Prolog — Supaya Kamu Takkan Kesepian
Alunan merdu alat musik petik
mengubah cerita menjadi syair puisi.
Penyair itu menceritakan kisah
cinta antara seorang ksatria dan seorang putri dengan status yang berbeda.
“──Begitulah cara mereka berdua
mengatasi semua rintangan dan mengikrarkan cinta abadi mereka.”
Berlokasi di Kota Renzas, Kerajaan
Suci Augustia. Di dalam kedai [Jamuan
Sunyi] yang terletak di gang belakang.
Sejak awal kedai ini bukanlah
tempat yang sangat bising, tapi hari ini cukup sunyi ketika penyair berkunjung.
Semua orang menikmati cerita
yang dia ceritakan, mendengarkannya dengan seksama sembari menikmati minuman
mereka. Tempat ini merupakan permata tersembunyi di kota Renzas, salah satu
tempat yang sangat kusukai karena aku telah melakukan perjalanan ke seluruh
dunia.
Si Penyair menyapa kerumunan
pengunjung, dan tepuk tangan yang meriah memenuhi kedai.
Penyair yang berkunjung pada
hari itu rupanya terkenal di banyak tempat, dan tentunya kami tidak merasa
bosan mendengarnya.
“Memang ya, kisah percintaan
selalu membuatku menangis...”
Meski begitu, satu-satunya
orang yang sampai menitikkan air mata hanyalah
wanita yang duduk di hadapanku ini.
Cerys Flores. Seorang pendosa yang hampir menghancurkan dunia. Si Penyihir Malapetaka.
“Yah, kisah itu memang cocok
untuk pendamping minuman.”
“Apa cuma itu satu-satunya
kesanmu setelah mendengar cerita itu? Kamu tuh meemang pria yang tak
berperasaan, ya.”
“Tak kusangka akan tiba hari
dimana seorang penyihir berbicara tentang kasih sayang dan perasaan.”
Sedangkan di sisi lain, aku
adalah sosok yang dipilih oleh Gereja Augustia, seorang pahlawan dengan misi
melenyapkan si penyihir.
Tak seorang pun di dunia ini
akan membayangkan bahwa dua orang seperti itu akan bersama di sebuah bar di
pinggiran kota.
“Hmmph, karena kamu sudah menginjak-injak keinginanku, sudah pasti kamu
tidak mempunyai hati manusia, ‘kan?”
“Sebagai pahlawan, aku hanya
memilih jalan yang kuyakini benar.”
Pada kenyataannya, aku dan si
penyihir berusaha saling membunuh berkali-kali.
Namun setelah pertarungan tak
terhitung jumlahnya, aku berhasil menang dan memilih untuk tidak membunuh si penyihir.
Itu sebabnya aku—— Grey Handlet,
sedang bekerja sama dengan si penyihir.
“...Kamu itu memang bodoh, ya? Jika
kamu membunuhku, kamu tidak perlu melarikan diri dan terus bersembunyi seperti
ini. Kamu bisa meraih gelar kehormatan yang mulia dan berjalan dengan bangga di
bawah sinar matahari.”
“Tanpa diberitahu juga aku
sudah tahu, tapi aku lebih baik darimu.”
Aku tahu bahwa jalan yang
kulalui ini merupakan jalan yang penuh duri dan akan membuat seluruh dunia
melawanku.
Meski begitu, aku tidak
menyesali memilih jalan ini.
“…Walaupun aku tidak bisa
menjadi pahlawan ideal yang diinginkan semua orang, tapi setidaknya aku ingin
menjadi pahlawan yang aku yakini.”
“Haaaaa… lagi-lagi dengan
logikamu yang tidak masuk akal itu. Aku sudah bosan mendengarnya.”
Si Penyihir mengangkat bahunya sembari
menghela napas. Karena wajahnya disembunyikan oleh tudungnya di bar yang
remang-remang, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi aku yakin dia
memiliki ekspresi tercengang di wajahnya.
Sama halnya seperti penyihir,
aku sekarang memakai tudung lebar untuk menyembunyikan wajahku.
Di sini adalah tempat di mana
asalkan kamu bisa membayar, mereka takkan mengusikmu walaupun kamu
berpenampilan mencurigakan.
Selain kami, ada satu atau dua
orang yang berpenampilan sama seperti kami, dan diam-diam menikmati minuman mereka.
“Haa, rasanya jadi sedikit lelah
...”
Yah, bahkan orang-orang semacam
mereka pasti akan terkejut setengah mati dan pingsan jika mereka tahu identitas
sebenarnya dari wanita di hadapanku ini, tapi …. Kamu pasti takkan menyangka
bahwa wanita yang menangis seperti anak kecil ketika mendengarkan syair puisi
merupakan sang penyihir malapetaka.
“Apa kamu lelah menangis?”
“Ak-Aku tidak menangis, kok!”
Tidak, mana mungkin dia tidak
menangis saat mendengar isakannya yang bisa terdengar jelas.
......Atau itulah yang kupikirkan,
tapi dia pasti akan tteap menyangkalnya, jadi aku akan berhenti mengungkitnya.
“Apa kamu menyukainya? Hal yang
semacam itu.”
Aku bertanya kepada si penyihir
sambil melihat si penyair yang bersiap-siap untuk pergi.
“Cuma sebatas ceritanya saja...
karena pasti tidak ada yang menyalahkanku meski aku seperti ini.”
Aku tak bisa berkata-kata saat
mendengar jawabannya.
Kalau dipikir-pikir lagi,
selama waktu luangnya, si penyihir hanya membaca buku-buku yang dia kumpulkan
dari suatu tempat.
Entah itu cerita mitos,
otobiografi, maupun novel, dia akan membaca semuanya.
“Aku paling menyukai kisah tentang
percintaan. Karena kisah cinta …. Bisa memberiku rasa keindahan orang yang
tidak kukenal”
Si Penyihir yang berbicara
begitu memiliki ekspresi bahagia yang langka di wajahnya.
Aku belum pernah melihat
ekspresi semacam ini di wajah si penyihir.
“Kisah cinta, ya ...”
Aku juga membaca buku yang
dibaca penyihir.
Tapi tidak ada satupun yang berhasil
menyentuh hatiku. Atau lebih tepatnya, aku masih tidak memahaminya.
Sebenarnya, perasaan macam apa
yang disebut cinta?
“Memangnya kamu mengetahui apa
itu cinta?”
Ketika aku menanyakan itu, si
penyihir tampak tercengang dan berkata,
“Mana mungkin seseorang
sepertiku yang dibenci oleh dunia, bisa merasakan yang namanya jatuh cinta.”
Dia mengatakan itu dengan nada
alami.
Itu sungguh jawaban yang sangat
menyedihkan, tapi karena aku berada dalam situasi yang sama dengannya, jadi aku
tidak berkomentar apa-apa.
Atau lebih tepatnya, jika dia
tidak mengenal cinta, bagaimana bisa dia sering merasa tersentuh?
“Justru sebaliknya, memangnya kamu
tidak tahu tentang cinta? Kamu bebas memilih wanita yang kamu inginkan, bukan?”
Karena
kamu adalah seorang pahlawan, imbuh si penyihir.
Aku memang sering diundang ke dalam
pesta bangsawan beberapa kali selama perjalananku. Pada waktu itu, ada banyak wanita
cantik yang berusaha mendekatiku, seolah-olah mereka sedang mencoba menggodaku
sebisa mungkin.
Namun, itu semua hanya sebatas
mencoba memberikan kesan yang baik kepadaku, yang memiliki nilai guna, dan
didasarkan pada perhitungan matang tanpa adanya ruang untuk perasaan cinta.
Aku takkan pernah jatuh cinta
dengan siapa pun, dan tidak ada wanita yang jatuh cinta denganku.
“...Aku adalah monster.”
Si penyihir tersentak dan
mengguncangkan bahunya.
“Aku hanyalah monster yang dikendalikan
dengan gelar 'pahlawan'. Setidaknya,
para petinggi kerajaan ini pasti akan berpikir begitu. Masyarakat biasa hanya
mempercayaiku dengan polosnya.”
Keberadaanku hanyalah sebatas ‘senjata untuk membunuh penyihir' dan ‘alat untuk menyelamatkan orang-orang'’.
Mereka yang mengetahui hal tersebut tidak menanggapku sebagai manusia. Itu sebabnya,
meski mereka bersikap ramah padaku, itu hanya perilaku di permukaan saja.
Sebaliknya, orang-orang biasa
menaruh harapan besar padaku. Mereka menyembah dan menaruh harapan mereka padaku.
Namun, tidak ada yang berani mencoba mendekatiku, pahlawan pilihan Tuhan.
Mereka mempercayai bahwa sikap tidak hormat semacam itu tidak dapat diterima.
Bagaimanapun juga, tidak ada
yang berani mendekatiku. Itulah satu-satunya kenyataannya.
“... Begitu. Kamu memang
keberadaan yang diajuhi semua orang, bukan?”
Dan sekarang, aku adalah pendosa
besar yang menghilang bersama si penyihir.
Orang-orang melempariku dengan
batu karena mengkhianati harapan mereka, dan para petinggi kerajaan berusaha mencoba
membunuhku.
Sekarang seluruh dunia sudah
menjadi musuhku, musuh kami berdua. Dan perasaan cinta tidak lebih dari sekedar
mimpi di siang bolong belaka.
Si penyihir tersenyum ringan
dan dengan ringan mengguncang gelas berisi minuman anggur di tangannya.
“Orang-orang pasti tidak ada
yang mau mendekatimu jika kamu sendiri bahkan tidak tersenyum.”
“Aku tidak keberatan sama
sekali. Aku tak keberatan sendirian terus. Perasaan cinta memang tidak cocok
untuk pahlawan, iya ‘kan?”
Saat aku menggumamkan itu, si penyihir
mengangkat bahunya dan tersenyum sembari berkata, “Sungguh cara hidup yang sangat kesepian sekali.”
“Kalau begitu apa boleh buat,
deh. Setidaknya, aku akan tidak bahagia bersamamu.”
Supaya
kamu tidak terlalu kesepian, imbuhnya.
“Bukannya itu hukuman yang
tepat untukmu karena sudah menolak kebahagiaanku?”
Memang, aku pantas dihukum
karena sudah menolak keinginan si penyihir.
Diriku yang sudah mengkhianati
gereja dan harapan dunia, memang sangat pantas dihukum.
Namun, aku tidak menerima akhir
seperti itu.
[...
Hmm, benar juga. Kalau begitu, apa kamu bersedia mendengarkanku untuk terakhir
kalinya? Rasanya sedikit menyedihkan bagiku untuk mati tanpa meninggalkan apa
pun, jadi tinggalkan kisah ini di dalam ingatanmu. Kisah mengenai penyihir yang
malang]
Aku memutuskan untuk mengajari
wanita ini, yang menyebut tragedi semacam itu sebagai kebahagiaan, mengenai
bagaimana rasanya kebahagiaan sejati.
Aku berharap bahwa wanita ini
bisa menjalani kehidupan yang normal, bisa memiliki hubungan yang hangat dengan
seseorang, bisa mengetahui perasaan cinta yang dia dambakan, dan menghabiskan waktu setiap hari dengan senyuman.
Demi mewujudkan itu, aku tidak peduli
jika aku terjatuh ke dalam jurang neraka.
Oleh karena itu, kita tidak bisa
tidak bahagia bersama. Biar aku saja satu-satunya yang tidak bahagia.
Di dalam hati, aku bersumpah begitu.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya