahnya, tetapi Mahiru ingin memenangkan yang ini, dan pilihanyang
terbaik adalah membiarkannya mengatasi tantangan itu sendirian.
Mahiru memasukkan koin dan
dengan takut-takut menekan tombol untuk memindahkan lengan capit ke samping
sebentar, lalu memeriksa posisinya. Kebiasaan dari Mahiru yang cerdas, dia
sepertinya memastikan seberapa jauh itu akan bergerak dengan satu menekan
tombol.
Namun dengan jenis gim capit
ini, begitu kamu melepaskan tombolnya, capitnya akan beralih ke mode gerakan
vertikal.
“Tunggu, ehh? Capitnya tidak
mau bergerak.”
“Maaf, aku lupa memberitahumu.
Begitu kamu melepaskan tombolnya, tombol itu bergeser ke gerakan vertikal, jadi
kamu hanya punya satu kesempatan.”
“Ah, jadi…”
“Tak peduli apa yang kamu
lakukan, capitnya takkan mencapai boneka binatang.”
Mainan yang ingin Mahiru
dapatkan berada di bagian tengah, tetapi lengan capitnya baru saja bergerak
menjauh dari target, dan yang tersisa untuk diatur hanyalah gerakan vertikal.
Tidak peduli seberapa keras Mahiru menggerakkannya, dia tidak akan bisa
menyentuh hadiahnya.
Pusat gim ini juga memiliki
jenis gim capit yang bisa diatur waktunya dan menggunakan tuas yang dapat
bergerak ke segala arah, tapi mesin khusus ini adalah jenis tombol, jadi sayangnya
hanya sampai segitu saja. Ini terjadi pada banyak orang ketika mereka pertama
kali bermain gim capit, jadi tidak wajar saja dia tidak mengetahuinya.
“Yah, seratus yen itu hilang,
tapi kamu masih memiliki gerakan vertikal, jadi kamu bisa menggunakan ini
sebagai kesempatan untuk merasakan kecepatan gerakan lengan dan jeda setelah
kamu melepaskan tombol. Kemudian kamu bisa menggunakan informasi itu pada
percobaan berikutnya. ”
“Hmm… baiklah. Ini salahku
senidri karena ceroboh,” katanya, lalu menggerakkan lengan capit dengan
konsentrasi penuh, memperhatikan kecepatannya dengan cermat.
Amane merasa kalau dirinya
tidak memberikan peringatan yang cukup pada upaya pertamanya, jadi dia
diam-diam memasukkan koin lain, yang membuat Mahiru menatapnya dengan
ketidakpuasan. Amane berkata “Ini buat
penebusan” dan menepuk punggung Mahiru untuk memberi semangat. Dengan
enggan, Mahiru kembali mencoba gim capit.
Dia pasti sudah mengetahui
kecepatan gerakan lengan capit, karena pada percobaan berikutnya, dia bisa
menyejajarkannya secara menyamping dengan posisi boneka binatang.
Lengan capitnya sedikit
melenceng dari area tengah, tapi dia masih memiliki kesempatan untuk mencapai
targetnya di sepanjang sumbu vertikal. Bahkan jika dia tidak meraih tepat di
tengah mainan, mengingat pusat gravitasi lengan dan kekuatan cengkeramannya,
ditambah waktu saat dilepaskan, dia masih bisa mendapatkan sesuatu.
Mahiru benar-benar pemula, tapi
Amane terkesan dengan betapa terampilnya dia bermain. Mahiru dengan hati-hati
menggerakkan lengan capit di sepanjang sumbu vertikal sampai kurang lebih di
atas boneka binatang, lalu mencoba mengambil boneka kucing itu.
Bidiknya bagus, tapi mainannya
agak lonjong, jadi ketika lengan capit mulau mencengkram, pusat gravitasi
langsung bergeser, dan boneka kucing itu terjatuh.
“Hmm.”
“Hampir. Daripada mencoba
langsung mengambil mainannya, akan lebih mudah jika kamu menggesernya dengan
satu sisi lengan capit dan memanfaatkan pusat gravitasinya untuk membuatnya
berguling.”
Untungnya, partisi di sekitar
tempat jatuh tidak terlalu tinggi, jadi jika dia bisa menggulingkannya, bonek akucing
itu akan jatuh.
Mahiru mengedipkan mata dengan
saksama, lalu dengan patuh melakukan gerakan seperti yang diperintahkan.
Satu hal yang Ia hargai tentang
Mahiru adalah kemampuannya untuk menerima nasihat tanpa merasa marah atau bersikap
keras kepala.
Dia melakukan upaya lain untuk
mendapatkan boneka kucing itu, dengan mempertimbangkan posisi lengan capit dan
pusat gravitasi boneka binatang itu.
“Jadi aku akan melakukan ini di
sini ... dan menggerakan kepala ...”
Ekspresi serius Mahiru terpantul
dari kaca kotak gim.
Amane tertawa pelan supaya dia
tidak mendengarnya.
Setelah memasukkan beberapa
koin lagi dan mencoba beberapa saat, Mahiru akhirnya menggerakan mainan itu ke
tempat lubang hadiah dengan lengan capit.
Dia terkesiap pelan saat boneka
kucing itu jatuh dengan pukulan ke penutup yang menutupi ujung lubang hadiah.
Setelah keheningan sesaat,
Mahiru menatap Amane dengan pandangann sedikit terkejut.
“…Itu jatuh.”
“Ya, kerja bagus… Lihat, ini
bukti kemenanganmu.”
Amane mengambil boneka binatang
yang telah Mahiru perjuangkan dengan susah payah dan memberikannya kepada
Mahiru. Kenyataan bahwa dia akhirnya memenangkan hadiah itu tampaknya mulai
meresap. Tepat di depan matanya, ekspresi kegembiraan mengubah wajahnya yang
cantik.
“Aku—aku berhasil. Aku berhasil
mendapatkannya, Amane-kun!”
“Ya, kamu berhasil. Kamu
melakukannya dengan baik untuk pertama kalinya. ”
Amane menepuk kepala Mahiru
karena sudah berusaha dengan baik, dan dia menyipitkan mata karena malu dan
dengan erat memeluk hadiahnya, boneka kucing yang sangat mirip dengan Silky.
Mahiru tampak sangat senang
bahwa dia berhasil memenangkan mainan itu sendiri dan tersenyum puas saat enggosok
pipinya ke boneka binatang itu.
Amane merasa sedikit cemburu
pada boneka kucing itu saat Mahiru mendekapnya erat-erat dengan senyuman polos.
Amane mengalami kesulitan menjaga emosinya saat melihat betapa gembiranya
Mahiru.
Mahiru memeluk boneka binatang
itu dengan ekspresi kegembiraan yang meluap-luap, tapi kemudian tiba-tiba dia
melihat ke arah Amane dan dengan gugup mengulurkan mainan itu padanya.
“… Um, maukah kamu… menerima
ini?”
“Hah, aku?”
“Yah, kamu sudah memberiku
begitu banyak dan kamu sepertinya sangat menyukai Silky-chan, jadi …”
Amane memang menyukai kucing,
dan kucing itu khususnya sangat imut karena dia mirip dengan Mahiru. Tapi Amane
tidak berani mengatakan itu, jadi Ia hanya bisa menggaruk pipinya dan
mengangguk.
“...Atau karena kamu cowok,
jadi kamu tidak mau hadiah boneka binatang…?”
“Tidak, bukan begitu. Aku cuma
sedikit enggan karena apa aku boleh menerimanya, karena kamu bekerja sangat keras
untuk mendapatkan boneka ini. ”
“Aku mencoba memenangkannya
untukmu. Maksudku, aku tidak ingin terdengar memaksa, umm... Tapi karena kamu
bilang boneka ini terlihat seperti Silky-chan, jadi kupikir mungkin akan
menyukainya, jadi... Jika kamu tidak menginginkannya, aku akan mendekorasi
apartemenku dengan ini, tapi …”
Mahiru menatapnya dengan
gelisah, bahunya sedikit terkulai seolah putus asa. Mana mungkin Amane
menolaknya sekarang.
“Baiklah, aku akan mengambilnya
dan menyimpannya di kamarku. Meski aku, uh...aku takkan meletakkannya di dekat
bantalku seperti punyamu.”
“Ku-Kuharap kamu melupakan
itu...”
“Aku akan menghargai dengan
baik boneka kucing ini."
Amane dengan senang hati
menerima boneka binatang dari Mahiru, mengambil tas jinjing untuk membawa hadiah
dari dispenser di dekatnya, dan meletakkan boneka kucing itu di dalam tas
jinjing.
Mahiru memandangnya dengan
senyum bahagia, dan Amane baru saja akan mengulurkan tangannya padanya lagi,
ketika—
“Hah? Shiina-san?”
Ada suara yang memanggilnya
dari suatu tempat di dekatnya, dan Amane tertegun.
Mahiru juga menegang dan mereka
berdua berbalik dengan canggung untuk menghadap ke arah suara itu berasal.
Orang yang berdiri di sana adalah seorang pemuda yang wajahnya tampan polos dan
bermartabat … Kadowaki Yuuta.
“Kadowaki-san?”
Saat melihat Yuuta, Mahiru
segera memasang wajah tersenyum ala Tenshi yang biasa dia tunjukkan di sekolah.
Tapi itu tampak sedikit lebih kaku dari biasanya, mungkin karena dia masih
berjuang untuk mendapatkan kembali ketenangannya.
Karena sekarang liburan golden week, jadi mereka sangat sadar kalau
ada kemungkinan besar bisa berpapasan dengan teman sekelas mereka, tetapi
mereka tidak pernah menyangka untuk bertemu seseorang yang baru saja mulai
bergaul dengan mereka.
“Aku terkejut bisa bertemu
denganmu di pusat gim … Uh, apa aku sedang mengganggumu, mungkin?”
Yuuta memperhatikan keberadaan
Amane dan terlihat khawatir. Ia sepertinya belum menyadari kalau orang yang
berdiri di dekat Mahiru adalah Amane, tapi begitu Amane berbicara, identitasnya
pasti akan ketahuan. Di sisi lain, perhatian Yuuta terfokus pada Mahiru, jadi
ada kemungkinan Amane bisa lolos dari perhatian.
“Tidak, tidak sama sekali…,”
kata Mahiru.
“Ini pertama kalinya aku
mendengarmu punya pacar, tahu.”
“Ia bukan pacarku; kami tidak
memiliki hubungan semacam itu.”
Amane merasakan sedikit sakit
hati pada penolakan datar Mahiru, tapi memang benar bahwa mereka tidak
berpacaran, jadi Ia benar-benar tidak punya hak untuk memprotes. Akan lebih
aneh jika dia mengatakan sebaliknya.
“Y-yah, tapi kelihatannya
kalian … Hmm?”
Yuuta, yang jelas bingung
dengan sikap keras kepala Mahiru, hendak menanyainya lagi, tapi Ia tiba-tiba
memusatkan perhatiannya pada Amane.
Tatapan mata mereka bertemu,
dan pipi Amane berkedut.
Yuuta menatap tajam, seolah
bingung dengan apa yang dilihatnya. Ini adalah situasi yang sangat buruk bagi
Amane.
“…Fujimiya?”
Seperti yang Amane duga, Yuuta
mengenalinya.
Mereka belum lama menjadi dekat,
tapi meski begitu, jelas bahwa Yuuta peka. Tidak peduli seberapa berbeda baju
Amane dan menata rambutnya, Ia tidak bisa menipu teman barunya.
Amane berharap bahwa mungkin
Yuuta tidak akan melihat orang asing begitu dekat, dan Ia memang terlihat
sangat berbeda hari ini, tapi Yuuta tidak melewatkan keterkaitan yang ada.
“Hah, Fujimiya… kamu Fujimiya, ‘kan?
Aku bisa yakin sekarang saat melihatmu dari dekat… Mungkinkah, kalian berdua
sudah lama saling kenal dan bertemu lagi di sekolah?”
“Tidak, yah…”
Yuuta sepertinya menganggapnya
sebagai konfirmasi ketika melihat Mahiru ragu-ragu untuk menjawab. Yuuta
melihat bolak-balik antara Mahiru dan Amane, tampak sangat terkejut.
Sebelum dia mulai bergaul
dengan Yuuta, Amane mungkin telah menyangkal segalanya, tapi sekarang itu hal
yang mustahil. Amane menghela nafas berat dan menekan dahinya, lalu menatap
Yuuta, yang memasang ekspresi penasaran.
“…Aku terkesan kamu bisa
mengenaliku.”
“Sudah kuduga! Yah, entah
kenapa aku baru tahu kalau itu kamu, Fujimiya.”
“Memangnya aku bisa dikenali
semudah itu?”
“Tidak, kurasa tidak ada orang
di kelas kita yang akan mengenalimu secepat itu. Kamu tidak sering menampilkan
wajah seperti itu. ”
Amane tidak yakin apa yang
dimaksud dengan "wajah seperti itu",
tetapi untuk saat ini, Yuuta tampaknya tidak kepikiran adanya keterkaitan
antara Amane dan “cowok misterius” yang ditemui Mahiru, jadi Ia merasa lega.
“Ngomong-ngomong, rasanya
sangat mengejutkan bisa berpapasan dengan kalian berdua, bersama-sama seperti
ini.”
“…Tidak ada gunanya untuk menyembunyikannya,
jadi aku akan memberitahumu. Seperti yang kamu bilang, kami memang sudah saling
kenal sejak sebelum kami memulai kelas 2. Aku bahkan bisa bilang kalau kami
berteman baik. Tapi kami benar-benar tidak memiliki hubungan seperti yang kamu
bayangkan, Kadowaki.”
“…Oh benarkah?”
“Iya.”
Mahiru tidak ragu untuk menyangkal
bahwa ada sesuatu yang terjadi, jadi meskip itu membuatnya sedih untuk
mengatakannya, Amane juga jelas menolak kalau ada sesuatu di antara mereka.
Akan menimbulkan masalah bagi Mahiru jika kesalahpahaman itu berlanjut atau
menjadi lebih rumit. Orang yang menemukan mereka secara kebetulan adalah Yuuta,
jadi Amane tidak terlalu khawatir, tetapi akan ada masalah jika orang lain
menjadi curiga—dan rahasia mereka terbongkar. Ia benar-benar harus melarang
Yuuta membicarakannya.
Amane mengambil sikap tegas, dan
Mahiru menggenggam lengan bajunya dan menatapnya. Dia sepertinya memiliki
sesuatu untuk dikatakan tapi tidak bergerak untuk membuka mulutnya, jadi untuk
saat ini, dia tidak menekannya.
Yuuta memperhatikan perilaku
Amane dan Mahiru, dan entah Ia memahami atau tidak, Ia sedikit mengangkat bahu.
“Hmm… Yah, baiklah kalau kamu
bilang begitu. Tapi bisa dibilang, ini seperti yang dikatakan Itsuki.”
“Memangnya apa yang Ia
katakan?"
Mata Amane menyipit tanpa sadar
ketika memikirkan ucapan omong kosong Itsuki.
“Kamu tidak perlu secemas itu.”
Yuuta tertawa. “Tapi Ia pernah bilang kalau kamu terlihat keren saat berdandan
dengan benar. Aku hanya berpikir kamu memang terlihat sangat tampan.”
“Kedengarannya seperti
sarkastis kalau kamu yang mengatakannya, Kadowaki.”
Amane hanya bisa tersenyum
getir pada pujian dari cowok terpopuler di angkatan mereka, atau mungkin di
seluruh sekolah.
Yuuta adalah tipe cowok yang
tidak perlu berusaha keras untuk tampil menarik. Cowok seperti Amane, yang
harus menghabiskan waktu berdandan hanya untuk terlihat rapi, selalu
ditakdirkan untuk iri pada cowok semacam Yuuta. Amane tidak terlalu iri dengan
ketampanan cowok lain, tetapi dia kadang-kadang membayangkan memiliki kehidupan
yang lebih berkilau jika Ia memiliki nasib baik untuk dilahirkan seperti itu.
“Aku tidak lagi sarkastik. Aku
cuma ingin bilang, kamu harus menampilkan bagian dirimu seperti ini sepanjang
waktu. ”
“Mustahil; rasanya terlalu
merepotkan untuk mendandani rambutku setiap pagi. Dan aku akan menonjol jika
tiba-tiba muncul di sekolah dengan penampilan seperti ini.”
“Yah, emang benar sih, tapi…
Shiina-san, kamu pasti tahu kalau Fujimiya bisa terlihat seperti ini?”
“Itu, sih … Ya.”
Mahiru mengangguk tidak nyaman
saat Yuuta berbalik untuk mengamatinya.
Itu bukan tampilan pengawasan
atau ketidakpercayaan. Lebih tepatnya dia sedang mencari petunjuk.
“Mm-hmm, kurasa aku jadi mengerti.”
“Mengerti apa?”
“Bahwa kamu juga tidak ingin
membuat Shiina kesusahan.”
Mahiru tampak terkejut dengan
kata-katanya. Yuuta tertawa pelan dan berkata, “Kamu lebih mudah dibaca seperti
yang aku duga, Shiina-san.”
Yuuta tersenyum tipis.
Senyumnya terlihat agak hangat, namun kesepian—dan mungkin bahkan diwarnai
dengan sedikit rasa iri.
“Uhmm, Kadowaki-san?” Mahiru
bertanya ragu-ragu.
“Hmm?”
“Yah… aku ingin memintamu untuk
tidak mengatakan apapun tentang ini kepada orang lain. Tentang kita menjadi
te-teman, dan…lainnya.” Mahiru akan bermasalah jika Yuuta membicarakannya
dengan orang lain, jadi Mahiru juga memintanya untuk tutup mulut.
Yuuta mengangguk paham. “Ah,
kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Kurasa aku sedikit mengerti mengapa kamu
ingin menyembunyikan ini, dan aku menghargai perasaanmu. Selain itu, aku telah
menemukan bahwa begitu desas-desus tentangmu tersebar, Kamu tidak terlalu suka
menyebarkannya sendiri. ”
Amane sangat bersyukur bahwa
Yuuta memiliki sifat yang begitu pengertian. Dan Amane membayangkan bahwa
situasi mereka mungkin adalah sesuatu yang sangat berhubungan dengan Yuuta. Ia
sangat populer di kalangan gadis-gadis di sekolah, dan jadi Ia sering berurusan
dengan rasa iri dari sesama cowok, dan di sisi lain, jika Ia berteman dekat dengan
anggota lawan jenis, gadis yang menjadi teman dekatnya akan berada dalam
bahaya. Yuuta pernah menceritakan hal itu pada Amane , jadi Ia mungkin berbicara
berdasarkan pengalamannya sendiri.
Walaupun mereka tidak memiliki
hubungan romantis, jika gosip mengenai cowok NPC seperti Amane berteman dekat
dengan Mahiru beredar, masalah akan datang menghampiri mereka.
Amane sangat bersyukur bahwa
Yuuta tampaknya memahami hal tersebut dan akan menjaga kedamaiannya.
“Terima kasih bayak, Kadowaki.”
“Ya, yah, aku pikir itu hal
yang normal untuk dilakukan. Dan selain itu, aku tidak ingin melakukan apa pun
untuk membahayakan hubungan kita, Fujimiya. Tidak setelah aku akhirnya berhasil
mendapatkan teman.”
Yuuta menunjukkan salah satu
senyum cerahnya pada mereka dan menatapnya, Amane sangat mengerti mengapa cowok
ini begitu populer. Bahkan setelah berbicara dengannya sebentar, Amane berpikir
bahwa Yuuta adalah cowok yang ramah dan tulus, jadi Ia bisa mengerti bagaimana gadis-gadis
mungkin menganggapnya sangat menawan. Bukan hanya karena ketampanannya; tapi
juga sifatnya. Cowok-cowok lain di kelas mereka bukanlah tandingannya.
“Oh iya. Fujimiya.”
“Hmm?”
“Aku akan menemuimu lusa
nanti.”
Hari itu, yang dengan santai
Yuuta sebutkan dengan nada agak malu-malu, adalah hari ketika Amane, Itsuki,
dan Yuuta berencana pergi karaoke bersama. Dengan kata lain, Yuuta
memberitahunya kalau Ia akan menanyakan lebih detail tentang situasi ini.
Ketika tatapan mata mereka
bertemu, Yuuta memasang senyum lucu, didukung oleh kepercayaan dirinya yang
aneh.
“Oke,” jawab Amane, meski Ia
benar-benar ingin melarikan diri. Mahiru memperhatikan Amane dan Yuuta dengan
sedikit iri.
◇◇◇◇
“Maaf soal itu.”
Mereka berpisah dari Kadowaki
dan sedang dalam perjalanan pulang, dan dalam perjalanan ke apartemen dari
stasiun kereta terdekat, Amane meminta maaf kepada Mahiru dengan suara pelan.
Mahiru yang cukup puas karena
sudah memenangkan beberapa mainan kecil lainnya di pusat gim, mengedipkan
matanya yang berwarna karamel karena terkejut dengan permintaan maaf Amane yang
begitu mendadak.
“Kenapa kamu tiba-tiba meminta
maaf?”
“Yah… karena ketahuan oleh
Kadowaki.”
“Tadi itu cuma kecelakaan, jadi
apa boleh buat. Selain itu, aku pikir semuanya baik-baik saja. Ia tampaknya
agak pengertian ... "
Amane juga sependapat dengan
Mahiru, tapi meskipun demikian, Ia kesal karena seseorang curiga bahwa mereka
berpacaran.
Untungnya, Yuuta mengobrol dengan
mereka tidak terlalu lama, mungkin karena menyadari ketidaknyaman Amane dalam
situasi itu. Tetap saja, itu menusuk hati Amane saat mendengar Mahiru
menyangkal semuanya dengan sangat pasti.
“Selain itu, bukannya kita
tidak menyadari bahwa hal seperti ini bisa terjadi ketika kita memutuskan untuk
keluar,” lanjut Mahiru. “Mempertimbangkan kemungkinan, aku pikir kita cukup
beruntung kalau Kadowaki yang memergoki
kita.”
“Kamu benar. Baik atau buruk,
Kadowaki lah yang tahu, tapi setidaknya dia bersikap tenang tentang hal itu. Ia
benar-benar cowok yang pengertian.”
Untung
saja orang yang kami temui adalah Kadowaki.
Amane sudah memepersiapkan diri
untuk ditanyai lagi nanti, tetapi saat mempertimbangkan bahwa Ia tidak perlu
lagi merasa bersalah karena terus menyembunyikan sesuatu dari Yuuta di sekolah,
itu sebenarnya mungkin hal yang baik bahwa mereka ditemukan.
Amane punya firasat bahwa Yuuta
juga mengetahui bagaimana perasaannya tentang Mahiru, tapi selama Ia tidak memberitahu
Mahiru sendiri, takkan ada masalah.
Dirinya mungkin akan sedikit
diledek di karaoke, tapi Yuuta dan Itsuki sama-sama memiliki pengalaman di
bidang itu, jadi seharusnya tidak ada masalah.
“…Amane-kun, pendapatmu tentang
Kadowaki cukup tinggi, kan?”
“Hmm? Kurasa begitu. Kami
memiliki lebih banyak kesempatan untuk berbicara, dan aku menyadari Ia populer
karena cowok yang sangat baik. Ia menarik dari luar maupun dalam.”
“Dan kamu percaya padanya,
bukan?”
“Percaya padanya…? Yah ... Ya, aku
pikir Ia cowok yang bisa dipercaya. ”
Amane sadari diri kalau dirinya
sangat pilih-pilih dalam berteman. Jika Ia tidak menyukai kepribadian
seseorang, Ia akan menjaga jarak mereka. Tapi firasat Amane memberitahunya
bahwa Yuuta adalah cowok yang baik, dan itulah mengapa Ia tidak terlalu panik
saat ketahuan.
“Baiklah, seperti kata
pepatah, kawanan burung dari jenis yang
sama akan selalu berkumpul bersama,” renung Mahiru.
“Aku tidak tahu apakah aku
termasuk dalam kawanan itu ...”
“Kamu merendahkan dirimu lagi,
Amane-kun. Kadowaki-san memutuskan untuk berteman denganmu karena Ia menyukai
kepribadianmu, kan? Bukankah itu hal yang sama dengan apa yang kamu pikirkan
tentangnya? Dan Kadowaki-san, yang menurutmu dapat dipercaya, mengenali sesuatu
yang baik dalam dirimu, jadi kamu harus lebih percaya diri.”
Mahiru dengan lembut menyolek
pipi Amane dengan ujung jarinya, dan Amane tersenyum lembut padanya.
Tentu saja Ia tidak bisa
mengabulkan permintaannya, tetapi sebagai seseorang yang selalu memikirkan yang
terburuk dari dirinya sendiri, Amane sedikit berterima kasih atas kepastiannya.
Amane terkekeh pelan pada
ceramah mendadak Mahiru tentang kepercayaan diri, tapi Ia juga merasa sangat
berterima kasih padanya.
“Kamu selalu mengatakan hal-hal
baik tentangku, ya, Mahiru?”
“Yah, aku hanya mengatakan yang
sebenarnya. Tidak baik bagimu untuk selalu bersikap keras pada dirimu sendiri.”
“Ini sudah kebiasaan.”
“Lantas, kenapa kamu
mengembangkan kebiasaan buruk itu? Ini benar-benar menyakitkan, tahu.” Mahiru
menggerutu dengan frustrasi.
Amane tidak yakin bagaimana
menjawab pertanyaan itu. Meski Ia tahu betul alasannya.
Jawaban sederhananya adalah Ia
takut gagal.
Manusia adalah pembelajar yang
cepat. Semuanya sama berlaku untuk hal yang baik dan buruk. Amane tidak ingin
gagal, dan Ia tidak ingin terlalu berharap, hanya agar orang lain menyerangnya.
Jadi demi melindungi dirinya dari kekecewaan, Ia menjaga harapannya tetap
rendah.
Tapi Ia tidak tahu bagaimana
harus memberitahu Mahiru hal itu. Dan sejujurnya, Amane tidak terlalu ingin
menjelaskannya.
Mahiru menatapnya dengan mata
jernih, seolah dia bisa membaca pikirannya. Kemudian, saat Amane mulai merasa
tidak nyaman, Mahiru membuang muka, mencondongkan tubuh ke arahnya, dan menekan
dirinya ke lengan atasnya lagi.
“Jika kamu tidak ingin memberitahuku,
kamu tidak perlu memaksakan diri, tapi tolong ingat bahwa aku akan menerimamu,
oke? Tidak baik terlalu keras pada diri sendiri.”
“…Tentu.”
“Jika perlu, aku akan memujimu
sampai kamu memohon padaku untuk berhenti.”
“Wah, menakutkan. Kamu
mengatakannya seperti itu, tapi aku benar-benar ingin kamu berhenti. Aku tidak
tahan lagi.”
“Kalau begitu, kamu harus lebih
percaya diri.”
Mahiru tersenyum tipis dan
meremas tangannya. Merasakan panas secara bertahap melonjak melalui dadanya
tetapi tidak ingin menghancurkan momen membahagiakan ini, Amane tidak ingin melepaskannya.
Ia hanya menjawab dengan pelan “Terima
kasih” dan terus berjalan menyusuri jalan pulang.
Amane tidak ingin melepaskan
tangannya, tetapi Ia tahu bahwa mereka harus melepaskannya begitu mereka sampai
di rumah, jadi Amane dengan sengaja melambatkan langkah kakinya, dan Mahiru
menyamai langkahnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sebelumnya || Daftar isi
|| Selanjutnya