Chapter 13 — 1 Januari (Jumat) Asamura Yuuta
Dengan demikian, tahun baru
akhirnya tiba— terlepas dari keinginanku,
waktu bangunku di tahun baru tidaklah damai maupun santai. Setelah kembali dari
kunjungan kuil kami tadi malam, aku mandi untuk menghangatkan kulitku yang kedinginan
dan meringkuk jauh ke dalam futonku, dan aku bahkan tidak ingat kapan aku
tertidur. Aku memang memiliki tidur yang nyenyak, tetapi hal pertama yang
menyambutku setelah bangun adalah rasa nyeri yang parah di seluruh tubuhku.
Terutama bagian betisku yang berteriak kesakitan.
Jika seseorang berjalan
menyusuri jalan gunung pada waktu larut malam dengan pijakan kaki yang selalu
saja hampir tersandung selama dua kilometer penuh, siapa pun akan berakhir salam
suruasi seperti ini. Tidak ada pengecualian. Nyatanya, aku berakhir seperti ini,
jadi mari kita terima saja penderitaan ini sebagai hasil yang diharapkan.
“Yuu-chan, sarapan sudah siap!”
Pintu geser terayun terbuka,
dan Takumi menyerbu masuk ke dalam ruangan. Ia sudah dipenuhi dengan energi
bahkan di pagi hari ini. Anak kecil periang dan penuh tenaga memang begitu.
Takumi kemudian meloncat dan membanting tubuhnya ke arahku.
“Sarapan!”
“Gah! Dingin sekali!”
“Jika kamu tidak makan,
sarapannya akan hilang loh!”
“Aku mengerti, aku mengerti!
Beri tahu yang lain kalau aku akan segera ada di sana.”
“Okeeee!”
Ia melarikan diri tanpa menutup
pintu geser. Dasar bocah polos. Aku senang dia melompat ke kasurku dan bukan Ayase-san.
Oh iya, Ayase-san sendiri ada di mana? Aku menyadari bahwa cuma aku satu-satunya
yang tersisa di ruangan itu. Semua futon lainnya telah ditumpuk dengan rapi di sudut
ruangan. Bukannya kemarin Ayase-san benar-benar lelah? Dia benar -benar akan
melakukan segalanya demi tidak menunjukkan wajahnya setelah bangun, ya? Aku
selesai berganti dan menuju ke ruang perjamuan.
“Selamat pagi,” salamku dan
melihat sekeliling ruangan.
Ini masih ruangan yang sama
ketika kami mengadakan pesta tadi malam, tapi sekarang meja rendah ditumpuk
tinggi dengan sarapan. Kursi terjauh dari pintu masuk adalah tempat kakekku
duduk, dan yang paling terdekat adalah Takumi dan Mika. Ayahku duduk di antara
mereka. Adapun kursi yang masiih kosong ... ada satu di sebelah ayahku dan di
seberangnya, tapi Akiko-san mungkin akan duduk di sebelahnya, jadi aku memilih
untuk duduk di seberangnya ... tapi kemudian aku menyadari mengapa Akiko- san
dan sisanya masih belum ada, jadi aku mengangkat pinggul yang baru saja kuturunkan.
P waktu yang sama, nenekku
kembali memasuki ruangan. Di belakangnya ada pasukan wanita, membawa fokus
utama sarapan kami hari ini - Zouni, hidangan
yang pada dasarnya adalah sup yang berisi kue beras dan sayuran, di atas nampan
dan ke arah meja. Mereka mungkin menyiapkan yang terakhir ini, karena membiarkannya
berdiri terlalu lama akan merusak makanan.
“Kamu bisa duduk. Kamu hanya
akan menghalangi jika kamu berdiri.”
Atau begitulah kata nenekku— dan
Ayase-san meletakkan semangkuk Zouni di depan aku.
“Nenek benar, Nii-san. Silahkan
duduk lagi saja.”
“Ah, oke.”
Tatapannya membuatku tutup
mulut dan aku dengan patuh duduk di atas bantal lantai. Kurasa aku terlalu
ketiduran terlalu lama, ya? Aku harus berhati-hati besok.
“Jika ada yang membutuhkan
lebih banyak, kita selalu bisa menyiapkannya, dan jika ada yang ingin makan
beberapa saat dipanggang, kalian tinggal bilang saja.”
Semua orang menanggapi
perkataan nenek dan sarapan dimulai. Bentuk kue beras untuk zouni bervariasi tergantung dari mana
mereka berasal. Di Jepang, apalagi di keluarga utama Asamura, kami membuatnya tetap
sederhana dan mudah. Aku mendekatkan mangkuk ke dalam mulutku, menggunakan
sumpitku untuk menyimpan kue nasi dan jamur shiitake untuk menikmati sup. Aroma
peterseli Jepang menggelitik lidahku. Cairan supnya seakan memenuhi tubuhku dan
menghangatkanku dari dalam. Rasanya seperti aku menghapus kelelahan dari
perjalanan kuil kami tadi malam.
Selama waktu sarapan, ada satu
hal yang membuatku penasaran. Kelihatannya sumpit Ayase-san tidak banyak
bergerak. Ketika kami semua mulai makan, dia tidak tampak terlalu berbeda, tapi
sekarang setelah aku perhatikan baik-baik, tatapannya selalu tertuju ke bawah,
dan sesekali menghela nafas. Setelah kami selesai sarapan dan membersihkan
semuanya, aku memutuskan untuk memanggilnya ketika dia duduk di teras.
“Boleh aku duduk di sebelahmu?”
“Tentu.”
Sekarang setelah memiliki izin,
aku duduk di sebelah Ayase-san. Kakiku berbalik ke arah taman, jadi aku
mengguncangnya sedikit ke atas dan ke bawah. Setelah itu, aku dengan hati-hati
membangun percakapan. Aku mengatakan bahwa dia tampak sedikit murung saat
sarapan. Mungkin itu hanya imajinasiku saja. Tapi walau begitu, aku ingin tahu
bagaimana perasaannya. Aku ingin tahu apakah dia baik-baik saja. Lagi pula, di
sini bukan hanya ada Akiko-san saja. Dia pasti merasa sedikit terasing.
“Tidak sama sekali, kok.” katanya.
Aku mengharapkan tanggapan
semacam itu. Tapi aku terus menatapnya. Dia menyipitkan matanya.
“Aku hanya berpikir kalau awal
tahun baruku tidak berjalan dengan baik.”
“Hah? Apa kamu masih kepikiran tentang
jimat keberuntungan?”
Dia mengangguk. Sejujurnya aku
terkejut. Aku selalu melihat Ayase-san sebagai tipe orang yang tidak terguncang
oleh kisah metafisika semacam itu.
“Bukannya berarti aku memiliki
keyakinan mutlak terhadap itu. Mana mungkin secarik kertas bisa mempunyai
kekuatan untuk mengubah hidupku.”
“Jadi, kamu merasa terganggu
sampai-sampai kamu harus bertindak kuat tentang hal itu.”
“Ah,” Ayase-san mengangkat
suara yang membingungkan. “Ya, bisa dibilang begitu ...”
“Yah, aku bisa memahami bagaimana
itu bisa membuatmu murung. Ini adalah bagian dari alasan keberuntungan masih
merupakan sesuatu.”
“Kurasa … bukan hanya itu saja.
Katakanlah, Asa— Nii-san. ”
“Ya?”
“Pernahkah kamu memikirkan
sesuatu yang pasti takkan terjadi walaupun kamu diberi banyak berkah?”
“Sesuatu yang pasti takkan
terjadi?”
“Misalnya, seandainya kamu bangun
dan mengetahui bahwa kamu telah berubah menjadi seorang wanita."
“Itu ide yang menarik, tapi ...
kurasa aku takkan menjalani hidupku secara berbeda."
“Benar, ‘kan? Tapi lihatlah
dari sisi berlawanan dari koin yang sama. Bagaimana jika kamu merasa kalau itu
benar-benar bisa menjadi kenyataan? ”
Pada dasarnya, yang ingin dia
katakana ialah, mempertimbangkan hubungan kita, “Keberuntungan sangat buruk” ini bisa saja terjadi. Sejujurnya,
mudah untuk hanya mengejek kekhawatirannya dan menghiburnya. Aku bisa
mengatakan itu hanya jimat keberuntungan acak, dan mengikatnya pada tali pada
dasarnya membatalkannya, dan yang lainnya. Tapi apa yang akan terjadi jika aku
acuh tak acuh mengenai hal itu? Jimat keberuntungan kuil bukanlah yang jadi
perkaranya. Itu hanya sarana untuk menunjukkan keberkahan yang kamu dapatkan.
Hal yang membuatmu memutuskan untuk percaya pada peramalan yang samar-samar
itu, hal yang menyebabkan kamu melihat sesuatu yang tidak benar-benar ada di
sana— semua itu berada di dalam hatimu sendiri. Jadi aku mulai berpikir.
“Mau jalan–jalan sebentar?” Aku
melanjutkan ketika Ayase-san mengangkat kepalanya. “Ada tempat yang ingin
kuperlihatkan padamu di sekitar sini.”
“Rekomendasi dari Asamura-kun
... Aku ingin melihatnya.”
Setelah kami berdua mengenakan
mantel, kami kemudian meninggalkan rumah.
Kami berjalan tidak terlalu
jauh. Beberapa salju sudah banyak yang menumpuk, teapi sudah dipadatkan ke
tanah oleh orang lain, dan jalan setapaknya datar. Tapi aku masih tidak ingin
dia merasa lelah, jadi aku mengatakan kepadanya untuk memberitahuku kapan dia
tidak bisa berjalan lagi. Tetapi ketika aku melihat wajahnya, dia sepertinya
baik -baik saja. Kami berjalan sedikit di atas bukit yang diiringi semak-semak
di kanan kirinya. Karena ini merupakan jalan biasa, kami memiliki cukup ruang
untuk berjalan di samping. Setelah kami mencapai tempat dengan tebing di
sebelah kiri, kami berbelok ke kanan. Setelah melewati semak -semak, pemandangan
di depan kami adalah—
“Whoa ... ada danau.” Ayase-san
tampak terkesiap.
Setelah mmelewati semak belukar,
ada pemandangan danau yang indah .
“Ayo berjalan sedikit lebih
dekat lagi. Tepat di sini.”
Kami menuruni beberapa anak
tangga yang sudah dibersihkan dari tumpukan salju. Lebih jauh ke bawah terdapat
sebuah gubuk kecil. Aku tidak tahu apa gunanya sekarang, atau pernah, tapi gubuk
tersebut sudah ada sejak aku masih kecil. Setelah mendekati tepian danau, kami
mencapai tepi semak. Di balik sana terdapat salju yang tidak tersentuh, dan
kira-kira sepuluh langkah lagi akan membawa kita ke permukaan air.
“Kita tidak bisa melangkah
lebih jauh dari ini atau kita mungkin bakalan terpeleset.”
“Ya ... tapi wow. Permukaan
danau yang membeku terlihat seperti cermin.”
Langit biru di atas kami tampak
seperti telah disalin dan ditempelkan ke permukaan tanah, dikelilingi oleh awan
putih bersalju. Tidak ada angin sepoi-sepoi yang berhembus, jadi danau yang membeku
itu terlihat halus dan kokoh.
“Cukup indah, bukan?”
“Ya…”
“Aku suka datang ke sini selama
musim dingin. Kupikir aku cuma mempir ke sini dua kali selama musim panas, dan
begitu ketika musim gugur tiba, semua dedaunan tampak merah kecoklatan di
mana-mana. Tapi jujur saja, aku tidak pernah bosan dengan pemandangan ini.
Tergantung pada musimnya, pemandangan yang terpantul di atas danau bisa
berubah.”
“Seperti daun yang berubah kemerahan?”
“Ya, kalau di musim gugur. Saat
musim panas, ada awan cumulonimbus, dan awan cirrocumulus ketika berubah
menjadi musim gugur. Di malam hari, kamu bisa melihat cahaya rembulan dan
bintang yang berkelap-kelip. Ketika cuacanya berangin, danau itu menciptakan
gelombang yang mendistorsi pemandangan seolah-olah kamu melihatnya melalui kaca
berwarna.”
“Begitu rupanya. Ini luar
biasa. Kamu menemukan tempat yang indah. Apa daerah ini tempat yang terkenal?”
“Tidak juga. Lagipula, danau
ini bukan objek wisata atau semeacamnya.”
“Jadi kamu menemukannya
sendiri.”
“Itu benar-benar suatu
kebetulan. Ketika aku masih kecil, hampir tidak ada apa pun yang menarik di
sini. Sebagai seorang anak kecil, kamu pasti akan segera bosan. Bermain bersama
Kousuke-san sendiri tidak ada masalah, tapi dia tidak bisa bersamaku 24 jam
penuh— ”
Yap, itu hanya sebuah kebetulan.
Ketika orang dewasa lain berkumpul, aku tidak ingin melihat ibuku dan tidak
peduli dengan yang lain, jadi aku hanya berjalan sembarangan menyusuri jalan
dan menemukan tempat ini. Ibu kandungku selalu memasng senyum palsu setiap kali
dia berinteraksi dengan kerabat kita, tetapi aku bisa melihatnya dengan jelas.
Dia jauh berbeda dari ibu yang kukenal di rumah. Terutama suaranya dan
ekspresinya.
“Yah, berkat itu aku bisa
menemukan tempat yang bagus seperti ini, di mana aku bisa bersantai dan menjauh
dari semua masalah. Pada akhirnya tidak semuanya terlihat buruk. Semua ini cuma
tentang mengubah kemalangan menjadi keberuntungan, kau tahu.”
“Asamura-kun ...”
“Jadi, tentang keberuntungan
buruk yang kamu dapatkan itu—”
Aku tidak tahu apakah kalimat
ini bisa sedikit menghiburnya. Tapi aku harus mengatakannya.
“Apa kamu bersenang-senang
sekarang, Ayase-san?”
“Sekarang …? Kamu tidak
membicarakan tentang hari ini atau kemarin? ”
“Aku hanya ... bertanya secara
umum, kurasa?”
Ayase-san mulai berpikir
seperti sedang menyelam dalam hatinya sendiri, dan merespons setelah istirahat
sejenak.
“Ya. Kurasa … aku cukup
bersenang–senang.”
“Aku pun merasakan hal yang
sama.”
Dia tersentak dan menatapku
dengan wajah terkejut.
“Dan coba pikirkan. 'Keberuntungan buruk' yang kamu dapatkan
tadi malam merupakan refleksi dari situasi saat ini. Berarti waktu yang
menyenangkan ini bisa dianggap sebagai hasil terburuk, bukan?”
“Hah? Um… mungkin? ”
“Setidaknya itulah cara
kerjanya di atas kertas. Jadi, pokoknya, jika pemandangan ini saja termasuk ‘hal terburuk’ yang kamu dapatkan, maka
kamu tidak perlu khawatir. Lagi pula, keberuntunganmy takkan menjadi lebih
buruk. Justru sebaliknya, itu akan menjadi lebih baik mulai sekarang.”
“Ummm ...” Ayase-san menatapku
dengan tak percaya, seakan-akan dia sedang berusaha menelaah kata-kataku.
Tidak mengherankan dia bereaksi
begitu. Aku setengah sadar kalau omonganku hanya karangan semata. Tapi kemudian
dia menatapku dan— tertawa terbahak
-bahak.
“Pfft ... ha ... hahaha,
bukannya itu terlalu bertele-tele?”
“Maksudku, aku pikir itu adalah
penjelasan yang sangat logis?”
“Ah ... haha ... aku
tidak menyangka kamu akan menggunakan kata 'logis'
untuk itu.”
“Tapi jika kamu memikirkannya dengan
cara seperti itu, semua kekhawatiramu mendadak jadi hal yang konyol, bukan?
Pada dasarnya, tergantung pada proses pemikiranmu, kamu bahkan bisa mengubah ‘keberuntungan buruk’ menjadi sesuatu
yang positif.”
“Kurasa begitu….. Ha ha.”
Ayase-san menggosok ujung matanya.
Maksudku, aku tidak berpikir
kalau ucapanku begitu lucu sampai-sampai bisa membuatnya tertawa seraya
mengeluarkan air mata.
“Ya terima kasih. Intinya kamu
mengkhawatirkanku, iya ‘kan?”
“Yah, ya ... aku selalu
khawatir tentang orang yang kucintai.”
Orang yang aku cintai, ya?
“Asamura-kun ...”
“Secara pribadi, aku tidak
ingin melihatmu memaksa diri untuk tersenyum ketika kita ada di sini.”
Sama seperti orang itu.
“Ya. Aku senang bisa datang ke
sini. Aku jadi bisa melihatmu berinteraksi dengan sepupumu yang lebih muda,
Takumi-kun dan Mika-chan. ”
“Aku?”
“Ya. Itu membuatku menyadari
kalau kamu sungguh kakak yang baik. Sementara itu, aku tidak bisa melakukan apa
pun. Aku tidak bisa berinteraksi dengan mereka sepertimu. Aku tidak ingat bagaimana
orang tua atau kerabatku memperlakukanku ketika aku seusia mereka.”
Kali ini, akulah yang kebingungan.
Begitu ya. Dia tidak sering berurusan dengan kerabatnya. Dia membuat itu jelas
ketika dia pertama kali membawa Naraka-san ke rumahku.
‘Sungguh
keluarga yang sangat bahagia. Semua orang terlihat dekat dan ramah.’
Itulah yang dikatakan
Ayase-san. Bagian 'semua orang' dari
pernyataan itu jauh lebih penting daripada yang aku pikir pada awalnya. Aku
memiliki Kousuke-san, Takumi dan Mika. Aku selalu dikelilingi oleh kerabat yang
ramah. Namun, Ayase-san tidak mempunyai siapa-siapa selain Akiko-san.
“Aku tidak tahu bagaimana
bertindak atau berinteraksi dengan anak-anak. Aku tidak pernah memiliki
pengalaman seperti itu. Jadi aku sedikit takut.”
“Lalu ...” aku berbicara. “Kamu
tidak perlu terburu -buru. Melakukannya sedikit demi sedikit sama pentingnya.”
“Sedikit demi sedikit…”
“Aku tidak melihat alasan buat
apa kamu terburu-buru. Bahkan jika kamu tidak sempurna sekarang, walaupun kamu
mencemaskan apakah kita bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang terhormat atau tidak.
Mari kita tumbuh bersama?”
“Tumbuh …. bersama…"
“Ya.” Aku mengangguk dan
Ayase-san menyatukan tangannya di depan dadanya, mengangguk kembali.
Dia dengan lembut membelai
gelang yang bersinar di pergelangan tangannya.
“Itu gelang yang indah.”
“Ya ... luar biasa, bukan?”
tuturnya dan dengan lembut membelai gelangnya.
Setelah itu, aku dan Ayase-san
jhanya mengamati permukaan danau dalam keheningan. Saat angin sepoi-sepoi
melewati kami, kami berdua kembali ke kediaman.
◇◇◇◇
Pada malam itu, setelah kami
selesai makan malam, aku dan Ayase-san sekali lagi bermain game dengan Takumi
dan Mika, yang merupakan permainan balap di mana kamu mencoba untuk menghalangi
pemain lain menggunakan barang. Ayase-san tampaknya melakukan jauh lebih baik
dengan permainan ini, dan dia bahkan mengalahkanku beberapa kali. Namun, Takumi
dan Mika bahkan lebih jago darinya, mereka selalu berada di puncak peringkat. Aku
pikir tidak akan menyenangkan menggunakan terlalu banyak barang melawan Mika,
jadi aku meninggalkan Takumi untuk bertarung dengannya sementara aku lebih
sering melawan Ayase-san. Jika itu aku, dia pasti punya kesempatan.
Sama seperti itulah, waktu punterus
berlanjut dan kami bermain selama hampir dua jam, dan mereka berdua akhirnya
tertidur. Anak-anak memiliki apa yang kamu yakini sebagai cadangan energi tanpa
akhir, yang mereka gunakan sekaligus dan kemudian tertidur di tempat jika
mereka kehabisannya. Mereka memang makhluk begitu.
“Ya ampun, mereka setidaknya
harus pergi ke tempat tidur mereka jika mereka ingin tidur.” Bibi Kanae
menghela nafas.
“Aku dan Yuuta akan
membawanya.”
Kousuke-san meraih Takumi, dan
aku menggendong Mika. Ayase-san sepertinya ingin membantu, tetapi aku
mengatakan bahwa dia setidaknya harus membiarkanku menangani semua tugas fisik
semacam ini, jadi dia dengan enggan melangkah mundur.
“Kalau begitu, aku akan kembali
ke kamarku,” katanya dan menuju ke kamar, kami berempat menginap selama satu
malam lagi.
Setelah melihatnya pergi,
Kousuke-san tersenyum.
“Dia gadis yang baik.”
“Ya. Seorang adik yang bisa kubanggakan.”
Aku mengatakan itu tanpa terlalu memikirkannya.
Kami meletakkan kedua anak kecil
itu ke tempat tidur mereka, dan Kousuke-san kembali ke ruang perjamuan. Aku
menuju ke dapur karena merasa sedikit lapar. Masih ada makanan di ruang
perjamuan, tapi pergi ke sana hanya akan membuatku terseret ke dalam percakapan
mereka. Dalam perjalanan menuju dapur, aku mendengar kakek nenek dan ayahku
berbicara.
“Bagaimana dengan kabar dia?”
Kakekku berbicara dengan nada
sedikit khawatir, mengungkit nama ibuku. Aku terkejut dan berhenti melangkah.
Mengapa beliau bertanya sekarang, ketika semuanya berjalan baik dengan
Akiko-san? Ibu kandungku pandai menjaga penampilan. Dari luar, dia selalu
tersenyum dan tertawa bersama kakek. Itu sebabnya kedua kakek nenekku terkejut
saat mendengar perceraian. Ayahku mengatakan bahwa dirinya yang salah atas
segala sesuatu yang telah terjadi, tapi aku tidak sependapat dengannya. Lagi
pula, dia menikah dengan selingkuhannya hanya setengah tahun setelah perceraian
mereka. Dan sejak itu, kami belum mendengar kabar apapun darinya.
Ayahku mengatakan bahwa
meskipun dirinya setuju untuk menikah lagi, Ia memberitahu kalau hubungannya
masih belum sepenuhnya aman. Dari penampilan luar, Akiko-san tampak jauh lebih
menyenangkan daripada ibu kandungku, tapi kami mengetahui bahwa ini bukan
segalanya. Secara logis, itu masuk akal. Ketika ayahku memperkenalkan Akio-san
sebagai pasangan pernikahannya, aku merasa cemas kalau dia mungkin menipu
ayahku juga. Ibu kandungku tampak jauh lebih jinak karena tidak menunjukkan
perilaku negative di permukaan, namun dia membawa berita mengejutkan secara
mendadak. Akiko-san pasti memiliki penampilan yang lebih mencolok dan bekerja
di malam hari di kota besar, jadi tidak mengherankan kalau Kakek, yang tidak
memiliki pengalaman hidup di Tokyo, untuk berpikir bahwa dia tidak tampak
sebagus pasangannya dengan istri sebelumnya .
Nenek mencoba menenangkan
kakek, tetapi beliau terus-menerus menekan ayahku . Ditambah lagi, dia
mengatakan bahwa putri Akiko-san, Saki, memiliki penampilan mencolok sama seperti
ibunya dan tampak agak judes dan blak-blakan. Itu sebabnya beliau tampak
khawatir. Namun, itu bukanlah sesuatu yang bisa ayahku abaikan.
“Tidak masalah. Mereka berdua
adalah orang-orang baik, jadi ayah tidak perlu mengkhawatirkannya.” Katanya
tanpa ragu sedikitpun.
Kakekku sedikit terkejut, tapi
beliau tidak mau mengalah.
“meski kamu bilang begitu, tapi
bagaimana dengan Yuuta? Ia sudah SMA, tapi Ia tiba-tiba mendapatkan seorang ibu
dan adik baru. Bukannya itu terlalu banyak baginya untuk ditangani?”
“Itu—”
“Apa kamu benar-benar mampu mengatakan
itu, Taichi?”
“...”
Ayahku tak bisa berkata
apa-apa. Ia mungkin tidak ingin berbicara mewakili putranya sendiri. Aku pikir
inilah kepedulian tulus dan keseriusannya yang mana tidak membuatnya cocok
dengan ibu kandungku, dan itulah yang membawanya dan Akiko-san bersama.
Setidaknya itulah yang kupikirkan. Aku ingat tanggapannya yang langsung kepada
kakek sekarang, dan berbicara melalui pintu geser. Argumen di dalam aula
berhenti. Aku menyebut namaku dan melangkah di depan kakek.
"Aku sama sekali tidak
keberatan mengenai pernikahan kembali
Ayah dengan Akiko-san.” Ujarku dengan tegas.
“Yuuta ...”
“Dan hal yang sama juga berlaku
untuk Saki.”
Aku tidak mampu memanggilnya "Ayase-san" sekarang. Aku
perlu menempatkannya di atas panggung sebagai seorang individu— dan mengakui kalau aku menerimanya ke dalam
keluargaku.
“Dia bukan tipe orang yang
seperti kakek lihat. Dia mungkin mengalami kesulitan berinteraksi dengan
orang-orang, tetapi aku pun sama. Saki adalah gadis yang baik, tulus, dan orang
yang benar-benar pekerja keras.”
“Yuuta ...” Ayahku menatapku
dengan tatapan mata basah.
Dan sekarang, nenekku ikut
menimpali.
“Gintarou-san, bukannya kamu
ingat dengan apa yang dikatakan Takumi? Dia mengajar Saki-san cara memainkan
game karena dia tidak mahir dalam hal itu, tapi dia sangat sungguh-sungguh
tentang mendengarkan nasihatnya. ”
Aku menjaga wajah lurus di luar
tetapi tidak bisa menghentikan diri dari mengerang secara mental.
“Itu berarti dia melakukan yang
terbaik dengan bantuan orang lain, ‘kan?”
“Ya-Yah.”
"Ditambah lagi, kamu juga
bukan yang paling ramah ketika berkaitan dengan Saki-san, ingat?”
“Ya, tapi dengan rambutnya yang
diwarnai seperti itu—”
“Penampilan begitu cukup normal
di zaman sekarang. Apa kamu sudah lupa kalau dulu Kanae pernah mewarnai
rambutnya juga?”
Menerima serangan tindak lanjut
ini dari nenek, kakek tidak bisa membantah sama sekali. Dia mungkin menyadari
tidak ada kemenangan dalam argumen ini. Sementara itu, nenek menatapku saat dia
dengan lembut menyipitkan matanya. Entah bagaimana, aku merasa gelisah.
“Ya, begitu ... yah, jika kamu
bersikeras tentang hal itu. Tapi untuk berpikir Yuuta kita yang patuh akan
sejauh ini ...”
“Sudah cukup dengan ini,
Gintarou-san?”
“Ya, aku takkan mengatakan apa-apa
lagi untuk saat ini. Yuuta, ulang tahunmu sudah lewat, ‘kan? Berapa usiamu?”
“Usiaku sudah menginjak 17
tahun sekarang.”
“Begitu ya. Kalau begitu kamu
akan menjadi orang dewasa tahun depan ... dan kamu bisa meminang istri.”
“Seorang istri ... itu masih
terlalu dini untukku.”
“Yah, tapi Kousuke mendadak
membawanya entah dari mana.”
Karena aku tidak bisa
mengomentari itu, nenek datang untuk menyelamatkan.
“Ya, ya, tentu saja. Tapi,
kurasa sudah cukup, Gintarou-san.”
“Ya. Taichi, mari kita minum
lagi.”
“Erm ... aku tidak bisa minum-minum
sebanyak itu, aku harus pulang besok, ingat?”
Sementara keduanya kembali ke
ruang perjamuan, aku memilih untuk kembali ke kamarku sendiri. Aku berbaring di
futonku dan mengenang kejadian itu sekarang. Seandainya ... jika seandainya keluarga
kami mengetahui tentang hubunganku dengan Ayase-san ... maka bahkan jika mereka
takkan menerima kami di sini lagi, aku hanya harus tetap tegas seperti yang
dilakukan ayahku.
Mari kita sama-sama melakukan
yang terbaik - Saki.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya