Chapter 13 — Firasat Buruk Setelah Masa Liburan
Liburan golden week yang tampak sangat lama dan sangat singkat, akhirnya
berakhir, dan sekolah dimulai lagi.
…Akhirnya, aku bisa mendapatkan jarak dari Mahiru.
Mahiru menghabiskan hampir
seluruh waktu liburannya di apartemen Amane. Ia mengatakan tidak apa-apa,
sangat berterima kasih bahwa Mahiru telah membuat makanan lezat dan senang
menghabiskan waktu bersama gadis yang dicintainya.
Tapi sejak hari Amane memberi
tahu Mahiru tentang masa lalunya yang bermasalah, perasaannya terhadapnya hanya
tumbuh, dan sekarang Ia merasa hampir tidak mungkin untuk menenangkan emosinya
yang bergejolak.
Mahiru mempercayai Amane dengan
sepenuh hati. Dia memanjakannya, tapi dengan cara dia juga mengambil keuntungan
darinya, menguji batas ketabahan emosionalnya. Dan mengetahui bahwa diirinya
adalah satu-satunya cowok yang diizinkan untuk menyentuhnya membuat perasaan
Amane menjadi berlebihan.
Serius,
pikirnya, aku pantas mendapatkan semacam
penghargaan karena berhasil melakukan pengendalian diri. Kalau saja aku tidak
harus menahan diri, aku yakin aku bisa mengajaknya kencan. Aku bahkan mungkin
mendapatkan jawaban yang bagus—
Mahiru menerima dirinya apa
adanya, tapi Amane tahu kalau Ia tidak punya nyali untuk memberitahunya
bagaimana perasaannya. Memikirkan penolakannya saja membuatnya ingin meringkuk
dan mati. Amane sadar kalau dirinya pengecut, terlalu takut untuk melakukan
pendekatan. Tapi mungkin Ia bahkan lebih takut dengan apa yang mungkin terjadi
jika Mahiru tidak menolaknya, jika kebetulan dia merasakan hal yang sama
tentangnya. Amane berpikir kalau dirinya masih belum pantas untuk menjadi
pacarnya.
...
Aku punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Tidak ada yang bisa Ia lakukan mengenai
wajahnya, tetapi Ia ingin merubah dirinya sebisa mungkin—secara fisik dan mental. Setidaknya cukup sehingga tidak ada yang akan
berbicara berbicara yang jelek-jelek ketika Ia bersamanya— cukup agar
Mahiru tidak malu bersamanya.
Dan meskipun ternyata Mahiru
tidak menyukainya seperti itu, tidak ada salahnya untuk mencoba. Amane takkan
pernah mendapatkan apa-apa jika tidak berusaha yang terbaik.
Saat mutuskan untuk meminta
Yuuta, bintang atletik, untuk beberapa rekomendasi pelatihan, Amane melewati
gerbang sekolah dan mencapai loker sepatu, di mana Ia melihat wajah yang
dikenalnya.
“Pagi '...”
Itsuki dengan grogi mengganti skamul dalam
ruangannya. Dia mengerutkan kening bingung ketika melihat Amane.
“… Apa-apaan dengan wajah itu?”
“Seharunya itu kalimatku,” kata
Amane. “Dan lagi pula, wajah apa yang kamu maksud?” imbuhnya.
“Yah, umm… Bagaimana bilangnya,
ya? Kamu terlihat seperti sudah membuat keputusan besar. Kamu akhirnya
memutuskan untuk memberitahunya bagaimana perasaanmu?”
Amane menatap Itsuki dengan pandangan
tidak percaya.
“Hmph!” Tapi perkataan temannya
tidak terlalu salah juga.
Itsuki menatapnya dengan rasa
penasaran. “Hah, kalau begitu, ada apa? Aku pikir akan ada semacam kemajuan
sekarang. ”
“Ke-Kemajuan? Yah itu sih—”
“Aku yakin kamu akhirnya
memberanikan diri dan memutuskan untuk mendekatinya seperti seorang pria untuk
perubahan.”
“Sial, cerewet!
Ngomong-ngomong… aku hanya memikirkan bagaimana banyak hal yang harus kulakukan
jika aku ingin dia menyukaiku balik.”
“Hmm. Dengan kata lain, selama
liburan, setelah kita pergi ke karaoke… sesuatu memang terjadi! Kamu
benar-benar menginginkannya, eh ?! ” Itsuki terkekeh.
Amane tidak bisa memikirkan
serangan balik yang cerdas.
Itsuki menampar punggung
temannya saat tertawa. “Yah, aku tahu kalau kamu benci kalau aku terlalu kepo,
jadi aku akan membiarkannya saja untuk kali ini ... Tapi jika ada yang bisa aku
bantu, bilang saja padaku, oke?”
“Itsuki…”
“Dan kita bisa memikirkan
kencan ganda, oke?”
“Ah, jadi itu yang sebenarnya
kamu incar,” canda Amane. Ia tahu Itsuki hanya mencoba mencairkan suasana.
Itsuki terkekeh dan memukul
punggung Amane lagi.
“Ya, itulah impianku, ya…”
Bercanda adalah cara Itsuki untuk menghiburnya.
Amane tersenyum pada temannya,
merasa sedikit lebih optimis.
“Terserah apa katamu saja lah.”
Ketika Amane dan Itsuki
mencapai ruang kelas mereka, ada semacam keributan yang terjadi. Keributan itu
tidak ditujukan pada mereka berdua, tetapi suasana yang ramai sangat berbeda
dari biasanya sehingga Amane tidak bisa menyembunyikan kebingungannya.
Setelah liburan panjang,
wajar-wajar saja jika ruang kelas disibukkan dengan cerita liburan, tetapi hari
ini dipenuhi dengan keributan yang berbeda — hiruk pikuk orang yang menyebarkan
desas-desus. Amane menajamkan pendengarannya untuk mendengarkan saat menaruh
tasnya di kursinya—dan sepertinya mereka semua sedang mendiskusikan Mahiru.
“Aku dengar katanya Shiina-san
pergi berkencan tempo hari dengan seorang cowok yang tampak keren!”
Gosip yang Amane dengar membuat
pipinya berkedut.
Mereka pergi ke tempat-tempat
ramai, jadi selalu ada kemungkinan seseorang akan melihat mereka. Tapi Amane
tidak pernah menyangka kalau mereka benar-benar akan menjadi pembicaraan di
kelas. Amane tidak keberatan bagian tentang terlihat keren, tetapi sisanya
segera membuatnya gelisah.
Itsuki jelas mendengar hal yang
sama dan duduk di kursinya sambil berusaha untuk tidak menyeringai. Amane ingin
memberinya menepak keras di lengannya.
Saat mereka berbisik tentang
rumor itu, semua gadis terus melirik Mahiru.
“Kudengar mereka berjalan
bergandengan tangan, dan dia tersenyum yang belum pernah dilihat siapa pun di sekolah
sebelumnya... Pasti cowok itu yang dibicarakan semua orang di awal tahun.”
“Dia sendiri yang bilang kalau
dia tidak berpacaran dengan siapa pun, tapi tidak diragukan lagi sekarang ...”
Mahiru, yang datang ke sekolah
lebih cepat, seperti biasa, bersiap-siap untuk jam pelajaran pertama. Dia juga
tidak menyadari desas-desus mengenai dirinya, atau lebih mungkin, dia sudah
menyadarinya tapi berusaha mengabaikannya.
Dia pasti sudah terbiasa
menjadi pusat perhatian, berkat kecantikan dan keanggunannya, tetapi hari ini
ada banyak tatapan mata yang mengintip ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Dan
selain tatapan penasaran gadis-gadis itu, Mahiru juga mendapatkan tatapan putus
asa dari para pria.
Jika itu mengganggu Mahiru, dia
pasti tidak menunjukkannya. Dia dengan keras kepala mempertahankan sikap anggunnya
yang biasa.
Akhirnya, beberapa gadis di
kelas tidak bisa menahan rasa penasaran mereka lagi dan dengan hati-hati
mendekatinya.
“Hei, hei, Shiina-san?” salah
satu gadis bertanya dengan takut-takut.
Mahiru perlahan mengedipkan
matanya. “Ya, apa kamu membutuhkan sesuatu?”
Dia bertingkah seakan-akan
tidak tahu apa yang diinginkan gadis-gadis itu.
“Yah, tempo hari, kupikir aku
melihatmu berjalan di pusat perbelanjaan dengan seorang cowok.”
“Ya, aku memang berjalan
melewati mal,” Mahiru menegaskan.
Gelombang gumaman memenuhi
ruangan kelas. Jelas, semua orang bertanya-tanya apakah rumor itu benar. Amane,
dalang dari pusat skandal, mulai merasa sakit perut.
“Um, jadi cowok itu… punya hubungan
seperti apa…?”
“Hubungan seperti apa yang kami
miliki?” Mahiru menyela. “Yah, jika aku harus mengatakannya, kurasa memanggil
kami sebagai teman akan
menggambarkannya dengan baik.”
Amane senang karena Mahiru
menjawab dengan jujur, tapi perutnya masih terasa seperti diikat erat dengan
tali. Teman-teman sekelasnya terus bergumam di antara mereka sendiri. Ia
berharap kalau mereka semua tidak terlalu kepo, tapi tidak banyak yang bisa
Amane lakukan untuk itu. Beberapa cowok lain di kelas tampak sangat lega dengan
jawaban Mahiru, tidak diragukan lagi untuk alasan yang berbeda dari Amane.
“Jadi itu bukan kencan atau
semacamnya?”
“Kencan…?” Mahiru berpikir
sejenak. “Yah, ketika aku mempertimbangkan definisi kencan, kurasa bisa
dibilang itu memang kencan.”
Bukan itu jawaban yang Ia
harapkan. Dalam arti yang paling sempit, kencan adalah ketika dua orang atau
lebih memilih tempat dan waktu untuk bertemu, jadi Mahiru tidak sepenuhnya
salah… Tapi sangat jelas sekali kalau bukan itu yang dimaksud gadis-gadis itu.
Kerumunan kecil menjerit kegirangan
saat kegembiraan mereka memuncak.
Dari sudut pandang Amane,
sepertinya sejak ddulu, gadis-gadis suka kegirangan tentang urusan cinta orang
lain. Biasanya Ia tidak mempedulikan dirinya dengan obrolan semacam itu,
mengira itu hal yang biasa dilakukan gadis-gadis. Tapi kali ini, Ia tidak bisa
mengabaikan gosip mereka—karena orang yang mereka bicarakan adalah dirinya.
“J-Jadi itu artinya …?”
Gadis sama yang menanyakan
pertanyaan sebelumnya bertanya lagi. Suaranya bergetar dengan campuran rasa
penasara dan harapan.
Mahiru melirik Amane selama
sepersekian detik. Tatapan itu, terlihat lembut namun penuh kasih sayang,
membuat Amane sedikit tercekat. Pada saat Ia menguasai dirinya, Mahiru sudah
berbalik.
Sekarang Mahiru tersenyum lembut,
penuh kehangatan dan kasih sayang, serta menyatukan kedua tangannya di depan
dadanya, seolah-olah dia sedang memegang erat sesuatu yang sangat berharga.
Jawabannya membuat kelas menjadi kacau dan mengguncang hati Amane juga.
“Kami berdua memang tidak
berpacaran, tapi bagiku… Ia adalah orang yang terpenting di dunia ini.”
Sebelumnya ||
Daftar isi || Selanjutnya