Chapter 13 — 28 September (Senin) Asamura Yuuta
Suara gemuruh AC jauh lebih
tenang dari kemarin. Mungkin karena suhu yang turun dari hari ke hari, tapi
pada saat aku benar-benar memperhatikan perubahan musim, sepertinya itu selalu
terjadi pada satu hari. Senin itu, Ayahku meninggalkan rumah lebih awal dari
biasanya. Ia masih memiliki pekerjaan menunmpuk yang menunggunya, jadi Ia
berangkat lebih awal bahkan tanpa sarapan. Akiko-san sendiri belum pulang
kerja, yang berarti hanya ada Ayase-san dan aku. Dengan ekspektasi tinggi, aku
membuka rice cooker pagi itu dan
mengeluarkan suara kekaguman.
“Wah, kelihatannya enak.”
Aroma harum yang menggelitik
hidung melayang ke udara, dan aku bisa melihat mutiara kuning kecil berenang di
lautan nasi putih. Jangan-jangan pecahan kuning kecil ini ialah…?
“Kita akan makan nasi kastanye
hari ini.” Ayase-san berbalik sambil menghangatkan sup miso.
“Kastanye … Begitu ya, sekarang
sudah musimnya.”
Hal ini merupakan satu lagi
perubahan kecil tapi signifikan. Perubahan semacam ini semakin menumpuk, dan
memengaruhi persepsimu hingga akhirnya kamu menyadari bahwa musim telah
berubah.
“Aku sedang berpikir untuk
sarapan bersama hari ini. Gimana?”
“Tidak masalah.”
Karena rasanya Ayase-san sering
menghindariku akhir-akhir ini, aku terkejut mendengar jawaban itu. Namun, aku
juga merasakan hal yang sama, jadi aku sangat senang. Belum lagi ada sesuatu
yang ingin aku bicarakan dengannya. Jadi kami menyiapkan segalanya untuk
sarapan pertama kami bersama setelah jeda panjang dan menyatukan tangan kami.
“Oh iya, aku juga membeli
kacang ginkgo dan jamur shiitake.”
“Kacang ginkgo dan jamur shiitake?
Apa kamu ingin membuat chawanmushi?
“Benar. Karena pagi ini lumayan
sibuk, jadi aku tidak punya waktu untuk merebusnya, tapi kurasa aku akan
membuatnya untuk makan malam nanti.”
“Kedengarannya bagus.”
Percakapan acuh tak acuh tapi
menyenangkan ini dimulai, dan kami mulai berbicara tentang semua yang terjadi
baru-baru ini, hampir seolah-olah untuk menebus kurangnya percakapan yang kami
lakukan selama sebulan terakhir.
“Oh ya, kamu bilang kalau kamu
makan di suatu tempat dengan seseorang kemarin, kan?”
“Ya, di sebuah restoran Italia.
Harganya murah dan terjangkau, seperti yang dikatakan semua orang.” balasku,
dan mengajukan pertanyaan sendiri. “Itu mengingatkanku, kupikir aku melihatmu
kemarin, Ayase-san. Aku pikir kamu sedang berbelanja di minimarket? ”
“Eh?” Mata Ayase-san terbuka
lebar. “Ah, sekarang setelah kamu mengungkitnya, aku melihat restoran ritel
Italia di seberang jalan. Kamu sedang makan di sana, ya?”
“Jadi itu beneran kamu,
Ayase-san. Aku pikir aku cuma salah orang. Kupikir kamu bersama salah satu
teman sekelasmu. ”
“Mungkin saat kita sedang
berbelanja. Namanya Shinjou-kun. Ia salah satu anggota kelompok belajar kami.
Ia juga bersama kita saat pergi ke kolam renang musim panas lalu.”
Begitu mendengar namanya, aku
teringat sesuatu. Ia adalah orang yang memanggilku setelah pertemuan orang
tua-guru berakhir. Cowok yang membawa raket tenis. Perasaan gelisah yang samar
memenuhi hatiku. Meski aku tidak punya hak untuk merasa seperti ini, aku tidak
bisa melawannya.
“Kami tidak mempunyai makanan
untuk makan siang, atau cemilan. Kami juga tidak bisa membuat sesuatu di rumah
dengan jumlah orang yang kami miliki.”
“Ahh, jadi itu sebabnya.”
“Ya. Aku sebenarnya berencana
pergi sendiri, tapi pada akhirnya, Shinjou-kun banyak membantuku sambil ikut.”
Jadi begitu. Itu jadi
menjelaskan banyak hal.
“Boleh aku menanyakan sesuatu
padamu juga?”
“Tentu, silakan.”
“Kemarin, kamu pulang cukup
larut malam, ‘kan? Kamu memang sudah mengirim pesan akan pulang terlambat.Tapi
sebenarnya, kamu pergi ke mana? ”
Aku merasa sedikit aneh
sekaligus kaget ketika Ayase-san akan menanyakan itu kepadaku.
“Setelah giliran kerjaku
selesai, aku berjalan-jalan di sekitaran Shibuya.”
“berjalan-jalan? Dengan
Yomiuri-san?”
“Tidak, bukan dengannya. Kami
berdua makan siang bersama, dan dia kemudian mengajakku jalan untuk malam itu—”
“Tunggu.”
Aku menutup mulutku.
“Orang itu… dia seorang gadis?”
“Hah…?”
Bagian itu yang kamu tanyakan?
“Yah begitulah.”
“Hmm… begitu. Jadi?”
Untuk beberapa alasan,
Ayase-san terdengar sedikit gelisah. Tapi lagi-lagi, mungkin hanya aku saja yang
menafsirkan reaksi itu dengan cara yang paling nyaman bagiku. Ketika aku
memikirkan hal itu, pikiranku sekali lagi melayang ke arah pemikiran itu.
‘Aku
takkan mengharapkan apapun darimu, jadi aku ingin kamu melakukan hal yang sama
padaku."
Makna di balik ekspresi menyelidik
Ayase-san saat itu... Apa dia benar-benar tidak mengharapkan apapun? Dan pertanyaan
itu juga berlaku untukku. Karena pada kenyataannya—aku mengharapkan sesuatu
darinya. Berharap dia akan menunjukkan emosi khusus yang hanya ditujukan
padaku.
“Jadi aku sudah memikirkan
banyak hal.”
Kali ini, apa yang Fujinami-san
katakan kembali muncul di pikiranku.
‘Itu
sebabnya aku berpikir kalau kamu tidak perlu membohongi dirimu sendiri.
Kebohongan takkan bisa berlangsung selamanya.'
Emosi yang tumbuh jauh di dalam
dadaku ini takkan hilang. Jika memang begitu, maka—
“Aku ingin kita menyesuaikan
diri satu sama lain.” Aku menyatakan dengan tekad dalam suaraku.
“Sehubungan dengan apa?”
“Kamu tahu, aku…kepadamu,
Ayase-san, aku…memendam perasaan khusus ini di hatiku, sepertinya aku
menyukaimu.”
Saat kalimat tersebut keluar
dari mulutku, aku merasakan penyesalan yang tersisa di dadaku. Namun, begitu aku
mengucapkan itu, aku tidak dapat menariknya kembali. Aku mungkin sudah bertekad,
tepi penyesalan akan selalu menyertai keputusan apa pun yang dibuat. Meski
begitu, saat kata-kataku terdengar di telinga Ayase-san, ekspresinya segera berubah
drastis.
“Ap… Hah? Um… tunggu… kamu
pasti bohong.”
“Aku tidak berbohong sama
sekali.”
“…Apa ini semacam lelucon?”
“Mana mungkin aku bercanda
tentang hal semacam ini.”
“Ya benar juga. Kamu bukan tipe
orang yang akan mengatakan hal semacam ini, Asamura-kun.”
Ah.
“Tunggu, kamu barusan—”
“Eh? Ah—” Ayase-san segera menutup
mulutnya.
“Tidak, sudahlah, itu tidak
penting sekarang,” kataku.
"Kamu benar. Jadi, ini,
yah… emosi.” Dia mendesakku untuk melanjutkan.
“Kurasa … aku menyukaimu.”
Mata Ayase-san terbuka lebar.
Bibirnya akan membentuk senyuman, tapi dia dengan cepat menutupnya kembali.
“Apa itu jenis emosi yang
dimiliki seorang pria terhadap seorang wanita? Atau sesuatu yang kamu rasakan
sebagai kakak terhadap adik perempuanmu?”
Aku tak menyangka dia akan
menjawab pengakuanku dengan sebuah pertanyaan.
“Apa?”
“Misalnya ingin menyentuh,
ingin memeluk, merasa cemburu ketika melihatku dengan orang lain, apa kamu
merasakan emosi semacam itu?”
Aku mengangguk. Bagaimanapun
juga, hal tersebut dengan sempurna menggambarkan bagaimana perasaanku. Aku
menyadarinya musim panas lalu, dan aku berpikir 'Ah, aku menyukainya.' Aku tidak ingin mempercayai bahwa aku bisa
merasakan hal semacam ini terhadap adik perempuanku. Dan kemarin, ketika aku
melihatnya dengan cowok lain, aku dipenuhi dengan emosi jahat dan aneh ini.
Jika bukan cemburu, memangnya ada sebutan lain dari emosi ini? Itu sebabnya aku
yakin perasaan yang aku miliki ini tidak ditujukan padanya sebagai adik
perempuanku, tetapi sebagai lawan jenis. Itulah yang aku katakan padanya.
“Tapi mana mungkin emosi
seperti ini akan tumbuh di antara saudara, kan?”
Kali ini, aku tidak bisa
membantahnya. Tetapi pada saat yang sama, aku ingat sesuatu. Aku ingat
Akiko-san, ibu Ayase-san, pada pertemuan orang tua-guru. Dia begitu gembira
setelah mendengar apa yang aku katakan sehingga dia memelukku dengan penuh
semangat. Apakah itu sesuatu yang normal bagi keluarga Ayase?
“Tidak tidak tidak, tunggu
sebentar, Ayase-san.”
“Baru beberapa hari yang lalu, aku
diberitahu tentang hal ini s… Ketika dua orang dari lawan jenis tiba-tiba hidup
bersama, dan jika mereka berdua tidak memiliki banyak pengalaman dengan lawan
jenis, saat mereka lebih banyak berinteraksi satu sama lain, sangat mudah untuk
mengembangkan sesuatu yang menyerupai perasaan romantis, tahu.”
Aku mulai berpikir. Pada
dasarnya, karena aku tidak pernah puas selama hidup dengan ibu kandungku, aku
akan segera mengembangkan sesuatu yang dekat dengan perasaan romantis saat aku
tinggal dengan seorang wanita?
“Tidak, tapi, mana mungkin
sesuatu yang begitu bisa terjadi, ‘kan?”
“Tapi itu bukannya mustahil.”
“Itu benar, tapi…”
“Bagaimana dengan kemungkinan
kasih sayangmu pada adik perempuanmu semakin kuat?”
Tidak, itu tidak mungkin… itu
mustahil, kan? Namun… Ketika Ayase-san mengatakannya dengan keyakinan seperti
itu, tekad dan kepastian yang kumiliki sampai sekarang mulai terasa goyah.
“Jika demikian… maka aku
sendiri tidak bisa mengatakan dengan pasti.”
Aku sendiri yakin bahwa aku
tidak terlalu mengenal emosi semacam ini. Jujur saja, percaya diri dalam tidak
percaya diri tentu terdengar menyedihkan. Akhirnya, ekspresi Ayase-san berubah,
dan dia mengalihkan pandangannya. Setelah itu, tidak ada percakapan yang
muncul, dan kami melanjutkan sarapan dalam keheningan yang canggung.
Selama sebulan terakhir ini, aku
terus mengalihkan pandanganku dari emosi ini. Karena aku… kakak Ayase-san. Aku
mencoba berbicara dengan orang lain, gadis-gadis lain, melihat sisi baik
tentang mereka. Tapi pada akhirnya… emosi yang kumiliki untuk Ayase-san ini
adalah sesuatu yang berbeda, sesuatu… yang spesial. tapi dia mengatakan bahwa
emosi ini mungkin hanya sesuatu yang aku rasakan sebagai kakak laki-lakinya?
Setelah kami selesai sarapan,
Ayase-san dengan cepat membersihkan piringnya dan bersiap untuk berangkat ke
sekolah seperti biasa. Aku pun mengejarnya. Jika dibiarkan terus, kejadian yang
sama yang aualami selama sebulan terakhir ini akan berulang. Aku bergegas
menghampiri Ayase-san, yang sedang mengganti sepatunya di pintu depan. Setelah
dia selesai dengan itu, dia berdiri dan berhenti bergerak sama sekali.
“Ayase-san.”
“Kamu tahu,” kata Ayase-san,
punggungnya masih menghadap ke arahku. “Aku
tidak membencinya.”
Hah?
Apa maksudmu dengan itu—aku ingin bertanya, tapi bahkan sebelum
aku bisa membuka mulut, Ayase-san berbalik ke arahku. Sepatu yang baru saja dia
pakai segera terlempar begitu saja, dan dia meraih tanganku, menarikku dengan
kekuatan yang takkan kamu duga dari lengan rampingnya. Kewalahan oleh
dorongannya yang tiba-tiba dan tak terduga ini, aku hanya bisa mengikutinya
saat dia menyeretku ke kamarnya. Dia lalu menutup pintu kamarnya, menguncinya,
dan memastikan bahwa semua tirai di jendela juga ditutup, dan kemudian berbalik
ke arahku lagi—
“Hah?”
Waktu— seakan berhenti. Butuh beberapa saat bagi otakku untuk sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi dan apa yang sudah dia lakukan padaku. Kata pertama yang memenuhi kepalaku: Hangat. Dan kemudian, aku bahkan tidak tahu bagaimana menggambarkannya, tapi apa yang muncul di benakku selanjutnya adalah kata sederhana yang hampir membuatku tersenyum—aku merasakan kebahagiaan.
Sensasi tubuh kami yang saling
bersentuhan, tumpang tindih, berbagi, dan melebur kehangatan satu sama lain
menjadi satu. Lengannya meremasku erat-erat, saat mereka melingkari punggungku.
Meski tindakan seperti itu melambangkan pembatasan, yang kami berdua anggap
hina, sekarang membuatku merasa senang bahwa aku dibutuhkan olehnya, dan aku
sendiri akan melingkarkan lenganku di punggungnya, mengembalikan emosiku.
Namun, dia sudah menjauh dariku pada saat itu.
“Apa itu sudah ... menenangkanmu?”
“Hah?”
“Terima kasih sudah begitu
berani, Asamura-kun. Jika aku harus memikirkan semua itu, sendirian, aku bahkan
takkan pernah tahu betapa menyakitkannya itu... Tapi kamu menanggung sesuatu
yang begitu berat.”
“Itu ... benar, kurasa.”
“Tapi, jangan khawatir. Kupikir
aku bisa berbagi beban itu denganmu. ”
Kenyataannya, sebelum
kebahagiaan muncul, aku hanya merasa lega. Pengakuanku bisa saja menjadi
penyebab hubungan kami benar-benar hancur. Bukannya aku memiliki sifat menawan
tertentu, dan aku tidak sepopuler cowok bernama Shinjou itu. Kami juga terikat
oleh situasi keluarga kami. Sudah ada kemungkinan pasti bahwa aku bisa kehilangan
segalanya dengan pengakuan itu. Karena itulah pelukan dari Ayase-san sekarang
terasa seperti pembenaran, atau stempel persetujuan.
“Emosi yang kamu sebutkan ini,
bahkan jika itu dari sudut pandang kakak laki-laki, atau apa pun di luar itu,
aku tidak membencinya sama sekali. Justru, aku merasa senang.”
“Ayase-san, apa kamu—?”
“Aku tidak tahu. Apa aku merasa
seperti ini karena kita bersaudara, atau bukan?”
“Ayase-san…”
“Tapi, keinginanku untuk
meyakinkanmu dengan pelukan ini adalah nyata. Karena aku akan senang jika
seseorang memelukku ketika aku sedang melalui masa-masa sulit. Tanpa memberi
label khusus padanya, hanya dengan menyatakan perasaanku, itu saja.”
“…Ya.”
Aku mungkin sama.
“Mari kita sesuaikan seperti
biasanya. Aku tidak ingin menyusahkan orang tua kita. Kamu juga merasakan hal
yang sama, ‘kan, Asamura-kun?”
“Ya. Aku ingin mereka berdua
bahagia karena mereka pantas mendapatkannya.”
“Mengikuti jalan pemikiran itu,
jika kamu dekat dengan gadis lain, aku akan merasa cemburu dan murung. Bagaimana
dengan itu?”
“Aku juga sama. Aku tidak ingin
mengekangmu, tetapi aku tidak terlalu suka dengan kelompok belajar bersama
itu.”
“Mengerti. Begitu juga denganku.
Aku tidak suka saat membayangkanmu berjalan-jalan di Shibuya dengan gadis yang
baru saja kamu sebutkan tadi.”
“Maaf.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf.
Kita berdua memiliki hubungan masing-masing yang ingin kita jaga… Jadi, kamu
tahu. Kecemburuan ini, aku pikir sangat mungkin ada di antara kakak beradik
yang normal. ”
“…Mungkin.”
Perlahan aku mulai memahami apa
yang dia maksud.
“Jika kita tiba-tiba mengatakan
bahwa kita berdua ingin berpacaran, aku yakin kalau kita akan mengejutkan orang
tua kita. Itu sebabnya, aku akan tetap memanggilmu dengan panggilan 'Asamura-kun' seperti biasa, dan di
depan mereka, aku akan memanggilmu 'Nii-san'—Jadi
kita hanya saudara… Tidak, kurasa kurang tepat.” Ayase-san menggelengkan
kepalanya. “Sebagai saudara tiri yang memiliki jarak yang sangat dekat, dan secara
bertahap tumbuh lebih dekat … bagaimana kedengarannya?”
“Jadi kita akan menyembunyikannya
dari orang tua kita?”
“…Ini bukan sesuatu yang harus
kita lakukan. Aku tahu itu.”
Menanggung sesuatu yang bisa
menjadi perasaan romantis dan saling berpelukan… Saat kami melakukan sesuatu
yang tidak dapat kami tunjukkan kepada orang tua kami, kami telah menyimpang
dari jalan yang benar. Namun, jika aku ingin tetap berada di jalan yang benar, aku
takkan bisa jujur dengan perasaan aku yang
sebenarnya. Satu-satunya cara untuk memecahkan dilema ini adalah menerima
kenyataan bahwa kita berdua salah, dan masih terus mendorong keinginan kita
sendiri.
“Tidak peduli apapun bentuknya,
bisa mengetahui bahwa kamu mau menerimaku seperti ini saja sudah membuatku
merasakan kebahagiaan lebih dari yang bisa kuminta.”
“…Aku pun sama.”
Sekali lagi, keseharian bersama
saudara tiriku berubah bentuk, dan dipenuhi dengan kerahasiaan dengan dalih
untuk memperpanjang hubungan kami sebagai saudara. Sejujurnya, aku tidak bisa
merasa yakin bahwa kami mampu mempertahankan hubungan ini terlalu lama. Saat
ini, aku sudah merasa puas hanya dengan satu pelukan ini, tapi begitu emosi ini
tumbuh lebih kuat, aku tidak tahu seberapa jauh hubungan kami, dan seberapa
baik aku dalam menahannya.
Saat kami meninggalkan
apartemen, hembusan angin musim gugur yang dingin langsung bertiup ke arah
kami, menandakan dimulainya musim baru. Namun, aku merasa tidak perlu
mengenakan pakaian hangat dan melindungi diri dari hawa dingin ini, karena hati
dan setiap bagian tubuhku dipenuhi dengan kehangatan yang menyenangkan.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya