Daijina Mono wa Shitsu Kushite Wakaru Bab 11

Bab 11 — Perasaan Yang Selama Ini Kupendam

 

Hari ini sama seperti hari-hari lainnya.

Seperti biasa, mereka memperlakukanku seolah-olah aku ini semacam tumor. Begitu aku melangkah masuk, semua orang berhenti berbicara sejenak. Terlepas dari itu, aku tidak memedulikannya dan berjalan ke tempat dudukku, yang terledak di baris kedua terakhir di dekat jendela. Ketika aku berjalan di sana, aku melihat Hinata yang duduk tepat di belakangku.

Pandangan matanya terpaku pada Ichinose ketika dia dikelilingi oleh teman-temannya, dan meski tataoan matanya tertuju pada orang lain, tapi pandangan mataku selalu melihatnya. Hanya itu saja yang bisa kulakukan untuk saat ini, karena ruang di sampingnya adalah teman masa kecilnya. Aku duduk dengan sedikit kesepian, sama seperti biasa.

“Selamat pagi,” aku melirik ke belakang untuk melihat pemilik suara. Hinata menatapku.

“... pagi,” karena aku agak cemas, suaraku jadi terdengar sedikit serak.

Hinata selalu seperti ini. Berlawanan dari orang lain, Ia selalu menyapaku yang bahkan dianggap tumor ini; Hari ini bukan pertama kalinya. Ia selalu melakukannya, tetapi kapan pun giliranku untuk berbicara, aku selalu saja menjadi gugup.

Ketika aku terus membenci diriku sendiri atas jawaban singkatku, aku melihat Hinata sedang memandang ke luar dengan ekspresi yang agak puas di wajahnya. Karena tertarik, aku pun melakukan hal yang sama. Hanya dengan melakukan itu, aku merasakan kedekatan dengannya, meski kami tidak berpacaran atau apa pun dari masalah ini. Dan itu membuatku bahagia.

Setelah itu, hari berlanjut seperti biasa. Hinata masih dekat dengan Ichinose seperti biasa, dan aku hanya seorang pengamat. Namun, semuanya berubah setelah sekolah.

“Apa Ichinose-san masih ada di sini?” Seseorang berjalan di dalam kelas.

Aku pikir Ia berasal dari tim bisbol atau semacamnya, dan Ia berasal dari kelas tepat di sebelah kita. Yah, aku tidak tahu terlalu mengenalnya karena aku tidak tertarik, tapi aku pernah mendengar desas-desus kalau Ia mempunyai wajah tampan.

“Ah, Taginuchi-kun. Apa ada perlu sesuatu denganku?” Ichinose menjawab.

“Oh, baguslah, kamu masih di sini. Jika kamu tidak keberatan, aku ingin berbicara sebentar denganmu setelah ini.”

“Sesuatu yang tidak bisa kamu bicarakan di sini?”

“Ya. Jika kamu tidak terganggu dengan itu, bisakah kamu ikut denganku?”

“... Oke, tentu saja,” dia menerima. “Maaf, Hinata. Hari ini sepertinya enggak bisa, kamu bisa pulang duluan.”

“…Tidak … masalah. Kalau begitu, aku pulang duluan.” kata Hinata.

Kemudian Ichinose diajak keluar oleh seorang anak laki-laki dari kelas sebelah, dan begitu mereka melangkah keluar, semua orang mulai membuat keributan. Mereka menyebut mereka pasangan ideal, pasangan terbaik di sekolah, dan bahkan mengatakan kalau Hinata hanyalah seorang teman masa kecil, tidak lebih dari itu. Begitulah dan sebagainya.

Sementara semua orang sibuk bergosip, aku baru saja menyaksikan Hinata tanpa sadar. Ia diam-diam menyelinap keluar dari lingkaran orang yang bising, dan melangkah keluar untuk pergi.

Melihat melalui jendela, aku melihatnya berjalan terhuyung-huyung di jalan. Pasti sangat mengejutkan ketika matanya tidak fokus, tidak stabil dan pusing, Ia bahkan hampir tidak bisa berjalan lurus.

Ketika teman sekelas kami masih meributkan Ichinose yang dipanggil, tidak diragukan lagi untuk pengakuan. Aku dapat mengatakan hanya dengan melihat sekilas kalau cowok tadi tertarik padanya, dan yah, Ichinose sendiri sangat populer, dan dia bahkan menerima banyak pengakuan perasaan di masa lalu.

Namun, bagi Hinata, satu-satunya hal yang berbeda dari kejadian masa lalu adalah ekspresi Ichinose. Berbeda dengan yang dulu, dia tidak membuat wajah yang kesal. Sebaliknya, ekspresinya memancarkan kebahagiaan. Aku pikir alasan mengapa dia selalu menolah pengakuan orang lain karena Hinata, tetapi itu mungkin salah.

Sembari mengesampingkan pemikiran itu, aku buru -buru mengemas tasku dan meninggalkan ruang kelas. Ini akan menjadi bencana jika ada sesuatu yang terjadi saat Hinata dalam kondisi itu. Maksudku, ada beberapa bahaya dalam perjalanan ke rumahnya, jadi aku harus memastikan kalau Hinata bisa sampai ke rumahnya dengan aman.

Aku tidak tahan melihat tingkah lakunya yang sedih saat Ia terus berjalan dengan wajah tertunduk lesu. Hatiku terasa sakit saat melihat keadaannya yang begitu.

Ia pasti sangat terluka…

Aku ingin menghiburnya dengan benar ini ...

Kekhawatiran mengganggu pikiranku, dan hanya memikirkan sebepara menderitanya Hinata membuatku ikut merasa menderita juga.

Namun, terlepas dari itu semua, kupikir aku tersenyum ... Aku memang gadis terburuk karena melakukan itu.

Hari itu, aku menyaksikan Hinata dengan aman melangkah ke dalam rumahnya, dan kemudian pulang ke rumahku. Ketika aku berjalan, ada banyak pikiran muncul di pikiranku. Yang bisa kulakukan untuk saat ini adalah aku akan memiliki jawaban sampai besok.

 

◇◇◇◇

 

 

Keesokan harinya, Hinata tiba di sekolah sendirian, diam-diam duduk, dan segera menatap ke luar jendela.

“Tumben sekali kamu sendirian hari ini.” kataku.

“... mulai sekarang, kurasa.” dIa menatapku sejenak, lalu mengalihkan perhatiannya ke luar. Aku mengikuti tatapannya dan melihat Ichinose yang tersenyum gembira sambil berjalan bergandengan tangan dengan seorang pria saat mereka dikelilingi oleh orang lain.

Hinata memandang Ichinose saat dia berjalan dengan gembira, dan aku menatapnya.

Sejak hari itu, suasana sekolah dipenuhi keriuhan dengan pembicaraan tentang Ichinose yang jadian dengan cowok kemarin. Tampaknya mereka tidak menyembunyikan fakta bahwa mereka berpacaran, dan sebaliknya mereka justru mengumumkannya ke publik. Sekarang, mereka diakui oleh seluruh sekolah sebagai “pasangan terbaik.”

Semua orang memperhatikan Ichinose dan pacar barunya, sementara tidak ada yang bahkan menatap Hinata, yang jelas-jelas kehilangan energinya sejak kemarin. Selain itu, tidak ada yang tahu perilaku tumor kelas: diriku.

Sejak Ichinose mulai berpacaran, hubungannya dengan Hinata mulai mengambil perubahan drastis. Dia kebanyakan pergi menemui pacarnya yang ada di kelas sebelah, dan jarang tinggal di sini bersama siapa pun.

Pernah sekali, Hinata mencoba untuk mengajaknya untuk makan siang bersama, tapi dia benar-benar menolaknya. Ichinose menjauhkan dirinya sendiri sementara aku sudah hampir mencapai batas kesabaranku.

Demi kepentingan Hinata, aku tidak bisa menekan perasaan yang selama ini sudah kupendam.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama