Chapter 9 — Seragam Baru Tenshi-sama
Ujian UTS telah berakhir dan
sekarang sudah memasuki pertengahan bulan Mei.
Di bawah pancaran sinar
matahari musim semi yang hangat, suhu udara jadi sedikit lebih panas, dan
seragam sekolah lengan panjang menjadi semakin kurang nyaman.
Amane mulai memasuki sekolah
lagi saat bulan April, tapi Ia merasa terlalu merepotkan untuk mengganti
seragam sekolah musim panasnya, jadi dirinya terus memakai seragam lengan
panjang.
Namun, dalam keadaan cuaca yang
semakin panas, bahkan jika sekolahnya menyalakan AC sepanjang hari, rasanya
masih tidak nyaman untuk bolak-balik ke sekolah. Dengan pemikiran ini, Amane
merasa sudah waktunya untuk mengganti seragamnya dengan seragam musim panas.
“Kurasa sudah waktunya untuk
mulai mengenakan lengan pendek.”
Amane berpikir untuk memakai
baju lengan pendek keesokan harinya, jadi Ia mengeluarkan seragam sekolah musim
panas dari kotak penyimpanannya di lemari dan memasukkannya ke dalam mesin
cuci. Melihat Amane mencuci seragam sekolah musim panasnya, Mahiru pun
mengangguk mengerti.
Mahiru masih mengenakan seragam
lengan panjang dengan stoking.
Meski Mahiru sudah mengganti
jaketnya menjadi rompi, penampilannya masih tertutup rapat dan nyaris tidak
memperlihatkan kulitnya. Amane khawatir kalau dia akan merasa kegerahan jika
terus mengenakan pakaian seperti itu.
“Cuacanya semakin panas. Aku
juga merasa lebih berkeringat akhir-akhir ini..”
“Itu karena pakaian yang kamu
pakai terlalu ketat. Setiap kancing dikaitkan, lengan tidak digulung, dan kamu
selalu memakai stoking...”
“Jika aku memakai baju yang longgar
dan terbuka, orang lain akan selalu melihatnya. Itu sebabnya aku harus
memakainya, sebagai semacam perlindungan.”
Mahiru memiliki paras dan
kecantikan memukau yang diinginkan kebanyakan orang. Dia sering terganggu oleh
perhatian yang ditujukan oleh orang lain.
Dia selalu menonjol dan mudah
menarik perhatian orang lain. Wajar saja kalau setiap cowok akan tertarik pada penampilannya
yang menawan, tapi tatapan cabul semacam itu pasti akan membuat Mahiru merasa
tidak nyaman.
“Hmmmm, apa yang harus aku
lakukan buat musim panas kali ini. Aku memakai stoking hitam yang sangat tipis
tahun lalu, dan rasanya masih gerah buat dipakai.”
“Yah, wajar saja, stoking pada
umumnya masih terasa panas. Gadis-gadis biasanya memiliki lebih banyak pakaian
ketimbang cowok, dan mereka terlihat jauh lebih seksi...”
“Demi melindungi diriku
sendiri, aku bisa menahan sedikit panas, tapi rasanya jadi tidak nyaman untuk
selalu berkeringat. Inilah sebabnya aku benci musim panas.”
Mahiru mengeluh seraya menghela
nafas. Amane tidak tahu bagaimana untuk membantunya, jadi Ia tidak
menanggapinya. Mahiru tampaknya tidak terlalu peduli, dan berbalik untuk
melanjutkan mencuci piring.
“Amane-kun, apa kamu akan mulai
memakai seragam berlengan pendek besok?”
“Ya, aku merasa sudah waktunya
untuk berganti jadi seragam musim panas. Akhir-akhir ini cuacanya sangat panas,
sih.”
“Aku setuju, kupikir sudah
waktunya aku berganti juga. Tapi sebelum aku memakainya ke sekolah, aku harus
memeriksa dulu apa ukuran seragamku masih muat atau tidak, meskipun seharusnya
badanku tidak banyak berubah selama setahun terakhir ini ...”
Mahiru selalu berupaya untuk
mempertahankan penampilannya, tidak pernah membiarkan tubuhnya tidak terawat
sama sekali.
Amane mengagumi tekad dan
kemampuan merawat diri Mahiru, pada saat yang sama, dirinya berharap kalau Ia
bisa melakukan hal yang sama. Tentu saja, langkah pertama adalah mencapai sosok
idealnya.
“Pokoknya, aku masih harus
mencobanya dulu. Tubuhku sedikit lebih tinggi ketimbang dulu. Jika aku tidak
bisa memakainya, aku harus membeli yang baru.”
Seragam sekolah musim panas
dibeli sebelum tahun ajaran baru dimulai, jadi ukurannya mungkin agak kecil
saat musim panas tiba. Musim panas lalu, Amane memiliki masalah yang sama.
Tinggi badannya tumbuh lumayan pesat sehingga Ia merasa kekecilan untuk memakai
seragam yang dibeli, dan harus mendapatkan satu paket seragam baru lagi.
Sejak awal tahun ajaran hingga
sekarang, Tinggi badan Amane sudah tumbuh setinggi 5 CM, jadi untuk jaga-jaga,
lebih baik untuk mencobanya dulu.
Amane melihat ke mesin cuci
yang berdengung, berencana untuk mencoba pakaian itu setelah selesai dicuci dan
dikeringkan. Dari sisi sampinya, Mahiru mengangkat kepalanya dan menatap Amane.
“...Amane-kun sebenarnya cukup
tinggi.”
“Yah, kurasa aku sedikit lebih
tinggi dari ukuran rata-rata.”
Amane memiliki kepala yang
lebih tinggi dari Mahiru, jadi Mahiru perlu mendongak untuk melihat ke arah
Amane.
Di sisi lain, tinggi badan Mahiru
dianggap rata-rata untuk gadis seusianya, jadi dari sudut pandang Amane, dia terlihat
kecil. Dibandingkan ketika Amane pertama kali bertemu Mahiru, Mahiru sekarang
harus mendongak sedikit lebih tinggi untuk melihat ke Amane, yang mana hal itu
juga menegaskan kalau dirinya memang tumbuh lebih tinggi.
Biasanya, supaya tidak
memberatkan Mahiru, Amane akan berdiri agak jauh, tapi belakangan ini, Mahiru
sering menempel erat padanya dan sering menyentuhnya. Amane sedikit khawatir
kalau leher Mahiru cepat lelah.
Adapun hari itu, sepertinya dia
tidak perlu khawatir tentang masalah itu, karena Mahiru malah menatap tubuh
Amane dengan pandangan sedikit mengernyit.
“...Aku khawatir kalau kamu
akan jadi terlalu kurus.”
“Aku berolahraga untuk
memperkuat dan membentuk ototku. Omong-omong,
bagaimana kamu bisa tahu berat badanku?”
“Aku melihatnya di timbangan di kamar mandi.
Bukannya kamu bekerja terlalu keras? Kamu begadang di akhir pekan dan bahkan
sampai ketiduran di kamar mandi.”
Amane tidak dapat membantah
pernyataannya dan Mahiru menatap Amane tanpa daya, mengungkapkan kekhawatirannya.
“Amane-kun sudah berusaha
terlalu keras. Setelah bekerja keras, kamu harus makan lebih banyak. Sekalipun
kamu kurus, kamu masih bisa membuat tubuhmu kembali berisi dengan makan
kenyang. Jika kamu ingin berolahraga, kamu perlu memberitahuku dulu supaya aku
bisa menyesuaikan makanan untuk memuaskanmu. Kamu benar-benar perlu makan lebih
banyak, terutama setelah berolahraga.”
“Aku minta maaf karena sudah
membuatmu melakukan ini untukku... terima kasih. Tapi aku juga berpikir kamu
harus makan lebih banyak. Tubuhmu terlihat kecil begitu, itu membuatku khawatir
apa kamu bakalan patah atau hancur.”
Berkat Mahiru, Amane tidak
perlu khawatir tentang memasak atau makan.
Dia bahkan mempertimbangkan
porsi gizi makan Amane saat memasak untuknya, yang mana hal itu sangat
disyukuri Amane.
Namun, Amane merasa bahwa
Mahiru sendiri harus makan lebih banyak. Kelangsingan tubuhnya bisa dirasakan melalui
pakaiannya, badannya tampak rapuh seakan-akan dia bisa hancur kapan saja jika
disentuh sedikit.
Sejak awal, porsi makan Mahiru
tidak terlalu banyak. Mungkin dia bisa mengendalikan berat dan bentuk tubuhnya
karena ini, tapi mau tak mau Amane merasa khawatir padanya.
Amane berpikir kalau badan
Mahiru terlalu kurus. Ia lalu mengulurkan tangannya ke bagian tertipis dari
perut Mahiru dan menyentuhnya, sekali lagi mendesah dalam hatinya tentang
kelangsingan tubuhnya. Tapi begitu mendengar teriakan kecl Mahiru, Amane mulai
menyadari tindakannya sendiri.
“...Ah, maaf.”
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik
kok, tapi jika kamu secara sembarangan menyentuh perut seorang gadis seperti
itu...”
“Aku benar-benar minta maaf,
aku melakukannya tanpa sadar. Menyentuh tubuh wanita seperti itu memang dianggap
pelecehan seksual, aku minta maaf.”
“Ini tidak seserius yang kamu
pikirkan. Aku tidak keberatan.”
Tidak peduli seberapa dekat
hubungan di antara mereka, mereka masih lawan jenis dan interaksi fisik mereka
harus dibatasi dengan hati-hati sampai batas tertentu.
Biasanya, Amane akan sangat
berhati-hati untuk menghindari kontak fisik yang terlalu intim, tapi kali ini
dirinya tanpa sadar meraih pinggang Mahiru.
Dengan pinggang yang begitu
langsing, Amane benar-benar penasaran bagaimana organ internalnya bisa masuk,
tetapi Ia menyesal karena sudah menyentuh Mahiru.
“Jangan terlalu dipikirkan. Aku
tahu kalau Amane-kun takkan melakukan hal semacam itu pada orang lain, kan?”
“Aku cuma bisa membicarakan
topik ini dengan Mahiru. Yah, aku tidak punya banyak kesempatan untuk berbicara
dengan gadis lain. Dan aku tidak pernah menyentuh gadis yang memiliki hubungan
buruk denganku.”
Kalaupun ada seorang gadis lain
yang memliki kontak fisik dengannya, kemungkinan terbesarnya adalah Chitose,
tetapi Chitose memiliki tubuh yang atletis, kokoh namun ramping. Badannya sangat
berbeda dengan Mahiru yang merawat diri dengan penuh perhatian dan tampil
menawan.
Amane jelas takkan sembarangan
tubuh Chitose. Paling banter, Ia akan menepak kepala atau menepuk jidatnya jika
Chitose terlalu banyak meledeknya.
“Kalau begitu, tidak apa-apa.”
Setelah mendengar jawaban
Amane, Mahiru menjawab seraya mengangguk puas.
Dia juga mengulurkan tangannya ke perut Amane dan menyentuh perutnya
melalui pakaiannya.
Amane sendiri yang memulainya
dulu, jadi Ia berusaha menahannya ketika disentuh, tapi Ia merasa geli ketika
Mahiru terlalu banyak menyentuhnya. Amane juga merasa bahwa sosoknya sedikit
memalukan dan merasa malu dengan perihal ini.
Perbaikan pola makannya sudah
membuat sosok Amane lebih sehat dari sebelum dia bertemu Mahiru, tapi masih ada
kesenjangan besar antara sosok ideal yang Amane bayangkan dan perawakannya saat
ini.
Khawatir Mahiru mengatakan
bahwa dia terlalu lemah, Amane merasa putus asa.
“...Apa Mahiru berpikir kalau
aku harus menjadi lebih kuat?”
“Amane-kun tidak harus kuat.
Baik pria maupun wanita ingin memiliki tubuh yang sehat. Alasan selanjutnya
murni pendapat pribadiku sebagai seorang gadis. Tapi jika seorang pria dan
seorang wanita berdiri berdampingan, wanita itu mungkin terlihat terlalu kurus,
jadi kamu tidak perlu terlalu kekar. Ini lebih sulit, tetapi lebih baik
memiliki bentuk tubuh yang cukup baik.”
“Begitu...”
“Ah, tapi, Amane-kun terlepas
dari apa yang kamu katakan ... sebenarnya tidak kurus, kok? Aku cuma berpikir
kamu perlu makan lebih banyak. Rasanya Amane-kun makan lebih sedikit
dibandingkan dengan kebanyakan anak SMA. Lalu, apa Amane-kun berpikir kalau
seorang gadis — apa aku harus lebih langsing?”
“Aku tidak akan pernah
bermaksud mengatakan sesuatu yang tidak sopan. Jika aku melakukannya, aku minta
maaf.”
Amane menjawab dengan cepat
sambil meringis.
Orang tuanya telah
memberitahunya, “Jika kamu mengatakan
sesuatu yang menyinggung seperti itu, mungkin akan ada pertumpahan darah”.
Jadi Amane selalu berusaha menghindari mengomentari penampilan orang lain.
Mendengar jawaban langsung
Amane, Mahiru melihat ke kejauhan dengan tatapan mengerti.
“Jika aku harus mengatakan
sesuatu tentang sosokmu, aku akan menyebutnya sempurna. Tapi jika terlalu
kurus, orang akan mengkhawatirkan kamu. Sedikit lebih banyak otot dan lemak
akan membuatku merasa lebih nyaman.”
“...Kenapa aku merasa kamu
berbicara seperti orang tua dan bukan seperti cowok?”
“Jadi sekarang giliranmu yang
mengatakan itu padaku?”
“Yah...”
Saat Mahiru berbicara dengan
Amane, dia merasakan hal yang sama seperti saat ibunya berbicara dengannya. Di
sisi lain, rasanya jadi tidak meyakinkan ketika Amane bertindak seperti wali.
“Jangan khawatir, menurutku
kamu tidak perlu berdiet segala.”
“Benarkah?” Tanya Mahiru
“Bagian tubuh mana yang
membuatmu merasa gemuk? Bukannya selama ini kamu mempertahankan bentuk tubuh
idealmu? Jika demikian, jangan khawatir tentang apa yang dikatakan orang lain,
miliki saja tubuh yang memberimu kepercayaan diri paling besar ... Tapi jika
aku harus mengatakan sesuatu, kamu sangat kurus, aku khawatir jika kamu
menurunkan berat badan, jadi lebih baik untuk mempertahankan penampilanmu yang
sekarang.”
Mahiru sangat ramping, dan itu
akan membuat orang merasa tidak nyaman jika dia kehilangan berat badan lagi,
oleh karena itu porsi tubuhnya yang sekarang sudah sangat baik. Jika Mahiru
ingin menjadi lebih kurus, Amane pasti akan mencoba menghentikannya.
“Tentu saja, aku tahu bahwa
mempertahankan bentuk tubuh seseorang cukup sulit, jadi selama kamu tetap
menjaga tubuh yang sehat, tidak ada masalah.”
“...Baiklah”
Mahiru mengangguk sebagai
jawaban. Seolah-olah ingin menegaskanya, mesin cuci juga berdengung dan
bergetar.
◆◇◆◇
“Selamat pagi.”
Pagi-pagi keesokan harinya,
Amane bangun dan berjalan keluar dari kamarnya dan melihat Mahiru.
Amane menoleh dan melirik jam
di kamarnya. Sekarang masih pagi-pagi buta dan belum waktunya untuk berangkat
ke sekolah.
Mahiru jarang sekali mampir ke
rumah Amane saat waktu pagi. Akibatnya, Amane merasa sedikit kaget saat
melihatnya ada di rumahnya.
“... Kok tumben kamu mampir
pagi-pagi sekali?”
Mahiru memiliki kunci cadangan
rumahnya dan Amane sudah memberitahunya kalau dia bisa datang kapan saja jika
dia mau, tapi Amane tidak menyangka akan melihatnya datang pagi-pagi sekali.
Amane bertanya dengan nada bingung
dan Mahiru menunjukkan senyum tipis saat mendengarnya.
“Yah, meski rasanya seidkit
mendadak karena aku ke sini sepagi ini, aku ingin Amane mengkonfirmasi sesuatu
untukku.”
“Mengonfirmasi?”
Saat mata Amane perlahan
terfokus, Ia menyadari kalau pakaian Mahiru memperlihatkan lebih banyak kulit
daripada biasanya hari ini.
“Aku mengganti seragamku, apa menurutmu
ada sesuatu yang aneh tentang itu?”
“Oh, seragam sekolahmu ya ... ah, uhm, itu.”
“Hmm?”
“...Bertelanjang kaki begitu
pasti tidak nyaman, ‘kan”
Norma-normal saja untuk
berganti jadi seragam berlengan pendek di musim panas, tetapi masalahnya
terletak pada baju yang dikenakan Mahiru saat ini. Dia tidak sepenuhnya
mengenakan seragamnya yang biasa.
Saat Amane melihat ke area di
bawah rok seragam sekolahnya, terlihat sepasang paha putih yang tampak mulus
nan mengkilap.
Bahkan saat berpakaian santai,
Mahiru mengenakan rok panjang atau stoking, sehingga paha yang ditampilkan di
depannya biasanya benar-benar tersembunyi.
Mahiru mematuhi peraturan sekolah
dengan ketat. Roknya tidak terlalu pendek dan takkan memperlihatkan kancutnya.
Namun, paha terbuka yang biasanya tersembunyi di balik pakaiannya, membuat
tatapan Amane melebar.
“Habisnya rasanya gerah, jadi
rasanya lebih baik tidak memakai apa pun.”
“Meski itu benar, itu tidak baik
untukmu, tau.”
“Karena orang-orang akan menatap
kakiku dengan tatapan mesum?”
“Mungkin saja? Aku hanya merasa
kalau kamu seharusnya tidak membiarkan orang melihatnya begitu saja.
Cowok-cowok akan bersemangat saat melihatmu, jadi kurasa kamu tidak boleh
berangkat dengan berpenampilan begitu.”
Kemarin, Mahiru memberitahu
kalau dia berencana untuk memakai stoking hitam tipis. Amane tidak menyangka
bahwa Mahiru akan datang hari ini bahkan tanpa mengenakan “alat pelindung”
miliknya.
Paha putih mulusnya terlalu
mempesona untuk dilihat secara langsung.
“Apa Amane-kun juga akan melihatnya?”
“Aku takkan melakukan hal
lancang semacam itu!”
“Padahal kamu tadi melihat mereka
saat kakiku pernah terkilir dulu.”
“Waktu itu aku tidak pemikiran
yang aneh-aneh. Lagipula itu dalam keadaan darurat, aku juga menyuruhmu untuk
meletakkan mantel di atas lututmu bukan!?”
Pada saat itu, Amane berjongkok
untuk melihat kaki Mahiru, tetapi Ia sangat memperhatikan dan memastikan bahwa
Mahiru menutupinya dengan mantel. Amane juga berkonsentrasi untuk menangani
cedera yang ada di pergelangan kakinya dan tidak melihat ke tempat yang aneh-aneh.
Amane tidak memperhatikan paha Mahiru karena tahu kalau itu akan jadi tindakan
pelecehan seksual.
“Lalu, apa kamu punya pikiran
jahat sekarang?”
“…….Tidak juga.”
“Jeda itu membuatku khawatir.”
“Kubilang tidak!”
“Kamu tidak perlu berteriak
segala ... fufufu, maaf karena sudah menggodamu seperti itu. Aku tahu dari awal
kalau Amane-kun takkan menatapku dengan tatapan seperti itu, kamu cuma tidak
tahu di mana untuk melihat sekarang.”
“Kamu tahu semua itu tapi kamu
masih tetap datang dan bertanya padaku ...?”
“Tidak, itu perlu bagiku. Aku
ingin membuat jantung Amane-kun berdetak kencang.”
“Tapi, di dalam hati kamu pasti
merasa malu, ‘kan?”
Sepertinya Mahiru datang untuk
menge-prank Amane di pagi hari.
Menyadari bahwa dia telah jatuh
ke dalam perangkap Mahiru, Amane menatap Mahiru dengan sedikit tercengang,
tetapi Mahiru yang berhasil dalam melakukan leluconnya, membalas dengan
senyuman nakal.
“Jangan khawatir, aku punya
stoking, kok. Aku berencana untuk memakainya.”
“Kamu ini...”
Sekarang mengetahui bahwa
Mahiru datang ke sini sepenuhnya untuk mengerjainya, Amane menghela nafas.
Untuk mengembalikan setidaknya sebagian dari harga dirinya kembali, Amane
menatap lurus ke mata karamelnya yang bergetar bahagia.
“Apa kamu tidak keberatan jika
aku melihatnya?”
“Eh?”
Tampaknya pertanyaan Amane di
luar dugaan Mahiru dan matanya melebar. Amane tidak berhenti, dan menatap lurus
ke arah Mahiru seraya melanjutkan.
“Yah, kamu menunjukkan pahamu
kepadaku dengan sengaja, itu berarti kamu pikir kalau kamu tidak keberatan jika
aku melihatnya, kan?”
“...yah, sebenarnya, tidak
masalah kalau Amane-kun melihatnya—”
“Jadi kamu pikir tidak masalah?”
“Bukannya aku tidak masalah
sih, tapi ….”
Melihat balasan Mahiru jadi
ambigu, Amane menghela nafas.
“Kalau begitu jangan biarkan
aku melihat mereka. Jangan lakukan hal semacam ini pada orang-orang kecuali
kamu ingin membuat seseorang benar-benar melihatnya.”
Amane merasa lelah karena
serangan pada Senin pagi itu. Kemudian, Mahiru sedikit gemetar dan meraih ujung
baju Amane.
“...Lalu jika aku
memberitahumu, ka-kalau aku hanya ingin menunjukkannya padamu, maukah kamu
melihatnya?”
Suara yang lemah dan gemetar
memendam rasa malunya.
Tatapan mata Mahiru tampak
basah, dan membuat Amane merasa bersalah.
“Aku ingin melihat reaksi
Amane-kun...tapi Amane-kun hanya mengatakan tidak dan membuang muka. Apa kamu
tidak mau melihatnya?”
Melihat ekspresi sedikit kecewa
Mahiru, Amane menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Tentu saja tidak. Entah
gimana, rasanya agak berbahaya ... aku jadi tidak tahu harus melihat ke arah
kemana...”
“Jika kamu tidak membencinya,
bagaimana menurutmu? Apa ini kelihatan cocok?”
Mendengar pertanyaannya, Amane
ragu-ragu dan melihat ke seragam baru Mahiru.
Mahiru mengenakan kemeja lengan
pendek dan rok lipit, disetrika halus dengan lipatan yang jelas, dan
menambahkan sedikit keaktifan pada pakaiannya.
Di bagian dadanya, kancing dan
pita yang rapi menunjukkan ketelitiannya.
Karena itu dari gadis yang
disukainya. Amane berharap pakaian itu bisa menyembunyikan tubuhnya yang
memikat sedikit lebih baik, tapi sangat sulit untuk melakukannya dengan seragam
musim panas.
Amane mencoba yang terbaik untuk
tidak melihat kakinya yang ramping. Ia melihat dai ujung atas sampai ke ujung
bawah Mahiru, dan kemudian perlahan berbicara, dengan nada bermasalah.
“...Meski kamu terlihat sangat
imut dan sangat cocok, tolong cepat pakai stokingmu.”
“Oke.”
Mahiru mengerti bahwa Amane
baru saja memuji dirinya sendiri. Kata-kata singkat yang sulit diucapkan Amane
membuatnya tersenyum dan dia mengangguk.
Senyum polos Mahiru membuat
Amane tidak bisa berkata-kata. Ia memalingkan wajahnya dan berharap kalau
Mahiru tidak memperhatikan reaksinya.
“Tolong jangan menggodaku
seperti ini lagi. Aku mau mencuci muka dulu dan mengganti pakaianku sekarang.
Sementara itu, tolong kembali ke rumahmu dan kenakan semua yang harus kamu
pakai.”
Amane tanpa sadar mempercepat
perkataannya saat berjalan menuju kamar mandi, dan Ia mendengar tawa lembut
datang dari belakangnya.
◇◆◆◇
Setelah mencuci muka dan
mengurus segala kebutuhannya, Amane kembali ke ruang tamu. Ia melihat Mahiru
mengenakan stoking dan rompi hitamnya yang biasa, sedang duduk diam di sofa seraya
menunggunya. Melihat penampilan Mahiru yang sudah berpakaian lengkap sekarang,
Amane benar-benar ingin bertanya kepada Mahiru mengapa dia mengerjainya tadi.
“Jika kamu sejak awal
berpakaian begini, maka aku bisa memujimu tanpa membuat hatiku jadi kacau.”
“Itu tidak akan berhasil.”
Melihat Mahiru tersenyum tanpa
penyesalan, Amane merasa kesal dan melangkah maju dan mencubit pipinya, tapi
Mahiru masih tetap tersenyum cerah.
“...Kalau begitu aku akan pergi
ke sekolah dulu.”
Mungkin sebagai permintaan
maaf, Mahiru membuatkan sarapan untuk Amane. Dia membuat telur dadar gulung,
mungkin demi menghibur Amane. Melihat Amane hampir selesai makan, dia pun berdiri.
Suasana hati Amane sudah
kembali normal. Ia mengikuti Mahiru sampai ke pintu untuk mengantarnya pergi.
Kedengarannya agak bodoh untuk
pergi ke suatu tempat secara terpisah, tapi bahkan lebih tidak praktis lagi
kalau keduanya untuk pergi ke sekolah bersama karena pasti bakalan ada rumor
yang beredar.
“Sampai jumpa lagi di sekolah.”
Seperti biasa, Amane berencana
untuk menunggu sebentar sebelum pergi ke sekolah. Namun, Amane menemukan bahwa
wajah Mahiru sedikit tidak puas, jadi Ia menanyakannya.
“Apa ada yang salah?”
“...Aku cuma kepikiran,
kira-kira apa kita bisa pergi ke sekolah bersama suatu hari nanti?”
“Aku akan ditikam sampai mati
saat orang melihatnya.”
Baru-baru ini, hubungan
kedeketan Amane dan Mahiru berangsur-angsur
meningkat, dan teman-teman sekelasnya
sudah mulai terbiasa, tetapi tatapan mata iri yang membayangi Amane masih
belum hilang. Adapun siswa di kelas lain, mereka hanya menatap langsung ke arah
mereka.
Tatapan iri mereka terus
mengikutinya, dan hal tersebut membuat Amane merasa resah. Jika mereka pergi ke
sekolah bersama, intensitas tatapan tersebut akan semakin menjadi-jadi.
“Aku sudah bisa menduganya...
tetapi sulit untuk melakukannya dengan begitu banyak orang yang melihat. Aku
tidak bisa merasa tenang sama sekali.”
“Menjadi populer memang
merepotkan sekali, ya. Jika kamu berangkat sekolah bareng bersama teman laki-laki,
pasti bakal ada keributan di sekolah.”
“Yah, aku tidak peduli jika
orang mempermasalahkannya atau tidak, tapi itu akan menjadi masalah bagi
Amane-kun. Tapi jika Amane-kun tidak keberatan, aku akan dengan senang hati
berangkat ke sekolah denganmu.”
“Maksudku, aku ingin sih tapi...”
“Semuanya berangkat pada waktu
yang hampir bersamaan sehingga tidak akan terlalu mencurigakan. Rasanya
merepotkan untuk selalu hati-hati mengatur waktu kita berangkat, terutama dalam
situasi hari ini, sangat tidak efisien sama sekali. Selain itu, lebih baik
ditemani bersama seseorang yang kamu kenal, bukan? Setidaknya itu lebih baik
daripada berjalan sendirian.”
“Itu memang benar, sih…”
“Sayangnya, kenyataan selalu
gagal memenuhi harapan orang.”
Mahiru memasang ekspresi lelah
dan menghela nafas, lalu menggelengkan kepalanya dan mendapatkan kembali
keanggunannya yang biasa sambil tersenyum.
“Kalau begitu aku akan
berangkat dulu. Aku ingin menunjukkan seragam musim panasku kepada Amane-kun
dulu, jadi aku sangat senang bisa melakukannya.”
Setelah mengatakan sesuatu yang
begitu sederhana dan sangat membuat hati bergejolak, Mahiru berkedip penasaran
ketika melihat Amane tertegun, tapi dia kemudian berbalik untuk membuka pintu
depan.
“Kalau begitu aku akan pergi
berangkat dulu. Kamu jangan sampai terlambat ya, Amane-kun?”
Mahiru dengan malu-malu
meninggalkan rumah. Amane menempelkan kepalanya ke dinding, mempertimbangkan
apakah Ia harus membasuh wajahnya lagi atau tidak.
◆◇◇◆
Setelah mencapai tempat duduknya
di kelas, Amane melihat ada kerumunan orang di sekitar Mahiru yang juga
mengenakan seragam baru mereka.
Cuaca semakin panas dan jumlah
siswa yang mengenakan lengan pendek secara bertahap meningkat. Penampilan
cantik Mahiru, meski lebih terbuka dari sebelumnya, langsung menjadi pusat
perhatian.
Terlebih lagi, Chitose berada
di kursi di belakangnya, mengikat rambut Mahiru menjadi kuncir kuda. Gaya
rambut yang segar semakin menarik perhatian semua orang.
Karena bagian belakang lehernya
terbuka, Amane enggan membiarkan Mahiru memiliki gaya rambut seperti itu.
Meski itu kebebasan Mahiru
untuk memilih gaya rambutnya, Amane secara alami tidak ingin gadis yang dia
sukai menjadi begitu terbuka.
Dia
bukan milikku. Aku seharusnya tidak memiliki pemikiran posesif seperti ini.
Ia sama sekali bukan pacarnya,
tetapi keinginannya sendiri untuk eksklusif mulai muncul, dan itu membuat Amane
agak jijik dengan dirinya sendiri.
“…Kenapa? Lagi bad mood?”
“Itu cuma perasaanmu saja.”
Itsuki menoleh ke wajah Amane.
Temannya itu selalu saja mendadak jadi peka pada saat-saat tertentu. Amane
memasang ekspresi acuh tak acuh. Itsuki melihat ke arah Mahiru, lalu mengangguk
mengerti seolah-olah baru menyadari sesuatu.
Seringai di wajah Itsuki
membuat hati Amane merasa jengkel. Ia bertanya-tanya mengapa Itsuki selalu saja
begitu kegirangan pada saat-saat seperti ini.