Otonari no Tenshi-sama Vol.4 Chapter 9 Bahasa Indonesia

Chapter 9 — Seragam Baru Tenshi-sama

 

Ujian UTS telah berakhir dan sekarang sudah memasuki pertengahan bulan Mei.

Di bawah pancaran sinar matahari musim semi yang hangat, suhu udara jadi sedikit lebih panas, dan seragam sekolah lengan panjang menjadi semakin kurang nyaman.

Amane mulai memasuki sekolah lagi saat bulan April, tapi Ia merasa terlalu merepotkan untuk mengganti seragam sekolah musim panasnya, jadi dirinya terus memakai seragam lengan panjang.

Namun, dalam keadaan cuaca yang semakin panas, bahkan jika sekolahnya menyalakan AC sepanjang hari, rasanya masih tidak nyaman untuk bolak-balik ke sekolah. Dengan pemikiran ini, Amane merasa sudah waktunya untuk mengganti seragamnya dengan seragam musim panas.

“Kurasa sudah waktunya untuk mulai mengenakan lengan pendek.”

Amane berpikir untuk memakai baju lengan pendek keesokan harinya, jadi Ia mengeluarkan seragam sekolah musim panas dari kotak penyimpanannya di lemari dan memasukkannya ke dalam mesin cuci. Melihat Amane mencuci seragam sekolah musim panasnya, Mahiru pun mengangguk mengerti.

Mahiru masih mengenakan seragam lengan panjang dengan stoking.

Meski Mahiru sudah mengganti jaketnya menjadi rompi, penampilannya masih tertutup rapat dan nyaris tidak memperlihatkan kulitnya. Amane khawatir kalau dia akan merasa kegerahan jika terus mengenakan pakaian seperti itu.

“Cuacanya semakin panas. Aku juga merasa lebih berkeringat akhir-akhir ini..”

“Itu karena pakaian yang kamu pakai terlalu ketat. Setiap kancing dikaitkan, lengan tidak digulung, dan kamu selalu memakai stoking...”

“Jika aku memakai baju yang longgar dan terbuka, orang lain akan selalu melihatnya. Itu sebabnya aku harus memakainya, sebagai semacam perlindungan.”

Mahiru memiliki paras dan kecantikan memukau yang diinginkan kebanyakan orang. Dia sering terganggu oleh perhatian yang ditujukan oleh orang lain.

Dia selalu menonjol dan mudah menarik perhatian orang lain. Wajar saja kalau setiap cowok akan tertarik pada penampilannya yang menawan, tapi tatapan cabul semacam itu pasti akan membuat Mahiru merasa tidak nyaman.

“Hmmmm, apa yang harus aku lakukan buat musim panas kali ini. Aku memakai stoking hitam yang sangat tipis tahun lalu, dan rasanya masih gerah buat dipakai.”

“Yah, wajar saja, stoking pada umumnya masih terasa panas. Gadis-gadis biasanya memiliki lebih banyak pakaian ketimbang cowok, dan mereka terlihat jauh lebih seksi...”

“Demi melindungi diriku sendiri, aku bisa menahan sedikit panas, tapi rasanya jadi tidak nyaman untuk selalu berkeringat. Inilah sebabnya aku benci musim panas.”

Mahiru mengeluh seraya menghela nafas. Amane tidak tahu bagaimana untuk membantunya, jadi Ia tidak menanggapinya. Mahiru tampaknya tidak terlalu peduli, dan berbalik untuk melanjutkan mencuci piring.

“Amane-kun, apa kamu akan mulai memakai seragam berlengan pendek besok?”

“Ya, aku merasa sudah waktunya untuk berganti jadi seragam musim panas. Akhir-akhir ini cuacanya sangat panas, sih.”

“Aku setuju, kupikir sudah waktunya aku berganti juga. Tapi sebelum aku memakainya ke sekolah, aku harus memeriksa dulu apa ukuran seragamku masih muat atau tidak, meskipun seharusnya badanku tidak banyak berubah selama setahun terakhir ini ...”

Mahiru selalu berupaya untuk mempertahankan penampilannya, tidak pernah membiarkan tubuhnya tidak terawat sama sekali.

Amane mengagumi tekad dan kemampuan merawat diri Mahiru, pada saat yang sama, dirinya berharap kalau Ia bisa melakukan hal yang sama. Tentu saja, langkah pertama adalah mencapai sosok idealnya.

“Pokoknya, aku masih harus mencobanya dulu. Tubuhku sedikit lebih tinggi ketimbang dulu. Jika aku tidak bisa memakainya, aku harus membeli yang baru.”

Seragam sekolah musim panas dibeli sebelum tahun ajaran baru dimulai, jadi ukurannya mungkin agak kecil saat musim panas tiba. Musim panas lalu, Amane memiliki masalah yang sama. Tinggi badannya tumbuh lumayan pesat sehingga Ia merasa kekecilan untuk memakai seragam yang dibeli, dan harus mendapatkan satu paket seragam baru lagi.

Sejak awal tahun ajaran hingga sekarang, Tinggi badan Amane sudah tumbuh setinggi 5 CM, jadi untuk jaga-jaga, lebih baik untuk mencobanya dulu.

Amane melihat ke mesin cuci yang berdengung, berencana untuk mencoba pakaian itu setelah selesai dicuci dan dikeringkan. Dari sisi sampinya, Mahiru mengangkat kepalanya dan menatap Amane.

“...Amane-kun sebenarnya cukup tinggi.”

“Yah, kurasa aku sedikit lebih tinggi dari ukuran rata-rata.”

Amane memiliki kepala yang lebih tinggi dari Mahiru, jadi Mahiru perlu mendongak untuk melihat ke arah Amane.

Di sisi lain, tinggi badan Mahiru dianggap rata-rata untuk gadis seusianya, jadi dari sudut pandang Amane, dia terlihat kecil. Dibandingkan ketika Amane pertama kali bertemu Mahiru, Mahiru sekarang harus mendongak sedikit lebih tinggi untuk melihat ke Amane, yang mana hal itu juga menegaskan kalau dirinya memang tumbuh lebih tinggi.

Biasanya, supaya tidak memberatkan Mahiru, Amane akan berdiri agak jauh, tapi belakangan ini, Mahiru sering menempel erat padanya dan sering menyentuhnya. Amane sedikit khawatir kalau leher Mahiru cepat lelah.

Adapun hari itu, sepertinya dia tidak perlu khawatir tentang masalah itu, karena Mahiru malah menatap tubuh Amane dengan pandangan sedikit mengernyit.

“...Aku khawatir kalau kamu akan jadi terlalu kurus.”

“Aku berolahraga untuk memperkuat dan membentuk ototku.   Omong-omong, bagaimana kamu bisa tahu berat badanku?”

 “Aku melihatnya di timbangan di kamar mandi. Bukannya kamu bekerja terlalu keras? Kamu begadang di akhir pekan dan bahkan sampai ketiduran di kamar mandi.”

Amane tidak dapat membantah pernyataannya dan Mahiru menatap Amane tanpa daya, mengungkapkan kekhawatirannya.

“Amane-kun sudah berusaha terlalu keras. Setelah bekerja keras, kamu harus makan lebih banyak. Sekalipun kamu kurus, kamu masih bisa membuat tubuhmu kembali berisi dengan makan kenyang. Jika kamu ingin berolahraga, kamu perlu memberitahuku dulu supaya aku bisa menyesuaikan makanan untuk memuaskanmu. Kamu benar-benar perlu makan lebih banyak, terutama setelah berolahraga.”

“Aku minta maaf karena sudah membuatmu melakukan ini untukku... terima kasih. Tapi aku juga berpikir kamu harus makan lebih banyak. Tubuhmu terlihat kecil begitu, itu membuatku khawatir apa kamu bakalan patah atau hancur.”

Berkat Mahiru, Amane tidak perlu khawatir tentang memasak atau makan.

Dia bahkan mempertimbangkan porsi gizi makan Amane saat memasak untuknya, yang mana hal itu sangat disyukuri Amane.

Namun, Amane merasa bahwa Mahiru sendiri harus makan lebih banyak. Kelangsingan tubuhnya bisa dirasakan melalui pakaiannya, badannya tampak rapuh seakan-akan dia bisa hancur kapan saja jika disentuh sedikit.

Sejak awal, porsi makan Mahiru tidak terlalu banyak. Mungkin dia bisa mengendalikan berat dan bentuk tubuhnya karena ini, tapi mau tak mau Amane merasa khawatir padanya.

Amane berpikir kalau badan Mahiru terlalu kurus. Ia lalu mengulurkan tangannya ke bagian tertipis dari perut Mahiru dan menyentuhnya, sekali lagi mendesah dalam hatinya tentang kelangsingan tubuhnya. Tapi begitu mendengar teriakan kecl Mahiru, Amane mulai menyadari tindakannya sendiri.

“...Ah, maaf.”

“Tidak apa-apa. Aku baik-baik kok, tapi jika kamu secara sembarangan menyentuh perut seorang gadis seperti itu...”

“Aku benar-benar minta maaf, aku melakukannya tanpa sadar. Menyentuh tubuh wanita seperti itu memang dianggap pelecehan seksual, aku minta maaf.”

“Ini tidak seserius yang kamu pikirkan. Aku tidak keberatan.”

Tidak peduli seberapa dekat hubungan di antara mereka, mereka masih lawan jenis dan interaksi fisik mereka harus dibatasi dengan hati-hati sampai batas tertentu.

Biasanya, Amane akan sangat berhati-hati untuk menghindari kontak fisik yang terlalu intim, tapi kali ini dirinya tanpa sadar meraih pinggang Mahiru.

Dengan pinggang yang begitu langsing, Amane benar-benar penasaran bagaimana organ internalnya bisa masuk, tetapi Ia menyesal karena sudah menyentuh Mahiru.

“Jangan terlalu dipikirkan. Aku tahu kalau Amane-kun takkan melakukan hal semacam itu pada orang lain, kan?”

“Aku cuma bisa membicarakan topik ini dengan Mahiru. Yah, aku tidak punya banyak kesempatan untuk berbicara dengan gadis lain. Dan aku tidak pernah menyentuh gadis yang memiliki hubungan buruk denganku.”

Kalaupun ada seorang gadis lain yang memliki kontak fisik dengannya, kemungkinan terbesarnya adalah Chitose, tetapi Chitose memiliki tubuh yang atletis, kokoh namun ramping. Badannya sangat berbeda dengan Mahiru yang merawat diri dengan penuh perhatian dan tampil menawan.

Amane jelas takkan sembarangan tubuh Chitose. Paling banter, Ia akan menepak kepala atau menepuk jidatnya jika Chitose terlalu banyak meledeknya.

“Kalau begitu, tidak apa-apa.”

Setelah mendengar jawaban Amane, Mahiru menjawab seraya mengangguk puas.  Dia juga mengulurkan tangannya ke perut Amane dan menyentuh perutnya melalui pakaiannya.

Amane sendiri yang memulainya dulu, jadi Ia berusaha menahannya ketika disentuh, tapi Ia merasa geli ketika Mahiru terlalu banyak menyentuhnya. Amane juga merasa bahwa sosoknya sedikit memalukan dan merasa malu dengan perihal ini.

Perbaikan pola makannya sudah membuat sosok Amane lebih sehat dari sebelum dia bertemu Mahiru, tapi masih ada kesenjangan besar antara sosok ideal yang Amane bayangkan dan perawakannya saat ini.

Khawatir Mahiru mengatakan bahwa dia terlalu lemah, Amane merasa putus asa.

“...Apa Mahiru berpikir kalau aku harus menjadi lebih kuat?”

“Amane-kun tidak harus kuat. Baik pria maupun wanita ingin memiliki tubuh yang sehat. Alasan selanjutnya murni pendapat pribadiku sebagai seorang gadis. Tapi jika seorang pria dan seorang wanita berdiri berdampingan, wanita itu mungkin terlihat terlalu kurus, jadi kamu tidak perlu terlalu kekar. Ini lebih sulit, tetapi lebih baik memiliki bentuk tubuh yang cukup baik.”

“Begitu...”

“Ah, tapi, Amane-kun terlepas dari apa yang kamu katakan ... sebenarnya tidak kurus, kok? Aku cuma berpikir kamu perlu makan lebih banyak. Rasanya Amane-kun makan lebih sedikit dibandingkan dengan kebanyakan anak SMA. Lalu, apa Amane-kun berpikir kalau seorang gadis — apa aku harus lebih langsing?”

“Aku tidak akan pernah bermaksud mengatakan sesuatu yang tidak sopan. Jika aku melakukannya, aku minta maaf.”

Amane menjawab dengan cepat sambil meringis.

Orang tuanya telah memberitahunya, “Jika kamu mengatakan sesuatu yang menyinggung seperti itu, mungkin akan ada pertumpahan darah”. Jadi Amane selalu berusaha menghindari mengomentari penampilan orang lain.

Mendengar jawaban langsung Amane, Mahiru melihat ke kejauhan dengan tatapan mengerti.

“Jika aku harus mengatakan sesuatu tentang sosokmu, aku akan menyebutnya sempurna. Tapi jika terlalu kurus, orang akan mengkhawatirkan kamu. Sedikit lebih banyak otot dan lemak akan membuatku merasa lebih nyaman.”

“...Kenapa aku merasa kamu berbicara seperti orang tua dan bukan seperti cowok?”

“Jadi sekarang giliranmu yang mengatakan itu padaku?”

 “Yah...”

Saat Mahiru berbicara dengan Amane, dia merasakan hal yang sama seperti saat ibunya berbicara dengannya. Di sisi lain, rasanya jadi tidak meyakinkan ketika Amane bertindak seperti wali.

“Jangan khawatir, menurutku kamu tidak perlu berdiet segala.”

“Benarkah?” Tanya Mahiru

“Bagian tubuh mana yang membuatmu merasa gemuk? Bukannya selama ini kamu mempertahankan bentuk tubuh idealmu? Jika demikian, jangan khawatir tentang apa yang dikatakan orang lain, miliki saja tubuh yang memberimu kepercayaan diri paling besar ... Tapi jika aku harus mengatakan sesuatu, kamu sangat kurus, aku khawatir jika kamu menurunkan berat badan, jadi lebih baik untuk mempertahankan penampilanmu yang sekarang.”

Mahiru sangat ramping, dan itu akan membuat orang merasa tidak nyaman jika dia kehilangan berat badan lagi, oleh karena itu porsi tubuhnya yang sekarang sudah sangat baik. Jika Mahiru ingin menjadi lebih kurus, Amane pasti akan mencoba menghentikannya.

“Tentu saja, aku tahu bahwa mempertahankan bentuk tubuh seseorang cukup sulit, jadi selama kamu tetap menjaga tubuh yang sehat, tidak ada masalah.”

“...Baiklah”

Mahiru mengangguk sebagai jawaban. Seolah-olah ingin menegaskanya, mesin cuci juga berdengung dan bergetar.

 

◆◇◆◇

 

“Selamat pagi.”

Pagi-pagi keesokan harinya, Amane bangun dan berjalan keluar dari kamarnya dan melihat Mahiru.

Amane menoleh dan melirik jam di kamarnya. Sekarang masih pagi-pagi buta dan belum waktunya untuk berangkat ke sekolah.

Mahiru jarang sekali mampir ke rumah Amane saat waktu pagi. Akibatnya, Amane merasa sedikit kaget saat melihatnya ada di rumahnya.

“... Kok tumben kamu mampir pagi-pagi sekali?”

Mahiru memiliki kunci cadangan rumahnya dan Amane sudah memberitahunya kalau dia bisa datang kapan saja jika dia mau, tapi Amane tidak menyangka akan melihatnya datang pagi-pagi sekali.

Amane bertanya dengan nada bingung dan Mahiru menunjukkan senyum tipis saat mendengarnya.

“Yah, meski rasanya seidkit mendadak karena aku ke sini sepagi ini, aku ingin Amane mengkonfirmasi sesuatu untukku.”

“Mengonfirmasi?”

Saat mata Amane perlahan terfokus, Ia menyadari kalau pakaian Mahiru memperlihatkan lebih banyak kulit daripada biasanya hari ini.

“Aku mengganti seragamku, apa menurutmu ada sesuatu yang aneh tentang itu?”

“Oh, seragam sekolahmu ya ... ah, uhm, itu.”

“Hmm?”

“...Bertelanjang kaki begitu pasti tidak nyaman, ‘kan”

Norma-normal saja untuk berganti jadi seragam berlengan pendek di musim panas, tetapi masalahnya terletak pada baju yang dikenakan Mahiru saat ini. Dia tidak sepenuhnya mengenakan seragamnya yang biasa.

Saat Amane melihat ke area di bawah rok seragam sekolahnya, terlihat sepasang paha putih yang tampak mulus nan mengkilap.

Bahkan saat berpakaian santai, Mahiru mengenakan rok panjang atau stoking, sehingga paha yang ditampilkan di depannya biasanya benar-benar tersembunyi.

Mahiru mematuhi peraturan sekolah dengan ketat. Roknya tidak terlalu pendek dan takkan memperlihatkan kancutnya. Namun, paha terbuka yang biasanya tersembunyi di balik pakaiannya, membuat tatapan Amane melebar.

“Habisnya rasanya gerah, jadi rasanya lebih baik tidak memakai apa pun.”

“Meski itu benar, itu tidak baik untukmu, tau.”

“Karena orang-orang akan menatap kakiku dengan tatapan mesum?”

“Mungkin saja? Aku hanya merasa kalau kamu seharusnya tidak membiarkan orang melihatnya begitu saja. Cowok-cowok akan bersemangat saat melihatmu, jadi kurasa kamu tidak boleh berangkat dengan berpenampilan begitu.”

Kemarin, Mahiru memberitahu kalau dia berencana untuk memakai stoking hitam tipis. Amane tidak menyangka bahwa Mahiru akan datang hari ini bahkan tanpa mengenakan “alat pelindung” miliknya.

Paha putih mulusnya terlalu mempesona untuk dilihat secara langsung.

“Apa Amane-kun juga akan melihatnya?”

“Aku takkan melakukan hal lancang semacam itu!”

“Padahal kamu tadi melihat mereka saat kakiku pernah terkilir dulu.”

“Waktu itu aku tidak pemikiran yang aneh-aneh. Lagipula itu dalam keadaan darurat, aku juga menyuruhmu untuk meletakkan mantel di atas lututmu bukan!?”

Pada saat itu, Amane berjongkok untuk melihat kaki Mahiru, tetapi Ia sangat memperhatikan dan memastikan bahwa Mahiru menutupinya dengan mantel. Amane juga berkonsentrasi untuk menangani cedera yang ada di pergelangan kakinya dan tidak melihat ke tempat yang aneh-aneh. Amane tidak memperhatikan paha Mahiru karena tahu kalau itu akan jadi tindakan pelecehan seksual.

“Lalu, apa kamu punya pikiran jahat sekarang?”

“…….Tidak juga.”

“Jeda itu membuatku khawatir.”

“Kubilang tidak!”

“Kamu tidak perlu berteriak segala ... fufufu, maaf karena sudah menggodamu seperti itu. Aku tahu dari awal kalau Amane-kun takkan menatapku dengan tatapan seperti itu, kamu cuma tidak tahu di mana untuk melihat sekarang.”

“Kamu tahu semua itu tapi kamu masih tetap datang dan bertanya padaku ...?”

“Tidak, itu perlu bagiku. Aku ingin membuat jantung Amane-kun berdetak kencang.”

“Tapi, di dalam hati kamu pasti merasa malu, ‘kan?”

Sepertinya Mahiru datang untuk menge-prank Amane di pagi hari.

Menyadari bahwa dia telah jatuh ke dalam perangkap Mahiru, Amane menatap Mahiru dengan sedikit tercengang, tetapi Mahiru yang berhasil dalam melakukan leluconnya, membalas dengan senyuman nakal.

“Jangan khawatir, aku punya stoking, kok. Aku berencana untuk memakainya.”

“Kamu ini...”

Sekarang mengetahui bahwa Mahiru datang ke sini sepenuhnya untuk mengerjainya, Amane menghela nafas. Untuk mengembalikan setidaknya sebagian dari harga dirinya kembali, Amane menatap lurus ke mata karamelnya yang bergetar bahagia.

“Apa kamu tidak keberatan jika aku melihatnya?”

“Eh?”

Tampaknya pertanyaan Amane di luar dugaan Mahiru dan matanya melebar. Amane tidak berhenti, dan menatap lurus ke arah Mahiru seraya melanjutkan.

“Yah, kamu menunjukkan pahamu kepadaku dengan sengaja, itu berarti kamu pikir kalau kamu tidak keberatan jika aku melihatnya, kan?”

“...yah, sebenarnya, tidak masalah kalau Amane-kun melihatnya—”

“Jadi kamu pikir tidak masalah?”

“Bukannya aku tidak masalah sih, tapi ….”

Melihat balasan Mahiru jadi ambigu, Amane menghela nafas.

“Kalau begitu jangan biarkan aku melihat mereka. Jangan lakukan hal semacam ini pada orang-orang kecuali kamu ingin membuat seseorang benar-benar melihatnya.”

Amane merasa lelah karena serangan pada Senin pagi itu. Kemudian, Mahiru sedikit gemetar dan meraih ujung baju Amane.

“...Lalu jika aku memberitahumu, ka-kalau aku hanya ingin menunjukkannya padamu, maukah kamu melihatnya?”

Suara yang lemah dan gemetar memendam rasa malunya.

Tatapan mata Mahiru tampak basah, dan membuat Amane merasa bersalah.

“Aku ingin melihat reaksi Amane-kun...tapi Amane-kun hanya mengatakan tidak dan membuang muka. Apa kamu tidak mau melihatnya?”

Melihat ekspresi sedikit kecewa Mahiru, Amane menggelengkan kepalanya dengan cepat.

“Tentu saja tidak. Entah gimana, rasanya agak berbahaya ... aku jadi tidak tahu harus melihat ke arah kemana...”

“Jika kamu tidak membencinya, bagaimana menurutmu? Apa ini kelihatan cocok?”

Mendengar pertanyaannya, Amane ragu-ragu dan melihat ke seragam baru Mahiru.

Mahiru mengenakan kemeja lengan pendek dan rok lipit, disetrika halus dengan lipatan yang jelas, dan menambahkan sedikit keaktifan pada pakaiannya.

Di bagian dadanya, kancing dan pita yang rapi menunjukkan ketelitiannya.

Karena itu dari gadis yang disukainya. Amane berharap pakaian itu bisa menyembunyikan tubuhnya yang memikat sedikit lebih baik, tapi sangat sulit untuk melakukannya dengan seragam musim panas.

Amane mencoba yang terbaik untuk tidak melihat kakinya yang ramping. Ia melihat dai ujung atas sampai ke ujung bawah Mahiru, dan kemudian perlahan berbicara, dengan nada bermasalah.

“...Meski kamu terlihat sangat imut dan sangat cocok, tolong cepat pakai stokingmu.”

“Oke.”

Mahiru mengerti bahwa Amane baru saja memuji dirinya sendiri. Kata-kata singkat yang sulit diucapkan Amane membuatnya tersenyum dan dia mengangguk.

Senyum polos Mahiru membuat Amane tidak bisa berkata-kata. Ia memalingkan wajahnya dan berharap kalau Mahiru tidak memperhatikan reaksinya.

“Tolong jangan menggodaku seperti ini lagi. Aku mau mencuci muka dulu dan mengganti pakaianku sekarang. Sementara itu, tolong kembali ke rumahmu dan kenakan semua yang harus kamu pakai.”

Amane tanpa sadar mempercepat perkataannya saat berjalan menuju kamar mandi, dan Ia mendengar tawa lembut datang dari belakangnya.

 

◇◆◆◇

 

Setelah mencuci muka dan mengurus segala kebutuhannya, Amane kembali ke ruang tamu. Ia melihat Mahiru mengenakan stoking dan rompi hitamnya yang biasa, sedang duduk diam di sofa seraya menunggunya. Melihat penampilan Mahiru yang sudah berpakaian lengkap sekarang, Amane benar-benar ingin bertanya kepada Mahiru mengapa dia mengerjainya tadi.

“Jika kamu sejak awal berpakaian begini, maka aku bisa memujimu tanpa membuat hatiku jadi kacau.”

“Itu tidak akan berhasil.”

Melihat Mahiru tersenyum tanpa penyesalan, Amane merasa kesal dan melangkah maju dan mencubit pipinya, tapi Mahiru masih tetap tersenyum cerah.

“...Kalau begitu aku akan pergi ke sekolah dulu.”

Mungkin sebagai permintaan maaf, Mahiru membuatkan sarapan untuk Amane. Dia membuat telur dadar gulung, mungkin demi menghibur Amane. Melihat Amane hampir selesai makan, dia pun berdiri.

Suasana hati Amane sudah kembali normal. Ia mengikuti Mahiru sampai ke pintu untuk mengantarnya pergi.

Kedengarannya agak bodoh untuk pergi ke suatu tempat secara terpisah, tapi bahkan lebih tidak praktis lagi kalau keduanya untuk pergi ke sekolah bersama karena pasti bakalan ada rumor yang beredar.

“Sampai jumpa lagi di sekolah.”

Seperti biasa, Amane berencana untuk menunggu sebentar sebelum pergi ke sekolah. Namun, Amane menemukan bahwa wajah Mahiru sedikit tidak puas, jadi Ia menanyakannya.

“Apa ada yang salah?”

“...Aku cuma kepikiran, kira-kira apa kita bisa pergi ke sekolah bersama suatu hari nanti?”

“Aku akan ditikam sampai mati saat orang melihatnya.”

Baru-baru ini, hubungan kedeketan Amane dan Mahiru berangsur-angsur  meningkat, dan teman-teman sekelasnya  sudah mulai terbiasa, tetapi tatapan mata iri yang membayangi Amane masih belum hilang. Adapun siswa di kelas lain, mereka hanya menatap langsung ke arah mereka.

Tatapan iri mereka terus mengikutinya, dan hal tersebut membuat Amane merasa resah. Jika mereka pergi ke sekolah bersama, intensitas tatapan tersebut akan semakin menjadi-jadi.

“Aku sudah bisa menduganya... tetapi sulit untuk melakukannya dengan begitu banyak orang yang melihat. Aku tidak bisa merasa tenang sama sekali.”

“Menjadi populer memang merepotkan sekali, ya. Jika kamu berangkat sekolah bareng bersama teman laki-laki, pasti bakal ada keributan di sekolah.”

“Yah, aku tidak peduli jika orang mempermasalahkannya atau tidak, tapi itu akan menjadi masalah bagi Amane-kun. Tapi jika Amane-kun tidak keberatan, aku akan dengan senang hati berangkat ke sekolah denganmu.”

“Maksudku, aku ingin sih tapi...”

“Semuanya berangkat pada waktu yang hampir bersamaan sehingga tidak akan terlalu mencurigakan. Rasanya merepotkan untuk selalu hati-hati mengatur waktu kita berangkat, terutama dalam situasi hari ini, sangat tidak efisien sama sekali. Selain itu, lebih baik ditemani bersama seseorang yang kamu kenal, bukan? Setidaknya itu lebih baik daripada berjalan sendirian.”

“Itu memang benar, sih…”

“Sayangnya, kenyataan selalu gagal memenuhi harapan orang.”

Mahiru memasang ekspresi lelah dan menghela nafas, lalu menggelengkan kepalanya dan mendapatkan kembali keanggunannya yang biasa sambil tersenyum.

“Kalau begitu aku akan berangkat dulu. Aku ingin menunjukkan seragam musim panasku kepada Amane-kun dulu, jadi aku sangat senang bisa melakukannya.”

Setelah mengatakan sesuatu yang begitu sederhana dan sangat membuat hati bergejolak, Mahiru berkedip penasaran ketika melihat Amane tertegun, tapi dia kemudian berbalik untuk membuka pintu depan.

“Kalau begitu aku akan pergi berangkat dulu. Kamu jangan sampai terlambat ya, Amane-kun?”

Mahiru dengan malu-malu meninggalkan rumah. Amane menempelkan kepalanya ke dinding, mempertimbangkan apakah Ia harus membasuh wajahnya lagi atau tidak.

 

◆◇◇◆

 

Setelah mencapai tempat duduknya di kelas, Amane melihat ada kerumunan orang di sekitar Mahiru yang juga mengenakan seragam baru mereka.

Cuaca semakin panas dan jumlah siswa yang mengenakan lengan pendek secara bertahap meningkat. Penampilan cantik Mahiru, meski lebih terbuka dari sebelumnya, langsung menjadi pusat perhatian.

Terlebih lagi, Chitose berada di kursi di belakangnya, mengikat rambut Mahiru menjadi kuncir kuda. Gaya rambut yang segar semakin menarik perhatian semua orang.

Karena bagian belakang lehernya terbuka, Amane enggan membiarkan Mahiru memiliki gaya rambut seperti itu.

Meski itu kebebasan Mahiru untuk memilih gaya rambutnya, Amane secara alami tidak ingin gadis yang dia sukai menjadi begitu terbuka.

Dia bukan milikku. Aku seharusnya tidak memiliki pemikiran posesif seperti ini.

Ia sama sekali bukan pacarnya, tetapi keinginannya sendiri untuk eksklusif mulai muncul, dan itu membuat Amane agak jijik dengan dirinya sendiri.

“…Kenapa? Lagi bad mood?”

“Itu cuma perasaanmu saja.”

Itsuki menoleh ke wajah Amane. Temannya itu selalu saja mendadak jadi peka pada saat-saat tertentu. Amane memasang ekspresi acuh tak acuh. Itsuki melihat ke arah Mahiru, lalu mengangguk mengerti seolah-olah baru menyadari sesuatu.

Seringai di wajah Itsuki membuat hati Amane merasa jengkel. Ia bertanya-tanya mengapa Itsuki selalu saja begitu kegirangan pada saat-saat seperti ini.

 

 

Sebelumnya Daftar isi Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama