Chapter 1 — Pemikiran Tenshi-sama
“Kami
berdua tidak berpacaran, tapi Ia adalah orang yang paling penting bagiku.”
Mahiru
mengucapkan kalimat tersebut di hadapan semua orang yang ada di kelas.
Emosi
macam apa yang dimaksud dibalik kata “penting”
itu? Pertemanan? Cinta? Atau apa itu
perasaan lainnya? Suasana kelas langsung berubah menjadi keributan.
Semakin dalam aku memikirkannya, perasaanku
semakin jadi campur aduk dengan berbagai emosi seperti gelisah, cemas, dan
sedikit harapan?
Amane
menghabiskan hari tersebut dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan. Itsuki cuma
tertawa terbahak- bahak sepanjang waktu karena mengetahui persis apa yang
sedang terjadi.
Amane
merasa sulit untuk memahami mengapa Mahiru mengatakan hal semacam itu.
Amane
ingin bertanya langsung pada Mahiru mengenai maksud dari ucapannya, tapi Ia
tidak bisa menanyakannya di sekolah. Setelah dengan cemas menghabiskan harinya
dengan memikirkan pernyataan itu, Amane bertanya kepada Mahiru setelah pulang
ke rumah, dan tercengang ketika mendengar jawabannya.
“Aku
tidak berbohong, kok.”
Sambil
mengenakan celemek untuk menyiapkan makan malam, Mahiru menjawab dengan acuh
tak acuh dan tersenyum kecil.
“Aku
punya sedikit teman. Aku bisa bergaul dengan kebanyakan orang, tapi aku hanya
menghargai Amane-kun, Chitose-san, dan Akazawa-san. Tentu saja, aku menghargai
semua orang, tapi dari hubungan ini, aku merasa paling nyaman jika aku
bersamamu.”
“O-Oh...”
Amane
tidak menyangka kalau Mahiru akan membalasnya secara gamblang kalau Amane
merupakan orang yang paling dia hargai dan merasa paling nyaman saat bersamanya.
“Kita
berdua sudah tinggal bersama selama sekitar setengah tahun. Beberapa bulan
terakhir ini, aku merasa kalau aku menikmati hidupku lebih dari yang pernah
kurasakan sebelumnya. Amane-kun adalah orang yang paling dekat denganku dan
orang favoritku.”
Perkataannya
itu membuat Amane hampir berteriak kegirangan. Ia menekan kegembiraannya dan
menatap mata Mahiru, cahaya lembut di matanya mencerminkan emosinya.
“Kamu
mengulurkan tangan kepadaku dan membantuku ketika aku menderita sendirian.
Amane-kun sudah menyelamatkanku, jadi kamu harus lebih percaya diri dengan
dirimu sendiri, oke?”
“Mahiru...”
Pipi
Amane memerah tanpa sadar. Untungnya, Mahiru tidak menyadari hal ini.
“Kamu
tidak tahu kalau kamu adalah orang yang paling kupercayai? Memangnya kamu pikir
kalau aku memiliki orang yang lebih penting daripada kamu?”
“Tidak
sih ... tapi dari caramu mengatakannya di dalam kelas tadi, kamu pasti akan
disalahpahami.”
“Yah,
karena aku memang melakukannya dengan sengaja.”
Amane
menatap senyum Mahiru yang tak kenal takut. Mahiru lalu balas menatapnya dan
menyeringai jahil.
“Jauh
lebih mudah untuk mengendalikan gosip jika informasi yang berkaitan disebar
dengan benar. Daripada membuat kesalahpahaman yang keliru, lebih baik untuk
memandu atau mempengaruhi gosipnya.”
“...Kurasa
itu masuk akal.”
Amane
sekarang memahami kalau Mahiru sudah mempertimbangkan akibatnya sebelum
berbicara seperti itu, tapi dirinya masih lengah karena hatinya tidak dapat
menangani pernyataan Mahiru yang begitu mendadak.
Setelah
pernyataan itu, suasana kelas langsung berubah menjadi riuh. Mahiru hanya duduk
dan tersenyum dengan ekspresi ala tenshinya. Cowok-cowok yang memendam perasaan
dengan Mahiru khawatir tentang identitas orang tersebut.
“Pokoknya,
tolong beritahu aku dulu tentang hal semacam ini sebelumnya. Kalau tidak, bisa-bisa
aku jadi salah paham.”
“Salah
paham...?”
“...
biasanya, kalau kamu mengatakan sesuatu semacam itu, bahkan aku juga akan
sempat berpikir kalau kamu berpacaran dengan orang yang dimaksud.”
Amane
percaya bahwa Mahiru memendam beberapa kasih sayang padanya.
Kalau
tidak, mana mungkin Mahiru akan bertindak begitu ceroboh di dekat Amane, dan
dia juga takkan memberikan pandangan percaya padanya.
Mengapa dia sangat mempercayaiku, apa yang
dia suka dari diriku.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terngiang-ngiang di kepala Amane. Apa Mahiru
memiliki perasaan yang sama seperti yang dimiliki Amane? Apa dia memendam
perasaan yang sama?
Mahiru
adalah orang pertama yang membuat Amane merasa perlu untuk memeluknya dan
menyayanginya dengan sepenuh hati.
Tapi
perasaan semacam itu tidak bisa disebarkan ke teman lawan jenis yang belum siap
menghadapinya.
Amane
masih tidak tahu apa pendapat Mahiru mengenai dirinya sama dengan pendapatnya tentang
Mahiru, jadi Amane selalu menegur dirinya sendiri supaya tidak salah paham.
“Seandainya
aku bilang kalau kamu adalah orang yang terpenting bagiku pada waktu itu juga,
kamu pasti akan kepikiran tentang sesuatu, iya ‘kan?”
“Aku
tidak berpikir kalau Amane-kun akan berani mengatakan hal semacam itu di depan
umum.”
“Yah,
memang benar sih.”
“Lalu,
apa kamu mau mengatakannya di depan umum?”
“Jika
aku mengatakannya, maka para penggemarmu pasti akan langsung memenggal kepalaku.”
Setelah
melambaikan tangannya sambil menghela nafas, Mahiru tersenyum pada Amane.
Senyum
yang Mahiru tunjukkan bukan karena apa yang dikatakan Amane itu lucu, bukan
juga karena merasa lega, melainkan senyuman yang tak berdaya.
“Artinya,
Amane-kun adalah seseorang yang tidak berani mengambil risiko.”
“...Aku
merasa seolah-olah kamu sedang mengejekku.”
“Itu
cuma imajinasimu saja.”
Balasnya,
tapi Mahiru tampak merenungi sesuatu dan sepertinya dia tidak ingin menjelaskan
alasannya kepada Amane.
Mahiru
menghela nafas tak berdaya, lalu berjalan ke dapur.
“……Nee.”
“Ya?”
“Jika
aku mengatakannya di depan umum, itu pasti akan mempengaruhimu juga, ‘kan?”
“Ap—”
Pernyataan
Mahiru membuat Amane terdiam, takut akan konsekuensi dari para penggemarnya.
Mahiru memalingkan wajahnya dan memakai celemeknya untuk mulai menyiapkan makan
malam.
“Posisiku
berbeda dari Amane-kun, tatapan orang-orang dan perasaan yang ditunjukkan juga
berbeda. Aku mengerti kenapa Amane-kun tidak mau mengatakannya, karena kamu
tidak ingin terluka.”
“Itu
sih….”
“Menjadi
populer itu rasanya sangat merepotkan
sekali, ya. Aku selalu saja diawasi dan didikte ketika dekat dengan
orang lain.”
Mahiru
menggerutu, seakan-akan tidak tahan lagi dengan ketenarannya sendiri. Dia
kemudian membalikkan punggungnya ke Amane dengan berkata, “Tapi karena cuma ada
kita berdua saja di sini, jadi tidak ada orang lain yang menggangu. Untuk
sekarang, aku sudah merasa puas dengan itu.”
Ketika
Mahiru tersenyum manis seperti itu, Amane hanya bisa memandang senyum indahnya
itu tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
Komentar
Penerjemah : Oke, sekarang waktunya
lanjut nerjemahin Otonari no Tenshi-sama karena Roshi-dere sudah selesai
diterjemahin. Sekedar info, untuk volume 4 s/d 5.5 mimin ngambil sumber dari
bahasa inggris MTL. Tapi sebisa mungkin akan membuatnya mudah dibaca sama
pembaca. Mimin punya rawnya sih, tapi males banget nerjemahin dari raw karena
bakal makan banyak waktu, jadinya file raw cuma jadi pembanding aja. Mimin
usahain bakal update minimal seminggu 1 chapter kalau mimin punya banyak waktu
luang dan gak ada urusan mendadak. Syukur-syukur bisa 3 chapter/minggu wkwkwkwk