Chapter 8 — Hadiah dari Tenshi-sama
“Astaga Amane, bukannya kamu
terlalu berusaha keras buat ujian kali ini?”
Pada saat hasil ujian diumumkan,
Itsuki bergumam tercengang saat melihat daftar peringkat yang dipajang di papan
pengumuman.
Bahkan setelah selesai belajar
bareng, Amane masih belajar dengan rajin untuk menghadapi ujian. Alasannya
sederhana, Ia berharap kalau dirinya bisa meraih prestasi yang bisa
dibanggakan.
Hal itu juga demi mengusir
bisikan menggoda Mahiru yang terus berkutat di kepalanya.
Amane sepenuhnya membenamkan
diri dan berkonsentrasi untuk belajar sambil mencoba yang terbaik untuk tidak
terganggu oleh perkataan dan ekspresi Mahiru. Berkat usahanya itu, dirinya
berhasil menduduki peringkat keenam kali ini.
“Aku sendiri tidak menyangka
kalau aku bisa mendapatkan hasil memuaskan seperti ini.”
“Yah, karena kamu sudah bekerja
sangat keras. Apa sekarang kamu sudah mendapatkan kepercayaan diri?”
“...Aku tidak bisa
bermalas-malasan. Aku harus mempertahankan hasil ini.”
“Ya ampun, standarmu itu terlalu
tinggi, tau ...”
Walaupun sudah mencapai hasil
yang baik, Amane tidak ingin membiarkan Mahiru melihat bahwa nilainya menurun
karena kelalaiannya. Peringkat yang didapat akan jadi sia-sia kalau tidak
dipertahankan.
Mempertimbangkan kemungkinan ujian
masuk universitas di masa depan, Amane tidak berpuas diri dan berhenti sampai
di sini.
Ujian masuk universitas
merupakan kompetisi yang diikuti oleh semua pelajar dari segala penjuru negeri.
Oleh karena itu, Amane berharap dapat menghabiska semua tenaganya ke dalam
belajarnya untuk masa depan yang jauh.
Kalaupun ada, justru Mahiru lah
yang paling pantas mendapatkan pujian. Kali ini, dia berhasil mempertahankan
peringkat pertamanya dan menciptakan jarak yang lebar dengan orang yang
berperingkat kedua. Hal tersebuut tidak lepas dari upaya rajin Mahiru. Usaha
yang dia kerahkan dalam belajar menunjukkan kepada orang lain bahwa dirinyaa
benar-benar pantas mendapatkan peringkat tersebut dan bukan karena kepintaran
atau semacamnya.
“Fujimiya-san berada di peringkat
keenam kali ini.”
Di belakangnya, Mahiru
menyadari nama Amane saat melihat daftar peringkat dan tersenyum cerah.
Menghadapi tatapan ramah
Mahiru, Amane hanya bisa tersenyum lembut.
Ia bisa merasakan tatapan menyengat
dari sekelilingnya, tapi Amane secara bertahap mulai terbiasa berbicara dengan
Mahiru di depan umum dan tidak merasa gugup maupun sungkan. Tentu saja, jika
ditanya apa dirinya merasa nyaman dengan tatapan-tatapan tersebut, Amane pasti
akan langsung menjawab tidak.
“Sepertinya begitu. Aku
melakukannya dengan baik kali ini.”
“Lagipula, Fujimiya-san sudah
berusaha kerasa untuk bisa mendapat peringkat itu, dan kamu bahkan masih terus
belajar saat jam istirahat.”
“…Yah begitulah?”
“Fujimiya-san telah bekerja
sangat keras. Jadi sudah sepantasnya kamu mendapatkan hadiah, ‘kan?”
“Maksudku... mungkin?”
Ketika mengungkit kata hadiah,
Amane hanya bisa terdiam.
Mahiru sudah berjanji padanya
jika Amane berhasil masuk peringkat 10 besar, Ia akan mendapatkan bantal
pangkuan darinya. Amaen berupaya mengusir segala macam pikiran kotor dari kepalanya
dan sebagai hasilnya, Ia melupakan janji terebut.
Tentu saja Amane bisa menolak hal tersebut, tapi buat apa juga Ia menolak
kebahagiaan seperti itu? Apalagi jika Ia bisa dimanjakan oleh gadis yang
disukainya?
“...Yah, tapi kamu memenangkan
peringkat pertama. Jadi Shiina-san harus mendapatkan hadiah juga.”
“Hmm? Tapi tidak baik
memanjakan diri terlalu banyak.”
“Shiina-san selalu keras dengan
dirinya sendiri, jadi tidak ada salahnya untuk bersantai sebentar. Kamu seharusnya
tidak perlu sungkan buat meminta hadiah.”
Amane merasa tidak enakan
ketika dirinya mendapat hadiah, tapi Mahiru tidak mendapat apa-apa. Dia harus
mendapat imbalan atas usahanya.
Meski begitu, Amane tidak tahu
harus memberikan hadiah apa pada Mahiru. Seraya memikirkan hal itu, Ia
berencana untuk bertanya padanya ketika mereka kembali ke rumah.
Melihat Mahiru yang masih tetap
tersenyum ala tenshi, Itsuki berbisik kepada Amane, “Bagaimana kalau kamu
melakukan sesuatu yang menghiburnya?”
Tanpa perlu diberitahu Itsuki,
Amane sudah merencanakan hal tersebut. Ia memutuskan untuk menanyakan apa yang
diinginkan Mahiru nanti.
◇◆◇◆
“Eh, hadiah untukku?”
Pada malam hari, ketika Amane
melihat Mahiru mengenakan celemek dan sedang menyiapkan makan malam, Ia
bertanya padanya. Mahiru berbalik dan menunjukkan ekspresi terkejut saat
menjawabnya.
“Aku tidak menginginkan sesuatu
yang istimewa.”
“Kalau begitu, apa ada sesuatu
yang ingin aku lakukan ...?”
“Apa yang aku ingin Amane-kun lakukan?
Kurasa...Aku ingin kamu mengiris mentimun di sana.”
“Bukan sesuatu yang seperti itu
... lupakan saja, jika tidak ada yang kamu inginkan, kamu tidak perlu
memaksakan diri.”
Mahiru tampaknya tidak memiliki
keinginan, jadi Amane pikir kalau dia takkan menanggapi pertanyaannya dengan
serius. Meski begitu, ketika berpikir kalau tidak baik juga memaksa orang lain,
jadi Amane berkompromi dan tidak bertanya lebih lanjut.
Jika Mahiru tidak punya
keinginan, maka itu tidak masalah. Bila Mahiru ingin Amane melakukan sesuatu,
Ia bermaksud untuk menuruti dengan segala kemampuannya.
Untuk sekarang, sepertinya
Mahiru ingin Amane memotong mentimun, jadi Ia akan mendengarkan permintaannya.
Amane mencuci tangannya, mengambil pisau di meja dan mulai memotongnya.
“Tolong gosokkan sedikit garam
pada mentimunnya.”
“Oke ... tapi, kamu seriusan tidak punya
keinginan apa-apa?”
“Tidak, aku sudah merasa sangat
puas dengan hidupku saat ini... lagi pula, keinginanku yang sebenarnya harus
diwujudkan dengan upayaku sendiri.”
“Keinginanmu yang sebenarnya?”
“Menurut Amane-kun sendiri
apa?”
Amane mendongak dari konter dan
menemukan bahwa bibir Mahiru mengerucut, seakan-akan mengharapkan sesuatu.
Sejenak, Amane merasa kalau ekspresinya
mirip dengan senyum iblis kecil beberapa hari yang lalu. Amane tidak bisa
melihatnya secara langsung, jadi dirinya mengalihkan pandangannya ke mentimun
yang ada di tangannya.
“... A-Aku tidak tahu”
“Nah, ‘kan? Oleh karena itu,
biarkan tetap seperti ini. Aku sudah merasa puas dengan yang sekarang.”
Mendengar Amane menyangkal
tidak tahu, Mahiru hanya bisa tersenyum kecut.
Dia entah bagaimana menciptakan
suasana yang mencegah Amane mengajukan pertanyaan, jadi mereka mulai memasak
lagi. Amane bertanya-tanya tentang apa yang harus dilakukan dan cuma bisa terus
memotong mentimun dalam diam.
◇◆◇◆
“Sekarang, ayo kemari
Amane-kun.”
Mereka sudah selesai makan
malam dan sudah waktunya untuk hadiah bantal pangkuannya.
Mahiru duduk di ujung sofa dan
menepuknepuk pahanya. Amane merasa ragu-ragu dan bingung dalam menanggapi
bujukan Mahiru.
Dia mengenakan rok dan stoking
hitam. Meski dipisahkan oleh kain, teksturnya yang tipis membuat permukaannya
menjadi lebih hidup.
Mahiru pulang ke unit
apartemennya dulu dan mandi sebelum kembali ke rumah Amane. Karena baru keluar
dari bak mandi, aroma samponya menyebar dari seluruh tubuh langsingnya.
Dalam situasi ini, mendapatkan
bantal pangkuan sambil membersihkan telinganya sama saja dengan tindakan bunuh
diri.
“...Tidak—”
“Jika kamu tidak mau, jangan
memaksakan diri, tapi Amane-kun sendiri yang memintanya, kan?”
“Tidak, tidak, bukannya aku
tidak mau, kok? Aku benar-benar tidak menyangka kalau ini akan terjadi. Tepat
di depanku tapi aku sedikit takut untuk memulai...Mahiru sendiri, apa kamu
tidak merasa malu melakukan ini?”
“Tidak juga, kok? Jika kamu
takut, lalu mengapa kamu meminta ini?”
“I-Itu sih …. bagaimana
bilangnya ya…. Itu karena insting seorang cowok atau semacamnya.”
“Kalau begitu, bertindaklah sesuai
dengan ‘insting cowok’-mu ...
terlebih lagi ini adalah hadiah atas hasil kerja kerasmu. Jika aku tidak setuju
dengan itu, aku takkan menerima permintaanmu. Aku akan memanjakanmu dengan
baik, jadi ayo datanglah ke sini.”
Melihat Mahiru menepuk-nepuk
pahanya lagi, Amane menelan ludah.
Karena belakangan ini cuacanya
mulai menghangat, Mahiru jadi mulai mengenakan stoking yang lebih tipis.
Kain itu diregangkan tipis di
kakinya, samar-samar memperlihatkan warna kulitnya yang terlihat sangat
mengkilat nan memikat.
Bahkan saat terbungkus kain,
paha Mahiru menunjukkan lekuk halus yang montok dan menggoda kewarasan Amane.
Meskipun itu mungkin bukan
niatnya, tapi penampilannya benar-benar menggoyahkan Amane.
Biasanya, demi menjaga
ketenangan hati dan jiwanya, Amane akan mencoba menolak. Namun, kali ini,
keinginan batinnya memojokkan Amane, dan memaksanya untuk mengambil kesempatan
ini.
Amane dengan malu-malu duduk di
sebelah Mahiru, dan pelan-pelan meletakkan kepalanya di pangkuannya.
Paha Mahiru masih selembut
seperti dalam ingatan Amane. Selain itu, kain yang memisahkan kakinya dari
wajahnya lebih tipis dari sebelumnya. Dibarengi dengan kehangatan yang datang
dengan paha lembutnya, detak jantungnya jadi kencang dua kali lipat.
Amane tidak tahu harus melihat
ke arah mana, jadi Ia mengangkat kepalanya dan melihat senyum Mahiru.
Hanya saja, wajahnya sedikit
tertutupi oleh gunung yang menjulang... Amane merasakan perasaan dingin dan
bergidik, alasannya mungkin karena dua gunung kembar yang menghalangi
pandangannya.
Sekarang sudah memasuki bulan
Mei dan cuacanya juga menjadi sedikit lebih hangat. Oleh karena itu, sama
halnya dengan celana ketatnya, Mahiru mulai mengenakan baju yang lebih ringan dan lebih tipis. Hal tersebut menguraikan
lekuk tubuhnya, sambil lebih menonjolkan sosoknya yang cantik.
Bahkan melalui kain dan di
bawah pengaruh gravitasi, dua gunung kembar tersebut masih mempertahankan
bentuknya yang menarik dan dengan jelas menunjukkan eksistensinya. Amane dengan
cepat memalingkan pandangannya. Jika terus-menerus menatapnya, tidak berlebihan
untuk mengatakan kalau dirinya akan mati karena malu.
“Kalau begitu, aku mulai
membersihkan telingamu, ya?”
Untungnya, Mahiru tidak menyadari
perangai Amane. Setelah menyatakan niatnya, dia mengulurkan tangannya ke
pembersih telinga dan tisu di atas meja.
Kemudian, sesuatu yang lembut
menyentuh kepala Amane.
!?
Amane menjerit diam di dalam
hatinya. Sekali lagi, Mahiru sepertinya tidak menyadari hal ini dan mengambil
alat pembersih telinga dan meluruskan tubuhnya.
Hatiku
sakit. Aku merasa sangat ringan.
Mahiru membujuknya dengan suara
rendah, “Tolong jangan gerak-gerak, ya,”
dan dengan lembut memegang kepala Amane dengan satu tangan.
Mahiru mungkin ingin membersihkan
telinganya dan menyuruhnya untuk tidak bergerak. Namun, Amane merasa sangat
tidak nyaman dan meronta-ronta ketika disuruh untuk tidak bergerak.
Tidak peduli seberapa tidak
nyamannya itu, dirinya harus bertahan. Amane menatap ke sisi meja, dan memperkuat
kewarasannya. Pada saat ini, benda keras perlahan dimasukkan ke dalam lubang
telinganya.
Amane gemetar, karena kulit
tipis di area itu lebih sensitif.
Amane biasanya tidak merasakan
apa-apa ketika membersihkan telinganya sendiri, tetapi ketika Mahiru yang melakukannya,
Ia merasakan kesenangan yang tak terlukiskan. Hal itu kemungkinan besar karena
orang lain yang membersihkannya... tetapi juga karena orang yang melakukannya
adalah gadis yang dicintainya, jadi hal tersebut membangkitkan kebahagiaan
Amane.
Dilihat dari kepribadiannya,
Amane tahu bahwa Mahiru akan sangat berhati-hati saat membersihkan telinganya.
Namun, gerakannya yang ringan dan penuh kehati-hatian tersebut membuatnya
merasa gatal.
Sensasi gata itu membuatnya
stres; mustahil untuk menyatakan kalau itu tidak menyenangkan, tetapi
kenyamanan ini memicu beberapa nafsu. Kenyamanan yang tak terlukiskan membuat
Amane tidak bisa menahan tindakan Mahiru.
“Tidak sakit, kan?”
“Ahh... tidak sakit, rasanya
sangat nyaman.”
“Syukurlah kalau begitu.
Kudengar kalau ini salah satu dari impian para cowok ... apakah keinginan
Amane-kun sudah terpenuhi?”
“…Kurasa begitu”
“Hehe. Jadi Amane-kun juga
seorang cowok, ya.”
“Ya iyalah, memangnya apa
lagi?”
Jika Ia tidak diklasifikasikan
sebagai cowok oleh Mahiru, Amane akan merasa tertekan di dalam hatinya. Gadis
yang Ia sukai sangat memanjakannya dan membiarkan kontak sedekat itu, mana
mungkin Amane tidak merasa tersipu dan puas.
“Hehe, Amane-kun memang jantan,
kukira kamu tidak terlalu tertarik.”
“Meski aku berusaha bersikap
jantan, kata-kata dan perbuatanku berbanding terbalik dengan keinginan hatiku.
Kamu harus hati-hati, cowok memang seperti ini. Mereka biasanya menunjukkan
penampilan luar dan wajah yang baik, tapi jika tidak ada orang, mereka akan
melakukan banyak hal buruk.”
“Kalau mengikuti logika
tersebut, itu berarti Amane-kun bukan cowok.”
Amane menggigit bibirnya dengan
kesal. Ia merasa bahwa Mahiru menyiratkan kalau dirinya penakut, tapi Mahiru
tampaknya tidak memiliki niat menghinanya dan masih pelan-pelan membersihkan
telinganya.
“Amane-kun, tolong berbalik
supaya aku bisa membersihkan telinga yang lain.”
Amane berbalik, memperlihatkan
telinganya yang lain dan mengerutkan kening. Ia akhirnya menatap ke arah perut
Mahiru, membuatnya merasakan gelombang rasa bersalah dan nafsu yang saling
bersinggungan di dalam batinnya.
Jika Ia menundukkan kepalanya,
tragedi besar masih akan terjadi dan dia akan melihat mereka. Oleh karena itu,
Amane hanya bisa meregangkan kepalanya dan melihat perut Mahiru.
Aku
tidak tahu apa aku sedang berada di surga atau neraka.
Bila menuruti keinginannya, Ia
serasa berada di surga; Namun, Amane masih berjuang untuk mengendalikan
dirinya. Amane merasa kalau dirinya seakan-akan sedang diapit antara surge dan
neraka.
“Amane-kun, sepertinya kamu
tadi terus-terusan gemetar melulu ...”
“Jangan pikirkan itu.”
Amane tidak bisa memberitahu
kebenarannya. Jika Ia berbicara jujur, Mahiru pasti akan merasa jijik dan
menjauhkan diri darinya.
Jadi, Amane hanya bisa
menyembunyikan keinginannya dan dengan jujur menerima perlakuannya. Si Tenshi itu
menggodanya dengan begitu polos, membuatnya takut akan masa depan,dan bertanya-tanya apakah dirinya berhasil menahan
nafsunya lagi.
Mahiru sepertinya kebingungan
dengan tingkah laku Amane, tapi Amane cuma menghadap perut Mahiru dan
menghindari matanya, jadi dia berhenti menanyainya dan mulai membersihkan
telinganya lagi.
Dihadapkan dengan sensasi gatal
sekaligus nyaman tersebut, Amane tidak bisa berbuat apa-apa selain memejamkan
matanya dan menunggu sampai semuanya berakhir.
Lagi pula, jika Ia membuka
matanya, dirinya harus menanggung rasa bersalah yang halus. Sambil memejamkan
mata, indranya yang lain menjadi lebih tajam. Amane mencium aroma tubuh Mahiru
yang wangi, sampo dan sabun mandinya, dan sekali lagi diingatkan akan
kelembutan pahanya. Amane tidak bisa menenangkan hatinya.
Seandainya
saja aku bisa menikmati kelembutan ini tanpa perlu menahan diri.
“Amane-kun, apa aku boleh
menyentuh rambutmu setelah selesai nanti?”
“… Terserah, lakukan saja sesukamu.”
Jika berhenti sekarang, Amane tidak
perlu mengalami pertarungan batin melawan godaan. Namun, Amane masih seorang
cowok. Jika bisa terus bersantai di paha gadis yang disukainya, Ia tentu saja
ingin terus melanjutkan.
Kontradiksi antara keinginan
untuk berhenti dan keinginan untuk melanjutkan membuat pikiran Amane galau. Dia
terus khawatir dan akhirnya kehilangan keinginannya. Amane menyadari kalau Ia
adalah orang yang berkemauan lemah.
Setelah mendengar izin Amane,
Mahiru dipenuhi dengan kegembiraan.
“Aku akan segera selesai, oke.”
Sambil berbicara, Mahiru
membersihkan ujung telinganya dengan hati-hati. Dengan sedikit penyesalan bahwa
ini akan segera berakhir, Amane merasa pikirannya kembali normal. Tentu saja,
dirinya berhati-hati untuk tidak menunjukkan penyesalan tersebut di wajahnya.
Sensasi yang sedikit gatal,
membahagiakan, dan menyenangkan berakhir saat Mahiru mengeluarkan alat pembersih
dari telinganya.
Jari-jemari Mahiru menyisir
rambutnya untuk memberikan kenyamanan lain.
“Oke, sudah selesai.”
Mahiru menyisir lembut rambut
Amane dengan tangannya, seolah-olah dia sedang membujuk seorang anak kecil. Amane
merasa sedikit malu mengenai hal ini ini dan ingin mengungkapkan kesenangannya.
Amane menyadari bahwa perasaan
cintanya pada Mahiru semakin besar dan Ia hampir mengerang karena emosi yang
campur aduk.
Ini adalah hadiahnya, Mahiru
mungkin bermaksud memanjakan Amane sebanyak yang dia inginkan, tapi perbuatan
manja ini akan membuat Amane menjadi cowok yang tidak berguna.
Seperti yang Mahiru nyatakan,
dia sepenuhnya berniat untuk mengubah Amane menjadi cowok payah dan tidak
berguna. Bahkan jika Amane ingin melawan, perasaan nyaman tersebut merampas
tenaganya untuk melawan.
...Aku
benar-benar diubah menjadi pria tidak berguna...
Amane sepenuhnya menikmati
aroma wangi dan suhu tubuh Mahiru, dan pada saat yang sama dipeluk dengan
tangannya yang lembut. Meski kedengarannya bukan masalah besar, Amane merasa
nyaman dan merasa penuh kebahagiaan.
Situasi saat ini membawa
kesenangan dan kepuasan pada batinnya. Jika Ia melakukan ini setiap hari, Amane
pasti akan jatuh ke titik tidak berguna.
Amane menghela napas,
membiarkan tubuhnya rileks, dan kemudian
mendengar tawa kecil dari atas kepalanya.
“Amane-kun jarang sekali
bertingkah begitu manja.”
“... Menurutmu ini salah
siapa?”
“Salahku~”
Mahiru tertawa manis, dan terus
menyisir rambut Amane dengan jari-jarinya.
“Setiap kali aku melihatnya,
aku ingin lebih dekat dan merasakannya. Rambut Amane-kun terasa sangat halus.”
“...Benarkah?”
“Iya, rasanya sangat lembut dan
mengkilap. Kenapa permukaannya bisa sangat mengkilap begini ...”
“Mungkin itu berkat sampo yang
direkomendasikan ibuku.”
Shihoko selalu memberitahunya
bahwa “Rambut bagus harus dijaga!”, jadi Amane sekarang menggunakan jenis sampo
yang sering digunakan di salon kecantikan untuk menjaga rambutnya.
Amane tidak membenci bau sampo
ini, dan rambutnya selalu terasa halus setelah dikeringkan, jadi Ia terus
menggunakannya sampai sekarang.
“Tapi rambut Mahiru lebih
halus.”
Amane meraih sehelai rambut
dari sisi pinggang Mahiru. Dibandingkan dengan rambutnya sendiri, rambut Mahiru
lebih lembut dan halus.
Dia memiliki rambut bagus yang
lembut dan berkilau. Rambut Amane tidak sebanding dengan perawatannya. Rambut
Mahiru memiliki perasaan yang membuat orang ingin menyentuhnya setiap saat.
Aroma yang dikeluarkan tidaklah kuat, tapi aroma sabun yang menyebar tercium
lembut dan menggelitik. Semua faktor tersebut membuat cowok manapun tidak bisa
melawan.
“Aku terus memikirkan ini
ketika aku menyentuh rambutmu, kamu benar-benar merawat rambutmu.”
“...Yah. Aku tidak pernah malas
untuk menjaganya.”
“Aku bisa melihatnya. Lagipula,
banyak yang bilang kalau rambut seorang wanita setara dengan hidupnya. Maaf
jika aku merusaknya dengan selalu menyentuhnya.”
“...Tidak apa, aku suka
disentuh oleh Amane-kun, kok.”
Amane meringis. Untungnya, Ia
bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya. Ekspresinya akan mengungkapkan perasaannya.
Perasaan malu, kegirangan,
senang, bingung, gelisah... semua emosi ini bercampur menjadi satu. Jika Mahiru
melihat ekspresi itu, itu pasti akan menimbulkan kecurigaan.
Kenapa
kamu selalu mengatakan sesuatu yang membuatku merasa sangat senang.
Amane menutup mulutnya, lalu
memejamkan matanya dan menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya.
◇◆◇◆
Begitu Ia membuka kelopak
matanya, tatapan mata Amane bertemu dengan kemeja Mahiru.
Sepertinya dirinya ketiduran
lagi. Rupanya, kenyamanan dan kebahagiaan yang berlebihan membuat Amane
terlelap dalam dunia mimpi. Ia tidak tahu sudah berapa lama dia tidur dan
merasa sedikit gelisah.
Kegiatan menyisir rambutnya sudah berhenti.
Amane bangkit dengan hati-hati
dan mendapati Mahiru sedang tidur, bersandar pada sandaran sofa.
Mendengar napas stabil Mahiru,
Amane menggumamkan permintaan maaf dan saat melihat jam, wajahnya mulai
meringis.
Sekarang sudah jam 11 malam.
Bantal pangkuan dimulai setelah mereka bersih-bersih, yaitu sekitar jam 9.
Amane ternyata sudah menikmati sekitar 2 jam bantal pangkuan Mahiru.
Wajar saja kalau Mahiru akan
tertidur karena sudah larut malam dan kenapa dia tidak bergerak karena takut
membangunkan Amane.
Dia mungkin tidak tega
membangunkan Amane, jadi dia tetap dalam posisi ini dan secara tidak sengaja
terlelap.
Ini adalah rumahnya dan Amane
berharap Mahiru akan lebih waspada ketika berada di rumah orang lain. Pada
akhirnya, semuanya masih salah Amane karena tertidur di pangkuannya dan
memaksanya untuk tetap dalam posisi ini.
Amane tidak tahu harus berbuat
apa dan hanya menatap wajah tidur Mahiru. Setelah merenung sebentar, Ia
memutuskan untuk mandi dulu.
Mahiru sepertinya sudah mandi
sebelum mampir ke rumahnya, tapi Amane belum mandi. Daripada membangunkannya,
lebih baik mandi dulu dan membiarkan Mahiru tidur. Mungkin Mahiru akan bangun
sendiri saat dirinya sedang mandi.
Setelah membuat keputusan itu,
Amane buru-buru kembali ke kamarnya dan membawa baju ganti.
◇◆◇◆
Setelah mandi, Amane memastikan
bahwa Mahiru masih di ruang tamu dan menghela nafas pelan.
Mahiru tampaknya masih terlelap
dalam tidur nyenyak. Bahkan suara pengering rambut pun tidak membangunkannya.
“Mahiru, ayo bangun.”
Amane memanggil Mahiru dan
mengguncangnya dengan lembut tapi dia tidak bergerak sama sekali. Sepertinya
tidur Mahiru sangat nyenyak. Dengan tubuhnya secara bertahap miring ke samping,
Amane tidak punya pilihan selain memegang dan mendukungnya.
Mungkin karena bantal
pangkuannya yang lama membuatnya lelah, atau mungkin dia hanya tertidur karena
sudah larut malam dan mengantuk. Singkatnya, yang bisa diketahui Amane ialah
Mahiru takkan bangun dengan mudah.
Hal
serupa pernah terjadi sebelumnya... haah.
Pada akhir tahun lalu, Mahiru
tidak sengaja ketiduran, jadi Amane meminjamkan tempat tidurnya.
Aku
merasa seperti kita mengulangi situasi yang sama.
Amane mengguncangnya tubuhnya lagi
dengan kuat dan memanggil Mahiru, tapi dia masih tidak mau bangun.
“Hmm…”, suara
lembut dan manis mencapai telinga Amane. Suara tersebut sepertinya tidak berbicara,
tapi terdengar seperti suara parau yang bercampur dengan napasnya saat tertidur.
Ini bukan pertama kalinya
Mahiru ketiduran tanpa curiga karena kepercayaan, dan Amane tidak tahu apakah
ini benar-benar baik-baik saja.
Amane mengeluh pada dirinya sendiri,
“Astaga...”, dan mulai
menyolek-nyolek pipi Mahiru. Dia kelihatannya tidak akan bangun dalam waktu
dekat, dan hanya mengeluarkan nafas lembut dan teratur.
Amane lalu meletakkan tangannya
di wajah Mahiru, menelusuri kulit lembut yang mengelilingi pipinya, dan
perlahan-lahan mengarahkan tangannya ke bawah.
Ketika menyentuh bibirnya yang
sedikit terbuka, Amane merasakan kulitnya yang lembut dan lembut meregang,
layaknya buah ranum dengan rasa manis yang luar biasa saat dicicipi.
Bukan mustahil untuk mencicipi
manisnya ini. Pada saat ini, Mahiru tidak berdaya. Amane bisa merasakan
bibirnya dan bahkan rasa yang lebih kuat setelahnya.
Alasan mengapa Amane tidak
berani melakukannya ialah alasan yang sama ketika Ia menginjak rem dan menarik
tangannya. Jika Mahiru menolaknya dan mulai menjauhinya, Amane tidak tahu
apakah dirinya bisa kembali pulih atau tidak.
Meski begitu, tangan yang
menyentuh wajah Mahiru tidak bisa sepenuhnya meninggalkan tubuhnya. Amane
menertawakan dirinya sendiri karena pemalu dan pengecut, sambil mengagumi
posisi tidur indah yang ditunjukkan Mahiru.
Mengapa
kamu terus menggodaku seperti ini? Memangnya kamu tidak khawatir?
Mahiru pasti takkan menunjukkan
penampilan seperti ini jika dia tahu apa yang Amane pikirkan.
Amane menghela nafas tanpa
sadar dan dengan lembut membelai pipi Mahiru dan tersenyum sedikit. Mahiru masih
tetap tidak bergeming, tidak menunjukkan ekspresi waspada sama sekali dan masih
memejamkan mata dengan nyenyak.
Amane tahu kalau dirinya
memiliki sifat pemalu dan berhati-hati. Ia juga tahu bahwa sifat inilah yang
memenangkan kepercayaan Mahiru. Tapi Mahiru tidak tahu di mana batasnya dan dia
semakin dekat untuk mendorongnya melewatinya.
Amane takut ditolak jika
menyatakan perasaannya. Kekhawatiran ini mencegahnya untuk mengungkapkan
perasaannya sendiri.
“... Seandainya aku bisa berani
bilang kalau aku menyukainya, aku tidak perlu berjuang sekeras ini.”
Setelah bergumam pada dirinya
sendiri dengan pelan, Amane membelai bibir Mahiru yang lembab dengan ibu
jarinya dan menghela nafas.
Gadis yang disukainya sangat mempercayainya
seperti ini, yang mana hal itu membuat Amane merasa bahagia dan penuh kasih
sayang, tapi sekaligus hal yang ironis baginya. Sudah waktunya bagi Mahiru
untuk memahami perasaan Amane.
Amane mengambil keputusan, lalu
meraih bahu Mahiru dan mengguncangnya.
“Mahiru, ayo cepat bangun, sudah
waktunya buat pulang.”
Amane mengguncangnya sedikit,
mendorong Mahiru untuk bangun.
Tidak peduli seberapa lama Ia
melihat wajah tidurnya yang imut. Masalahnya, jika Amane menatapnya terlalu
lama, Ia takut kalau dirinya akan melakukan sesuatu yang tak termaafkan.
Kepercayaan Mahiru padanya
pasti membuatnya merasa aman dan menginap di rumah Amane. Hal semacam ini
sering terjadi beberapa kali sebelumnya. Lebih tepatnya, saat Amane meminjamkan
tempat tidurnya di masa lalu, jadi memungkinkan untuk membiarkan Mahiru tidur
di kamar Amane sebagai pilihan terakhir.
Tapi masih lebih baik untuk
meminta Mahiru pulang. Jika Mahiru tidur di ranjang Amane, dia akan meninggalkan
bekas aroma wangi yang sulit untuk ditangani Amane. Setiap kali tidur di
ranjangnya sendiri, Amane harus menahannya sampai aromanya perlahan hilang.
Amane memilih untuk menghindari hal yang semacam itu kembali terjadi.
Dengan pemikiran tersebut,
Amane terus mengguncang tubuh Mahiru dan menepuk-nepuk pipinya yang lembut.
Baru kemudian Mahiru bereaksi. Pelan-pelan, dia membuka kelopak matanya dan
bulu mata panjangnya gemetar.
Namun, pupil matanya yang
berwarna karamel cerah masih terlihat tidak fokus; iris matanya tampak hampa,
layaknya pandangan linglung yang tidak tahu harus melihat kea rah mana. Segera
setelah itu, pupil matanya bersembunyi di balik tirai kelopak matanya lagi.
“Mahiru, ayo cepat bangun dan
jangan tidur di rumahku.”
“…Hmm?”
“Ya, ya, ayo bangun, oke?”
“…Oke…”
Mendengar jawaban lembutnya,
dia pasti masih mengigau. Wajah Amane berkedut, untuk menghindari gemetar
Mahiru dan menyakiti kepalanya, sambil menepuk pipinya, mati-matian berusaha
membimbing kesadarannya ke dunia nyata.
Mungkin upaya Amane berhasil,
dan Mahiru menunjukkan matanya lagi. Tapi kali ini, dia bersandar di dada
Amane, membenamkan wajahnya di dalamnya, dan terlelap kembali.
“Mmmm” Mahiru
mengerang samar lagi dan mengusap-usap wajahnya di dadanya. Amane hampir tidak
bisa menahan keinginannya untuk memeluknya, dan mengeluarkan suara gemetar dari
tenggorokannya.
Wajahnya yang santai dan tanpa
pertahanan seperti itu membuat Amane ragu apa itu disengaja atau tidak. Ia ingin
mendorongnya, tetapi tidak bisa. Keinginannya untuk memeluknya dan mendekapnya terlalu
kuat. Mungkin jauh lebih baik untuk melepaskannya sesegera mungkin dan
mendisiplinkan dirinya sendiri.
Amane menggigit bibirnya,
meraih bahu Mahiru, dan perlahan menjauhkan diri darinya. Kemudian Mahiru
menatapnya dengan mata sedih yang tumpul.
“Mahiru, ini sudah malam,
tolong kembalilah ke rumahmu. Kita masih harus pergi ke sekolah besok. Tidak
baik jika kita kesiangan. Aku akan mengantarmu sampai ke pintu.”
Meski dia tinggal di sebelah,
Mahiru terlalu mengantuk dan lemah untuk berjalan sendiri sehingga Amane
mengkhawatirkannya.
Amane tidak tahu apakah Mahiru
mendengarnya. Dia hanya menjawab dengan lemah, “Selamat malam ...” dan kemudian
dia berdiri goyah. Akibatnya, dia tampak seakan-akan bisa jatuh tersungkur
kapan saja, dan Amane buru-buru melangkah maju untuk membantunya berdiri.
Dia pasti kelelahan karena
ujian, dan dengan Amane berbaring di kakinya selama dua jam, tubuhnya pasti
terbebani. Semua faktor tersebut yang membuat Mahiru tidak bisa berdiri.
Apa
boleh buat.
Amane merasa bahwa, meski Ia meminjamkan
bahunya, dan mengantarnya sampai ke pintu rumahnya, Mahiru akan jatuh di
rumahnya sendiri.
Setelah menghela nafas ringan,
Amane menoleh dan menatap wajah Mahiru.Dia bersandar pada pundak Amane.
“Mahiru. Aku akan mengantarmu sampai
ke kamarmu, boleh aku meminjam kuncinya? Aku harus masuk ke rumahmu.”
Tidak sopan untuk memasuki
kamar seorang gadis dan tidak pantas pula meminta kuncinya saat keadaan Mahiru
masih linglung.
Tapi Amane tidak punya pilihan
lain. Ada pilihan membuatnya bermalam di rumah seorang cowok, dan yang lainnya
mengantarnya kembali ke rumahnya sendiri. Jika disuruh memilih salah satu dari
mereka, bahkan jika pilihan yang pertama terlihat normal dan diizinkan, tapi
pilihan terakhir masih terlihat lebih baik. Mahiru bisa tidur lebih nyenyak di
rumahnya sendiri. Dibandingkan tidur dengan tempat tidur dan bantal asing,
tempat tidurnya sendiri pasti akan terasa lebih nyaman.
Karena Mahiru sudah bangun dan
Ia bisa mendapatkan persetujuannya, Amane nyaris tidak menahan rasa bersalah karena
memasuki rumah seorang gadis.
Setelah bertanya padanya,
Mahiru mengangguk pelan.
Setelah memastikan bahwa dia setuju,
Amane mengeluarkan kuncinya dari saku Mahiru, dan berhati-hati untuk tidak
menyentuh tubuhnya.
Amane kemudian menopang Mahiru
dengan satu tangan, mencoba untuk mendukungnya. Rasa kantuk Mahiru sepertinya
sudah mencapai batasnya. Dia bersandar pada Amane dan memasuki keadaan setengah
terjaga dan setengah tertidur lagi. Amane tahu bahwa dia harus mengantarnya
pulang dengan cepat, mengetahui bahwa dia mungkin akan tertidur dalam
pelukannya.
Sambil berusaha mencoba membuat
suara sepelan mungkin, Amane keluar dari unit apartemennya dan berdiri di depan
rumah Mahiru, sembari menopa Mahiru. Ia lalu membuka pintu dan berjalan
perlahan ke rumah Mahiru.
“…Permisi.”
Tak perlu dikatakan, tata
letaknya sama dengan rumahnya sendiri, jadi Amane tahu lokasi kamar tidurnya.
Amane merasakan jantungnya
berdetak sangat kencang sejak memasuki rumahnya. Bahkan dengan tata letak yang
sama, aroma lembut nan wangi memberikan sensasi yang sangat berbeda dan
menyebabkan Amane merasa gugup.
Lantainya dipoles dengan cerah
dan tidak ada kotoran di mana pun sejauh mata memandang. Jelas sekali kalau
Mahiru rajin membersihkan rumahnya. Cermin dan bunga ditempatkan di lemari
sepatu yang ditempatkan di sepanjang
dinding, memberikan suasana yang tenang, cerah dan indah.
Saat melihat ruang tamu dari
pintu masuk, Amane bisa melihat furnitur berwarna putih lembut dan biru muda, selera
pribadi Mahiru dapat diamati melalui mereka.
Dari sudut pandang orang lain,
dekorasinya bisa dibilang tidak memberikan nuansa kehidupan, atau dengan kata
lain, nuansanya seperti bukan tempat tinggal permanen.
Kecuali pergi ke sekolah, mandi
dan tidur, Mahiru selalu tinggal di tempat Amane untuk sebagian besar waktunya
sejak dia mulai memasak untuknya. Jadi tidak salah untuk mengatakan bahwa rumah
ini hampir tidak menunjukkan nuansa kehidupan.
Dengan pemikiran ini, Amane
berjalan ke depan kamar yang tampaknya kamar tidur Mahiru, membuka pintu tersebut
dan melangkah masuk.
Ini pertama kalinya Amane
memasuki kamar seorang gadis, dan kamar tersebut tampak bersih dan rapi.
Kamarnya tampak sama seperti
ruang tamu, dengan warna dasar putih dan biru muda, tapi lebih menarik
ketimbang ruang tamu. Jika harus menggambarkannya dalam beberapa kata, kamarnya
terlihat indah dan elegan.
Selain itu, Amane juga merasa
kalau dibandingkan dengan ruang tamu yang baru saja dilihatnya, kamar tidrunya
lebih memiliki nuansa kehidupan dan kepribadiannya sendiri.
Mungkin karena Mahiru tidak
memajang barang-barang tidak perlu. Tidak ada apa-apa di rak kecuali buku
pelajaran dan alat bantu mengajar, buku masak di atas meja, serta boneka yang pernah
diberikan Amane padanya.
Adapun boneka beruang yang pernah
diberikan pada hari ulang tahunnya, kebersihannya dijaga dengan baik dan
diletakkan tegak di samping bantalnya.
Jika ada sesuatu yang berbeda
dari boneka itu, terdapat pita biru tua yang diikat secara tidak mencolok di
bawah bayangan pita aslinya.
Amane mendengar Mahiru
mengatakan bahwa dia sangat menyayangi boneka itu, dan sekarang dia tahu bahwa
dia telah meletakkan beruang itu di sebelah bantalnya. Amane bisa membayangkan
dia memeluk beruang untuk tidur, wajahnya secara alami memanas saat
membayangkan hal itu di benaknya.
Sambil menggigit bibirnya untuk
mempertahankan pikiran yang tenang, Amane dengan lembut membaringkan Mahiru di
atas kasurnya dan menutupinya dengan selimutnya. Baru sekarang Ia ingat untuk
berterima kasih kepada Mahiru atas bantal pangkuannya.
Mungkin dia menyadari perasaan
terbenam ke tempat tidur, Mahiru yang sedari tadi menutup mata, membuka matanya
sedikit.
Mata mengantuk Mahiru
berkaca-kaca saat menatapnya. Amane berlutut di lantai sambil tersenyum, dan
dengan lembut membelai Mahiru yang sedang berbaring.
“Aku akan pulang. Aku akan
mengembalikan kuncinya padamu, jadi kamu jangan terlalu khawatir.”
Hari
ini kamu terus-menerus menyentuhku, jadi kamu tidak keberatan kalau aku melakukan
hal yang sama, ‘kan? Amane menyibak rambut Mahiru ke belakang dan
menyolek pipinya yang lembut. Setiap kali Amane melakukan ini, wajah Mahiru
berubah menjadi senyuman ringan.
Kemudian, Mahiru menepuk-nepuk
area sebelahnya dan tatapan matanya menjadi berkilau.
“...Amane-kun juga, ayo….”
Ayo ...
apa? Saat mencoba memahami kata-katanya, tubuh Amane langsung membeku.
Mungkin apa yang ingin
dikatakan Mahiru ialah, “Ayo, kamu juga
perlu tidur.”
...Tidak
ada maksud lain, tidak ada maksud lain.
Amane berulang kali mengatakan
ini pada dirinya sendiri supaya bisa mengalahkan nafsunya.
Tidak peduli seberapa lembut
dan tak berdayanya Mahiru, Amane harus menahan diri untuk tidak melakukan
sesuatu yang mengerikan. Amane takut kalau Mahiru akan mengatakan sesuatu yang
akan mendorongnya untuk melakukan tindakan yang mungkin akan disesalinya, jadi
Amane buru-buru mengelus kepalanya dengan lembut seperti anak kecil, dan
membujuknya untuk tidur.
“Aku pulang dulu sekarang, ya?”
“...Enggak mau.”
“Aku tidak bisa lama-lama di
kamar seorang gadis. Kamu pasti akan menyesal ketika bangun nanti. Kamu mungkin
akan memukulku dengan bantal setelah menyadarinya.”
Jika Amane tidur bersamanya, Ia
pasti tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ketika Mahiru terbangun di pagi hari nanti,
wajahnya akan memerah karena kebingungan, dan dia akan menggebuk-gebuk
bantalnya ke tubuhnya untuk menyembunyikan rasa malunya.
Mudah sekali untuk membayangkan
kalau Mahiru akan mengabaikan Amane setelah itu. Demi menjaga kewarasannya,
Amane harus melakukan yang terbaik untuk menghentikannya, dan harus melakukan
yang terbaik untuk menolaknya.
Mahiru, yang kesadarannya masih
kabur dan lambat, berjuang untuk tetap terjaga, merindukan kenyamanan Amane.
Karena tugasnya sudah selesai,
Amane lalu mengambil beruang kecil di sebelahnya dan menempelkannya ke wajah
Mahiru.
“Dia bisa tidur denganmu untuk menggantikanku.
Selamat malam.”
Mahiru biasanya tidur dengan
beruang di pelukannya, jadi Amane memutuskan untuk membiarkan beruang itu tidur
dengannya.
Setelah menyisir rambut
lembutnya dengan jari-jarinya, dan berbisik pelan di telinganya, Mahiru
membalas dengan gumaman indah, lalu memeluk boneka beruang yang ada di dekatnya.
Dia terlihat sangat polos berbeda dengan auranya yang biasa, dan terlihat sangat
imut sampai-sampai membuat Amane ingin memeluknya.
Seandainya Ia membawa
smartphone-nya, Amane pasti akan memotret wajah polosnya yang murni; Sayangnya,
Ia hanya membawa kunci rumahnya. Amane menghela nafas, diam-diam memarahi
dirinya sendiri. Memotret seorang gadis yang tertidur tanpa izin adalah
pemikiran yang sangat tidak sopan dan kurang ajar.
Di bawah bulu matanya yang
panjang, kelopak matanya tertutup sepenuhnya. Setelah mendengar napasnya
semakin teratur, Amane pun berdiri, berhati-hati agar tidak membangunkannya,
dan menghela napas pelan.
Mengapa
kamu selalu bertingkah begitu ceroboh.
Di depan Amane, Mahiru akan
menurunkan kewaspadaannya dan bertindak manja dengan keyakinan kalau dia akan
baik-baik saja. Bagi Amane, tingkah lakunya itu menyakiti jiwanya karena Ia
harus menahan diri untuk tidak memeluk dan menyentuh dirinya yang tidak
terlindungi.
“Tidak mudah untuk menahan diri.”
Gumam Amane, dan diam-diam berjalan keluar ruangan, lalu meninggalkan rumah
Mahiru.
Hari ini, butuh beberapa saat
baginya untuk bisa tertidur lelap.
◇◆◇◆
“Se-Selamat pagi...”
“Pa-Pagi juga...”
Keesokan paginya, mereka berdua
saling menyapa dan bertukar pandang dengan canggung.
Sampai sekarang, Mahiru biasanya
takkan mampir pada pagi hari ketika mereka akan berangkat sekolah. Tapi setelah
kejadian kemarin, dia sepertinya memiliki sesuatu yang ingin dikatakan.
Adapun Amane, berkat hadiah kemarin dan insiden Mahiru yang
tertidur, Ia jadi tidak bisa tidur nyenyak. Hatinya terasa tidak nyaman saat
Mahiru datang pagi hari.
Tadi malam, Amane mengingat
banyak hal tentang bantal pangkuan yang nyaman, aroma wangi serta sensasi
kelembutan yang menempel di atas kepalanya. Desain dan dekorasi kamar serta
rumah Mahiru yang Ia masuki (dengan persetujuan), penampilan polos dan imut
Mahiru ketika tertidur, semua itu terlintas di benaknya.
Semua adegan tersebut diputar
puluhan kali di kepalanya ketika mencoba untuk tidur.
Setelah berguling-guling tidak
karuan selama satu jam, Amane akhirnya tertidur dan dibangunkan oleh alarm pada
keesokan paginya, badannya merasa lelah karena kurang tidur.
Di sisi lain, Mahiru terlihat
sangat segar dengan kulit kemerahan. Dia tampaknya tidur nyenyak, tetapi dia
menggeliat dan menatapnya seolah berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Saat hendak sarapan, Mahiru
mampir ke tempatnya dan membuat badan Amane kaku.
Semua yang terjadi kemarin
membuat Amane sulit untuk menatap langsung mata Mahiru. Meski Mahiru tertidur
di rumahnya sendiri, tapi hatinya sendiri yang menumpuk rasa bersalah.
“...Ke-Kenapa kamu datang
pagi-pagi sekali? Ahh, kamu datang untuk mengambil kunci, ya? Maaf, aku tidak
sengaja membawa kunci rumahmu.”
“Eh tidak … memang ada perihal
itu, tapi bukan mengenai itu juga.”
Meski hubungan mereka sangat
dekat, tidak pantas bagi Amane untuk mengambil kunci rumahnya. Bahkan tidak
pantas baginya untuk masuk ke rumahnya saat Mahiru sedang tertidur, tetapi
Amane telah mendapatkan persetujuannya.
Sudah
kuduga, dia tidak ingin aku mengganggu privasinya.
Dari sudut pandang Amane, Ia
merasa kalau ruangan itu terlihat bersih dan tertata rapi. Tapi dari sudut
pandang Mahiru, ruangan itu terlihat dalam keadaan tidak siap. Wajar-wajar saja
kalau Mahiru memiliki hal-hal yang ingin dia katakan.
Jika Amane melihat pakaian
dalam yang digantung, Ia percaya bahwa Mahiru tidak akan menatapnya untuk
sementara waktu, dan akan mengabaikannya.
Untungnya, Amane tidak melihat
hal semacam itu, jika tidak, dirinya juga merasa kalau Ia akan menghindarinya
untuk sementara waktu karena malu.
“Itu, umm, bolehkah aku bertanya
sedikit?”
“Tentu?”
“...Ad-Ada bingkai foto di atas
meja...”
“Bingkai foto?”
Karena tidak sopan menatap
kamar seseorang, jadi Amane dengan cepat lewat dan tidak mengingat ada bingkai
foto di mana pun. Karena Mahiru mengungkit hal tersebut, itu pasti sesuatu yang
penting.
Amane berusaha mengingatnya,
tapi Ia tidak ingat kalau Ia melihat semacam itu, hal itu berarti Amane tidak
memperhatikannya.
“Yah, aku tidak melihatnya sama
sekali... ada apa? Apa aku merusaknya?”
“Tidak, tidak! Bukan apa-apa
selama kamu tidak melihatnya... selama kamu tidak melihatnya.”
Mahiru sepertinya telah
meletakkan sesuatu di bingkai yang tidak ingin dilihat Amane. Melihat betapa
leganya dia, Amane ingin memeriksanya, tapi demi menghormati privasinya, Ia
tidak mengungkapkan pikiran atau keinginannya.
Melihat Mahiru merasa lega,
Amane menggaruk wajahnya dan berkata.
“Aku tidak terlalu melihat ke
kamarmu, kok? Yang kulihat hanyalah boneka yang kuberikan padamu dan beruang
kecil yang kamu taruh di bantal untuk tidur...”
“Tolong lupakan itu!”
Mahiru mulai memukul lengan
Amane dengan lembut.
“Jadi itu sebabnya aku membawa
boneka itu di tanganku ...”
“...Kamu kelihatan mengigau
saat itu dan kamu memintaku untuk menemanimu tidur. Aku pasti tidak bisa
melakukannya, jadi aku hanya memberimu boneka beruang saja.”
“Tidur bersama!?”
Mungkin karena tidak
mempercayai kalau dirinya akan mengatakan sesuatu seperti itu, Mahiru memasang
ekspresi terkejut, dan seluruh wajahnya langsung berubah menjadi merah padam.
Meski
dalam keadaan mengigau, aku bahkan hampir tidak mempercayainya saat dia
mengatakan hal semacam itu.
“Ak-Aku mengatakan itu!?”
“Ya... kamu tidak mengatakannya
secara eksplisit, tapi kamu mengundangku ke ranjangmu. Mungkin kamu hanya
menyuruhku tidur...?”
“Wawawawa...”
Mahiru menutupi wajahnya yang
memerah dan membuat teriakan tragis seolah menyesali sesuatu.
“Tidak, tidak, aku biasanya... tidak memikirkan hal seperti itu! Itu, itu, itu... karena Amane-kun terasa menenangkan ... aku tidak menginginkan sesuatu seperti itu ... hanya saja, aku ingin mencari kehangatan orang atau semacamnya.”
“Jadi apa maksudnya itu?”
“Tolong jangan tanya!”
Mahiru menjerit melengking, dan
kemudian memalingkan kepalanya ke samping.
Mahiru terengah-engah, tapi
Amane merasa lega.
“Oke, oke, meskipun aku tidak
tahu banyak, aku tidak akan bertanya lebih banyak. Tolong lebih waspada lagi
lain kali. Kali ini, kamu setuju kalau aku mengantarmu kembali ke kamar. Kamu
sedang tidur saat itu. Jika kamu tidak bangun, aku akan memindahkanmu ke
kamarku dan tidur di sana.”
“...Padahal yang begitu juga
tidak masalah...”
“Apa?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
Mahiru sepertinya mengatakan
sesuatu dengan suara kecil, tapi Amane tidak bisa mendengarnya dengan jelas, jadi Ia tidak tahu
apa yang Mahiru ucapkan.
Meski tidak yakin, Amane merasa
kalau apa yang Mahiru katakan barusan seharusnya tidak boleh didengarnya.
“Pokoknya, kamu juga harus
mengerti, tidak peduli bagaimana seberapa akrab hubungan kita, aku tidak bisa
membiarkanmu tidur menginap di sini. Jika kamu ketiduran lagi, aku benar-benar akan tidur denganmu sebagai
bantal guling.”
Meski Amane bilang begitu, jika
kejadian semacam itu benar-benar terjadi lagi, dirinya pasti tidak bisa
tertidur. Bila Ia tidak mengingatkannya seperti ini, Mahiru pasti akan
bertindak ceroboh lagi.
Tidak banyak orang yang bisa
Mahiru percayai, dan karenanya, dia menunjukkan penampilan yang lemah kepada
orang-orang yang dia bisa. Amane berharap dia bisa lebih memperhatikan hal itu.
Mendengar nada mencela Amane,
Mahiru berkedip penuh semangat, dan tersenyum tipis.
“Bukannya Amane-kun sendiri ketiduran dengan santai di
pangkuanku? Kamu bahkan tertidur di pahaku sampai dua kali.”
“It-Itu sih perkara lain.
Seorang pria yang tidur di depan seorang wanita berbeda dari seorang wanita
yang tidur di depan seorang pria. Tidak ada bahayanya.”
“... Meskipun kamu belum tahu
apa yang mungkin akan aku lakukan?”
“Memangnya apa yang akan kamu
lakukan?”
“Hmmm, aku bisa saja melakukan beberapa
lelucon dan mengambil foto wajahmu atau sesuatu?”
Mahiru tampak percaya diri, seolah-olah
bertanya, “Gimana?” Amane merasa
lega, tapi Mahiru tidak menyadarinya.
“...Kalau begitu saja sih aku
tidak keberatan, tapi aku akan tetap memeriksanya.”
“...Aku akan menyimpannya ke penyimpanan Cloud sebelum kamu melihatnya, dan
menghapusnya secara lokal.”
“Jangan lakukan itu, aku
sedikit takut, aku selalu berpikir kalau kamu benar-benar akan melakukan trik
ini suatu hari nanti. Lagian juga, apa yang kumaksud berbeda dengan apa yang kamu
katakan. Sungguh, kamu harus memperhatikan.”
‘Kamu
benar-benar tidak paham sama sekali,’ Amane meraih bahu Mahiru dan berkata
padanya dengan sungguh-sungguh. Mahiru tampak terkejut dengan tindakannya, tapi
dia tidak lari maupun memalingkan muka.
“Aku mengerti kok, jangan
khawatir.”
“Kamu masih tidak paham sama
sekali.”
“Aku paham kok, enak saja. Kupikir
kamu terlalu meremehkanku”
“Orang yang mengerti takkan melakukan hal
semacam itu.”
“...Amane-kun masih terlalu
naïf ya.”
Untuk beberapa alasan, Ia
terkejut dan mengangkat alisnyna, tapi Mahiru menghela nafas pelan dan
melepaskan diri dari tangan Amane, lalu pergi menuju ke koridor.
Mahiru sudah memegang kunci rumahnya
di tangannya, entah sejak kapan dia mengambilnya. Mungkin dia melihat kunci di
nampan kecil di atas kotak sepatu di pintu masuk.
“Amane-kun, lebih baik kalau
kamu memikirkan hal ini.”
Setelah mengatakan yang
seolah-olah menyiratkan sesuatu, Mahiru menghilang dari unit apartemen. Amane lalu
memegangi keningnya dan bergumam, “Siapa yang tidak mengerti?”