Bab 12 — Tempat Yang Aku Inginkan
Beberapa hari sudah berlalu
sejak tempat di sebelah Hinata menjadi kosong, dan Ichinose masih terus mengunjungi
kelas sebelah untuk menemui pacarnya.
Aku menyadari kalau keadaan
mental Hinata menjadi lebih tertekan dari hari ke hari. Ia lebih sering
melamun, dan tidak bisa berkonsentrasi pada materi pelajaran sama sekali. Ia
akan mengikuti Ichinose dengan tatapannya saat dia pergi keluar kelas atau diam-diam
melihat ke luar jendela.
—Dan aku sedang menunggu. Memastikan supaya aku takkan melewatkan
kesempatan.
Segera setelah itu, waktunya akhirnya
tiba. Hinata membolos kelas untuk pertama kalinya. Meski pelajaran berekutnya
adalah praktek di ruang lab, Ia tidak pindah dari
tempat duduknya, dan semua teman sekelas kami pergi tanpa memedulikannya.
Sementara itu, aku meninggalkan ruang kelas dan bersembunyi untuk mencari tahu
apa yang akan Hinata lakukan.
Tak berselang lama kemudian,
Hinata dengan sedih pergi dan berjalan menuju ke atap, berbaring telentang
sendirian. Karena jam pelajaran masih berlangsung, jadi tidak ada oramg lain yang
akan datang ke atap.
Sekarang atau tidak sama sekali.
“Bolos pelajaran?”
“…? Ah, Kuraki-san?”
“Tumben banget? Kamu biasanya
selalu begitu serius.”
Hinata yang tidak mengharapkan
ada orang lain yang muncul, menggemaskan dirinya dari tanah segera setelah aku
duduk di sebelahnya. Ia terlihat cukup panik, tetapi Ia masih memimpin dalam
percakapan.
“Ku-Kuraki-san?! Ada apa?
Bukannya sekarang sedang ada pelajaran praktek.”
“Aku tahu, aku juga membolos.
Tenang saja, aku takkan bilang ke siapa-siapa, kok.”
“Ba-Baiklah. Maaf. Apa kamu
sering kesini?”
“Yah begitulah. Tempat ini
terasa nyaman dan tenang selama jam belajar berlangsung, bukan?”
“…Tentunya.”
Aku akan membiarkannya tenang
dulu, lalu kami akan membicarakannya, yang merupakan hal terakhir yang ingin
dia lakukan memberikan situasinya. Ia pasti memendam semuanya di dalam,
perasaan dan frustrasinya, yang bukan hal yang baik untuk dilakukan.
Itu sebabnya kamu harus
meluapkan semua kesedihanmu, dan akhirnya mendapatkan penutupanmu. Jika tidak, kamu
takkan bisa move on. Aku ingin kamu
datang kepadaku, Hinata.
“Kamu kelihatan murung akhir-akhir
ini” aku memulai pembicaraan.
“Hmm?! Tidak, itu tidak benar
sama sekali, kok.”
“Pasti ada kaitannya dengan
Ichinose, bukan?”
“...”
Tubuhnya bergetar ketika
ucapanku tepat sasaran.
“Mengejutkan sekali, bukan? Dia
ternyata punya pacar, maksudku.” lanjutku.
“… Haah, memangnya aku ini
gampang sekali dibaca?”
“Yah, kamu sudah seperti itu
untuk sementara waktu sekarang.”
“Kupikir tidak ada yang peduli,
haha, ha …”
Hinata mencoba membuat senyum
yang tegar, tapi rasanya sangat menyedihkan saat melihat senyumnya bisa hancur kapan
saja. Aku yakin Ia mencoba melawan keinginan untuk membiarkannya keluar, supaya
dia tidak menggangguku, seseorang yang tidak ada hubungannya dengan
permasalahannya. Hinata memang sangat baik, bahkan pada saat seperti ini.
Aku bisa memahami apa yang Ia
rasakan karena aku sudah mengawasinya untuk waktu yang lama, jadi itu sebabnya
...
“Jangan khawatir, luapkan saja
semuanya. Kamu takkan pernah mendapatkan kelegaan jika kamu terus menahan dan
memendamnya.” kata-kata ini berasal dari kedalaman hatiku, dan aku ingin
mematahkan cangkangnya, lalu membuatnya mengerti kalau tidak apa-apa untuk mengandalkanku.
“Kami … kami sudah lama
bersama, jadi kupikir … kupikir kami akan tetap seperti itu selamanya.”
“Mhmm.”
“Jadi, ketika dia tiba-tiba
pergi dan meninggalkan hidupku, aku merasa tersesat. Aku tidak tahu harus
berbuat apa …”
“Mhhmm.”
“Ak-Aku sudah – Hiks– lama sekali bersama-sama
dengannya … hiks … aku berpikir
selamanya … hiks … aku … aku …”
Hinata mulai menangis dan
menangis sambil memelukku. Hatiku hancur melihatnya bercucuran air mata seperti
itu ... tapi ini aadalah akhir. Begitu Hinata berhenti menangis, keberadaan
Ichinose akan meninggalkan hatinya, dan tidak ada yang akan mengganggu dunia
kita lagi. Aku mengelus-ngelus rambutnya saat Ia menunduk ke bawah, air matanya
menetes ke atas lantai.
Aku bertanya-tanya ekspresi macam
apa yang aku buat saat itu. Terlepas dari itu, aku yakin tidak ada gunanya
menunjukkan kepadanya.
◇◇◇◇
“—Terima kasih banyak,
Kuraki-san. Aku merasa seperti terlahir menjadi diriku yang baru.”
"Kamu dipersilakan untuk
berkunjung kapan saja, sesama kapten."
“Kamu dipersilakan untuk berkunjung
kapan saja, sesama tukang bolos.”
“Ahaha, itu benar. Oh, tapi aku
ingin mengucapkan terima kasih dengan benar, jadi, apa ada sesuatu yang kamu
sukai?” ujarnya.
“Apa pun yang aku suka ya, hmm
~?”
“Apa yang kamu ingin aku lakukan
~? Apa saja tidak masalah!”
“Kalau begitu, pertama-tama,
senang bertemu denganmu~!”
“Senang bertemu denganmu juga.
Sejak Suzuka mulai punya pacar, aku praktis menjadi pertapa. Aku menghargainya.”
“Kalau gitu ayo berteman. Sebagai
sesama teman penyendiri. ”
“Ha-ha, itu bagus! Aku sudah
membuat teman yang meyakinkan baru, hmm. Sangat santai untuk bersama seseorang.
"
Ketika pandangan matanya
bertemu dengan mataku bersama kata-katanya, aku merasakan ketenangan yang kuat
dan percaya kepadaku. Sepertinya keberadaanku sudah dengan kuat memasukkan diri
ke dalam hatinya, jadi aku mungkin bisa bertanya kepadanya sekarang.
“Lalu, boleh aku memanggilmu
dengan nama depanmu?” Aku bertanya dengan nada yang secara alami mungkin sambil
berusaha sekuat tenaga untuk tidak merusak citraku, semua untuk menjaga kesan
santai dan dewasa.
“Tentu saja! Hehe, aku berharap
untuk bisa rukun denganmu mulai sekarang!” Ia menunjukkan senyum cerah saat
menjawabnya.
Hinata tersenyum di sebelahku
... ini sama sekali bukan mimpi, ini benar-benar nyata ... tempat di mana aku
berdiri saat ini merupakan tempat yang sudah kuimpikan selama bertahun-tahun.
Dulu aku tidak bisa berada di sampingnya sampai sekarang. Karena seseorang sudah
ada di sana sebelum diriku, Ichinose Suzuka, tapi dia justru meninggalkan
tempat itu untuk berpaling dengan cowok lain.
Jadi sekarang, tempat yang ada
di samping Hinata sudah menjadi milikku.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya