Chapter 07 — 25 September (Jumat) Asamura Yuuta
Hari Jumat, hari di mana pertemuan
orang tua-guru untuk Ayase-san dan aku dilaksanakan. Pagi hari dimulai dengan
cara yang sama seperti biasanya, kami berdua sarapan sambil duduk di meja
makan. Ayahku sudah selesai membaca berita di tabletnya.
“Ini, sup misonya.”
“Oh, terima kasih banyak,
Saki-chan.”
Ia dengan senang hati menerima
mangkuk itu, dan pintu depan terbuka.
“Aku pulang~”
Suara salam Akiko-san mencapai
telinga kami yang berada di ruang tamu.
“Ah, selamat datang kembali,
Akiko-san.”
Ayahku duluan yang pertama kali
menanggapinya, lalu setelah itu diikuti oleh Ayase-san dan aku.
“Ya, aku pulang, Taichi-san.”
“Kerja bagus buat pekerjaanmu.
Apa kamu ingin sarapan?”
“Aku akan memakannya sedikit. Aku
langsung pulang ke rumah supaya bisa tidur lebih lama lagi, itulah sebabnya aku
belum makan apa-apa.”
“Jadi begitu. Apa kamu bisa
bangun setelah tidur?”
“Aku pikir bisa. Oh iya, aku
ingin mengecek waktunya sekali lagi, Yuuta-kun, Saki.”
Kami berdua mengeluarkan ponsel
kami, mengkonfirmasi jadwal waktu pertemuan yang kami berdua miliki.
“Pertemuanku dimulai pukul
16:20, dan berlangsung selama dua puluh menit.”
“Punyaku tepat setelahnya.
Pukul 16:40 sampai 5 sore. Waktunya mungkin hampir berdempetan, tapi untungnya kelas
kami tepat bersebelahan. ”
Sementara kami menjelaskan itu,
Akiko-san juga menatap teleponnya sendiri, mencoba mengingat waktu yang baru
saja kami katakan padanya.
“Ya, tidak masalah. Sepertinya
aku bisa tepat menghadirinya.”
“Tapi jika kita melihat jadwal
itu, kamu takkan bisa punya banyak waktu tidur dari sekarang sampai saat itu,
kan?"
“Aku berencana untuk
menggunakan taksi yang akan mengantarku ke sekolah, jadi aku akan baik-baik
saja jika pergi sebelum jam 4 sore. Aku akan bangun sebelum itu dan mandi,
makan, gosok gigi, berganti pakaian bersih, merias wajah… Ya, jika aku bangun
jam 2 siang, aku pikir tidak ada masalah.”
“Sekarang sudah jam 7 pagi,
jadi jika kamu tidur jam 8, kamu bisa tidur selama enam jam … itu lebih pendek
dari biasanya, bukan?” Ayahku berkomentar.
Mengingat dia biasanya tidur
sampai mnejelang sore, kurasa periode segitu termasuk tidur singkat.
“Aku bisa tidur lebih banyak
setelah pulang dari pertemuan karena tidak ada shift malam ini. Satu-satunya
masalah adalah kalian berdua tidak ada di rumah ketika sudah waktunya untuk membangunkanku.”
Akiko-san menjelaskan kalau dia terkadang kesulitan bangun.
“Taichi-san, setelah jam 2
siang, aku mengharapkan panggilan bangun darimu!” Akiko-san menyatukan
tangannya, tersenyum.
“Kamu tidak bisa mengganggunya
saat dia sedang bekerja, Bu.”
“Tapi ‘kannnnnn!”
“Ahaha, jangan khawatir,
serahkan saja padaku, Akiko-san. Pekerjaanku tidak terlalu sibuk sampai-sampai aku
bahkan tidak bisa melakukan itu, jadi tidak masalah.”
Ekspresi Akiko-san langsung
sumringah, tapi Ayase-san hanya mengangkat bahu. Biasanya, Ayahku sedikit tidak
bisa diandalkan, tetapi pada saat-saat seperti ini Ia terdengar sangat
meyakinkan dan dewasa. Akiko-san sepertinya sangat bersemangat, tapi
ekspresinya segera berubah. Dia mengernyitkan alisnya.
“Tapi apa ini beneran baik-baik
saja? Apa aku benar-benar bisa bangun? Akankah para guru berpikir kalau aku
adalah ibu yang aneh…?”
“Aku berpikir tidak ada orang
di dunia ini yang akan menyebutmu aneh.”
“Me-Menurutmu begitu?” Akiko-san
dengan malu-malu tersenyum setelah mendengar apa yang dikatakan Ayahku.
“Ya, tentu saja.” Ia menerima
senyumnya, dan mereka berdua saling menatap.
Baik Ayase-san dan aku
kemungkinan besar sedikit terganggu oleh adegan mesra yang terjadi di depan mata
kami ini, tapi kami masih meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Bu, jika kamu akan sarapan,
maka duduklah. Kamu cuma menghalangi jika berdiri di sana terus. ”
“Ya ya, mengerti.”
“Apa Ayah tiri masih ada banyak
waktu?” Ayase-san memanggil Ayahku sambil melirik jam.
“Ah…kamu benar, aku harus
berangkat sekarang. Terima kasih.” Sambil melihat Akiko-san pergi ke kamar
mandi untuk menghapus riasannya, Ayahku mengambil tasnya dan berdiri. “Jaga
Akiko-san, oke?”
Baik Ayase-san dan aku
mengangguk bersamaan. Bukannya Ia sendiri yang memiliki tanggung jawab
terbesar? Akiko-san pun kembali dari kamar mandi, duduk di meja bersama kami,
dan mulai memakan sarapannya.
“Bu, bagaimana dengan makan
siang setelah kamu bangun? Aku bisa menyimpan beberapa kari untuk nanti. Aku
pikir kamu akan langsung terbangun mengingat betapa pedasnya itu. ”
“Aku lebih suka tidak makan
sesuatu yang terlalu pedas sebelum bertemu gurumu, jadi aku akan mengambil sisaan
dari sarapan saja. Selain itu, kita masih punya telur lagi, kan?”
“Yah ... masih ada sih, tapi
...”
“Aku akan menanganinya sendiri,
oke? Kalian berdua seharusnya berangkat ke sekolah sekarang. ”
Seperti yang Akiko-san katakan,
sudah waktunya bagi Ayase-san untuk meninggalkan rumah.
“Kamu juga tidak perlu khawatir
tentang beres-beresnya, Yuuta-kun. Aku akan mencuci piringnya setelah aku
selesai makan. ”
“Oke, terima kasih banyak.”
Seperti biasa, aku menunggu
beberapa menit setelah Ayase-san pergi dan kemudian mengambil tasku.
“Baiklah, waktunya untuk tidur
siang supaya aku bisa bangun tepat waktu!”
Setelah melewati pintu depan,
aku bisa mendengar suara termotivasi Akiko-san di belakangku.
◇◇◇◇
Bel sekolah pun berbunyi, menandakan
berakhirnya jam pelajaran ke-4. Kami akan mengadakan pertemuan orang tua-guru
sore ini, tapi aku masih ada waktu empat jam lagi sampai giliranku tiba. Saat
makan siang dengan Maru, aku mulai berpikir tentang bagaimana menghabiskan
waktu itu.
“Sampai jumpa besok, Asamura.”
“Ya, aku akan menghubungimu
nanti!”
Maru selesai makan di depanku seperti
biasa dan bergegas keluar kelas. Pada akhirnya, Ia sama bersemangatnya dengan
klubnya seperti biasanya. Sekarang aku jadi sendirian. Di saat-saat seperti
ini, orang-orang dari klub langsung cabut ke rumah macam diriku tidak punya
tempat lain untuk dikunjungi. Sebagian besar ruangan digunakan untuk pertemuan
orang tua-guru. Sekelebat, ruang perpustakaan terlintas di benakku. Sebagai seseorang
pecinta buku, mungkin itu adalah tempat yang menurutmu paling cocok, tapi ada
kemungkinan besar, dan sering terjadi, perpustakaan tidak memiliki buku yang
biasa aku baca. Itu sebabnya aku biasanya tidak pernah pergi ke sana.
Tapi ini mungkin kesempatan
sempurna untuk mengunjunginya. Aku meraih tasku dan menuju perpustakaan. Ruang
perpustakaan di sekolah Suisei cukup terpisah dari bangunan utama. Di satu sisi
halaman sekolah, kami memiliki 'Gedung Perpustakaan', yang merupakan gedung dua
tingkat, dan ada lorong yang mengarah dari sana ke gedung utama. Lantai pertama
memiliki segala macam ruang musik, dan lantai dua memiliki ruang perpustakaan. Kamu
mungkin berpikir bahwa kami akan menyebutnya 'Gedung Musik', tetapi ada beberapa sejarahnya tersendiri yang
tidak kuingat.
Begitu mendekati gedung
perpustakaan, aku bisa mendengar suara klub band yang bermain. Pertemuan orang
tua-guru di sekolah Suisei diadakan sekaligus untuk semua angkatan dari kelas 1
sampai kelas 3, itulah sebabnya tidak ada jam pelajaran sore untuk semua siswa.
Hal ini menyebabkan sebagian besar klub memulai aktivitas mereka lebih awal,
yang membuatnya tidak terasa seperti sekolah SMA unggulan.
Setelah menaiki tangga, aku
membuka pintu ke ruang perpustakaan. Mengambil satu langkah ke dalam, aku
disambut oleh aroma khas buku-buku tua. Aroma khas yang sangat aku ingat dari
toko buku bekas di Stasiun Jimbōcho. Banyak orang meremehkan aroma ini, itulah
sebabnya mereka memilih rilisan yang lebih baru, tapi aku tidak
mempermasalahkannya. Aromanya seperti pengetahuan yang diwarisi dari seluruh
umat manusia.
Bagian dalam ruangan
perpustakaan tampak tidak terlalu ramai seperti saat ujian sudah dekat. Ketika
sedang melihat sekeliling, aku melihat bahwa hanya satu dari tiga meja yang
terisi. Dengan iseng, aku mulai berpikir tentang bagaimana Ayase-san mungkin
menghabiskan waktunya sekarang. Sementara pemikiran semacam itu terlintas di
benakku, aku berjalan menelusuri ruang perpustakaan dan melihat sekeliling,
tidak melihat gadis yang aku pikirkan. Namun, sebagai gantinya—
“Ohh? Apa ada yang salah?”
Aku disambut oleh Narasaka
Maaya.
“Maksudku, aku cuma mencoba
menghabiskan waktu. Aku ada pertemuan orang tua-guru hari ini. ”
“Oh, Asamura-kun juga?”
“Kurasa kita mempunyai giliran
yang sama, ya.”
Dia memberi isyarat kepadaku,
jadi aku tidak punya pilihan lain selain duduk di sebelah Narasaka-san. Jika kami
duduk terlalu jauh, kita harus berbicara lebih keras, yang mana hal itu akan
mengganggu orang-orang di sekitar kami. Untungnya, hanya Narasaka-san yang
duduk di meja tersebut, dan ada rak buku di antara kami serta seluruh ruangan.
“Kapan?”
“Pukul 16.20.”
“Oh, hampir. Giliranku sebelum
itu, pas jam 4 sore.”
Begitu ya, jadi dia punya
banyak waktu luang sama sepertiku. Kenapa dia tidak bersama Ayase-san? Ketika aku
bertanya tentang hal itu, dia bilang kalau Ayase-san tampaknya sudah pulang.
Dengan seberapa luangnya waktu yang kami miliki, dia pasti bisa kembali tepat
waktu. Kurasa aku bisa melakukan hal yang sama.
Tapi jika dia pulang sekarang…
Aku mencari-cari jam dinding tapi tidak menemukannya, jadi aku mengeluarkan
smartphoneku. Sekarang saja masih belum jam 1 siang… apa perlu aku pulang juga?
Jika ya… tidak, Ayase-san ada di rumah sekarang, jadi rasanya akan canggung
jika aku bergabung dengannya… dan bahkan bukan hanya dia, Akiko-san yang berada
ada di rumah sekarang, sedang tidur. Tapi dia harus segera bangun. Saat itu,
apa yang Akiko-san katakan terlintas kembali di kepalaku.
"Satu-satunya
masalah adalah jika kalian berdua tidak ada di rumah ketika waktunya
membangunkanku."
Apa Ayase-san pulang karena
alasan itu…?
“Ada apa, Asamura-kun? Apa kamu
sedang memikirkan sesuatu?”
“Ah, tidak, bukan apa-apa.”
Jika aku pulang sekarang, aku
hanya akan mengganggu tidur Akiko-san.
“Apa kamu saking cemasnya
dengan pertemuan orang tua-guru?”
“Tidak juga, tapi—”
Aku akan mengungkapkan
masalahku. Mungkin itu cuma pertanyaan jebakan darinya?
“Lebih penting lagi, kenapa
kamu tidak pulang sebentar juga, Narasaka-san?”
“Yah, kupikir sebaiknya aku
istirahat sejenak dari mengurus adik laki-lakiku.” ujarnya dan tersenyum.
Menurutnya, ibunya telah
mengambil cuti demi menghadiri pertemuan orang tua-guru, dan sekarang merawat
adik-adiknya selama dia di sekolah.
“Kedengarannya sulit.”
“Mereka semua menggemaskan, tahu?
Hanya saja, kadang-kadang, aku ingin rehat sejenak dari rutinitas itu. Tapi
lupakan hal itu.” Kata Narasaka-san. Dia meletakkan pipinya di atas meja dan
menatapku. “Asamura-kun, apa kamu menyukai Saki?”
“Tidak, aku tidak menyukainya.”
Mungkin memberikan jawaban
langsung adalah pilihan yang buruk? Narasaka-san mungkin terlihat seperti orang
planga-plongo pada saat-saat tertentu, tapi anehnya dia bisa sangat peka ketika
waktu yang benar-benar penting.
“Benarkah~?”
“Kamu tahu sendiri, kan? Kami itu
bersaudara, jadi mana mungkin hal itu bisa terjadi.”
“Tapi …”
“Tapi apa?”
“Kamu masih memanggilnya 'Ayase-san', ‘kan?”
Jantungku berdegup kencang,
walaupun aku tidak menginginkannya. Jadi itu yang dia maksud?
“Kamu bilang kalau kalian itu
bersaudara, tapi … kalian itu tidak sedarah, ‘kan? Dan kalian baru menjadi
saudara tiri baru-baru ini. Kalian jelas-jelas orang asing. Dari caraku
melihatnya, kalian berdua tampak seperti dua orang yang memendam perasaan satu
sama lain~” Rasanya seperti dia menjelaskan ini ke meja daripada kepadaku.
“Itu tidak benar sama sekali.”
“Hmm, mungkin aku terlalu
berlebihan melihatnya.” Dia menggumamkan sesuatu lagi sambil bersandar di meja.
Apakah postur itu tidak sakit?
Dia tiba-tiba mendorong dirinya ke atas, merentangkan tangannya ke
langit-langit sambil mengerang.
“Begitu rupanya~ Jadi kamu
tidak keberatan ‘kan jika aku mendukung anak cowok lain?”
“Um…?”
“Maksudku, jika ada cowok lain
yang memiliki perasaan terhadap Saki, kamu tidak masalah ‘kan bila aku
mendukung cowok tersebut dalam usahanya untuk merebut hati Saki?”
Caranya mengatakan itu membuatnya
terdengar seolah-olah ada orang yang seperti itu.
“Aku pikir kamu tidak perlu
meminta izinku untuk melakukan itu.”
“Hmm, benarkah~?” Narasaka-san
menyilangkan lengannya, dan terus mengulangi “Hmmm~” dan “Begitu ya~” yang sama
berulang-ulang.
Aku memutuskan untuk meninggalkannya
dirinya yang berkutat pada pemikirannya sendiri dan pergi mencari buku untuk
dibaca. Karena aku masih punya waktu lebih dari tiga jam, aku seharusnya bisa
membaca dua buku yang pendek. Setelah sedikit mencari, aku melihat beberapa
buku luar negeri yang lebih tua. Ada Storm's
Immensee, dengan 142 halaman, dan Ibsen's
A Doll's House, dengan 148 halaman. Aku pikir keduanya bisa menjadi pilihan
sempurna bila mengingat jumlah waktu yang aku miliki.
Dengan dua buku ini di tangan, aku
kembali ke meja. Narasaka-san sudah pergi, tapi karena tasnya masih ada di
sana, dia mungkin pergi mencari buku untuk dibaca juga. Aku duduk dan membaca
sebentar, dan dia tiba-tiba duduk di sebelahku ketika aku melihat ke atas untuk
istirahat. Kami nyaris tidak berbicara, hanya membaca buku kami dalam diam saat
kami duduk bersebelahan.
“Aku pergi dulu~”
Pada saat berikutnya aku
melihat ke atas, Narasaka-san meraih tasnya dan meninggalkan ruang
perpustakaan. Sepertinya giliran dia sudah tiba, ya? Itu artinya aku punya
waktu sekitar dua puluh menit lagi. Aku membaca halaman yang tersisa sekaligus
dan bangun dari tempat dudukku. Saat itu, smartphone-ku yang dalam mode senyap,
bergetar. Akiko-san mengirimiku pesan LINE. Bagian pertama mengatakan bahwa dia
akan segera datang, jadi aku memutuskan untuk menjemputnya di gerbang depan.
Aku mengembalikan buku-buku itu ke tempat semula dan meninggalkan gedung
perpustakaan.
Tepat pukul 16:10, Akiko-san
muncul di gerbang depan.
“Maaf sudah membuatmu menunggu,
Yuuta-kun.”
“Aku sendiri baru sampai di
sini.”
Berbeda dengan pakaian yang
biasa dia kenakan untuk bekerja, ibu tiriku kini mengenakan setelan jas yang
ketat dan tampak profesional. Penampilannya terdiri dari jaket biru tua dan
kemeja leher-U di bawahnya, dan dipasangkan dengan celana biru nila daripada
rok biasanya. Dia membawa tas tangan dua warna yang tersampir di bahunya. Kurasa
inilah yang disebut pakaian kantor kasual. Tidak terlalu formal, tapi juga
sedikit santai. Ini pertama kalinya aku melihat Akiko-san dengan pakaian
seperti itu. Aku menawarinya sepasang sandal yang disiapkan untuk para wali
yang akan menghadiri pertemuan orang tua-guru.
“Bisakah kamu mengantarku ke
sana?” tanya Akiko-san sambil berganti sandal.
“Tentu saja, sebelah sini.”
Ruang kelasku dan Ayase-san berada
di lantai dua. Aku membimbingnya ke tangga dan membawanya ke sana sambil
memberikan penjelasan singkat tentang sekolah.
“Jadi kelasmu tepat berada di
sebelah Saki, ya?”
“Ya.”
“Apa kalian tidak pernah
bertemu sebelum kalian berdua menjadi sebuah keluarga? Jika kalian sedekat ini,
kurasa kalian kadang-kadang akan bertemu satu sama lain.”
“Kemungkinan besar sih memang
begitu, tapi …”
Mengingat jadwal jam pelajaran
olahraga kami berada di jam yang sama, kemungkinan besar kami pernah bertemu
satu sama lain beberapa kali. Bahkan, kami mungkin sesekali bertemu saat
berjalan menyusuri lorong.
“…Tapi aku tidak ingat.”
“Ya ampun, sungguh pria yang
jantan. Bahkan seorang gadis cantik pun tidak bisa mencuri pandanganmu.”
“Sebenarnya tidak seperti itu.
Belum lagi hanya menatap seseorang dapat dianggap sebagai pelecehan seksual di
zaman ini.”
“Kamu terlalu khawatir tentang
segalanya. Tidak ada yang akan keberatan jika ada motif tersembunyi yang
terlibat. ”
“Apa Akiko-san bisa mengetahuinya?
Dengan sekali pandang?”
“Tentu saja.”
“Sungguh percaya diri sekali.”
Dia membuatnya terdengar sangat
gampang, padahal hampir tidak mungkin untuk dibuktikan. Hal inilah yang
membedakannya dari Ayase-san. Yah, tidak membiarkan orang merasakan tanggung
jawab apa pun terlepas dari kata-kata dan tindakannya mungkin menunjukkan yang
terbaik dari orang seperti apa Akiko-san, dan bisnis yang dia geluti. Sejenak,
aku mungkin benar-benar mempercayainya.
“Tidak apa-apa untuk merasa
percaya diri. Jika kamu salah, kamu tinggal mengatakan 'Maafkan aku' dan hal itu akan menyelesaikan semuanya. ”
“Keras kepala sampai ke
ubun-ubun …”
Aku menegur diriku sendiri
karena hampir saja memercayainya. Astaga-naga ... dia benar-benar merusak
pakaian formalnya dengan sikap seperti itu. Tapi aku tidak terlalu membencinya.
Seperti yang diharapkan, berjalan-jalan di sekolah dengan seseorang yang
tadinya asing dan sekarang berubah menjadi ibu tiri terasa sangat aneh. Namun,
pada saat yang sama, aku merasa lega karena melihatnya bertindak dengan cara yang
sama seperti di rumah.
Setiap kali ibu kandungku
datang ke sekolah denganku, dia akan bertindak sangat berbeda dari biasanya di
rumah, seakan-akan dia berubah menjadi orang yang berbeda. Sejujurnya, ketika aku
masih SD, aku pikir dia menakutkan dan mengerikan. Namun, dia mungkin punya
alasan tersendiri melakukan itu tetapi masih mempertimbangkan waktu, tempat,
dan keadaan. Karena itu, aku tidak bisa benar-benar mempercayai orang yang
mengubah kepribadian sejauh itu. Anehnya aku merasa lega melihat Akiko-san
bertingkah seperti biasanya.
“Ah, kelasku di sini.”
“Oke, terima kasih, Yuuta-kun.
Aku akan melakukan yang terbaik.”
Aku tidak bisa memahami apa
yang mendorongnya untuk bekerja keras saat melakukan pertemuan orang tua-guru,
tapi biarlah. Aku memeriksa waktu dan mengetuk pintu. Setelah jawaban dari wali
kelasku terdengar, aku pun membuka pintu kelas.
“Silahkan duduk.”
Kami dipersilahkan duduk, jadi Akiko-san
dan aku duduk di meja sambil menghadap wali kelasku. Aku pernah menghadiri
pertemuan orang tua-guru di sekolah SMP, dan juga pada kelas 1 saat masuk ke
sekolah Suisei, jadi ini bukan yang pertama bagiku. Namun, aku tidak berani
bilang kalau aku memiliki banyak pengalaman saat ada ibuku yang menemaniku,
jadi aku tidak bisa menahan perasaan gugup. Dengan lembaran angket masa depan sebagai
subjek awal, wali kelasku menjelaskan pendapat umum mereka sendiri.
Faktanya, guru wali kelasku
sebenarnya adalah seorang guru laki-laki yang tidak memiliki hal khusus yang
membuatnya menonjol, dan fakta bahwa namanya adalah 'Suzuki' membuatnya jadi orang yang gampang dilupakan.
Ngomong-ngomong, wali kelas Ayase-san adalah guru wanita dengan nama pasaran
yang sama, 'Satou.'
Topik semacam itu muncul saat
Ayase-san dan aku sedang mendiskusikan pertemuan orang tua-guru kami, dan kami
benar-benar tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui kalau guru wali kelas kami
menggunakan nama tiga besar dari nama marga paling umum di Jepang. Meski belum
ada data statistik, tapi kemungkinan besar memang begitu. (TN : Kalau di Indonesia sih kayaknya nama
pasaran kayak Budi, Rizki, Adi, dan lain sebagainya :v)
“Oleh karena itu—” perkataan
wali kelasku menyadarkanku kembali ke dunia nyata.
Aku biasanya tidak terlalu
mendengarkan kesan guru mengenai diriku, itulah sebabnya aku membiarkannya
masuk ke kuping kanan dan keluar ke kuping kiri, tapi sepertinya ini berkaitan
dengan rencna masa depanku.
“Jika Yuuta-kun terus
memepertahan usahanya sejauh ini, ada kemungkinan besar Ia bisa lulus ujian
masuk ke universitas terkenal di Tokyo.”
Evaluasi positif tersebut
benar-benar mengejutkanku. Saat aku melirik ke samping, aku melihat ekspresi
Akiko-san yang berbinar. Dia pasti merasa bahagia, aku yakin. Namun,
ekspresinya membeku segera setelah itu.
“Ini pasti karena didikan Anda
yang penuh perhatian—” Suzuki-sensei mengucapkan pujian yang biasa Ia katakan
untuk orang tua, tapi Ia terlambat mengingat bahwa ayahku baru saja menikah
dengan Akiko-san.
Tanpa ragu sedikit pun, aku
langsung menimpali ucapan beliau.
“Ya, saya sangat berterima
kasih padanya.”
Aku mengucapkan kata-kata ini
dengan sejujur mungkin sambil melakukan kontak mata dengan wali kelasku, jadi
aku tidak dapat memeriksa ekspresi seperti apa yang dibuat Akiko-san. Namun,
dari sudut mataku, aku mungkin bisa melihat matanya melebar karena terkejut.
Suzuki-sensei ragu-ragu sejenak, tapi pada akhirnya melanjutkan dengan
pernyataan sebelumnya, mengatakan bahwa jika aku bisa terus mempertahankan
nilaiku yang sekarang, aku pasti bisa lulus ujian masuk di universitas mana pun
yang aku mau.
Setelah mengucapkan salam
perpisahan kepada guru wali kelasku, Akiko-san dan aku meninggalkan kelas.
Pasangan orang tua dan anak untuk giliran berikutnya sudah menunggu di luar.
Mereka melewati kami dan menutup pintu kelas. Sepertinya kami menggunakan semua
waktu yang kami miliki. Saat melihat waktu, sekarang sudah pukul 16:38. Tinggal
dua menit tersisa.
“Ruang kelas Ayase-san ada di
sini.”
“Aku harus cepat! Dan, terima
kasih barusan, Yuuta-kun. Aku sangat senang sekali kamu menerimaku seperti itu
sampai hampir membuatku terharu.”
Karena dia mengatakan itu
dengan senyum cerah, aku merasakan hatiku sendiri menghangat. Orang ini sangat
senang karena beberapa patah kata dariku?
“Aku sangat senang!”
“He-Hei, jangan tarik
lenganku."
Aku tidak berpikir dia akan
langsung memelukku pada saat itu juga. Namun, aku paling terkejut pada diriku
sendiri, karena tidak membenci sedikit pun pada sensasi nyaman ini. Meskipun
aku hanya menjadi 'putra Asamura Taichi' di matanya, aku dipaksa untuk
menyadari bahwa dia telah menerimaku sebagai bagian dari keluarganya sejak kami
bertemu. Aku tidak ingat kapan terakhir kali ibu kandungku memelukku seperti
ini, jika pernah. Setidaknya, tidak setelah aku cukup besar untuk mengingatnya.
Tapi setidaknya, aku akhirnya bisa tersenyum seperti ini sebagai remaja dewasa.
Ya, aku merasa senang Ayahku memutuskan untuk menikahi orang ini.
Setelah berjalan sebentar, kami
mencapai kelas berikutnya, tapi tidak ada orang yang duduk di kursi tunggu. Aku
sedikit bingung, tapi kemudian aku melihat Ayase-san berjalan ke arah kami dari
arah loker sepatu. Akiko-san memanggilnya sembari berjalan mendekat. Tepat saat
aku melewati mereka berdua yang akan memasuki kelas, Ayase-san berbalik ke
arahku. Untuk sesaat, aku tidak yakin harus berkata apa. Mungkin aku harus
mengatakan sesuatu?
“Semoga berhasil dengan
pertemuan orang tua-gurunya.” Hanya itu satu-satunya kata yang bisa aku ucapkan.
“Yup. Sampai jumpa lagi,
Nii-san.” balasnya dan memasuki kelas bersama Akiko-san.
Sekarang—Karena semua rencanaku
untuk hari ini sudah selesai, dan karena aku tidak punya giliran kerja…
“Kurasa aku akan pulang dulu
dan bersantai sebentar.”
Aku mulai berjalan menuju loker
sepatu, tetapi tepat ketika aku melewati tikungan, ada seseorang yang memanggil
namaku saat aku mencapai tangga. Aku mengangkat kepalaku. Ia adalah seorang
cowok yang mengenakan pakaian tenis dan dengan raket tenis di tangannya.
“Kamu Asamura-kun, kan?”
“…Ya?”
Ia siapa? Aku merasa seperti pernah
melihat wajahnya sebelumnya.
“Kamu tidak ingat? Ini aku,
Shinjou Keisuke.”
Ketika aku mendengar namanya, aku
akhirnya ingat.
“Ah, dari kelompok musim panas
lalu.”
“Ya. ya.”
Ia adalah salah satu orang yang
pergi bersama kami ke kolam renang, salah satu teman sekelas Ayase-san dan
Narasaka-san. Berkat pengenalan khusus Narasaka-san saat itu, aku langsung
mengingatnya begitu mendengar namanya.
“Pertama-tama, izinkan aku
meminta maaf dulu. Aku tidak bermaksud menguping atau semacamnya.”
“Hah?” Aku memiringkan kepalaku
dengan bingung.
“Sebenarnya, habis ini adalah
giliranku untuk pertemuan orang tua-guru, itu sebabnya aku meninggalkan
kegiatan klub beberapa menit yang lalu. Lalu, ketika aku datang ke sini—”
Ahh, apa ini seperti yang aku
pikirkan?
“Wanita itu, yang aku asumsikan
sebagai ibumu, meninggalkan pertemuan denganmu, dan sekarang dia pergi bersama
Ayase-san ke ruang kelasnya… Sebenarnya, apa artinya ini?”
Untuk sesaat, aku mendapati diriku
tidak mau memberitahunya. Tapi kemudian aku ingat senyum gembira Akiko-san
tadi. Aku benar-benar tidak boleh menyangkalnya di sini, ya?
“Kami berdua bersaudara. Walau
kami tidak begitu mengumbarnya.”
“Hah? Tapi, namamu Asamura, dan dia…”
Ia mungkin kebingungan mengapa
nama keluarga kami berbeda.
“Orang tua kami menikah lagi.”
“Jadi artinya…?”
“Karena ini baru terjadi
belakangan ini. Itu sebabnya, gampangnya, Ayase-san adalah adik tiriku.” Saat
aku menyelesaikan kata-kata itu, sensasi getir memenuhi mulutku.
“Begitu rupanya, aku tadinya
sempat mengira kamu itu—”
Memangnya Ia mengira aku ini
apa?
“Pokoknya aku harus pergi.”
Dalam perjalanan pulang, sambil
mengayuh sepeda, aku merenungkan semuanya. Di satu sisi, aku merasakan
kehangatan senyum Akiko-san memenuhi dadaku, tapi di sisi lain, mulutku masih
terasa getir karena harus mengakui bahwa Ayase-san adalah adik tiriku. Aku
merenungkan tentang mereka berdua untuk sementara waktu setelah itu.