Penerjemah:
Kuratari Translation
❈
Bab 4: Malam Keempat ❈
Sekarang
hari Sabtu. Sekolah pun libur.
Karena cuacanya cerah, jadi aku mencoba mengajak Hana
jalan-jalan, tetapi tampaknya ia ingin berleha-leha di sofa seperti biasa,
alhasil kuputuskan untuk pergi ke Barbershop pagi ini. Kalau
sudah begitu Hana takkan mudah diajak gerak, jadi akan aku bawa ia jalan-jalan
siang nanti saja.
Dengan begitu, aku pun meninggalkan rumah. Perkiraan
cuaca beberapa hari ini selalu tepat. Hari ini, aku berjalan di bawah langit musim
semi.
Yah, aslinya tidak sendiri juga, sih.
Di sampingku ada Dewa Kematian.
Kini aku merasa sudah sewajarnya Dewa Kematian ada di
dekatku, baik di rumah maupun sekolah. Alih-alih teman, aku menganggapnya
sebagai roh penjaga. Namun, tipe roh penjaga yang bawel.
Selama menuju Barbershop, Dewa Kematian menyarankanku
mencoba gaya rambut yang ingin kucoba sebelum meninggal nanti, tetapi
kuputuskan untuk memotong dengan gaya seperti biasa. Dia juga mengusulkan
mewarnai rambutku pirang atau warna aneh lainnya, tetapi kutolak. Aku tidak
punya ketertarikan merubah penampilan seperti itu.
Menurut perkataan Dewa Kematian, tiga hari lagi aku akan
meninggal. Aku tidak tahu itu kenyataan atau bukan. Meskipun, jika aku
meninggal kelak maka itu akan menjadi bukti.
Jika memang benar, maka ini akan menjadi potong rambut
terakhirku.
Selagi aku potong rambut, Dewa Kematian menghabiskan
waktu dengan mengintip komik yang sedang dibaca oleh anak laki-laki sambil
menunggu gilirannya. Dia tampak sangat tertarik dengan isi komik itu, tetapi
aku penasaran apa memang ada Dewa Kematian yang menyukai komik.
Lalu, tak butuh waktu lama hingga potong rambut
terakhirku selesai.
Tak ada letupan perasaan khusus. Hanya sebatas, “Ah,
sudah selesai, ya.” saja.
“Iya, enggak banyak berubah, sih, tapi kelihatan lebih
segar! Bagus menurutku!” Ujar Dewa Kematian, sambil melihat rambutku yang
sehabis dipotong.
“Tapi, benar kamu enggak coba gaya rambut yang beda dari
biasanya? Kalau aku, sih, pasti akan aku coba, iya.”
Ngomong-ngomong, dia selalu mengenakan pakaian dan gaya
rambut yang sama. Lagi pula mungkin umurnya takkan bertambah, jadi sosoknya itu
akan sama selamanya.
Selain itu——
“ ... Dewa Kematian itu takkan meninggal, ‘kan?”
“Eh?”
“Atau, mereka juga akan meninggal sama seperti manusia.”
Setelah bertanya, aku teringat. Dia mengatakan jangan
menanyakan Dewa Kematian. Katanya aturan Dewa Kematian atau
semacamnya.
“Dewa Kematian juga bisa meninggal, kok.”
Begitulah pikirku, tetapi dia menjawab pertanyaanku
dengan santainya.
Lalu, sebuah jawaban di luar dugaan. Sampai disebut Dewa
Kematian, jadi kukira hampir sama seperti Dewa. Jadi, aneh saja jika ia
juga bisa meninggal. Ditambah lagi, mereka hampir sama seperti hantu. Hantu
tidak akan meninggal, ‘kan? Atau mereka juga bisa terjangkit penyakit?
“Bagaimana caranya?”
Dewa Kematian sedikit memberikan jeda sebelum menjawab.
“ ... Saat, semuanya melupakannya, mungkin.”
Aku merasa pernah mendengar kalimat itu. Aku tidak tahu
apa gadis ini berniat bercanda dengan mengucapkan apa yang ia baca di komik, atau
memang serius.
Namun, mungkin sama dengan manusia. Meskipun kakak telah
meninggal, tetapi kakak terus hidup dalam hatiku. Aku takkan melupakannya.
“Kesampingkan itu, sekarang urusanmu. ‘Gimana? Apa
terbesit sesuatu?”
Seperti biasanya, jikalau melihat celah, maka dia akan
bertanya melalui celah itu. Tentang apakah ada hal yang ingin kulakukan sebelum
meninggal, atau sesuatu yang akan menjadi penyesalan setelah meninggal kelak.
Benar-benar gadis yang antusias bekerja.
“Tidak, tidak ada.”
Saat datang saat itu, aku selalu memberikan jawaban
ambigu.
Bukannya aku ingin menjauhkan diri darinya. Jika bisa,
aku ingin bekerja sama dengannya. Kemarin malam pun begitu, aku banyak
memikirkannya, tetapi tidak terbesit satu pun.
“Hmm ... kalau begitu aku enggak bisa kerja sebagai Dewa
Kematian ....”
Dia pun menghela napas, tetapi menurutku tidak begitu.
Berkat dia, beberapa hari ini terasa menyenangkan, jadi
kurasa dia telah melakukan tugasnya dengan baik. Mengembalikan uang siswa yang
dipalak, berkencan, dia juga mendengarkan keluhanku.
Dia memang gadis yang merepotkan, tetapi kurasa dia juga
sedikit membantu.
Namun, kuputuskan tidak mengucapkannya karena gadis ini
pasti akan marah padaku, jadi aku tetap diam.
Awalnya aku ingin langsung pulang ke rumah, tetapi karena
sedang ingin jalan santai, jadi aku mengambil jalan memutar.
Aku dan Dewa Kematian berjalan berdampingan melalui pohon
poplar yang berjajar. Angin musim gugur bertiup cukup kencang, tetapi rambut
hitam Dewa Kematian tak berayun sedikit pun.
“Oh! Hei hei, kita mampir ke sana, yuk!”
Aku pun melihat ke arah yang ditunjuk Dewa Kematian, dan
menemukan agen perjalanan. Aku berniat langsung pulang ke rumah karena tak
punya hal lain yang kulakukan selain cukur rambut, tetapi kuterima usulan Dewa
Kematian dan mampir ke agen perjalanan.
Kuambil pamflet dari toko. Kubolak-balik halaman selagi
Dewa Kematian mengintip dari samping.
Tampaknya, puncaknya ialah perjalanan ke luar negeri.
Terbaris beberapa nama negara di sana. Jadwal tur dan penawaran khusus. Di sana
juga terpampang rekomendasi spot liburan dan makanan lokal dalam bentuk gambar.
“Apa ada negara yang mau kamu kunjungi sebelum meninggal?
Kan biasanya kebanyakan orang mau ke luar negeri. Tempat yang mau kamu kunjungi
sebelum meninggal. Kamu juga sama, ‘kan?”
“ ... Tiga hari lagi aku akan meninggal, ‘kan?” Meski aku
ingin pergi sudah tidak ada waktu lagi.”
Aku bisa saja menggunakan uangku yang menumpuk demi
liburan, tetapi jika waktu apa boleh buat. Untuk mengurusi prosedur sendiri
akan memakan beberapa hari, jangka hidupku sudah habis sebelum tiba di tempat
tujuan.
“Selain itu, kalau ke luar negeri aku sudah beberapa
kali. Hampir semua negara yang membuatku tertarik sudah kukunjungi saat SMP,
jadi aku tidak punya penyesalan.”
“Hah?! E-e-ehh?! Lah, kok?! Lah, kok?! Tunggu sebentar!!”
“ ... Kenapa kau tiba-tiba berteriak begitu?”
“Maksudmu ke luar negeri itu sudah biasa?! Gahhh!! Anak
dokter memang beda, ya! Wuih mantep, aku jadi iri!!”
Baik iri dan pujian bersatu dalam nada bicaranya.
Jika dipikir-pikir, kehidupanku cukup diberkahi. Saat
kecil kupikir itu normal, tetapi dapat pergi ke luar negeri berkali-kali itu
bukan sesuatu yang normal dilakukan saat kecil.
Sebelum kakak meninggal dan hubunganku dengan ayah masih
dekat, saat liburan awal tahun atau musim panas kami sering pergi ke luar
negeri. Masih kuingat jelas pemandangan malam Los Angeles, adu banteng di
Spanyol, dan piramida di Mesir.
Perasaanku sedikit kacau, tetapi kurasa aku harus
berterima kasih pada ayah karena telah memberikanku banyak pengalaman.
Namun, aku takbisa berpikir jujur seperti itu jika ayah
yang sekarang. Jika ayah kembali seperti saat kakak masih hidup, mungkin aku
bisa lebih jujur.
Mungkin aku juga akan berpikir ingin pergi jalan-jalan
bersama lagi.
“Kalau begitu, enggak perlu ke luar negeri, apa ada
tempat yang kamu kunjungi?”
“ ... Tempat yang ingin kukunjungi, ya?”
Tidak ada tempat baru yang ingin kukunjungi, tetapi jika
tempat yang ingin kukunjungi lagi langsung terbesit.
Saat kakak berumur dua puluh tahun, saat aku kelas lima
SD. Itu pertama kalinya aku dan kakak melakukan perjalanan berdua saja.
Sebuah kota indah dengan pemandangan laut yang terlihat.
Saat itulah aku memberitahukan mimpiku pada kakak. Kakak sangat senang begitu
mendengarnya.
Pergi ke tempat itu sekali lagi mungkin tidak buruk.
Masih ada waktu jika hanya di dalam negeri.
Besok Minggu. Lusa Senin. Lalu, aku akan meninggal di
hari Selasa. Jika memang akan meninggal, serius pergi ke sekolah pun tidak ada
gunanya. Jadi, aku akan bolos sekolah selama tiga hari ini dan pergi berlibur.
Jika hanya itu takkan kena hukuman.
Kupandangi wajah Dewa Kematian yang tampak senang sambil
menatap pamflet.
Akan aku juga tunjukkan padanya. Tempat kenanganku
bersama kakak. Lagi pula, meski dia tidak mau pasti akan tetap mengikuti.
Liburan terakhir bersama Dewa Kematian, benar-benar
pengalaman hidup yang absurd.
Sambil diam-diam memikirkan itu, aku pun meninggalkan
agen perjalanan dan menuju rumah.
“Hm? Kok kamu cengar-cengir begitu?”
“Tidak, tidak juga.”
Pulang ke rumah lalu makan siang, setelah itu kali ini
kupastikan jalan-jalan santai dengan Hana.
Selama waktu itu, aku akan membangun rencana liburan.
Liburan terakhirku.
Setelah kembali, kulihat mobil asing parkir di depan
rumah.
Terlebih, saat memasuki rumah, kutemukan sepatu asing.
Tampaknya rumah kami kedatangan tamu. Mobil di luar itu juga mungkin milik tamu
ini. Antara tamu ayah atau ibu, tetapi karena ayah pergi bekerja sejak pagi,
jadi kemungkinan besar tamu ibu.
Dengan santai kulangkahkan kaki menuju pintu masuk.
Lalu, kupaham sesuatu yang tidak biasa tengah terjadi.
Karena, dapat kudengar suara tangis ibu dari ruang tamu.
“ ... Ada apa?”
Saat memasuki ruang tamu, aku disambut oleh wajah tangis
ibu.
Pasti ada hal serius hingga ibu menangis. Aku hanya
sekali melihat ibu menangis.
Satu kali, saat kepergian kakak.
Di samping ibu yang tengah menangis terdapat pria dengan
jas dokter yang tak asing di mataku.
Dia adalah dokter hewan yang selalu merawat Hana.
“Aku tahu ini sulit, tapi tolong dengar baik-baik.”
Orang itu memberitahuku.
Jika Hana telah pergi.
*****
Masato yang berumur sembilan tahun tampak berbinar. Semua
yang terlukis di matanya tampak segar, memang benar ia berada di umur tertarik
dengan semua hal, tetapi akhir-akhir ini lebih lagi.
Itu karena dia akan mendapatkan adik laki-laki atau adik
perempuan.
Perut ibunya membesar ke ukuran yang dengan mudah menebak
jika sedang hamil. Telah menjadi kesukaan Masato akhir-akhir ini menaruh
telinga di perut ibunya untuk mendengarkan detak bayi.
Bayi seperti apa yang akan lahir. Apa seperti ayah? Apa
seperti ibu? Atau mungkin akan mirip seperti dirinya. Jika yang terakhir, maka
ia akan sangat senang.
Selagi ia menaruh telinga di perut ibunya dan
berimajinasi liar, Masato mendengar suara anak anjing menghampiri.
“Hana! Aku sebenar lagi jadi kakak, lo!”
Masato mengelus anggota keluarga kecil itu yang mulai
tinggal bersama sejak akhir tahun lalu, dan melaporkan jika akan ada anggota
keluarga baru.
“Karena kamu lahir lebih dulu, jadi kamu juga kakaknya.”
Mendengar itu, Hana menggonggong bahagia sambil melihat
ke perut sang ibu.
Setahun yang lalu, dimintai tolong oleh kenalan, mereka
pun membesarkan Hana yang masih bayi. Tumbuh sehat tanpa penyakit, dan kini
Hana hidup bahagia bersama mereka.
Bagi Masato, Hana adalah keluarga yang tak tergantikan.
Lalu, dia akan segera mendapatkan keluarga yang tak tergantikan lagi.
“Ayo kita lindungi bayi yang baru lahir bersamaku.”
Sambil mengatakan itu, Hana menggonggong selagi Masato
mengelus kepalanya.
“Hei, Hana. Jika terjadi sesuatu padaku, kamu yang harus
menjaganya, ya. Kamu mengerti?”
Sang ibu yang mendengar itu pun tertawa sambil berkata,
“Kamu ini menugasi dia apaan, sih.”.
Menanggapi itu, Hana terus menggonggong ke arah Masato
seolah mengatakan, “Baiklah.”.
*****
Penyebab kematian Hana adalah umur.
Bisa dikatakan kondisinya memang tidak baik, tetapi
mungkin lebih buruk dari sebelumnya. Sejak dulu Hana memang pendiam dan lebih
sering bersantai di sofa, tetapi waktu dia diam di sofa lebih lama dari
sebelumnya.
Namun, tidak ada yang menyangka umurnya sudah dekat.
Jangka waktu hidup anjing jauh lebih pendek daripada
manusia. Tidak dapat hidup lebih dari dua puluh tahun. Aku tahu itu.
Namun, apa yang terlintas dalam benakku hanyalah, “Terlalu cepat”.
Sudah kedua kalinya aku kehilangan keluarga. Aku takkan
pernah terbiasa. Tidak peduli manusia atau hewan. Rasa kehilangan karena takkan
pernah bertemu keluarga yang selama ini tinggal bersama. Rasa kekosongan,
seolah tubuhku telah kehilangan bagiannya.
Tidak kusangka aku akan merasakan ini lagi.
Padahal, pagi tadi kami masih bersama tanpa ada keanehan.
Saat kupanggil, dia masih menjawabku seperti biasanya.
Sudah tidak ada lagi Hana di atas sofa ruang keluarga. Di
sana tempat kesukaannya.
Kuterus duduk di sana linglung. Tak peduli seberapa lama
aku duduk di sana, aku takkan pernah lagi merasakan kelembutan bulu Hana dalam
tanganku.
Aku tidak ingin ini.
Aku tidak ingin ini.
Aku tak ingin ini terjadi. Aku harap ini bukan kenyataan.
“ ... Lebih baik kamu makan dulu. Dari siang kamu belum
makan, ‘kan?”
Suara cemas ibu bahkan tak menjangkau benakku.
Alih-alih makan, aku tak punya energi untuk melakukan apa
pun. Sekarang pukul berapa? Tampaknya di luar sudah gelap. Aku menghabiskan
waktu seharian dengan hanya duduk di sofa.
Kuharap aku bisa meninggal seperti ini.
Tidak perlu satu minggu, aku ingin sekarang juga.
Aku tak ingin hidup lagi jika harus melalui hal
menyakitkan ini.
“Selama datang kembali.”
“ ... Ya, aku pulang.”
Ayah pulang lebih lama dari biasanya. Seharusnya dia tahu
jika Hana pergi karena ibu sudah memberitahunya melalui telepon. Meski begitu,
dia pulang seperti biasanya.
Dalam hatiku—yang telah diisi oleh kekosongan—kini muncul
emosi kuat.
Amarah.
Membuatku ingin mengeluh pada ayah.
Saat kakak meninggal dalam kecelakaan, ayah mengabaikan
pekerjaannya dan bergegas pergi ke rumah sakit tempat kakak berada. Dia lebih
mementingkan anak tercintanya dibandingkan pekerjaan. Aku tahu itu wajar
sebagai seorang ayah, seperti itulah ayah kala itu.
Lalu, apa?
Hana bukan keluargamu lagi?
Padahal keluargamu ada yang pergi, tetapi pekerjaan lebih
penting buatmu?
“Aku sangat menyayangkan Hana, tetapi aku paham. Hidup
pasti akan berakhir. Cepat atau lambat. Hanya itu saja,” ucap ayah, entah
diarahkan untukku atau ibu, dengan acuh tak acuh.
Tanpa sadar, kutatap tajam ayah.
Mungkin ayah menyadari tatapanku, jadi kini ia melihat ke
arahku.
“Kau tidak perlu terlalu memikirkannya. Ubah perasaanmu.
Tak ada gunanya terus bersedih.”
... Ha?
Sedari tadi, kau ini bicara apa?
Tegangan amarahku terhadap ayah terus bertambah.
Lalu, segera tiba pada batasnya.
Lalu, aku mulai berbicara pada ayah.
“ ... ‘ubah’ katamu ...? Apa yang kau katakan ...?! Tentu
saja mustahil ...! Hana baru saja mati!”
Ini adalah percakapan pertama kami setelah sekian lama.
Topiknya begitu pahit. Aku pun tidak mengharapkan ini.
Jika bisa aku ingin berbicara secara normal. Aku lebih memilih pembicaraan tak
berguna seperti cuaca.
Namun, aku takdapat menahan diri.
Kuluapkan amarahku dalam bentuk kalimat pada ayah.
“Hana juga keluarga terpentingku! Dia sudah bersamaku
sejak aku lahir! Hana juga saudaraku! Tidak mungkin aku bisa mengubah hati
semudah itu! Tentu saja aku sedih! Tentu saja aku pilu!”
“ ...!”
Ayah mengernyit mendengar teriakkanku. Aku tidak mengerti
apakah ayah marah, sedih, bingung, atau maksud dari ekspresinya.
“Apanya yang mengubah hati! Padahal ayah sendiri masih
dibayang-bayangi kakak, bisa-bisanya bicara begitu! Wajar saja, lagi pula kakak
anak kebanggaan! Jika dibandingkan, aku dan Hana hanya keberadaan tak penting!”
Ayah tidak membalas. Dia tidak mengiyakan atau menolak.
Pada akhirnya, ayah orang semacam itu.
Dia pasti akan tetap seperti itu meski aku meninggal.
Dengan mudahnya mengubah perasaan sama seperti Hana.
“Sudah cukup ...! Ayah juga ...!” Ibu berteriak dari
sampingku.
Kenapa, kenapa ibu memihak ayah? Bagaimana pun itu
ayahlah yang salah. Apa aku yang salah? Apa salah berduka atas kehilangan
anggota keluarga berhargaku?
Kupikir ibu akan mengerti. Kupikir hanya ibu yang
mengerti rasa sakitku dan terus mendukungku.
Aku merasakan harapan terakhirku pergi.
“Tunggu!”
Ibu mengucapkan sesuatu di belakangku, tetapi kuabaikan
dan berlari ke kamarku.
Aku langsung berbaring di ranjang begitu masuk kamar,
lalu melilit tubuhku dengan futon layaknya ulat kantong.
Aku sudah muak dengan semuanya. Aku dapat mendengar suara
ketukan pintu dan ibu, tetapi kuabaikan. Kupejamkan mata dan telinga di futon.
Tak lama kemudian, keheningan tiba. Ayah tampaknya ada di
depan pintu kamar, dan berbicara pada ayah, “Untuk sekarang biarkan sendiri
saja dulu.”.
Setelah itu, tak terdengar apa pun lagi. Akhirnya aku
sendirian. Yang ada di hadapanku hanya kegelapan.
“ ... Hana .... Hana, dia ....”
Aku mendengar suara Dewa Kematian dari atasku.
Itu membuatku tersadar masih belum sendirian.
Dia terus berada di dekatku, tetapi terakhir dia
berbicara adalah pagi ini saja. Dia menjadi diam setelah mendengar berita
kepergian Hana. Yah, apa boleh buat. Sebelumnya dia bilang sangat menyukai
anjing, dan dia juga cukup suka dengan Hana.
“ ... Kupikir, Hana bisa melihatku ...,” ujar Dewa
Kematian, seolah berbisik.
Aku mendengarkannya sambil terus membalut tubuhku
dengan futon.
“Saat aku datang ke rumah ini, dia melihatku.”
Saat malam pertama itu, aku juga melihat Hana menatap
Dewa Kematian sambil seolah menggoyangkan ekornya. Kupikir itu hanya
imajinasiku. Selain malam itu, Hana tidak memberikan respons seperti itu meski
Dewa Kematian ada di dekatnya, saat Dewa Kematian melambaikan tangannya pun
tidak digubris.
“Malam, saat kamu tidur, saat aku ke ruang keluarga
pernah Hana datang mendekatiku.”
Lah? Padahal dia bilang selama aku tidur berada di
kamarku, tetapi ternyata dia jalan-jalan di dalam rumah juga. Namun, saat ini
aku tidak ada niat mengkritiknya.
“Tapi, aku enggak memiliki aroma, suhu tubuh juga enggak
ada. Jadi, menurutku Hana berpikir, ‘aku tidak ada’. Bukan, mungkin lebih
tepatnya dia enggak memahami keberadaanku di sana. Meski begitu, terkadang dia
melihatku. Mengibakkan ekornya dengan senang. Jadi, Hana memang bisa
melihatku.”
Lalu, apa?
Apa dia ingin bilang begini?
Hana dapat melihat Dewa Kematian sama
sepertiku.
Jadi, karena itu dia mati.
‘Jika kau dapat melihat dewa kematian, maka kau akan
segera meninggal’, dan ini bukanlah kebohongan.
Begitu, ya.
Senang mendengar itu.
Kalau begitu, seperti yang gadis ini katakan, tiga hari
lagi aku akan meninggal.
Satu-satunya yang membuatku kepikiran setelah meninggal
adalah Hana. Karena Hana sudah tiada, aku sudah tak punya lagi satu pun
penyesalan.
Jadi, aku bisa meninggal dengan tenang.
*****
Ini adalah rumah sakit umum yang berafiliasi dengan
universitas.
Sebuah rumah sakit dengan peralatan medis mutakhir di
setiap bidang.
“Ada apa?”
Pria berjas putih memanggil gadis berambut pirang yang
terbaring di tempat tidur dengan ekspresi masam.
“ ... Oh, Masato.”
“Masato-san, ‘kan?”
Masato bekerja di rumah sakit besar ini sebagai dokter
magang. Pasiennya adalah murid SMP ini. Sejak lahir dia sering keluar-masuk
rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lemah, jadi dia tak pernah menghadiri
sekolah dengan senang. Terlebih, tiga tahun lalu, dia didiagnosis penyakit
serius dan telah berada di rumah sakit ini sejak itu. Pemeriksaan rutin dan
injeksi. Lalu, tugas Masato adalah menjaga kesehatan mental gadis itu.
Masato sudah prihatin dengannya sejak pertama kali
bertemu. Orang tuanya sendiri jarang menjenguk, apalagi temannya. Karena
besarnya biaya pengobatan, kedua orang tuanya disibukkan oleh banyak pekerjaan.
Gadis itu mengerti, tetapi fakta kedua orang tuanya tidak ada di hadapannya
kini jauh lebih penting. Bahkan sampai memunculkan kecemasan, “Mungkin kedua
orang tuaku jarang menjenguk karena tidak menyayangiku.”.
Masato mempunyai adik dengan celah umur cukup jauh. Umur
gadis itu hampir setara dengan adiknya, jadi dia lebih bersimpati lagi. Masato
selalu ingin melakukan sesuatu demi gadis ini.
“Ekspresimu hari ini lebih masam dari biasanya, apa
tubuhmu terasa sakit?”
Meskipun hasil tes rutin tidak buruk, tetapi ekspresi
gadis itu berkebalikan.
“ ... Tidak, kok. Aku hanya bosan saja ....”
Gadis ini pun kesulitan berjalan, dan dia hanya bisa
mengitari halaman rumah sakit dengan kursi roda. Dia dilarang keluar. Baginya
rumah sakit ini adalah dunianya. Hampir seperti burung dalam sangkar. Ia
menghabiskan hari-harinya dengan melihat video di ponsel atau membaca komik.
Karena itu, Masato mengajak bicara gadis itu setiap hari.
Membicarakan dunia luar.
Tentang sekolah. Tentang sahabat. Tentang kota. Bukan
hanya yang dialami, kabar burung tentang dan legenda urban pun juga. Masato
menceritakan semua yang ia tahu.
Gadis itu tenggelam dalam cerita Masato. Dia pun
mengatakan sangat menantikan cerita Masato setiap harinya. Tanpa disadari
mereka pun semakin dekat. Masato tampak seperti kakak baginya. Bahkan, suatu
hari ia sampai mengatakan, “Bertemu Masato menjadi satu-satu kesenangan dalam
hidupku.”.
Demi memenuhi ekspektasi dan mendorong mentalnya, Masato
bekerja keras membuat gadis itu senang.
Namun, membuat gadis itu benar-benar terlepas dari
kebosanan sangatlah susah.
Sudah lama Masato tidak melihat wajah masam gadis ini.
Jadi, Masato berpikir.
Ada batasan yang dapat dilakukan oleh seseorang.
Jika seperti itu, kau harus meminta bantuan pada orang
yang kau percaya.
“ ... Baiklah, aku mengerti. Aku akan membawa teman
terbaikku untuk membunuh kebosananmu.”
“ ... Serius?”
“Iya, aku janji.”
Keesokan hari, menepati ucapannya, Masato membawa
‘teman’-nya.
“Wah! Imut!”
Dia membawa anjing peliharaan di rumahnya. Bukan hal
mudah mendapatkan izin, tetapi kepercayaan yang biasa diberikan Masato
terbayarkan.
Namanya Hana.
Masato memeluk Hana dan meletakkannya di atas pangkuan
gadis itu.
“Sebelumnya kamu bilang ingin melihat Hana saat aku
menceritakannya, ‘kan?”
Gadis itu jadi begitu bersemangat dan memeluk Hana.
“Begitu, ya. Jadi kamu Hana-chan, ya! Imut banget~~~
Kalau seimut ini pasti di kalangan anjing jantan pasti juga populer, ‘kan~~~?”
“ ... Aku kasih tau saja, dia, jantan.”
“Eh?! Serius?! Dari namanya padahal kukira perempuan! Kok
‘gitu, sih?! Kenapa dikasih namanya begitu?!”
“Penciumannya sangat bagus. Jadi Hana.”
“Lah, ‘Hana’ yang itu?! Buset dah Masato! Pemberian namamu
jeblok banget!”
{Catatan: 鼻 = Hana = Hidung. 花 =
Hana = Bunga. Si gadis selama ini menganggap Hana yang berarti Bunga, bukan Hana yang
berarti Hidung.}
“Bodo amat!”
“Ffuaaahhh~~~~ Tapi, asli kamu imut banget~~~~”
Ekspresi gadis yang tengah memeluk Hana tampak sangat
senang.
“Masato! Terima kasih! Aku pasti akan membesarkannya
dengan baik!”
“Aku tidak memberikannya padamu!”
“Fufu. Bercanda, bercanda.”
“Selain itu, Masato-san, ‘kan. ... Yah,
memanggilku begitu juga tidak apa-apa.”
Dia sudah terbiasa gadis kecil memanggilnya begitu, dan
setelah melihat senyum besarnya sekarang ia sudah tak peduli lagi.
Dapat membuat orang lain tersenyum.
Dapat melindungi senyum orang lain.
Alasan ia memilih pekerjaan ini karena dorongan dari
ayahnya, tetapi inilah yang paling ia harapkan. Dia dapat berteman dengan gadis
yang dirawat, menceritakan keseruan dunia luar, dan dapat menghibur gadis yang
bosan dengan kehidupan rumah sakit.
Saat pertama kali bertemu, ekspresi gadis itu seolah
ingin meninggal. Kini pun ia tampak begitu lesu hingga tampak seperti akan
tiada.
Lalu, saat ini bagaimana? Ekspresinya yang tengah memeluk
Hana dipenuhi kehidupan.
“Ada apa, Masato? Kenapa cengar-cengir begitu? Apa hal
menyenangkan terjadi?” Tanya gadis itu, dengan ekspresi bingung.
“Hm? Oh, iya, sekarang ini, sangat.”
Gadis itu memiringkan kepalanya.
Seraya melihat gadis itu Masato berpikir. Hati gadis ini
sudah tidak apa-apa. Hatinya telah menggenggam kekuatan ‘tuk hidup. Namun,
tubuhnya tidak begitu. Iblis penyakit kesehatan dengan pasti terus menggerogoti
tubuhnya. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh pengobatan modern sekarang.
Apa yang dilakukan sekarang adalah perawatan perpanjangan hidup. Satu-satunya
cara menyelamatkan gadis ini adalah ‘menaklukan’ sepenuhnya penyakit ini.
Ada kemungkinan ilmu kedokteran dapat melakukannya.
Ada kemungkinan dia bisa menyelamatkannya saat kelak
menjadi dokter.
“ ... Aku, akan berusaha keras menyembuhkan penyakitmu.
Segera lulus sebagai dokter magang, menjadi dokter yang sebenarnya, dan banyak melakukan
penelitian. Lalu, saat penyakitmu sembuh ayo kita pergi keluar bersama. Ayo
kita lakukan semua hal yang selama ini kuceritakan.”
Ekspresi gadis itu berbinar kembali.
“Iya! Masato, janji, ya!”
Masato dan gadis itu melakukan janji jari kelingking.
Saat tercipta impian baru itulah ....
Larut malam, setelah jam kunjungan pasien telah berakhir.
Masato mengunci pintu dan hendak meninggalkan tempat
kerjanya.
“ ... Hm? Apa ada orang?”
Di ujung koridor. Sekilas ia melihat bayangan seseorang.
Siapa yang masih berkeliaran di jam seperti ini? Jika pasien berkeliaran, itu
masalah serius.
Ia pun menyalakan senter yang dibawa.
Bukan hanya perasannya saja. Memang ada seseorang di
koridor.
Masato pun mendekat untuk mengecek, dan menemukan seorang
gadis sekitaran SMP berdiri di sana.
Kiranya gadis yang ia rawat, ternyata bukan. Gadis itu
biasanya mengenakan piyama, dan memiliki rambut pirang yang mencolok. Namun,
gadis yang berdiri di sana berambut hitam, dengan pakaiannya hitam pula.
Setelah dilihat lebih seksama, pakaiannya tampak seperti
pakaian berkabung.
Tampaknya bukan pasien.
“Kamu siapa? Bukan pasien di sini, ‘kan? Keluarga pasien?
Maaf, tapi jam jenguk sudah habis.”
Gadis itu perlahan menatapnya.
Wajah asing.
“Umm .... Jangan-jangan, apa kamu mengatakan itu padaku?”
Tanya gadis berpakaian berkabung itu, dengan suara terkejut sambil menatap
Masato.
“Iya, benar. Seperti yang kamu lihat, di koridor ini
hanya ada kamu.”
“Jadi, artinya kamu bisa melihatku?”
“Iya, dengan jelas.”
“Sumpah ....”
Masato terkikik, berpikir apakah gadis berkabung mencoba
bersembunyi seperti itu.
Gadis itu memegang kepalanya sembari, “Duh——“
“Begitu, ya. Enggak aku duga .... Aku kira kalau di rumah
sakit akan ada banyak orang yang bisa melihatku, tapi enggak aku sangka ada
dari dokter juga. Ditambah lagi, kelihatannya kamu masih lumayan muda. Umurmu
dua puluh tahun, ‘kan?”
Masato tidak dapat mengerti setiap kata yang diucapkan
gadis itu.
“Begitu, ya, jadi begitu, ya! Kalau kamu bisa melihatku
apa boleh buat! Ini namanya takdir! Pasti sebuah takdir kita bisa bertemu di
sini!”
{Catatan: 運命 & 縁 sama-sama diartikan takdir. “Ini namanya
takdir ( 運命 )” dan
“Pasti sebuah takdir ( 縁 ) kita
bisa bertemu di sini!” Nah, perbedaannya 縁 = En itu
takdir, yang
terjadi karena kekuatan misterius yang mengikat antara dua orang. Kalau 運命 = Ummei
lebih takdir secara umum.}
Dapat melihat dan tidak dapat melihat, itu apa maksudnya?
Masato memiringkan kepalanya sembari melihat gadis yang
heboh sendiri itu.
“Hei hei, anjing yang tadi siang itu punyamu, ‘kan? Aku
sangat suka anjing. Terlebih kalau betina, asli imut banget. Enggak pernah
bosan aku melihatnya. Kalau enggak salah namanya Hana, ya? Maaf, sebenarnya
tadi siang aku mengintip kalian.”
Masato menghela napas.
Dia tidak ingin melakukan dengan cara keras, tetapi jika
ada orang asing maka harus diusir. Namun, dia masuk dari mana? Rumah sakit ini
terpasang sistem kontrol akses yang baik, terutama di bangsal rawat inap yang
mana tak boleh diizinkan masuk tanpa izin.
Mungkin menyadari tatapan curiga Masato, gadis itu
terkejut.
“Oh! Maaf, maaf! Benar juga, ya! Pertama-tama aku harus
mengenalkan diri dulu, ya.”
Gadis berkabung itu berkata.
“Aku, Dewa Kematian.”
Sebelumnya
|| Daftar isi ||
Selanjutnya