Otonari no Tenshi-sama Vol.3 Chapter 11 Bahasa Indonesia

Chapter 11 — Tidak ada Orang lain Selain Dirimu

 

“…Kalau dipikir-pikir lagi, Amane-kun, apa kamu akan melakukan sesuatu pada Hari Ibu nanti?” Mahiru bertanya pelan, seolah dia baru mengingatnya.

Mereka sedang menonton televisi bersama, dan dia melihat daftar program yang diberi label spesial Hari Ibu. Amane mencoba mengganti saluran dengan santai, dengan pertimbangan bahwa Mahiru tidak suka bila diingatkan akan orang tuanya, tapi sepertinya dia terlihat tidak terganggu sama sekali.

Amane balas mengangguk, merasa sedikit lega karena dia tidak marah. “Yah, kurasa aku akan mengirim hadiah kecil dan karangan bunga ke rumah di kampung halaman.”

Meski sedikit merepotkan, tapi bagaimanapun juga, Shihoko adalah satu-satunya ibu yang Ia punya, dan sebagai putranya, Amane harus menunjukkan penghargaannya atas semua yang Ibunya lakukan untuknya. Tapi karena Ia jauh dari rumah sekarang, sepertinya Ia tidak bisa mengatakannya secara langsung.

“Yah, karena jarak yang jauh, hanya itu yang bisa kulakukan. Jika aku masih tinggal di sana, aku mungkin akan mencoba melakukan sesuatu sih, …”

“Misalnya saja ikut bantu beres-beres rumah?”

“Sejujurnya, jika aku ikut membantu, aku malah akan menambah beban pekerjaan untuknya.”

Berkat Mahiru, Amane sudah mempelajari bagaimana melakukan beres-beres rumah tingkat dasar, atau setidaknya cukup untuk merawat dengan baik dirinya sendiri. Tapi Amane berpikir kalau Ia takkan bisa melakukan segalanya sesuai standar orang tuanya, jadi pada akhirnya, mereka hanya akan membereskan ulang semuanya.

“Kurasa ada benarnya juga.”

“Perasaanku jadi campur aduk tentang sebegitu entengnya kamu setuju dengan itu ...”

“…Tapi kamu sudah belajar untuk bisa membereskan semuanya sendiri. Maksudku, meski jauh dari sempurna, tapi kamu bisa lancar melakukannya sekarang.”

“Itu penilaian yang keras. Tapi yah, apa yang kamu bilang memang tidak salah. ”

“Heh-heh. Masih banyak yang harus kamu pelajari, Amane-kun.”

“Ya, ya, aku memang bukan tandingan Nona Mahiru-san yang luar biasa.”

Amane merasa bahwa meski Ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempelajarinya, Ia takkan pernah bisa mengerjakan pekerjaan rumah sebaik Mahiru sekarang.

Mahiru tertawa, sedikit terkejut dengan perkataan Amane, dan menepak lengan atasnya, tapi tidak ada niat jahat di baliknya, jadi Amane tidak mengeluh sama sekali.

“Aku tidak tahu bagaimana bisa orang tuamu mengizinkanmu hidup sendiri ketika kamu bahkan tidak bisa menjaga dirimu sendiri, Amane-kun.”

Dia mungkin tidak bermaksud mengatakan itu dengan lantang—tapi dia jelas-jelas panasaran dengan hal itu.

Ketika mereka pertama kali bertemu, keadaan apartemen Amane sangat kacau sampai-sampai Itsuki juga mengkhawatirkannya. Jadi tidak mengherankan Mahiru akan meragukannya sekarang. Dia tahu persis seberapa buruk itu bisa terjadi.

Amane pura-pura tidak menyadari perasaan nyelekit yang menusuk dadanya dan mengangkat bahu. “Sebenarnya, aku tidak menyangka juga kalau mereka benar-benar mengizinkanku untuk tinggal sendiri tahu? Lagipula aku benar-benar pecundang yang sama sekali tidak memiliki keterampilan hidup.”

“Jadi itu keputusanmu sendiri untuk pindah?”

“Ya. Ada beberapa hal yang terjadi, dan aku tidak ingin tinggal di kampung halamanku lagi.”

Jika Ia membuatnya terdengar terlalu serius, Mahiru kemungkinan akan khawatir, jadi Amane mencoba untuk berbicara santai dan berusaha untuk tetap tenang saat mengucapkannya.

Mahiru membeku. Segera, nuansa penyesalan mulai berkedip melalui matanya yang berwarna karamel. Amane tidak bermaksud membuatnya bersalah begitu, tapi Mahiru, yang sangat peka terhadap rasa sakit orang lain, telah melihat sekilas beban yang ditanggungnya. Terkadang rasa peka Mahiru bisa mengganggu.

Amane menyesal karena menyebutkan hal itu. Ia lalu mengulurkan tangan dan mengelus kepala Mahiru saat dia meringis padanya.

“Ah, kamu tidak perlu khawatir tentang itu,” Ucapnya. “Sebenarnya, aku jadi tidak tahu harus berbuat apa jika kamu terlalu khawatir tentang aku. Serius, ini bukan masalah besar, kok. Cuma ada beberapa cowok di kampung halaman yang tidak ingin aku temui lagi, jadi aku pergi dari sana.”

Pada kenyataannya, masalah itu bukanlah hal yang terlalu serius. Hanya saja sesuatu yang Amane yakini dengan sungguh-sungguh telah hancur; cuma itu saja. Amane tidak terluka secara fisik atau semacamnya, dan sekarang setelah Ia memutuskan semua kontak dengan orang-orang itu, dirinya menjalani kehidupan normal, dan rasa perih dari luka lama telah memudar.

Terlepas dari apa yang Amane katakan, ekspresi melankolis Mahiru tidak hilang. Amane tercengang. “Aku beneran baik-baik saja, tahu?” tuturnya dengan bersikeras.

“Jika masih menyakitkan, mana mungkin aku membahas tentang pulang untuk berkunjung. Sejauh yang aku ketahui, itu sudah menjadi masa lalu.”

“… Dasar pembohong.”

“Pembohong? Dengarkan—”

“Jika kamu benar-benar melupakannya, kamu takkan membuat wajah seperti itu.”

Mahiru sedikit gemetar saat mengulurkan tangannya ke pipi Amane. Wajahnya tertunduk, jadi Amane tidak bisa melihat refleksi dari ekspresinya, tapi jika Ia mengabaikan apa yang Mahiru katakan, itu mungkin bukan sesuatu yang baik.

“…Jika kamu tidak ingin mengatakannya, tidak apa-apa. Tapi itu menyakitkan bagiku untuk melihatmu terlihat begitu terluka. ”

“Jangan bilang begitu. Ini bukan masalah besar; itu bahkan bukan cerita yang menarik, oke?” balas Amane. “Meski begitu, apa kamu masih mengkhawatirkannya?” Ia bertanya pelan, dan Mahiru sedikit mengangguk.

Amane menggaruk pipinya dan bertanya-tanya apa yang harus dilakukannya. Ia lalu menghela nafas.

“Hmm… aku bingung harus mulai dari mana. Yah, kurasa masuk akal untuk memulai dengan alasan mengapa aku ingin meninggalkan kampung halamanku, ya?”

“…Ya.”

“Itu karena aku ingin menjauh dari teman-temanku…atau kurasa aku harus mengatakannya dari orang-orang yang kupikir adalah teman-temanku.”

Kedengarannya bukan alasan yang bagus untuk pindah. Orang lain mungkin akan berpikir bahwa Ia terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang begitu sepele.

Namun, pengalaman menyakitkan itu menjadi kenangan yang tak terhapuskan dalam ingatan Amane. “Bagaimana bilangnya, ya ...?” Ia memulai. “Yah bisa dibilang, aku diberkati dengan lingkungan keluarga yang baik.”

Mahiru terlihat sedikit penasaran dengan perubahan topik yang tiba-tiba ini, tapi dia pasti mengerti bahwa ini perlu untuk memahami cerita lengkapnya karena mendengarkan perkataan Amane dengan tenang.

“Aku memiliki kerabat—orang tua dan kakek-nenekku—yang menyayangiku, dan kami lumayan berkecukupan. Secara finansial, maksudku. Mereka membiarkanku belajar dan melakukan apa pun yang aku inginkan. Aku sangat beruntung, dan aku tahu hal itu.”

Orang tuanya sangat menyayanginya, karena diirinya adalah putra tunggal mereka, dan mereka membesarkannya dengan cara yang menghormati individualitas Amane.

“Tetapi pada saat itu, aku tidak menyadari betapa beruntungnya aku, dan tidak pernah belajar untuk curiga terhadap orang lain. Aku dikelilingi oleh orang-orang baik dan dibesarkan dengan cinta, jadi sejujurnya, aku adalah anak yang sangat naif.”

Sekarang Amane sedikit anti sosial, tetapi sebelum insiden itu terjadi, Ia mempunyai sifat jujur ​​dan ceria sehingga sulit membayangkan bila melihat keadaannya yang sekarang. Ia benar-benar anak yang polos.

“…Kupikir kenaifanku lah yang membuatku sangat mudah ditipu dan dimanfaatkan.”

Jadi ada banyak celah untuk memanfaatkan dirinya.

“Teman-teman baru yang kutemui di paruh pertama masa SMP … Aku tidak yakin apa aku bisa jujur ​​menyebut mereka teman, tapi orang-orang yang mulai bergaul denganku Yah, sejujurnya, mereka melihatku sebagai ATM berjalan, sebagai sumber uang yang baik. Ketika kamu berasal dari keluarga kaya, wajar saja bagi orang-orang yang ingin mendapatkan sesuatu darimu.”

Meski kedengarannya menyedihkan, tapi saat itu, Amane terlalu polos dan sangat mudah tertipu. Dengan kata lain, Ia gampang dibodohi. Ia dibesarkan dengan percaya pada kebaikan bawaan orang lain, dan tidak ada yang pernah menantang kenaifan yang berlebihan itu. Tak seorang pun yang Ia kenal akan pernah mencoba mengambil keuntungan darinya.

Ekspresi Mahiru menjadi kaku, jadi demi mencoba menenangkannya, Amane tersenyum dan berkata,

“Tentu saja, aku bukan orang bodoh, jadi aku tidak pernah secara langsung memberi mereka uang atau semeacamnya.” Tapi ekspresi Mahiru semakin parah.

“Dan kemudian, yah, aku memergoki bahwa mereka mengatakan segala macam hal di belakangku. Mereka menjelek-jelekkanku. Aku mendengar mereka berkata bahwa aku menjijikkan, membenciku dan hanya bermaksud untuk memanfaatkanku saja sejak awal. Aku terkejut dan cukup terpukul untuk sementara waktu.”

Semua orang memiliki preferensi yang berbeda dengan mereka bergaul, dan Amane takkan keberatan jika mereka baru saja mengatakan bahwa mereka tidak menyukainya. Tetapi karena mereka pikir mereka bisa mendapatkan sesuatu darinya, mereka semua tersenyum di hadapan wajahnya, tapi diam-diam melecehkannya di belakangnya, dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat Ia terima.

Amane memberi tahu Mahiru versi ringan dari cerita itu, tapi ada juga penghinaan yang sulit untuk diulang kembali, jadi Ia benar-benar telah menanggung banyak hal. Sekarang Ia bisa menahan pelecehan seperti itu, tapi pada saat itu, Ia adalah anak laki-laki yang tulus dan sensitif, dan penghinaan tersebut terlalu berat untuk ditanggungnya.

“Tentu saja, aku tahu bahwa tidak semua orang di dunia ini seperti orang-orang itu. Aku memiliki beberapa teman yang aku yakini menghargaiku juga. Meski begitu, begitu aku mulai meragukan orang, ketakutan mulai melanda. Aku tidak bisa mempercayai siapa pun.”

Amane telah mengurung diri di kamarnya untuk sementara waktu dan menangis.

Ia akhirnya pulih, berkat dukungan orang tuanya, tapi seperti yang bisa diduga, Ia takut untuk berhubungan dengan mereka lagi, jadi dia melakukan segala hal yang mungkin untuk menghindari mereka selama dia bisa—

“…Jadi aku meninggalkan kampung halamanku. Aku pergi untuk mendapatkan awal yang baru di tempat di mana tidak ada yang mengenalku. Aku pergi supaya takkan diganggu oleh orang-orang itu lagi.”

Amane tidak tahu apakah Ia bisa melakukannya sendiri, tetapi Ia memutuskan bahwa ketenangan pikirannya sepadan dengan risikonya.

Berkat semua yang telah terjadi, Ia jadi tidak bisa lagi mudah mempercayai orang-orang seperti dulu dan telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tertutup dan skeptis yang akhirnya berhasil mendapatkan dua teman setelah sekian lama. Amane menertawakan dirinya sendiri. Dalam artian baik atau buruk, dia telah menjadi sangat konservatif, tetapi pada titik ini, sikap itu sudah mendarah daging, dan tidak ada yang mengubahnya sekarang.

Amane telah selesai berbicara, dan tubuh Mahiru gemetar. Tangannya mengepal, dan emosi yang berkedip-kedip di matanya jelas merupakan kemarahan. Amane terkejut melihat Mahiru yang sopan menjadi sangat marah, dan kemudian Amane bahkan lebih bingung ketika menyadari bahwa Mahiru marah atas namanya, dan itu membuatnya sedikit senang.

“…Jika aku ada di sana, aku akan meninju orang-orang jahat itu tepat di wajahnya.”

“Tolong jangan; kamu hanya akan melukai tanganmu sendiri… lagipula kamu tidak perlu mengotori tanganmu demi aku, bahkan dalam imajinasimu.”

Orang-orang brengsek itu tidak layak membuat Mahiru mengotori tangannya—apalagi mendekatinya. Lagi pula, Amane sudah menyingkirkan mereka dari hidupnya. Akan sia-sia saja bagi Mahiru untuk mengganggu mereka.

Mahiru sedikit santai. Dia telah meremas tangannya begitu keras sampai memutih. Sebagian kemarahan memudar dari wajahnya, digantikan oleh ekspresi kesedihan yang mendalam.

Ketika berbicara tentang Amane, Mahiru bisa sangat berbelas kasih sampai-sampai membuatnya hampir terluka. Tapi kejadian tersebut sudah menjadi masa lalu, dan Amane merasa malu karena telah membuatnya kesal.

“Sungguh, itu bahkan tidak sesulit situasimu, jadi kamu tidak perlu terlalu sedih.”

“Amane-kun, itu bukan sesuatu yang bisa dibandingkan. Aku bahkan tidak ingin mencoba membandingkannya.”

Dia langsung menyela perkataannya dengan nada datar, dan Amane mengerutkan kening ketika menyadari bahwa itu memang tidak sopan, tetapi Mahiru menatapnya dan memasang ekspresi tenang.

“Biarkan aku mengatakan ini—bukannya tidak ada gunanya berbagi pengalaman kita, tetapi kesedihanmu merupakan milikmu sendiri, sesuatu yang hanya bisa kamu rasakan sendiri, dan tidak dapat dibandingkan dengan kesedihanku. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Dalam arti sebenarnya, aku tidak bisa mengerti rasa sakitmu, Amane-kun, kamu juga tidak bisa mengerti rasa sakitku.”

“…Ah.”

“Yang bisa aku lakukan adalah menerima kesedihanmu dan mendukungmu… seperti yang sudah kamu lakukan untuk aku. Aku ingin berada di sana untukmu, dan aku ingin kamu mengandalkanku.” Mahiru membisikkan ini sambil meletakkan telapak tangannya di kedua pipi Amane.

Amane secara bertahap merasakan panas naik dari kedalaman dadanya dan di belakang matanya.

“…Tapi aku terus mengandalkanmu sepanjang waktu,” katanya.

“Secara emosional, maksudku.” Balas Mahiru

 “Aku selalu mengandalkanmu.”

 “…Yah, lakukan lebih banyak lagi.”

 “Kumohon, jangan memanjakanku lebih dari ini.”

“Sayangnya, aku akan melakukannya dan terus melakukannya.”

“Aku benar-benar tidak berharga.”

“Kenapa kamu baru mengkhawatirkan  itu sekarang? Aku selalu tahu kalau kamu adalah cowok yang tidak ada harapan, Amane-kun.”

Amane merasa dirinya meringis ketika Mahiru dengan santai menyampaikan kebenaran yang keras namun tak terbantahkan ini. Tapi meski perkataannya cukup nyelekit untuk didengar, Mahiru menatapnya dengan mata lembut dan penuh kasih yang menunjukkan kebalikannya.

“…Tapi aku juga tahu bahwa kamu orang yang sangat baik, dan kamu bisa bertahan dalam banyak hal. Terlalu banyak, bahkan,” lanjutnya. “Jadi setidaknya, kamu bisa membiarkanku memanjakanmu sedikit.”

Suara bisikannya yang merdu, tulus dan baik, mengancam akan menghapus sedikit perlawanan yang tersisa dari Amane. Ia bisa membayangkan dirinya membiarkan gadis itu memanjakannya selamanya, dan pemikiran itu menimbulkan ketakutan yang mendalam di dalam dirinya, karena Amane tahu bahwa jika Ia membiarkan dirinya terlalu bergantung pada gadis yang sangat Ia cintai, Ia sudah tak bisa tertolong lagi.

Demi mempertahankan sedikit martabat yang tersisa, Amane perlahan menggelengkan kepalanya.

“Sungguh, aku baik-baik saja,” Ujarnya bersikeras.

Mahiru mengedipkan matanya dan menghela nafas secara dramatis.

“…Kamu mencoba bersikap keren lagi,” katanya lelah. “Amane-kun no baka.”

Mahiru mengejeknya dengan manis, lalu menyelipkan tangannya dari pipi Amane ke belakang kepalanya. Dan kemudian Mahiru menariknya ke arahnya dengan seluruh kekuatannya.

Sebelum bisa bereaksi, wajah Amane ditekan ke dada Mahiru. Amane membeku kaku. Ia bisa merasakan kelembutan kulit Mahiru dan mendengar detak jantungnya, dan ketika dirinya menarik napas, paru-parunya dipenuhi dengan aroma wanginya—campuran susu dan sejenis bunga, dengan sedikit aroma sesuatu yang cerah, seperti hijau. apel—dan pikirannya benar-benar kacau.

“Tolong, biarkan aku memanjakanmu,” kata Mahiru.

“…Kamu benar-benar agresif” hanya itu jawaban terbaik yang bisa diucapkan oleh otaknya yang kacau.

Tapi bahu Mahiru bergetar karena tawa.

“Apa kamu baru menyadarinya?

“Terkadang, gadis-gadis juga bisa sangat memaksa, kau tahu,” bisiknya dengan nada nakal.

Sadar sepenuhnya akan kebingungan Amane, Mahiru dengan lembut melingkarkan lengannya di punggungnya sehingga Amane tidak bisa melarikan diri. Tentu saja, dia masih seorang gadis muda yang langsing, jadi jika Amane ingin melepaskan diri, Ia mungkin bisa melakukannya. Namun, aroma wangi dan kehangatan Mahiru, ditambah kelembutannya yang menyenangkan dan ritme detak jantungnya yang menenangkan, melemahkan semua tekad Amane untuk menentangnya.

“…Lagi pula, aku tipe orang yang selalu membayar hutang budi,” bisiknya.

Amane harus berjuang agar tidak kehilangan kewarasannya dalam kehangatannya.

“Aku mengandalkanmu sebelumnya, Amane-kun. Kamu memanjakanku juga, ingat? Dan sekarang giliranku, oke? Biarkan aku memanjakanmu kembali. Hanya ini yang paling bisa aku lakukan. ”

“... Ini sudah lebih dari cukup.”

“Kalau begitu… Suatu hari nanti, ketika aku merasa sedih lagi, kamu bisa ada untukku, dan itu akan membuat kita setimpal.” Nada suaranya menyenangkan, dan jelas dia tidak berniat menyerah.

Amane akhirnya menyerah dan bersandar pada Mahiru. Tapi kali ini, Amane melingkarkan lengannya di punggung Mahiru dan memastikan untuk bersandar di bahunya, bukan di dadanya. Itu yang terbaik yang bisa Ia lakukan.

Mahiru tersenyum pada pilihan Amane, lalu dengan erat memeluknya dan menerima beban penuhnya.

 

◇◇◇◇

 

“Ini tidak benar…”

Beberapa puluh menit telah berlalu, meski terasa lebih lama bagi Amane. Ketika Ia mengangkat kepalanya dan menjauhkan diri dari Mahiru, suaranya dingin dan tajam. Tapi, Ia tidak marah pada Mahiru. Ia merasa malu pada dirinya sendiri, karena mengambil keuntungan dari kebaikannya.

Namun, Mahiru hanya tersenyum dan tidak menunjukkan tanda-tanda kekhawatiran.

“Yah, aku benci melihatmu sedih, jadi… lain kali aku akan mencoba memanjakanmu lebih cepat.”

“…Bukan itu maksudku…”

Amane mendapati dirinya melirik ke area dada Mahiru lagi. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya. Mahiru sudah begitu baik padanya, dan Ia tidak ingin menjadi kurang ajar. Ia berhasil mengendalikan dirinya kali ini, tapi lain kali, pikirnya, Amane mungkin tidak bisa mengendalikan dirinya dengan mudah.

Mahiru mempercayai Amane. Dia takkan memeluknya jika tidak nyaman dengannya. Tapi Amane masih agak terkejut bahwa dia begitu ngotot.

Dan meskipun kelembutannya telah meringankan rasa sakit dari luka lamanya, itu hanya membuatnya bebas untuk fokus pada rasa sakit baru di hatinya.

“Kenapa kamu selalu berpaling dariku?” tanya Mahiru.

“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan diriku sendiri ketika kamu memanjakanku seperti itu. Maksudku, bagaimanapun juga, aku ini seorang cowok.”

“Aku tahu hal itu…”

“Tidak, jelas-jelas kalau kamu masih belum memahaminya. Seperti, ya ampun.”

Dia harus lebih berhati-hati, pikirnya. Bagaimana jika Amane mengambil keuntungan darinya dan menempelkan wajahnya ke badan Mahiru di mana pun Ia mau? Apa yang akan Mahiru lakukan jika itu terjadi? Amane ingin dia memahami bahwa ada beberapa batasan yang tidak boleh Amane lewati.

Ia tidak yakin apakah Ia akan mampu mengendalikan dirinya saat dihadapkan dengan godaan ketika diberi lampu hijau untuk membenamkan wajahnya di dada gadis yang dicintainya. Amane menghela nafas. Mahiru terlalu percaya dan mungkin akan memaafkannya untuk hampir semua hal.

Mata Mahiru menyipit. Dia terlihat sangat terluka.

“…Amane-kun, aku sama sekali tidak memahamimu.”

“Apanya?”

“Semuanya, semuanya. Dasar bodoh.”

Mahiru berdiri dari sofa dengan marah. Bahkan hinaannya terdengar menggemaskan. Meninggalkan Amane untuk merenungkan kemarahannya, dia berbalik dan menuju dapur.

Amane melihat kepergiannya dengan linglung. Tubuhnya terlihat sangat kecil dan goyah, tetapi beberapa saat yang lalu, dia telah mendukungnya.

“Amane-kun, terkadang kamu memang bodoh.” Dia terus menegurnya dengan suara tenang dan marah yang sepertinya tidak dia dengar, jadi Amane hanya melihatnya pergi sembari mengangkat bahu dan tersenyum—

 

“Padahal aku takkan melakukan itu dengan siapa pun kecuali kamu.”

 

Dan kemudian telinganya menangkap gerutuan pelan lainnya.

Nafas Amane tercekat di tenggorokan.

Untuk sesaat, otaknya menolak untuk memproses kata-katanya. Itu sangat mengejutkan baginya.

Amane memaksa dirinya untuk menarik napas dalam-dalam.

Dan kemudian gelombang emosi yang kuat berputar-putar di dadanya dan memaksa Amane untuk berdiri. Ia menemukan dirinya menjangkau ke arahnya.

“…Hei, Mahiru?”

“Ada.. apa?”

Sebelum dia bisa berbalik, Amane telah mendekap Mahiru dalam pelukannya, memeluknya erat seolah-olah ingin melindunginya dari dunia. Tubuh ramping Mahiru mulai bergetar, dan suaranya goyah, tapi dia tidak mendorong Amane atau tampak marah. Amane tahu dia gemetar karena terkejut.

Amane melingkarkan lengannya di tubuh ramping Mahiru. Beberapa saat yang lalu, dia telah mendukungnya. Sekarang giliran Amane meletakkan dagunya di atas kepala Mahiru sehingga dia tidak bisa berbalik.

“…Kamu tidak keberatan memeluk dari depan, tapi sekarang setelah dari belakang, kamu malah ketakutan,” goda Amane.

“Siapa pun akan terkejut karena mendadak dipeluk begitu!”

“Kamu sendiri yang bilang kalau aku boleh bersandar padamu. Meski aku menahan diri karena aku tahu ini akan terjadi… Ini buruk untuk hatiku.”

Amane tidak bermaksud hal ini terjadi. Awalanya Ia hanya membiarkan Mahiru pergi dan cemberut, tapi saat mendengar apa yang dia katakan, Amane tiba-tiba merasakan berbagai emosi, malu, dan kegembiraan sekaligus, lalu kewarasan mulai meninggalkannya—dan tubuhnya mencari Mahiru atas kemauannya sendiri.

Dengan lembut, namun erat, seolah-olah tidak ingin membiarkannya terlepas, Ia memeluk Mahiru, yang merasa dia akan hancur jika mendekapnya terlalu erat.

Mahiru mencoba meronta-ronta untuk menghadapnya, tapi Amane berbisik di telinganya, “Jangan berbalik.”

Mahiru menundukkan kepalanya. Wajahnya merah padam, dan Amane mendengarnya bergumam, “... Baka.”

...Aku memang bodoh; Kamu benar sekali.

Amane tidak bisa menyangkalnya. Ia mengambil keuntungan dari kebaikannya di saat yang rentan... Ia jelas-jelas orang jahat.

Tapi Mahiru tidak melepaskan sentuhannya, dan setidaknya Amane bersyukur untuk itu. Amane menikmati kehangatannya saat menekankan wajahnya ke rambutnya, seperti yang Mahiru lakukan padanya tadi, ketika dia mencoba membuatnya menerima kemurahan hatinya. Perbedaan antara dulu dan sekarang, pikir Amane, adalah bahwa Ia mengetahui bagaimana respon Mahiru.

“Sekarang apakah kamu mengerti bagaimana perasaanku sebelumnya?” tanya Amane.

 “Ak—Aku tahu, tapi—”

Suara melengking memberitahunya bahwa dia kesal. Telinganya memerah, dan meskipun Ia tidak bisa benar-benar tahu dari sudut ini, Amane tidak ragu bahwa wajahnya juga berubah menjadi semerah tomat.

Bahkan Amane sendiri mengerti bahwa dirinya sudah melakukan sesuatu yang buruk. Amane hanya melakukan ini karena meyakini kalau Mahiru dia takkan menolaknya.

“… Um, jadi... Kamu benar-benar tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku,” katanya.

“Bukannya aku sekarat karena kondisi yang mengerikan atau semacamnya. Dan selain itu, aku bisa bersikap tidak tahu malu, jadi jika kamu terlalu memanjakanku, aku akhirnya akan mengambil keuntungan dari kebaikanmu.”

Mahiru mendengarkan dengan tenang perkataan Amane, dan kemudian menghela nafas.

“…Jika kamu merasa itu memuaskan, jika itu membantu menyembuhkanmu, maka aku takkan menolak pelukan.”

Mahiru mengulurkan satu tangan dan dengan lembut menyentuh lengan Amane. Dia tidak menepisnya atau memukulnya; dia hanya meletakkan tangannya dengan lembut di lengannya, seolah-olah untuk menariknya lebih dekat. Amane memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak terlalu terbawa suasana, tapi Ia masih menempelkan wajahnya ke rambut Mahiru lagi.

“Aku cowok yang licik, tahu. Aku tahu kamu akan menerima beban itu, jadi aku mulai mengandalkanmu.”

“Kamu ini bicarap apa? Aku selalu tahu kamu bermasalah.”

Amane tahu tindakannya baru-baru ini berasal dari sifat kepengecutannya sendiri, tetapi dia tidak yakin apa yang dimaksud dengan masalah.

“…Aku merasa ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku…”

“Ya, seandainya saja kamu memiliki kepekaan, maka inilah saatnya untuk melakukan pendekatan. Hatiku benar-benar tidak bisa menerima ini lagi.”

“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kamu bicarakan,” protes Amane.

“Mm-hmm,”

Mahiru bersenandung, lalu menampar lengan Amane. Rasanya tidak sakit, dan Amane tertawa pelan pada serangan main-mainnya.

“Aku minta maaf karena terlalu merepotkan.”

“…Yah, jika kamu tetap akan mendapat masalah, kamu sebaiknya pergi jauh-jauh.”

“Tapi… Apa yang kamu katakan tadi…”

“Itu ya itu, dan ini ya ini.”

“Oh…?”

Ia tidak memahami apa maksud Mahiru, tapi dia sepertinya memiliki sesuatu yang menggangu pikirannya.

Jika Mahiru berpikir Ia tampak merepotkan, maka dirinya mungkin memang bermasalah. Tapi Amane tidak tahu bagaimana harus menanggapi ketika dia menyuruhnya untuk menaikkan taruhan.

“Aku juga bisa licik, lho,” kata Mahiru. “Jadi, kurasa aku benar-benar tidak bisa banyak mengeluh.”

“Licik dalam artian apa?”

 “Hmm, entahlah?”

Amane merasakan tubuh Mahiru sedikit gemetar karena tawa.

“Jika kamu belum menyadari bahwa aku juga memiliki beberapa trik, kamu masih terlalu polos, Amane-kun.”

Meski Amane tidak bisa melihat wajahnya, dia jelas-jelas tertawa gembira. Dengan anggun, Mahiru melepaskan diri dari pelukannya dan berbalik menghadapnya.

Ekspresinya ketika dia melakukannya adalah bersemangat, jahil, lembut, dan manis — senyum yang indah dan mempesona yang akan memikat siapa pun yang melihatnya. Amane dibuat terdiam.

Ketika melihat keadaan Amane seperti itu, Mahiru tampak puas dan berbalik menuju dapur dengan semangat tinggi seperti biasanya.

Amane memperhatikannya meninggalkan ruangan dan kemudian jatuh terduduk di atas sofa.

…Kamu juga bodoh, tahu.

Apa yang ingin Mahiru coba lakukan, memberinya tatapan seperti itu? Amane tidak berpikir Ia bisa merangkai kata-kata untuk bertanya padanya. Yang bisa Ia lakukan hanyalah terduduk di sana, menggerutu pelan.

Tapi rasa sakit di kedalaman hatinya sudah perlahan menghilang.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama