Chapter 2 — Ucapan Berbahaya Tenshi-sama
Keesokan harinya setelah pernyataan
mengejutkan Mahiru, suasana kelas jadi semakin meriah dengan topik “orang penting” tenshi-sama.
Mahiru berinteraksi dengan
semua orang secara setara, tanpa memandang jenis kelamin, itulah sebabnya
jarang sekali ada gosip tentang topik seperti itu. Dan gosip mengenai “orang
penting” ini menggelitik rasa penasaran teman-teman sekelasnya.
Hanya saja, tidak peduli berapa
banyak dia ditanya, Mahiru tidak mau memberikan penjelasan lebih lanjut.
Sahabatnya, Chitose, juga mengaku tidak tahu-menahu. Identitas orang tersebut masih
belum diketahui banyak orang.
Dari sudut pandang Amane, hal
tersebut merupakan sebuah berkah. Tapi Ia juga merasa ketakutan, tidak tahu
bagaimana perkembangannya ke depan.
“Yah, kurasa kamu bakal
aman-aman saja jika wajahmu tidak dilihat dari jarak dekat. Mereka hanya bisa
melihat perkiraan bentuk tubuhmu jika dilihat dari jauh, jadi kamu tidak boleh
mengungkapkan identitasmu.”
Itsuki mengatakan itu saat
sedang mencari barang di dekatnya, Ia sepertinya menertawakan Amane yang
mengkhawatirkan hal semacam itu.
Amane, Itsuki, dan Yuuta berada
di toko peralatan olahraga. Amane akan membeli beberapa alat pelatihan untuk
dirinya sendiri.
Kegiatan klub ditangguhkan
karena masa ujian semakin dekat, jadi area lapangan sekolah boleh digunakan
siapa saja. Amane pergi ke toko untuk membeli sepatu lari.
“Biasanya, gaya rambutmu itu tidak
terlalu mencolok dan ditambah dengan sikapmu yang acuh dan cuek memberi kesan
seperti orang suram. Ekspresimu biasanya tidak berubah, tapi kamu terlihat
lebih hidup dan ceria ketika bersama ‘dia’.
Wajah yang kamu tunjukkan padanya memberikan perasaan lembut.”
“Tanpa diduga, Fujimiya sangat
mudah dimengerti.”
“Kalian berdua cerewet sekali.”
Amane tahu kalau sikapnya
terhadap Mahiru lebih lembut dibandingkan dengan orang lain, jadi Ia merasa
malu ketika hal itu diungkit orang lain.
Bahkan Yuuta, yang baru mulai
mengenal Amane, bisa langsung mengetahuinya.
Ia mengerutkan kening dengan
jengkel untuk meyembunyikan rasa malunya, dan Itsuki tersenyum ringan.
“Aku dulu pernah bilang, iya
‘kan? Kamu pasti akan berubah ketika bertemu seseorang yang kamu sukai.”
“...Bisa tutup mulutmu gak,
Itsuki?”
“Oke, oke, aku tahu kau pemalu.
Lucu sekali.”
“Jangan mengatakan sesuatu yang
menjijikan begitu.”
“Sepakat.”
“Kenapa kamu justru berpihak
padanya, Yuuta. Bukankah seharusnya kamu ikut membantuku?”
“Yah, karena Fujimiya tidak
salah?”
“Omongan kalian bikin nyelekit,
tau!.”
Itsuki mengeluh sambil
tersenyum dan menjentikkan dahi Amane sebelum mengangkat bahunya.
“Yah tapi, dia memang cukup
berani untuk melakukan hal seperti itu kemarin.”
“Dia bilang kalau cepat lambat
pasti bakal ada gosip yang beredar, jadi lebih baik mengambil inisiatif dan
memandu arah gosip itu.”
“Oh, jadi begitu cara dia
menjelaskannya. Tentu saja ini bagian dari kebenaran, tapi kurasa dia juga
ingin menyingkirkan teman sekelas kita. Karena Shiina-san populer di kalangan cowok,
dia kurang lebih akan dicemburui oleh gadis- gadis lain. Selama kamu
menyiratkan kalau kamu mempunyai orang penting dan paling peduli padanya, makin
sedikit orang yang berani menembaknya.”
“Kurasa itu ada benarnya juga.”
“Dan juga, mungkin karena ada
alasan lainnya.”
“Alasan lainnya?”
“...Ah, bukan apa-apa, lupakan
saja omonganku tadi. Pokoknya, sudah jelas sekali siapa orang penting yang dimaksudnya dan dia pasti merasakannya. Kamu
harus mengambil inisiatif. Jika perlu kamu harus mendorongnya ke bawah, dia
pasti takkan lari. Sedikit memaksa juga diperlukan untuk menunjukkan
kejantananmu.”
Mendengar kata “mendorongnya ke bawah” mengingatkan
Amane akan kecelakaan yang terjadi selama liburan Golden Week. Karena malu saat mengingat itu, tanpa sadar Amane
memalingkan pandangannya.
Peristiwa
itu tidak disengaja, jadi itu tidak masalah, ‘kan?
Kejadian itu adalah sebuah
kecelakaan. Amane yang tubuhnya tidak stabil, secara tidak sengaja jatuh dan
menekan tubuh Mahiru. Mana mungkin baginya untuk mengambil inisiatif untuk
melakukan ini. Jika Ia benar-benar akan melakukan tindakan yang tidak senonoh
seperti mendorongnya ke bawah, Mahiru jelas takkan mau.
Namun, jika lain kali Ia
melihat eksprei itu lagi di wajah Mahiru, yang seolah-olah mengharapkan sesuatu
terjadi …. Amane senriti tidak tahu apa Ia bisa menahan dirinya untuk berhenti.
“...Oya? Apa ada sesuatu yang
menarik terjadi tanpa sepengetahuanku? Misalnya saja, sesuatu yang mesum?”
Saat mengingat kembali kejadian
itu, rasa panas perlahan menjalar di wajah Amane. Itsuki yang telah melihat
wajah merahnya, menanyainya dengan nada meledek.
“Bisa tidak, kamu tutup mulut
sebentar.”
“Itsuki, kamu emang parah
banget.”
“Daritadi kamu itu berada di
pihak siapa sih, Yuuta? Aku juga tahu kalau kamu berharap dia membuat kemajuan
juga, ‘kan!”
“Aku tidak ingin membantu seseorang
dengan cara yang mengejek, tapi menurutku, Fujimiya terlalu minder terhadap
dirinya sendiri.”
“Kenapa kalian berdua tidak
mendengarkan maksudku?”
Yuuta juga memberi Amane
evaluasi yang membuat batin Amane merasa rumit. Amane sendiri tahu bahwa itu
benar, jadi Ia tidak bisa menyangkalnya.
“Yah, ya, aku cuma ingin
menyemangatimu. Meski aku tidak terlalu mengenal Shiina-san, tapi kurasa dia
ingin dekat dengan Fujimiya. Fujimiya adalah satu-satunya yang bias dia
percayai sepenuhnya. Dia biasanya sangat waspada terhadap orang lain tetapi menatap
mata Fujimiya dengan tatapan yang berbeda dari ketika melihat orang lain.”
“...Aku tahu dia mempercayaiku,
tapi...”
“Kenapa kamu pesimis begitu?
Kamu harus sedikit lebih percaya diri. Fujimiya, kamu adalah orang yang baik
dan punya suatu tujuan, jadi bekerja keraslah untuk mewusudkannya. Ayo, latih
ototmu dan jadilah orang baik. Dengan tubuh yang kuat, kamu akan lebih percaya
diri. Dengan otot, posturmu akan menjadi lebih gagah, begitu posturmu menjadi
lebih baik, kaum akan tampak lebih ceria.”
“Kenapa yang diomongin selalu
otot ini dan otot itu.”
“Di bukunya memang tertulis
begitu.”
Amane mengira Ia sedang membicarakan
pengalaman pribadinya, tapi ternyata itu adalah buku untuk sekolah. Yuuta
tersenyum nakal lalu menepuk pundak Amane.
“Singkatnya, kamu itu punya
badan yang cukup tinggi. Jika kamu melatih tubuhmu, kamu akan terlihat lebih
pantas. Secara alamu kamu akan memiliki bentuk yang bagus, sangat disayangkan
sekali jika kamu tidak menggunakannya.”
“...Ayo pergi.”
“Serahkan pembentukan tubuh pada Yuuta, dan masalah mental, serahkan saja padaku, kami akan menjadikanmu playboy yang sempurna.”
“Apa kepalamu baik-baik saja?
Apa kepalamu habis kejedot sesuatu?”
“Enak saja, kepalaku baik-baik
saja tau.”
“Aku cuma bercanda, aku akan mengandalkanmu.”
“Ya, kami tahu.”
Itsuki mulai menyenggol
pinggang Amane dengan sikunya lagi. Amane mengelak ke samping tanpa banyak
melihatnya, dan berbalik untuk melihat Yuuta yang tersenyum di sebelahnya.
Amane sudah memilih sepatu
larinya dan selesai memilih barang lain yang ingin dibeli. Berdiam diri terus di
toko untuk waktu yang lama akan merepotkan pihak toko, jadi Ia dengan lembut
mengangkat barang yang ingin dibeli di tangannya dan mulai berjalan menuju
pintu keluar.
“Kadowaki, ayo keluar.”
“Oke, aku juga sudah memilih
beberapa baju olahraga yang harus kubeli.”
“Oi, kenapa kalian
meninggalkanku?”
Amane dan Yuuta berjalan menuju
konter, meninggalkan Itsuki sendirian. Itsuki sepertinya menyadari hal ini dan
membuat suara yang sedikit kecewa di belakang mereka.
Mereka bedua lalu saling
memandang dan tertawa pelan.
◇◆◇◆
“...Begitulah yang terjadi. Aku
berencana untuk sering berolahraga, jadi aku mungkin lebih jarang ada di rumah.”
Setelah kembali ke rumah dan
menikmati makan malam yang dibuat Mahiru, Amane memberitahu Mahiru bahwa dirinya
akan lebih banyak berolahraga.
Walau dirinya yang ingin berolahraga,
tapi karena Mahiru yang biasanya memasak untuknya, dia akan bermasalah jika
Amane tidak ada di rumah. Jadi Amane memberi tahu Mahiru tentang rencananya.
Setelah selesai menyantap makan
malam, Mahiru sedang bersantai dan beristirahat di sofa. Ketika Amane
memberiahunya hal itu, dia membuka mata karamelnya dan terlihat sedikit
terkejut.
“Kok mendadak sekali...
baiklah, aku akan menyesuaikan resepnya untuk mengimbangi kegiatanmu. Bagaimana
ya bilangnya ... berolahraga memang hal yang bagus, tapi mengapa? Bukannya
berarti keadaan badanmu sedang kurang baik, ‘kan?.”
“Aku hanya berpikir bahwa
sebagai seorang cowok, aku harus berolahraga sedikit dan menambah lebih banyak
otot.”
“Aku ingin diakui oleh Mahiru,” atau “Aku ingin menjadi sosok yang pantas berdiri di samping Mahiru,” dan
“Aku ingin Mahiru menyukaiku juga”,
merupakan alasannya. Tentu saja, mana berani dirinya mengatakan itu dengan
lantang, jadi Amane harus berpura-pura bahwa Ia cuma ingin meningkatkan
kebugarannya. Mahiru tertawa kecil dan tersenyum.
“Ara, aku tidak menyangka bahwa
Amane-kun, orang yang masih menjalani kehidupan menyedihkan enam bulan lalu,
akan mengatakan hal seperti itu.”
“Hei, jangan meledekku begitu.
Belajar, berolahraga, dan merapikan penampilanku, tidak ada ruginya melakukan
semua itu.”
“Yah memang benar sih...”
Tatapan Mahiru yang di arahkan
padanya membuat Amane sedikit malu dan pandangan matanya secara alami berpaling
darinya.
Mahiru tidak mengorek lebih
jauh alasannya. Menampilkan senyum tak berdaya dan agak lega, dia lalu menyentuh
pipi Amane dengan jari-jarinya, seakan-akan ingin menggelitiknya.
“Jangan terlalu memaksakan dirimu,
oke. Amane-kun suka bekerja terlalu keras, ketika kamu memutuskan bahwa kamu
akan melakukan sesuatu, kamu pasti akan berusaha keras demi bisa mencapainya.
Jadi jangan sungkan-sungkan untuk mengandalkanku sebelum kamu kehilangan
kendali.”
“Jangan khawatir, aku punya
pelatih untuk membantuku.”
“Kadowaki-san, iya ‘kan?”
“Yah, Meski dia bukan pelatih profesional, Yuuta masih bisa membimbingku dan
mengajariku ilmunya.”
“Kalau begitu aku akan menjadi
koki khusus Amane-kun. Aku akan mempertimbangkan apa yang harus dimasak untuk
mendukung tujuanmu.”
Demi memperbaiki bentuk
tubuhnya, gizi makanannya juga perlu diubah.
Sekarang pola makannya berada
dalam keadaan di mana Mahiru bertanggung jawab penuh atas mereka, Amane tidak
bisa menambahkan lebih banyak permintaan, tetapi Mahiru menawarkannya sendiri
dan dia tidak terlihat keberatan sama sekali.
“Entah kenapa, aku sungguh
minta maaf untuk segalanya.”
“Tidak apa-apa, jika Amane-kun
memutuskan untuk melakukan hal seperti ini. Aku sangat senang untuk membantu
dan mendukungmu. Ah, tapi jangan lupakan ulangan harian dan ujiannya, oke?”
“Aku tidak melupakannya, aku
mengulasnya setiap hari.”
“Amane-kun memang anak yang
rajin, ya.”
“Hebat
sekali, hebat sekali,” suara manis dan lembut Mahiru terdengar
saat dia menepuk kepala Amane dengan lembut. Amane tidak bisa mengerahkan
tenaga untuk membebaskan dirinya.
Hanya saja Ia selalu merasa
tidak mau berada di bawah belas kasihannya, Amane tidak bisa menahan diri untuk
tidak menatap matanya.
“...Asal kamu saja, aku bisa
menyeimbangkan belajar dan berolahraga.”
Amane memiliki kepribadian yang
serius dan mendengarkan dengan seksama pelajaran di sekolah. Ia bisa memahami
sebagian besar materi pelajaran hanya dengan menghadiri kelas. Ditambah dengan
belajar tiap malam dan meninjau ulang apa yang Ia pelajari di rumah, pada
dasarnya Amane tidak pernah merasa terbebani dengan ujian yang akan datang.
Ini hanya tentang mengalihkan
sebagian dari usahanya ke dalam olahraga. Amane siap untuk menebus waktu yang
hilang yang bisa dihabiskan untuk belajar. Ia berniat untuk lebih serius saat
belajar, lebih rajin dari sebelumnya. Ia tidak punya pilihan untuk
bermalas-malasan karena jika tidak begitu, dirinya tidak pantas berada di sisi
Mahiru.
“Hmmm, kamu pasti akan kecapean,
‘kan? Apa kamu ingin aku memanjakanmu?”
“Ya ampun, kamu seharusnya tidak
boleh bilang begitu”
“Jika kamu mau, aku bisa
memanjakanmu kapan saja.”
Mahiru menepuk dadanya dan
tersenyum ketika mengucapkan itu. Amane ingat bahwa wajahnya terkubur di tempat
yang empuk beberapa hari yang lalu, dan bibirnya hanya tertutup rapat.
Pada waktu itu Mahiru merasa
bahwa Amane terlihat sedikit murung, jadi dia memeluknya untuk menghiburnya,
tetapi bagi anak cowok puber seusianya, hal tersebut terlalu merangsang.
Pada saat itu, mental Amane
sedang goyah dan Ia tidak punya waktu untuk menikmati sentuhannya karena Ia
dimanjakan oleh kenyataan bahwa dirinya bisa bergantung pada Mahiru.
Namun, sekarang itu berbeda.
Jika Mahiru melakukan hal yang sama lagi, Amane secara naluriah akan menikmati
sentuhan tubuhnya sepenuhnya. Justru karena Ia memahami hawa nafsunya sendiri,
Amane mencoba untuk menolaknya.
“Rasanya sedikit menakutkan
karen aku merasa kalau kamu akan melakukan apapun yang aku inginkan.”
“Jika itu yang bisa aku
lakukan, yah aku bisa melakukan hampir semua hal. Tentu saja, aku mungkin meminta
sesuatu sebagai balasannya.”
“Jika kamu melakukan segalanya
tanpa meminta imbalan apa pun, itu justru lebih menakutkan.”
“Yah, kepuasan spiritualku
dapat dianggap sebagai hadiahku untuk saat ini.”
“... ngomong-ngomong, apa yang
Mahiru inginkan sebagai imbalannya?”
“Aku ingin kamu... berjanji sesuatu
padaku.”
Karena ini tentang Mahiru, jadi
Amane merasa kalau dia takkan meminta uang atau semacamnya, tetapi Ia tidak
bisa menahan tawa ketika mendengarnya meminta permintaan yang begitu serius.
“Yah, jika itu sesuatu yang
bisa aku lakukan, aku akan berusaha menyanggupinya. Bisa dibilang kalau inilah
yang namanya timbal balik.”
“Tapi permintaanku jauh serakah,
tau ...”
“Masa? Aku tidak percaya.”
“Seriusan, lo….. Amane-kun saja
yang tidak tahu seberapa serakahnya aku jadi kamu bisa dengan santai bilang
begitu”
“Kalau begitu, coba sebutkan apa
permintaanmu.”
Berdasarkan kata-katanya,
permintaannya pasti bukan masalah sepele. Amane merasa penasaran dengan permintaan apa yang akan dia
buat, dan entah kenapa pipi Mahiru menjadi sedikit kaku setelah mendengar
pertanyaannya.
“Sebenarnya
apa yang ingin kamu minta?” Amane menatap mata indahnya yang berwarna caramel
itu, tapi Mahiru memalingkan pandangannya.
Sulit untuk menilai apa itu
cuma merupakan gertakan dan dia tidak memiliki permintaan khusus, atau di sisi
lain, apa permintaannya terlalu berlebihan sampai-sampai membuatnya ragu untuk
mengungkapkannya.
Amane menatap lurus ke arah
Mahiru, tapi rona merah di pipi Mahiru menjadi semakin memerah.
“Pe-Permintaanku adalah…. itu
sih….”
“Ya?”
“Aku ingin me ...”
“Ingin?”
“...A-Aku ingin Amane-kun
mengelus-elus kepalaku juga.”
Mahiru hampir mengatakan
sesuatu padanya, tapi di tengah pembicaraan dia merasa panik dan membuat
permintaan lain demi menutupinya. Amane hanya bisa tersenyum masam pada rasa
malunya.
“Apa itu saja sudah cukup? Apa ada
lagi yang ingin kamu katakan?”
“Itu saja sudah cukup.”
Meski Amane merasa sangat
penasaran dengan apa yang tadi dia inginkan, jika dirinya terus bertanya
tentang hal itu, Ia takut iakan merusak suasana hati Mahiru, jadi Amane tidak
bertanya lebih lanjut dan mengulurkan tangannya ke kepalanya sesuai
keinginannya.
Amane sesekali menyentuh kepala
Mahiru, tapi Mahiru jarang sekali memintanya sendiri. Ia bersedia menerima
permintaan semacam ini walau tidak mendapatkan imbalan apa pun. Bisa dibilang
kalau jika Mahiru tidak menyukainya, Amane sendiri ingin mengambil inisiatif
untuk melakukannya sendiri. Yang ada justru, hal ini adalah salah satu
keinginan Amane.
Mahiru yang membiarkan Amane
menyentuh kepalanya, menunjukkan ekspresi nyaman dan tenteram.
“Sebelah mananya yang serakah
dari permintaanmu ini?”
“Ini serakah, tau. Aku ingin
kamu lebih sering menyentuhku.”
“Lebih sering…menyentuhmu…?”
Tanpa menyadari bahwa gerakan Amane
secara tidak sengaja terhenti, Mahiru menatap Amane dengan ekspresi lembut dan
tatapan penuh kepercayaan.
“Aku suka sekali saat Amane-kun
menyentuhku. Bukannya aku sangat menyukai sentuhan antar kulit, tapi kurasa
tangan Amane-kun terasa sangat nyaman.”
“Be-Be-Begitu ya.”
Mahiru memiliki ekspresi lembut
di wajahnya, menyandarkan kepala dan tubuhnya di depan dada Amane.
Jarak di antara mereka
diperpendek, aroma wangi tercium lebih jelas dari sebelumnya, dan detak jantungnya
berdetak tidak karuan.
Apa
kamu ingin mencoba untuk membunuhku?
Gadis yang disukainya berkata, “Aku ingin kamu lebih sering menyentuhku”.
Dalam hal ini, kebanyakan anak cowok akan dengan senang hati melakukannya, dan
mereka akan melakukannya dengan motif tersembunyi.
Tapi Amane tahu bahwa Mahiru
bertindak manja dan meminta kontak fisik karena kepercayaan yang dia miliki
padanya. Meski begitu, godaan kuat tersebut sangat merangsang hawa nafsu remaja
cowok yang sehat.
“Amane-kun takkan menyentuh
sembarangan, tapi ketika kamu melakukannya, kamu akan menyentuhnya dengan
lembut dan penuh perhatian, ‘kan? Hal itu membuatku merasa tenang dan nyaman.
Mungkin ada semacam getaran penyembuhan yang datang dari Amane-kun”
Mahiru mengatakan hal seperti
itu dengan blak-balakan.
“Sebaliknya, aku justru tidak
bisa merasa tenang. Mahiru adalah seorang gadis, bagaimana bisa kamu membiarkanku
menyentuhmu begitu saja.”
“Aku sendiri tidak merasa
keberatan, kok.”
“Akulah yang merasa keberatan.
Coba saja kamu meminta cowok lain untuk menyentuhmu, Ia pasti akan menyerangmu,
lo.”
Amane khawatir Mahiru tidak
menganggapnya sebagai laki-laki, jadi Ia memberinya peringatan keras, tapi
Mahiru menunjukkan senyum bahagia seolah-olah memintanya untuk terus
menyentuhnya.
Reaksinya yang terlihat tidak
begitu waspada itu menyinggung harga diri Amane dan Ia tidak bisa menahan diri
untuk tidak meremas pipi lembut Mahiru.
Amane menyentuhnya seperti yang
dia minta, tapi Mahiru masih menunjukkan ekspresi tidak puas.
“Aku takkan meminta siapa pun
selain Amane-kun untuk melakukan hal seperti ini.”
“Kamu seharusnya jangan
terang-terangan bilang begitu padaku.”
Mendengar Mahiru secara tidak
sengaja membuat pernyataan seperti itu, Amane berjuang untuk memperingatinya.
Kenyataan bahwa Mahiru
mengizinkannya melakukan hal-hal semacam ini mengguncang kewarasan Amane.
Amane dengan putus asa menjaga mentalnya,
mengusir pikiran jorok out dari dalam kepalanya, lalu Ia menggenggam tangan
Mahiru dengan tangannya sendiri.
Ia bahkan berusaha untuk
mentolerir kontak fisik ini.
Karena tindakan Amane, Mahiru
menggoyangkan bulu matanya yang panjang, berkedip, dan kemudian menunjukkan
senyum malu dan lembut. Rasa lega dan bahagia terlihat jelas di ekspresinya, yang
mana bhal itu membuat Amane merasa semakin malu.
“... Hangat sekali, atau lebih
tepatnya panas karena sudah musim panas.”
“Kalau begitu aku akan
melepaskannya.”
“Enggak mau... sudah kuduga,
tangan Amane-kun terasa hangat, besar, dan kuat...sangat berbeda dengan tanganku.”
“Tanganmu jauh lebih kecil, ramping
dan halus, membuatku selalu gelisah saat menyentuhnya.”
“Tanganku takkan mudah patah,
kok. Apalagi, Amane-kun selalu lembut saat menyentuhku, aku bisa merasa yakin
kalau kamu berusaha untuk tidak menyakitiku.”
“...Aku takkan pernah menyentuh
tubuh seorang gadis dengan kasar.”
Terlebih lagi, dia adalah gadis
yang Amane sukai dan ingin Ia jaga seumur hidupnya. Ia takkan berani melakukan
tindakan kasar. Ia hanya berpikir untuk melindungi dan mendukungnya, yang
sangat lembut dan baik dalam tubuh maupun pikirannya.
Amane merasa tangan Mahiru akan
hancur jika digenggam sedikit erat lagi. Ia lalu dengan hati-hati menyentuh
punggung tangan Mahiru seperti menyentuh kerajinan kaca, dan matanya yang
berwarna karamel menyipit sebagai tanggapan, seolah-olah merasa senang.
“...Itulah sebabnya aku sangat
mempercayai Amane-kun, dan berharap kalau kamu lebih sering menyentuhku.”
Ujar Mahiru seraya menunjukkan
senyum yang menawan, dan sambil menekan keinginan untuk memeluknya dan menjadikannya
miliknya, Amane pun balas tersenyum dengan cara yang sama seperti Mahiru.