Gimai Seikatsu Vol.5 Chapter 11 Bahasa Indonesia

Chapter 11 — 31 Oktober (Sabtu) Asamura Yuuta

 

Penghujung hari bulan Oktober akhirnya tiba. Karena hari ini libur sekolah, aku jadi tidur sedikit lebih lama,dan menikmati pagi yang santai. Begitu jam 4 sore bergulir, sudah waktunya bagiku untuk menguatkan tekad dan pergi bekerja. Aku memutuskan untuk tidak menggunakan sepedaku, karena mengingat kerumunan besar yang harus aku lewati, dan memilih untuk berjalan menuju ke sana dengan berjalan kaki. Aku meninggalkan rumah sedikit lebih awal dari biasanya karena itu. Ayase-san juga melakukan hal yang sama, dan mengambil rute yang berbeda ke toko buku dari rute jalanku.

Begitu mencapai daerah sekitaran stasiun kereta, aku sekali lagi dibuat teringat hari ini merupakan hari apa. Besok adalah hari kami berterima kasih kepada orang-orang kudus— Hari Raya Semua Orang Kudus. Dan sehari sebelum itu adalah perayaan pengantar — Halloween. Jalan-jalan Shibuya penuh dengan orang-orang yang berpakaian sebagai monster. Aku melihat ada orang berdandan sebagai zombie, vampir, mumi, manusia serigala ... dari kostum standar hingga cosplay karakter anime, jumlah orang yang berpakaian telah meningkat sepuluh kali lipat dari kemarin.

“Aku jadi mulai merasa pusing ...”

Aku berusaha sekuat tenaga untuk menghindari kerumunan karena gumaman itu keluar dari bibirku. Jalanan tersebut begitu ramai sampai-sampai bahuku akan terus -menerus menabrak orang lain. Kurasa toko buku kami akan sangat sibuk  hari ini. Setelah melewati gerombolan orang ini untuk sementara waktu, aku akhirnya berhasil sampai di toko. Setelah masuk, aku sudah bisa melihat kekacauan yang terjadi. Sekitar 30% orang yang berbelanja di sini mengenakan kostum. Aku menyelinap melewati mereka semua, memasuki kantor, dan menyapa pegawai yang lain.

“Ah, Asamura-kun. Kamu akan jaga kasir hari ini.”

Manajer memberiku topi badut yang sama seperti kemarin. Ia lalu memberi ikhtisar singkat tentang prosedur hari ini dan memberitahuku untuk memperhatikan mesin kasir khususnya. Aku selesai mengganti seragam dan melangkah ke area toko utama. Aku melihat sudut khusus di sebelah kasir. Ada barang-barang diskon kecil di sana seperti kostum, lilin, dan bahkan pulpen lampu.

Mereka mungkin menata itu setelah toko ditutup kemarin. Pada dasarnya, bagian diskon itu hanya akan ada khusus untuk hari ini, dan akan dibereskan lagi setelah besok bergulir. Bisnis utama kami berputar di sekitar buku, tentu saja, tetapi mentalitas manajer toko adalah bahwa semakin banyak kami menjual, semakin banyak pula cuannya. Hal tersebut secara alami akan membuat penanganan mesin kasir jauh lebih merepotkan. Terlebih lagi berkat topi badut menakjubkan yang aku kenakan saat ini.

 

◇◇◇◇

 

Pada akhirnya, keadaannya jauh lebih buruk daripada yang aku perkirakan. Hukum Murphy juga berlaku untuk hari ini. Kami sangat sibuk sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengobrol santai di kasir. Shibuya dikenal sebagai kota ramai yang tidak pernah tidur, dan berkat perayaan Halloween pada akhir pekan tahun ini, rasanya seperti setiap orang di Shibuya memutuskan untuk keluar hari ini, dan menciptakan antrian tanpa akhir di depan konter kasirku.

Berkembangnya bisnis memiliki pro dan kontra, tapi aku tidak memiliki pengalaman dengan antrian pembelian yang sesibuk ini sebelumnya, jadi aku benar-benar kelelahan begitu shiftku berakhir. Kakiku terasa nyeri karena harus berdiri di konter kasir sepanjang waktu. Aku sudah bisa mengatakan bahwa mereka benar-benar berniat akan membunuhku besok. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar cemburu pada Maru dan tubuhnya yang terlatih. Namun, aku takkan tahu seberapa banyak pelatihan yang diperlukan untuk tidak mendapatkan rasa sakit otot seperti ini, jadi aku bisa membayangkan kalau dunia terasa tidak masuk akal lagi jika aku melakukannya.

Lebih parahnya lagi, tepat sebelum shift penuh siksaan ini berakhir, ada orang yang muntah tepat di depan toko. Mungkin orang tolol yang mabuk-mabukan di sore hari, tapi kami juga tidak bisa membiarkannya begitu saja karena itu akan membuat toko kami terlihat buruk. Seseorang harus membersihkannya, dan karena manajer toko tidak tergantikan selama waktu sibuk ini, aku terpilih sebagai orang yang beruntung untuk menangani pekerjaan itu.

Aku mengambil ember berisi air dan alat pel, berjalan melalui lapisan neraka berikutnya dengan langkah berat. Aku melewati pintu otomatis dan segera disambut oleh TKP. Tentu saja, pelakunya sudah lama menghilang, hanya menyisakan bukti dalam bentuk muntahan yang tampak kotor. Orang-orang seperti ini hanya tahu bagaimana membuat masalah bagi orang yang berusaha keras. Ketika angin kencang yang dingin bertiup menembus seragam toko yang tipis, aku menghabiskan waktuku menatap orang yang lewat dengan kostum mereka, menggosok-gosok dengan alat pel tanpa emosi layaknya mesin yang diminyaki dengan baik.

Aku tidak merasa cemburu pada mereka maupun pesta mereka. Aku selalu tidak pandai menghadapi hal semacam itu. Namun, ketika aku melihat seorang cowok dan gadis berjalan bersebelahan, rasa penasaranku jauh lebih besar dari akal sehatku. Aku melihat beberapa dari apa yang tampak seperti mahasiswa yang berdiri di depan iklan film di sisi toko buku kami, saling memandang dengan tubuh mereka saling berdekapan. Mereka tidak terlalu memedulikan tatapan orang lain di sekitar mereka, dan sebaliknya dengan berani bercumbu satu sama lain. Itu mirip dengan pemandangan yang pernah aku lihat di Ikebukuro tempo hari. Kurasa menjadi pasangan berarti kamu harus berciuman satu sama lain di depan orang asing.

“Hm?”

Tiba -tiba, aku merasakan ada sesuatu yang janggal. Ada seseorang yang berjongkok tepat di depan pasangan itu, dan menatap mereka dari kejauhan. Kesan pertamaku tentang individu itu ialah kalau dia itu adalah iblis. Dia memiliki mata iblis. Bandonya memiliki dua tanduk yang tumbuh mencuat, dan ada ekor kecil yang terlihat dari punggungnya. Rok hitam dan lengan panjangnya dengan jubah yang serasi merupakan kostum dari seorang penyihir, tetapi kemungkinan besar kostum yang merupakan campuran dari keduanya. Pada hari-hari biasa, dia pasti akan menonjol dengan sangat mencolok.

Namun, sebut saja keajaiban Halloween jika kalian mau, satu-satunya orang yang menaruh perhatian pada wanita tersebut pada saat ini hanyalah aku. Seolah-olah dia hanya ada dalam bidang pandanganku. Bahkan pasangan yang ditatapnya telah memasuki dunia mereka sendiri, melanjutkan ciuman mereka yang penuh gairah.

“Hmm. Apa kalian berdua punya waktu sebentar? ” Iblis memanggil mereka.

Baru pada saat itu pasangan tersebut menyadari kalau mereka sedang diawasi, dan mereka dengan cepat menjauhkan wajak mereka satu sama lain. Syukurlah dia bukan semacam halusinasi yang muncul oleh pikiranku untuk membuat perubahan ini sedikit lebih menarik.

“Ap-Apa yang kamu inginkan?” Pria itu melangkah di depan pacarnya.

Si Iblis melanjutkan tanpa basa-basi.

“Kalian berdua sepenuhnya siap untuk melakukan tindakan ilegal di depan orang asing secara acak, oke. Apakah kalian berdua selalu melakukan foreplay saat diawasi oleh orang lain? ”

“Ap…?”

Pria itu benar-benar kebingungan. Aku tidak menyalahkannya. Aku sendiri bahkan merasa kesulitan untuk memahami niat dari orang aneh itu.

“Kamu tidak perlu terlalu memusingkannya. Aku hanya tertarik untuk melihat seberapa besar pengaruh lingkungan Halloween mendesakmu untuk mengabaikan segala jenis moral sosial dan etika, atau jika keadaan ini hanya mengumpulkan orang-orang yang tidak memiliki pandangan etis yang bahkan tidak mampu melihat masalah dengan perilaku terlarang mereka. Sederhananya, aku hanya penasaran dengn pola pikirmu.”

“Ap-Apa yang kamu bicarakan?”

“Jangan diladenin, ayo pergi saja.” Pacarnya menarik lengan pria itu, mendesaknya untuk pergi.

“Tahan dulu sebentar. Mungkin kamu mendapatkan kegembiraan yang lebih besar jika memamerkan kemesraan kalian di depan orang lain? Jika memang demikian, bukannya kalian harus berterima kasih kepadaku karena sudah membantumu dalam hal itu?”

“Kami mau pergi. Tolong jangan ikuti kami!”

“Apa kamu tidak bisa menjawab satu pun pertanyaanku? Apa kalian bermesraan seperti itu karena sihir hari ini, atau karena kalian menyukai hal-hal semacam itu? Komentar singkat juga tidak masalah, beri aku semacam informasi untuk direkam. ”

“Kami tidak mau menjawab!” Pacar itu meraih tangan si pria dan bergegas menuju pusat kota, menghilang ke dalam kerumunan.

“Terima kasih banyak atas sampel yang berharganya. Ini pasti akan membantu penelitianku di masa depan.” Dia melambaikan tangannya dan menyaksikan pasangan itu pergi. “Nah, sekarang saatnya untuk mencari target pengamatanku berikutnya … Hmmm?”

“Ah.”

Pandangan mata kami bertemu. Ketika matanya berkilau seperti batu permata cerah, memasuki garis pandangku, bagian dari ingatanku dirangsang. Kulitnya yang sedikit berpigmen, rambutnya yang tidak terawat yang membuatnya terlihat seperti baru saja terbangun, bahunya yang merosot, dan metode dogmatisnya untuk menanyai orang-orang ... hanya ada satu orang yang terlintas dalam pikiran. Dia adalah Profesor yang sedang berdiskusi dengan penuh semangat bersama Yomiuri-senpai di kafe waktu itu. Aku pikir dia memanggilnya 'Profesor Kudou.'

Aku baru ingat, Yomiuri-senpai menyebutkan kalau dia akan bertemu dengan teman-teman dari kampusnya setelah shiftnya selesai. Aku kira dia bagian dari grup itu, itulah sebabnya dia datang ke sini ke toko buku kami.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Ah, Saya minta maaf karena sudah bertindak tidak sopan dengan menatap anda.”

“Jangan khawatir. Aku tidak bermaksud mencelamu. Banyak penelitian dimulai  setelah kamu menatap sesuatu terlalu lama. "

“Be-Benar juga…”

“Kamu pasti melihat perilaku pasangan itu, bukan? Bagaimana perasaanmu tentang itu? ”

Sekarang dia malah meminta pendapatku? Itu adalah jawaban yang tidak terduga, tetapi aku tidak perlu banyak memikirkannya.

“Sejujurnya, saya merasa malu.”

“Oh?”

“Secara intuitif, tentunya.”

“Begitu ya. Karena kamu membayangkan dirimu sendiri diawasi oleh orang asing saat melakukan sesuatu yang serupa, ya? ”

“Sa-Saya tidak bermaksud begitu ...”

“Benarkah? Kamu berhasil memberi jawaban langsung pada seseorang yang mendadak bertanya tentang hal itu. Kamu pasti memiliki perasaanmu sendiri terhadap perilaku mereka sebelum aku bertanya. Dan jawabanmu mencerminkan emosi asli yang kamu rasakan. Seandainya kamu tidak terlalu peduli, kamu pasti akam membalasnya dengan kata menjengkelkan atau merusak pemandangan, tetapi kamu justru menjawab kalau itu memalukan. Perasaan semacam itu biasa disebut Fremdschämen dalam bahasa Jerman. Kamu membayangkan dirimu sendiri dalam situasi mereka dan menderita rasa malu bekas sebagai hasilnya.”

Terlepas dari sikap menyeramkannya, dia berhasil menebak secara akurat bagaimana perasaanku. Seperti yang diharapkan dari orang yang mampu mengalahkan Yomiuri-senpai, dia sangat terampil dalam kata-kata.

“Kebanyakan orang mempunyai tingkat perlawanan tertentu terhadap ciuman di depan orang lain, dan berdasarkan statistik yang ada memiliki berbagai hasil tergantung pada orang bertanya, yaitu jenis kelamin, status perkawinan, dan sebagainya. Namun, hanya sekitar 8% dari mereka yang disurvei tidak memiliki masalah untuk berciuman di depan umum. Memang cukup menarik, hanya 20% dari mereka yang diminta benar-benar memiliki pengalaman mencium orang penting mereka di depan umum. ”

“Jadi apa maksudnya itu?”

“Statistik mengatakan bahwa mayoritas orang yang ditanya merasa ragu-ragu untuk berbagi ciuman di depan umum, dan hanya sebagian kecil yang benar-benar melakukannya. Jika demikian, kapan dan dalam keadaan apa mereka menikmati kegiatan yang dianggap terlarang itu? Sayangnya tidak ada banyak penelitian yang mengambil ide ini dan melakukan investigasi yang tepat dari perspektif itu. Aku mencari kondisi di mana orang menganggapnya layak mengabaikan norma sosila masyarakat dan moral yang sebaliknya akan mencegah mereka melakukan kegiatan yang tampaknya terlarang ini. ”

“…Begitu ya.”

Sungguh proses pemikiran yang mendalam. Dan pada saat yang sama, begitu menakutkan. Satu kata, atau bahkan suara, sudah cukup untuk menghisapku, terjebak di dalam jaringnya. Kostumnya begitu akurat. Aku mulai merasa seperti berbicara dengan mephistopheles yang asli.

“Perayaan Halloween di Shibuya sangat terkenal karena banyak muda-mudi yang membuat kesalahan dan sejenisnya, bukan?”

“Yah, saya rasa begitu.”

“Maksud dari 'membuat kesalahan,' merujuk pada perbuatan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat. Aku melihat ke dalam fenomena ini dengan hipotesis bahwa ini beroperasi dengan cara yang sama ketika berkaitan dengan hubungan antara pria dan wanita. ”

“Jadi pada dasarnya Anda tengah melakukan studi lapangan? Seperti yang diharapkan dari seorang profesor perguruan tinggi. Anda tampaknya cukup bersemangat tentang penelitian ini.”

“Oh? Jadi kamu mengenalku, ya? ”

Ah, sial. Semua pembicaraan rumit dan penuh lika-liku itu pasti mematikan proses pemikiranku. Memang benar kalau aku mengenalnya, tetapi itu terutama karena aku mendengarkan percakapannya dengan Yomiuri-senpai, dan aku lebih suka tidak mengungkapkannya. Sementara aku mencari-cari alasan untuk menutupi itu, iblis melihatku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Begitu, jadi kamu bekerja di sini? Kamu pasti Kouhai-kun dari Yomiuri-kun, ya.”

“Ya itu betul.”

“Apa jangan-jangan kamu itu Asamura-kun?”

“Umm, Anda bahkan tahu nama saya?”

“Aku cuma baru mengingatnya.”

Dia tidak bisa mengatakannya lebih sopan.

“Namaku Kudou Eiha. Aku seorang asisten profesor di Universitas Wanita Tsukinomiya, yang dihadiri Yomiuri-kun. Aku pernah bertemu adik perempuanmu sebelumnya.”

“Ya, saya sudah mendengar ceritanya.”

Dia secara khusus menyebutkan bagaimana dia secara tidak langsung diinterogasi oleh seorang profesor yang mencurigakan pada acara hari kampus terbuka. Meski kami cuma berbicara selama beberapa menit, namun aku sudah bisa bersimpati dengan apa yang sudah dialami Ayase-san.

“Aku seharusnya tidak menghalangi pekerjaanmu, jadi aku akan mengundurkan diriku sekarang.”

“... sangat tidak disangka.”

“Apa tepatnya?”

“Saya kira anda akan terus menanyai saya.”

“Hahaha. Aku tidak terlalu suka menghalangi kegiatan atau pekerjaan orang lain. Aku juga tidak tertarik pada hal-hal yang tidak sepenuhnya terkait dengan penelitianku.”

Aku terkejut dia punya nyali untuk mengatakan itu. Namun, apa yang paling membuatku takut ialah fakta bahwa Profesor Kudou ini sama sekali tidak ragu maupun khawatir mengenai bagaimana dia bertindak dan menampilkan dirinya kepada orang lain.

“Kalau begitu, aku permisi dulu.” katanya, berjalan memunggungiku.

Aku merasa lega dan kembali melakukan bersih-bersih.

“Oh, iya.” Dia berhenti dan berbicara lagi. “Izinkan aku bertindak layaknya iblis untuk terakhir kalinya dan menaruh kutukan padamu.”

“Kutukan? Kedengarannya agak menakutkan.”

“Mengapa sepasang kekasih yang biasanya menahan diri di depan orang lain, kehilangan rasa malu mereka pada hari seperti ini? Kuncinya terletak pada penurunan IQ jangka pendek mereka. ”

“... Suasana Halloween akan membuat orang bodoh, apa itu yang ingin anda katakan?”

“Tepat. Dan semakin dekat kita, manusia, berubah menjadi primata, semakin besar keinginan primitif kita tumbuh ... dengan kata lain, mereka mencari kontak seksual dengan pasangan.”

“Anda selalu blak-blakan dan terus terang, ya?”

“Lagipula itulah kenyataannya. ... Namun, berubah menjadi orang bodoh tidak terlalu buruk juga.”

“Memangnya, apa efek samping bagus dari berubah menjadi bodoh?”

“Kamu akan bahagia.”

“Sungguh perubahan subjek yang mendadak. Apa sekarang kita berbicara tentang tingkat spiritual? ”

Bukannya kita cuma berbicara tentang moral dan dilema etis?

“Manusia selalu hidup berdampingan dengan spiritual. Itu adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat.” Profesor Kudou lalu menunjuk ke suatu arah.

Ketika aku menoleh kea rah yang ditunjuk, aku melihat parade kostum sepenuhnya mengisi persimpangan. Pemandangan itu mengingatkanku pada malam aku berjalan-jalan dengan Fujinami-san. Saat itu, jalanan penuh dengan orang-orang yang membuat alasan untuk diri mereka sendiri untuk benar-benar terpampang. Mereka mengandalkan kekuatan alkohol untuk melupakan sesaat masalah hidup mereka. Saat ini, Halloween memberikan kekuatan serupa, dan menyebabkan semua manusia normal ini melupakan bahwa mereka seharusnya sadar.

“Jadi, buat dirimu yang terlalu pintar dan cerdas, diriku ini akan mengutukmu  berubah menjadi monyet: Selamat hari Halloween.”

“Berubah menjadi monyet? Aku tidak terlalu menyukai lelucon seperti itu.”

Ayase-san dan aku akan bertingkah seperti pasangan yang tadi? Mana mungkinlah. Aku merasa jengkel dengan omong kosong Profesor Kudou, jadi aku berbalik ke arahnya untuk memberitahunya, tetapi keberadaannya tidak bisa ditemukan. Dia mengatakan apa yang ingin dia katakan dan langsung menghilang begitu saja.

“Dia bukan... Iblis asli, ‘kan?”

Mana mungkin, iya ‘kan? Haha ... dengan perasaan bahwa aku telah mengalami sesuatu yang supranatural, aku kembali membersihkan area depan toko dan kembali ke dalam setelah aku selesai.

 

◇◇◇◇

 

Akhirnya, giliran kerjaku selesai. Aku memasuki kantor dan berpapasan dengan  manajer yang memberiku kantong plastik berbalut pita di atasnya.

“Ini buat kamu, Asamura-kun. Terima kasih sudah membantu kami pada hari yang sibuk ini, ”katanya ketika dia menyerahkan kantong plastik, yang sepertinya penuh dengan permen.

Tampaknya itu menjadi hadiah tambahan bagi orang-orang yang menawarkan diri untuk bekerja selama periode Halloween yang sibuk ini. Secara alami, aku menerimanya dengan rasa syukur.

“Dan ini dia, Ayase-san.”

“Terima kasih banyak.”

Ayase-san muncul sesaat kemudian, menerima bagiannya sendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk Yomiuri-senpai yang datang di belakangnya. Kami bertiga telah menyelesaikan shift kami pada sekitaran waktu yang sama, dan itu merupakan peristiwa yang cukup jarang bagi kami. Setelah ini, Yomiuri-senpai akan pergi ke pesta kostum bersama teman-teman kampusnya. Ketika aku memberitahunya kalau aku bertemu dengan profesornya, dia tampak sangat khawatir dan langsung panik menanyaiku “apa kamu baik -baik saja?! Dia tidak melakukan sesuatu yang aneh-anhe padamu, kan?! ”, yang mana hal itu lumayan menghiburku. Aku bilang kalau aku baik-baik saja, walaupun dia merauh kutukan padaku. Perkataanku tadi membuat Yomiuri-senpai menatapku dengan kaget.

Aku menuju ke ruang ganti pria dan mengganti seragamku. Ketika aku melangkah kembali ke kantor, aku bertemu dengan Ayase-san dan Yomiuri-senpai. Ayase-san mengenakan pakaian kasual yang sama seperti sebelumnya, tetapi Senpai sudah berubah mengenakan kostumnya. Dia mengenakan topi penyihir besar dan gaun penyihir hitam yang serasi. Kostum itu tampak sangat bagus padanya, sampai-sampai aku lupa dia biasanya mengenakan baju bergaya Jepang.

Kostumnya juga bukan jenis kostum penyihir yang sangat terbuka. Namun lebih condong pada kostum penyihir yang biasanya bisa ditemui jauh di kedalaman hutan, tersembunyi dari dunia luar. Bros di bagian atas dadanya terbuat dari batu khusus dengan rune yang diukir di atasnya, dan hal itu menjadikan kostumnya jauh lebih asli. Dia tidak membawa sapu, tapi sebagai gantinya memilih tongkat kecil yang rupanya dia beli di taman hiburan.

“Hehehehe~! Bagaimana menurutmu, Hmm~? ” Dia menyeringai songong saat memamerkan penampilannya.

“Aku pikir itu terlihat bagus untukmu, Senpai. Jika aku tidak mengenalmu, aku mungkin aka berpikir kalau aku bertemu dengan penyihir yang asli.”

Karena dia jelas menginginkan kesan aku, aku tidak repot -repot menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Aku tahu dia berharap untuk berpesta lagi setelah ini.

“Tapi aku yakin kalau kamu lebih suka melihat cosplay Saki-chan, kan?”

Aku tidak menyangkalnya, tapi aku tahu dia takkan mau melakukannya.

“Aku takkan melakukannya,” kata Ayase-san dengan blak-blakan saat dia berdiri di sampingku.

Tuh, lihat sendiri ‘kan.

“Rasanya cukup menyenangkan kalau kamus sudah terbiasa, lo~?”

“Tidak, terima kasih.”

“Cuma sebentar saja. Ayolah. Ini bukan sesuatu yang sulit kok.” Dia merogoh-rogoh isi tasnya yang tampaknya memiliki kostumnya di dalamnya. “Taraa, ada telinga kucing!” Dia berbicara dengan nada robot biru tertentu. “Ayo dicoba dulu.”

“Sekali lagi, aku lebih suka tidak melakukannya.”

“Tidak seru ah! Membosankan sekali! Aku tahu kalau kamu akan terlihat imut! Dan Kouhai-kun juga pasti akan merasa senang! Iya ‘kan?”

“Jangan coba-coba melibatkanku dengan kekacauan ini.”

Dia mungkin terlihat berbeda sekarang, tetapi di dalamnya, dia masih Yomiuri-senpai yang sama. Tingkah lakunya sangat mirip seperti pria paruh baya. Jika coba-coba melakukan sesuatu yang melebihi ini, Ayase-san pasti akan menuntutmu karena sudah melakukan pelecehan di tempat kerja.

“Aku pikir lebih baik kalau kami pulang sekarang.”

“Huuuuuuh? … Baiklah, tidak masalah. Lagipula, aku masih punya banyak kesempatan di masa mendatang.”

Kamu masih ngotot mau melakukannya?

“Aku masih tetap tidak mau.”

“Tapi kamu berdandan supaya terlihat imut, kan?”

Ayase-san ragu-ragu sebentar.

“Pokoknya, itu sudah cukup untuk hari ini.” Dia lalu memalingkan muka.

“Awww. Oke, Kouhai-kun. Karena sudah larut malam, jadi aku mengandalkanmu untuk menjadi pengawalnya.”

“Ya, ya, serahkan saja padaku.”

Penyihir hutan melambai ke arah kami dan menyampirkan tas olahraga di atas bahunya. Sungguh pemandangan yang aneh. Dia mungkin akan meletakkannya di loker umum sehingga dia tidak perlu membawanya sepanjang malam. Apa dia masih bisa menemukan loker umum yang masih kosong di jam sekarang? Atau mungkin dia sudah memiliki tempat lain yang diamankan. Mengenal sifatnya, aku takkan terkejut jika dia sudah menyiapkan segalanya.

“Sampai jumpa nanti ~”

“Ah, Senpai.” Aku menghentikannya saat dia hendak meninggalkan kantor.

"Hmmm? Apa, ada apa? ”

“Ini dia.” Aku meletakkan benda kecil yang dibungkus plastik di telapak tangannya.

“Apa ini?”

“Permen. Lebih tepatnya, permen pelega tenggorokan. Kamu bilang kalau kamu mau pergi karaokean nanti, kan? "

“Oh, aku tidak menyangka kamu masih mengingatnya. Anak baik! ”

“Aku lebih suka kalau kamu tidak menjahiliku lagi kali ini.”

“Hehe, sangat dihargai.” Dia menekan bungkusan permen ke pipinya dan menyeringai. “Sebagai ucapan terima kasih, aku akan memberimu sihir yang akan membuatmu bahagia! Huah! ” Dia melambaikan tongkatnya. “Selamat hari Halloween! Sampai ketemu lagi~! ” Serunya dan langsung meninggalkan kantor.

“Bye ~”

“Hati-hati.” Ayase-san melambai ketika Yomiuri-senpai pergi.

“Kurasa sudah waktunya bagi kita untuk keluar juga,” kataku. Ayase-san membalas dengan mengangguk dan meraih tasnya.

Aku berjalan selangkah mendekatinya dan memberinya sesuatu dari tasku sendiri. Tatapan mata Ayase-san terbuka lebar.

“Apa ini?”

“Buat kamu.”

Itu adalah bungkusan kecil lainnya.

“Permen?”

“Bukan ... yang ini isinya cokelat.”

“Tapi aku tidak memberimu apa-apa.”

“Kamu tidak perlu terlalu mengkawatirkannya. Ini hanya sepotong kecil kebaikan. Selamat hari Halloween.”

“Selamat Halloween juga, dan terima kasih banyak.”

Sebelum meninggalkan toko, Ayase-san memintaku untuk menunggunya sebentar dan berlari kembali ke dalam. Kira-kira ada apa ya? Mungkin dia melupakan sesuatu? Aku bergeser sedikit dari pintu masuk supaya tidak menghalangi pintu depan, dan menunggu Ayase-san. Setelah beberapa menit, dia berjalan kembali ke arahku, tetapi aku tidak melihatnya memegang sesuatu secara khusus.

“Maaf sudah membuatmu menunggu.”

“Ada yang kelupaan?”

“Sesuatu seperti itu,” jawabnya dan mulai berjalan di sebelahku.

“Baiklah ... Lalu ayo pulang ke rumah.”

“Ya.”

Ketika kami melangkah keluar ke jalan, baik Ayase-San dan aku dibuat kaget. Sejauh mata memandang, kami melihat orang-orang yang mengenakan kostum. Praktis tidak ada ruang untuk berjalan. Aku sudah menduga kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Untungnya, keputusanku untuk tidak menggunakan sepeda merupakan keputusan yang tepat.

“Aku tidak menyangka bakal separah ini ...”

“Ada banyak kerumunan orang.”

“Ya. Setidaknya kita tidak perlu cemas kalau siapapun dari sekolah akan melihat kita.”

Praktis tidak mungkin mengenali siapa pun di lautan kostum tanpa akhir ini. Aku merasa kalau hal ini akan memakan waktu cukup lama untuk bisa menembus kerumunan orang asing dan maniak pesta yang padat ini. Padahal kami tidak jauh dari stasiun kereta api, namun ini terasa seperti berada kuil Meiji ... mungkin perbandingannya sedikit berlebihan, tapi hal itu menunjukkan betapa ramai dan kacaunya kerumunan orang ini.

“Kyaa!”

Ayase-san menjerit, mungkin habis menabrak seseorang. Aku segera memegangi untuk mendukungnya. Ini lumayan gawat.

“Trotoar di sepanjang jalan pasti lumayan lengang. Ayo berjalan di sana.”

“O-Oke.”

Kupikir kami sudah memilih jalan dengan lebih sedikit orang, namun ombaknya sangat berbahaya sehingga sepertinya kami mungkin terpisah setiap saat. Karena kami menuju ke arah yang sama, tidak ada bahaya kalau kami tersesat, terutama karena kami sudah cukup dewasa, tapi ...

“Di sini, Ayase-san.” Aku mengulurkan tanganku, dan dia segera mengambilnya.

Kehangatan yang tersampaikan di telapak tanganku membuat jantungku berdebar kencang. Tangannya sedikit lebih kecil dari tanganku, membuatku takut bahwa aku mungkin akan menyakitinya jika aku mencengkeramnya terlalu kuat. Tapi meski begitu, melepaskan dan kehilangan dia jauh lebih ketakutan, jadi aku memegangnya erat -erat.

“Perhatikan langkah kakimu.”

“Aku baik-baik saja.” jawabnya dan bergerak lebih dekat ke arahku sehingga kerumunan takkan membawanya pergi.

Rasanya sudah lama sekali sejak kami mengkonfirmasi kehangatan satu sama lain seperti ini. Ketika aku melihat ke depan, aku melihat sesuatu yang mirip seperti dinding besi daging yang bahkan tidak bisa dipasang semut, semuanya berjalan di dogenzaka. Di balik itu, aku bisa melihat sekelompok bangunan bersinar terang di langit yang gelap. Rasanya seperti gelap malam telah menutupi Shibuya seperti tirai beludru. Dan ada kami berdua yang mencoba merangkai jalan melalui lautan manusia berkostum.

Kami berhasil melewati senja, yang mana sudah melewati malam hari. Kegelapan malam telah berkembang sedikit, dan semua anak kecil kemungkinan besar sudah tertidur sekarang. Orang yang masih menari di sepanjang malam hanyalah segorombolan badut dengan riasan berlebihan, para penyihir yang memegang sapu di tangan mereka, dan para vampir dengan gigi taring mereka yang panjang. Bersamaan dengan mereka, terdengar alunan suara musik pop.

Rasanya seperti sekelompok monster. Bahkan jika makhluk sungguhan bersembunyi di balik kerumunan ini, tidak ada orang yang bakal tahu. Setiap kali lampu jalan beralih dari merah ke hijau, kerumunan monster bergerak ke satu arah, layaknya binatang buas yang dikutuk untuk bergerak mengikuti kehendak orang lain. Balon merah melayang di udara, menghilang ke langit. Tanduk mobil meledak di satu sudut, seorang cowok dan gadis yang terbungkus perban tertawa idiot seperti yang lainnya. Lampu mobil merah terang melewati kami. Nada selamat datang diputar setiap kali pintu minimarket dibuka. Semua itu memenuhi telingaku.

Aku merasa berjalan di atas khayangan. Di tengah pemandangan supernatural ini, aku berpegangan tangan dengan seorang gadis, adik perempuanku— atau lebih tepatnya, adik tiriku. Dan kami berdua telah mengkonfirmasi satu sama lain kalau kami memendam perasaan kasih sayang hingga tingkatan tertentu. Rasanya ini terasa lebih jauh dari kenyataan ketimbang apapun. Apa ini benar-benar terjadi? Yang aku tahu pasti adalah kehangatan yang datang dari telapak tangannya. Kami melewati seorang pria yang mengenakan topeng serigala, dan rasanya seperti dia tersenyum pada kami dari balik topengnya. Mungkin saja Ia adalah salah satu teman sekelas kami dan baru saja melihat aku dan Ayase-san berpegangan tangan, bahu membahu. Kemungkinannya sangat kecil bila dilihat secara astronomis, tetapi bukan berarti kemungkinannya itu nol.

Kami berjalan jauh dari stasiun kereta, dan semakin dekat kami berjalan menuju apartemen, semakin sedikit orang yang kami temui. Jumlah lampu jalan yang kami lewati juga semakin sedikit pula. Pada saat kami melihat bangunan di kejauhan, hanya ada Ayase-san dan aku. Setelah kami berhasil melewati taman terdekat, berjalan di sepanjang jalan lebar, kami berdua melepaskan tangan masing-masing. Salah satu dari kami menghela nafas.

“Jika…”

“Hah?”

“Jika kita berdua mengenakan kostum, kita bisa pulang tanpa harus mengkhawatirkan tatapan orang-orang di sekitar kita.”

“Kurasa itu ada benarnya juga.”

Pada awalnya, kami tidak berencana berpegangan tangan sepanjang perjalanan seperti tadi. Namun, setelah mencicipi sensasi kehangatan itu, kami berdua tidak bisa melepaskannya sampai kami mencapai rumah kami. Kami berdua sangat membutuhkan kehadiran satu sama lain. Jika kami bergabung dengan semua orang di sekitar kami dan mengenakan kostum, kami pasti akan bisa berpegangan tangan sepanjang waktu tanpa perlu mencemaskan pandangan masyarakat. Namun, baginya, kostum dan makeup adalah dua hal yang berbeda, dan aku ragu kita akan benar-benar bisa melewati rencana semacam itu.

“Suatu hari nanti…” kataku.

Apa kita bisa berhenti memikirkan setiap rincian kecil semacam itu dan tinggal berpegangan tangan karena kami mau? Layaknya sepasang kekasih? Tapi itu bukan hanya kami berdua. Demi orang lain yang berharga bagi kami, kami tidak mampu menghancurkan hubungan kami sebagai saudara.

“Suatu hari nanti apa?”

“Tidak ... bukan apa -apa.”

Tempat di mana kami berdiri di bawah lampu jalan, siluet kami masih berpegangan tangan. Aku ingin terus bersenang -senang seperti ini. Untuk mengejar bayangannya seperti anak kecil. Namun, lampu di gedung apartemen masih menyala, masing-masing milik keluarga tertentu. Dan aku yakin beberapa dari mereka pasti keluarga baru juga. Kami hanya diam dan berjalan kembali ke rumah, kami berdua sama-sama tidak bisa meminta untuk berpegangan tangan sekali lagi.

 

◇◇◇◇

 

Aku membuka pintu depan dan menyalakan lampu.

““Kami pulang.””

Kami berdua berseru pada saat yang sama, tetapi tidak ada tanggapan yang datang. Aneh sekali. Aku tahu kalau Akiko-san akan bekerja, tetapi setidaknya Ayahku harusnya sudah pulang. Ayase-san melangkah ke dalam ruang tamu di depanku, mengangkat suara yang terkejut.

“Oh?”

“Ada apa?”

“Ini.” Dia mengangkat catatan tertulis kecil.

Itu adalah catatan dari Ayahku. “Aku pergi keluar untuk mengunjungi Akiko-san.”

Aku mengeluarkan smarthphone-ku dan memeriksa pesan. Aku bahkan tidak menyadari bahwa aku mendapat pesan LINE darinya. Ketika aku memeriksanya, aku melihat bahwa Ia menyebutkan karena besok adalah hari Minggu, mereka akan pergi makan malam di restoran mewah malam ini. Dia mungkin meninggalkan catatan ini karena aku tidak menanggapi atau membaca pesannya.

“Sepertinya mereka berdua akan pulang bersama nanti.”

“Sepertinya begitu.”

Ayase-san memeriksa pesan LINE dari Akiko-san saat menanggapi ucapanku. Sungguh menggelikan bagaimana kami berdua tidak memeriksa pesan kami hingga saat ini. Tapi itu berarti mereka berdua akan pulang larut malam. Aku megira kalau Ia ada di sini dan sedang kelaparan, itulah sebabnya kami bergegas pulang. Tapi sepertinya itu akan menjadi beberapa jam lagi sampai mereka kembali.

“Yah, Ia sangat sibuk sampai beberapa waktu yang lalu ...”

Meski jadi pengantin baru, perbedaan mereka dalam jam kerja berarti bahwa mereka tidak mendapatkan banyak waktu untuk dihabiskan bersama, dan aku benar-benar memahami keinginan mereka untuk mempunyai waktu untuk mereka sendiri. Namun, itu berarti…

“Jadi itu berarti, cuma ada kita berdua saja sampai mereka pulang?”

“Sepertinya begitu.”

“Begitu ya. Apa yang harus kita lakukan buat makan malamnya? Aku ingin membuat hot pot karena aku mengira kita akan ada berempat ... tetapi jika cuma ada kita berdua, aku harus membuatnya menjadi sesuatu yang sedikit lebih sederhana dan ringan. Ada permintaan?”

Aku mulai berpikir. Pertanyaan itu muncul entah dari mana. Namun, mengatakan 'apa saja tidak masalah' takkan sesuai dengan situasi saat ini.

“Yahh…”

Hmm, apa yang harus aku minta?

“Maaf, kurasa itu pertanyaan yang terlalu mendadak, ya.,” komentar Ayase-san setelah melihatku berpikir sejenak.

Itu menunjukkan bahwa dia sendiri tidak terlalu yakin apa yang harus dimakan. Lagi pula, dia tidak perlu bertanya jika dia sudah kepikiran akan memasak apa. Dia akan memutuskan untuk membuat sesuatu yang ingin dia makan.

“Aku hanya tidak ingin membuang terlalu banyak uang untuk hal seperti ini. Aku minta maaf karena tidak bisa banyak membantu.”

Namun, memang benar bahwa aku tidak memikirkan menu dan hidangan yang cukup untuk menghasilkan apa pun segera. Itu sebabnya aku memikirkan satu ide yang menarik.

“Ada trik yang bisa kamu gunakan untuk situasi seperti ini.”

“Trik macam apa?”

“Ketika manusia berada dalam situasi di mana mereka dapat memilih dari apa pun yang dapat mereka pikirkan, mereka biasanya berusaha untuk memikirkan sesuatu.”

Ini mirip dengan masalah layanan streaming dan perpustakaan besar yang mereka miliki yang membuat orang tidak yakin apa yang harus ditonton. Hal yang sama berlaku pula untuk menu di restoran. Meski terdengar ironis, memberi pelanggan kemampuan untuk memilih terlalu bebas sangatlah membatasi. Kamu mungkin lapar dan ingin memakan sesuatu, tapi kamu tidak bisa memikirkan apa yang ingin kamu makan. Itu reaksi normal.

“Kita harus melakukannya dengan proses eliminasi. Karena ini adalah makanan, kita harus memutuskan apa yang tidak ingin kita makan sekarang.”

“Hah? Apa maksudmu?"

“Gampangnya, hal itu membuatnya lebih mudah untuk dipilih. Atau setidaknya itulah yang biasanya aku lakukan. Makan hal yang sama berulang kali akan membuatmu cepat bosan dengan hidangan itu, ‘kan? Itu sebabnya aku biasanya memikirkan apa yang baru saja aku makan.”

“Kita sarapan dengan hidangan klasik Jepang, dan saat makan siang, aku membuat ramen instan supaya tidak terlalu menguras waktu dan tenagaku.”

“Kalau begitu kedua pilihan itu bisa kita singkirkan. Sekarang, bisa dibilang kalau kamu sudah sarapan dengan gaya Jepang jadi kamu lebih suka tidak membuatnya lagi. Jika kamu membuat ramen, maka itu juga tidak bisa. Semudah itu.”

“Lalu bagaimana dengan makanan gaya barat?”

“Sekarang pilihan kita menjadi jauh lebih mudah untuk dibuat, bukan?”

“Sekarang setelah kamu mengungkitnya…”

“Juga, kemampuanmu untuk membuatnya atau tidak juga penting. Tidak ada gunanya mempertimbangkan hidangan atau makanan yang bahkan tidak dapat kamu buat dengan bahan -bahan yang kamu miliki. Jadi kamu bisa memikirkan bahan yang kamu miliki sekarang.”

“Telur, mungkin?”

“Lalu makanan barat yang terbuat dari telur. Omurice, omelet digulung ... yah, aku cuma bisa memikirkan hidangan yang biasa kita makan secara teratur.”

“Bagaimana dengan hidangan French toast?”

“Kedengarannya bagus. Aku memilih yang itu.”

Ayase-san pernah membuat itu sebelumnya, mengizinkaku untuk menikmati hidangan yang biasanya aku baca hanya dalam novel.

“Mudah dibuat dan tidak membebani perut juga.”

“Ini kayak kue, kan? Sangat cocok untuk hari ini.”

Setelah memutuskan pada menu umum, sisanya sangat mudah. Karena ini adalah makanan barat, kami akan memiliki sup asli, bukan sup miso. Untungnya, kami masih memiliki sisa kaldu sup. Dan karena kami memiliki banyak sayuran yang tersedia, kami bahkan dapat membuat salad. Kami berdua berpencar untuk menyiapkan segalanya, dan begitu makanan siap, kami menatanya di atas meja makan dan duduk di tempat masing-masing. Hampir tidak butuh waktu tiga puluh menit untuk mempersiapkannya, dan sekarang kami berdua bisa memakan French toast kami dengan salad dan sup jagung.

“Ketika menyangkut memasak, itu bisa memakan waktu tiga puluh menit hingga satu jam untuk menyiapkan sesuatu, tetapi waktu saat kamu merasakan makanannya jauh lebih sebentar ‘kan, ya?” Aku bilang.

“Itu poin yang bagus. Tapi begitulah dengan segalanya, bukan? Apa pun yang kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari, kita hanya bisa menggunakannya untuk sesaat, padahal butuh waktu yang lama untuk membuatnya. ”

Dia memang tidak salah. Aku suka buku, dan aku bisa membacanya dalam satu jam atau dua, tapi aku penasaran butuh berapa hari untuk menulis semuanya. Atau berapa bulan. Mungkin tidak selama itu. Tapi ketika aku memikirkannya seperti itu, aku merasa tidak boleh melupakan rasa terima kasihku kepada orang-orang yang menciptakan sesuatu demi orang lain.

“Ayase-san, terima kasih karena selalu memasak makanan lezat seperti ini.” Aku membungkuk sedikit dan Ayase-san langsung mengalihkan tatapannya.

Dia tersipu. Aku bisa tahu hal itu

“Kamu terlalu melebih-lebihkannya. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa, itu saja.”

Alasan miliknya belum berubah sejak pertama kali kami bertemu, ya?

“Itu tidak masalah. Aku masih tetap merasa bersyukur.”

“Bukannya akhir-akhir kamu sendiri sedang mencoba memasak sesuatu, ‘kan?”

“Tapi masih butuh waktu lama untuk bisa menyamaimu. Bahkan French toast ini terasa enak seali. ”

“…Sama-sama.” Dia membuang mukanya lebih jauh lagi.

“Apa kamu mau minum kopi?" Aku bertanya padanya.

“Kopi hanya akan membuatku terjaga sepanjang malam, jadi aku lebih suka tidak meminumnya ...”

Oh ya, itu akan buruk jika dia kekurangan tidur meski tidak ada ujian.

“Aku baru kepikiran ...” Aku berdiri dan memeriksa kotak di atas lemari.

Di dalamnya ada kopi tanpa kafein, yang didapat Ayahku dari salah satu rekan kerjanya. Jenis kopi yang terbungkus dalam paket dan kamu tinggal meletakkannya di atas cangkir sambil menuangkan air mengepul melalui itu.

“Lalu bagaimana dengan ini? Yang ini bebas kafein.”

Karena Ayase-san mengangguk dan memberinya persetujuan, aku menyalakan ketel listrik dan menyiapkan dua cangkir untuk kami berdua. Sementara itu, Ayase-san mencuci piring. Beberapa menit kemudian, air mendidih, jadi aku menyiapkan dua cangkir kopi. Aku merasakan panas yang intens melayang ke atas, dan aroma yang berbeda menggelitik hidungku. Aku baru saja akan menyesapnya ketika Ayase-san tiba-tiba berbicara.

“Ah! Tunggu sebentar, Asamura-kun. ”

“Hm?”

Ayase-san membuka tas yang dia letakkan di kursi di sebelahnya, dan mengeluarkan semacam benda yang dibungkus.

“Hah? Bukannya itu dari tempat kerja kita?”

Pembungkus plastiknya terlihat sama dengan apa yang digunakan toko buku kami.

“Ya, mereka menjual ini hari ini,” katanya sambil melepas pembungkus, memperlihatkan kotak persegi kecil.

Di dalamnya ada benda yang berbentuk seperti labu.

“… Apa ini lampu?”

“Ya.” Dia meletakkannya di atas meja.

Kotak itu bertuliskan 'Lampu lilin LED', jadi tidak sulit buat menebaknya. Labu itu melepas isinya dan sekarang dilengkapi dengan lampu LED dalam bentuk lilin. Jika kamu menyambungkannya ke outlet dan menyalakan sakelar, lampu itu segera membuat sumber cahaya yang menyenangkan.

“Aku akan mematikan lampu ruangannya.”

Setelah lampu langit-langit dimatikan, hanya lampu samar dari lentera labu yang bersinar di atas meja menerangi ruangan. Ketika aku mengintip ke dalamnya, aku bisa melihat lilin terbakar cerah meskipun fakta bahwa itu bukan lilin yang asli.

“Sungguh aneh sekali ya. Biasanya kamu harus menggunakan api asli untuk mendapatkan nyala api yang gemetar dan berkedip -kedip, namun sekarang kita bahkan  secara artifisial menciptakannya.” Ayase-san berkomentar saat dia duduk kembali.

Itu berkat iluminasi buatan LED. Seperti yang dia katakan, cahaya itu benar-benar terlihat seperti nyala api lilin yang berkedip -kedip. Dengan ruangan itu benar-benar gelap kecuali dari cahaya labu, Ayase-san dan aku saling memandang satu sama lain.

“Dulu…”

“Hm?”

“Yah, itu mirip dengan yang ini. Lentera labu yang sama pernah aku dapatkan dari ibu bertahun-tahun yang lalu. Tapi waktu itu memakai lilin asli di dalamnya.”

“Mungkin ini dari produsen yang sama?”

“Mungkin saja. Pada malam Halloween, aku selalu sendirian karena ibu harus bekerja di bar. Ada suatu waktu saat aku masih SD, aku menyalakan lilin dan tertidur ... Ibu marah besar padaku setelah itu.”

Jika aku harus menebak, Ayase-san sendiri pasti tahu betapa berbahayanya itu. Namun demikian, cahaya adalah simbol kehidupan. Bukti bahwa seseorang ada di sini dan sekarang. Ini adalah pengalaman yang sama kamu dapatkan saat pulang, ada lampu yang sudah dinyalakan di rumahmu.

“Saat melihat cahaya itu, aku merasa seperti kalau aku mempunyai tempat untuk kembali.”

“Aku benar-benar memahaminya.”

“Kami jarang bertemu satu sama lain karena pekerjaannya. Kupikir aku benar-benar kesepian ketika aku masih kecil, ” ucap Ayase-san dan melanjutkan. “Tapi sekarang... aku senang bisa menghabiskan Halloween bersamamu tahun ini, Asamura-kun.”

Dengan cahaya samar yang memantul dari lentera, hanya wajah kami yang menonjol dari kegelapan di sekitar kami. Ketika aku menatap matanya yang memancar, memantulkan cahaya lilin, aku mendapati hatiku bergetar, seakan-akan mendesakku untuk condong ke depan.

“Begini...”

“Hm?”

“Um ...”

Aku dengan lembut menggerakkan tubuhku ke arahnya, dan dia merespons dengan cara yang sama. Sama seperti cahaya buatan LED ini, matanya bergoyang ke kiri dan kanan dengan ketidakpastian. Tanpa berniat melakukannya, aku mendapati diriku meraih pipinya dengan tangan kananku. Dengan lembut, aku membelai helai rambut yang mengalir di wajahnya.

“Rambutmu jadi semakin panjang.”

“Ini masih jauh lebih pendek dari sebelumnya.”

“Kupikir kamu terlihat cocok dengan itu.”

“…Terima kasih.”

Mari tetap bertingkah layaknya saudara yang sangat dekat satu sama lain. Kami berdua bersumpah hal itu sebulan yang lalu. Tapi sekarang, aku mencoba untuk melanggar janji itu dengan keinginanku sendiri. Namun, apa aku mempunyai tekad untuk berdiri kuat terhadap segala sesuatu yang harus aku hadapi sebagai konsekuensinya? Aku bertanya pada diriku sendiri dan hatiku, tapi…

“Jadi, buat dirimu yang terlalu pintar dan cerdas, diriku ini akan mengutukmu  berubah menjadi monyet.”

Bisikan iblis mencapai telingaku. Karena kita bukan sembarang cowok dan gadis normal, garis tersebut benar-benar tidak boleh kami lewati tanpa mempunyai mental yang kuat untuk menghadapi apa yang menanti kami. Namun, jika ada yang bertanya padaku ... bertanya apa aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, dan berbagi kebahagiaan dengan gadis di hadapanku ini ... maka jawabanku sudah jelas. Aku ingin menyentuhnya, aku ingin dia menerimaku. Itu hanyalah keegoisan, dan seperti yang dikatakan iblis itu, emosi bodoh.

Ketika siluet kecil kami berpegangan tangan di bawah cahaya jalan itu, hal itu memantulkan perasaan dan keinginanku sendiri. Setelah Ayase-san dan aku  menatap mata satu sama lain selama beberapa saat, aku dapat melihat bahwa dia telah menenangkan matanya—— dan memejamkannya. Aku tidak pernah tahu dia memiliki bulu mata yang panjang ... pengamatan yang tidak berguna muncul sekilas di benakku, tapi saat berikutnya, aku juga menutup mata.

Aku merasakan sensasi lembut menekan bibirku. Aku menciumnya. Bukan sebagai adik perempuanku, tapi sebagai seorang gadis yang bernama Ayase Saki.


Tidak ada yang melihat dosa kami saat ini, kecuali siapa pun yang mungkin mengawasi kami dari langit yang ada di atas. Atau mungkin bahkan pandangan Tuhan pun ditutupi berkat parade setan pada malam Halloween ini. Kilau harapan yang samar memenuhi dadaku. Ini adalah momen sesaat di mana tidak ada kesalahan yang akan menimpa kami.

“Ini benar-benar terasa seperti jam penyihir. Cahaya Halloween pasti mempunyai semacam kekuatan magis. ”

Kami menjauh dari satu sama lain karena Ayase-san mengucapkan kata-kata tersebut dengan napas yang terengah.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama