Chapter 01 — 19 Oktober (Senin) Asamura Yuuta
Pekan yang baru kembali lagi
dimulai. Aku bangun pada Senin pagi, kira-kira sekitar jam 7 pagi. Saat membuka
kelopak mataku, aku langsung diberitahu kalau aku mendapat pesan LINE saat
sedang tidur. Aku mematikan mode malam smartphone-ku dan melihat pesan itu.
Ternyata itu pesan dari Narasaka-san.
Dia mengirimkannya pada jam 2:07 pagi … Tunggu sebentar, jam 2 dini hari?
“Dia begadang, ya?”
Aku pasti takkan bisa bangun
tepat waktu jika begadang sampai selarut itu. Ngomong-ngomong, beralih ke pesan
sebenarnya yang dia kirimkan padaku …
Pemberitahuan
penting dari Maaya.
Mohon
perhatiannya! Tanggal 21 yang akan datang sebenarnya adalah hari dimana
Narasaka Maaya telah diberkati di bumi ini! Dengan kata lain, aku akan
mengadakan pesta ulang tahun! Aku tahu kalau ini sangat mendadak, jadi kamu
tidak perlu risau mengenai masalah hadiah atau semacamnya! Aku cuma ingin kamu
berpartisipasi, itu saja!
Dengan kata lain …dia
mengundangku ke pesta ulang tahunnya, ‘kan? Dan dia merencanakan pesta ulang
tahunnya sendiri? Aku jarang mendengar ada orang yang melakukan itu. Kebanyakan
yang ada justru pesta kejutan yang diadakan oleh orang lain. Yah, aku tidak
pernah mengadakan pesta ulang tahunku sendiri, jadi aku bukan orang yang pantas
mengatakan itu … aku juga tidak pernah diundang ke pesta ulang tahun semacam
ini. Satu-satunya yang menggangguku ialah Narasaka-san dan aku bahkan tidak
terlalu dekat. Kalau pun ada, satu-satunya koneksi yang kami berdua miliki adalah
Ayase-san. Dan kami jarang berbicara di sekolah, apalagi berpapasan satu sama
lain. Jadi dia mengundangku karena aku adalah teman dari temannya? Oh tunggu, pesannya
masih ada kelanjutannya.
Saki
juga akan datang.
Begitu melihat nama Ayase-san,
detak jantungku sedikit berdetak lebih cepat … Umm, kenapa dia menekankan bagian
itu? Apa dia menyadari perubahan samar dalam hubungan kami atau semacamnya?
Tidak, tenanglah dulu. Saat kami merencanakan perjalanan ke kolam renang,
Narasaka-san mengundangku karena aku adalah kakak Ayase-san. Dia itu tipe gadis
yang melihat semua orang yang pernah dia ajak bicara sebagai teman juga, jadi
mungkin tidak ada makna tersembunyi di baliknya. Tapi itu masih membuatku
kepikiran.
“Pasti ada banyak orang lain
yang dia undang, sama seperti di kolam renang tempo hari.”
Aku ingat pertemuan pertamaku
dengan semua siswa lain dari kelas yang berbeda. Ada orang-orang dari kelas
Ayase-san, serta orang-orang dari kelas yang sama sekali tidak berhubungan.
Satu-satunya kesamaan di antara mereka semuanya ialah ...bahwa mereka sangat
ramah. Tentu saja, aku tidak masuk hitungan. Memikirkan sejauh itu, kebetulan
aku membayangkan hubungan Ayase-san dengan orang lain yang tidak kukenal, yang mana
membuat emosi suram aneh dan kabur tumbuh jauh di dalam dadaku.
Aku merasa cemburu, ya? Rasanya sangat menyedihkan jika kamu memikirkannya.
Pada hari kami mengakui perasaan kami dan mulai menyesuaikan diri dengan
keinginan masing-masing, aku seharusnya menghilangkan emosi semacam ini, namun
emosi itu justru menunjukkan eksistensinya sekali lagi. Yah, langsung menyadari
kehadirannya dan mencoba mencabutnya dari akarnya pasti akan menjadi semacam
perubahan positif yang harus kulalui. Atau begitulah yang ingin aku pikirkan.
Lalu ada juga siswa laki-laki, aku
pikir namanya adalah Shinjou, yang aku lihat di minimarket bersama Ayase-san.
Aku tidak terlalu yakin bagaimana harus bersikap jika aku bertemu dengannya
lagi. Sesuai prinsip dasar, semuanya mungkin akan berhasil jika aku hanya
membaca suasana hati seperti yang sudah aku lakukan selama perjalanan kami di
kolam renang.
“Tidak, tunggu dulu.”
Apa ini benar-benar sama dengan
waktu itu? Aku membaca pesan Narasaka-san sekali lagi, dan kemudian perasaan
tidak nyaman merayapi punggungku. Pada waktu itu, sebagai sarana untuk
menunjukkan pertimbangan bagi semua orang yang berpartisipasi, dia menyuruh kami
untuk mengenakan seragam sekolah. Namun, aku tidak melihat tulisan semacam itu
di dalam pesan ini. Dan ada poin lain yang perlu dipertimbangkan. SMA Suisei
dipandang sebagai sekolah SMA unggulan di dalam kota, dengan siswa yang relatif
disiplin dan bimbingan hidup di tempat kerja, sehingga berisiko membawa
barang-barang yang tidak berkaitan dengan pelajaran ke dalam sekolah.
Dia memberitahu kalau kami
tidak perlu merisaukan masalah hadiah, tapi aku ragu jika ada orang yang
benar-benar akan muncul tanpa membawa apa-apa, jadi semua peserta undangan
harus pulang sementara dan kemudian menuju ke tempat Narasaka-san.
“Jadi dengan kata lain…”
Semua peserta kemungkinan akan
berganti pakaian kasual. Itulah hasil paling logis yang bisa aku simpulkan. Aku
akan menonjol jika cuma aku satu-satunya yang berpartisipasi dalam seragam
sekolahku. Aku sedikit bersyukur karena bisa menyadarinya begitu awal. Aku
menghela nafas lega dan membaca baris terakhir dari pesan Narasaka-san.
Pastikan
kamu dan Saki untuk berdandan, paham?
Ya, sepertinya deduksiku tepat
sasaran. Tetap saja, dia sudah menyiapkan rintangan yang cukup untuk bisa aku
selesaikan, ya? Selain harus mengenakan pakaian kasual, tapi aku juga harus
berdandan? Kamu memberi rintangan yang terlalu mengerikan padaku, Narasaka-san.
Aku mungkin hanyalah murid SMA biasa, tetapi jika berkaitan dengan masalah
fashion, aku benar-benar masih pemula sekali.
Aku tidak pernah memandang
fashion dan penampilan sebagai persenjataan seperti yang dilakukan Ayase-san.
Itu sih, tentu saja, sangat masuk akal, karena aku tidak melihat kehidupan
sehari-hariku sebagai pertempuran tanpa akhir. Aku tidak membutuhkan sesuatu yang
mirip seperti persenjataan. Namun, setelah dipikirpikir kembali, aku mungkin
sedikit memahami bagaimana perasaannya. Usai membayangkan semua orang lain yang
akan menghadiri pesta ulang tahun ini, aku melihat diriku sebagai orang buangan
tanpa selera mode atau gaya. Apa begini yang dirasakan seorang prajurit jika
mereka melangkah keluar di medan perang tanpa mengenakan baju besi apa pun?
Rasanya sungguh aneh. Aku tidak
membela diri atau melawan siapa pun. Namun Ayase-san telah mengalami hal ini
setiap hari. Dia mendandani dirinya untuk tidak diwarnai oleh lingkungannya,
semua itu membuatnya jadi menonjol dari masyarakat di sekitarnya. Pemikiran semacam
itu saja sudah membuatku merinding.
Fashion, ya? Kurasa aku harus
melihat-lihat beberapa majalah mode sebagai permulaan. Kenali musuhmu, kenali dirimu,
dan kamu akan memenangkan seratus pertempuran, sama seperti yang dikatakan
kutipan terkenal itu. Otakku akhirnya diizinkan untuk beristirahat sejenak
setelah berpikir tanpa henti, dan aku mengirim Narasaka-san tanggapan singkat seraya
menyiratkan 'Aku akan meminta nasihat
Ayase-san.' Aku merasa kalau ini persis seperti yang Narasaka-san inginkan.
Aku selesai bersiap-siap untuk
pergi ke sekolah dan berjalan ke ruang tamu, tapi langkah kakiku berhenti
karena terkejut. Ayase-san tidak ada di sana. Mungkin dia ketiduran? Cuma ada
Ayahku yang duduk di meja makan, dan tidak melakukan apa-apa.
“Ayah tidak sarapan dulu?”
“Aku tidak yakin apa aku harus
sarapan duluan tanpa kalian berdua.”
“Begitu ya.”
Ia mungkin tidak terlalu ingin
menyerbu Ayase-san untuk membangunkannya. Ketika aku melihat-lihat ke atas
meja, aku melihat bahwa Ia sudah menyiapkan sarapan. Bahkan ada beberapa
sayuran.
“Tapi aku benar-benar harus
makan sebentar.”
“Apa kamu masih sibuk bekerja?”
“Hmmm? Ya… Tentu saja. Meski
akhir-akhir ini beban kerjanya jadi jauh lebih santai.”
Segera setelah musim gugur
tiba, Ayahku selalu berakhir dengan tumpukan pekerjaan, itu sebabnya beliau
selalu pulang hingga larut malam. Akiko-san bahkan tampak mengkhawatirkan
keadaannya, dan aku kebetulan tak sengaja mendengarnya bergumam tentang dia
dari waktu ke waktu. Yah, Ia tidak pernah membiarkan dirinya stres ketika
berada di rumah, jadi apa boleh buat.
“Apa aku perlu menghangatkan
sup misonya?”
“Supnya masih terasa hangat,
jadi kamu bisa meletakkannya di sana.”
“Oke.”
Aku menyalakan kompor dengan
api kecil, memasukkan sup miso ke dalam mangkuk, dan meletakkannya di depan
Ayahku.
“Ah, terima kasih.”
Sekarang, untuk sarapan yang sudah
disiapkan oleh Ayase-san...Begitu upanya. Ham dan natto dibarengi rumput laut
panggang, ya? Terus, apa yang ada di dalam mangkuk kecil itu? Makanan berwarna
hijau pasti bayam rebus, tapi apa yang putih-putih itu? Sarden? Aku melirik ke
arah Ayahku, yang telah mencampur natto dengan belut, mencelupkannya ke dalam
kaldu sup kecap. Jadi ini hidangan natto-sarden dengan saus?
“Aku tidak pernah tahu kalau
kamu bisa memakannya seperti itu.”
“Ya, Akiko-san sering
membuatnya untukku. Ini masakan yang sangat sederhana sampai benar-benar membuatku
keheranan kenapa aku tidak pernah mencobanya sendiri sampai saat ini.”
Itu pertanyaan yang mudah. Itu
karena makanan yang enak atau tidak, biasanya tidak terlalu jadi masalah
baginya. Ia menyebarkan campuran natto-sarden di atas nasi putih dan memakannya.
Mungkin karena Ia sibuk, atau mungkin karena sebenarnya enak, tapi sepertinya
dia menghabiskannya dengan cepat.
“Konsistensi natto yang lengket
dikombinasikan dengan sensasi berpasir sarden rasanya enak, tau. Tambahkan
beberapa perilla hijau ke dalam campuran juga, jika kamu mau. Dan kamu bisa
menggunakan jamur enoki sebagai suplemen untuk nattonya.”
Ia terdengar seperti semacam
pembawa acara memasak. Tapi jika Ia tidak menikahi Akiko-san, Ia mungkin masih
akan makan nasi putih dengan telur mentah dan kecap, jadi perkataannya itu
tidak mempunyai banyak kredibilitas.
“Aku akan mencobanya nanti.”
Aku menatap Ayahku yang sedang
terburu-buru untuk menghabiskan sarapannya.
“Ayah?”
“Hm?”
“Ah, kamu bisa terus makan,
tidak masalah. Aku cuma penasaran apa kamu pernah mengkhawatirkan tentang
penampilanmu saat berdiri di samping Akiko-san.”
“Dalam konteks apa?”
“Umm … yah, dia selalu terlihat
sangat modis, kan? Tapi kamu tidak benar-benar—”
“Aku selalu tampan dan bergaya,
tahu.”
“Aku tidak yakin apa kamu harus
mengatakan itu di depan putramu sendiri.” balasku dengan nada tercengang, dan
dia tersenyum sebagai jawaban.
“Setelah Akiko-san dan aku
mulai menjalin hubungan, aku memang mengalami berbagai perubahan dalam hal itu,
tapi aku selalu menjadi pegawai kantoran yang biasa, tahu?”
Dan kamu sekarang masih sama.
Jangan bertingkah seolah-olah kamu itu pria menarik.
“Kembali ke topik pembicaraan, aku
tidak memaksakan diri untuk terlihat sangat modis dan sebagainya. Tidak lebih
dari apa yang diharapkan dari orang dewasa, kurasa?”
“Ah begitu rupanya ya.”
“Maksudku, jika profesiku mirip
dengan Akiko-san, aku yakin kalau aku akan memiliki pendapat yang berbeda
tentang itu, tapi selama aku tidak terlihat kotor, hanya itu saja perhatian
yang kuberikan pada penampilanku.”
Ia terus menjelaskan pandangannya
sambil mengunyah sarapannya. Menurutnya, seorang pebisnis yang ingin tampil
modern dan stylish merupakan gaya berpakaian yang sama sekali berbeda
dibandingkan dengan keinginan untuk terlihat lebih menarik bagi lawan jenis. Mengenai
perkara yang pertama, Ayahku masih memiliki kesan bahwa dia masih terlihat
seperti itu, tapi karena dia sudah menikah, dia menganggapa tidak ada gunanya
berdandan hanya untuk mengesankan seseorang. Sungguh sebuah informasi yang
berharga sekali.
Aku juga bertanya apa Ia tidak
khawatir tentang semua pria yang berkerumun di sekitar Akiko-san selama jam
kerjanya. Dia berhenti mengunyah sejenak, menutup mulutnya untuk memikirkannya
sebentar.
“Hmm… tidak juga? Dulu ketika aku
masih pelajar, aku pasti akan merenungkan tentang hubungan gebetanku dengan
anak laki-laki dan orang lain pada umumnya, tapi begitu aku mulai bekerja penuh
waktu, aku berhenti memedulikan hal semacam itu .”
“Bekerja penuh waktu… jadi
maksudnya setelah Ayah menjadi orang dewasa yang bekerja?”
“Kurang lebih begitu. Atau
lebih tepatnya, begitu aku mendapatkan pekerjaan, kurasa hal-hal yang menjadi
perhatian dalam hidupku mulai berubah? Seberapa
keren dan modisnya penampilanku tidak mempengaruhi berapa banyak uang
yang aku hasilkan, jika itu masuk akal.” (TN : Wkwkwkwk true yang tampan akan kalah dengan pria mapan
yang berduit)
“Ah, jadi itu sebabnya kamu
masih peduli dengan penampilanmu sebagai pekerja kantoran?”
“Begini-begini aku dulunya
bagian dari departemen penjualan. Kurasa untuk lebih akuratnya, aku memiliki
kekhawatiran lain selain terlihat seperti model di atas karpet.”
“Begitu ya.”
Aku mengerti apa yang dia coba
katakan. Ada beberapa hal yang tidak pernah aku pedulikan ketika aku masih
kecil, lalu perlahan tapi pasti lebih memperhatikannya saat menginjak sekolah
SMA dan seterusnya. Ayahku selalu menghabiskan sarapannya dengan telur di atas
nasi, tapi sampai sekarang, aku tidak pernah merasa terganggu atau tidak nyaman
dengan gaya hidup ini sama sekali. Rasanya sungguh menakjubkan dia bahkan
mempertahankan situasi itu. Bahkan jika Ia bertingkah bodoh di rumah.
“Keadaannya berbeda ketika aku
masih jadi pelajar. Aku praktis dilatih untuk menyadari bagaimana penampilanku
dibandingkan dengan semua pria modis lain yang ada di sekitarku. Di sekolah
campuran, kamu terus-menerus dikelilingi oleh cinta dan remaja yang sangean,
sehingga lingkungan semacam itu terukir ke dalam otakku.”
Atau begitulah katanya, tapi…
“Apa memang begitu masalahnya?”
renungku.
“Aku kira demikian? Kamu pasti
pernah mengalaminya juga, kan?”
“Entahlah…”
Mendengar jawabanku yang
terdengar samar, Ayahku menghela nafas khawatir. Apa Ia pikir kalau aku tidak
peka dan payah dalam masalah tren serta sejenisnya? Bahwa aku akan berubah
setelah aku dewasa? Tidak ada cara untuk memastikan apa Ia mengatakan yang
sebenarnya atau tidak selama aku masih anak-anak.
“Yah, jika Akiko-san bekerja di
perusahaan yang sama denganku, aku mungkin akan mengenakan pakaian yang
membuatku terlihat seperti rapper dalam upaya sia-sia untuk terlihat menonjol.”
“Aku merasa bersukur karena
tidak perlu melihat itu.” Aku secara verbal menjotos Ayahku saat Ia
menyelesaikan sarapannya.
“Terima kasih atas makanannya.”
“Aku akan mencuci piringnya
nanti, jadi Ayah tidak perlu mencucinya sendiri.”
“Baiklah. Kalau begitu aku akan
berangkat dulu.” Ia meninggalkan kata-kata ini saat bergegas keluar rumah dalam
perjalanan ke tempat kerjanya.
Aku memeriksa jam dinding untuk
memastikan waktu. Jika Ayase-san tidak bangun cepat atau lambat, dia bisa-bisa
akan berangkat telat. Kurasa sebaiknya aku perlu membangunkannya dari lorong,
jadi aku menuju ke kamarnya. Begitu aku sampai di sana, pintu kamarnya terbuka
lebar. Ayase-san muncul dengan ekspresi panik, dan kemudian menghentikan
langkahnya tepat di hadapanku.
Beberapa detik penuh keheningan
terus berlalu, memberiku ilusi bahwa waktu seakan telah berhenti. Rambutnya
terlihat agak berantakan, helai demi helai rambutnya berdiri di segala arah,
dan dia bahkan masih mengenakan piyama. Itu adalah pemandangan tak berdaya yang
belum pernah kulihat sebelumnya, bahkan setelah dia pindah bersama kami.
Ayase-san akhirnya menenangkan diri dari keadaan terkejutnya, dan bergegas
menuju kamar mandi terdekat. Segera setelah itu, dia membanting pintu di
depanku.
“Umm …”
Aku sempat mencurigai bahwa
seluruh cobaan ini, yaitu melihat Ayase-san tepat setelah dia bangun, ialau
upaya untuk membuat jantungku berdetak lebih cepat daripada miliknya. Bisa
dijelaskan begitu, karena aku belum pernah melihatnya dalam keadaan rentan
seperti dalam balutan baju tidurnya. Sementara aku menyadari kalau jantungku
berdetak sangat cepat, aku juga menyadari betapa absurdnya seluruh situasi ini,
mengingat ini adalah pertama kalinya peristiwa ini terjadi meskipun kami sudah
hidup bersama selama berbulan-bulan. Tapi selama dia sudah bangun, setidaknya
aku bisa menyelesaikan masalah besar ini.
“…Jika kamu tidak keberatan
dengan sarapan roti panggang, aku akan menyiapkannya untukmu,” kataku.
Beberapa detik kemudian,
respons samar-samar datang dari balik pintu.
“Maaf, dan terima kasih.”
Aku kembali ke dapur. Aku
memasukkan roti ke dalam oven pemanggang roti dan mengatur waktunya. Aku juga
menyalakan kompor untuk menghangatkan sup miso, mengeluarkan irisan ham dari
dalam kulkas, dan meletakkannya di piring. Pintu kamar mandi terbuka sekali
lagi dan Ayase-san bergegas kembali ke kamarnya. Selama waktu itu, aku
memunggungi dia untuk mencoba meyakinkannya dengan cara tertentu. Aku
membayangkan dia tidak ingin terlihat dalam keadaannya yang sekarang.
Aku mengeluarkan roti panggang
panas yang renyah dan meletakkannya di piring, menggesernya ke arah kursi
Ayase-san. Sup miso hampir mendidih, jadi aku mematikan kompor dan
menuangkannya ke dalam mangkuk kecil. Untuk membuat sarapan yang benar-benar
bergaya dengan roti panggang, mungkin rasanya akan lebih ideal bila ditemani
semacam sup mewah, tapi itu hanya akan membuat keberadaan sup miso menjadi
sia-sia. Ketika masakan mu terbatas pada lingkungan rumah tangga, Kamu tidak
perlu mengkhawatirkan tentang nilai-nilai pembawa acara atau kritikus acara
memasak. Ini semua kebebasan di sini untuk kita.
Pada catatan yang agak terkait,
menurut pengamatanku selama beberapa bulan terakhir, Ayase-san tidak makan
natto di pagi hari. Mungkin itu tipikal untuk gadis seusianya, atau mungkin juga
terkait dengan selera pribadinya, tapi aku tetap memutuskan untuk meninggalkan
natto di dalam kulkas untuk saat ini. Dengan itu, persiapan untuk sarapan yang
sempurna telah selesai. Pada waktu yang hampir bersamaan, Ayase-san memasuki
ruang tamu dan duduk di kursinya. Dia sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat
sekolah, sekali lagi menunjukkan persenjataannya yang sempurna. Aku mendapati
diriku bertepuk tangan kepadanya secara batin karena rasa hormatku padanya.
“Maaf tentang itu, dan terima
kasih sudah mengurus semuanya.”
“Hanya segini saja tidak
seberapa. Dan kamu juga menyiapkan semuanya tadi malam. Apa porsi ini cukup?
Apa aku perlu mengeluarkan sesuatu yang lain?” Aku melirik kulkas sambil
menanyakan ini.
“Ini sudah lebih dari cukup.
Sungguh, aku minta maaf tentang ini. ”
“Jangan terlalu dipikirkan. Tapi
rasanya cukup mengejutkan melihatmu sampai ketiduran.”
“Aku berbicara dengan Maaya
sampai larut malam. Itu sudah melewati waktu tidurku.”
Ketika dia mengatakan ini, aku
ingat pesan LINE Narasaka-san.
“Aku baru ingat, aku mendapat
pesan LINE dari Narasaka-san. Kamu mungkin sudah mendengarnya, ya?”
“Ah… ya.”
“Apa yang harus kita lakukan
tentang itu?”
Aku hanya bertanya secara
blak-blakan tanpa terlalu memikirkannya, dan Ayase-san tiba-tiba membeku di
tempat. Dia mengambil bayam rebus dengan sumpitnya, dan beralih memindahkan
roti panggang ke mulutnya. Dia memperhatikan ini sebelum menggigit, dan dia
menjatuhkan bayam di atas roti panggang, menambahkan rumput laut yang bisa
dimakan di atasnya, dan mulai mengunyah. Aku sedikit tercengang dengan cara
aneh memakan roti panggangnya, dan dia membuat ekspresi yang agak rumit. Dia
mungkin bahkan tidak menyadari apa yang sudah dia lakukan.
“…Apa maksudmu? Aku berpikir
untuk merayakannya bersamanya. Bagaimana denganmu?”
“Aku sendiri tidak masalah untuk
pergi jika dia tidak keberatan dengan itu. Aku cuma tidak tahu banyak tentang
Narasaka-san. Dia bilang kalau kita tidak perlu membawa hadiah segala, tapi
menghadiri pesta ulang tahunnya dengan tangan kosong bertentangan dengan akal
sehatku.”
“Ah, ya. Benar. Yah, kita
berdua masih SMA, jadi kurasa kamu tidak perlu terlalu memusingkannya.”
“Kamu pikir begitu? Tapi aku
masih agak bingung tentang apa yang harus aku berikan darinya. Lagipula, aku
belum pernah memberi seorang gadis hadiah sebelumnya.”
“Oh … tidak pernah?”
“Tidak, tidak pernah sekali pun.”
“Begitu ya. Jadi ini yang
pertama buatmu... Yeah, apa boleh buat. Uhh kalau begitu… Apa kamu mau pergi
membeli hadiah untuknya bersama denganku?”
“Ya, itu ide bagus. Tapi…” Aku
mulai menuangkan teh ke dalam cangkir tehku.
Aku melirik Ayase-san,
menggunakan tatapanku untuk menanyakan apakah dia menginginkannya juga, dan dia
menggelengkan kepalanya. Kurasa dia tidak memerlukannya untuk saat ini. Lagi
pula, roti panggang dan teh bukanlah kombinasi terbaik. Aku meluangkan waktuku
dengan menikmati teh dan memutuskan untuk menunggu sampai dia selesai makan. Aku
pikir ini tergantung pada orangnya, tapi aku mencoba untuk tidak membersihkan
piring apa pun dari meja saat seseorang masih makan. Jika aku melakukannya, hal
itu justru akan membuat orang lain merasa tergesa-gesa, dan merusak rasa
makanan yang enak. Yah, itu hal yang sepele untuk dikhawatirkan, aku tahu itu.
“…Jika kita pergi berbelanja di
sekitar area sini, orang-orang dari sekolah kita mungkin akan melihat kita.” Aku
melanjutkan diskusi kami dari sebelumnya.
“Ya, itu masuk akal. Kalau pergi
berbelanja hanya kita berdua … apa itu bukanlah sesuatu yang harus dilihat oleh
orang lain, kalau begitu?”
Mengulangi itu, dia bertanya
apakah lebih bisa diterima jika kita pergi berbelanja sebagai saudara. Aku
memikirkannya sejenak dan menjawab.
“Kupikir itu adalah sesuatu
yang sangat normal untuk dilakukan oleh beberapa saudara yang dekat satu sama
lain.”
“Ya aku setuju. Tapi aku… tidak
menginginkan itu.” Ayase-san bergumam hanya untuk melanjutkan setelah memilih kata-katanya
dengan hati-hati. “Yah, karena kita akan pergi ke suatu tempat bersama... Aku
tidak ingin memikirkan hal-hal yang tidak perlu seperti bagaimana tatapan orang
lain yang melihat kita... dan semacamnya.”
“Ahhh ... itu poin yang bagus.”
Mengesampingkan perdebatan apa
kamu bisa menyebut ini kencan atau tidak, kami masih menghabiskan waktu
bersama. Jelas, aku lebih suka jika itu adalah waktu di mana kita bisa
bersantai dan mengabaikan kemungkinan penonton serta stres yang dihasilkan.
“Kalau begitu mari kita lakukan
itu besok setelah pulang sekolah. Lagipula, karena kita berdua memiliki jadwal
shift malam ini. ”
“Yup.”
Mendengar saranku, Ayase-san
menggigit sudut rotinya dan mengangguk ringan. Karena Ayase-san biasanya
sarapan di depanku dan bergegas keluar rumah, kami jarang punya kesempatan
untuk sarapan bersama. Aku senang aku bertanya padanya tentang hal ini
sekarang. Jujur saja, rasanya begitu aneh karena aku merasa ingin berterima
kasih kepada Ayase-san yang sudah bangun kesiangan.
“Apa masih kamu ingat dengan apa
yang kita bicarakan selama festival budaya?” Ayase-san bertanya.
“Tentu saja.”
Kami berjanji bahwa kami akan
meluangkan waktu untuk pergi ke suatu tempat bersama. Sepertinya kesempatan itu
muncul jauh lebih cepat dari yang kita duga sebelumnya.
◇◇◇◇
Maju cepat pada jam wali kelas
pagi pertama minggu ini. Suasana lesu memenuhi ruang kelas saat kami para siswa
mempersiapkan mental untuk minggu yang berat di hadapan kami atau terlibat dalam
percakapan yang penuh kegirangan untuk bertukar kesan akhir pekan lalu. Aku
sendiri termasuk dari faksi yang lebih suka tenggelam dalam sensasi lesu. Mau
tak mau aku mengagumi bahwa yang lain memiliki begitu banyak energi di Senin
pagi ini.
“Kamu anehnya tampak kelelahan,
Asamura.”
Temanku, Maru Tomokazu, dengan
keras menarik kursinya ke belakang dan duduk di meja di depanku. Karena
perawakannya sedikit lebih tinggi dariku, setiap kali Ia tiba-tiba muncul, hal itu
membuatku merasa seperti sedang memancing di hutan dan kemudian berpapasan
dengan beruang liar.
“Oh, Maru? Aku cuma mengagumi
jumlah tenaga yang kelihatannya tak ada habisnya yang dimiliki setiap orang.”
“Apa kamu akan mati?”
“Ini cuma ocehan pagi yang
sibuk. Santai saja.”
Karena aku melamun terlalu lama
tadi pagi, jadi aku harus bergegas ke kelas ini dari loker sepatu supaya tidak
terlambat.
“Maaf mendengarnya, tapi aku
khawatir kalau hari ini kamu masih perlu menjalani beberapa agenda lagi.”
“Apa maksudmu?” tanyaku,
merasakan firasat buruk.
“Penguntitmu itu tanpa henti
menggangguku. Ia benar-benar ingin mencari kesempatan untuk berbicara denganmu,
tau?”
“Manga macam apa yang kamu baca
belakangan ini…?”
“Jangan mencoba menganggap ini
sebagai candaan. Aku lagi serius, tau.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi
memangnya siapa yang mau repot-repot menguntitku?”
Tidak banyak orang di sekolah
ini yang aku ajak bicara secara pribadi. Selain Maru, cuma ada Ayase-san,
Narasaka-san, dan orang-orang yang bersama kami pada hari perjalanan di kolam
renang. Namun, aku tidak perlu menebak-nebak, karena aku langsung menemukan
jawabannya. Maru melirik ke lorong dan melambaikan tangannya, dan seorang siswa
laki-laki memasuki kelas dengan senyum yang cerah di wajahnya.
“Terima kasih telah mengatur
ini, Tomokazu… Dan sudah lama tidak ketemu, Asamura-kun.”
“Hah? Ah… ya?” Aku kebingungan
sejenak, berkat itu aku menunda balasan sapaanku.
Cowok tersebut ternyata tidak
lain adalah Shinjou Keisuke, anggota inti klub tenis yang tampak pintar dengan
rambut pendeknya yang disemir. Dia adalah salah satu orang yang bersama kami
ketika kelompok kami menuju ke kolam renang, dan juga orang yang sebelumnya pernah
aku lihat bersama Ayase-san, yang membuatku merasa cemburu sejak awal. Itu
bukan salahnya sedikit pun, tapi aku punya perasaan canggung ketika berhadapan
dengannya, jadi aku harus memastikan bahwa aku tidak menunjukkannya secara
terbuka.
“Ia ingin mengenalmu lebih
baik, jadi orang ini menggunakan segala macam sumber informasi yang ada untuk
mencari tahu tentang kamu. Pria itu membuat bulu kudukku merinding.” Maru
mengeluh.
“Oh, benarkah? Kami pernah berbicara
sebelumnya, jadi kamu bisa langusng datang kepadaku. ”
“Aku masih hampir tidak tahu
apa-apa tentangmu, jadi aku tidak mau mendadak memaksamu jika aku terlalu
memaksa.”
“Dan itulah mengapa Ia datang
untuk meminta bantuanku. Ia menyuruhku untuk mengenalkanmu padanya.” tutur Maru
terdengar mengeluh.
Oh ya, Shinjou baru saja
memanggil Maru “Tomokazu”, ‘kan?
“Apa hubungan kalian berdua
dekat?”
“Tidak juga, kami baru saling
mengenal saat SMP. Dan karena kami berdua adalah bagian dari klub olahraga,
kami terkadang bertukar informasi satu sama lain.”
“Oh wow. Itu koneksi yang tidak
aku duga.” Aku benar-benar terkejut.
Dua orang yang aku temui pada
waktu yang berbeda ternyata saling mengenal selama ini. Itulah jenis kiasan
yang bisa kamu harapkan dari sebuah novel. Seperti ketika semua potongan puzzle
bersatu untuk menjelaskan gambaran yang lebih besar. Kurasa kenyataan memang lebih
aneh daripada fiksi.
“Jadi, apa yang ingin kamu
bicarakan?” Aku bertanya pada Shinjou-kun.
Sejujurnya, aku tidak tahu apa
dia inginkan.
“Ya, tentang itu ... Apa kamu
punya waktu sebentar?” ujarnya, mencondongkan tubuh ke arahku saat Ia melirik
Maru.
Ia mungkin ingin mengatakan
kalau ini adalah percakapan pribadi yang hanya dimaksudkan untuk didengar oleh
kami bertiga. Setelah itu, dia mulai berbicara dengan suara pelan.
“Kamu berteman dengannya, jadi
kamu pasti sudah tahu tentang hubungannya dengan Ayase dari kelasku, ‘kan?”
Shinjou berkata sambil menatap Maru.
“Hm…?” Maru lalu melirikku.
Ia mungkin ingin mengkonfirmasi
bahwa apakah Shinjou-kun boleh tahu. Aku mengangguk dalam diam, dan percakapan
berlanjut.
“Tentu saja. Mereka menjadi
saudara tiri setelah orang tua mereka menikah lagi. Emangnya ada apa dengan
itu?”
“Dengan kata lain, kamu
harusnya orang yang paling tahu mengenai Ayase dari kita semua, Asamura-kun.”
“Yah, kurasa begitu.”
…Atau begitulah yang ingin aku
katakan, tetapi aku benar-benar bingung dengan kata-kataku sendiri. Apa yang aku
katakan barusan tidak mewakili perasaanku sama sekali. Kita mungkin hidup
bersama, tapi dengan asumsi aku tahu sedikit pun tentang Ayase-san bukanlah
kesombongan dan keangkuhan. Bahkan penampilannya setelah ketiduran adalah
sesuatu yang baru saja aku saksikan hari ini. Namun aku terus terang setuju
dengan asumsi Shinjou-kun ... Mungkin dorongan ini tumbuh dari sedikit
perlawanan mental yang masih aku miliki.
“Aku sampai pada kesimpulan
bahwa, jika aku mengenalmu lebih baik, aku mungkin lebih memahami Ayase, dan
bagaimana dia bergerak.”
“Apa aku tidak salah dengar di
sini? Shinjou, apa kamu sedang mengincar Ayase?”
“Err, yah… Ya, kurasa begitu.”
Shinjou-kun dengan canggung menggaruk pipinya setelah ditanyai oleh komentar
tajam Maru.
Melihat wajahnya, aku dipenuhi
dengan secercah kekaguman. Aku mengagumi fakta bahwa Ia bisa secara terbuka
mengakui dan menyuarakan perasaannya. Yang paling mengejutkanku adalah aku
tidak terlalu iri dengan perasaannya pada Ayase-san, tapi lebih pada
kemampuannya untuk jujur tentang perasaan itu.
“Kamu juga, ya? Ada semacam
lonjakan jumlah cowok yang mengejarnya sejak liburan musim panas ini. Yah, dia
memang punya paras cantik, dan begitu orang mengetahui kalau gosip jeleknya itu
cuma hoaks, wajar-wajar saja jika ada banyak cowok yang akan mulai
mengerumuninya.”
“Bisa tidak jangan membuat kami
terdengar seperti ngengat yang berkumpul di sekitar lampu?”
“Dari sudut pandang kakaknya,
seperti itulah gambarannya, tahu. Kamu juga setuju iya ‘kan, Asamura? Kamu takkan
membiarkan beberapa orang rendahan sok akrab denganmu jika Ia cuma mengincar
adik perempuanmu, ‘kan? ”
“Tunggu sebentar, aku tidak
meminta hal ini dengan motif tersembunyi semacam itu! Yah, akan bohong rasanya
jika aku mengatakan kalau itu tidak sepenuhnya benar, tapi aku juga ingin tahu
tentang cowok seperti apa yang menjadi keluarga baru Ayase!”
“Ahaha, kamu tidak sedang
berada di pengadilan tau, kamu tidak harus begitu putus asa dengan
pembelaanmu.”
Melihat Shinjou-kun benar-benar
panik membuatku tertawa terbahak-bahak. Namun, aku pikir Ia serius di sini.
Jika Ia cuma benar-benar fokus pada tujuan itu, Ia seharusnya menggunakan
pendekatan yang sangat berbeda.
“Jika cuma masalah berbicara di
sekolah seperti ini, aku tidak keberatan sama sekali.”
“Seriusan…?! Terima kasih
banyak, Asamura-kun!”
“Hanya di sekolah saja, sih. Aku
sibuk dengan pekerjaan sambilan setelah sekolah selesai, jadi aku akan
kesulitan menemukan slot yang terbuka. ”
Aku tidak hanya mengatakan itu
untuk menghindarinya seefektif mungkin. Selain saat Maru mengajakku ke toko
merchandise anime, kami tidak pernah bertemu di luar sekolah.
“Dan juga, rasanya terdengar
aneh jika kamu memanggil dengan nama keluargaku. Kamu memanggil Maru dengan
sebutan “Tomokazu,” jadi kamu tidak perlu sungkan untuk melakukan hal yang sama
padaku.”
“Wokee. Yuuta.”
“Yup, dan aku akan memanggilmu
dengan 'Shinjou'.”
“Apa, bukan 'Keisuke'?!"
“Sejujurnya, aku lebih suka
memanggil dengan nama keluarga. Ditambah lagi aku melakukan hal yang sama untuk
Maru.”
“Begitu… Yah, aku takkan
mengeluh jika itu membuatmu lebih nyaman. Bagaimanapun juga, senang bisa
berkenalan denganmu, Yuuta!”
“Ya, juga. Dan untuk merayakan
persahabatan baru kami, aku punya pertanyaan. Aku butuh bantuanmu dengan ini
juga, Maru. ”
“Tentu saja, jangan khawatir.
Pastikan itu adalah pertanyaan yang benar-benar bisa aku jawab.” Shinjou
membuat ekspresi puas.
“Seseorang jadi terlalu bersemangat,
oke … tapi tentu saja. Mari kita dengarkan dulu pertanyaanmu, Asamura.” Maru
menggelengkan kepalanya.
Layaknya mendapat anugerah selama masa bahaya, Shinjou terlihat sebagai tipe orang yang memiliki pengetahuan tentang fashion, jadi aku mungkin bisa meminta beberapa tips darinya. Tentu saja, ada sedikit keraguan di pikiranku, mengingat Ia memiliki perasaan pada Ayase-san, tapi masalah itu ya itu, dan masalah ini ya ini. Dilihat dari sudut pandang netral, perasaannya tidak ada hubungannya dengan pertanyaanku.
“Mengesampingkan potensi
menjadi pasangan dan semacamnya, seandainya ada seorang gadis yang kamu sukai,
dan gadis ini berpartisipasi dalam sebuah pesta. Pikirkan siapa saja yang terlintas
dalam pikiranmu.”
“Begitu ya. Terus?”
“Pakaian seperti apa yang akan
kamu kenakan ke pesta itu? Barang sama yang biasanya kamu pakai, atau
sesuatu yang berbeda?”
Maru menyiapkan
barang-barangnya untuk jam pelajaran pertama yang akan datang saat Ia memikirkannya.
Shinjou membuat ekspresi serius seperti sedang melamun. Dengan hati-hati
mempertimbangkan jawabannya atas pertanyaanku dan tidak hanya menertawakannya
menunjukkan bahwa jauh di lubuk hatinya, Ia benar-benar pria yang baik.
“Aku takkan bertindak jauh sampai
membeli baju baru segala, tapi aku pasti akan memilih baju terbaik yang aku
miliki.”
“Jadi begitu rupanya, ya.”
Ini adalah jawaban yang sangat
mirip dengan yang bisa kamu harapkan dari Shinjou, melihat betapa dia sangat
peduli untuk tampil gaya. Maru sepertinya setuju.
“Ya, aku pun berpikiran sama.”
“Tunggu, Maru? Kamu juga?”
“Kenapa kamu terlihat kaget
begitu?”
“Maksudku, mengenal sifatmu,
kupikir kamu hendak mengatakan kalau pakaian normalmu akan menjadi yang
terbaik.”
“Aku tidak menyuruhmu untuk
berusaha habis-habisan. Tapi pihak lain setidaknya harus mengerti bahwa kamu
sudah berjuang untuk mencoba. ”
“Kamu ingin mereka mengerti?
Bukan untuk membuat mereka merasa seperti kamu memaksakan diri?” Aku terkejut
mendengar argumen Maru.
“Tentu saja ini tergantung pada
pihak lainnya. Dalam keadaan normal apa pun, aku setuju denganmu. Orang-orang
yang benar-benar peduli dengan kenyamanan orang lain berusaha untuk
merahasiakan kerja keras mereka menuju tujuan itu. Namun, kali ini berbeda.
Kita berbicara tentang O dari kata TPO. Dan dalam hal ini, Kesempatannya
berbeda.” (TN : kata TPO merupakan singkatan dari Time
(Waktu), Place (Tempat), and Occasion (Kesempatan/Keadaan))
“Setuju. Fakta bahwa gadis yang
kamu sukai berpartisipasi memainkan peran besar. Yang ada justru, tidak peduli
dengan penampilanmu sendiri akan meninggalkan kesan yang buruk.”
“Apa yang Shinjou katakan
memang benar, ya.” Maru mengangguk dan melanjutkan. “Sangat penting untuk
menunjukkan bagaimana kamu peduli pada seseorang yang kamu sukai, bahkan dengan
cara sekecil mungkin. Baik itu burung atau binatang, pacaran selalu dibuat agar
terlihat oleh orang yang ingin kamu coba rayu.”
“Rayu…?”
Mendengar kata itu keluar dari
mulut Maru membuatku bingung sejenak, dan aku kehilangan akal untuk sesaat.
Maru tidak melewatkan kesempatan itu, dan melanjutkan untuk menjatuhkan bom
tambahan.
“Kesampingkan itu. Kenapa kamu
menanyakan pertanyaan itu? Apa kamu akhirnya menemukan Cinderella-mu?”
Dan kenapa Ia terlihat sangat
bahagia?
“Tidak sama sekali, aku cuma
bertanya karena penasaran saja.”
“Cepat, mengaku saja.”
“Mengaku apanya. Dan juga,
seriusan tidak ada yang bisa kuceritakan.”
“Lalu? Bagaimana kalian bisa
saling mengenal?”
“Astaga, coba dengarkan aku
dulu... Aku hanya ingin tahu bagaimana perasaan kalian berdua tentang fashion,
cuma itu saja.”
“Pfft… Hahaha! Kamu cowok yang
menarik, Yuuta.”
“Hah? Memangnya aku mengatakan
sesuatu yang lucu?”
Aku mendapati diriku merasa
resah ketika Shinjou tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Aku cuma mengagumi proses
berpikirmu. Seperti, pakaian seperti apa yang akan kamu kenakan saat pergi ke
suatu tempat dengan seorang gadis. Membahas sesuatu yang tidak pernah
benar-benar aku pikirkan sampai saat ini benar-benar mengejutkanku.”
“…Jadi kamu biasanya tidak
terlalu memikirkan masalah pakaian?”
“Sejujurnya, memang tidak. Aku
pikir ini adalah pertama kalinya aku benar-benar memikirkannya. Rasanya… lumayan menyegarkan,” kata Shinjou sambil tersenyum.
Apa yang aku anggap normal dan
cukup jelas ternyata menjadi sesuatu yang belum pernah Shinjou lakukan
sebelumnya. Jika kamu membalikkannya, Ia melihat mode dan pemikiran di baliknya
sebagai hal yang wajar sehingga Ia bahkan tidak perlu memusingkannya, sedangkan
aku harus secara sadar mempertimbangkan pilihan pakaianku. Aku selalu berpikir
beberapa orang memilikinya, dan beberapa orang juga tidak, tapi kurasa ini
lebih menggambarkan pepatah “rumput
tetangga selalu terlihat lebih hijau”.
“Ngomong-ngomong, Shinjou
mungkin terlihat seperti tipe pria yang bergaya, tapi dia tidak benar-benar
bermain adil.”
“Ah, oii, Tomokazu!”
“Apa maksudmu?"
“Ugh …” Shinjou menggaruk
pipinya dan menjelaskannya dengan enggan. “Yah, umm… sebenarnya aku sendiri punya adik perempuan.
Dia anak kelas 3 SMP, jadi setiap kali kita pergi berbelanja pakaian dan aku
mengambil sesuatu yang tidak dia sukai, dia akan memberitahuku 'Kamu terlihat payah, Bro' atau
semacamnya.”
“Adikmu melakukan itu?”
“Ya. Dia seorang gadis. Jadi
memiliki pendapat seorang gadis ketika membeli pakaian selalu sangat dihargai.”
“Artinya kamu tidak harus
menjadi fashionista terhebat. Begitu ya. Aku bahkan tidak pernah memikirkannya
seperti itu.”
“Kenapa kamu tidak meminta
adikmu untuk memberimu nasihat tentang masalah fashion, Yuuta?”
“Meminta Ayase-san untuk
membantuku? Aku tidak berpikir kalau aku harus…”
“Dasar bego. Ayase itu lebih mirip
seperti teman sekelas daripada adik perempuan baginya, jadi jangan bandingkan
situasi mereka denganmu dan adik perempuanmu.” Maru menyikut pinggang Shinjou.
Ia tampaknya tidak menunjukkan
banyak menahan diri dalam hal itu, dan Shinjou memegang sisinya, terengah-engah
sebentar sebelum melanjutkan.
“Ku-Kurasa begitu… Kalau
begitu, apa aku harus meminta bantuan adik perempuanku?”
"Itu mungkin akan lebih
buruk.”
Aku merasa tidak enakan karena
melibatkan adik perempuannya dalam kekacauan ini.
“Kamu harus tahu bahwa
gadis-gadis sebenarnya menyukai hal semacam ini. Dia sangat senang melihat
foto-foto temanku, yang kemudian membuatku memberi saran kepada orang-orang
dari klub tenis tentang gaya rambut atau pakaian mereka.”
“Jadi itu yang kalian berdua
selalu lakukan…? Ah, itu jadi menjelaskan banyak hal.”
Siswa yang memiliki saudara
biasnaya memiliki lebih banyak koneksi senior-junior daripada yang beranak
tunggal. Itu adalah sesuatu yang sering aku saksikan sejak sekolah SMP. Aku
selalu ingin tahu mengapa itu terjadi, tetapi aku rasa di sinilah keterampilan
percakapan terkait saudara berperan, membantu mereka membentuk hubungan baru di
antara lingkungan mereka. Mungkin alasan banyak pria tampan dan modis mengisi
lingkaran petemanan Shinjou bukanlah karena mereka mencoba untuk terus-menerus
meningkatkan satu sama lain, tetapi itu hanya hasil dari pertukaran informasi
dan berbagi lingkungan yang terus-menerus.
“Dan karena orang lain juga
pernah melakukannya, jadi kamu bisa mendapatkan beberapa nasihatnya, Yuuta.
Jika kamu mengirimiku beberapa fotomu melalui LINE, aku akan menyampaikannya
kepadanya tanpa masalah.”
“Aku tidak punya kebutuhan
mendesak untuk itu ... tapi aku akan mengingatnya, terima kasih.”
“Yah, itu hampir sama untuk
selera fashion di dalam klub bisbol. Entah itu keadaan yang memudahkan pria
untuk memahami apa artinya menjadi bergaya, atau mereka mempelajari sendiri dan
mempelajarinya dengan cara yang sulit untuk alasan apa pun yang mungkin. Tanpa
salah satu dari dua hal itu, kamu takkan membuat banyak kemajuan. Belum lagi
kamu tidak pernah benar-benar mengikuti tren terbaru dan semacamnya, jadi tidak
perlu terburu-buru.” kata Maru.
Maru seharusnya mana mungkin
bisa mengetahui rincian kecil dari kesulitan aku saat ini, namun nasihatnya
masih tepat sasaran sakan-akan Ia bisa membaca pikiranku. Ia memang sahabatku
yang bisa diandalkan. Dalam hal itu, mungkin akan lebih baik untuk menghindari
masalah yang berhubungan dengan Ayase-san saat dia berada di sekitarku. Kalau
terus begini, Ia akan membuatku mengakui semuanya…
“Oi, Shinjou, belnya sudah
berbunyi tuh. Cepat kembali ke kelasmu! Hush~ hush~!”
“Oh sial, sudah jam segiini?”
Kami dengan cepat bertukar ID
LINE kami.
“Tadi itu percakapan yang
menyenangkan, kalian berdua. Aku akan mampir lagi kapan-kapan!”
“Kami tidak menunggumu,” kata
Maru.
“Akan aku hubungi kapan-kapan.”
Shinjou meninggalkan kelas kami
sambil melambaikan tangannya ke arah kami. Aku sungguh merasa senang bisa
berbicara dengannya. Aku selalu menganggapnya sebagai beberapa jenis makhluk
yang berbeda, tapi percakapan ini membuat aku menyadari bahwa kami lebih mirip
daripada yang aku pikirkan sebelumnya. Dan pada saat yang sama, aku memutuskan
untuk benar-benar memikirkan selera fashionku sendiri.
◇◇◇◇
Karena kami menyadari kalau
kami berada di minggu kedua bulan Oktober, matahari terbenam terjadi jauh lebih
cepat daripada selama musim panas. Setelah jam pelajaranku berakhir, aku
memilih untuk segera pergi bekerja tanpa mampir pulang ke rumah dulu. Sekitar
waktu aku sampai di tempat kerja, matahari sudah turun dekat cakrawala. Aku
cukup yakin sang mentari akan terbenam penuh pada jam 5 sore.
Yah, beri waktu dua bulan lagi
dan kita semua akan berada di tengah musim dingin. Tidak membutuhkan waktu lama
sebelum hembusan angin dingin ini berubah menjadi angin musim dingin yang
dingin. Sudah sampai pada titik bahwa aku tidak bisa mengendarai sepeda ke mana
pun tanpa mengenakan sweter tebal. Tapi untuk bekerja, aku harus melepasnya di
ruang ganti, jadi setelah selesai melepasnya dan selesai mengganti seragamku,
aku langsung bertemu Ayase-san dan Yomiuri-senpai saat memasuki kantor utama.
Hari ini, aku memiliki shift dengan mereka berdua.
“Pagi, Kouhai-kun.”
Orang pertama yang pertama
berbalik adalah Yomiuri-senpai, yang menyapaku dengan sapaan standar. Dia
mengenakan seragam polos toko buku kami dengan celemek klasik di atasnya,
menggambarkan tipe ideal gadis cantik dengan rambut hitam panjangnya yang
berkilau.
“Selamat pa—Tunggu, hari ini
hampir menjelang malam. Bukannya itu terlalu dini? Ini saatnya untuk mengatakan
'selamat malam,' bukan?”
“Ini terminologi industri,
oke?”
“Aku tidak tahu industri macam apa
yang diam-diam kamu ikuti, tetapi aku cukup yakin itu tidak jauh berbeda dari
bekerja di toko buku. Jadi ada apa?”
“Jangan biarkan leluconku lenyap
begitu saja. Balasan dewasa terlalu membosankan untuk orang dewasa sepertiku,
hiks hiks.”
Yang bisa aku lihat hanyalah
perilaku kekanak-kanakan dari seorang om-om baya dalam tubuh seorang gadis
muda.
“Saki-chan dan aku ditakdirkan
untuk bertugas jadi bagian kasir hari ini.”
“Oh begitu rupanya.”
Sekarang jadi masuk akal
mengapa Ayase-san memiliki mata ikan mati. Aku tidak terlalu mempermasalahkan
tugas di meja kasir, tapi itu adalah bagian paling menyebalkan dari bekerja di
toko buku, pastinya. Apa pun yang berhubungan dengan kasir atau konter adalah
jenis pekerjaan yang paling membosankan.
“Ada begitu banyak hal yang
perlu untuk diingat.”
“Tapi Saki-chan, kamu belajar
tentang semua yang perlu diketahui dalam dua minggu pertama.”
“Hampir semuanya, ya. Aku masih
berantakan di sana-sini, sih. ”
“Rajin, sangat rajin. Butuh
waktu tiga bulan bagiku untuk benar-benar terbiasa. Belum lagi aku menjadi
lebih ceroboh dibandingkan saat pertama kali memulai.”
“Benarkah?”
“Di zaman sekarang, ada lebih
banyak pilihan metode pembayaran yang memungkinkan. Bukan hanya kartu kredit;
ada juga banyak pelanggan yang membayar melalui aplikasi. Meski kami akan
segera mendapatkan mesin yang memungkinkan kartu dan aplikasi bekerja secara
bersamaan, syukurlah.”
“Oh, jadi akhirnya sampai juga
pada kita?”
Itu adalah berita bagus untuk
memulai shift kerja. Hal itu seharusnya membuat segalanya jadi lebih mudah di
kasir.
“Yah, sebanyak metode pembayaran
telah meningkat jumlahnya, kita juga kehilangan beberapa hal di sepanjang
jalan. Kita jadi jarang melihat orang menggunakan kartu perpustakaan lagi.”
Ayase-san yang tampak bingung
mendengarnya mulai bertanya. “Kartu perpustakaan itu apa?”
“Wohaaaaaaa?!”
Bagaimana bisa kamu
menghasilkan suara seperti itu, Senpai?
“Mana mungkin, ini terjadi di
sini! Jadi ini yang namanya kesenjangan generasi yang sering aku dengar!
Kouhai-kun, apa kamu barusan mendengarnya? Itulah yang kamu sebut gerakan gadis
SMA yang berkilau. Kami telah diberkati dengan zoomer!”
“Aku merasa sulit untuk mempercayai
bahwa kesenjangan dalam generasi akan menyebabkan perbedaan pengetahuan seperti
itu …”
“Tamat sudah riwayatku … aku
sudah jadi perawan tua… seorang wanita yang takkan berani dirayu oleh siapa
pun. Wahhhhh.”
“Mengapa kamu sekarang menangis
secara verbal? Apalagi, aku tidak pernah mendengar ada orang yang menangis saat
mengatakan itu.”
“Lalu bagaimana dengan waaah
aaaah waaah?”
Dia hanya menambahkan lebih
banyak suku kata sekarang.
“Jadi, um… Apa itu kartu
perpustakaan?”
Sebelum waktunya giliran kerja
kami dimulai, kami berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan metode pembayaran
kuno yang disebut “kartu perpustakaan” kepada Ayase-san, tetapi dia sepertinya
masih tidak terlalu memahaminya. Baik kartu perpustakaan dan kartu kertas
lainnya seperti voucher alat tulis semuanya telah hilang dari peradaban sejarah.
Bahkan kartu fisik untuk ponsel sudah mulai lenyap.
Aku melihat dua gadis memasuki
area kasir dari sudut mataku saat aku memindahkan troli di belakangku menuju
rak buku. Di atas troli ada kotak kardus kosong untuk dikemas dengan
pengembalian. Aku meraih daftar yang diberikan kepadaku dengan semua buku yang
akan berangkat hari ini dan mempersiapkan diri secara mental.
“Sekarang…”
Aku harus memulai dengan benda
yang lebih besar dulu. Trik untuk pekerjaan semacam ini adalah mengeluarkan
buku-buku yang lebih besar terlebih dahulu. Karena kamu masih energik dan belum
lelah bekerja, tenagamu harus diarahkan ke rintangan yang lebih besar. Dan itu
membuatmu merasa telah mencapai banyak hal, yang meningkatkan motivasimu lebih
jauh. Jika kamu memulai dengan buku-buku yang lebih kecil, itu akan memberimu
perasaan lesu palsu dan berkat itu kamu akan membuang terlalu banyak waktu
daripada benar-benar menyelesaikan pekerjaan.
Dengan pemikiran begitu, aku
berurusan dengan majalah yang lebih besar. Aku melihat melalui meja datar di
depan rak, memilih majalah yang akan terbit besok, dan memasukkannya ke dalam
kotak kardus. Jika hanya ada satu atau dua yang tersisa, beberapa di antaranya
bisa berakhir dipindahkan dari meja datar ke rak buku, sehingga membutuhkan
perhatian juga. Mengidentifikasi mereka hanya dengan mengikat pasti akan
membutuhkan waktu, tapi aku memastikan untuk mengambil semuanya.
Selama bekerja, aku menemukan
majalah mode pria yang sepertinya belum pernah disentuh sama sekali, halamannya
siap melukai jarimu—yang pernah aku alami sebelumnya selama musim dingin. Itu
menunjukkan seorang pria berpakaian bagus di sampulnya. Umumnya, buku dengan
genre yang sama datang dan pergi pada hari yang sama, jadi fakta bahwa kita
akan mendapatkan majalah baru besok hanyalah sebuah kebetulan. Aku mungkin sudah
sering melihat majalah fashion seperti itu berkali-kali sebelumnya, tetapi aku
tidak pernah benar-benar memikirkannya.
Begitu rupanya, jadi model pakaian
seperti ini sedang jadi tren ya... Sejujurnya, aku tidak akan bisa membedakan
keduanya. Oh iya, mereka biasanya membagi ini antara majalah mode pria dan
wanita, tapi apakah orang-orang memeriksa apa yang populer untuk lawan jenis?
Atau mereka lebih menekankan pada selera mereka sendiri daripada apa yang mungkin
dipikirkan orang lain? Yaitu, sama seperti aku yang mungkin tidak menganggap
gaya rambut wanita aneh sebagai imut, seorang wanita mungkin tidak melihat
selera halus dalam pakaian yang ditampilkan di majalah mode pria… mungkin?
Aku cukup diberkati untuk
mendengar pendapat Maru dan Shinjou, dua pria, sebelumnya, tetapi aku ingin
mendengar pandangan gadis juga tentang itu. Untungnya, Yomiuri-senpai ada di
sini. Setelah aku menyelesaikan semua pekerjaan yang diperlukan, aku segera
mendorong troli ke tempat semula dan berjalan ke kasir. Ayase-san melihatku
memasuki perimeter bagian dalam dan tersentak.
“Aku akan mengambil alih untuk
pemeliharaannya,” katanya dan pergi ke area dengan rak buku.
Kenapa dia terlihat begitu gelisah?
Aku merasa dia sempat melirikku sambil berlalu, tapi apa-apaan itu…? Karena
waktu sudah hampir malam, bagian dalam toko buku tidak seramai beberapa jam
yang lalu. Akibatnya, kami akhirnya bisa duduk-duduk bosan di kasir. Tidak ada
antrian di kedua sisi kami juga. Karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan, dan
Yomiuri-senpai ada di sebelahku, aku memutuskan kalau sekarang adalah waktu
yang tepat untuk berkonsultasi dengannya.
“Apa kamu mendiskusikan sesuatu
dengan Ayase-san?”
“Tidak kok! Jangan khawatir~”
“…Jika kamu berkata begitu?”
Yah, tidak sopan juga untuk
ikut campur dalam percakapan mereka. Terutama mengingat kemungkinan bahwa
mereka mungkin saja membicarakanku di belakangku. Memikirkannya saja saja membuatku
merinding.
“Hm? Ada apa, Kouhai-kun? Wajahmu
kok seperti katak yang mengantuk.”
“Wajah macam apa itu?”
“Sesuatu seperti ini.”
Dia kemudian menutup matanya
dengan setengah tertutup, menjulurkan dagunya untuk mengarahkan pandangannya ke
atas, dengan mulut terbuka seperti itik yang menunggu untuk diberi makan…
Apa-apaan itu? Apa aku benar-benar membuat wajah seperti itu? Aku khawatir
bahwa aku akan terseret ke dalam percakapan yang aneh jika terus meladeninya,
jadi aku memutuskan untuk mengemukakan apa yang ingin aku tanyakan sambil
menghindari materi sensitif apa pun.
“Oke, ini hanya pertanyaan
hipotetis. Mari kita asumsikan kalau Senpai mendapat seorang pacar, dan kalian
berdua pergi berkencan.”
“… Hee, hee.”
Hah? Tunggu, kenapa dia tertawa
seperti itu?
“Yah pokoknya … kamu mungkin
ingin pacarmu berdandan … ‘kan?”
Begitu menerima pertanyaanku,
Yomiuri-senpai meletakkan satu jari di dagunya dan sekali lagi menatap
langit-langit. Caranya mengerucutkan bibirnya dan menatap ke dalam kekosongan
di atasnya bisa dibilang cukup menggemaskan. Dia benar-benar menggambarkan
seorang mahasiswa yang sopan dan santun, tetapi jika itu benar, bagaimana dia
bisa meniru wajah katak yang mengantuk tadi?
“Jika Ia berdandan terlalu
berlebihan, aku mungkin akan mendapat banyak tekanan.”
“Tekanan?”
Dengan kata lain, itu akan
memaksa si gadis untuk lebih memperhatikan penampilannya sendiri, dan
menimbulkan kecemasan serta kelelahan mental yang besar. Begitu, itu memang
info yang penting.
“Tapi…”
“Hm?”
Suara Yomiuri-senpai menunjukkan
secercah kewaspadaan.
“Mengesampingkan hal itu, Ia
tidak perlu berdandan berlebihan. Hanya mengetahui bahwa Ia mencoba membuatku
bahagia dengan memberiku waktu yang lebih mudah saja sudah cukup untuk
membuatku merasa diperlakukan dengan benar.”
Kata-kata tersebut membuatku
terkesiap. Maru mengatakan sesuatu yang serupa pagi ini. Menunjukkan perhatian
dan pertimbangan terhadap pasangan sama pentingnya dengan hal lainnya. Pada
saat yang sama, argumen Yomiuri-senpai lebih terfokus pada gagasan bahwa
pasangan seseorang dapat berdandan dalam upaya untuk mencocokkan orang lain,
yang menunjukkan betapa pedulinya mereka. Jika pihak cowok yang melakukan ini
untuknya, dia tampaknya akan berpikir bahwa cowok tersebut tampak imut, dan
pada akhirnya akan membuat si gadis merasa bahagia.
“Terima kasih banyak untuk
semua petunjuk ini. Aku memahami apa yang ingin coba kamu katakan, tapi
memanggil cowok 'imut' bukannya itu pujian yang
berlebihan, bukan? ”
“Oh, apa itu yang kamu
rasakan?”
“Aku takkan terlalu senang jika
dipuji dengan cara seperti itu…”
“Kata-kata memiliki makna dalam
konteks di mana mereka diucapkan, Kouhai-kun. Sebagai pecinta buku yang kamu
akui, itu seharusnya masuk akal!”
“Konteks… Memang. Jadi, apa
arti dari 'imut' dalam konteks tertentu itu?”
“Menghormati!”
“Aku mending tidak usah
bertanya saja tadi...”
“Aku cuma bercanda kok, arti
sebenarnya adalah ...”
Yomiuri-senpai melihat seorang
pelanggan berjalan menuju kasirnya dan beralih ke mode kerja sambil mengucapkan
kalimat berikutnya begitu cepat sampai-sampai membuatku terdiam.
“'Aku sangat mencintaimu, kamu pria yang sangat beruntung' itulah arti sebenarnya.”
Fakta bahwa dia bisa mengatakan
kalimat yang memalukan dengan wajah lurus membuatku tidak merasakan apa-apa
selain kekaguman padanya selama sepersekian detik, tapi setelah dipikir-pikir
lebih mendalam, kalimat itu tidak menimbulkan keraguan atau pertanyaan lebih
lanjut di dalam pikiranku, jadi ini kemungkinan besar bagaimana Yomiuri-senpai
rasakan dalam konteks ini. Tak perlu dikatakan, hal yang sama tidak dijamin
untuk Ayase-san, dan aku berani bertaruh bahwa ada beberapa wanita di dunia
yang akan tidak setuju. Pada akhirnya, lebih baik aku membeli majalah fashion
untuk dipelajari nanti…
Jam 10 malam akhirnya tiba, dan
setelah akhir shift kami masing-masing, Ayase-san dan aku pulang. Aku harus
mendorong sepedaku seperti biasa, bersama Ayase-san yang berjalan di sampingku.
Aku bisa melihat tangannya menyembul dari lengan baju musim dinginnya, yang
bagiku terlihat agak dingin. Sejak matahari terbenam lebih cepat, suhu secara
alami mulai turun cukup cepat.
“Apa kamu tidak memakai sarung
tangan?”
“Rasanya masih terlalu dini.
Karena baru di bulan Oktober. Tapi hari ini memang
agak dingin."
Termometer di stasiun kereta
Shibuya menunjukkan kalau suhu saat ini ialah 9°C. Mengingat musim yang kita
jalani, bisa dibilang ini adalah cuaca dingin yang langka.
“Bagaiimana kalau kita pergi
membeli sesuatu yang hangat di minimarket dalam perjalanan pulang?”
“Aku baik-baik saja. Sebentar
lagi juga kita akan sampai di rumah. Itu cuma akan membuang-buang uang saja.”
“Oke… Yah, kurasa begitu.”
Dalam situasi seperti ini, aku
menemukan diriku tidak yakin bagaimana menangani situasi ini, mengingat
hubungan kami yang sekarang. Berpegangan tangan mungkin menjadi pilihan tepat jika
aku tidak harus menjaga kedua tangan aku di atas sepeda. Dalam manga yang sudah
lama kubaca, protagonis dengan paksa memasukkan tangan si gadis ke dalam
sakunya sendiri untuk menghangatkannya, tapi aku khawatir tindakan memalukan
semacam itu hanya dilakukan untuk orang-orang yang benar-benar pacaran. Jika
seseorang bertanya kepadaku apakah aku ingin melakukan itu, aku mungkin akan
dengan sopan menolak untuk menyelamatkan mukaku di depan umum.
Dengan kata lain, mungkin
hubungan idealku dengan Ayase-san bukanlah hubungan antar kekasih, melainkan
hubungan saudara tiri normal yang saling peduli. Hal itu lalu menimbulkan
pertanyaan: Apa emosi yang aku rasakan terhadap Ayase-san ini benar-benar cinta
romantis, atau bukan? Aku masih belum menemukan jawaban pasti atas pertanyaan
yang dia ajukan hari itu. Dan sementara aku tenggelam dalam pikiran sekali
lagi, Ayase-san sudah memasukkan tangannya ke dalam sakunya.
“Apa?”
“Ah, yah…”
Mana mungkin aku bisa mengakui
pikiran yang memenuhi kepalaku pada saat ini, itulah sebabnya aku dengan panik
mencari cara yang mungkin untuk mengubah topik. Aku mencoba ini dengan
mengamati penampilan Ayase-san saat ini, dan kemudian aku memikirkan sesuatu.
“Pakaianmu…”
“Hah?”
“Maksudku, kita pertama kali
bertemu di musim panas, ‘kan? Melihat pakaian musim dinginmu terasa
begitu…segar buatku.”
“Apa itu kelihatan aneh?”
"Tidak, tidak sama sekali.
Um… kelihatannya bagus.”
Tubuh Ayase-san tertegun hingga
aku samar-samar bisa melihatnya, dan dia mengarahkan pandangannya ke depan.
“Kamu takkan mendapatkan
apa-apa dari memujiku.”
“Itu hanya kesan jujurku.”
“Oh benarkah, masa. Itu sangat
sesuai dengan sifatmu, Asamura-kun…”
Aku ingin tahu apa yang dia
maksud dengan itu.
“Aku sangat menantikan untuk
pergi berbelanja besok.”
“Aku juga.”
Nyala api percakapan kami
segera padam dengan percakapan terakhir itu, dan kami melanjutkan perjalanan
pulang dalam keheningan. Setiap kali kami melewati lingkaran cahaya yang
disediakan oleh lampu jalan yang ditempatkan secara berkala di sisi jalan, aku
bisa melihat bayangan samar wajah Ayase-san. Untuk sesaat, aku menikmati
sosoknya saat dia berjalan di depan dengan punggung lurus.
Menakjubkan,
pikirku dalam hati. Kami mungkin tidak banyak bicara, tapi aku tidak merasa
kecewa sedikit pun. Sebaliknya, bahkan bentangan kecil dari tempat bekerja
menuju ke rumah, dan waktu singkat untuk bersama dengannya memberiku,
memenuhiku dengan banyak kebahagiaan.
Sebelumnya ||
Daftar isi || Selanjutnya