Gimai Seikatsu Vol.4 Chapter 12 Bahasa Indonesia

Chapter 10 — 27 September (Minggu) Ayase Saki

 

“Sakiii~! Sebelah sini~!”

Aku berjalan melewati gerbang tiket menuju Maaya berada saat dia melambaikan tangannya ke arahku. Dia dikelilingi oleh beberapa teman sekelas kami. Aku mungkin sebenarnya yang terakhir tiba, jadi aku mempercepat langkahku sedikit. Sambil berjalan ke sana, aku menghitung jumlah orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan, termasuk Maaya. Jika menghidutng diriku, totalnya jadi ada enam orang. Kurasa aku benar-benar yang terakhir datang.

“Maaf, apa aku sudah membuatmu menunggu lama?”

“Tidak juga kok! Masih ada waktu tersisa sampai waktu seharusnya bertemu!” Maaya berkata sambil tersenyum, tapi aku tidak yakin apakah aku bisa menerimanya begitu saja.

Sesi kelompok belajar hari ini akan berlangsung di rumah Maaya. Dia tampaknya tinggal di sebuah apartemen terdekat, tapi jarang sekali ada orang yang mengunjunginya. Adik laki-lakinya selalu ada, dan dia harus menjaga mereka. Bahkan jika dia meminta temannya untuk mampir, dia akan dipaksa untuk mengurus adik laki-lakinya. Namun, karena hari ini orang tuanya membawa adik laki-lakinya, dia bisa menggunakan ruang tamu dengan bebas, dan menawarkan untuk mengadakan sesi belajar di sana. Setelah berjalan menjauh dari stasiun kereta dan berjalan sedikit, kami dengan cepat mencapai apartemen Maaya.

“Wah, besar sekali!”

“Tempat yang besar!”

“Aku melakukan yang terbaik dengan itu!”

“Kamu bukan orang yang membangun tempat ini, Maaya.”

“Ayolah, Saki! Jangan mengungkit itu!” Nada ringan Maaya membuat semua orang di sekitarnya tertawa.

Kurasa, secara pribadi aku tidak memiliki keterampilan semacam ini. Tapi aku ingat apa yang Profesor Kudou katakan selama kuliah kemarin. Ada enam orang hari ini, dua di antaranya laki-laki, dan salah satunya adalah Shinjou-kun, yang mengusulkan sesi belajar ini sejak awal. Untuk saat ini, aku mulai berencana untuk mengenal mereka.

Setelah melewati pintu masuk, kami menuju lift. Meski bangunannya sangat besar, liftnya tampak sangat sempit, jadi sepertinya kami hampir tidak bisa memuat kami berenam di sana. Karena itu, kedua anak laki-laki itu akhirnya naik lift setelah giliran perempuan. Setelah lift berhenti, pintu otomatis terbuka dan kami turun. Di bawah plat dengan nomor kamar ada plakat kayu bertuliskan 'SELAMAT DATANG' dengan tulisan tangan yang menggemaskan. Mungkin karena sangat berhati-hati, mereka tidak menuliskan nama keluarga mereka di mana pun. Maaya membuka pintu depan dan kami semua masuk ke dalam. Ruang tamu berukuran sekitar 16 meter persegi, dan semua orang menyuarakan suara kegembiraan saat melihat itu.

“Luas bangeeeetttttt!”

“Ya, ruangannya cukup luas untuk sesi belajar kita di sini.”

“Bagus sekali~”

“Silakan dan duduk di mana saja~” Maaya mendesak kami, jadi semua orang duduk di sekitar meja.

Adapun Maaya, dia langsung menuju dapur. Aku menyadari apa yang dia rencanakan, jadi aku meletakkan tasku dan mengikutinya.

“Hah? Saki, toiletnya bukan ke arah sini, tahu?”

“Bodoh. Ayo, berikan padaku beberapa dari itu. ”

Aku mencuri tiga botol satu liter berisi teh yang Maaya coba bawa sendiri dan kembali ke ruang tamu.

“Semuanya, silakan ambil bagian kalian masing-masing! Saki-chan, terima kasih banyak~” Orang yang meninggikan suaranya sekarang adalah gadis yang selalu dipanggil Maaya 'Yumicchi.'

Shinjou-kun juga segera berdiri untuk membantu. Tatakan gelas dan gelas sudah disiapkan sebelumnya.

“Orang-orang yang khawatir dengan tetesan air dari gelas bebas menggunakan tisu~!”

“Maaya, tidak apa-apa, sudah, kamu tinggal duduk saja. Kamu akan membuat kami merasa gelisah jika kamu melakukan itu. ”

“Saki sangat baik~ Ini ada beberapa cemilan yang takkan membuat tanganmu kotor.”

“…Kita di sini untuk belajar, kan?”

“Tentu saja? Tapi yang manis-manis itu penting, lo.”

“Sepertinya gambaran yang aku miliki tentang belajar bersama berbeda dari gambaran yang dimiliki Maaya …”

Semua orang tertawa. Meskipun aku harus mengatakan, ini benar-benar bukan sesuatu untuk ditertawakan. Aku sangat mengenalnya, dan dia serius. Kalau dibiarkan terus, ini akan berubah menjadi pesta teh dan bukan untuk belajar bareng. Yah, mengingat tujuan yang ada dalam pikiranku, pesta teh sendiri juga tidak ada salahnya—Tunggu, tidak.

“Jadi, bagaimana kita akan menangani sesi belajar ini?” tanya Maaya.

“Apa ada mata pelajaran yang ingin kamu fokuskan?” Aku bertanya balik.

“Aku tidak ada masalah dengan apapun~”

“Narasaka-san gitu lo. Dia mendapat nilai tertinggi di setiap mata pelajaran.”

“Murid teladan benar-benar berbeda~”

“Hee hee, kamu boleh memujiku lagi~ Kesampingkan candaan tadi, bagaimana kalau kita semua mengerjakan mata pelajaran yang paling tidak kita kuasai?”

“Mata pelajaran yang paling tidak kita kuasai?”

“Kalau Yumicchi, itu bahasa Jepang, ‘kan?”

Yumicchi terlihat sedikit imut saat dia cemberut.

“Jangan cemas~ Dengan jumlah orang sebanyak ini, pasti ada seseorang yang pandai dalam satu mata pelajaran. Dengan begitu kita bisa saling mengajari jika salah satu dari kita tidak pandai dalam sesuatu.”

Ah, begitu jadinya. Itu masuk akal. Jika kita fokus pada perbedaan antara mata pelajaran yang kita kuasai dan tidak dikuasai, itu mengubah pertanyaan dari 'Aku tidak tahu apakah ini benar atau salah' menjadi 'Aku tidak tahu apakah ini cara yang tepat untuk menjawabnya'. Bahkan jika kamu tidak tahu jawabannya, jika itu pelajaran yang kamu kuasai, kamu juga tahu apa yang harus dicari, atau dengan cara menerka-nerkanya.

Namun, jika itu mata pelajaran yang tidak kamu kuasai, Kamu tidak dapat berkonsultasi dengan kamus, kamu tidak dapat menggunakan buku latihan sebagai referensi, dan kamu juga tidak dapat mencarinya secara online. Jika demikian, apa yang harus kamu lakukan? Jika kamu menanyakan pertanyaan ini kepadaku beberapa bulan yang lalu, aku mungkin takkan dapat menjawabnya. Namun, sekarang hal itu sangat gampang bagiku. Jawabannya ialah kamu tinggal mengandalkan orang lain. Jika kamu meminta bantuan orang lain, kamu dapat melihat lebih jauh di depanmu. Mengajar satu sama lain untuk meningkatkan mata pelajaran yang kamu tidak kuasai adalah ide yang sangat baru buatku.

Kalau mengenai Asamura-kun… maksudku Nii-san, Ia mengajariku dari waktu ke waktu. Aku akan menunjukkan kelemahanku dan meminta jawabannya. Pada saat yang sama, jika aku mengetahui kelemahan orang lain, aku mencoba mengajari mereka jika aku bisa. Tipe timbal balik yang klasik. Itu seharusnya menjadi logika yang akrab bagiku, namun aku tidak pernah bisa melakukan hal semacam ini sebelumnya.

Tapi sekarang aku mengerti. Mengandalkan orang lain juga termasuk keterampilan. Keahlian membutuhkan pelatihan. Aku benci mengandalkan orang lain, dan juga diandalkan. Lagi pula, jika mereka mengharapkan sesuatu dariku, aku tidak tahu harus berbuat apa untuk membuat mereka bahagia. Selama aku bahkan tidak bisa melihat sekilas ke dalam pikiran orang lain, jika aku tidak mendengar langsung apa yang mereka inginkan dariku, aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Mampu menebak apa yang mereka inginkan akan menjadi keterampilan yang sangat praktis—itulah yang selalu aku pikirkan.

Jika ada sesuatu yang kamu inginkan, maka tanyakan saja. Jika ada sesuatu yang tidak ingin orang lain lakukan, lalu beritahu mereka. Jika kamu bertukar perasaan dengan seseorang, dan menyesuaikan diri satu sama lain, maka semua orang bisa bahagia. Cara berpikir ini masih tertanam kuat di dalam diriku, dan aku meyakini kalau itu tidaklah salah. Tapi itu berarti bertentangan dengan kebijakanku. Lagi pula, satu-satunya orang yang harus aku ungkapkan perasaanku, satu-satunya orang yang harus aku sesuaikan, adalah satu-satunya orang yang tidak pernah bisa aku beritahu mengenai perasaanku.

Aku jadi teringat ayah kandungku dan ibuku. Meski Ibu bekerja  untuk mendukungnya setelah Ia gagal di perusahaannya, Ia mulai membencinya ketika Ibu menemukan kesuksesan yang sebenarnya. Itu sangat aneh sekali. Bukannya aku tiba-tiba memaafkan ayah kandungku. Aku hanya memiliki kemampuan untuk memahami Ia sedikit. Dirinya tidak bisa menunjukkan kelemahannya kepada Ibu. Ia tidak bisa mengandalkannya. Ia tidak bisa membuat hubungan timbal balik dengan Ibu. Dia tidak memiliki keterampilan untuk bergantung pada istrinya.

Jadi bukannya aku sama saja? Padahal aku tidak punya masalah untuk memberitahunya tentang masalahku dengan bahasa Jepang modern. Namun aku tidak bisa mengungkapkan perasaan ini di dalam dadaku. Alasanku adalah bahwa akan buruk jika aku menebak apa itu. Tapi apa benar itu saja alasannya?

“…ki. Saaaakkiii!”

“Eh?” Aku mengangkat kepalaku untuk menemukan Maaya melambaikan tangannya di depan wajahku.

“Apa kamu tidak merasa lapar?”

Ketika dia menanyakan itu, aku menyadari bahwa perutku agak keroncongan. Ketika aku memeriksa jam smartphone-ku, aku melihat kalau sekarang sudah pukul 11:57 tengah hari.

“Eh, ini sudah jam makan siang?”

“Ya. Jadi apa yang harus kita lakukan? Mau pesan sesuatu? Mungkin membuat sesuatu yang sederhana?” tanya Maaya. Mana mungkin kita hanya bisa membuat makanan untuk enam orang.

Memesan makanan pasti mahal juga.

“Aku akan pergi ke minimarket terdekat dan membeli sesuatu.”

“Mm, haruskah kita semua ikut?”

“Kita semua cuma akan membuat tokonya jadi sempit. Jika kamu memberitahuku apa yang kalian inginkan, maka aku dapat membelinya. ”

“Kamu selalu perhatian pada setiap hal kecil ... Baiklah, aku akan menyiapkan beberapa hidangan kecil kalau begitu!”

Aku mulai mencatat pesanan semua orang dan segera menyadari kalau jumlahnya ternyata cukup banyak. Apalagi kalau soal minuman. Meski begitu, karena aku biasanya pergi berbelanja banyak hal pada saat yang sama, jadi kedengarannya aku masih sanggup membawanya.

“Membawa semuanya sendirian pasti merepotkan, bukan? Biarkan aku ikut untuk membantumu membawanya. ”

“Ah… Ya, kalau begitu tolong lakukan.”

Shinjou-kun menawarkan bantuan, jadi kami berdua menuju ke minimarket. Maaya dan yang lainnya tetap tinggal, membuat beberapa hidangan sederhana.

Minimarketnya terletak cukup dekat dengan apartemen Maaya. Jika kamu menghadap jalan utama, di sudut diagonal berlawanan adalah restoran ritel makanan Italia yang cukup populer di kalangan pelajar. Aku jadi ingat, aku melihat papan reklame untuk sekolah les dalam perjalanan ke sini, dan ternyata itu adalah tempat les yang dihadiri Asamura-kun. Kemudian lagi, hanya ada beberapa yang populer, jadi itu bukan kebetulan yang besar.

...Tunggu, ini tidak bagus. Aku mulai memikirkan Asamura-kun lagi. Aku tidak boleh melakukan itu. Aku sudah memutuskan untuk menjalin hubungan baru. Kami segera menemukan minimarket, yang menonjol berkat papan iklan merah dan hijau mereka, dan membeli roti, onigiri, beberapa sandwich, dan makanan ringan lainnya. Kami juga membeli tiga botol besar teh hanya untuk jaga-jaga kalau punya Maaya kehabisan. Sementara aku membayar semuanya di kasir, Shinjou-kun mengambil kantong plastik berat dengan botol-botol di dalamnya dan membawanya sendiri.

“Kamu bisa membagi beberapa barang denganku.”

“Kalau begitu, tolong.”

Ujarku dan memasukkan kantong keripik kentang ke dalam kantong plastikku sendiri. Ini tidak adil. Ia pada dasarnya membawa semuanya sendiri sekarang.

“Jadi begitu rupanya.”

“Hm?”

Melihat senyum Shinjou-kun, aku ingat beberapa teman sekelas perempuanku berbicara tentang betapa populernya Shibjou-kun. Aku akhirnya memahami alasan kepopulerannya. Ia benar-benar terlihat seperti cowok jantan yang bisa diandalkan.

“Bukan apa-apa ... Terima kasih sudah membawa semua itu.”

“Kamu sendiri membawa beberapa barang, ‘kan?”

“Kamu tidak salah, tapi tetap saja.”

Yah, aku agak bimbang dalam hal itu, dan aku merasa jauh lebih nyaman jika aku memasukkan barang-barang ke dalam punyaku daripada diambil dariku, jadi aku hanya berpikir Ia tidak perlu mempertimbangkan itu. Yang ingin aku lakukan hanyalah membawa barang-barangku sendiri. Lagi pula, aku hampir tersandung saat keluar dari minimarket, jadi aku merasa lebih malu. Untungnya, Shinjou-kun membantuku, jadi aku berhasil keluar tanpa terjatuh.

“Te-Terima kasih.”

“Ini tidak seberapa.”

Atau begitulah katanya, tetapi Ia membawa dua tas berat di tangannya, dan  masih membantu seorang gadis seperti ini.

“Kamu bisa lebih mengandalkanku.” gumamnya, tapi aku lebih suka tidak terpedaya dengan hal itu.

Kalau tidak, aku bahkan takkan bisa hidup sendiri dengan percaya diri. Tetapi karena Ia membantuku seperti ini, aku sudah mulai ragu apakah aku benar-benar tidak berdaya kalau melakukannya sendiri.

“Katakan, Ayase.”

Aku sedang melamun, tapi ketika Ia menyebut namaku, aku dibawa kembali ke kenyataan.

“Dengar-dengar kamu dan Asamura adalah saudara, ya.”

Kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku.

“Itu ... cuma segelintir orang saja yang baru mengetahuinya.”

“Hmm. Aku justru mendengarnya dari Asamura sendiri.”

“Hah…?”

“Pada pertemuan orang tua-guru, aku kebetulan melihat ibunya masuk ke kelas bersamamu, jadi aku bertanya kepadanya tentang hal itu.”

“Ahh… begitu rupanya.”

Aku merasa lega. Aku tidak pernah membayangkan kalau Asamura-kun menjadi tipe orang yang memberitahu orang-orang tentang kita sebagai saudara, tapi mengingat keadaannya, aku memahami kalau itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Shinjou-kun pasti menyadari bahwa aku jelas tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan, jadi Ia mengganti topik pembicaraan.

“Ayase, kamu sangat disiplin dan serius. Jadi aku pikir kamu pasti memiliki adik laki-laki sebagai gantinya. ”

“Tidak juga, itu normal.”

Aku benar-benar bukan seseorang yang selalu bisa bersikap rasional.

“Kamu pasti terlihat seperti itu.”

“Kamu terlalu berlebihan menilaiku. Yang ada justru, kamulah yang memiliki segalanya di bawah kendali. Kamu terlihat seperti kakak laki-laki.”

“Aku sebenarnya punya adik perempuan.”

“Begitu ... Apa kalian berdua dekat?”

“Lumayan? Sama seperti saudara kandung yang normal. ”

“Jadi, kamu membantunya membawa barang-barang berat seperti ini?”

“Urk, yah, itu normal.”

“Memegang tangannya supaya dia tidak jatuh?”

“Saat kita berdua masih kecil.”

Alasanku merasa ingin sedikit menggodanya adalah karena aku yakin adik perempuannya akan bisa menyombongkan kalau dia mempunyai kakak laki-laki seperti Shinjou-kun.

“Kamu sangat perhatian pada adikmu. Jadi begitu. Aku pikir itu luar biasa.”

“Itu hal normal yang dilakukan sebagai kakak.”

Setelah mendengar itu, aku sekali lagi menemukan diriku setuju dengannya. Itu adalah hal yang normal untuk dilakukan sebagai kakak laki-laki. Semua hal yang Asamura-kun lakukan untukku—mencari pekerjaan paruh waktu, membantuku belajar, menemukan cara untuk membantuku belajar—apa Ia melakukan semua itu sebagai kakak? Lagi-lagi, aku mendapati diriku memikirkannya. Pada saat aku mengangkat kepalaku untuk melihat-lihat, kami sudah sampai di apartemen.

Sesi belajar berakhir sekitar pukul 6 sore. Pada akhir September, matahari akan mulai terbenam cukup awal, sekitar pukul setengah lima sore. Meski masih ada sedikit cahaya tersisa di langit, itu akan menjadi gelap dengan cepat, itulah sebabnya kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri segalanya.

Maaya juga diberi tahu bahwa keluarganya, bersama adik-adiknya, akan kembali sedikit setelah jam 6 sore. Pembelajaran beberapa kali tersendat, tapi aku pikir kami membuat kemajuan yang baik. Paling tidak, aku merasa sudah membuat kemajuan untuk diriku sendiri.

Setelah meninggalkan apartemen, aku perhatikan bahwa langit timur sudah diwarnai dengan bayangan malam, sedangkan wilayah barat masih tersisa sedikit warna merah dan jingga. Maaya menawarkan untuk mengantar kami ke stasiun kereta, tapi kami bersikeras bahwa dia harus tinggal di rumah dan menunggu keluarganya tiba. Itu sebabnya cuma ada kami berlima sekarang. Terakhir kali kami berbicara seperti itu adalah pada hari kami mengunjungi kolam renang, dan secara tak disangka aku merasa bersenang-senang saat itu.

“Ayase.”

Sebuah suara memanggilku, aku lalu menghentikan langkahku.

“Shinjou-kun?”

“Apa kamu punya waktu sebentar?”

Dengan cara memanggilku yang aneh ini, aku merasa ada yang tidak beres. Yang lainnya berjalan mendahului kami, tapi kami seharusnya bisa segera menyusul.

“Mereka akan meninggalkan kita, tahu?”

“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.”

“Ya?”

“Mm…Yah, bagaimana bilangnya ya?” Shinjou-kun berjalan di sebelahku dan mulai berjalan lagi.

Ia tampaknya agak sungkan dengan orang-orang di depan kita, seperti Ia tidak ingin terlalu dekat?

“Apa kamu membutuhkan sesuatu?”

“Yah, aku berpikir kalau musim panas akan selesai hari ini.”

“Ya, suhu panas tidak gampang mereda tahun ini. Setidaknya jangkrik berhenti berdengung, tapi masih terasa seperti sore musim panas.”

Meski begitu, musim perlahan berubah. Beberapa minggu yang lalu, ketika seluruh pulau diwarnai merah selama peringatan sengatan panas yang datang di TV, sekarang berubah menjadi agak kuning. Bunga matahari yang tumbuh di sudut jalan juga mulai layu, dan awan di langit berhenti bersinar jingga di malam hari. Sebaliknya, mereka adalah warna musim gugur yang tenang.

Pencahayaan dari lampu jalan tidak memancarkan cahaya yang hangat dan menindas, melainkan memancarkan sesuatu yang memungkinkanmu untuk menenangkan diri, menciptakan jalan pulang yang santai saat matahari terbenam. Bayangan kami yang tercipta di jalan semakin lama semakin memanjang, sampai Shinjou-kun melambat dan akhirnya berhenti. Melihat tidak ada pilihan lain, aku juga ikut berhenti. Aku menyadari bahwa wajah Shinjou-kun menghadap ke arahku. Cara tatapannya tertuju padaku membuatku merasa gelisah.

“Aku menyukaimu.”

Ungkapnya, dan tepat ketika aku hendak mengangkat suaraku, aku menelannya kembali. Ia pasti merasa cemas karena aku tetap diam, karena Ia mengambil keputusan, dan mengulangi kata-katanya.

“Aku menyukaimu, Ayase.”

“Oh benarkah.”

Tunggu, tunggu. Itu bukan respons yang tepat. Kami berdua terdiam, dan keheningan yang canggung menyertai.

“… Um, terima kasih. Aku senang kamu mempunyai perasaan seperti itu padaku, tapi—” Aku mencari kata yang tepat.

Ini pengakuan, kan? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak pernah menyangka Shinjou-kun akan menembakku. Bagaimana aku harus menolaknya......Tapi saat aku memikirkan itu, aku terkejut pada diriku sendiri. Kenapa aku langsung berpikir bagaimana cara menolaknya? Aku tahu betapa menawannya Shinjou-kun. Setelah mengamatinya sepanjang hari, aku menyadari bahwa Ia sama sekali bukan orang jahat. Aku tahu bahwa beberapa teman sekelas perempuanku memandangnya dengan tatapan penuh minat dan kasih sayang. Bila dipikir secara secara rasional, Ia adalah tipe orang yang tidak keberatan dengan siapa pun. Ia baik hati dan perhatian. Jika aku adalah adik perempuannya, aku pasti akan merasa diberkati.

Ketika Ia memanggilku beberapa saat yang lalu, entah bagaimana aku merasa gelisah. Aku mungkin sudah menduga hal seperti ini akan terjadi, tapi aku memutuskan untuk mengabaikannya.

“—Maafkan aku.” Aku berbalik menghadap Shinjou-kun, menundukkan kepalaku dalam-dalam saat aku meminta maaf. “Aku tidak menganggapmu seperti itu…”

“Tapi kamu tidak sedang berpacaran dengan siapapun, ‘kan?”

“Eh, itu… benar…”

“Kalau begitu, aku ingin kamu coba jalan denganku. Kamu mungkin mulai menumbuhkan rasa padaku, ‘kan? ”

Itu ... aku tidak tahu.

“Atau mungkin, itu karena ada seseorang yang kamu sukai, tetapi kamu belum menembaknya?”

“Tidak … juga.”

“Meski begitu, kamu tidak mau berpacaran denganku?”

“Meski begitu, aku tidak mau berpacaran denganmu.”

Aku sendiri heran. Aku tidak bisa melihat masa depan di mana aku akan menyukainya. Aku tahu kalau Ia merupakan orang yang baik, dan aku yakin Ia kakak yang hebat, tapi…

“Jadi mungkin kamu sebenarnya… ke Asamura—”

“Eh?”

“Tidak, bukan apa-apa… aku mengerti. aku akan menyerah. Aku tidak ingin merusak hubunganku dengan teman sekelas yang berhubungan baik denganku.”

“… Shinjou-kun.”

“Ya, kurasa aku harus lebih sering berinteraksi dengam Asamura lagi.”

Perkataannya membuatku tersentak kaget.

“Kenapa?”

Kenapa Ia menyebut nama Asamura-kun sekarang?

“Kamu menyukai kakakmu, kan?”

“Itu…” Aku tidak bisa langsung menyangkalnya.

Aku mendapati diriku tidak ingin menegaskannya.

“Ahaha, jadi kamu tidak menyangkalnya, ya. Meski kamu langsung menolakku dalam sekejap.”

“Sebagai kakak laki-laki, itu saja.”

“Hmm? Yah, aku akan menganggapnya begitu. Jika aku bisa memahami Ia cowok seperti apa dan kenapa kamu bisa sangat menyukainya, mungkin aku sendiri masih punya kesempatan.” Ia mengatakannya seperti sedang bercanda, tapi aku tidak bisa benar-benar mengikuti logikanya.

Bahkan jika Kamu bertindak seperti kakak laki-laki dari orang yang kamu tembak, kamu hanya akan disukai sebagai tipe kakak laki-laki, ‘kan? Logika itu terasa aneh bagiku, tapi Ia bukan orang jahat, jadi aku akan senang jika Asamura-kun berteman lagi dengannya. Saat itu, aku mendengar suara yang memanggil Shinjou-kun dan aku. Suara tersebut berasal dari teman sekelas kami, yang sedang menunggu kami untuk menyusul mereka.

Malam mulai mendepak matahari terbenam. Tirai gelap sudah mulai menyelimuti langit, mengakhiri hari ini, dan menarik musim berikutnya lebih dekat. Pada saat kami mencapai stasiun kereta, langit di atas sudah gelap, dan malam menyambut kami sepenuhnya.

Aku baru saja akan memencet tombol lift ketika aku menyadari bahwa aku mendapat pesan LINE dari Asamura-kun, yang mengatakan bahwa Ia akan mengambil jalan memutar dalam perjalanan pulang nanti, dan Ia akan pulang terlambat. Saat aku membayangkan kalau dirinya bersama dengan Yomiuri-senpai lagi, dadaku terasa sesak, perasaan suram mengisi kekosongan. Dasar si tukang keluyuran, aku mengutuknya, tapi pada saat yang bersamaan, aku juga merasa lega karena suatu alasan. Kepalaku terasa panas. Kurasa aku harus menahan diri untuk tidak melihat wajahnya malam ini.

‘Namun, jika kamu berinteraksi dengan lelaki lain yang menarik, dan perasaanmu sendiri masih tidak berubah sedikit pun, maka pastikan untuk menghargai baik-baik perasaan yang kamu miliki sekarang.'

Perkataan Profesor Kudou kembali terngiang-ngiang di pikiranku. Kata-katanya membuatnya terdengar seperti dia sudah tahu semuanya, yang mana hal itu memberi pesona aneh, dan terasa seperti mendorongku untuk maju, bahkan jika akhirnya aku akan melawan etika dan moral modern.

Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku harus menjaga jarak dari Asamura-kun setidaknya selama satu hari, memastikan supaya aku tidak bertemu dengannya. Tapi jika besok akhirnya tiba dan aku sudah tenang, namun kesimpulanku masih belum berubah, maka …

“Um…?”

“Eh? Ah, maafkan aku, silakan!”

Penghuni apartemen lainnya memanggilku, dan aku menyadari bahwa selama ini aku berdiri melamun di depan lift. Aku melihat orang itu masuk ke dalam lift, melambaikan tanganku ke arah mereka dengan senyum masam sampai pintunya tertutup.

—Aku benar-benar kacau.



 

Sebelumnya ||  Daftar isi  || Selanjutnya


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama