SS 5
Amane dan Mahiru biasanya tipe
orang yang serius, dan bahkan ketika menghabiskan waktu di rumah, mereka takkan
melakukan apa pun pada khususnya kecuali untuk belajar.
Dan pada masa liburan ini,
Mahiru mengunjungi apartemen Amane seperti biasa, setelah lama memutuskan apa
yang ingin dia lakukan.
Mereka berdua duduk berhadapan
dan menyelesaikan PR mereka.
Sesekali, mereka akan
berinteraksi, tapi percakapan mereka tidak memiliki nuansa romantis layaknya
sepasang kekasih, yang ada justru tentang mengajar dan mempertanyakan apakah
mereka sudah saling mengerti dari PR yang diberikan. Mereka tidak berpcaran, tapi
seseorang akan mencurigai apakah ini adalah suasana hati yang tepat untuk
sepasang muda-mudi, berduaan di ruangan yang sama.
Dua jam setelah mereka mulai
belajar bersama, Amane ingin minum sesuatu, dan melihat gelas mereka yang kosong.
Mahiru, yang sepenuhnya terkonsentrasi,
tidak menyadari kalau Amane menggelatkkan pulpennya.
Amane berpikir kalau Ia harus
mengisi gelas Mahiru juga, jadi Ia dengan cekatan mengambil gelas dan pergi ke
dapur. Ia menuangkan kopi ke dalam cangkir. Kopi minuman dingin hanya
mengharuskan mereka untuk menyeduh di pagi hari, dan mereka bisa meminumnya
pada saat tertentu.
Amane diam-diam kembali dari
dapur, meletakkan cangkirnya sedikit lebih jauh dari Mahiru. Ia akhirnya
memperhatikan meski sedang fokus, dia menatap Amane dan berkedip.
“Terima kasih.”
“Kamu selalu melakukan ini
untukku. Satu sendok gula, bukan?”
“Ya.”
Mahiru menunjukkan senyum
tipis, dan Amane juga membalas senyum yang sama, duduk kembali ke bantal.
Tampaknya Mahiru siap
beristirahat juga ketika dia meletakkan alat tulis di tangannya, mengambil
seteguk kopi.
“... Kamu mulai mengerti
seleraku, Amane-kun.”
“Tidak juga. Kita sudah
menghabiskan setengah tahun bersama. Aku tahu seleramu, tetapi ada beberapa hal
yan tidak bisa kuberikan. Kamu lebih suka teh hitam daripada kopi, ‘kan,
Mahiru?”
Amane juga menyukai teh, tapi
tidak mudah untuk mengelola suhu teh. Tampaknya rasa teh akan sangat bervariasi
dengan waktu yang dihabiskan membendung daun teh. Dengan demikian, Amane
memastikan tidak menyentuh daun teh yang dibawa Mahiru. Ia tidak ingin gagal
menyeduh teh yang dibawa Mahiru, karena mereka terlihat sangat mewah.
“Bagiku, fakta bahwa kamu bersedia
untuk menyeduh kopi untukku adalah sesuatu yang harus aku sukai.”
“Aku tidak ingin menyia-nyiakan
teh bagus yang kamu bawa. Dan aku ingin teh yang enak juga. Mari kita tunggu
sampai hari di mana aku bisa menyeduh teh dengan baik.”
“... Aku merasa kamu adalah
orang yang serius dan pekerja keras.”
“Wajar saja kalau aku bekerja
keras, jika itu bisa membuatmu bahagia.”
“Kenyataan bahwa kamu mau
membuatkan teh untukku saja sudah membuatku senang.”
“Meski begitu, bukannya lebih
bagus lagi kalau aku bisa menyeduhnya dengan baik, kan? Jika orang yang meminumnya
bisa bahagia, aku juga ikut bahagia.”
Bahkan saat menyeduh teh, Amane
ingin memastikan bahwa diirinya menyajikan teh yang enak, dan merasa tidak
keberatan dengan usaha keras jika bisa membuat Mahiru bahagia.
Amane mengatakan kata-kata yang
tulus, tetapi Mahiru sedikit mengerutkan kening.
“... Ya ampun ... Sangat disayangkan.
Setiap orang akan memiliki pendapat yang sangat berbeda tentangmu jika mereka
melihatmu seperti ini, Amane-kun.”
“Kurasa tidak banyak yang akan berubah
bahkan jika orang-orang tahu.”
“Tidak juga ... Aku pikir akan
ada perubahan.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.
Dan aku tidak terlalu peduli tentang mengubah pendapat orang.”
“…Itu benar. Aku merasa
bertentangan, tetapi aku pikir itu baik-baik saja untuk menjaga rahasia ini.”
Orang-orang pasti ingin
membalas tsukkomi apakah Mahiru ingin
memberi tahu semua orang atau merahasiakan ini, dan Amane memiringkan kepalanya
dengan kebingungan. Mahiru menunjukkan senyum terganggu sebagai balasan dan
tetap diam saat menyesap kopi.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya
Sampai jumpa di bulan 5 dan semoga para tukang copas dan sejenisnya bakalan musnah atau seenggaknya, jangan copas project yang ada di sini.