Chapter 08 — 25 September (Jumat) Ayase Saki
Aku berpapasan dengan Maaya di
dekat loker sepatu.
“Saki~ aku pulang duluan ya~
Sampai jumpa lagi!”
“…Apa yang kamu bicarakan? Jadi
kamu dalam perjalanan pulang?”
“Yup, meski aku tidak langsung
pulang. Aku ingin menikmati kebebasanku sedikit lebih lama lagi~”
Oh ya, dia pernah mengatakan
kalau dia tidak perlu mengurus adik laki-lakinya hari ini, itulah sebabnya dia
tidak langsung pulang dengan orang tuanya setelah pertemuan orang tua-guru.
“Jadi, kamu sudah selesai
dengan pertemuannya, ya?”
“Selanjutnya giliranmu, ‘kan?
Apa ibumu sudah ada di sini?”
“Seharusnya sih sudah. Dia juga
mengurus pertemuan Asamura-kun.” Ketika aku menyelesaikan ucapanku, Maaya
membuat ekspresi yang agak rumit.
“Ah, itu mengingatkanku, aku
bertemu dengan Asamura-kun di perpustakaan.”
“Benarkah?”
Jadi Ia menunggu di sana sampai
pertemuannya dimulai. Ia memang sangat menyukai buku, sih.
“Ya. Ia membaca begitu cepat
juga. Aku baru menyelesaikan setengah buku, tapi Ia sudah hampir menyelesaikan
dua jilid buku. Ia membaca dengan kecepatan cahaya!”
Jadi maksudmu Ia membaca dengan
kecepatan 300.000 km/s, ya? Itu tidak masuk akal. Aku tersenyum masam dan hanya
mengangguk padanya.
“Ia sangat luar biasa.”
“Ya, ya. Aku tau.”
Meski aku tahu bahwa Maaya
mengatakannya dengan santai, mendengarnya memuji Asamura-kun sampai tingkat
seperti itu hampir membuatku bahagia. Butuh banyak usaha supaya aku tidak
menyunggingkan bibirku karena merasa senang.
“Pokoknya, aku akan pergi
sekarang. Pertemuanmu akan segera dimulai, ‘kan?”
Aku memeriksa waktu. Memang,
waktunya tersisa lima menit lagi.
“Sampai jumpa~ bye bye~”
“Ya, sampai jumpa.” Aku
berpisah dengan Maaya dan bergegas menuju kelas.
Aku pulang ke rumah dulu karena
berpikir aku masih punya banyak waktu, tapi akan sangat memalukan jika aku
berakhir terlambat. Belum lagi bahwa tidak ada gunanya membangunkan Ibu kalau
aku sendiri datang terlambat. Aku bergegas menaiki tangga, berbelok di
tikungan, dan pada saat itu juga, aku melihat Asamura-kun dan Ibu berjalan
keluar kelas. Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu, tapi aku terlalu
jauh untuk mendengar bagian mana pun dari percakapan mereka. Yang aku tahu
ialah Ibu terlihat sangat bahagia, yang juga membuatku ikutan merasa senang.
Setiap kali dia menunjukkan
wajah seperti itu, dia benar-benar merasa senang dari lubuk hatinya. Ketika aku
diterima di SMA Suisei, dia membuat ekspresi yang sama. Asamura-kun benar-benar
luar biasa. Aku merasa bersyukur Ia yang menjadi kakak laki-lakiku—Tapi tunggu
dulu, kenapa Ibu tiba-tiba memeluk Asamura-kun seperti itu? Meksi kamu adalah
ibu dan anak, kamu tidak boleh melakukan
skinship yang berlebihan, bukan? Aku sedikit panik, tetapi kemudian aku
ingat bahwa Ibu adalah tipe orang yang akan segera memelukku tentang segala hal
juga. Yah, kami berdia ibu dan anak, jadi ini normal ... mungkin. Dia menyadari
kalau aku telah tiba dan berlari mendekatiku. Ada poster tepat di sebelah kami
yang bertuliskan 'Jangan lari di lorong!'
tapi begitulah cara kami dipersatukan kembali.
Tepat setelah pertemuan
dimulai, guru wali kelasku, Satou-sensei mulai menjelaskan sesuatu bahkan sebelum
kami sampai pada lembaran angket.
“Jika boleh jujur, saat saya
pertama kali melihatnya, saya sedikit khawatir dengan putri anda, Saki-san.”
Satou-sensei adalah tipe guru yang berbicara terus terang, dan dengan sangat
jelas menyatakan bahwa dia mengkhawatirkan penampilanku serta gosip mengenai
diriku.
Daripada bertele-tele, aku
lebih suka orang yang menjelaskan langsung ke intinya. Namun, aku sedikit
penasaran, bagaimana perasaan Ibu tentang ini? Sambil mendengarkan penjelasan
Satou-sensei, aku melirik ke arahnya. Dia duduk diam dengan punggung lurus,
mendengarkan setiap kata yang Satou-sensei katakan.
“Namun—saya mengubah pendapat
saya sehubungan dengan itu.” Tanpa sadar aku mengangkat kepalaku, menatap guru
wali kelasku. “Baru-baru ini, nilai-nilainya dalam bahasa Jepang, yang
sebelumnya tidak dia kuasai, telah naik, dan mengenai gosipnya juga telah mereda.
Mengenai fashionnya, saya memang harus menegurnya, tapi saya juga mengerti
keinginan untuk berdandan.”
Ibu mengangguk dengan
berlebihan.
“Saya ingin dia tetap menikmati
waktunya sebagai murid SMA, jadi saya akan senang jika anda bisa menjaganya
sebagai ibunya.”
“Saya akan menjaganya dengan
semua yang kumiliki.” Dia menyatakan dengan nada percaya diri, dan kemudian
terdiam sekali lagi.
Satou-sensei menatap mata Ibu
sejenak, mengangguk, dan kemudian membuka lembaran angket masa depan yang sudah
aku isi.
“Kalau begitu, saya ingin
berbicara tentang universitas pilihan Saki-san.”
Mempertimbangkan nilai dari
semester pertama, dan tergantung pada peningkatan nilaiku dalam bahasa Jepang,
Satou-sensei mengatakan bahwa jika aku terus bekerja keras seperti yang sudah aku
lakukan sejauh ini, aku mungkin bisa masuk ke universitas pilihanku. Dia bahkan
menawarkan nama perguruan tinggi yang diketahui setiap siswa di Jepang.
“Saya akan menyerahkan pilihan
itu kepada putri saya sendiri.” Ujar Ibu dan melirikku seolah-olah dia ingin
aku mengambil alih pembicaraan.
Satou-sensei juga mengarahkan
matanya ke arahku. Itu membuatku merasa sedikit tegang.
“Saya … ingin kuliah di
universitas yang mempunyai biaya studi semurah mungkin, dan universitas yang
memprioritaskan mencari pekerjaan.”
Ibu memandangku dengan tatapan 'Apa kamu yakin tentang itu?', tapi ini
adalah sesuatu yang sudah aku putuskan. Tentu, aku mungkin bisa memasuki tempat
di fasilitas penelitian atau sesuatu yang serupa, tapi aku tidak punya apa pun
yang benar-benar ingin aku lakukan saat ini. Jika demikian, maka aku tidak
harus pergi ke universitas yang mahal, yang hanya akan memberi lebih banyak
beban pada Ibu. Namun, memikirkan pekerjaan masa depanku, asal-asalan memilih
kampus juga tidak bisa ditolerir.
“Lalu…” Satou-sensei dengan
lembut mengetuk salah satu ujung penanya di atas meja dan melanjutkan.
“Bagaimana dengan Universitas Wanita Tsukinomiya?”
“Tsukinomiya?”
Sebuah universitas wanita yang
agak terkenal di dalam wilayah metropolitan Tokyo. Pada dasarnya semua orang
tahu namanya, dan aku pikir itu tempat yang cukup terkenal.
“Jika kamu mempertahankan nilaimu
saat ini, kamu seharusnya bisa diterima. Mereka menjaga ikatan yang kuat dengan
para alumni, mereka memprioritaskan pekerjaan di atas segalanya, dan karena ini
adalah universitas negeri, biayanya juga cukup mudah diatur. Mereka memiliki
beasiswa yang dibayar penuh oleh pemerintah, dan juga memiliki beberapa pilihan
pinjaman mahasiswa tanpa bunga. Aku pikir itu akan sangat cocok untukmu. ”
“Hah… saya tidak pernah
memikirkan hal itu.”
Aku tidak menyangka dia akan
membicarakan Tsukinomiya. Namun, dia memberiku senyum tipis, menyebutkan bahwa
mereka akan mengadakan kampus terbuka Sabtu ini.
“Kampus terbuka…”
“Mungkin ada baiknya kamu
mencari tahu seperti apa universitas itu.”
“Benar … juga.”
Jika diadakan pada hari Sabtu,
maka aku mungkin bisa menghadirinya.
'Itulah
sebabnya kamu perlu memaksakan diri untuk berjalan maju!'
Perkataan Maaya masih
terngiang-ngiang di dalam kepalaku seperti pawai tanpa akhir. Melakukan sesuatu
yang baru dan menggeluti ke dalamnya. Untuk melupakan perasaan yang kumiliki pada
Asamura-kun, dan juga demi membuat sesuatu yang baik dari hidupku. Besok. Aku
benar-benar harus memeriksa kampus terbuka itu. Pertemuan orang tua-guru pun berakhir
dengan lancar, dan aku berjalan keluar kelas. Saat itulah aku memutuskan.
“Jika dia terlalu menahan
keinginannya, dia bisa-bisa akan meledak ...”
Dalam perjalanan keluar kelas,
Ibu menggumamkan sesuatu, tapi aku memutuskan untuk mengabaikannya.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya