Chapter 03 — 04 September (Jumat) Asamura Yuuta
Kami, kaum adam alias ayah dan
anak, bangun pagi-pagi sekali. Kami sedang duduk di meja makan ketika ayahku
tiba-tiba mulai berbicara.
“Akiko-san dan aku memikirkan
hal ini bersama-sama, tahu.”
“Bersama-sama?”
Aku sedang memasukkan nasi ke
dalam mangkuk nasi ayahku, tapi aku berhenti karena kebingungan. Aku ingin
bertanya bagaimana dua sejoli ini, yang terus-menerus berbicara satu sama lain,
bahkan mencapai sesuatu yang bisa disebut kesepakatan. Saat aku bertanya
kepadanya tentang hal itu, Ia bilang kalau kita bisa mendiskusikannya melalui
LINE, meski terlalu repot untuk mengobrol denganku. Kurasa Ia berubah dengan
caranya sendiri. Selain itu juga…
“Aku akan mengambil cuti kerja
dan ikut denganmu ke pertemuan orang tua-gurumu. Memang benar kalau
perusahaanku sedang sibuk dengan project saat ini, tapi aku tidak bisa
membiarkan Akiko-san menanggung semua beban sendirian.”
“Oh, mengenai itu, yah.”
Aku memberitahunya tentang
diskusiku dengan Ayase-san yang terjadi malam sebelumnya, dan menjelaskan bagaimana
kami memutuskan untuk mengadakan kedua pertemuan kami pada hari yang sama
sehingga Akiko-san cuma perlu mengambil cuti satu hari. Oleh karena itu, Ia
juga tidak perlu mengambil cuti kerja segala.
“Whoa ... Apa kamu yakin
tentang itu?”
Aku mengangguk.
“Aku dan Ayase-san sudah
memutuskannya bersama, jadi itu bukanlah sesuatu yang kuputuskan sendiri. Kami
tidak suka melakukannya tanpa sengetahuanmu dan menambah beban untukmu. Selain
itu, kami pikir, menyembunyikan fakta bahwa kami bersaudara rasanya tidak
wajar.”
Ketika aku selesai menceritakan
semua itu, Ayahku membuat wajah yang lebih bahagia daripada yang pernah aku
lihat sebelumnya.
“Aku yakin Akiko-san akan
senang tentang itu juga.”
Ayahku kemudian memberitahu
tentang semua yang sudah Ia diskusikan bersama Akiko-san. Rupanya, dia ingin
menjadi ibu sebaik mungkin untukku. Secara pribadi, karena kami bukan anak
kecil lagi, dan sudah dalam perjalanan beranjak dewasa, sejak ayahku menikah
lagi, aku mungkin menerimanya kalau Ia mendapatkan istri baru, tapi belum tentu
aku memiliki ibu baru atau semacamnya. Ayahku dan Akiko-san mungkin merasakan
hal yang sama, namun dia melanjutkan, dan mengatakan bahwa apa yang Akiko-san
inginkan bukan hanya menjadi waliku sampai aku sudah cukup umur.
“Akiko-san memberitahuku kalau
dia ingin kita menjadi sebuah keluarga. Dan dia mempercayai kalau kita bisa
mewujudkannya. Jika tidak, maka hubungan yang kami jalin melalui pernikahan
akan menjadi sia-sia.”
Hubungan, ya? Aku bisa memahami
maksud Akiko-san yang tidak ingin menjadi sekedar wali hanya karena harus
merawatku. Bila ditilik dari hubungan kami, kami hanyalah ibu tiri dan anak
tiri, tapi dia ingin melampaui itu dan menghargai waktu kami berempat bersama
sebagai keluarga normal.
“Itulah sebabnya, aku yakin dia
akan sangat bahagia jika mengetahui kalau kamu menerimanya sebagai keluarga,
Yuuta.”
Secercah rasa bersalah memenuhi
hatiku. Aku benar-benar tidak memikirkannya terlalu dalam.
“Selamat pagi, semuanya.”
Ayase-san memasuki ruang tamu.
“Ah. Selamat pagi, Saki-chan.”
“Ayase-san, apa yang akan kamu
lakukan untuk sarapanmu?”
Dia bangun sedikit lebih siang
dari biasanya, jadi aku ingin bertanya hanya untuk memastikan. Biasanya, dia
berangkat ke sekolah duluan sebelum aku, artinya ada kemungkinan dia
melewatkannya hari ini.
“Ah, maaf, aku menyuruhmu
menyiapkannya untukku. Aku akan mengurus sisanya.”
“Tidak, kami juga baru saja
bangun, jadi duduklah. Ini, sup miso, nasi, dan sumpitmu.”
“Maaf—terima kasih, Nii-san.”
“Terima kasih kembali. Bangun
agak lambat hari ini, ya? Apa kamu kesiangan?” Aku bertanya dengan iseng, tapi
Ayase-san membalikkan ponsel di tangannya, mengarahkan layar ke arahku.
Apa dia menyuruhku untuk
melihatnya?
“…LINE?”
“Ibu bilang dia akan pulang
dalam dua jam, jadi kami melanjutkan percakapan kita yang kemarin.”
Benar, masuk akal juga.
Ayase-san pernah bilang kalau dia akan memberitahu Akiko-san tentang apa yang
telah kami berdua putuskan. Sekarang sudah pagi, dia mungkin menerima tanggapan.
Percakapan mereka berlanjut sebentar setelah itu, itulah sebabnya dia akhirnya
terlambat untuk sarapan.
“Dia merasa senang.”
“Benar, ‘kan?”
Melihat Ayahku yang tersenyum lebar
setelah mendengar konfirmasi Ayase-san, aku sekali lagi merasakan sakit yang
samar di dalam dadaku.
“Jadi, mengenai hari pertemuan
orang tua-guru, aku berpikir untuk menyerahkannya pada Ibu.”
“Hari apa yang dia pilih?” Ayahku
bertanya hanya untuk memeriksa.
“Jika bisa, dia ingin di
tanggal 25 September.”
“Tanggal 25… Jadi, hari Jumat
ya.” Aku memeriksa kalender dan mengomentari tanggalnya.
“Tidak bagus?”
“Tidak juga, aku tidak
keberatan sama sekali. Jika hari itu paling cocok untuk Akiko-san, maka aku
akan mencoba untuk menyesuaikan pertemuanku pada hari itu. Jadi, Ayase-san—”
Jika Ayase-san dan aku ingin
melakukan pertemuan di hari yang sama, kami harus berkonsultasi dengan guru
wali kelas masing-masing dan menjelaskan alasan kami. Yaitu, karena ibu kami
takkan bisa mengambil cuti lebih dari satu hari, kami ingin pertemuan kami disamakan.
Jika kami berdua menjelaskan alasan itu, kedua wali kelas kami pasti akan
menyadari kalau kami bersaudara.
“Ya, seperti yang kamu katakan,
Nii-san.”
“Jika kita berdua berada di
kelas yang sama, aku bisa memberitahunya langsung sendiri.”
“Tidak apa-apa, aku bisa
mengurusnya.” Sambil mengambil nasi, Ayase-san memintaku untuk membiarkan dirinya
mengurusnya sendiri.
Sampai beberapa saat yang lalu,
Ayase-san kurang mahir dalam hal semacam ini, tapi kurasa dia juga banyak
berubah. Setelah dia selesai makan, Ayase-san mencuci piring dan meninggalkan
rumah sekitar waktu biasanya. Setelah dia pergi, Ayahku berangkat kerja, dan
terakhir, aku juga pergi.
Saat aku berjalan menuju ke
sekolah, aku melihat cakrawala yang berwarna biru jernih, dan angin sepoi-sepoi
terasa sedikit lebih panas dari kemarin. Akiko-san ingin kita menjadi sebuah
keluarga. Mungkin aku harus memanggil Akiko-san 'Ibu tiri', sama seperti Ayase-san memanggil Ayahku 'Ayah tiri'. Bukan karena aku harus menerimanya
sebagai ibuku, tapi supaya kami bisa menjadi keluarga seutuhnya. Apa itu juga
alasan kenapa Ayase-san memanggilku 'Nii-san'
sekarang?
Gerbang sekolah akhirnya
terlihat, dan aku memutuskan untuk menyingkirkan semua pikiran yang
berputar-putar di kepalaku.
Lima menit sebelum jam pelajaran
pertama, tepat saat lonceng pertama berbunyi, Maru melenggang masuk ke dalam kelas
dari pintu belakang. Orang-orang yang memiliki latihan pagi biasanya tiba di
kelas sebelum jam pelajaran dimulai. Tentu saja, bukan hanya Maru dari klub
bisbol. Orang-orang dari klub olahraga lain juga masuk, dan dengan cepat
memenuhi ruang kelas. Begitu Maru duduk di depanku, Ia sepertinya baru
mengingat sesuatu. Ia kemudian berbalik ke arahku.
“Naa, Asamura.”
“Hmm?”
“Liburan musim panas lalu, kamu
pergi ke kolam renang bersama Narasaka dan yang lainnya, kan?”
“Eh ... ya, memangnya ada apa
dengan itu?”
“Ada gosip yang beredar kalau
kamu dan Ayase terlihat memiliki hubungan yang dekat.”
“Hubungan yang dekat…?”
“Tentu saja, yang namanya gosip
tetaplah gosip. Tapi mengingat bagaimana dia bertingkah belakangan ini, itu
sampai pada titik di mana aku tidak bisa menyangkal kemungkinannya.”
'Kemungkinan'
macam
apa yang kamu pikirkan?
“Jadi ya, bagaimana dengan
Ayase?”
Tentu saja, aku dibuat terkejut.
Saking terkejutnya sampai-sampai aku kehilangan kesempatan untuk membalas
dengan benar dan malah menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lain seperti orang
bodoh. Sebaliknya aku bertanya mengapa Ia ingin tahu tentang itu.
“Menanyakan tentang kemajuan dan
status percintaan temannya adalah sesuatu yang akan dilakukan karakter teman
sejati dalam gim galge, iya ‘kan?”
“Aku pikir kamu harus
membedakan dengan tegas antara fantasi dan dunia nyata, Maru.”
“Hmph. Sejujurnya, gosip itu
baru terdengar di telingaku beberapa menit yang lalu. Lagipula, tidak ada bukti
untuk mendukungnya juga.”
Jadi itu berarti gosip di dalam klub bisbol, ya? Sebuah gosip
di mana Ayase-san dan aku memiliki hubungan dekat. Kenapa ya? Aku menyadari
perasaanku pada Ayase-san di kolam renang selama liburan musim panas, dan pada
saat yang sama aku memutuskan bahwa aku harus menyingkirkan perasaan ini apapun
yang terjadi. Bagaimanapun juga, dia adalah adik perempuanku, dan begitu pula
dia mengharapkanku untuk memperlakukannya begitu.
Lupakan saja. Singkirkan
perasaan ini. Aku sudah berusaha melakukannya. Tapi untuk alasan apa,
orang-orang di sekitarku sepertinya bisa melihat perasaanku, dan mereka terus
mengingatkanku pada kenangan musim panas itu. Sambil merasa penasaran apa yang
harus aku lakukan tentang ini, aku sedang mempersiapkan pelajaran yang akan
datang ketika aku melihat lembaran angket tertentu di dalam tasku. Ketika aku
melihatnya, aku akhirnya ingat. Ayase-san dan aku sudah sepakat kalau kami
berdua tidak keberatan jika semua orang mengetahui bahwa kami bersaudara.
“Dengar.” Ketika aku mengingat
semua hal itu, suaraku menjadi tenang.
Ini bukanlah sesuatu yang perlu
didengar semua orang, hanya orang-orang tertentu saja. Maru menyandarkan
badannya lebih dekat ke arahku, memahami bahwa apa yang akan aku katakan
kepadanya akan sulit untuk aku katakan. Seperti yang diharapkan dari sohib
sejati.
“Mengenai Ayase-san dan aku,
kami sebenarnya—”
Aku memulai penjelasanku,
diawali dengan Ayase-san dan aku yang menjadi saudara tiri setelah orang tua
kami menikah kembali. Aku juga menambahkan bahwa kami berdua sudah tidak
berniat menyembunyikannya lagi, tapi kami juga tidak ingin memberitahu semua
orang tentang hal itu. Aku menjelaskan bahwa aku memberitahunya tentang ini
karena aku mempercayainya, dan Maru menanggapinya dengan tepat.
“Aku bukan tipe orang bermulut
ember yang akan menyebarkan informasi yang begitu sensitif.”
“Itu sangat membantu.”
“Tapi tetap saja, semuanya jadi
terhubung.”
“Hm? Apa maksudmu?”
Ekspresi Maru tampak hampir puas.
“Kamu tiba-tiba bertanya padaku
tentang Ayase, bertingkah seolah-olah kamu ingin tahu lebih banyak tentang dia,
yang sejujurnya sangat mengejutkanku, dan bahkan setelah itu, kamu bertingkah
aneh saat membahasnya.”
“Bertingkah aneh? Oi.”
“Benar, maaf, salah bicara.
Tapi aku cuma khawatir dengan caraku sendiri, tau? ”
Pada bulan Juni, ada rumor
buruk yang beredar mengenai Ayase-san. Karena dia memiliki penampilan yang
mencolok — yang sebenarnya adalah sesuatu
yang dia lakukan sebagai pertahanan diri — dan karena dia terlihat berkeliaran
di sekitar Shibuya hingga larut malam, wajar-wajar saja ada banyak orang yang
sampai pada kesimpulan yang salah, yang mana menimbulkan rumor itu beredar. Itu
sebabnya Maru pasti mengkhawatirkanku.
“Itu hanya salah paham. Cuma
itu saja.”
“Kelihatannya begitu. Maaf. Itu
salahku. Tapi sekarang semuanya jadi masuk akal. Juga, berbicara tentang Ayase,
aku secara tidak langsung berbicara buruk tentang adik perempuanmu, jadi aku
minta maaf.”
“Tidak usah minta maaf segala. Kamu
cuma tidak mengetahuinya saja. ”
“Aku benar-benar mengira kalau
kamu jatuh cinta pada Ayase.”
Kata-katanya tersebut membuat
detak jantungku berakselerasi secara drastis. Aku bisa merasakan keringat
menumpuk di telapak tanganku. Jatuh cinta padanya… memendam rasa padanya…
mencintainya… Bila menyangkut kakak dan adik, tidak aneh untuk saling menyukai…
tapi…
“Bukan seperti itu …”
“Benar, maaf. Aku tidak perlu
mengatakan itu. Tapi aku merasa lega sekarang. Jika kamu benar-benar jatuh
cinta padanya, Kamu mungkin akan bersaing dengan orang-orang itu tanpa ada
peluang untuk menang. Sebagai sohib, aku tidak ingin melihatmu patah hati.”
“'Orang-orang itu'?”
“Lah, kamu tidak tahu? Setelah
liburan musim panas selesai, ketenaran Ayase berubah drastis.”
Menurut informasi Maru,
Ayase-san bertingkah lebih ramah terhadap orang-orang di sekitarnya, dan
menjadi populer bahkan dengan orang-orang yang tadinya melihatnya sebagai gadis
berandalan dan takut padanya. Sejak dia berhenti menyendiri, semakin banyak
cowok yang ingin berbicara dengannya dan tertarik padanya. Seperti yang diduga,
beberapa dari cowok-cowok ini mungkin memiliki spesifikasi yang cukup tinggi.
“Meski rasanya menyakitkan
bagiku untuk mengakuinya, aku tidak pernah bisa melihatmu memenangkan
perlombaan itu … Namun, karena kamu kakak laki-lakinya, kamu bahkan tidak perlu
bersaing dengan mereka.”
“Tentu saja tidak.”
“Hebat, baguslah kalau begitu.”
Maru tampak puas dengan sesuatu.
Saat aku melihat reaksinya, aku
mulai berpikir. Seperti yang dibilang Maru, karena kami bersaudara, memiliki
kesempatan atau tidak bukanlah menjadi perkaranya. Tidak peduli seberapa banyak
cowok yang mungkin mendekatinya. Mengkhawatirkan adik perempuan seseorang dan
potensi ancaman beberapa serangga yang mendekatinya kemungkinan besar hanya akan
dilakukan oleh kakak laki-laki dalam dunia 2D. Di usianya yang sudah remaja,
dia seharusnya bisa menjaga dirinya sendiri, dan campur tangan dari kakak
laki-lakinya merupakan tindakan yang sudah keterlaluan. Entah sebagai kakak
kandung atau hanya sebagai kakak tiri, aku harus bertindak secara rasional.
Jadi bagaimana jika ada cowok yang mendekati Ayase-san dengan niatan seperti
itu? Itu tidak ada hubungannya denganku.
Guru wali kelas kami berjalan
di dalam kelas dan memulai jam wali kelas pagi. Setelah itu selesai, beliau
berbicara kepada orang-orang yang sudah menyelesaikan lembaran angket mereka
dan memutuskan hari untuk bertemu dan menyerahkannya. Seperti yang sudah aku
diskusikan sebelumnya dengan Ayase-san, aku mencoba untuk menjauh dari siswa
lain sebisa mungkin, dan menjelaskan keadaan keluargaku kepada wali kelasku,
memberitahunya tentang keinginan kami bahwa untuk pertemuan Ayase-san dan aku,
harus diadakan di hari yang sama karena keadaan ibu kami.
“Jadi begitu ya. Jadi untukmu—apa
ibu tirimu yang akan hadir?”
“Ya.”
Setelah percakapan singkat ini,
aku kembali ke tempat dudukku sendiri.
Jam pelajaran berakhir untuk
hari itu. Hari ini, aku memiliki jadwal kerja di toko buku tempatku bekerja
paruh waktu. Tepat setelah jam wali kelas terakhir selesai, aku segera
mengambil tasku. Saat aku sedang mengganti sepatuku di loker sepatu, sekelompok
orang yang agak berisik mendekati area yang sama. Aku menoleh ke arah mereka
karena mendengar suara yang familiar, dan aku melihat Narasaka-san berada di
tengah-tengah mereka. Dengan kata lain, kelompok ini pasti orang-orang yang
berasal dari kelas sebelahku.
Dia dikelilingi oleh semua
temannya, memasang senyum cengengesan seperti biasa, dan bahkan berbicara
dengan setiap orang di sekitarnya supaya mereka tidak merasa ditinggalkan.
Ayase-san juga ada di antara mereka. Dia berjalan dengan kecepatan konstan,
tidak terlalu dekat dengan mereka, tapi juga tidak terlalu jauh, dan sesekali berpartisipasi
dalam percakapan. Melihatnya tersenyum sekilas saat mengikuti pembicaraan, aku
lalu meraih sepatuku dan bersembunyi di balik bayangan loker sepatu, pergi
melalui pintu depan sambil berusaha untuk tidak terlihat. Aku akan merasa tidak
enakan jika aku memaksanya untuk menunjukkan pertimbangan kepadaku — atau
setidaknya itulah alasan yang aku buat untuk diriku sendiri.
Ayase-san
tersenyum. Kurasa itu pertama kalinya aku melihatnya tersenyum
bersama teman-temannya seperti itu. Syukurlah. Sungguh. Dia dulu agak
diasingkan dari teman-teman sekelasnya, jadi ini jauh lebih baik. Seperti yang
dikatakan Maru. Ayase-san sudah berubah. Cara dia memaksa dirinya untuk tidak
bergantung pada orang lain, mudah untuk melihatnya sebagai orang yang sombong
dan congkak, tapi itu semua karena dia tidak tahu bagaimana membuka diri kepada
orang lain, seolah-olah dia tidak punya pilihan lain selain mendorong mereka
menjauh. Dia belajar bahwa menjadi mandiri tidak sama dengan memutuskan semua
relasimu.
Dia tersenyum lembut, bergaul
dengan orang-orang yang tidak kukenal—jadi mengapa aku merasa terganggu oleh
perasaan rumit ini?
◇◇◇◇
Begitu aku mencapai tempat
parkir dekat stasiun kereta dengan sepedaku, warna langit sudah berubah menjadi
senja. Sang mentari terbenam lebih cepat belakangan ini. Sekarang sudah
memasuki bulan September, tapi hari-hari akan mulai semakin pendek mulai
sekarang. Aku memasuki kantor belakang, berganti seragam, dan menuju ke area
toko utama. Tugas pertamaku hari ini adalah mengatur rak. Aku melewati bagian kasir,
menyapa manajer, dan berjalan menuju rak. Aku mulai dengan rak paperback, bekerja dari bagian belakang
ke depan.
Di sebagian besar toko buku, kamu
mengatur buku berdasarkan penerbitnya, dan bukan penulisnya. Jika mereka
berasal dari penerbit yang sama tetapi label yang berbeda, maka mereka akan
ditempatkan di rak yang berbeda. Dan kemudian, setelah mencapai rak untuk label
itu, kamu perlu mengatur novel dan buku dengan inisial penulisnya, atau
setidaknya, kebanyakan toko buku akan melakukan itu.
Misalnya, ada label yang
disebut MF Bunko J, dan kemudian ada nomor acak Mi-10-16 di sampul belakang.
Ini menunjukkan bahwa label ini memiliki banyak penulis yang dimulai dengan
nama 'Mi', dan novel khusus ini
diterbitkan oleh penulis ke-10, dan ini adalah volume ke-16—setidaknya itulah
cara sederhana untuk menjelaskannya. Dengan hanya mengandalkan nomor ini, mudah
untuk mengatur buku-buku yang tidak sesuai urutan.
Aku memiliki shift yang
terlambat hari ini, yang itu artinya, mengatur buku keluaran terbaru dan
menyesuaikan stok sudah selesai. Pekerja lain sudah membuat lebih banyak ruang
untuk buku keluaran baru, jadi satu-satunya pekerjaanku ialah meletakkan
buku-buku acak yang tersebar kembali ke lokasi yang semula dimaksudkan. Dari
waktu ke waktu, aku akan melihat buku-buku acak diletakkan di rak yang salah,
dan aku akan mengembalikannya ke tempat aslinya, yang tentu saja merupakan
pekerjaan yang cukup sederhana, jadi aku pikir akan sedikit melamun untuk
beberapa waktu selama itu. Tepat sebelum aku mencapai tahap pencerahan—
“Ah, Kouhai-kun. Kebetulan
sekali.”
Saat aku berbalik, gambaran
ideal gadis cantik Jepang yang familiar
dengan rambut hitam panjang berdiri di sana, yang mana sudah aku tebak dari
suaranya. Dia membawa setumpuk buku. Membaca nametag di seragamnya praktis
tidak mungkin dalam keadaan itu, tapi aku mengenalnya. Dia adalah senpai-ku di
tempat kerja: Yomiuri Shiori.
“Permisi? Apa-apaan dengan
ekspresi rumitmu itu, hmm?”
“Ah, jangan pedulikan aku, aku
baru saja hampir mencapai tahap pencerahan, jadi kamu mengejutkanku.”
“Mengalami periode Pertapa,
ya.” (TN : Di
raw-nya sih bilangnya Kenja Time atau Sage’s Time :v, pas mimin cari maksudnya
di jisho, arti dari Kenja Time adalah kejelasan pasca-senggama; periode setelah
orgasme ketika seorang pria bebas dari hasrat seksual dan dapat berpikir jernih
)
“Aku berpikir perkataanmu itu
kurang cocok dengan situasinya.”
“Oh? Kalau begitu, silakan
saja. Coba katakan padaku apa arti sebenarnya.”
“Bisa tidak jangan bertingkah
seperti om-om hidung belang yang mencoba menggoda jawaban malu dari seorang
gadis yang polos? Aku akan menuntutmu atas pelecehan seksual.”
“Ara~. Kesetaraan gender memang
hal yang luar biasa sekali, ya.”
Aku tidak berpikir kalau ini
bukan saatnya bagimu untuk mengagumi itu.
“Sudah, sudah. Itu tidak
masalah sekarang, wahai Kouhai-kun tersayang. Gadis cantik sepertiku sedang
membawa segunung buku tepat di depanmu, jadi bukannya ada hal lain yang harus
kamu katakan?”
“Ah, benar, aku akan
mengambilnya.”
Buku-buku yang dia bawa adalah
persediaan yang akan kami isi kembali ke dalam rak. Ketika seseorang membeli di
kasir, kami dapat memeriksa apakah kami masih memiliki lebih banyak salinan
buku itu. Apa yang sebenarnya menakutkan untuk dipikirkan ialah di era Showa,
mereka benar-benar cuma mengandalkan catatan saja dalam hal inventaris buku
mereka. Tentu saja, mereka menggunakan kertas untuk melacak persediaan mereka,
dan jika kamu mengambil persediaan, kamu dapat memeriksa berapa banyak salinan
yang tersisa di toko.
Masalah yang dihadapi adalah
bahwa mereka hanya mengandalkan catatan yang ditulis hari demi hari. Di zaman serba
canggih sekarang, semuanya bisa teratasi dengan sekali klik berkat basis data
yang luas. Segunung buku yang aku terima harus ditambahkan ke rak yang ada di
hadapanku. Ketika aku melihat lebih dekat pada buku-buku itu, mereka ternyata
berasal dari seri lama yang telah dibuat menjadi serial anime beberapa musim.
“Aku penasaran, kenapa karya
ini bisa laris manis? Maksudku, aku tahu kalau ceritanya menarik, tapi tetap
saja.”
“Katanya kamu sudah membacanya,
‘kan, Kouhai-kun?”
“Ya. Oh?” Sesuatu terlintas di
dalam ingatanku. “Begitu rupanya, animenya baru saja dimulai.”
“Tepat sekali. Kita sudah
menggunakan POPs, dan juga memiliki banyak jenis yang ditampilkan di rak yang
berbeda.” (TN : Poin-Of-Purchase
atau Iklan titik pembelian, bisa berupa menyertakan stiker dan dekorasi lain di
sekitar produk, cara apa pun untuk menarik perhatian pelanggan)
Ketika Senpai mengatakan itu,
aku menoleh untuk melihat ke arah yang dia tunjuk. Di sudut rak buku bersampul
tipis ada alas kecil yang memamerkan segunung buku, semuanya dengan sampul yang
terlihat. Buku-buku yang saat ini dijual tidak hanya dimasukkan ke dalam rak di
mana kamu hanya dapat melihat sampul belakangnya, tapi menerima tingkat iklan
ini di mana mereka diletakkan berjejeran secara rata. Di sebelah mereka ada
kartu iklan dan plakat tulisan tangan, yang disebut juga POP.
“Akulah yang membuat POP di
sana.”
“Masa?”
“Aku berusaha keras untuk
menulis 'Aku sampai berlinangan air mata
ketika membaca ini, sebanyak sampai air mataku sanggup mengisi seluruh mangkuk!',
tahu.”
“Apa mereka takkan marah padamu
karena menayangkan iklan palsu?”
Kalau dilihat dari kepribadian
Yomiuri-senpai, itu pasti semacam candaan aneh lagi. Aku akan memeriksa POP-nya
nanti… Tunggu, tapi jika aku memeriksanya, bukannya itu berarti aku sudah menari
di atas telapak tangannya, ‘kan?
“Tunggu. Kemudian…”
Saat itulah aku akhirnya
menyadari gambaran besarnya. Jika baru mulai ditayangkan, dan karena sekarang
bulan September, itu pasti anim musim gugur. Kalau begitu, seri ini mungkin
akan laris manis selama tiga bulan ke depan hingga Desember. Aku menerima
buku-buku dari Yomiuri-senpai dan melihatnya.
Seperti yang kuduga, ada
bungkus kertas di atasnya, yang bertuliskan 'Anime
saat ini ditayangkan!'. Pihak penerbit mungkin mencetak ulang banyak
salinan agar sesuai dengan animenya, jadi bungkus kertas ini telah ditambahkan.
Pada saat yang sama, pembungkus ini juga mengumumkan bahwa akan ada rilisan
baru yang akan dijual bulan depan.
“Jadi volume baru akan keluar
...”
“Kouhai-kun, kamu kelihatannya
sangat kelelahan.”
Ketika Senpai melontarkan komentar
aneh itu, aku meliriknya dengan kebingungan.
“Apa maksudmu?”
“Kamu kekurangan semangatmu
yang biasanya.”
“Tapi aku makan dengan benar,
kok.”
“Oke, bukan itu maksudku. Kamu
dulu sudah tahu tentang rilis baru dari seri yang kamu sukai setidaknya tiga
bulan sebelumnya, bukan? ”
Rilisan buku atau manga baru
biasanya diumumkan tiga bulan sebelum tanggal rilis. Dengan kata lain,
begitulah cara kami, sebagai karyawan toko buku, bisa mengetahuinya juga.
“…Kurasa begitu.”
“Akhir-akhir ini kamu terlihat
sangat kekurangan tenaga lo, Kouhai-kun.”
“Bukan begitu…”
“Ssst, aku sudah bisa
menebaknya. Fakta bahwa kamu kehilangan minat pada rilisan baru dari seri yang
dulu kamu sukai artinya ada insiden yang cukup mengguncang dirimu, ‘kan? ”
“Benarkah? Mungkin begitu.”
Tidak, tebakannya memang tepat
sekali. Belum lama ini, aku takkan pernah melupakan tanggal rilis berikutnya
dari serial yang aku sukaii.
“Mungkin kamu hanya kesepian
karena kamu tidak mempunyai banyak jadwal kerja yang sama dengan Saki-chan
seperti dulu?” Yomiuri-senpai menunjukkan seringai curiga.
“Kamu harus berhati-hati,
Senpai. Senyuman seperti itu bisa membuatmu kehilangan popularitasmu, tau.”
“Sudah, sudah, jangan cemas,
coba ceritakan pada Onee-san cantik ini tentang semua masalahmu, anak muda.
Ayo, buka hatimu dan lompatlah ke pelukanku.”
“Kamu masih terdengar seperti
om-om mesum. Dan juga, kami itu bersaudara, jadi mana mungkin itu benar.”
“Apanya yang tidak benar?”
“Kalau aku merasa kesepian.
Mengapa aku kesepian hanya karena aku tidak bisa bekerja dengan adik
perempuanku?”
“Karena aku tidak punya kakak
laki-laki, kurasa aku tidak bisa berdebat banyak dalam hal itu. Dan kurasa
jawabanmu masuk akal, tapi dia itu adik tirimu, bukan?”
“Walau memang begitu, yang
namanya adik tetaplah menjadi adik.” kataku. Aku menahan diri untuk tidak
mengatakan lebih dari itu.
“Jawaban rasional yang sangat
membosankan.”
“Memangnya ada yang salah
dengan jawaban seperti itu?”
“Baiklah kalau begitu, izinkan
aku memberi tahu Kouhai-kun yang sedang bersedih hati ini tentang sesuatu yang
menarik.” Yomiuri-senpai mengangkat satu jarinya. “Kampusku akan mengadakan
acara kampus terbuka sebentar lagi, jadi bagaimana kalau kamu mampir ke sana?”
“Kampus terbuka? Apa itu saat
di mana perguruan tinggi atau sekolah tinggi khusus mengundang orang luar yang
penasaran untuk belajar di sana sehingga mereka dapat memeriksanya?”
“Tepat sekali. Setelah kamu
dikelilingi oleh gadis-gadis kampus yang manis dan imut, kamu akan kembali
bersemangat dalam waktu singkat.”
Seperti yang dia katakan, aku
yakin kebanyakan cowok akan dengan senang hati memiliki sekelompok gadis kampus
yag cantik-cantik seperti Yomiuri-senpai di sekitar mereka. Ketika aku
melihatnya berbicara dengan beberapa teman kampusnya beberapa waktu lalu, teman-teman
dan anggota UKM-nya adalah wanita yang menarik. Namun, ada kesalahan fatal
dalam rencananya ini.
“Senpai, kamu kuliah di
universitas khusus perempuan, bukan?”
“Ya, emangnya ada apa dengan
itu?”
“Bagaimana bisa aku, yang
jelas-jelas cowok tulen, bisa mengunjungi kampus terbuka di universitasmu?”
“Ya ampun, kemana perginya
kesetaraan gender kita?!”
Sayangnya, zaman masih belum
cukup maju untuk memperbolehkan seorang pria belajar di universitas khusus perempuan.
Aku mengerti bahwa dia mengkhawatirkanku dan kelesuanku baru-baru ini, tetapi aku
masih tidak dapat menanggapinya dengan senyuman. Aku sendiri bertanya-tanya
mengapa suasana hatiku begitu muram. Seharusnya tidak ada alasan bagiku untuk
merasa seperti ini.
Jadwal kerjaku berakhir, dan
aku langsung pulang. Setelah tiba, aku menemukan makan malam dan catatan kecil
di meja ruang tamu. Walau kemarin kami akhirnya bisa makan malam bersama
setelah sekian lama, hari ini aku baru saja mendapat catatan. Ayase-san jelas
tidak berniat meninggalkan kamarnya. Dia tidak sedang berusaha menghindariku, ‘kan?
Aku dipenuhi dengan penyesalan
karena tidak bisa bertemu langsung dengan Ayase-san, dan aku menyadari itu
dengan jelas kalau aku sudah berbohong kepada Yomiuri-senpai selama percakapan
kami sebelumnya. Jauh di dalam sudut pikiranku, aku bisa mendengar kata-katanya
lagi. Apa boleh buat, iya ‘kan? Lagi pula, Ayase-san bukanlah adik kandungku.
Sebelumnya ||
Daftar isi || Selanjutnya