Otonari no Tenshi-sama Vol.3 Chapter 10 Bahasa Indonesia

Chapter 10 — Interogasi

 

“Baiklah, sekarang aku ingin bertanya sedikit tentang apa yang terjadi pada tempo hari sebelumnya.”

Dua hari setelah acara kencan Amane dengan Mahiru. Hari dimana Ia berencana untuk pergi bernyanyi karaoke bersama Itsuki dan Yuuta.

Segera setelah mereka berkumpul dan memasuki ruangan yang telah dipesan, Yuuta segera menoleh ke arahnya sambil tersenyum.

Amane sudah mempersiapkan dirinya untuk diinterogasi, tapi walau demikian, dirinya masih merasa sangat canggung ketika ditanyai tentang hal ini lagi.

Itsuki sepertinya telah mendengar insiden itu dari Yuuta dan memasang ekspresi yang mengatakan Uh-oh, kamu ketahuan! Ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan kegembiraannya.

Setelah membawa secangkir soda melon yang Ia ambil dari bar minuman swalayan ke bibirnya dan membasahi tenggorokannya, Amane dengan enggan mulai menjelaskan.

“… Tidak ada sesuatu yang khusus. Itsuki dan Chitose sudah mengetahuinya. Mahiru dan aku hanya tinggal bersebelahan. Itu cuma benar-benar kebetulan. Dan yah, ada banyak hal terjadi, dan kurasa kami berdua semakin dekat.”

Berkat Chitose, tidak ada gunanya mencoba menyembunyikan fakta bahwa mereka sudah saling memanggil dengan panggilan nama depan, jadi saat Amane menjelaskan situasinya, Ia menggunakan nama Mahiru seperti yang selalu Ia lakukan di rumah.

“Kalian saling mengenal, dan kemudian pergi jalan-jalan bersama?”

“Ya.”

Mereka jelas-jelas lebih dari sekadar teman. Dalam skenario kasus terbaik, mereka tampak seperti teman dekat, dalam kasus terburuk, mereka tampak seperti sepasang kekasih. Tapi sejauh menyangkut Amane, demi kehormatan Mahiru, Ia harus dengan tegas menyangkal segalanya.

“Hubungan kamu tidak seperti yang kamu bayangkan, Kadowaki,” Amane menegaskan kembali.

“Dan aku punya firasat kalau hubungan kalian tidak seperti yang kamu ceritakan, Fujimiya.”

“Oh, ayolah—”

“Bisa kubilang, situasi mereka jauh melampaui dari kata teman biasa.” sela Itsuki. “Mempertimbangkan Shiina-san yang selalu datang untuk membuat makan malam untuknya setiap hari.”

Pipi Amane berkedut saat memelototi temannya. “Oi, Itsuki!”

“Kebenaran akan terungkap cepat atau lambat, jadi lebih baik memberitahunya dan membeberkan semuanya sekarang.”

Ketika Ia mengatakannya seperti itu, perkataan Itsuki mungkin ada benarnya, tapi dengan tiba-tiba memberikan detail bahwa Amane memakan masakan rumah Mahiru setiap hari, ucapannya tadi akan mengundang kesalahpahaman.

“…Jadi, dia itu mirip seperti pacarmu?”

“Sedikit pun tidak,” bantah Amane. “Kami berdua kebetulan sama-sama tinggal sendiri, jadi demi menghemat biaya makanan dan membuat cukup untuk dua orang; itu saja.”

“Ya, ya, cuma itu saja…,” kata Itsuki tanpa sedikit pun ketulusan.

Yuuta tampak tidak terkesan.

“Itu masih tidak terlalu meyakinkan, Fujimiya…”

“Jangan bilang kalau kamu juga, Kadowaki…”

Dirinya dan Mahiru jelas tidak saling mencintai, tapi Amane merasa kesulitan menjelaskannya, dan cara Yuuta menatapnya membuatnya gugup. Bukannya dari awal Ia tidak gugup sama sekali, sih.

“Biasanya, seorang gadis takkan mau berdekatan dengan cowok yang tidak dia sukai atau diminati, dan dia pasti takkan sudi masuk ke apartemennya. Kecuali gadis itu sendiri yang mengejarnya. ”

Ucapan Yuuta di bagian akhir terdengar seperti dari pengalamannya sendiri, yang mengingatkan Amane betapa waspadanya Yuuta terhadap gadis-gadis dan niat mereka. Tapi kurang lebih pernyataan Yuuta ada benarnya, Amane pun mulai menyadari.

Gadis-gadis, dan Mahiru khususnya, biasanya sangat berhati-hati dan biasanya tidak mendekati cowok tanpa alasan. Amane menyadari bahwa fakta bahwa Mahiru berhubungan dengannya sangat dekat merupakan sebuah keajaiban. Tapi Ia tahu bahwa ini adalah kasus khusus.

Amane tidak bisa membayangkan kalau Mahiru akan menyukainya sebagai seorang cowok. Terkadang, Amane bahkan berpikir bahwa alasan Mahiru begitu nyaman berada di dekatnya adalah karena dia bahkan tidak menganggapnya seorang pria.

“…Fujimiya, kamu terlalu keras pada dirimu sendiri,” ujar Yuuta. “Dan kamu juga sangat keras kepala.”

“Betul sekali,” Itsuki setuju.

Itsuki dan Yuuta sama-sama menatap Amane dengan tatapan kasihan, jadi itu benar-benar  membuatnya tidak nyaman.

“Jadi mumpung membahas ini, apa kamu menyukai Shiina-san?”

Yuuta memilih untuk mengajukan pertanyaan keterlaluan ini padanya pada saat yang tepat ketika Amane meminum soda melonnya untuk menutupi ketidaknyamanannya, dan Ia hampir menyemburkannya.

“… Kenapa kamu mendadak menanyakan itu?” jawab Amane dengan tergagap.

“Yah, kamu cukup hati-hati, tapi aku melihat bagaimana kamu bertindak saat bersama Shiina-san, jadi aku yakin kalau kamu memedulikannya, meskipun hanya sedikit. Ditambah lagi, aku bisa tahu dari caramu memandangnya—dan dari seluruh sikapmu—bahwa kamu menyukainya.”

Amane mengangguk patuh.

“…Apa ada sesuatu yang salah dengan itu?”

Astaga, Yuuta benar-benar memperhatikannya dengan baik…

Untuk beberapa alasan, Yuuta tersenyum kecut padanya.

“Tidak, itu bukannya salah atau semacamnya, tapi…mmm, mungkin tidak akan mudah, kurasa.”

“Aku tidak bisa membayangkan kalau aku bisa berpacaran dengan Mahiru.”

“Ya, ya, aku bisa melihat masih ada beberapa hal yang belum kamu pahami. Itsuki akan memberimu dorongan juga.”

“Bisa dibilang begitu,” gumam Itsuki. “Yang benar-benar aku inginkan hanyalah menendang keras-keras bokongnya.”

Yuuta mengangguk. “Aku memahami bagaimana perasaanmu, Itsuki.”

“Jangan bilang di situlah kalian berdua setuju…,” erang Amane.

Jadi sekarang Yuuta siap menendang pantatku juga?

“Dengar baik-baik, masalahnya adalah, aku benar-benar greget saat melihat perilaku kalian berdua,” kata Itsuki. “Kami ingin kamu mendorong masalah ini sedikit.”

“Oh ayolah, kamu masih ingin membahas itu!”

“Tunggu; dengarkan dulu sebentar, oke?” Itsuki melanjutkan. “Shiina-san membiarkan dirinya lengah saat berada di dekatmu. Jika kamu memberinya sedikit tekanan, dia pasti akan menyerah. ”

“Oke, dengar, aku akui, Mahiru mungkin menyukaiku, tapi … dia tidak menyukaiku dalam artian seperti itu; Kamu paham apa maksudku, ‘kan?”

Itsuki membuat semuanya terdengar begitu mudah, tapi Amane jauh lebih tahu.

Sedari awal, Amane menyadari kalau dirinya memendam kasih sayang yang mendalam untuk Mahiru. Ia harus mengakui bahwa Mahiru tampaknya peduli padanya lebih dari cowok lain, tetapi Amane tidak berpikir kalau perasaannya itu dalam artian romantis. Sebaliknya, Ia pikir itu adalah sesuatu yang mirip dengan perasaanmu tentang orang terdekat dan terpercaya.

“Bagaimana kamu bisa mengatakan itu, ketika kamu melihat cara dia memandangmu?”

“Memangnya apa menariknya dariku?”

Ketika Amane memberikan bantahan itu, Itsuki menepak punggungnya sekeras mungkin.

“…Aduh!”

“Aku merasa tidak enakan karena memukulmu, tapi ayolah, yang benar saja? Kamu benar-benar memiliki kepercayaan diri yang terlalu sedikit! Kamu kehilangan keberanian atau melarikan diri pada saat yang paling penting.”

“…Lantas kenapa? Aku memang seperti itu. Jadi, apa boleh buat.”

“Kalau begitu, kita harus menghentikan kebiasaan itu. Kamu terlalu merendahkan dirimu sendiri.”

“Mahiru sering memberitahuku hal itu.”

“…Jadi itu mengganggu Shiina-san juga?” tanya Yuuta.

“Ini mengganggu kita semua yang selalu melihatnya!” Itsuki berteriak. “Orang ini sangat keras kepala mengenai hal itu.”

“Berisik, tau!”

Amane sangat membencinya ketika orang-orang menyudutkannya.

Seperti itulah sifatnya, dan bahkan jika Amane mencoba untuk berubah, hal tersebut pasti takkan semudah itu. Pengalaman traumatis tidak bisa hilang begitu saja karena Ia menginginkannya. Waktu masih belum berlalu cukup lama baginya untuk mencoba melupakan dan terlepas dari trauma itu.

Amane sangat menyadari betapa menyedihkan dan tidak berharganya dirinya, tapi tidak ada yang bisa Ia lakukan.

“Maksudku, aku tidak bisa memaksakannya jika kamu memberitahuku bahwa kamu sudah cukup,” kata Itsuki.

“Tapi jika kamu menyukai Shiina-san, dan kamu ingin berpacaran dengannya, kamu harus berusaha lebih keras.”

“…Dan menurutmu aku bisa melakukan itu?”

 “Jika kamu tidak sepengecut begitu ...”

“Oh, diamlah.”

“Ayo, itu sudah cukup,” tegur Yuuta.

“Tapi bisa dibilang kalau aku setuju dengan Itsuki. Kamu harus lebih percaya diri, Fujimiya. Seriusan deh, kamu akan mendapat banyak perhatian di sekolah jika kamu berdandan seperti yang kamu lakukan tempo hari. Mungkin Kamu harus memberinya beberapa latihan. ” imbuh Yuuta.

“Latihan?”

“Yah, kamu tidak keberatan berdandan demi Shiina-san, dan kamu juga tidak panik ketika aku melihatmu seperti itu. Jadi, latih penampilan barumu pada orang yang kamu kenal, supaya kamu terbiasa. Bukankah itu cara yang baik untuk menikmati istirahat yang berharga ini?”

“…Jadi?”

“Ayo lihat; Aku punya semir rambut di sini di suatu tempat ... "

Dengan cepat, Yuuta mengeluarkan beberapa pomade rambut dari tasnya. Ketika tatapan mata mereka bertemu, Yuuta menyeringai dengan berani. Senyuman khas Ouji, itu adalah senyum yang indah, tapi senyuman itu membuat punggung Amane merinding.

“Jadi bagaimana?” Ia bertanya.

“… tidak perlu.”

“Oh ayolah, jangan malu-malu begitu.”

“Hei, eh, bukannya kita di ruang karaoke? Bukankah kita seharusnya nyanyi atau semacamnya?”

“Oh iya, kamu benar!” Yuuta menjawab.

“Oke, aku akan bernyanyi, jadi aku akan mempercayakan Amane padamu yang lebih mahi, Itsuki.”

“Serahkan saja padaku.” Balas Itsuki.

“Kamu pasti bercanda …,” gumam Amane. Semua yang Ia dapatkan sebagai balasannya adalah seringai antusias.

“Maksudku, biasanya ini bukan hal yang akan aku lakukan dengan paksa, tapi… dalam kasusmu, Amane, sudah saatnya kamu terbiasa menjadi pusat perhatian, jadi aku harus mengambil tindakan drastis!”

“Hei, kamu jangan … Waah!”

Itsuki menyeringai dan mengacungkan sisir dan pomade rambut, dan meskipun Amane mencoba kabur, tidak ada cukup ruang untuk melarikan diri di ruang karaoke yang kecil.

Amane terpaksa menahan nyanyian gembira Yuuta sementara Itsuki mengacak-acak rambutnya.

 

◇◇◇◇

 

“…Selamat datang …. di rumah…?”

Ketika Amane kembali ke apartemennya, Mahiru keluar untuk menyambutnya dengan nada yang sedang bertanya.

Dia sedang membuat steak hamburger rebus untuk makan malam dan membiarkan dirinya masuk ke apartemen Amane lebih awal untuk membuat saus.

Mahiru sudah mengiriminya pesan bahwa makan malamnya hampir selesai, jadi Amane tahu kalau dia berada di dalam apartemennya, tetapi ketika Ia melihat wajah Mahiru lagi, Ia merasa lega.

“Aku pulang …”

“Kenapa kamu terlihat kelelahan begitu…?”

“… Itsuki mempermainkan rambutku.”

Itsuki belum pernah melihat penampilan “pria misterius” Amane, jadi Ia menata rambut Amane dengan gaya yang menurutnya terlihat keren, yang tentu saja tidak sesuai dengan apa yang biasa dilakukan Amane.

Ditambah lagi, setelah mereka selesai berkaraoke, Yuuta menyeretnya ke toko yang menjual jenis pakaian yang tidak mungkin dimiliki Amane dan kemudian mulai berburu sesuatu yang cocok untuknya.

Amane tidak terlalu membenci pengalaman itu, tetapi Ia benar-benar kelelahan karena diperlakukan seperti boneka berdandan oleh kedua temannya.

“Uh-huh, kamu memiliki waktu yang sulit, ya?”

“…Mereka memperlakukanku seperti mainan…”

“Kamu pasti kelelahan.”

Mungkin karena dia tahu bahwa Aamane tidak benar-benar kesal, Mahiru tertawa kecil saat memuji kesabarannya.

Merasa sedikit malu karena begitu mudah ditebak, Amane melemparkan tas berisi pakaian baru yang dibeli ke kamarnya dan menuju ke wastafel untuk mencuci tangannya.

Mahiru kembali ke dapur untuk menyajikan makan malam, jadi ketika Amane memasuki ruang tamu setelah mencuci tangan dan berkumur, Mahiru sudah meletakkan piring steak hamburger rebus di atas meja makan.

Amane merasa tidak sungkan karena tidak membantu, jadi seperti biasa, Ia menuju dapur untuk menyiapkan nasi.

Amane selalu berpikir kalau nasi selalu menjadi pasangan yang pas dengan steak hamburger, dan aroma harus yang tak terlukiskan dari nasi yang baru dimasak membuatnya tersenyum.

“Astaga, aku sangat lelah… Tapi sebenarnya, itu membuatku menghargai Itsuki dan Yuuta lagi. Mereka berdua memang luar biasa.”

“Apa maksudmu?”

Setelah mereka menyiapkan salad dan sup, lalu duduk di seberang meja, Mahiru memiringkan kepalanya pada gerutuan Amane.

“Yah sebenarnya, kami terus-menerus diganggu saat sedang berjalan-jalan. Itu membuatku sadar kalau cowok yang selalu populer adalah jenis manusia yang berbeda. Mereka sudah terbiasa dengan perlakuan itu, dan cara mereka menjalani hidup juga sangat berbeda.”

Ketika mereka bertiga pergi berbelanja setelah karaoke, untuk beberapa alasan, ada banyak gadis yang tampaknya anak kuliahan beberapa kali datang untuk berbicara dengan mereka beberapa kali.

Yah, Itsuki dan Yuuta sama-sama cowok tampan, meski dengan cara yang berbeda, jadi wajar saja jika mereka menarik perhatian para gadis. Mereka pernah mengalami apa yang disebut perayuan terbalik.

Mereka menolak setiap ajakan gadis-gadis itu. Itsuki memiliki cinta sejatinya, Chitose, dan si Ouji tampaknya membenci gadis-gadis yang memaksa. Ia tersenyum manis tetapi selalu waspada, dan tak lama kemudian, calon teman kencan mereka menerima pesan bahwa Yuuta menolak ajakan mereka. Bahkan saat menolak mereka, Yuuta masih terlihat ramah dan perhatian, jadi Ia tidak akan menyakiti perasaan mereka. Dan sepertinya itu bekerja dengan baik untuknya. Amane telah berjuang untuk menghadapi situasi yang sama sebelumnya, dan merasa terkesan dengan kemampuan temannya yang terlatih dengan baik.

“…Apa gadis-gadis itu juga berbicara denganmu, Amane-kun?”

“Ya, tapi itu karena aku cuma kebetulan bersama mereka.”

Bila harus menebak, gadis-gadis itu benar-benar hanya tertarik pada kedua temannya dan melihat Amane hanya sebagai cowok bonus yang bagus. Lagi pula, seperti yang sudah diketahui, Ia sangat buruk dalam berbicara dengan orang asing. Sesekali, seseorang akan berbicara dengannya ketika Ia pergi ke suatu tempat, tapi kali ini ada dua cowok yang sangat tampan di sebelahnya, jadi tidak ada yang mau repot-repot melirik ke arahnya.

Amane mengangkat bahu dan tersenyum masam, tapi entah kenapa, ekspresi Mahiru terlihat sedikit cemberut.

“Apa?” tanya Amane. “Apa kamu ingin bilang kalau aku terlalu keras pada diriku sendiri lagi?” ujarya.

“Yah, ada juga alasan itu… Tapi bukan tentang itu.”

“Lantas, apa?”

“…Jika kamu tidak tahu, maka jangan terlalu dipikirkan,” balas Mahiru dengan lelah, sebelum menyatukan tangannya sebagai ucapan terima kasih. “Mari makan.”

Amane kebingungan, tapi Ia menirunya dan menyatukan tangannya, berterima kasih atas makanan dan untuk Mahiru.

 

◇◇◇◇

 

Keesokan harinya setelah ketiga anak cowok itu pergi ke karaoke.

Seperti biasa, Mahiru mampir ke apartemen Amane.

Akhir-akhir ini, Mahiru lebih sering menghabiskan banyak waktunya di sana ketika tidak di sekolah. Bahkan, sejak awal liburan golden week, dia sudah berada di tempat Amane hampir setiap hari. Bahkan jika Mahiru tidak mampir di siang hari, dia akan selalu datang untuk membuatkan makan malam di malam hari. Amane tentu saja cukup senang memiliki orang yang disayangnya berada di dekatnya, jadi Ia membiarkan Mahiru melakukan apapun yang dia suka.

Hari ini, Mahiru berada di sebelahnya dan sedang bermain-main dengan smartphone-nya. Bermain-main dengan smartphone adalah hal yang sangat normal untuk dilakukan, tapi Mahiru menatap layar dengan sedikit lebih antusias dari biasanya.

Itu akan menjadi pelanggaran privasinya untuk mengintip layarnya, dan Amane juga tidak berniat melakukannya, tapi Ia tidak bisa menahan diri untuk mengatakan sesuatu, karena sangat tumben bagi Mahiru untuk asyik dengan smartphone-nya seperti itu, karena dia biasanya hanya menggunakannya untuk menghubungi seseorang atau mencari sesuatu.

“Apa yang sedang kamu lihat?” Amane memberanikan diri, berpikir bahwa bertanya saja takkan terlalu menyinggungnya.

Untuk beberapa alasan, Mahiru melompat kaget saat mendengar pertanyaannya. Kemudian dia berbalik untuk melihat ke arah Amane dengan gugup. Amane bingung. Ia tidak yakin apa yang membuatnya bertindak seperti itu.

Kemudian Mahiru berpaling darinya. Dia hanya melakukan itu ketika merasa bersalah tentang sesuatu.

“…Kamu sedang menyembunyikan sesuatu, ya.” Amane bersikeras.

“Me-Menyembunyikan…? Yah, tapi apa kamu bisa berjanji untuk tidak marah?”

“Apa kamu melakukan sesuatu yang akan membuatku marah?"

Amane telah diberitahu bahwa ekspresi wajahnya saat istirahat terlihat agak cemberut, tapi Ia sangat jarang marah, dan belum pernah benar-benar marah pada Mahiru. Amane tidak berpikir kalau Mahiru akan memberinya alasan untuk kehilangan kesabaran—paling buruk, dirinya cuma merasa sedikit kesal.

“…Tergantung pada perasaanmu, kamu mungkin akan merasa kesal.”

 “Hmm. Yah, kenapa kamu tidak memberitahuku dulu, dan kita lihat saja nanti?”

“…Yah, ibumu telah … mengirimkanku foto-foto lamamu.”

“Oh, aku yakin dia punya banyak hal untuk dibagikan…”

Amane memiliki banyak pertanyaan untuk ibunya tentang mengapa dia pikir oke-oke saja mengirim fotonya kepada Mahiru secara tiba-tiba seperti itu.

“Y-yah, ada alasannya, tahu. Ibumu dan aku sedang berbicara, dan kami kebetulan sedang membicarakan Hari Anak, dan... dan aku keceplosan bilang 'Aku yakin kalau Amane-kun benar-benar terlihat imut saat masih kecil dulu...' Jadi begitu…”

“Tunggu, biarkan aku melihat foto itu. Dia tidak mengirimimu sesuatu yang benar-benar keterlaluan, kan?”

Soal foto-foto lama, pasti ada beberapa yang Amane lupakan. Tapi Ia masih bisa mengingat beberapa momen memalukan yang mana Ia lebih suka tidak ada yang melihatnya. Ibunya seharusnya benar-benar membiarkan Amane memeriksa foto-foto itu dulu sebelum mengirimnya ke Mahiru.

Mahiru menolak menjawab pertanyaannya. Dia bahkan tidak berani menatap matanya. Dari reaksinya, Amane bisa menebak bahwa foto-foto itu adalah sesuatu yang tidak disukainya. Amane melotot padanya tetapi tidak mencoba untuk merenggut smartphone dari tangannya, jadi Ia memutuskan untuk memaksanya sampai dia menyerah dan mengaku.

“Mahiru … apa kamu lebih suka bekerja sama dan menunjukkan foto-foto itu kepadaku, atau aku harus mengganggumu sampai kamu menyerah?”

Dengan ekspresi serius di wajahnya, Amane duduk dengan satu lutut dan meletakkan tangannya di belakang sofa di belakang kepala Mahiru. Amane bersandar di dekatnya, meninggalkan sedikit ruang untuk melarikan diri.

Wajah Mahiru akan menjadi pucat ketika dia melihat kalau aku telah memojokkannya...atau begitulah yang Amane pikirkan, tetapi wajah Mahiru malah memerah dan meremas bantal favoritnya ke dadanya. Dia tampak lebih gugup dari sebelumnya tapi masih tidak mau berbicara.

Apakah seburuk itu…?

Amane memiliki perasaan yang tenggelam. Ia terus menatap tajam ke arah mata Mahiru, tapi Ia tidak mendapatkan reaksi yang Ia harapkan. Kebalikan dari itu, Mahiru justru mencoba mendorong bantal ke wajahnya.

Amane meraih bantal dan melemparkannya ke samping. Ia tidak mengerti mengapa Mahiru begitu enggan menunjukkannya. Mahiru pasti tidak memegang bantal terlalu erat, karena Ia dengan mudah bisa menariknya dari tangannya dan membuatnya berguling-guling di lantai.

Mahiru masih belum beranjak dari sofa.

“Ayo; sudah waktunya untuk mengaku,” bisik Amane sambil mendekat untuk mencubit pipinya.

Tanpa peringatan, Mahiru menjatuhkan diri di sofa. Semuanya terjadi begitu cepat sehingga Amane tidak bisa bereaksi, dan dalam jatuhnya, Mahiru bertabrakan dengan lengan yang Amane gunakan untuk menopang dirinya sendiri, jadi diirinya juga kehilangan keseimbangan dan jatuh ke sofa. Untungnya, dia berhasil menopang dirinya sendiri sebelum menindih Mahiru, tapi jarak di antara mereka lebih dekat dengan daripada yang Ia duga.

Mereka berdua membeku karena kedekatan yang tiba-tiba ini.

Tubuh mereka tidak terlalu dekat, tetapi wajah mereka begitu dekat sehingga bisa merasakan nafas masing-masing, dan jika Amane membungkuk sedikit, hidung mereka akan bertabrakan. Amane cukup dekat untuk melihat bahwa bulu mata panjang yang menutupi mata Mahiru yang lebar dan berwarna karamel sedikit bergetar. Pada jarak sedekat ini, aroma wangi khas Mahiru memenuhi lubang hidungnya, dan Amane tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Mereka berdua tertegun kaku, tapi Mahiru lah yang pertama bergerak.

Bibir merah mudanya bergetar, dan dia memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya memerah, dan mengambil napas pendek-pendek dan malu-malu. Dia tampak gugup, seolah-olah dia sedang mempersiapkan semacam benturan, tetapi bibirnya terlihat lembut dan manis. Dia secara bersamaan terlohat polos dan memikat. Mahiru secara praktis mewujudkan kontradiksi semacam itu. Amane tidak bisa memalingkan perhatiannya dari sosok Mahiru.

Melihat penampilannya yang begitu membangkitkan keinginan Amane untuk melindunginya dan dorongan untuk menjadikannya miliknya, tapi terlepas dari penilaiannya yang lebih baik, Amane mengulurkan tangannya.

—dan mencubit pipi Mahiru.

“Apa-?”

“…Ekspresimu terlihat konyol,” gumamnya sambil tertawa masam.

Mata Mahiru terbuka lebar, dan ekspresinya berubah dalam sekejap. Ketimbang tersipu, ekspresinya yang sekarang lebih seperti rasa malu sekaligus marah. Dia memelototinya melalui mata yang dipenuhi air mata.

“Apa itu yang akan kamu katakan setelah mencubit pipi seorang gadis dan menyentuh wajahnya?”

Amane tersenyum lagi.

“Oke, oke, tadi itu memang salahku. Aku tidak menyangka kalau kamu sampai bersikeras begitu.”

“Maaf saja ya kalau aku begitu!” jawab Mahiru dengan nada ketus.  “Itu terjadi karena kamu mendorongku ke bawah!” imbuhnya.

“Itu karena kamu menyembunyikan foto-foto yang dikirimkan ibuku kepadamu.”

“Ah! … Ughh.”

Ketika menjadi jelas bahwa Mahiru tidak bisa berkata apa-apa lagi, Amane menjauh darinya, dan masih tersenyum. Ia menyelipkan tangan di antara sofa dan punggung Mahiru dan membantunya duduk. Mahiru menggerakkan bibirnya seperti sedang menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri dan membuat ekspresi aneh.

“Jadi…,” kata Amane. “Apa kamu akan membiarkan aku memeriksa foto-fotoku sendiri?”

“... Terserah apa katamu,” katanya dengan pasrah. Dia masih terdengar kesal, dan wajahnya semerah biasanya, tapi dia menunjukkan kepada Amane daftar gambar dari obrolan antara dirinya dan Shihoko.

Jika Amane menunjukkan betapa merahnya wajahnya, Mahiru mungkin akan segera keluar dari apartemennya, jadi Amane menahan keinginan untuk mengatakan hal lain saat memalingkan muka sehingga Mahiru tidak bisa melihat wajahnya.

…Tadi itu mengejutkan sekali.

Amane berusaha untuk tetap tenang, tapi bahkan sekarang jantungnya masih berdebar kencang dengan kekuatan yang meledak-ledak.

Dirinya tidak yakin apa yang mungkin akan Ia lakukan pada Mahiru jika tidak menghentikan dirinya sendiri dan menggantinya dengan mencubit pipinya. Mahiru jelas-jelas tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan tindakan Amane.

Astaga, aku hampir melakukan sesuatu yang brengsek…

Rasa malu membebani perutnya. Ya, kejadian tadi memang kecelakaan, dan mungkin tidak ada pihak yang harus disalahkan. Tapi bukan berarti Ia boleh menyentuh Mahiru dengan begitu intim, dengan cara yang biasanya diperuntukkan bagi kekasih. Itu sama sekali tidak dibenarkan.

Jika dirinya terbawa suasana dan menciumnya, Amane yakin kalau Mahiru akan menangis atau semacamnya. Tindakan semacam itu tidak benar untuk dilakukan. Amane bukan pacarnya atau apa. Dan jika Ia tetap melakukannya, Mahiru pasti akan berusaha menjauh dari Amane untuk selamanya.

Amane tidak ingin menjadi tipe orang egois yang hanya memikirkan apa yang Ia inginkan.

“…Amane-kun, katanya kamu ingin memeriksa foto-foto itu, tapi apa kamu bahkan akan melihatnya?” tanya Mahiru. Dia terdengar lebih cemberut dari sebelumnya, dan ketika Amane melihat ke arahnya, Ia melihat bahwa kemerahan di wajahnya akhirnya mulai sedikit mereda, dan pipinya sedikit menggembung.

“Maaf, aku sedang sibuk memikirkan sesuatu.”

“Amane-kun no baka.”

Mahiru tidak sering menghinanya, dan dia menggunakan kata yang agak lucu, tetapi Amane tahu dari nada suaranya bahwa dia kehabisan kesabaran, jadi Ia dengan cepat melihat ke bawah ke smartphone.

Dalam kumpulan foto itu, ada foto-foto Amane dari TK dan SD. Sekilas, Ia tidak melihat sesuatu yang sangat memalukan, jadi itu melegakan, tetapi ada foto dirinya yang tersenyum berseri-seri yang bahkan tidak bisa dIa bayangkan untuk ditiru sekarang, jadi Amane masih merasa sangat malu.

Wajah Amane memerah karena alasan yang berbeda pada saat ini, dan untuk mengalihkan dirinya dari rasa malu yang mencuat di dalam dirinya, Amane melirik ke arah Mahiru. Dia tidak lagi memasang ekspresi cemberut—sebaliknya, dia menatap melamun ke langit-langit dengan tangan menutupi mulutnya, dia terlihat linglung.

Merasa kalau Ia tidak seharusnya melihatnya seperti itu, Amane dengan cepat menurunkan pandangannya kembali ke smartphone Mahiru.

Jantungnya berdebar kencang lagi, dan mencoba memfokuskan pandangan serta pikirannya pada hal lain.

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama