Otonari no Tenshi-sama Vol.4 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — Ucapan Berbahaya Tenshi-sama

 

Keesokan harinya setelah pernyataan mengejutkan Mahiru, suasana kelas jadi semakin meriah dengan topik “orang penting” tenshi-sama.

Mahiru berinteraksi dengan semua orang secara setara, tanpa memandang jenis kelamin, itulah sebabnya jarang sekali ada gosip tentang topik seperti itu. Dan gosip  mengenai “orang penting” ini menggelitik rasa penasaran teman-teman sekelasnya.

Hanya saja, tidak peduli berapa banyak dia ditanya, Mahiru tidak mau memberikan penjelasan lebih lanjut. Sahabatnya, Chitose, juga mengaku tidak tahu-menahu. Identitas orang tersebut masih belum diketahui banyak orang.

Dari sudut pandang Amane, hal tersebut merupakan sebuah berkah. Tapi Ia juga merasa ketakutan, tidak tahu bagaimana perkembangannya ke depan.

“Yah, kurasa kamu bakal aman-aman saja jika wajahmu tidak dilihat dari jarak dekat. Mereka hanya bisa melihat perkiraan bentuk tubuhmu jika dilihat dari jauh, jadi kamu tidak boleh mengungkapkan identitasmu.”

Itsuki mengatakan itu saat sedang mencari barang di dekatnya, Ia sepertinya menertawakan Amane yang mengkhawatirkan hal semacam itu.

Amane, Itsuki, dan Yuuta berada di toko peralatan olahraga. Amane akan membeli beberapa alat pelatihan untuk dirinya sendiri.

Kegiatan klub ditangguhkan karena masa ujian semakin dekat, jadi area lapangan sekolah boleh digunakan siapa saja. Amane pergi ke toko untuk membeli sepatu lari.

“Biasanya, gaya rambutmu itu tidak terlalu mencolok dan ditambah dengan sikapmu yang acuh dan cuek memberi kesan seperti orang suram. Ekspresimu biasanya tidak berubah, tapi kamu terlihat lebih hidup dan ceria ketika bersama ‘dia’. Wajah yang kamu tunjukkan padanya memberikan perasaan lembut.”

“Tanpa diduga, Fujimiya sangat mudah dimengerti.”

“Kalian berdua cerewet sekali.”

Amane tahu kalau sikapnya terhadap Mahiru lebih lembut dibandingkan dengan orang lain, jadi Ia merasa malu ketika hal itu diungkit orang lain.

Bahkan Yuuta, yang baru mulai mengenal Amane, bisa langsung mengetahuinya.

Ia mengerutkan kening dengan jengkel untuk meyembunyikan rasa malunya, dan Itsuki tersenyum ringan.

“Aku dulu pernah bilang, iya ‘kan? Kamu pasti akan berubah ketika bertemu seseorang yang kamu sukai.”

“...Bisa tutup mulutmu gak, Itsuki?”

“Oke, oke, aku tahu kau pemalu. Lucu sekali.”

“Jangan mengatakan sesuatu yang menjijikan begitu.”

“Sepakat.”

“Kenapa kamu justru berpihak padanya, Yuuta. Bukankah seharusnya kamu ikut membantuku?”

“Yah, karena Fujimiya tidak salah?”

“Omongan kalian bikin nyelekit, tau!.”

Itsuki mengeluh sambil tersenyum dan menjentikkan dahi Amane sebelum mengangkat bahunya.

“Yah tapi, dia memang cukup berani untuk melakukan hal seperti itu kemarin.”

“Dia bilang kalau cepat lambat pasti bakal ada gosip yang beredar, jadi lebih baik mengambil inisiatif dan memandu arah gosip itu.”

“Oh, jadi begitu cara dia menjelaskannya. Tentu saja ini bagian dari kebenaran, tapi kurasa dia juga ingin menyingkirkan teman sekelas kita. Karena Shiina-san populer di kalangan cowok, dia kurang lebih akan dicemburui oleh gadis- gadis lain. Selama kamu menyiratkan kalau kamu mempunyai orang penting dan paling peduli padanya, makin sedikit orang yang berani menembaknya.”

“Kurasa itu ada benarnya juga.”

“Dan juga, mungkin karena ada alasan lainnya.”

“Alasan lainnya?”

“...Ah, bukan apa-apa, lupakan saja omonganku tadi. Pokoknya, sudah jelas sekali siapa orang penting yang dimaksudnya dan dia pasti merasakannya. Kamu harus mengambil inisiatif. Jika perlu kamu harus mendorongnya ke bawah, dia pasti takkan lari. Sedikit memaksa juga diperlukan untuk menunjukkan kejantananmu.”

Mendengar kata “mendorongnya ke bawah” mengingatkan Amane akan kecelakaan yang terjadi selama liburan Golden Week. Karena malu saat mengingat itu, tanpa sadar Amane memalingkan pandangannya.

Peristiwa itu tidak disengaja, jadi itu tidak masalah, ‘kan?

Kejadian itu adalah sebuah kecelakaan. Amane yang tubuhnya tidak stabil, secara tidak sengaja jatuh dan menekan tubuh Mahiru. Mana mungkin baginya untuk mengambil inisiatif untuk melakukan ini. Jika Ia benar-benar akan melakukan tindakan yang tidak senonoh seperti mendorongnya ke bawah, Mahiru jelas takkan mau.

Namun, jika lain kali Ia melihat eksprei itu lagi di wajah Mahiru, yang seolah-olah mengharapkan sesuatu terjadi …. Amane senriti tidak tahu apa Ia bisa menahan dirinya untuk berhenti.

“...Oya? Apa ada sesuatu yang menarik terjadi tanpa sepengetahuanku? Misalnya saja, sesuatu yang mesum?”

Saat mengingat kembali kejadian itu, rasa panas perlahan menjalar di wajah Amane. Itsuki yang telah melihat wajah merahnya, menanyainya dengan nada meledek.

“Bisa tidak, kamu tutup mulut sebentar.”

“Itsuki, kamu emang parah banget.”

“Daritadi kamu itu berada di pihak siapa sih, Yuuta? Aku juga tahu kalau kamu berharap dia membuat kemajuan juga, ‘kan!”

“Aku tidak ingin membantu seseorang dengan cara yang mengejek, tapi menurutku, Fujimiya terlalu minder terhadap dirinya sendiri.”

“Kenapa kalian berdua tidak mendengarkan maksudku?”

Yuuta juga memberi Amane evaluasi yang membuat batin Amane merasa rumit. Amane sendiri tahu bahwa itu benar, jadi Ia tidak bisa menyangkalnya.

“Yah, ya, aku cuma ingin menyemangatimu. Meski aku tidak terlalu mengenal Shiina-san, tapi kurasa dia ingin dekat dengan Fujimiya. Fujimiya adalah satu-satunya yang bias dia percayai sepenuhnya. Dia biasanya sangat waspada terhadap orang lain tetapi menatap mata Fujimiya dengan tatapan yang berbeda dari ketika melihat orang lain.”

“...Aku tahu dia mempercayaiku, tapi...”

“Kenapa kamu pesimis begitu? Kamu harus sedikit lebih percaya diri. Fujimiya, kamu adalah orang yang baik dan punya suatu tujuan, jadi bekerja keraslah untuk mewusudkannya. Ayo, latih ototmu dan jadilah orang baik. Dengan tubuh yang kuat, kamu akan lebih percaya diri. Dengan otot, posturmu akan menjadi lebih gagah, begitu posturmu menjadi lebih baik, kaum akan tampak lebih ceria.”

“Kenapa yang diomongin selalu otot ini dan otot itu.”

“Di bukunya memang tertulis begitu.”

Amane mengira Ia sedang membicarakan pengalaman pribadinya, tapi ternyata itu adalah buku untuk sekolah. Yuuta tersenyum nakal lalu menepuk pundak Amane.

“Singkatnya, kamu itu punya badan yang cukup tinggi. Jika kamu melatih tubuhmu, kamu akan terlihat lebih pantas. Secara alamu kamu akan memiliki bentuk yang bagus, sangat disayangkan sekali jika kamu tidak menggunakannya.”

“...Ayo pergi.”

“Serahkan pembentukan tubuh pada Yuuta, dan masalah mental, serahkan saja padaku, kami akan menjadikanmu playboy yang sempurna.”

“Apa kepalamu baik-baik saja? Apa kepalamu habis kejedot sesuatu?”

“Enak saja, kepalaku baik-baik saja tau.”

“Aku cuma bercanda, aku akan mengandalkanmu.”

“Ya, kami tahu.”

Itsuki mulai menyenggol pinggang Amane dengan sikunya lagi. Amane mengelak ke samping tanpa banyak melihatnya, dan berbalik untuk melihat Yuuta yang tersenyum di sebelahnya.

Amane sudah memilih sepatu larinya dan selesai memilih barang lain yang ingin dibeli. Berdiam diri terus di toko untuk waktu yang lama akan merepotkan pihak toko, jadi Ia dengan lembut mengangkat barang yang ingin dibeli di tangannya dan mulai berjalan menuju pintu keluar.

“Kadowaki, ayo keluar.”

“Oke, aku juga sudah memilih beberapa baju olahraga yang harus kubeli.”

“Oi, kenapa kalian meninggalkanku?”

Amane dan Yuuta berjalan menuju konter, meninggalkan Itsuki sendirian. Itsuki sepertinya menyadari hal ini dan membuat suara yang sedikit kecewa di belakang mereka.

Mereka bedua lalu saling memandang dan tertawa pelan.

 

◇◆◇◆

 

“...Begitulah yang terjadi. Aku berencana untuk sering berolahraga, jadi aku mungkin lebih jarang ada di rumah.”

Setelah kembali ke rumah dan menikmati makan malam yang dibuat Mahiru, Amane memberitahu Mahiru bahwa dirinya akan lebih banyak berolahraga.

Walau dirinya yang ingin berolahraga, tapi karena Mahiru yang biasanya memasak untuknya, dia akan bermasalah jika Amane tidak ada di rumah. Jadi Amane memberi tahu Mahiru tentang rencananya.

Setelah selesai menyantap makan malam, Mahiru sedang bersantai dan beristirahat di sofa. Ketika Amane memberiahunya hal itu, dia membuka mata karamelnya dan terlihat sedikit terkejut.

“Kok mendadak sekali... baiklah, aku akan menyesuaikan resepnya untuk mengimbangi kegiatanmu. Bagaimana ya bilangnya ... berolahraga memang hal yang bagus, tapi mengapa? Bukannya berarti keadaan badanmu sedang kurang baik, ‘kan?.”

“Aku hanya berpikir bahwa sebagai seorang cowok, aku harus berolahraga sedikit dan menambah lebih banyak otot.”

Aku ingin diakui oleh Mahiru,” atau “Aku ingin menjadi sosok yang pantas berdiri di samping Mahiru,” dan “Aku ingin Mahiru menyukaiku juga”, merupakan alasannya. Tentu saja, mana berani dirinya mengatakan itu dengan lantang, jadi Amane harus berpura-pura bahwa Ia cuma ingin meningkatkan kebugarannya. Mahiru tertawa kecil dan tersenyum.

“Ara, aku tidak menyangka bahwa Amane-kun, orang yang masih menjalani kehidupan menyedihkan enam bulan lalu, akan mengatakan hal seperti itu.”

“Hei, jangan meledekku begitu. Belajar, berolahraga, dan merapikan penampilanku, tidak ada ruginya melakukan semua itu.”

“Yah memang benar sih...”

Tatapan Mahiru yang di arahkan padanya membuat Amane sedikit malu dan pandangan matanya secara alami berpaling darinya.

Mahiru tidak mengorek lebih jauh alasannya. Menampilkan senyum tak berdaya dan agak lega, dia lalu menyentuh pipi Amane dengan jari-jarinya, seakan-akan ingin menggelitiknya.

“Jangan terlalu memaksakan dirimu, oke. Amane-kun suka bekerja terlalu keras, ketika kamu memutuskan bahwa kamu akan melakukan sesuatu, kamu pasti akan berusaha keras demi bisa mencapainya. Jadi jangan sungkan-sungkan untuk mengandalkanku sebelum kamu kehilangan kendali.”

“Jangan khawatir, aku punya pelatih untuk membantuku.”

“Kadowaki-san, iya ‘kan?”

“Yah,  Meski dia bukan pelatih profesional, Yuuta masih bisa membimbingku dan mengajariku ilmunya.”

“Kalau begitu aku akan menjadi koki khusus Amane-kun. Aku akan mempertimbangkan apa yang harus dimasak untuk mendukung tujuanmu.”

Demi memperbaiki bentuk tubuhnya, gizi makanannya juga perlu diubah.

Sekarang pola makannya berada dalam keadaan di mana Mahiru bertanggung jawab penuh atas mereka, Amane tidak bisa menambahkan lebih banyak permintaan, tetapi Mahiru menawarkannya sendiri dan dia tidak terlihat keberatan sama sekali.

“Entah kenapa, aku sungguh minta maaf untuk segalanya.”

“Tidak apa-apa, jika Amane-kun memutuskan untuk melakukan hal seperti ini. Aku sangat senang untuk membantu dan mendukungmu. Ah, tapi jangan lupakan ulangan harian dan ujiannya, oke?”

“Aku tidak melupakannya, aku mengulasnya setiap hari.”

“Amane-kun memang anak yang rajin, ya.”

“Hebat sekali, hebat sekali,” suara manis dan lembut Mahiru terdengar saat dia menepuk kepala Amane dengan lembut. Amane tidak bisa mengerahkan tenaga untuk membebaskan dirinya.

Hanya saja Ia selalu merasa tidak mau berada di bawah belas kasihannya, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap matanya.

“...Asal kamu saja, aku bisa menyeimbangkan belajar dan berolahraga.”

Amane memiliki kepribadian yang serius dan mendengarkan dengan seksama pelajaran di sekolah. Ia bisa memahami sebagian besar materi pelajaran hanya dengan menghadiri kelas. Ditambah dengan belajar tiap malam dan meninjau ulang apa yang Ia pelajari di rumah, pada dasarnya Amane tidak pernah merasa terbebani dengan ujian yang akan datang.

Ini hanya tentang mengalihkan sebagian dari usahanya ke dalam olahraga. Amane siap untuk menebus waktu yang hilang yang bisa dihabiskan untuk belajar. Ia berniat untuk lebih serius saat belajar, lebih rajin dari sebelumnya. Ia tidak punya pilihan untuk bermalas-malasan karena jika tidak begitu, dirinya tidak pantas berada di sisi Mahiru.

“Hmmm, kamu pasti akan kecapean, ‘kan? Apa kamu ingin aku memanjakanmu?”

“Ya ampun, kamu seharusnya tidak boleh bilang begitu”

“Jika kamu mau, aku bisa memanjakanmu kapan saja.”

Mahiru menepuk dadanya dan tersenyum ketika mengucapkan itu. Amane ingat bahwa wajahnya terkubur di tempat yang empuk beberapa hari yang lalu, dan bibirnya hanya tertutup rapat.

Pada waktu itu Mahiru merasa bahwa Amane terlihat sedikit murung, jadi dia memeluknya untuk menghiburnya, tetapi bagi anak cowok puber seusianya, hal tersebut terlalu merangsang.

Pada saat itu, mental Amane sedang goyah dan Ia tidak punya waktu untuk menikmati sentuhannya karena Ia dimanjakan oleh kenyataan bahwa dirinya bisa bergantung pada Mahiru.

Namun, sekarang itu berbeda. Jika Mahiru melakukan hal yang sama lagi, Amane secara naluriah akan menikmati sentuhan tubuhnya sepenuhnya. Justru karena Ia memahami hawa nafsunya sendiri, Amane mencoba untuk menolaknya.

“Rasanya sedikit menakutkan karen aku merasa kalau kamu akan melakukan apapun yang aku inginkan.”

“Jika itu yang bisa aku lakukan, yah aku bisa melakukan hampir semua hal. Tentu saja, aku mungkin meminta sesuatu sebagai balasannya.”

“Jika kamu melakukan segalanya tanpa meminta imbalan apa pun, itu justru lebih menakutkan.”

“Yah, kepuasan spiritualku dapat dianggap sebagai hadiahku untuk saat ini.”

“... ngomong-ngomong, apa yang Mahiru inginkan sebagai imbalannya?”

“Aku ingin kamu... berjanji sesuatu padaku.”

Karena ini tentang Mahiru, jadi Amane merasa kalau dia takkan meminta uang atau semacamnya, tetapi Ia tidak bisa menahan tawa ketika mendengarnya meminta permintaan yang begitu serius.

“Yah, jika itu sesuatu yang bisa aku lakukan, aku akan berusaha menyanggupinya. Bisa dibilang kalau inilah yang namanya timbal balik.”

“Tapi permintaanku jauh serakah, tau ...”

“Masa? Aku tidak percaya.”

“Seriusan, lo….. Amane-kun saja yang tidak tahu seberapa serakahnya aku jadi kamu bisa dengan santai bilang begitu”

“Kalau begitu, coba sebutkan apa permintaanmu.”

Berdasarkan kata-katanya, permintaannya pasti bukan masalah sepele. Amane merasa  penasaran dengan permintaan apa yang akan dia buat, dan entah kenapa pipi Mahiru menjadi sedikit kaku setelah mendengar pertanyaannya.

“Sebenarnya apa yang ingin kamu minta?” Amane menatap mata indahnya yang berwarna caramel itu, tapi Mahiru memalingkan pandangannya.

Sulit untuk menilai apa itu cuma merupakan gertakan dan dia tidak memiliki permintaan khusus, atau di sisi lain, apa permintaannya terlalu berlebihan sampai-sampai membuatnya ragu untuk mengungkapkannya.

Amane menatap lurus ke arah Mahiru, tapi rona merah di pipi Mahiru menjadi semakin memerah.

“Pe-Permintaanku adalah…. itu sih….”

“Ya?”

“Aku ingin me ...”

“Ingin?”

“...A-Aku ingin Amane-kun mengelus-elus kepalaku juga.”

Mahiru hampir mengatakan sesuatu padanya, tapi di tengah pembicaraan dia merasa panik dan membuat permintaan lain demi menutupinya. Amane hanya bisa tersenyum masam pada rasa malunya.

“Apa itu saja sudah cukup? Apa ada lagi yang ingin kamu katakan?”

“Itu saja sudah cukup.”

Meski Amane merasa sangat penasaran dengan apa yang tadi dia inginkan, jika dirinya terus bertanya tentang hal itu, Ia takut iakan merusak suasana hati Mahiru, jadi Amane tidak bertanya lebih lanjut dan mengulurkan tangannya ke kepalanya sesuai keinginannya.

Amane sesekali menyentuh kepala Mahiru, tapi Mahiru jarang sekali memintanya sendiri. Ia bersedia menerima permintaan semacam ini walau tidak mendapatkan imbalan apa pun. Bisa dibilang kalau jika Mahiru tidak menyukainya, Amane sendiri ingin mengambil inisiatif untuk melakukannya sendiri. Yang ada justru, hal ini adalah salah satu keinginan Amane.

Mahiru yang membiarkan Amane menyentuh kepalanya, menunjukkan ekspresi nyaman dan tenteram.

“Sebelah mananya yang serakah dari permintaanmu ini?”

“Ini serakah, tau. Aku ingin kamu lebih sering menyentuhku.”

“Lebih sering…menyentuhmu…?”

Tanpa menyadari bahwa gerakan Amane secara tidak sengaja terhenti, Mahiru menatap Amane dengan ekspresi lembut dan tatapan penuh kepercayaan.

“Aku suka sekali saat Amane-kun menyentuhku. Bukannya aku sangat menyukai sentuhan antar kulit, tapi kurasa tangan Amane-kun terasa sangat nyaman.”

“Be-Be-Begitu ya.”

Mahiru memiliki ekspresi lembut di wajahnya, menyandarkan kepala dan tubuhnya di depan dada Amane.

Jarak di antara mereka diperpendek, aroma wangi tercium lebih jelas dari sebelumnya, dan detak jantungnya berdetak tidak karuan.

Apa kamu ingin mencoba untuk membunuhku?

Gadis yang disukainya berkata, “Aku ingin kamu lebih sering menyentuhku”. Dalam hal ini, kebanyakan anak cowok akan dengan senang hati melakukannya, dan mereka akan melakukannya dengan motif tersembunyi.

Tapi Amane tahu bahwa Mahiru bertindak manja dan meminta kontak fisik karena kepercayaan yang dia miliki padanya. Meski begitu, godaan kuat tersebut sangat merangsang hawa nafsu remaja cowok yang sehat.

“Amane-kun takkan menyentuh sembarangan, tapi ketika kamu melakukannya, kamu akan menyentuhnya dengan lembut dan penuh perhatian, ‘kan? Hal itu membuatku merasa tenang dan nyaman. Mungkin ada semacam getaran penyembuhan yang datang dari Amane-kun”

Mahiru mengatakan hal seperti itu dengan blak-balakan.

“Sebaliknya, aku justru tidak bisa merasa tenang. Mahiru adalah seorang gadis, bagaimana bisa kamu membiarkanku menyentuhmu begitu saja.”

“Aku sendiri tidak merasa keberatan, kok.”

“Akulah yang merasa keberatan. Coba saja kamu meminta cowok lain untuk menyentuhmu, Ia pasti akan menyerangmu, lo.”

Amane khawatir Mahiru tidak menganggapnya sebagai laki-laki, jadi Ia memberinya peringatan keras, tapi Mahiru menunjukkan senyum bahagia seolah-olah memintanya untuk terus menyentuhnya.

Reaksinya yang terlihat tidak begitu waspada itu menyinggung harga diri Amane dan Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak meremas pipi lembut Mahiru.

Amane menyentuhnya seperti yang dia minta, tapi Mahiru masih menunjukkan ekspresi tidak puas.

“Aku takkan meminta siapa pun selain Amane-kun untuk melakukan hal seperti ini.”

“Kamu seharusnya jangan terang-terangan bilang begitu padaku.”

Mendengar Mahiru secara tidak sengaja membuat pernyataan seperti itu, Amane berjuang untuk memperingatinya.

Kenyataan bahwa Mahiru mengizinkannya melakukan hal-hal semacam ini mengguncang kewarasan Amane.

Amane dengan putus asa menjaga mentalnya, mengusir pikiran jorok out dari dalam kepalanya, lalu Ia menggenggam tangan Mahiru dengan tangannya sendiri.

Ia bahkan berusaha untuk mentolerir kontak fisik ini.

Karena tindakan Amane, Mahiru menggoyangkan bulu matanya yang panjang, berkedip, dan kemudian menunjukkan senyum malu dan lembut. Rasa lega dan bahagia terlihat jelas di ekspresinya, yang mana bhal itu membuat Amane merasa semakin malu.

“... Hangat sekali, atau lebih tepatnya panas karena sudah musim panas.”

“Kalau begitu aku akan melepaskannya.”

“Enggak mau... sudah kuduga, tangan Amane-kun terasa hangat, besar, dan kuat...sangat berbeda dengan tanganku.”

“Tanganmu jauh lebih kecil, ramping dan halus, membuatku selalu gelisah saat menyentuhnya.”

“Tanganku takkan mudah patah, kok. Apalagi, Amane-kun selalu lembut saat menyentuhku, aku bisa merasa yakin kalau kamu berusaha untuk tidak menyakitiku.”

“...Aku takkan pernah menyentuh tubuh seorang gadis dengan kasar.”

Terlebih lagi, dia adalah gadis yang Amane sukai dan ingin Ia jaga seumur hidupnya. Ia takkan berani melakukan tindakan kasar. Ia hanya berpikir untuk melindungi dan mendukungnya, yang sangat lembut dan baik dalam tubuh maupun pikirannya.

Amane merasa tangan Mahiru akan hancur jika digenggam sedikit erat lagi. Ia lalu dengan hati-hati menyentuh punggung tangan Mahiru seperti menyentuh kerajinan kaca, dan matanya yang berwarna karamel menyipit sebagai tanggapan, seolah-olah merasa senang.

“...Itulah sebabnya aku sangat mempercayai Amane-kun, dan berharap kalau kamu lebih sering menyentuhku.”

Ujar Mahiru seraya menunjukkan senyum yang menawan, dan sambil menekan keinginan untuk memeluknya dan menjadikannya miliknya, Amane pun balas tersenyum dengan cara yang sama seperti Mahiru.

 

 

Sebelumnya Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama