Chapter 11 — 31 Oktober (Sabtu) Asamura Yuuta
Penghujung hari bulan Oktober
akhirnya tiba. Karena hari ini libur sekolah, aku jadi tidur sedikit lebih
lama,dan menikmati pagi yang santai. Begitu jam 4 sore bergulir, sudah waktunya
bagiku untuk menguatkan tekad dan pergi bekerja. Aku memutuskan untuk tidak
menggunakan sepedaku, karena mengingat kerumunan besar yang harus aku lewati,
dan memilih untuk berjalan menuju ke sana dengan berjalan kaki. Aku
meninggalkan rumah sedikit lebih awal dari biasanya karena itu. Ayase-san juga
melakukan hal yang sama, dan mengambil rute yang berbeda ke toko buku dari rute
jalanku.
Begitu mencapai daerah
sekitaran stasiun kereta, aku sekali lagi dibuat teringat hari ini merupakan
hari apa. Besok adalah hari kami berterima kasih kepada orang-orang kudus— Hari
Raya Semua Orang Kudus. Dan sehari sebelum itu adalah perayaan pengantar —
Halloween. Jalan-jalan Shibuya penuh dengan orang-orang yang berpakaian sebagai
monster. Aku melihat ada orang berdandan sebagai zombie, vampir, mumi, manusia
serigala ... dari kostum standar hingga cosplay karakter anime, jumlah orang
yang berpakaian telah meningkat sepuluh kali lipat dari kemarin.
“Aku jadi mulai merasa pusing
...”
Aku berusaha sekuat tenaga
untuk menghindari kerumunan karena gumaman itu keluar dari bibirku. Jalanan
tersebut begitu ramai sampai-sampai bahuku akan terus -menerus menabrak orang
lain. Kurasa toko buku kami akan sangat sibuk hari ini. Setelah melewati gerombolan orang
ini untuk sementara waktu, aku akhirnya berhasil sampai di toko. Setelah masuk, aku
sudah bisa melihat kekacauan yang terjadi. Sekitar 30% orang yang berbelanja di
sini mengenakan kostum. Aku menyelinap melewati mereka semua, memasuki kantor,
dan menyapa pegawai yang lain.
“Ah, Asamura-kun. Kamu akan
jaga kasir hari ini.”
Manajer memberiku topi badut
yang sama seperti kemarin. Ia lalu memberi ikhtisar singkat tentang prosedur
hari ini dan memberitahuku untuk memperhatikan mesin kasir khususnya. Aku
selesai mengganti seragam dan melangkah ke area toko utama. Aku melihat sudut
khusus di sebelah kasir. Ada barang-barang diskon kecil di sana seperti kostum,
lilin, dan bahkan pulpen lampu.
Mereka mungkin menata itu setelah
toko ditutup kemarin. Pada dasarnya, bagian diskon itu hanya akan ada khusus untuk
hari ini, dan akan dibereskan lagi setelah besok bergulir. Bisnis utama kami
berputar di sekitar buku, tentu saja, tetapi mentalitas manajer toko adalah
bahwa semakin banyak kami menjual, semakin banyak pula cuannya. Hal tersebut
secara alami akan membuat penanganan mesin kasir jauh lebih merepotkan. Terlebih
lagi berkat topi badut menakjubkan yang aku kenakan saat ini.
◇◇◇◇
Pada akhirnya, keadaannya jauh
lebih buruk daripada yang aku perkirakan. Hukum Murphy juga berlaku untuk hari
ini. Kami sangat sibuk sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengobrol santai di
kasir. Shibuya dikenal sebagai kota ramai yang tidak pernah tidur, dan berkat
perayaan Halloween pada akhir pekan tahun ini, rasanya seperti setiap orang di
Shibuya memutuskan untuk keluar hari ini, dan menciptakan antrian tanpa akhir
di depan konter kasirku.
Berkembangnya bisnis memiliki
pro dan kontra, tapi aku tidak memiliki pengalaman dengan antrian pembelian
yang sesibuk ini sebelumnya, jadi aku benar-benar kelelahan begitu shiftku
berakhir. Kakiku terasa nyeri karena harus berdiri di konter kasir sepanjang
waktu. Aku sudah bisa mengatakan bahwa mereka benar-benar berniat akan membunuhku
besok. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar cemburu pada Maru dan tubuhnya
yang terlatih. Namun, aku takkan tahu seberapa banyak pelatihan yang diperlukan
untuk tidak mendapatkan rasa sakit otot seperti ini, jadi aku bisa membayangkan
kalau dunia terasa tidak masuk akal lagi jika aku melakukannya.
Lebih parahnya lagi, tepat
sebelum shift penuh siksaan ini berakhir, ada orang yang muntah tepat di depan
toko. Mungkin orang tolol yang mabuk-mabukan di sore hari, tapi kami juga tidak
bisa membiarkannya begitu saja karena itu akan membuat toko kami terlihat
buruk. Seseorang harus membersihkannya, dan karena manajer toko tidak
tergantikan selama waktu sibuk ini, aku terpilih sebagai orang yang beruntung
untuk menangani pekerjaan itu.
Aku mengambil ember berisi air
dan alat pel, berjalan melalui lapisan neraka berikutnya dengan langkah berat. Aku
melewati pintu otomatis dan segera disambut oleh TKP. Tentu saja, pelakunya
sudah lama menghilang, hanya menyisakan bukti dalam bentuk muntahan yang tampak
kotor. Orang-orang seperti ini hanya tahu bagaimana membuat masalah bagi orang
yang berusaha keras. Ketika angin kencang yang dingin bertiup menembus seragam
toko yang tipis, aku menghabiskan waktuku menatap orang yang lewat dengan
kostum mereka, menggosok-gosok dengan alat pel tanpa emosi layaknya mesin yang
diminyaki dengan baik.
Aku tidak merasa cemburu pada
mereka maupun pesta mereka. Aku selalu tidak pandai menghadapi hal semacam itu.
Namun, ketika aku melihat seorang cowok dan gadis berjalan bersebelahan, rasa penasaranku
jauh lebih besar dari akal sehatku. Aku melihat beberapa dari apa yang tampak
seperti mahasiswa yang berdiri di depan iklan film di sisi toko buku kami,
saling memandang dengan tubuh mereka saling berdekapan. Mereka tidak terlalu
memedulikan tatapan orang lain di sekitar mereka, dan sebaliknya dengan berani
bercumbu satu sama lain. Itu mirip dengan pemandangan yang pernah aku lihat di
Ikebukuro tempo hari. Kurasa menjadi pasangan berarti kamu harus berciuman satu
sama lain di depan orang asing.
“Hm?”
Tiba -tiba, aku merasakan ada
sesuatu yang janggal. Ada seseorang yang berjongkok tepat di depan pasangan
itu, dan menatap mereka dari kejauhan. Kesan pertamaku tentang individu itu ialah
kalau dia itu adalah iblis. Dia memiliki mata iblis. Bandonya memiliki dua
tanduk yang tumbuh mencuat, dan ada ekor kecil yang terlihat dari punggungnya.
Rok hitam dan lengan panjangnya dengan jubah yang serasi merupakan kostum dari
seorang penyihir, tetapi kemungkinan besar kostum yang merupakan campuran dari
keduanya. Pada hari-hari biasa, dia pasti akan menonjol dengan sangat mencolok.
Namun, sebut saja keajaiban
Halloween jika kalian mau, satu-satunya orang yang menaruh perhatian pada
wanita tersebut pada saat ini hanyalah aku. Seolah-olah dia hanya ada dalam
bidang pandanganku. Bahkan pasangan yang ditatapnya telah memasuki dunia mereka
sendiri, melanjutkan ciuman mereka yang penuh gairah.
“Hmm. Apa kalian berdua punya
waktu sebentar? ” Iblis memanggil mereka.
Baru pada saat itu pasangan
tersebut menyadari kalau mereka sedang diawasi, dan mereka dengan cepat
menjauhkan wajak mereka satu sama lain. Syukurlah dia bukan semacam halusinasi
yang muncul oleh pikiranku untuk membuat perubahan ini sedikit lebih menarik.
“Ap-Apa yang kamu inginkan?”
Pria itu melangkah di depan pacarnya.
Si Iblis melanjutkan tanpa
basa-basi.
“Kalian berdua sepenuhnya siap
untuk melakukan tindakan ilegal di depan orang asing secara acak, oke. Apakah
kalian berdua selalu melakukan foreplay saat
diawasi oleh orang lain? ”
“Ap…?”
Pria itu benar-benar
kebingungan. Aku tidak menyalahkannya. Aku sendiri bahkan merasa kesulitan
untuk memahami niat dari orang aneh itu.
“Kamu tidak perlu terlalu
memusingkannya. Aku hanya tertarik untuk melihat seberapa besar pengaruh
lingkungan Halloween mendesakmu untuk mengabaikan segala jenis moral sosial dan
etika, atau jika keadaan ini hanya mengumpulkan orang-orang yang tidak memiliki
pandangan etis yang bahkan tidak mampu melihat masalah dengan perilaku terlarang
mereka. Sederhananya, aku hanya penasaran dengn pola pikirmu.”
“Ap-Apa yang kamu bicarakan?”
“Jangan diladenin, ayo pergi
saja.” Pacarnya menarik lengan pria itu, mendesaknya untuk pergi.
“Tahan dulu sebentar. Mungkin kamu
mendapatkan kegembiraan yang lebih besar jika memamerkan kemesraan kalian di
depan orang lain? Jika memang demikian, bukannya kalian harus berterima kasih
kepadaku karena sudah membantumu dalam hal itu?”
“Kami mau pergi. Tolong jangan
ikuti kami!”
“Apa kamu tidak bisa menjawab
satu pun pertanyaanku? Apa kalian bermesraan seperti itu karena sihir hari ini,
atau karena kalian menyukai hal-hal semacam itu? Komentar singkat juga tidak
masalah, beri aku semacam informasi untuk direkam. ”
“Kami tidak mau menjawab!” Pacar
itu meraih tangan si pria dan bergegas menuju pusat kota, menghilang ke dalam kerumunan.
“Terima kasih banyak atas
sampel yang berharganya. Ini pasti akan membantu penelitianku di masa depan.”
Dia melambaikan tangannya dan menyaksikan pasangan itu pergi. “Nah, sekarang
saatnya untuk mencari target pengamatanku berikutnya … Hmmm?”
“Ah.”
Pandangan mata kami bertemu. Ketika matanya berkilau seperti batu permata cerah, memasuki garis pandangku, bagian dari ingatanku dirangsang. Kulitnya yang sedikit berpigmen, rambutnya yang tidak terawat yang membuatnya terlihat seperti baru saja terbangun, bahunya yang merosot, dan metode dogmatisnya untuk menanyai orang-orang ... hanya ada satu orang yang terlintas dalam pikiran. Dia adalah Profesor yang sedang berdiskusi dengan penuh semangat bersama Yomiuri-senpai di kafe waktu itu. Aku pikir dia memanggilnya 'Profesor Kudou.'
Aku baru ingat, Yomiuri-senpai
menyebutkan kalau dia akan bertemu dengan teman-teman dari kampusnya setelah
shiftnya selesai. Aku kira dia bagian dari grup itu, itulah sebabnya dia datang
ke sini ke toko buku kami.
“Apa kita pernah bertemu
sebelumnya?”
“Ah, Saya minta maaf karena
sudah bertindak tidak sopan dengan menatap anda.”
“Jangan khawatir. Aku tidak
bermaksud mencelamu. Banyak penelitian dimulai setelah kamu menatap sesuatu terlalu lama.
"
“Be-Benar juga…”
“Kamu pasti melihat perilaku
pasangan itu, bukan? Bagaimana perasaanmu tentang itu? ”
Sekarang dia malah meminta
pendapatku? Itu adalah jawaban yang tidak terduga, tetapi aku tidak perlu
banyak memikirkannya.
“Sejujurnya, saya merasa malu.”
“Oh?”
“Secara intuitif, tentunya.”
“Begitu ya. Karena kamu
membayangkan dirimu sendiri diawasi oleh orang asing saat melakukan sesuatu
yang serupa, ya? ”
“Sa-Saya tidak bermaksud begitu
...”
“Benarkah? Kamu berhasil
memberi jawaban langsung pada seseorang yang mendadak bertanya tentang hal itu.
Kamu pasti memiliki perasaanmu sendiri terhadap perilaku mereka sebelum aku
bertanya. Dan jawabanmu mencerminkan emosi asli yang kamu rasakan. Seandainya
kamu tidak terlalu peduli, kamu pasti akam membalasnya dengan kata menjengkelkan
atau merusak pemandangan, tetapi kamu justru menjawab kalau itu memalukan.
Perasaan semacam itu biasa disebut Fremdschämen
dalam bahasa Jerman. Kamu membayangkan dirimu sendiri dalam situasi mereka dan
menderita rasa malu bekas sebagai hasilnya.”
Terlepas dari sikap
menyeramkannya, dia berhasil menebak secara akurat bagaimana perasaanku.
Seperti yang diharapkan dari orang yang mampu mengalahkan Yomiuri-senpai, dia sangat
terampil dalam kata-kata.
“Kebanyakan orang mempunyai
tingkat perlawanan tertentu terhadap ciuman di depan orang lain, dan
berdasarkan statistik yang ada memiliki berbagai hasil tergantung pada orang
bertanya, yaitu jenis kelamin, status perkawinan, dan sebagainya. Namun, hanya
sekitar 8% dari mereka yang disurvei tidak memiliki masalah untuk berciuman di
depan umum. Memang cukup menarik, hanya 20% dari mereka yang diminta benar-benar
memiliki pengalaman mencium orang penting mereka di depan umum. ”
“Jadi apa maksudnya itu?”
“Statistik mengatakan bahwa
mayoritas orang yang ditanya merasa ragu-ragu untuk berbagi ciuman di depan
umum, dan hanya sebagian kecil yang benar-benar melakukannya. Jika demikian,
kapan dan dalam keadaan apa mereka menikmati kegiatan yang dianggap terlarang
itu? Sayangnya tidak ada banyak penelitian yang mengambil ide ini dan melakukan
investigasi yang tepat dari perspektif itu. Aku mencari kondisi di mana orang
menganggapnya layak mengabaikan norma sosila masyarakat dan moral yang
sebaliknya akan mencegah mereka melakukan kegiatan yang tampaknya terlarang
ini. ”
“…Begitu ya.”
Sungguh proses pemikiran yang
mendalam. Dan pada saat yang sama, begitu menakutkan. Satu kata, atau bahkan
suara, sudah cukup untuk menghisapku, terjebak di dalam jaringnya. Kostumnya begitu
akurat. Aku mulai merasa seperti berbicara dengan mephistopheles yang asli.
“Perayaan Halloween di Shibuya
sangat terkenal karena banyak muda-mudi yang membuat kesalahan dan sejenisnya,
bukan?”
“Yah, saya rasa begitu.”
“Maksud dari 'membuat kesalahan,' merujuk pada
perbuatan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat. Aku melihat ke dalam
fenomena ini dengan hipotesis bahwa ini beroperasi dengan cara yang sama ketika
berkaitan dengan hubungan antara pria dan wanita. ”
“Jadi pada dasarnya Anda tengah
melakukan studi lapangan? Seperti yang diharapkan dari seorang profesor
perguruan tinggi. Anda tampaknya cukup bersemangat tentang penelitian ini.”
“Oh? Jadi kamu mengenalku, ya?
”
Ah, sial. Semua pembicaraan
rumit dan penuh lika-liku itu pasti mematikan proses pemikiranku. Memang benar
kalau aku mengenalnya, tetapi itu terutama karena aku mendengarkan
percakapannya dengan Yomiuri-senpai, dan aku lebih suka tidak mengungkapkannya.
Sementara aku mencari-cari alasan untuk menutupi itu, iblis melihatku dari ujung
kepala hingga ujung kaki.
“Begitu, jadi kamu bekerja di
sini? Kamu pasti Kouhai-kun dari Yomiuri-kun, ya.”
“Ya itu betul.”
“Apa jangan-jangan kamu itu
Asamura-kun?”
“Umm, Anda bahkan tahu nama
saya?”
“Aku cuma baru mengingatnya.”
Dia tidak bisa mengatakannya
lebih sopan.
“Namaku Kudou Eiha. Aku seorang
asisten profesor di Universitas Wanita Tsukinomiya, yang dihadiri Yomiuri-kun. Aku
pernah bertemu adik perempuanmu sebelumnya.”
“Ya, saya sudah mendengar
ceritanya.”
Dia secara khusus menyebutkan
bagaimana dia secara tidak langsung diinterogasi oleh seorang profesor yang
mencurigakan pada acara hari kampus terbuka. Meski kami cuma berbicara selama
beberapa menit, namun aku sudah bisa bersimpati dengan apa yang sudah dialami Ayase-san.
“Aku seharusnya tidak
menghalangi pekerjaanmu, jadi aku akan mengundurkan diriku sekarang.”
“... sangat tidak disangka.”
“Apa tepatnya?”
“Saya kira anda akan terus
menanyai saya.”
“Hahaha. Aku tidak terlalu suka
menghalangi kegiatan atau pekerjaan orang lain. Aku juga tidak tertarik pada
hal-hal yang tidak sepenuhnya terkait dengan penelitianku.”
Aku terkejut dia punya nyali
untuk mengatakan itu. Namun, apa yang paling membuatku takut ialah fakta bahwa
Profesor Kudou ini sama sekali tidak ragu maupun khawatir mengenai bagaimana
dia bertindak dan menampilkan dirinya kepada orang lain.
“Kalau begitu, aku permisi
dulu.” katanya, berjalan memunggungiku.
Aku merasa lega dan kembali
melakukan bersih-bersih.
“Oh, iya.” Dia berhenti dan
berbicara lagi. “Izinkan aku bertindak layaknya iblis untuk terakhir kalinya
dan menaruh kutukan padamu.”
“Kutukan?
Kedengarannya agak menakutkan.”
“Mengapa sepasang kekasih yang
biasanya menahan diri di depan orang lain, kehilangan rasa malu mereka pada
hari seperti ini? Kuncinya terletak pada penurunan IQ jangka pendek mereka. ”
“... Suasana Halloween akan membuat
orang bodoh, apa itu yang ingin anda katakan?”
“Tepat. Dan semakin dekat kita,
manusia, berubah menjadi primata, semakin besar keinginan primitif kita tumbuh
... dengan kata lain, mereka mencari kontak seksual dengan pasangan.”
“Anda selalu blak-blakan dan
terus terang, ya?”
“Lagipula itulah kenyataannya.
... Namun, berubah menjadi orang bodoh tidak terlalu buruk juga.”
“Memangnya, apa efek samping
bagus dari berubah menjadi bodoh?”
“Kamu akan bahagia.”
“Sungguh perubahan subjek yang
mendadak. Apa sekarang kita berbicara tentang tingkat spiritual? ”
Bukannya kita cuma berbicara
tentang moral dan dilema etis?
“Manusia selalu hidup
berdampingan dengan spiritual. Itu adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat.” Profesor Kudou lalu menunjuk ke suatu arah.
Ketika aku menoleh kea rah yang
ditunjuk, aku melihat parade kostum sepenuhnya mengisi persimpangan.
Pemandangan itu mengingatkanku pada malam aku berjalan-jalan dengan
Fujinami-san. Saat itu, jalanan penuh dengan orang-orang yang membuat alasan
untuk diri mereka sendiri untuk benar-benar terpampang. Mereka mengandalkan kekuatan
alkohol untuk melupakan sesaat masalah hidup mereka. Saat ini, Halloween memberikan
kekuatan serupa, dan menyebabkan semua manusia normal ini melupakan bahwa
mereka seharusnya sadar.
“Jadi, buat dirimu yang terlalu
pintar dan cerdas, diriku ini akan mengutukmu
berubah menjadi monyet: Selamat hari Halloween.”
“Berubah menjadi monyet? Aku
tidak terlalu menyukai lelucon seperti itu.”
Ayase-san dan aku akan
bertingkah seperti pasangan yang tadi? Mana mungkinlah. Aku merasa jengkel
dengan omong kosong Profesor Kudou, jadi aku berbalik ke arahnya untuk
memberitahunya, tetapi keberadaannya tidak bisa ditemukan. Dia mengatakan apa
yang ingin dia katakan dan langsung menghilang begitu saja.
“Dia bukan... Iblis asli,
‘kan?”
Mana
mungkin, iya ‘kan? Haha ... dengan perasaan bahwa aku telah
mengalami sesuatu yang supranatural, aku kembali membersihkan area depan toko
dan kembali ke dalam setelah aku selesai.
◇◇◇◇
Akhirnya, giliran kerjaku
selesai. Aku memasuki kantor dan berpapasan dengan manajer yang memberiku kantong plastik
berbalut pita di atasnya.
“Ini buat kamu, Asamura-kun.
Terima kasih sudah membantu kami pada hari yang sibuk ini, ”katanya ketika dia
menyerahkan kantong plastik, yang sepertinya penuh dengan permen.
Tampaknya itu menjadi hadiah
tambahan bagi orang-orang yang menawarkan diri untuk bekerja selama periode
Halloween yang sibuk ini. Secara alami, aku menerimanya dengan rasa syukur.
“Dan ini dia, Ayase-san.”
“Terima kasih banyak.”
Ayase-san muncul sesaat
kemudian, menerima bagiannya sendiri. Hal yang sama juga berlaku untuk
Yomiuri-senpai yang datang di belakangnya. Kami bertiga telah menyelesaikan
shift kami pada sekitaran waktu yang sama, dan itu merupakan peristiwa yang
cukup jarang bagi kami. Setelah ini, Yomiuri-senpai akan pergi ke pesta kostum
bersama teman-teman kampusnya. Ketika aku memberitahunya kalau aku bertemu
dengan profesornya, dia tampak sangat khawatir dan langsung panik menanyaiku “apa kamu baik -baik saja?! Dia tidak
melakukan sesuatu yang aneh-anhe padamu, kan?! ”, yang mana hal itu lumayan
menghiburku. Aku bilang kalau aku baik-baik saja, walaupun dia merauh kutukan
padaku. Perkataanku tadi membuat Yomiuri-senpai menatapku dengan kaget.
Aku menuju ke ruang ganti pria
dan mengganti seragamku. Ketika aku melangkah kembali ke kantor, aku bertemu
dengan Ayase-san dan Yomiuri-senpai. Ayase-san mengenakan pakaian kasual yang
sama seperti sebelumnya, tetapi Senpai sudah berubah mengenakan kostumnya. Dia
mengenakan topi penyihir besar dan gaun penyihir hitam yang serasi. Kostum itu
tampak sangat bagus padanya, sampai-sampai aku lupa dia biasanya mengenakan
baju bergaya Jepang.
Kostumnya juga bukan jenis
kostum penyihir yang sangat terbuka. Namun lebih condong pada kostum penyihir
yang biasanya bisa ditemui jauh di kedalaman hutan, tersembunyi dari dunia luar.
Bros di bagian atas dadanya terbuat dari batu khusus dengan rune yang diukir di
atasnya, dan hal itu menjadikan kostumnya jauh lebih asli. Dia tidak membawa
sapu, tapi sebagai gantinya memilih tongkat kecil yang rupanya dia beli di
taman hiburan.
“Hehehehe~! Bagaimana
menurutmu, Hmm~? ” Dia menyeringai songong saat memamerkan penampilannya.
“Aku pikir itu terlihat bagus untukmu, Senpai. Jika aku tidak mengenalmu, aku mungkin aka berpikir kalau aku bertemu dengan penyihir yang asli.”
Karena dia jelas menginginkan
kesan aku, aku tidak repot -repot menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Aku
tahu dia berharap untuk berpesta lagi setelah ini.
“Tapi aku yakin kalau kamu
lebih suka melihat cosplay Saki-chan, kan?”
Aku tidak menyangkalnya, tapi aku
tahu dia takkan mau melakukannya.
“Aku takkan melakukannya,” kata
Ayase-san dengan blak-blakan saat dia berdiri di sampingku.
Tuh, lihat sendiri ‘kan.
“Rasanya cukup menyenangkan
kalau kamus sudah terbiasa, lo~?”
“Tidak, terima kasih.”
“Cuma sebentar saja. Ayolah.
Ini bukan sesuatu yang sulit kok.” Dia merogoh-rogoh isi tasnya yang tampaknya
memiliki kostumnya di dalamnya. “Taraa, ada telinga kucing!” Dia berbicara
dengan nada robot biru tertentu. “Ayo dicoba dulu.”
“Sekali lagi, aku lebih suka
tidak melakukannya.”
“Tidak seru ah! Membosankan
sekali! Aku tahu kalau kamu akan terlihat imut! Dan Kouhai-kun juga pasti akan merasa
senang! Iya ‘kan?”
“Jangan coba-coba melibatkanku
dengan kekacauan ini.”
Dia mungkin terlihat berbeda
sekarang, tetapi di dalamnya, dia masih Yomiuri-senpai yang sama. Tingkah
lakunya sangat mirip seperti pria paruh baya. Jika coba-coba melakukan sesuatu
yang melebihi ini, Ayase-san pasti akan menuntutmu karena sudah melakukan
pelecehan di tempat kerja.
“Aku pikir lebih baik kalau
kami pulang sekarang.”
“Huuuuuuh? … Baiklah, tidak
masalah. Lagipula, aku masih punya banyak kesempatan di masa mendatang.”
Kamu masih ngotot mau
melakukannya?
“Aku masih tetap tidak mau.”
“Tapi kamu berdandan supaya
terlihat imut, kan?”
Ayase-san ragu-ragu sebentar.
“Pokoknya, itu sudah cukup
untuk hari ini.” Dia lalu memalingkan muka.
“Awww. Oke, Kouhai-kun. Karena
sudah larut malam, jadi aku mengandalkanmu untuk menjadi pengawalnya.”
“Ya, ya, serahkan saja padaku.”
Penyihir hutan melambai ke arah
kami dan menyampirkan tas olahraga di atas bahunya. Sungguh pemandangan yang aneh.
Dia mungkin akan meletakkannya di loker umum sehingga dia tidak perlu membawanya
sepanjang malam. Apa dia masih bisa menemukan loker umum yang masih kosong di
jam sekarang? Atau mungkin dia sudah memiliki tempat lain yang diamankan. Mengenal
sifatnya, aku takkan terkejut jika dia sudah menyiapkan segalanya.
“Sampai jumpa nanti ~”
“Ah, Senpai.” Aku menghentikannya
saat dia hendak meninggalkan kantor.
"Hmmm? Apa, ada apa? ”
“Ini dia.” Aku meletakkan benda
kecil yang dibungkus plastik di telapak tangannya.
“Apa ini?”
“Permen. Lebih tepatnya, permen
pelega tenggorokan. Kamu bilang kalau kamu mau pergi karaokean nanti, kan?
"
“Oh, aku tidak menyangka kamu
masih mengingatnya. Anak baik! ”
“Aku lebih suka kalau kamu
tidak menjahiliku lagi kali ini.”
“Hehe, sangat dihargai.” Dia
menekan bungkusan permen ke pipinya dan menyeringai. “Sebagai ucapan terima
kasih, aku akan memberimu sihir yang akan membuatmu bahagia! Huah! ” Dia
melambaikan tongkatnya. “Selamat hari Halloween! Sampai ketemu lagi~! ” Serunya
dan langsung meninggalkan kantor.
“Bye ~”
“Hati-hati.” Ayase-san melambai
ketika Yomiuri-senpai pergi.
“Kurasa sudah waktunya bagi
kita untuk keluar juga,” kataku. Ayase-san membalas dengan mengangguk dan
meraih tasnya.
Aku berjalan selangkah
mendekatinya dan memberinya sesuatu dari tasku sendiri. Tatapan mata Ayase-san
terbuka lebar.
“Apa ini?”
“Buat kamu.”
Itu adalah bungkusan kecil
lainnya.
“Permen?”
“Bukan ... yang ini isinya
cokelat.”
“Tapi aku tidak memberimu
apa-apa.”
“Kamu tidak perlu terlalu
mengkawatirkannya. Ini hanya sepotong kecil kebaikan. Selamat hari Halloween.”
“Selamat Halloween juga, dan
terima kasih banyak.”
Sebelum meninggalkan toko,
Ayase-san memintaku untuk menunggunya sebentar dan berlari kembali ke dalam.
Kira-kira ada apa ya? Mungkin dia melupakan sesuatu? Aku bergeser sedikit dari
pintu masuk supaya tidak menghalangi pintu depan, dan menunggu Ayase-san.
Setelah beberapa menit, dia berjalan kembali ke arahku, tetapi aku tidak
melihatnya memegang sesuatu secara khusus.
“Maaf sudah membuatmu
menunggu.”
“Ada yang kelupaan?”
“Sesuatu seperti itu,” jawabnya
dan mulai berjalan di sebelahku.
“Baiklah ... Lalu ayo pulang ke
rumah.”
“Ya.”
Ketika kami melangkah keluar ke
jalan, baik Ayase-San dan aku dibuat kaget. Sejauh mata memandang, kami melihat
orang-orang yang mengenakan kostum. Praktis tidak ada ruang untuk berjalan. Aku
sudah menduga kalau semuanya akan berakhir seperti ini. Untungnya, keputusanku
untuk tidak menggunakan sepeda merupakan keputusan yang tepat.
“Aku tidak menyangka bakal
separah ini ...”
“Ada banyak kerumunan orang.”
“Ya. Setidaknya kita tidak perlu
cemas kalau siapapun dari sekolah akan melihat kita.”
Praktis tidak mungkin mengenali
siapa pun di lautan kostum tanpa akhir ini. Aku merasa kalau hal ini akan
memakan waktu cukup lama untuk bisa menembus kerumunan orang asing dan maniak
pesta yang padat ini. Padahal kami tidak jauh dari stasiun kereta api, namun
ini terasa seperti berada kuil Meiji ... mungkin perbandingannya sedikit
berlebihan, tapi hal itu menunjukkan betapa ramai dan kacaunya kerumunan orang
ini.
“Kyaa!”
Ayase-san menjerit, mungkin
habis menabrak seseorang. Aku segera memegangi untuk mendukungnya. Ini lumayan
gawat.
“Trotoar di sepanjang jalan
pasti lumayan lengang. Ayo berjalan di sana.”
“O-Oke.”
Kupikir kami sudah memilih
jalan dengan lebih sedikit orang, namun ombaknya sangat berbahaya sehingga
sepertinya kami mungkin terpisah setiap saat. Karena kami menuju ke arah yang
sama, tidak ada bahaya kalau kami tersesat, terutama karena kami sudah cukup
dewasa, tapi ...
“Di sini, Ayase-san.” Aku
mengulurkan tanganku, dan dia segera mengambilnya.
Kehangatan yang tersampaikan di
telapak tanganku membuat jantungku berdebar kencang. Tangannya sedikit lebih
kecil dari tanganku, membuatku takut bahwa aku mungkin akan menyakitinya jika
aku mencengkeramnya terlalu kuat. Tapi meski begitu, melepaskan dan kehilangan
dia jauh lebih ketakutan, jadi aku memegangnya erat -erat.
“Perhatikan langkah kakimu.”
“Aku baik-baik saja.” jawabnya
dan bergerak lebih dekat ke arahku sehingga kerumunan takkan membawanya pergi.
Rasanya sudah lama sekali sejak
kami mengkonfirmasi kehangatan satu sama lain seperti ini. Ketika aku melihat
ke depan, aku melihat sesuatu yang mirip seperti dinding besi daging yang
bahkan tidak bisa dipasang semut, semuanya berjalan di dogenzaka. Di balik itu,
aku bisa melihat sekelompok bangunan bersinar terang di langit yang gelap.
Rasanya seperti gelap malam telah menutupi Shibuya seperti tirai beludru. Dan
ada kami berdua yang mencoba merangkai jalan melalui lautan manusia berkostum.
Kami berhasil melewati senja, yang mana sudah melewati malam hari. Kegelapan malam telah berkembang sedikit, dan semua anak kecil kemungkinan besar sudah tertidur sekarang. Orang yang masih menari di sepanjang malam hanyalah segorombolan badut dengan riasan berlebihan, para penyihir yang memegang sapu di tangan mereka, dan para vampir dengan gigi taring mereka yang panjang. Bersamaan dengan mereka, terdengar alunan suara musik pop.
Rasanya seperti sekelompok
monster. Bahkan jika makhluk sungguhan bersembunyi di balik kerumunan ini,
tidak ada orang yang bakal tahu. Setiap kali lampu jalan beralih dari merah ke
hijau, kerumunan monster bergerak ke satu arah, layaknya binatang buas yang
dikutuk untuk bergerak mengikuti kehendak orang lain. Balon merah melayang di
udara, menghilang ke langit. Tanduk mobil meledak di satu sudut, seorang cowok
dan gadis yang terbungkus perban tertawa idiot seperti yang lainnya. Lampu
mobil merah terang melewati kami. Nada selamat datang diputar setiap kali pintu
minimarket dibuka. Semua itu memenuhi telingaku.
Aku merasa berjalan di atas
khayangan. Di tengah pemandangan supernatural ini, aku berpegangan tangan
dengan seorang gadis, adik perempuanku— atau lebih tepatnya, adik tiriku. Dan
kami berdua telah mengkonfirmasi satu sama lain kalau kami memendam perasaan
kasih sayang hingga tingkatan tertentu. Rasanya ini terasa lebih jauh dari kenyataan
ketimbang apapun. Apa ini benar-benar terjadi? Yang aku tahu pasti adalah
kehangatan yang datang dari telapak tangannya. Kami melewati seorang pria yang
mengenakan topeng serigala, dan rasanya seperti dia tersenyum pada kami dari
balik topengnya. Mungkin saja Ia adalah salah satu teman sekelas kami dan baru
saja melihat aku dan Ayase-san berpegangan tangan, bahu membahu. Kemungkinannya
sangat kecil bila dilihat secara astronomis, tetapi bukan berarti
kemungkinannya itu nol.
Kami berjalan jauh dari stasiun
kereta, dan semakin dekat kami berjalan menuju apartemen, semakin sedikit orang
yang kami temui. Jumlah lampu jalan yang kami lewati juga semakin sedikit pula.
Pada saat kami melihat bangunan di kejauhan, hanya ada Ayase-san dan aku.
Setelah kami berhasil melewati taman terdekat, berjalan di sepanjang jalan
lebar, kami berdua melepaskan tangan masing-masing. Salah satu dari kami
menghela nafas.
“Jika…”
“Hah?”
“Jika kita berdua mengenakan
kostum, kita bisa pulang tanpa harus mengkhawatirkan tatapan orang-orang di
sekitar kita.”
“Kurasa itu ada benarnya juga.”
Pada awalnya, kami tidak
berencana berpegangan tangan sepanjang perjalanan seperti tadi. Namun, setelah
mencicipi sensasi kehangatan itu, kami berdua tidak bisa melepaskannya sampai
kami mencapai rumah kami. Kami berdua sangat membutuhkan kehadiran satu sama
lain. Jika kami bergabung dengan semua orang di sekitar kami dan mengenakan
kostum, kami pasti akan bisa berpegangan tangan sepanjang waktu tanpa perlu
mencemaskan pandangan masyarakat. Namun, baginya, kostum dan makeup adalah dua
hal yang berbeda, dan aku ragu kita akan benar-benar bisa melewati rencana
semacam itu.
“Suatu hari nanti…” kataku.
Apa kita bisa berhenti
memikirkan setiap rincian kecil semacam itu dan tinggal berpegangan tangan karena
kami mau? Layaknya sepasang kekasih? Tapi itu bukan hanya kami berdua. Demi
orang lain yang berharga bagi kami, kami tidak mampu menghancurkan hubungan
kami sebagai saudara.
“Suatu hari nanti apa?”
“Tidak ... bukan apa -apa.”
Tempat di mana kami berdiri di
bawah lampu jalan, siluet kami masih berpegangan tangan. Aku ingin terus
bersenang -senang seperti ini. Untuk mengejar bayangannya seperti anak kecil.
Namun, lampu di gedung apartemen masih menyala, masing-masing milik keluarga
tertentu. Dan aku yakin beberapa dari mereka pasti keluarga baru juga. Kami
hanya diam dan berjalan kembali ke rumah, kami berdua sama-sama tidak bisa
meminta untuk berpegangan tangan sekali lagi.
◇◇◇◇
Aku membuka pintu depan dan
menyalakan lampu.
““Kami pulang.””
Kami berdua berseru pada saat
yang sama, tetapi tidak ada tanggapan yang datang. Aneh sekali. Aku tahu kalau Akiko-san
akan bekerja, tetapi setidaknya Ayahku harusnya sudah pulang. Ayase-san
melangkah ke dalam ruang tamu di depanku, mengangkat suara yang terkejut.
“Oh?”
“Ada apa?”
“Ini.” Dia mengangkat catatan
tertulis kecil.
Itu adalah catatan dari Ayahku.
“Aku pergi keluar untuk mengunjungi
Akiko-san.”
Aku mengeluarkan smarthphone-ku
dan memeriksa pesan. Aku bahkan tidak menyadari bahwa aku mendapat pesan LINE
darinya. Ketika aku memeriksanya, aku melihat bahwa Ia menyebutkan karena besok
adalah hari Minggu, mereka akan pergi makan malam di restoran mewah malam ini.
Dia mungkin meninggalkan catatan ini karena aku tidak menanggapi atau membaca
pesannya.
“Sepertinya mereka berdua akan
pulang bersama nanti.”
“Sepertinya begitu.”
Ayase-san memeriksa pesan LINE
dari Akiko-san saat menanggapi ucapanku. Sungguh menggelikan bagaimana kami
berdua tidak memeriksa pesan kami hingga saat ini. Tapi itu berarti mereka berdua
akan pulang larut malam. Aku megira kalau Ia ada di sini dan sedang kelaparan,
itulah sebabnya kami bergegas pulang. Tapi sepertinya itu akan menjadi beberapa
jam lagi sampai mereka kembali.
“Yah, Ia sangat sibuk sampai
beberapa waktu yang lalu ...”
Meski jadi pengantin baru,
perbedaan mereka dalam jam kerja berarti bahwa mereka tidak mendapatkan banyak
waktu untuk dihabiskan bersama, dan aku benar-benar memahami keinginan mereka
untuk mempunyai waktu untuk mereka sendiri. Namun, itu berarti…
“Jadi itu berarti, cuma ada
kita berdua saja sampai mereka pulang?”
“Sepertinya begitu.”
“Begitu ya. Apa yang harus kita
lakukan buat makan malamnya? Aku ingin membuat hot pot karena aku mengira kita
akan ada berempat ... tetapi jika cuma ada kita berdua, aku harus membuatnya
menjadi sesuatu yang sedikit lebih sederhana dan ringan. Ada permintaan?”
Aku mulai berpikir. Pertanyaan
itu muncul entah dari mana. Namun, mengatakan 'apa saja tidak masalah' takkan
sesuai dengan situasi saat ini.
“Yahh…”
Hmm, apa yang harus aku minta?
“Maaf, kurasa itu pertanyaan
yang terlalu mendadak, ya.,” komentar Ayase-san setelah melihatku berpikir
sejenak.
Itu menunjukkan bahwa dia
sendiri tidak terlalu yakin apa yang harus dimakan. Lagi pula, dia tidak perlu bertanya
jika dia sudah kepikiran akan memasak apa. Dia akan memutuskan untuk membuat
sesuatu yang ingin dia makan.
“Aku hanya tidak ingin membuang
terlalu banyak uang untuk hal seperti ini. Aku minta maaf karena tidak bisa
banyak membantu.”
Namun, memang benar bahwa aku
tidak memikirkan menu dan hidangan yang cukup untuk menghasilkan apa pun
segera. Itu sebabnya aku memikirkan satu ide yang menarik.
“Ada trik yang bisa kamu gunakan
untuk situasi seperti ini.”
“Trik macam apa?”
“Ketika manusia berada dalam
situasi di mana mereka dapat memilih dari apa pun yang dapat mereka pikirkan,
mereka biasanya berusaha untuk memikirkan sesuatu.”
Ini mirip dengan masalah
layanan streaming dan perpustakaan besar yang mereka miliki yang membuat orang
tidak yakin apa yang harus ditonton. Hal yang sama berlaku pula untuk menu di
restoran. Meski terdengar ironis, memberi pelanggan kemampuan untuk memilih
terlalu bebas sangatlah membatasi. Kamu mungkin lapar dan ingin memakan sesuatu, tapi
kamu tidak bisa memikirkan apa yang ingin kamu makan. Itu reaksi normal.
“Kita harus melakukannya dengan
proses eliminasi. Karena ini adalah makanan, kita harus memutuskan apa yang tidak
ingin kita makan sekarang.”
“Hah? Apa maksudmu?"
“Gampangnya, hal itu membuatnya
lebih mudah untuk dipilih. Atau setidaknya itulah yang biasanya aku lakukan.
Makan hal yang sama berulang kali akan membuatmu cepat bosan dengan hidangan
itu, ‘kan? Itu sebabnya aku biasanya memikirkan apa yang baru saja aku makan.”
“Kita sarapan dengan hidangan
klasik Jepang, dan saat makan siang, aku membuat ramen instan supaya tidak
terlalu menguras waktu dan tenagaku.”
“Kalau begitu kedua pilihan itu
bisa kita singkirkan. Sekarang, bisa dibilang kalau kamu sudah sarapan dengan
gaya Jepang jadi kamu lebih suka tidak membuatnya lagi. Jika kamu membuat ramen,
maka itu juga tidak bisa. Semudah itu.”
“Lalu bagaimana dengan makanan gaya
barat?”
“Sekarang pilihan kita menjadi
jauh lebih mudah untuk dibuat, bukan?”
“Sekarang setelah kamu
mengungkitnya…”
“Juga, kemampuanmu untuk
membuatnya atau tidak juga penting. Tidak ada gunanya mempertimbangkan hidangan
atau makanan yang bahkan tidak dapat kamu buat dengan bahan -bahan yang kamu
miliki. Jadi kamu bisa memikirkan bahan yang kamu miliki sekarang.”
“Telur, mungkin?”
“Lalu makanan barat yang
terbuat dari telur. Omurice, omelet digulung ... yah, aku cuma bisa memikirkan
hidangan yang biasa kita makan secara teratur.”
“Bagaimana dengan hidangan French toast?”
“Kedengarannya bagus. Aku
memilih yang itu.”
Ayase-san pernah membuat itu
sebelumnya, mengizinkaku untuk menikmati hidangan yang biasanya aku baca hanya
dalam novel.
“Mudah dibuat dan tidak
membebani perut juga.”
“Ini kayak kue, kan? Sangat
cocok untuk hari ini.”
Setelah memutuskan pada menu
umum, sisanya sangat mudah. Karena ini adalah makanan barat, kami akan memiliki
sup asli, bukan sup miso. Untungnya, kami masih memiliki sisa kaldu sup. Dan
karena kami memiliki banyak sayuran yang tersedia, kami bahkan dapat membuat
salad. Kami berdua berpencar untuk menyiapkan segalanya, dan begitu makanan
siap, kami menatanya di atas meja makan dan duduk di tempat masing-masing.
Hampir tidak butuh waktu tiga puluh menit untuk mempersiapkannya, dan sekarang
kami berdua bisa memakan French toast
kami dengan salad dan sup jagung.
“Ketika menyangkut memasak, itu
bisa memakan waktu tiga puluh menit hingga satu jam untuk menyiapkan sesuatu,
tetapi waktu saat kamu merasakan makanannya jauh lebih sebentar ‘kan, ya?” Aku
bilang.
“Itu poin yang bagus. Tapi
begitulah dengan segalanya, bukan? Apa pun yang kita gunakan dalam kehidupan
kita sehari-hari, kita hanya bisa menggunakannya untuk sesaat, padahal butuh
waktu yang lama untuk membuatnya. ”
Dia memang tidak salah. Aku
suka buku, dan aku bisa membacanya dalam satu jam atau dua, tapi aku penasaran
butuh berapa hari untuk menulis semuanya. Atau berapa bulan. Mungkin tidak
selama itu. Tapi ketika aku memikirkannya seperti itu, aku merasa tidak boleh
melupakan rasa terima kasihku kepada orang-orang yang menciptakan sesuatu demi
orang lain.
“Ayase-san, terima kasih karena
selalu memasak makanan lezat seperti ini.” Aku membungkuk sedikit dan Ayase-san
langsung mengalihkan tatapannya.
Dia tersipu. Aku bisa tahu hal
itu
“Kamu terlalu
melebih-lebihkannya. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa, itu saja.”
Alasan miliknya belum berubah sejak
pertama kali kami bertemu, ya?
“Itu tidak masalah. Aku masih
tetap merasa bersyukur.”
“Bukannya akhir-akhir kamu
sendiri sedang mencoba memasak sesuatu, ‘kan?”
“Tapi masih butuh waktu lama
untuk bisa menyamaimu. Bahkan French
toast ini terasa enak seali. ”
“…Sama-sama.” Dia membuang
mukanya lebih jauh lagi.
“Apa kamu mau minum kopi?"
Aku bertanya padanya.
“Kopi hanya akan membuatku
terjaga sepanjang malam, jadi aku lebih suka tidak meminumnya ...”
Oh ya, itu akan buruk jika dia
kekurangan tidur meski tidak ada ujian.
“Aku baru kepikiran ...” Aku
berdiri dan memeriksa kotak di atas lemari.
Di dalamnya ada kopi tanpa
kafein, yang didapat Ayahku dari salah satu rekan kerjanya. Jenis kopi yang
terbungkus dalam paket dan kamu tinggal meletakkannya di atas cangkir sambil
menuangkan air mengepul melalui itu.
“Lalu bagaimana dengan ini?
Yang ini bebas kafein.”
Karena Ayase-san mengangguk dan
memberinya persetujuan, aku menyalakan ketel listrik dan menyiapkan dua cangkir
untuk kami berdua. Sementara itu, Ayase-san mencuci piring. Beberapa menit
kemudian, air mendidih, jadi aku menyiapkan dua cangkir kopi. Aku merasakan
panas yang intens melayang ke atas, dan aroma yang berbeda menggelitik hidungku.
Aku baru saja akan menyesapnya ketika Ayase-san tiba-tiba berbicara.
“Ah! Tunggu sebentar,
Asamura-kun. ”
“Hm?”
Ayase-san membuka tas yang dia
letakkan di kursi di sebelahnya, dan mengeluarkan semacam benda yang dibungkus.
“Hah? Bukannya itu dari tempat
kerja kita?”
Pembungkus plastiknya terlihat
sama dengan apa yang digunakan toko buku kami.
“Ya, mereka menjual ini hari
ini,” katanya sambil melepas pembungkus, memperlihatkan kotak persegi kecil.
Di dalamnya ada benda yang
berbentuk seperti labu.
“… Apa ini lampu?”
“Ya.” Dia meletakkannya di atas
meja.
Kotak itu bertuliskan 'Lampu lilin LED', jadi tidak sulit buat
menebaknya. Labu itu melepas isinya dan sekarang dilengkapi dengan lampu LED
dalam bentuk lilin. Jika kamu menyambungkannya ke outlet dan menyalakan
sakelar, lampu itu segera membuat sumber cahaya yang menyenangkan.
“Aku akan mematikan lampu
ruangannya.”
Setelah lampu langit-langit
dimatikan, hanya lampu samar dari lentera labu yang bersinar di atas meja
menerangi ruangan. Ketika aku mengintip ke dalamnya, aku bisa melihat lilin
terbakar cerah meskipun fakta bahwa itu bukan lilin yang asli.
“Sungguh aneh sekali ya.
Biasanya kamu harus menggunakan api asli untuk mendapatkan nyala api yang
gemetar dan berkedip -kedip, namun sekarang kita bahkan secara artifisial menciptakannya.” Ayase-san
berkomentar saat dia duduk kembali.
Itu berkat iluminasi buatan
LED. Seperti yang dia katakan, cahaya itu benar-benar terlihat seperti nyala
api lilin yang berkedip -kedip. Dengan ruangan itu benar-benar gelap kecuali
dari cahaya labu, Ayase-san dan aku saling memandang satu sama lain.
“Dulu…”
“Hm?”
“Yah, itu mirip dengan yang ini.
Lentera labu yang sama pernah aku dapatkan dari ibu bertahun-tahun yang lalu.
Tapi waktu itu memakai lilin asli di dalamnya.”
“Mungkin ini dari produsen yang
sama?”
“Mungkin saja. Pada malam
Halloween, aku selalu sendirian karena ibu harus bekerja di bar. Ada suatu
waktu saat aku masih SD, aku menyalakan lilin dan tertidur ... Ibu marah besar
padaku setelah itu.”
Jika aku harus menebak,
Ayase-san sendiri pasti tahu betapa berbahayanya itu. Namun demikian, cahaya
adalah simbol kehidupan. Bukti bahwa seseorang ada di sini dan sekarang. Ini
adalah pengalaman yang sama kamu dapatkan saat pulang, ada lampu yang sudah dinyalakan
di rumahmu.
“Saat melihat cahaya itu, aku
merasa seperti kalau aku mempunyai tempat untuk kembali.”
“Aku benar-benar memahaminya.”
“Kami jarang bertemu satu sama
lain karena pekerjaannya. Kupikir aku benar-benar kesepian ketika aku masih
kecil, ” ucap Ayase-san dan melanjutkan. “Tapi sekarang... aku senang bisa
menghabiskan Halloween bersamamu tahun ini, Asamura-kun.”
Dengan cahaya samar yang memantul dari lentera, hanya wajah kami yang menonjol dari kegelapan di sekitar kami. Ketika aku menatap matanya yang memancar, memantulkan cahaya lilin, aku mendapati hatiku bergetar, seakan-akan mendesakku untuk condong ke depan.
“Begini...”
“Hm?”
“Um ...”
Aku dengan lembut menggerakkan
tubuhku ke arahnya, dan dia merespons dengan cara yang sama. Sama seperti
cahaya buatan LED ini, matanya bergoyang ke kiri dan kanan dengan
ketidakpastian. Tanpa berniat melakukannya, aku mendapati diriku meraih pipinya
dengan tangan kananku. Dengan lembut, aku membelai helai rambut yang mengalir
di wajahnya.
“Rambutmu jadi semakin
panjang.”
“Ini masih jauh lebih pendek
dari sebelumnya.”
“Kupikir kamu terlihat cocok
dengan itu.”
“…Terima kasih.”
Mari
tetap bertingkah layaknya saudara yang sangat dekat satu sama lain. Kami
berdua bersumpah hal itu sebulan yang lalu. Tapi sekarang, aku mencoba untuk
melanggar janji itu dengan keinginanku sendiri. Namun, apa aku mempunyai tekad
untuk berdiri kuat terhadap segala sesuatu yang harus aku hadapi sebagai
konsekuensinya? Aku bertanya pada diriku sendiri dan hatiku, tapi…
“Jadi,
buat dirimu yang terlalu pintar dan cerdas, diriku ini akan mengutukmu berubah menjadi monyet.”
Bisikan iblis mencapai
telingaku. Karena kita bukan sembarang cowok dan gadis normal, garis tersebut
benar-benar tidak boleh kami lewati tanpa mempunyai mental yang kuat untuk
menghadapi apa yang menanti kami. Namun, jika ada yang bertanya padaku ...
bertanya apa aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, dan berbagi
kebahagiaan dengan gadis di hadapanku ini ... maka jawabanku sudah jelas. Aku
ingin menyentuhnya, aku ingin dia menerimaku. Itu hanyalah keegoisan, dan
seperti yang dikatakan iblis itu, emosi bodoh.
Ketika siluet kecil kami
berpegangan tangan di bawah cahaya jalan itu, hal itu memantulkan perasaan dan
keinginanku sendiri. Setelah Ayase-san dan aku menatap mata satu sama lain selama beberapa
saat, aku dapat melihat bahwa dia telah menenangkan matanya—— dan memejamkannya. Aku tidak pernah tahu
dia memiliki bulu mata yang panjang ... pengamatan yang tidak berguna muncul
sekilas di benakku, tapi saat berikutnya, aku juga menutup mata.
Aku merasakan sensasi lembut
menekan bibirku. Aku menciumnya. Bukan
sebagai adik perempuanku, tapi sebagai seorang gadis yang bernama Ayase Saki.
Tidak ada yang melihat dosa kami saat ini, kecuali siapa pun yang mungkin mengawasi kami dari langit yang ada di atas. Atau mungkin bahkan pandangan Tuhan pun ditutupi berkat parade setan pada malam Halloween ini. Kilau harapan yang samar memenuhi dadaku. Ini adalah momen sesaat di mana tidak ada kesalahan yang akan menimpa kami.
“Ini benar-benar terasa seperti
jam penyihir. Cahaya Halloween pasti mempunyai semacam kekuatan magis. ”
Kami menjauh dari satu sama
lain karena Ayase-san mengucapkan kata-kata tersebut dengan napas yang terengah.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya