Chapter 02 — 19 Oktober (Senin) Ayase Saki
Tak lama setelah waktu tengah malam, aku
sekali lagi mendapati diriku tenggelam dalam pikiran. Masalah utama yang terus
terngiang-ngiang di dalam pikiranku tentu saja adalah janji yang aku dan
Asamura-kun buat pada hari festival budaya ... janji kalau kami akan pergi dan
jalan-jalan ke suatu tempat. Hanya kami berdua. Sejak saat itu, otakku dipenuhi
dengan pertanyaan seperti ke mana harus pergi, bagaimana cara mengundangnya,
dan apa yang harus kami lakukan.
Masalah terbesar dari semuanya
ialah sikap Asamura-kun. Dilihat dari caranya berinteraksi dan tingkahnya di sekitarku
membuatku cemas bahwa Ia mungkin telah melupakan janji kami, itulah sebabnya
aku menderita dalam diam. Itu membuatku merasa seperti akulah satu-satunya yang
terus-menerus memikirkannya, cuma aku satu-satunya yang benar-benar
menantikannya, dan ini membuatku berguling-guling di tempat tidurku berulang
kali. Oh ayolah, aku akan kehilangan waktu tidurku yang berharga jika hal ini
terus berlanjut. Meski aku terus mengatakan itu pada diriku sendiri, tapi ...
Sekarang sudah memasuki hari
Senin. Setelah aku bangun nanti, sudah waktunya untuk berangkat sekolah. Aku
menarik selimutku hingga menutupi kepalaku dan memaksa mataku untuk terpejam. Aku
perlu tidur. Sudah waktunya untuk tidur… Aku terus berkata pada diriku sendiri.
Aku masih mengatakan ini pada diriku sendiri ketika nada dering ponselku
menembus kesunyian.
“Oh, ayolah …”
Aku meraih smartphone-ku untuk
memeriksa siapa yang menggangguku malam-malam begini, yang ternyata orang
tersebut adalah Maaya. Aku mendapat pesan LINE darinya.
“Memanganya dia pikir sekarang sudah
jam berapa, sih?” Aku menggerutu pada diriku sendiri saat melihat pesannya.
'Aku
tidak bisa tidur, tolong aku!'
Kamu
juga? Aku menghela nafas pada diriku sendiri dan mengetik
balasan.
'Tidur
sana.'
'Tapi
aku sudah memikirkan ini selama berjam-jam sekarang! Aku baru saja menonton
video dan pria di dalam video itu mengatakan sesuatu yang sangat aneh!’
'Memangnya
pria itu bilang apa?'
'Ia
bilang ‘Kami telah mengkonfirmasi semuanya!’, Yang mana itu sendiri tidak ada
masalah. Tapi coba pikirkan! Ketika kita yakin akan sesuatu, kita menggunakan
kanji 確
diikuti dengan kata kerja
menyusun sesuatu dengan kanji 認 untuk
membentuk kata 'konfirmasi' dan kanji 確認.
Dari dulu sudah seperti ini bentuknya. Namun jatuh落 dari
kuda馬
adalah apa yang kita satukan di落馬 . Kanji untuk kata kerjanya diganti, dan
itu membuatku gila!’
Siapa juga yang peduli dengan
itu?
'Aku
jadi kepikiran; bagaimana jika kita mengubahnya? Tapi semakin dalam aku
merenungkannya, kepalaku semakin mumet! Itu membuatku ingin berhenti
menggunakan frasa itu!’
Itu bahkan lebih penting
daripada dilema sebelumnya.
“Cepat
pergi ke tempat tidur."
'Tidakkkkkk!
Ayo pikirkan ini bersama-sama!’
'Kenapa
juga kamu menonton video pada jam segini?'
Aku menanyakan itu padanya
karena terbawa suasana, dan Maaya segera membalas pesan panjang yang
menjelaskan alasannya. Maaya akan selalu mengirim pesan yang padat isinya. Aku
selalu sedikit terkejut betapa cepatnya dia bisa mengetiknya. Untuk meringkas
apa yang dia katakan padaku dalam beberapa kata, dia telah menonton anime larut
malam yang tidak bisa dia lewatkan, itulah sebabnya dia begadang. Dalam upaya
untuk bisa mengantuk lagi, dia mulai menonton live streaming seseorang, yang mana
itu justru menghasilkan efek sebaliknya.
Komentar pertamaku tentang itu
ialah: Jangan libatkan temanmu dalam masalahmu sendiri. Yang kedua, aku cukup
yakin ada layanan streaming yang bisa membuatmu menonton episode anime sesuai
permintaan. Tidak ada alasan sebenarnya untuk begadang sampai larut malam demi
bisa menontonnya. Dan Maaya sendiri telah membuat argumen itu. Jadi mengapa dia
begitu ngotot menonton episode secara real-time?
'Aku
memang menggunakan layanan streaming semacam itu, tetapi itu tidak bisa menggantikan
sensasi menontonnya secara real-time! Perasaan terhubung dengan semua jenis
orang di seluruh dunia saat mereka menonton episode anime yang sama sepertimu
dan merasakan emosi yang sama pada saat itu adalah sesuatu yang tidak dapat kamu
tiru dengan mudah!’
"Kamu
mana mungkin bisa tahu apa mereka merasakan emosi yang sama, kan?”
'Bla
bla bla! Jangan merusak kesenanganku, Sakinosuke! Aku dengan rendah hati harus
mengakui bahwa aku merasa lagi kecewa denganmu!’
Sakinosuke? Apa itu julukanku?
Sejak kapan ini berubah menjadi drama sejarah?
'...Ah,
jari-jariku rasanya capek sekarang. Tanganku mulai kram.'
Bagaimana bisa kamu kena kram
karena cuma menulis pesan LINE?
'Jika
kamu masih bangun, bagaimana kalau kita telponan saja?'
Sekali lagi, jangan seret aku
ke dalam kekacauan yang kamu buat… Ya ampun. Aku benar-benar berharap bisa
cepat tidur, tetapi aku kebetulan mengingat sesuatu yang ingin aku tanyakan,
jadi aku langsung menyetujuinya. Begitu aku mengiriminya tanggapanku,
pemberitahuan untuk panggilan masuk muncul di ponsel. Cepat sekali. Dia mungkin
meletakkan jarinya di tombol panggil.
“Aloha,
Saki~”
“Apa kamu pindah ke Hawaii?”
“Aku
merasa kesepian jadi aku ingin menghangatkan suasana hatiku yang suram ini
dengan beberapa perubahan yang baik.”
“…Kututup saja telponnya.”
“Ahhh,
jangan! Tolong beri perhatian padakuuu! …Oh, juga.”
“Sekarang apa lagi?”
Aku terkejut dengan perubahan
nada suara Maaya yang begitu mendadak.
“Saki,
ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan padaku, ‘kan?”
“…Hah? Tidak, tidak sama
sekali, kok.”
“Benarkahhhh~?
Kamu biasanya menjalani hidup dengan tempomu sendiri, jadi biasanya kamu takkan
setuju untuk panggilan telepon selarut ini, kan? ”
“Ugh.”
“Dan
aku pikir kamu mengatakan 'ya' karena kamu membutuhkan saranku mengenai sesuatu,
bukan?’
“Seriusan … kadang-kadang kamu
terlalu peka pada hal-hal yang aneh.” Aku menghela nafas dan mengibarkan
bendera putih padanya.
Aku berpikir untuk mengarahkan
percakapan ke arah yang memungkinkanku untuk menanyakannya secara alami, tetapi
teman baikku ini tampaknya sudah kebal terhadap teknik semacam itu.
“Sudah
kuduga.”
“Yah, kamu tahu ... Mari kita
ambil perumpamaan di mana kamu pergi ke suatu tempat dengan anak cowok.”
"Pergi
kemana?"
“Um, tempatnya sendiri tidak
terlalu penting. Kamu hanya ingin pergi ke mana pun dengan cowok ini.”
“Oke,
aku mengerti.”
“Bagaimana caramu mengundangnya
secara alami?”
“Apa
kamu mau pergi ke suatu tempat bersama Asamura-kun?”
Apa?!
“A-Aku tidak pernah menyebut
nama Asamura-kun, ‘kan?”
“Saki,
memangnya kamu pernah peduli dengan
sembarang orang? Jika itu bukan seseorang yang dekat denganmu, kamu akan
bertindak seperti penembak jitu terhebat di dunia dan menjaga jarak dari semua
orang dengan sikap dingin seperti zaman es kedua menimpa seluruh umat manusia.”
“…Begitukah caramu melihatku,
Maaya?”
“Maksudku,
Asamura-kun adalah satu-satunya orang yang membuatmu cemas dan khawatir untuk
mengajak seseorang.”
Ini bukan seperti itu…
“Serangan
Shinjou telah mereda belakangan ini, jadi pilihan yang tersisa sudah pasti Asamura-kun.”
“Maaya. Sebelum kamu memikirkan
hal yang aneh-aneh, bahkan jika kita berasumsi bahwa cowok yang dimaksud adalah
Asamura-kun, alasan kita pergi bersama jelas-jelas bukan seperti yang kamu
pikirkan.”
“Oh
masa~?”
Aku tidak berpikir aku pernah
mendengar komentar tidak percaya seperti itu dari siapa pun sepanjang hidupku.
Tanpa sadar aku mencengkeram ponselku lebih erat dari sebelumnya. Maaya terus
berbicara dengan nada suara yang meragukan.
“Alasan
merupakan poin penting di sini. Jika kamu tidak memiliki alasan yang terdengar
tulus untuk mengundangnya, itu akan membuatnya terdengar seperti kamu memiliki
motif tersembunyi, dan itu akan membuat pihak lain lebih berhati-hati.”
“Aku tidak punya motif
tersembunyi.”
“Hmmmm…”
“Sekali lagi, itu bukan—”
“Bukannya
itu lebih dari cukup untuk membuat alasan yang bagus. Kamu tidak ingin dia
menolakmu, kan?”
“Yah… aku…”
Aku bahkan tidak
mempertimbangkan kemungkinan itu. Tapi dia benar. Kenapa aku tidak pernah
mempertimbangkannya? Mungkin Asamura-kun sebenarnya tidak ingin pergi ke suatu
tempat bersamaku. Lagipula, Ia tidak pernah mengungkit janji kami lagi setelah
hari itu. Apa yang harus aku lakukan jika Ia beneran mengatakan tidak?
“Misalnya
saja…… Hei, apa kamu mendengarkanku?”
“Ah, ya, tentu saja.”
“Dua
hari dari sekarang, temanmu bernama Narasaka Maaya ini akan merayakan ulang
tahunnya.”
“Ah, selamat.”
“Terlalu
sembrono! Dan masih terlalu cepat!”
“Apa kamu mau aku
mengucapkannya pada hari yang sebenarnya?”
"Aku
tidak keberatan. Pokoknya, kamu bisa menggunakan ini sebagai alasan untuk
mengajaknya. Katakan bahwa kamu ingin membeli hadiah untuk pesta ulang tahun
Narasaka Maaya, tahu?”
“Kamu berencana mengadakan
pesta ulang tahun?”
“Tidak
juga. Atau lebih tepatnya, aku tidak berniat begitu… Aku berpikir bahwa mungkin
aku bisa mengadakannya supaya kamu punya alasan.”
“Bukannya itu terlalu membebanimu?”
“Tidak sama sekali kok. Lagipula, cuma ada kamu dan Asamura-kun saja
yang akan datang.”
Apa kamu masih bisa menyebutnya
sebagai pesta ulang tahun? Apa bedanya dengan hanya mengunjungi rumahnya
seperti yang kadang-kadang kami lakukan?
“Itulah
yang membuatnya hebat. Kamu tidak perlu gugup, begitu juga dirinya. Dan kamu
punya alasan yang tepat untuk mengundangnya!”
Begitu rupanya. Ia pernah ke
tempat Maaya sebelumnya, dan jika itu dengan dalih pesta ulang tahun Maaya,
Asamura-kun pasti takkan ragu-ragu.
“Tapi apa kamu sendiri yakin
tentang itu?”
“Tentang
apa?”
Berbeda dengan diriku, Maaya cukup
populer di sekolah. Jika dia memberitahu kalau dia akan mengadakan pesta ulang tahun,
dia pastinya bisa mengumpulkan peserta tidak hanya dari kelas kami, tapi juga
di seluruh sekolah. Sejujurnya, aku bahkan tidak terlalu kaget jika dia mengadakan pesta setiap tahun. Jadi
ketika aku bertanya kepadanya tentang itu, dia menjelaskan bahwa dengan
banyaknya kemungkinan peserta, dia bahkan takkan dapat menampung mereka semua
di apartemennya, sehingga memaksanya untuk menolak orang-orang yang ingin hadir.
Baginya pribadi, dia lebih suka tidak mengadakan pesta sama sekali ketimbang
menyakiti orang-orang dengan cara seperti itu. Serius, seberapa sempurnanya
gadis ini? Dia sangat peduli pada semua orang secara setara.
“Tapi
kali ini, satu-satunya tujuanku adalah untuk mendukung cinta yang mekar di
antara kamu dan Asamura-kun, jadi ini seharusnya baik-baik saja~”
“Sekali lagi, ini tidak seperti
yang kamu pikirkan.”
“Pokoknya,
aku akan mengirim undangan ke Asamura-kun setelah ini. Dan, jangan lupa untuk
merahasiakan bahwa aku hanya mengundang kalian berdua. Ini akan menjadi kejutan
untuknya, tee hee.”
Aku mendengarnya cekikikan dari
seberang telepon ketika aku memeriksa waktu. Sudah lewat jam 2 pagi, dan bahuku
yang menyembul dari balik selimutku mulai terasa sedikit dingin.
“Ya ampun, sudah selarut ini…
Bagaimana jika aku terlambat besok…”
“Aku
dapat pulih sepenuhnya dengan minimal tiga jam tidur!”
“Apa kamu cukup bugar setelah
itu?"
“Apa
kamu khawatir tentang aku? Tenang saja. Aku masih tidur total enam jam. ”
Kapan kamu mendapatkan enam jam
itu?
“Aku tidak terlalu suka itu…
Aku ingin bangun sebelum Asamura-kun datang untuk membangunkanku.”
“Terlihat
sempurna 24/7 tidak akan memberimu poin bonus apa pun. Tunjukkan celah di
sana-sini, dan aku berani bertaruh kalau Ia akan menganggapnya imut. Atau
justru, menggemaskan.”
“Itu bukan…”
Selama festival budaya, aku
menyadari bahwa aku tidak terlalu ahli dalam menunjukkan keimutan semacam itu.
“Yah, aku mengerti maksudmu,
tapi …”
“Ohh!
Apa kamu akhirnya mulai jujur padaku, Sakippe?”
Sekali lagi, siapa sih orang
itu?
“Anak cowok diam-diam menyukai
hal-hal semacam itu, atau begitulah kata orang.”
“Oh,
oh, oh! Sekilas Info! Dari siapa kamu mendengarnya? Oh, benar. Maka kamu harus
mengambil jalan memutar untuk pulang ke rumah untuk berganti pakaian sebelum
kamu datang ke pesta.”
“Walaupun cuma ada kita
bertiga?”
“Bagaimanapun
juga, kejutan adalah bumbu terbaik! Dan itu akan memungkinkanmu berkencan dua
hari berturut-turut, iya ‘kan? ”
Padahal itu hanya pesta ulang
tahun kecil-kecilan, tidak ada alasan untuk bertindak sampai sejauh itu, ya
ampun.
“…Kututup teleponnya, ya.”
“Okaay.
Selamat tidur!"
Kami mengucapkan selamat malam
satu sama lain dan mengakhiri panggilan. Itu semua menggoda dan kejahilan
ketika aku berhadapan dengan Maaya, ya ampun. Tapi… tunjukkan beberapa celah,
ya? Memanganya itu perlu supaya Ia memanggilku imut? Tidak, mustahil. Pikirkan
tentang itu, Ayase Saki. Kamu seharusnya jangan terlalu mempercayai kata-kata
Maaya. Sengaja menunjukkan celah hanya akan menjadi bumerang. Atau itulah yang
kupikirkan.
Aku menarik selimutku ke atas
kepalaku sekali lagi, memaksa mataku tertutup—Ya, tidak mungkin.
Tidak mengherankan jika aku
bangun kesiangan keesokan paginya. Dan lebih buruknya lagi, aku bertemu dengan
Asamura-kun dalam perjalanan ke kamar mandi...sambil masih memakai piyamaku. Ya
tuhan, itu sangat memalukan. Ketika aku melihat penampilanku sendiri di cermin,
rambutku terlihat berantakan dan acak-acakan. Aku merasa seperti aku akan mati
karena menahan rasa malu. Bagaimana bisa aku menunjukkan kelemahan seperti itu?
Adapun pesta ulang tahun Maaya,
Asamura-kun mengungkitnya sendiri saat sarapan. Ia bertanya apa yang harus kami
lakukan tentang hal itu. Semua kata yang telah aku buat sebelumnya langsung
berubah jadi debu. Jantungku berdetak sangat kencang sampai-sampai aku khawatir
kalau Ia bisa mendengarnya dari seberang meja. Aku sangat fokus untuk menjaga
ketenangan dan merespons.
“Aku sedang berpikir untuk
merayakannya bersamanya. Bagaimana denganmu?” Aku membalasnya dengan sebuah
pertanyaan.
Aku telah merencanakan untuk
dengan acuh tak acuh membicarakan pembicaraan tentang membeli hadiah, tapi
Asamura-kun hampir membuatku melompat dari tempat dudukku. Aku sangat kaget. Aku
benar-benar berpikir kalau Ia bisa membaca pikiranku. Ia lalu mengungkapkan
kalau ini adalah pertama kalinya dia memberi hadiah kepada seorang gadis. Begitu
ya. Jadi Ia belum pernah memiliki seseorang seperti itu sebelumnya... Tunggu,
kenapa aku merasa lega mendengarnya? Yah, Ibu satu-satunya orang yang pernah
mendapat hadiah dariku, jadi aku bukan orang yang berhak bicara begitu. Aku
menguatkan tekadku dan mengajukan pertanyaan yang ingin aku tanyakan.
“Apa kamu mau pergi membeli
hadiah bersama denganku?”
Aku pikir suaraku bergetar
ketika aku menanyakan itu. Pada awalnya, Asamura-kun menjawab dengan terus
terang “Tapi,” yang membuat dadaku sesak hingga terasa sakit. Namun,Ia tidak
mengatakan tidak. Sebaliknya, dia tampaknya mengkhawatirkan orang-orang dari
sekolah akan melihat kami jika kami pergi berbelanja di suatu tempat di dekat
sini. Aku merasakan hal yang sama. Setelah memikirkannya sejenak, Asamura-kun
mengusulkan agar kami pergi ke suatu tempat yang agak jauh untuk menikmati
perjalanan belanja kami. Aku menjawab dengan anggukan ringan.
“Apa masih kamu ingat dengan apa
yang kita bicarakan selama festival budaya?” Aku bertanya dengan hati-hati.
Asamura-kun adalah orang yang
baik, Ia mungkin ikut menemani membeli hadiah untuk temanku. Tapi Ia menjawab
dengan—
“Tentu saja.”
Aku sangat bahagia. Aku senang aku
berani bertanya padanya dan mengkonfirmasinya secara menyeluruh.
◇◇◇◇
Aku masih bekerja sambilan di
toko buku itu. Akhir-akhir ini, aku berada di shift yang sama dengan
Asamura-kun. Hari ini, kami bertiga. Yomiuri-senpai dan aku ditugaskan untuk
menjaga kasir, sedangkan Asamura-kun pergi untuk menata majalah baru yang masuk.
Saat antrian di depan registerku berkurang panjangnya, aku mendapati diriku
melirik ke arah Asamura-kun. Yomiuri-senpai secara alami memanggilku tentang
itu dan mulai menggodaku, mengatakan bahwa aku pasti tertarik pada “Kouhai-kun”.
Aku dengan susap payah menyangkal tuduhannya, mengatakan kalau tatapanku cuma
kebetulan melirik padanya.
“Eh, masa~?”
Nambah lagi satu orang yang
hampir tidak percaya pada apa yang aku katakan padanya. Karena hampir tidak ada
orang di sana yang ingin membeli sesuatu, dan karena kami cukup bosan, dia
mungkin memutuskan untuk memulai percakapan.
“Sebentar lagi Hari Halloween,
iya ‘kan?”
“Itu tanggal 31, kan?”
“Ya, akhir Oktober. Karena
Halloween adalah festival kecil sebelum acara besar—Hari Raya Semua Orang Kudus.”
“Hari Raya Semua Orang Kudus …
apa itu?”
“Hari Raya Semua Orang Kudus, yaitu
1 November. Itu adalah hari perayaan untuk menghormati semua orang kudus di
dunia. Hari yang disediakan untuk semua orang bodoh adalah tanggal 1 April.”
“Maksudmu, hari April Mop ?”
“Tepat sekali. April Mop. Tapi,
kami tidak menyebut tanggal 1 November sebagai Hari Orang Suci, iya ‘kan? Atau
memang ada? Apa kamu tahu sesuatu tentang itu? ”
“Tidak, sayangnya tidak.”
“Ngomong-ngomong, Halloween
adalah acara penting di Shibuya.”
Topiknya berjatuhan dan
berguling-guling di seluruh lantai, tapi ini bukan hal baru ketika berbicara
dengan Yomiuri-senpai. Aku akhirnya terbiasa mengikuti alur pemikirannya yang
aneh. Proses berpikirnya sangat cepat, sebenarnya. Yah, dia selalu berurusan
dengan Asisten Profesor Kudou, jadi aku tidak terkejut dengan itu. Aku teringat
kembali pada saat aku menghadiri acara kampus terbuka universitasnya dan
menemukan diriku merasa sedikit berkecil hati.
“Halloween adalah acara yang
mengubah Shibuya menjadi kota yang tidak pernah tidur.”
“Kamu tidak salah. Akhir-akhir
ini terasa seperti Tanah Suci dengan semua kostumnya.”
Terutama pusat kota Shibuya,
yang selalu mengumpulkan cukup banyak orang berkostum berkeliaran di jalanan
untuk menjamin siaran tentang hal itu. Kerumunan selalu begitu padat
sampai-sampai selalu menabrak seseorang.
“Keramaiannya benar-benar
memuakkan. Aku pasti ingin menghindari pusat kota selama waktu itu.”
“Saki-chan, ada alasan kenapa
kita manusia yang malang harus memaksakan diri kita melewati pusat kota
terlepas dari semua itu.”
“Tunggu, benarkah?”
“Karena kita punya pekerjaan.”
Ah. Aku ingat sekarang. Baik
Asamura-kun dan aku memiliki shift pada tanggal 31. Kurasa korban lainnya adalah
Yomiuri-senpai.
“Bagaimana kalau kita
setidaknya bersenang-senang dan mengenakan kostum selama jadwal shift kita?”
Dia bertanya.
Meski masih di tempat kerja, aku
menggelengkan kepala sekuat yang aku bisa. Sungguh tidak masuk akal.
“Aku yakin kamu akan terlihat
imut saat berdandan seperti penyihir dengan topi segitiga, tahu?”
“Imut…?”
“Ah, tepat sasaran, ya?”
“Tidak sama sekali,” aku
mencoba bersikap tenang, tetapi ucapanku tidak memiliki kekuatan sama sekali.
Yomiuri-senpai sekali lagi
menggunakan kesempatan ini untuk menggodaku, seraya mengatakan “Aku tahu kalau kamu baru saja memikirkan
Kouhai-kun,” yang membuat darahku mengalir deras ke kepalaku. Seolah itu
belum cukup buruk, Asamura-kun kembali dari pekerjaannya setelah selesai menata
rak buku.
“Aku akan mengambil alih untuk
pemeliharaan,” semburku dan lari dari kasir.
...Ia tidak berpikir itu
terlihat aneh untukku, kan?
Selanjutnya, kami akhirnya
pulang setelah selesai bekerja. Udaranya dingin, yang membuatnya terasa seperti
musim dingin telah tiba. Aku menggosok kedua tanganku agar tetap hangat.
Asamura-kun sedang berjalan di sampingku, mendorong sepedanya. Saat-saat
seperti ini benar-benar menunjukkan betapa kurangnya rasa kemanusiaanku. Aku
bahkan tidak bisa menemukan topik untuk dibicarakan. Aku gagal membuat
percakapan yang Ia sukai. Sebaliknya, aku hanya mencari cara untuk membuatnya
berpikir aku tidak sepenuhnya melamun. Hal terbaik yang bisa aku lakukan
adalah meniupkan napas hangat ke tanganku yang menggigil.
Ia tiba-tiba memujiku,
mengatakan bahwa pakaianku terlihat bagus untukku... Ia mungkin berusaha untuk
tidak membuatku merasa canggung, kan? Aku memasukkan tanganku ke dalam kantong,
mencengkeramnya erat-erat. Akhirnya aku berhasil memaksa kata-kata itu keluar
dari tenggorokanku.
“Aku sangat menantikan untuk
pergi berbelanja besok.”
Seriusan, rasanya aku ingin
menangis. Kenapa aku seperti ini, sih? Akan tetapi, Asamura-kun—
“Aku juga.”
—Menjawab dengan itu. Aku
merasa malu, mengira cuma aku satu-satunya yang bersemangat, tetapi Ia langsung
setuju. Aku melirik wajahnya saat Ia berjalan di sampingku, membuatku senang.
Aku sedikit membuka dan menutup remasan tanganku di dalam saku. Menemukan topik
percakapan yang bekerja dua arah sangat sulit. Sebaliknya, kami akhirnya
berjalan pulang dalam diam. Tapi kurasa ini juga tidak terlalu buruk.
Ketika kami membuka pintu
apartemen dan menjauhkan diri satu sama lain, aku diterpa gelombang penyesalan.
Sebelumnya ||
Daftar isi || Selanjutnya