Otonari no Tenshi-sama Vol.4 Chapter 5 Bahasa Indonesia

Chapter 5 — Belajar Kelompok Bersama Semua Orang

 

“Pagi, Fujimiya.”

“Pagi juga.”

Berkat kegiatan belajar bersama kemarin, sebagian cowok-cowok di kelas mulai menyapa Amane. Mahiru tampak merasa senang karenanya ketika mereka kembali ke rumah kemarin.

Amane menanggapi dengan melambaikan tangannya dan meletakkan tasnya di kursinya. Itsuki dan Yuuta yang sudah tiba di sekolah, berjalan mendekat sambil tersenyum. Amane merasakan aura tidak enak yang aneh keluar dari Itsuki.

Benar saja, ekspresi Itsuki berubah menjadi seringai, dan Amane mendengus saat melihat wajahnya.

“Bagaimana perjalanan pulang kemarin?” Tanya Itsuki.

“Tidak ada yang spesial terjadi. Ekspresimu itu terlihat sangat menyebalkan.”

“Ah, kalian ikut kegiatan belajar bersama, ‘kan ya? Aku tidak ikutan kemarin, memangnya terjadi sesuatu?”

Karena tidak ikut berpartisipasi, Yuuta tidak tahu alasan dibalik sikap Itsuki.

Amane tidak repot-repot menjelaskannya, jadi Ia mengangkat bahu ke arah Itsuki dengan ekspresi malu dan sedikit jengkel.

“Tidak ada apa-apa, itu hanya sesi belajar biasa, kok.” balas Amane.

“Kamu tahu alasan kenapa aku pulang duluan karena itu niat baikku.” Itsuki menimpali.

“Itu sama sekali tidak perlu.” kata Amane dengan ketus.

Bahkan jika Itsuki tidak pulang duluan, Amane akan tetap mengantar Mahiru pulang karena apartemen mereka bersebelahan, tapi Amane takkan terlalu cemas jika berjalan berduaan. Dengan begitu, Amane tidak perlu khawatir dengan pandangan orang lain.

“Tanpa doronganku, hubungan kalian tidak terlalu banyak berkembang.”

 “Itu karena kamu terlalu resek ... lagi pula, bukannya kamu seharusnya membuat catatan dan belajar daripada menjadi orang yang suka ikut campur?”

Prioritas semua murid saat ini adalah ujian yang semakin dekat, tapi Itsuki rela mengorbankan waktu hanya untuk bermain-main.

Amane mengambil salinan buku catatannya dan menyerahkannya  kepada  Itsuki, berharap kalau Ia bisa menggunakan itu dengan baik. Itsuki menerima catatan itu dengan senyum menggoda. Apa Ia benar-benar belajar atau tidak ketika sampai di rumahnya merupakan perkara lain.

“Kamu sangat pandai mengurus orang~”

Itsuki menggodanya dengan pernyataan yang pernah diucap Mahiru pada hari sebelumnya. Amane menanggapi dengan wajah cemberut, tidak tahu bagaimana membantah perkataannya.

Yuuta melihat mereka dari samping sambil tersenyum, menurunkan alisnya, tampak menyesal.

“Pasti rasanya akan seru jika aku juga ikut berpartisipasi kemarin. Kalian sepertinya tampak bersenang-senang. Aku juga ingin belajar bersama.”

“Itsuki terus menggodaku, bagaimana mungkin aku bisa merasa senang mengenai itu.”

“Mungkin karena kamu seorang masokis?”

“Itsuki, mending kamu tutup mulutmu—”

“Oke tenanglah dulu. Itsuki tidak bermaksud jahat saat menggodamu, jadi tidak apa-apa.”

“Aku tidak ingat menggoda siapa pun.~”

“Cukup. Fujimiya mungkin akan memaafkanmu, tapi kamu juga harus menahan diri. Ada beberapa batasan yang tidak boleh dilanggar.”

“Jangan khawatir, aku sudah tahu itu. Ia benar-benar menikmatinya.”

“Astaga, kamu itu sangat menyebalkan.”

Godaan Itsuki tidak pernah melewati batas, tidak pernah benar-benar membuat Amane marah dan kesal. Paling banter, godaannya akan membuat Amane merasa sedikit tidak senang dan membuatnya menepak Itsuki dengan ringan. Tapi meski begitu, Itsuki takkan mengeluh ketika Amane memukulnya sebagai pembalasan.

Mengetahui dengan tepat kapan harus berhenti menggoda adalah sifat positif yang dimiliki Itsuki, tapi juga menjengkelkan.

“Oke, oke, Itsuki memang sedikit menyebalkan tapi ayo kesampingkan itu dulu.”

“Yuuta, kata-katamu nyelekit banget, sejak kapan mulutmu menjadi sangat beracun.”

“Baru-baru ini aku merasa bahwa aku perlu sedikit lebih beracun untukmu.”

“Kejam sekali! Aku tidak setuju!”

“Hahaha.”

Yuuta hanya membalas dengan tertawa saat Itsuki memprotesnya. Amane merasa hatinya rileks karena sekarang giliran Itsuki yang digoda.

“Ngomong-ngomong, kesampingkan Itsuki—”

“Hei! Jangan singkirkan aku.”

“Itsuki, tolong tutup mulutmu sebentar. Kalian sepertinya sangat bersenang-senang kemarin. Karena itu aku ingin belajar dengan kalian berdua, mungkin di akhir pekan?”

Mengabaikan Itsuki yang menyendiri di pojokan, Yuuta bertanya pada Amane,“Gimana?”.

Amane merasa tidak ada salahnya melakukannya, dan merasa kalau itu menjadi sesi belajar biasa dengan Yuuta. Saat dirinya hendak mengangguk setuju, Ia berpikir sejenak.

Amane sendiri tidak keberatan buat mengadakan belajar bersama lagi, tapi pertanyaannya, di mana kegiatan belajar bersama itu diadakan?

“...Di mana kita harus melakukannya?”

“Ah, aku tidak bisa melakukannya di tempatku, orang tuaku ada di sana, suasananya juga akan kaku dan canggugn.”

Terlepas dari kata-katanya yang ringan, hubungan Itsuki dengan Ayahnya membuat Amane bersimpati padanya.

“...Mau diadakan di tempatku sih tidak masalah, tapi kakak perempuanku mungkin akan datang mengganggu kita, jadi mungkin agak kurang cocok untuk belajar.”

“Kamu punya kakak perempuan?”

“Yah, aku punya dua, yang satu lumayan berisik dan satunya lagi agak suka jahil. Jadi Fujimiya mungkin akan kesulitan menghadapi mereka.”

Jika Yuuta mengatakan hal seperti itu, maka saudara perempuannya memang akan menjadi tipe orang seperti itu. Amane merasa bahwa Ia akan kesulitan menghadapi tipe gadis semacam.

Jika sudah begini, rumah Amane lah yang menjadi pilihan terakhir.

Itsuki sering mengunjungi apartemennya dan Amane juga tidak keberatan jika Yuuta bertamu ke rumahnya. Masalahnya adalah peristiwa ini juga akan berdampak pada Mahiru.

Mahiru tidak selalu berada di rumah Amane, tapi dia sering datang untuk memasak atau belajar bersama, dan kemungkinan dia berada di rumahnya sangatlah tinggi.

Jelas tidak pantas membiarkan tamu berkunjung tanpa memberi tahu penghuni lain. Amane tersenyum samar.

“Boleh aku memberitahu orang lain dulu?”

“Ah, ya, kamu perlu memberitahunya.”

“Lagipula, tempat tersebut adalah sarang cinta mereka~”

“Itsuki, bisa tutup mulutmu kagak.”

Bagaimana kalau ada orang lain mendengarnya? Amane memelototi Itsuki. Untungnya, Itsuki berbicara pelan, dan sepertinya tidak ada teman sekelasnya yang mendengarkan percakapan mereka.

Ya ampun. Kamu itu sangat merepotkan. Amane menghela nafas, merasa bersyukur karena Mahiru tidak ada di dekatnya.

 

◇◆◇◆

 

“Mahiru, Itsuki dan Kadowaki mau mengadakan belajar bersama di rumahku besok siang, apa kamu tidak keberatan?”

Setelah makan, Amane dan Mahiru membawa piring ke wastafel bersama.

Amane kemudian meminta izin padanya untuk mengajak teman-temannya.

Mempertimbangkan kepribadian Itsuki, jauh lebih baik untuk memulai sesi belajar lebih awal besok, jadi Amane memutuskan untuk bertanya sehari sebelumnya. Mahiru berkedip kaget, lalu tatapan matanya sedikit melembut.

“Tentu, aku harus memasak untuk semuanya juga, kan?”

“Itu sangat membantuku, tapi ... apa itu tidak membebanimu?”

“Ini cuma menambah jumlahnya saja, jadi tidak ada masalah.”

Tidak sulit untuk membayangkan seberapa banyak energi yang dibutuhkan untuk memasak porsi 4 orang. Lagipula, Mahiru mempunyai urusan yang harus dia lakukan sendiri.

“Hmmm, apa aku nanti boleh ikut?”

“Jika kamu tidak keberatan, mereka pasti akan merasa senang dengan itu ... bagaimana kalau kamu ajak Chitose juga? Aku tidak tahu apa dia punya waktu luang atau tidak tetapi jika kita mengabaikannya sendiri, dia pasti akan kesulitan saat mengisi soal ujian.”

Chitose bukanlah tipe siswa yang rajin. Meski dia tidak bodoh, dia hanya tidak suka dipaksa untuk belajar.

Kemarin dia juga berpartisipasi dalam kegaiatn belajar bersaa, tapi dia tidak membuat banyak kemajuan.

“Ah, tentang itu... sebenarnya aku sudah membuat janji dengannya.”

“Benarkah?”

“Chitose-san berkata, ‘Jika aku tidak berhasil dalam ujian kali ini, ayahku akan memarahiku~’ Jadi aku meluangkan waktu untuk belajar dengan Chitose-san pada hari Sabtu.”

“Jadi Chitose akan bergabung dengan kita?”

Amane merasa Itsuki sudah memberi tahu Chitose tentang rencana mereka. Meski tidak ada bukti, Amane meyakini kalau semuanya sudah direncanakan oleh Itsuki. Ia hanya bisa tersenyum kecut ketika menyadari hal itu.

Dengan kombinasi baka-couple itu, suasana belajar bersama nanti pasti akan menjadi gaduh, pikir Amane sambil mencuci piring berminyak dengan air panas. Mahiru tersenyum lembut dan memasukkan sisa makanan dingin ke dalam kotak makan siang.

“Mungkin. Entah dia beneran ikut atau tidak, sesi belajar ini pasti sangat meriah.”

“Oh, apa itu takkan membuatmu bermasalah?”

“Aku sih tidak masalah. Aku sudah terbiasa belajar, jadi sedikit kebisingan takkan menggangguku.”

Amane tahu bahwa alasan Mahiru bisa membuat pernyataan seperti itu karena dia selalu belajar dengan rajin. Ole sebab itu, hal kecil semacam itu takkan memengaruhinya.

Amane penasaran bagaimana Mahiru bisa belajar dengan begitu efisien dan efektif.

“Umm Mahiru, bisakah kamu menunjukkan buku catatanmu nanti?”

“Tentu, aku tidak keberatan. Tapi catatan Amane-kun juga terlihat rapi dan bisa dibaca jelas.”

“Sebenarnya, tentang catatanku. Aku cukup pandai mengaturnya, tetapi aku masih ingin membaca catatan dari siswa unggulan.”

“Punyaku juga tidak terlalu bagus. Jadi jangan terlalu banyak berharap.”

Mahiru tersenyum dan menaruh sisa makanan di dalam kulkas.

Bersyukur atas makanannya, Amane berterima kasih pada Mahiru di dalam hatinya sambil mencuci piring. Tidak hanya untuk makan malam, tetapi bahkan untuk sarapan, dirinya akan memakan makanan yang dimasak oleh Mahiru. Berkat Mahiru, Amane yakin gaya hidup sehatnya akan bertahan selamanya.

“Amane-kun, sepertinya kamu sangat termotivasi untuk ujian kali ini.”

“Yah, aku ingin meningkatkan kepercayaan diriku. Jika aku bisa masuk sepuluh besar maka aku akan merasa senang. Tapi untuk melakukan itu aku harus melakukan yang terbaik.”

“Kalau begitu, ... apa kamu membutuhkan lebih banyak motivasi?”

“Motivasi?”

“Jika kamu berhasil masuk sepuluh besar, aku akan mengabulkan satu keinginan apapun yang Amane-kun minta.”

“…Hah?”

Butuh beberapa saat bagi Amane untuk menelaah apa yang dikatakan Mahiru. Ia sangat terkejut sampai-sampai hampir menjatuhkan piring di tangannya ke wastafel.

Menyadari bahwa Ia hampir menjatuhkan piring, Amane kembali tersadar dan menarik napas dalam-dalam.

Amane lalu melirik ke arah Mahiru. Dia sedang menutup tutup kotak makan siang sambil masih memasang senyum tenang di wajahnya.

“Seperti yang aku katakan, aku akan melakukan apa yang kamu inginkan. Aku tahu kalau Amane-kun takkan pernah memintaku untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin aku lakukan. Coba pikirkan baik-baik nanti, anggap saja sebagai imbalan atas kue itu.”

“...Seorang gadis harusnya tidak boleh mengatakan hal seperti itu.”

“Hmmm? Apa Amane-kun ingin aku melakukan sesuatu yang aneh-aneh?”

Mengetahui bahwa Amane tidak akan meminta hal seperti itu, Mahiru menanyainya dengan nakal.

Sekali lagi, Amane hanya bisa terdiam saat mendengar dari pertanyaan Mahiru yang begitu berani.

Dia tampaknya benar-benar percaya bahwa apa yang Amane minta nanti pasti bukanlah tindakan yang tidak bermoral.

Amane perlahan melihat ke arah Mahiru yang tersenyum cerah, dan mendekat ke Amane. Dia tidak tahu apakah itu disebabkan oleh kata-katanya, tapi Amane mengira dia melihat ekspresi harapan dan rasa malu di matanya.

“...jika aku ingin kamu melakukan sesuatu yang tidak senonoh, apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan menepati janjiku. Jika kamu menginginkannya, maka aku akan melakukan yang terbaik untuk mengabulkannya.”

Mahiru sangat ingin memenuhi keinginan Amane. Tentu saja, hal itu karena dia meyakini kalau Amane takkan membuat permintaan yang aneh-aneh. Amane, yang tergoda, mau tidak mau merasa terjerat dan canggung.

Meskipun aku tidak ingin bersikap kurang ajar, mau tak mau imajinasiku menjadi liar saat gadis yang kusukai mengatakan dia bersedia melakukan apa saja. Meski benar-benar tidak mungkin untuk mengatakannya, ada banyak delusi khas cowok mulai muncul di benaknya.

Amane melirik ke arah Mahiru yang tersenyum saat dia melihat kea rah Amane. Kepolosannya membuatnya merasa lebih bersalah.

“Lalu ... bantal pangkuan, aku ingin bantal pangkuan yang pernah kulakukan sebelumnya.”

Setelah melewati perdebatan batin, Amane mengungkapkan keinginannya untuk dimanjakan dengan cara yang mirip seperti anak kecil.

Amane tidak menyangkalnya, Ia ingin merasakan pengalaman menenangkan itu lagi. Ia juga berpikir bahwa permintaan ini takkan dianggap sebagai permintaan dengan motif yang terselubung.

Namun demikian, setelah dia mengajukan permintaannya, Amane merasa sangat malu sampai-sampai ingin membuatnya berteriak. Mahiru berkedip kaget seraya menatap wajah Amane.

Setelah itu, pipinya agak memerah dan dengan malu-malu berkata, “Oke. Aku dengan senang hati akan memanjakanmu.”

 

◆◆◇◇

 

“Permisi~”

Sekitar jam 10 pada hari Sabtu, Itsuki, Chitose, dan Kadowaki tiba sesuai jadwal. Mereka menyapa Amane serempak, dan berjalan ke unit apartemennya.

Mereka bertiga bersekolah di SMP yang sama, jadi mereka tinggal berdekatan. Tidak aneh kalau mereka berkumpul terlebih dahulu. Alasan yang paling mungkin bagi mereka untuk melakukannya adalah karena Yuuta tidak tahu di mana Amane tinggal, tapi hubungan baik mereka juga menempati sebagian besar alasannya.

“Selamat datang.”

“Mahirun di mana?”

“Dia sedang menyiapkan makan siang di dapur.”

Mahiru tiba di rumah Amane lebih awal dan sekarang sedang menyiapkan makan siang. Dia baru saja kembali dari supermarket dengan bahan makanan untuk makan siang mereka.

Mahiru memberitahu kalau dia akan membuat daging sapi panggang hari ini. Selama kamu membuatnya terlebih dahulu dan didiamkan sebentar, daging sapi panggangnya takkan terasa alot.

“...Dia sudah terbiasa dengan itu...”

“Apanya?”

“Mereka sudah mirip seperti pengantin baru...”

“Kamu nanti tidak kebagian makan siang.”

“Tidaaaak~ aku ingin memakan makanan yang dimasak oleh Mahirun~!”

“Kalau begitu jangan bilang sesuatu yang aneh.” Amane memarahi, dan melihat ke arah Yuuta dan menemukannya menatap Amane dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

“Apa ada yang salah?”

“...Bukan  apa-apa, aku hanya berpikir kalau Shiina-san sudah merasa familier dengan rumah Fujimiya.”

“...Wajar saja. Lagi pula, aku selalu menyusahkannya untuk memasak untukku.”

Amane memalingkan wajahnya karena malu dan melihat Itsuki menutupi seringainya dengan tangannya. Amane yang merasa kesal dengan sikapnya, menendang betis Itsuki dengan ringan.

“Selamat datang semuanya ... eh, apa yang terjadi dengan Akazawa-san?”

“Jangan terlalu dipikirkan tentang itu.”

Mahiru mungkin mengkhawatirkannya ketika melihat senyum misterius di wajah Itsuki.

Amane merasa Itsuki tidak pantas untuk dikhawatirkan. Ia menoleh ke para tamu dan berkata, “Aku masih memiliki sesuatu untuk dipersiapkan, jadi kalian bisa pergi ke ruang tamu duluan.” Ia lalu berbalik sembari mengenakan celemeknya dan berjalan kembali ke dapur.

Di belakang punggungnya, Amane bisa mendengar bisikian Itsuki dan lainnya, “Memang, mereka berdua memberikan nuansa kesan seperti pengantin baru.” Amane berjalan kembali untuk menepak belakang kepala Itsuki.

“Ayo mulai belajar.”

Setelah menyiapkan makan siang, Mahiru membawakan the untuk semua orang dan duduk di sebelah Amane yang mana hal itu menarik perhatian semua.

“Toloooooooong akuuuuuuuu~”

“Bagian mana yang tidak kamu pahami Chitose-san? Mungkin matematika, ya?”

“Semuanya...”

“Se-Semuanya?”

“Chii tidak pandai dalam matematika. Dia hampir kena ujian remedial.”

Bukan karena Chitose tidak mencoba untuk belajar, tapi dia hanya tidak pandai dalam pelajaran matematika.

Setelah mendengar kata “semua”, pipi Mahiru sedikit berkedut. Tetapi jika Chitose benar-benar tidak mengerti, maka mereka tidak punya pilihan selain mengulas ulang semuanya. Untungnya, dia memahami dasar-dasarnya.

“Sebagian besar cuma masalah kata saja, jadi mungkin lebih baik kalau mengajarinya cara menggunakan rumus.”

“Jadi dia sudah hafal rumusnya?”

 “...Kupikir begitu, ‘kan?”

“Kurang lebih?”

Amane merasa bahwa Chitose sedikit kebingungan. Bukannya dia tidak hafal, tapi dia tidak tahu bagaimana menggunakannya dengan benar. Tapi selama dia memahami subjek sampai batas tertentu, dia pasti bisa mendapatkan nilai yang melebihi KKM.

“Hahaha”

“Terserah, asalkan jangan main-main terus dan belajarlah keras.”

Memangnya Ia pikir kegiatan belajar bersama inii untuk apa?

“Yuuta~ Amane terlalu serius~”

“Itu ada untungnya buat kamu, ‘kan?”

Yuuta menolak rengekan Itsuki dengan senyuman hangat, dan hal itu membuat Itsuki menurunkan bahunya dengan lesu.

Yuuta membuka buku teks dan catatan, dan mulai belajar. Amane berharap Itsuki dan Chitose akan mengikuti perbuatannya.

Yuuta hampir pandai dalam semua mata pelajaran. Ia merupakan cowok yang sangat baik yang bisa melebihi rata-rata di hampir segala hal.

Amane juga tidak memiliki mata pelajaran yang tidak Ia kuasai. Justru, Ia sebenarnya cukup mahir dalam banyak hal. Yang perlu dia lakukan hanyalah mengulas ulang materi pelajaran dengan rajin.

Amane mempercayakan tugas mengajar Chitose kepada Mahiru, dan pandangannya jatuh ke buku teks sejarah dunia di depannya.

 

◇◇◆◆

 

Setelah jeda makan siang sebentar, semua orang melanjutkan belajar mereka. Namun, Chitose tidak bisa berkonsentrasi sama sekali dan sambil memakan cemilan, dia berteriak mengeluh “Capek banget~” dan berguling-guling.

“Amane~ boleh aku pinjam gimmu?”

“Jika kamu mau main gim, silakan saja, aku tidak peduli dengan nilaimu.”

“Ehhhhh, pelit banget.”

“Istirahat sebentar sih tidak masalah, tapi jangan berlebihan. Jika kamu pikir bisa mengendalikan dirimu, silahkan saja main gim.”

Chitose menanggapi dengan wajah sedikit melotot.

Amane sudah menduga kalau  Chitose, yang benci belajar, akan cepat merasa, jadi dirinya sudah menyiapkan game empat orang dengan pengontrol di sebelah konsol game di kabinet TV.

Lagi pula, tidak ada orang yang bisa fokus dan rajin sepanjang waktu. Wajar-wajar saja bila menginginkan istirahat sejenak dan bermain.

Untuk Amane sendiri, Ia akan beristirahat sejenak setiap jam. Bahkan jika itu bukan istirahat yang lama, Ia masih sanggup mengerahkan konsentrasinya. Selain itu, Ia tidak benci belajar, jadi Amane bisa bertahan untuk waktu yang lama.

“Amane judes banget~”

“Lagipula kamu di sini untuk belajar bareng, ‘kan. Terserah kamu lah, sana, mending bermain dulu sebentar. Ada cukup pengontrol untuk empat orang. Kalian bisa bermain sebentar dan istirahat.”

“Kalau gitu, aku pergi dulu~ tapi Amane, kamu juga pasti lelah, kan?”

“Aku sesekali beristirahat, jadi tidak masalah.”

“Benarkah? Kamu serius banget. Kalau begitu, aku mau bermain dulu. Ikkun, mau ikut bergabung?”

“Tentu, tapi aku tidak bisa bermain terlalu lama.”

Itsuki lelah belajar selama dua atau tiga jam, dan juga tertarik buat bermain gim.

“Yuuta, kalau kamu gimana?”

“Tentu. Fujimiya, boleh ya?”

“Silahkan saja.”

Yuuta, yang lebih serius dari Itsuki dan Chitose, juga menyatakan minatnya untuk bermain game untuk istirahat. Amane merasa bahwa Ia tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah Amane mengungkapkan niatnya untuk terus belajar, Ia sekali lagi mengalihkan perhatiannya ke buku- bukunya.

Mahiru, yang diam-diam mengerjakan soal latihan di sampingnya, tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu maupun kelelahan.

“Apa Mahiru ingin bermain juga?”

“Aku mau belajar sebentar lagi.”

“Oke.”

Alasan kenapa Amane terus belajar hanya karena Ia sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk mencoba yang terbaik kali ini, tapi Mahiru selalu seperti ini. Amane mengagumi ketekunannya.

Berkat usaha tekunnya lah yang menjadikannya peringkat pertama. Upaya inilah yang membuat Mahiru begitu luar biasa di mata Amane.

Amane menyaksikan mereka bertiga buru-buru meninggalkan meja dan duduk di depan TV. Amane mulai fokus pada mata pelajaran di hadapannya dan mulai menulis.

Suara pensil menggurat kertas, gesekan penghapus, dan nafas Mahiru di sebelahnya terdengar sangat jelas.

Amane dengan santai mendengarkan keributan mereka bertiga sesekali. Sambil mengingat kecenderungan  yang  dimiliki guru ketika memilih pertanyaan, Amane fokus pada materi soal yang mungkin akan muncul pada ujian.

Ada seorang guru yang sudah mengajar sejak Ia masuk SMA. Setelah mengamati dan menyimpulkan tentang guru ini, Amane dapat dengan kuat memahami apa yang akan muncul pada soal ujian.

Adapun para guru yang mulai mengajar di kelas mereka tahun ini, Amane berencana untuk mengamati kumpulan pertanyaan mereka pada ujian ini untuk kuis-kuis mendatang.

Amane secara deduktif memperkirakan ruang lingkup ujian dan dan mempelajari materi pelajarannya. Meski cuma sekedar perkiraan, prediksinya kemungkinan takkan jauh dari kenyataan. Selama dirinya fokus pada materi tersebut, I akan bisa mengerjakan soal ujian dengan lancar.

“Amane-kun, selamat menikmati.”

Amane diam-diam menjawab pertanyaannya. Tanpa disadari, Mahiru yang sedari tadi duduk di sebelahnya, sudah berdiri dan mengambil minuman. Ada secangkir kopi berisi krim dan sekotak kecil gula yang diletakkan di dekat Amane.

Badan Amane merasa santai ketika melihat kopi yang disajikan.

“Ini sama seperti biasanya, tidak masalah, ‘kan?”

 “Ya, terima kasih banyak.”

Mereka berdua sudah bersama selama lebih dari setengah tahun, dan saling mengetahui kesukaan satu sama lain dengan baik.

Mahiru telah membawakan kopi tepat saat dirinya hendak mengambil minuman. Amane mengucapkan terima kasih dan memegang gagang cangkir ketika melihat ada piring kecil di sebelah kopi.

“Apa ini?”

“Cemilan kecil. Kupikir belajar akan membutuhkan banyak glukosa, jadi aku memanggangnya kemarin.”

Di piring kecil ada cemilan persegi panjang yang menunjukkan warna cokelat agak panas.

Camilan itu disajikan dengan persiapan yang matang. Agar tangan mereka tidak kotor saat makan, ada garpu kecil di sampingnya. Ukuran cemilan itu sangat pas untuk sekali lahap.

Tampaknya ada porsi untuk mereka yang sedang bermain game juga. Di atas nampan, porsi cemilan untuk tiga orang diletakkan di atas piring dengan garpu kecil di sampingnya.

Kopi juga disiapkan untuk mereka. Paket gula dan krim ditempatkan di atas nampan, memungkinkan mereka untuk menambahkan gula atau susu dengan bebas sesuai selera mereka.

“Chitose-san, silahkan dinikmati.”

Sambil tersenyum, Mahiru diam-diam mendekati mereka dan meletakkan nampan di atas meja kecil di dekat mereka.

“Uwaahh! Makasih banyak Mahirun!”

“Wow, cemilan di waktu yang pas. Terima kasih, Shiina-san.”

“Sama-sama.”

Mahiru dengan gembira melihat ketiga tamu itu memakan cemilan dan kembali ke tempat Amane. Melihat pemandangan itu, Amane merasakan sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman.

“...Aku selalu merasa bahwa kamu berusaha keras untuk orang lain.”

“Tidak, aku sendiri yang menginginkan ini. Aku memanggangnya untuk istirahat kita.”

“Jadi kamu adalah tipe orang yang bekerja keras.”

“...Aku  berusaha melakukan yang terbaik untuk mendukung seseorang yang mencoba melakukan terbaik.”

Mendengar gumaman tersebut, Amane merasakan ledakan panas dari relung harinya.

Sebelum bisa menyebar keluar, Amane buru-buru meminum kopi dan meneguknya. Ia pikir kalau kopinya terlalu legit, meskipun jumlah gula yang ditambahkan sedikit.

Amane mati-matian menahan sensasi manis yang membuat hatinya menari-nari. Yang bisa Ia lakukan hanyalah menipu dirinya sendiri, jadi Ia mengalihkan perhatiannya ke buku pelajarannya.

 

◆◇◇◆

 

Pada akhirnya, mereka bertiga bermain video game sampai sore.

Saat Amane terus belajar, Ia merasa kalau dirinya tidak bisa berkonsentrasi, jadi Ia mengakhiri studinya di tengah jalan dan bergabung dengan mereka bertiga. Namun, ketidakmampuannya untuk berkonsentrasi bukan hanya karena jam belajar yang panjang, tetapi juga karena perkataan Mahiru.

Apa maksud dari berusaha melakukan yang terbaik untuk mendukung seseorang yang mencoba melakukan terbaik?

Gumaman kecil Mahiru masih terngiang-ngiang di dalam kepala Amane.

Meski Amane tahu bahwa Mahiru suka membantu orang lain, tapi ketika mendengar ucapan tersebut membuat dirinya bertanya-tanya apakah Mahiru sedang membicarakan tentang dirinya.

Ketika Mahiru mengatakan ini, Amane memiliki khayalan “apa dia menyukaiku sebagai seorang pria dan ingin melakukan yang terbaik untukku?”.

Tidak, dia mungkin mencoba yang terbaik untukku karena aku sangat tidak berguna. Ya, pasti tentang itu.

Mau tak mau Amane hanya bisa memikirkan kemungkinan tersebut karena dirinya tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Tapi sekarang, selama Ia bekerja keras, Ia seharusnya tidak memiliki masalah dengan menjalani kehidupan normal, tapi Ia masih terlalu bergantung pada Mahiru.

Apa maksud Mahiru dengan mengatakan ini; apa dia hanya merasa berkewajiban untuk menjaganya, atau karena dia suka menjagaku.

Amane menyukai Mahiru dan berharap kalau dia merasakan hal yang sama, tapi Amane tidak berpikir bahwa ada kemungkinan untuk itu. Namun, Amane mulai mempertanyakan dirinya sendiri tentang apakah dia layak atau tidak untuk mendapat cinta Mahiru.

“Amane~ karaktermu keluar dari arena, tau.”

“Huh?”

Karena sibuk melamun saat bermain, Amane melakukan kesalahan dan karakternya jatuh dari arena. Dengan tidak ada lagi nyawa yang harus dihidupkan kembali, Ia meletakkan pengontrolnya dan berjalan menjauh dari layar.

Itsuki, Chitose, dan Yuuta masih bertarung habis- habisan.

Meski tidak tahu seberapa pandainya Yuuta bermain, Amane seharusnya tidak bisa dikalahkan begitu cepat. Dengan kata lain, Ia terlalu memikirkan ucapan Mahiru.

“Apa kubilang, kurasa kamu terlalu banyak belajar dan tidak bisa berkonsentrasi. Kamu keliatan linglung.”

“...Kurasa begitu. Apa Mahiru mau bergabung dengan kita?”

“Tidak, maaf. Sudah hampir waktunya bagiku untuk menyiapkan makan malam...”

Mahiru melirik waktu, dan Amane mengikuti tatapannya. Sudah hampir jam tujuh malam, sepertinya mereka agak terlambat menyiapkan makan malam.

“Uwaahh, sudah jam segini ... aku harus segera pulang, aku tidak bisa bermalam di sini.”

“Yep. Meski Chii mungkin ingin menginap di rumah Shiina-san, dia tidak punya baju ganti dan belum meminta izinnya juga. Selain itu, kurasa Chii tidak akan cocok dengan pakaian Shiina-san. Lagipula, ukurannya takkan pas.”

“Nee, Ikkun, ukuran mana yang kamu maksud? Hmm~?”

“...Tentu saja, tinggi badan...”

Baka-couple itu masih bertengkar dengan harmonis seperti biasa, Mahiru menonton meeka sambil tersenyum.

“Kamu boleh menginap lain kali, kok.”

“Eh, benarkah?!?”

“Yah, asal kamu memberitahuku terlebih dahulu.”

“Aku juga akan datang ke rumah Amane!”

“Enah kenapa, aku merasa kalau kamu hanya ingin menikmati masakan Mahiru.”

“Ehehe, aku ketahuan ya.”

“Yah, itu karena masakan Shiina-san enak,” Itsuki tersenyum acuh tak acuh. Amane menghela nafas dan mengatakan kepadanya, “Yah itu pun kalau Mahiru menyetujuinya.”

Untuk hari ini,  dia harus memasak lebih banyak dari biasanya, Amane tidak berhak memutuskan untuknya. Jika Mahiru tidak setuju, Ia bisa pergi makan atau pergi ke minimarket untuk membeli bento.

Mungkin, sesekali makan di luar tidak terlalu buruk juga.

Mahiru tersenyum dan menyetujui permintaan mereka. Amane merasa Itsuki akan berkunjung lagi dalam waktu dekat.

“Apa Kadowaki-san akan ikut datang juga lain kali?”

“Hah? Apa boleh?”

“Tentu saja.”

“Lalu ‘Asosiasi Menendang Bokong Amane’ akan segera berkumpul lagi.”

“Hei, nama grup aneh macam apa yang kalian buat?”

“Kamu paham sendiri ... ‘kan?”

Melihat Itsuki menyeringai, Amane menarik keras-keras pipi Itsuki. Pada awalnya, Yuuta tidak bisa berkata apa-apa saat melihat tingkah laku mereka berdua, tetapi kemudian Ia perlahan tersenyum.

 

◇◆◇◆

 

“Ummm, Mahiru... apa maksud dari perkataanmu tadi sore?”

Setelah semua orang pergi pulang, Amane yang berdiri di pintu, dengan ragu mengajukan pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

Sebenarnya, Amane merasa ragu untuk bertanya. Sebelum Itsuki pergi, Amane berkonsultasi dengannya, dan Itsuki memberitahunya, “Tanyakan saja langsung padanya, dasar pengecut.”

Amane tidak menyangka Ia akan menyemangatinya dan menamparnya sebagai pembalasan, tetapi Itsuki tampaknya tidak pernah kapok dari perbuatannya.

Mendengar pertanyaan itu, Mahiru mengedipkan matanya beberapa kali dan perlahan tersenyum.

“Menurut Amane-kun sendiri, apa maksudnya itu?”

“...Kamu tidak bisa membiarkan cowok payah yang membutuhkan seseorang untuk menjaganya?”

Mana mungkin Ia berani mengatakan “karena Mahiru menyukainya.”.

“Fufu, hmm benar juga, aku tidak tega membiarkan Amane-kun begitu saja. Tanpaku, Amane-kun akan menjadi orang yang tidak berguna.”

“Itu sangat benar sekali.”

Memang benar bahwa Amane menerima banyak perhatian dari Mahiru. Tanpanya, Amane takkan bisa mempertahankan pola hidupnya yang sekarang.

“...Tidak apa-apa, kok? Bagiku sendiri, aku suka mengurus Amane-kun.”

“Aku nanti jadi cowok yang tidak berguna... Aku sangat terbiasa dengan kehidupan ini sehingga aku tidak bisa hidup tanpa Mahiru...”

“Fufu.”

Hal yang menakutkan tentang Mahiru ialah jika dia tidak membantunya, kehidupan Amane yang menyenangkan ini akan lenyap.

Dalam banyak artian, Amane sudah menjadi tawanannya, dan hal itu sangat sulit…..tidak, itu sangat mustahil untuk meninggalkannya, bukan karena dia menginginkannya.

Jika Ia mengakui perasaannya dan ditolak mentah-mentah, Amane benar-benar merasa kalau dirinya akan tidak sanggup lagi menjalani kehidupan.

Amane menertawakan dirinya sendiri di dalam hatinya, Itu karena aku sangat menyedihkan dan terbiasa dengan kehidupan ini sehingga aku tidak bisa hidup sendiri. Kemudian, Mahiru tiba-tiba mendekati Amane.

Dia tidak menedekat pada jarak di mana tubuh mereka hampir bersentuhan. Dia mendekati Amane dari depan, menatap matanya, dan menelusuri bibir Amane dengan jarinya.

“...... Oleh karena itu, jangan ragu-ragu untuk menjadi cowok yang tidak berguna, jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkannya, oke?”

Mahiru menyipitkan matanya dengan nakal sambil tersipu malu saat Amane memandangnya dengan nafas tertahan.

Senyuman yang belum pernah dilihat Amane sebelumnya, terlihat manis dan menggairahkan... bahkan dengan sedikit  sentuhan centil layaknya iblis kecil yang bertingkah jahil, membuatnya merasa aneh. Senyumnya itu benar-benar bisa membuat seseorang menjadi busuk. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuat hati Amane gila.

Amane bisa merasakankalau  detak jantungnya dan aliran darahnya semakin cepat ke seluruh tubuhnya.

Amane sudah sering melihat senyumnya yang seperti malaikat, senyuman sekilas yang bisa lenyap kapan saja, senyum polosnya, dan semua jenis senyuman lainnya, tapi tidak ada satupun yang terlihat lebih menarik daripada senyuman Mahiru yang sekarang.

Mahiru menatap dengan puas pada Amane yang menganga, dia kembali ke senyumnya yang biasa dan berkata, “Kalau begitu aku akan mulai memasak makan malam dulu” dan berjalan pergi ke dapur. Amane memperhatikan punggungnya seraya merasakan kalau wajahnya terasa memanas.

Aku tidak bisa melawannya lagi.

Sambil mendesah, Amane melihat ke arah langit-langit, dan mencoba menenangkan detak jantungnya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama