Eiyuu to Majo Jilid 2 Prolog

Prolog — Supaya Kamu Takkan Kesepian

 

Alunan merdu alat musik petik mengubah cerita menjadi syair puisi.

Penyair itu menceritakan kisah cinta antara seorang ksatria dan seorang putri dengan status yang berbeda.

“──Begitulah cara mereka berdua mengatasi semua rintangan dan mengikrarkan cinta abadi mereka.”

Berlokasi di Kota Renzas, Kerajaan Suci Augustia. Di dalam kedai [Jamuan Sunyi] yang terletak di gang belakang.

Sejak awal kedai ini bukanlah tempat yang sangat bising, tapi hari ini cukup sunyi ketika penyair berkunjung.

Semua orang menikmati cerita yang dia ceritakan, mendengarkannya dengan seksama sembari menikmati minuman mereka. Tempat ini merupakan permata tersembunyi di kota Renzas, salah satu tempat yang sangat kusukai karena aku telah melakukan perjalanan ke seluruh dunia.

Si Penyair menyapa kerumunan pengunjung, dan tepuk tangan yang meriah memenuhi kedai.

Penyair yang berkunjung pada hari itu rupanya terkenal di banyak tempat, dan tentunya kami tidak merasa bosan mendengarnya.

“Memang ya, kisah percintaan selalu membuatku menangis...”

Meski begitu, satu-satunya orang yang sampai menitikkan air mata hanyalah  wanita yang duduk di hadapanku ini.

Cerys Flores. Seorang pendosa yang hampir menghancurkan dunia. Si Penyihir Malapetaka.

“Yah, kisah itu memang cocok untuk pendamping minuman.”

“Apa cuma itu satu-satunya kesanmu setelah mendengar cerita itu? Kamu tuh meemang pria yang tak berperasaan, ya.”

“Tak kusangka akan tiba hari dimana seorang penyihir berbicara tentang kasih sayang dan perasaan.”

Sedangkan di sisi lain, aku adalah sosok yang dipilih oleh Gereja Augustia, seorang pahlawan dengan misi melenyapkan si penyihir.

Tak seorang pun di dunia ini akan membayangkan bahwa dua orang seperti itu akan bersama di sebuah bar di pinggiran kota.

Hmmph, karena kamu sudah menginjak-injak keinginanku, sudah pasti kamu tidak mempunyai hati manusia, ‘kan?”

“Sebagai pahlawan, aku hanya memilih jalan yang kuyakini benar.”

Pada kenyataannya, aku dan si penyihir berusaha saling membunuh berkali-kali.

Namun setelah pertarungan tak terhitung jumlahnya, aku berhasil menang dan memilih untuk tidak membunuh si penyihir.

Itu sebabnya aku—— Grey Handlet, sedang bekerja sama dengan si penyihir.

“...Kamu itu memang bodoh, ya? Jika kamu membunuhku, kamu tidak perlu melarikan diri dan terus bersembunyi seperti ini. Kamu bisa meraih gelar kehormatan yang mulia dan berjalan dengan bangga di bawah sinar matahari.”

“Tanpa diberitahu juga aku sudah tahu, tapi aku lebih baik darimu.”

Aku tahu bahwa jalan yang kulalui ini merupakan jalan yang penuh duri dan akan membuat seluruh dunia melawanku.

Meski begitu, aku tidak menyesali memilih jalan ini.

“…Walaupun aku tidak bisa menjadi pahlawan ideal yang diinginkan semua orang, tapi setidaknya aku ingin menjadi pahlawan yang aku yakini.”

“Haaaaa… lagi-lagi dengan logikamu yang tidak masuk akal itu. Aku sudah bosan mendengarnya.”

Si Penyihir mengangkat bahunya sembari menghela napas. Karena wajahnya disembunyikan oleh tudungnya di bar yang remang-remang, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi aku yakin dia memiliki ekspresi tercengang di wajahnya.

Sama halnya seperti penyihir, aku sekarang memakai tudung lebar untuk menyembunyikan wajahku.

Di sini adalah tempat di mana asalkan kamu bisa membayar, mereka takkan mengusikmu walaupun kamu berpenampilan mencurigakan.

Selain kami, ada satu atau dua orang yang berpenampilan sama seperti kami, dan  diam-diam menikmati minuman mereka.

“Haa, rasanya jadi sedikit lelah ...”

Yah, bahkan orang-orang semacam mereka pasti akan terkejut setengah mati dan pingsan jika mereka tahu identitas sebenarnya dari wanita di hadapanku ini, tapi …. Kamu pasti takkan menyangka bahwa wanita yang menangis seperti anak kecil ketika mendengarkan syair puisi merupakan sang penyihir malapetaka.

“Apa kamu lelah menangis?”

“Ak-Aku tidak menangis, kok!”

Tidak, mana mungkin dia tidak menangis saat mendengar isakannya yang bisa terdengar jelas.

......Atau itulah yang kupikirkan, tapi dia pasti akan tteap menyangkalnya, jadi aku akan berhenti mengungkitnya.

“Apa kamu menyukainya? Hal yang semacam itu.”

Aku bertanya kepada si penyihir sambil melihat si penyair yang bersiap-siap untuk pergi.

“Cuma sebatas ceritanya saja... karena pasti tidak ada yang menyalahkanku meski aku seperti ini.”

Aku tak bisa berkata-kata saat mendengar jawabannya.

Kalau dipikir-pikir lagi, selama waktu luangnya, si penyihir hanya membaca buku-buku yang dia kumpulkan dari suatu tempat.

Entah itu cerita mitos, otobiografi, maupun novel, dia akan membaca semuanya.

“Aku paling menyukai kisah tentang percintaan. Karena kisah cinta …. Bisa memberiku rasa keindahan orang yang tidak kukenal”

Si Penyihir yang berbicara begitu memiliki ekspresi bahagia yang langka di wajahnya.

Aku belum pernah melihat ekspresi semacam ini di wajah si penyihir.

“Kisah cinta, ya ...”

Aku juga membaca buku yang dibaca penyihir.

Tapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuh hatiku. Atau lebih tepatnya, aku masih tidak memahaminya.

Sebenarnya, perasaan macam apa yang disebut cinta?

“Memangnya kamu mengetahui apa itu cinta?”

Ketika aku menanyakan itu, si penyihir tampak tercengang dan berkata,

“Mana mungkin seseorang sepertiku yang dibenci oleh dunia, bisa merasakan yang namanya jatuh cinta.”

Dia mengatakan itu dengan nada alami.

Itu sungguh jawaban yang sangat menyedihkan, tapi karena aku berada dalam situasi yang sama dengannya, jadi aku tidak berkomentar apa-apa.

Atau lebih tepatnya, jika dia tidak mengenal cinta, bagaimana bisa dia sering merasa tersentuh?

“Justru sebaliknya, memangnya kamu tidak tahu tentang cinta? Kamu bebas memilih wanita yang kamu inginkan, bukan?”

Karena kamu adalah seorang pahlawan, imbuh si penyihir.

Aku memang sering diundang ke dalam pesta bangsawan beberapa kali selama perjalananku. Pada waktu itu, ada banyak wanita cantik yang berusaha mendekatiku, seolah-olah mereka sedang mencoba menggodaku sebisa mungkin.

Namun, itu semua hanya sebatas mencoba memberikan kesan yang baik kepadaku, yang memiliki nilai guna, dan didasarkan pada perhitungan matang tanpa adanya ruang untuk perasaan cinta.

Aku takkan pernah jatuh cinta dengan siapa pun, dan tidak ada wanita yang jatuh cinta denganku.

“...Aku adalah monster.”

Si penyihir tersentak dan mengguncangkan bahunya.

“Aku hanyalah monster yang dikendalikan dengan gelar 'pahlawan'. Setidaknya, para petinggi kerajaan ini pasti akan berpikir begitu. Masyarakat biasa hanya mempercayaiku dengan polosnya.”

Keberadaanku hanyalah sebatas ‘senjata untuk membunuh penyihir' dan ‘alat untuk menyelamatkan orang-orang'’. Mereka yang mengetahui hal tersebut tidak menanggapku sebagai manusia. Itu sebabnya, meski mereka bersikap ramah padaku, itu hanya perilaku di permukaan saja.

Sebaliknya, orang-orang biasa menaruh harapan besar padaku. Mereka menyembah dan menaruh harapan mereka padaku. Namun, tidak ada yang berani mencoba mendekatiku, pahlawan pilihan Tuhan. Mereka mempercayai bahwa sikap tidak hormat semacam itu tidak dapat diterima.

Bagaimanapun juga, tidak ada yang berani mendekatiku. Itulah satu-satunya kenyataannya.

“... Begitu. Kamu memang keberadaan yang diajuhi semua orang, bukan?”

Dan sekarang, aku adalah pendosa besar yang menghilang bersama si penyihir.

Orang-orang melempariku dengan batu karena mengkhianati harapan mereka, dan para petinggi kerajaan berusaha mencoba membunuhku.

Sekarang seluruh dunia sudah menjadi musuhku, musuh kami berdua. Dan perasaan cinta tidak lebih dari sekedar mimpi di siang bolong belaka.

Si penyihir tersenyum ringan dan dengan ringan mengguncang gelas berisi minuman anggur di tangannya.

“Orang-orang pasti tidak ada yang mau mendekatimu jika kamu sendiri bahkan tidak tersenyum.”

“Aku tidak keberatan sama sekali. Aku tak keberatan sendirian terus. Perasaan cinta memang tidak cocok untuk pahlawan, iya ‘kan?”

Saat aku menggumamkan itu, si penyihir mengangkat bahunya dan tersenyum sembari berkata, “Sungguh cara hidup yang sangat kesepian sekali.”

“Kalau begitu apa boleh buat, deh. Setidaknya, aku akan tidak bahagia bersamamu.”

Supaya kamu tidak terlalu kesepian, imbuhnya.

“Bukannya itu hukuman yang tepat untukmu karena sudah menolak kebahagiaanku?”

Memang, aku pantas dihukum karena sudah menolak keinginan si penyihir.

Diriku yang sudah mengkhianati gereja dan harapan dunia, memang sangat pantas dihukum.

Namun, aku tidak menerima akhir seperti itu.

[... Hmm, benar juga. Kalau begitu, apa kamu bersedia mendengarkanku untuk terakhir kalinya? Rasanya sedikit menyedihkan bagiku untuk mati tanpa meninggalkan apa pun, jadi tinggalkan kisah ini di dalam ingatanmu. Kisah mengenai penyihir yang malang]

Aku memutuskan untuk mengajari wanita ini, yang menyebut tragedi semacam itu sebagai kebahagiaan, mengenai bagaimana rasanya kebahagiaan sejati.

Aku berharap bahwa wanita ini bisa menjalani kehidupan yang normal, bisa memiliki hubungan yang hangat dengan seseorang, bisa mengetahui perasaan cinta yang dia dambakan, dan menghabiskan waktu setiap hari dengan senyuman.

Demi mewujudkan itu, aku tidak peduli jika aku terjatuh ke dalam jurang neraka.

Oleh karena itu, kita tidak bisa tidak bahagia bersama. Biar aku saja satu-satunya yang tidak bahagia.

Di dalam hati, aku bersumpah begitu.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama