Boku to Shinigami no Nanokakan Bab 3 Bahasa Indonesia

Penerjemah: Kuratari Translation

Bab 3: Malam Ketiga 

 

Berdasarkan perkataan Dewa Kematian, waktu hidupku tersisa lima hari. Tanpa memedulikan hari yang kian dekat, aku pun menghabiskan hari seperti biasanya. Pergi ke sekolah dan mengikuti pelajaran seperti biasa.

Namun, aku tidak mengatakan melalui hari dengan damai dan lancar. Hari ini pun aku diganggu oleh perilaku Dewa Kematian.

“Ahahaha! Kamu ini ternyata teledor juga, ya~~~”

Karena bimbel sedang libur, jadi kuputuskan akan langsung pulang ke rumah setelah membeli makanan Hana. Namun, karena suatu alasan, aku datang ke daerah pusat kota yang dipenuhi gedung pencakar langit dan pedagang.

“ ... Tidak, jangan ketawa. Ini jelas salahmu.”

Itu saat pelajaran olahraga. Laki-laki bermain sepak bola di lapangan, dan perempuan atletik. Karena tiba-tiba Dewa Kematian menghilang dari dekatku, aku pun mencarinya di sekitar lapangan, lalu menemukan dirinya tengah berlari bersama para siswi.

Seorang gadis dengan pakaian berkabung, tengah lari bersama para siswi. Saat kulihat adegan surealis itu dengan takhabis pikir, sebuah bola melesat kuat ke arah perutku, yang mana membuatku mengeluarkan suara aneh.

Tidak sampai luka, tetapi kembali berakhir mencolok. Sebagai gantinya, teman sekelasku terus mengolok-olokku sambil mengatakan, “Itu karena kau terus melihat ke arah perempuan.”.

“Begitu, jadi begitu, ya. Kamu terkesima dengan Dewa Kematian yang sedang lari itu, ya. Duh, maaf banget, ya.”

“ ... Aku hanya terkejut. Kenapa kau seenaknya ikut pelajaran olahraga. Lagi pula, kau payah sekali saat lari. Kau ini baru pertama kali lari atau apa?”

Posturnya kacau. Mungkin karena roh tanpa fisik, dia tampaknya tidak lelah. Namun, cukup lucu melihatnya disalip terus menerus dengan mudahnya oleh siswi lain.

“A-apa~~?! Kamu sendiri juga sama sekali enggak menendang bola, kamu juga payah!”

“ ... Aku tahu itu. Tidak seperti kakak, aku tidak pandai olahraga.”

Tampaknya, karena jawabanku di luar dugaan, ia membuat ekspresi bersalah. Mungkin, dia menganggap balasanku itu serius.

“ ... Be-begitu, ya. Jadi kakakmu pandai olahraga, ya.”

“Iya, begitulah. Dia sangat pandai sepak bola, tidak sepertiku yang payah.”

Aku pun kembali mengingat tentang kakak lagi.

Kakak yang punya kemampuan olahraga yang tinggi sering dimintai tolong oleh berbagai ekskul olahraga. Aku juga pernah mendukungnya saat melakukan pertandingan.

Kapan terakhir kali aku melihat kakak bertanding dalam tim sepak bola? Tidak sepertiku saat di jam pelajaran olahraga, kakak begitu keren saat berada di lapangan sepak bola.

Aku sudah takbisa lagi melihat sosoknya yang seperti itu ....

“Tunggu, tunggu! Kok malah jadi suram ‘gitu, sih! Untung lagi ada di kota, ayo kita senang-senang!”

Berkebalikan denganku, Dewa Kematian mengukir senyum ceria.

Inilah, alasan aku pergi ke kota.

Berawal dari kemarin malam, percakapan yang kulakukan dengan Dewa Kematian sebelum tidur.

 

*****

 

“Hmm, kamu sudah pernah kencan belum?”

Beberapa menit setelah aku berbaring di futon. Saat aku hendak terlelap, tanpa basa-basi Dewa Kematian berbicara padaku.

“ ... Tidak pernah. Aku belum pernah pacaran, aku juga tidak mau punya.”

“Tidak tidak! Enggak mungkin ‘gitu, ‘kan?! Enggak mungkin remaja laki-laki enggak tertarik sama perempuan! Itu, pasti, bohong, bohong!”

Kalau kau berpikir begitu jangan masuk seenaknya ke kamar laki-laki. Penampilannya memang perempuan cantik, jadi aku harap dia lebih berhati-hati lagi. Ada keberadaan asing di kamar tidur saja sudah membuatku tidak tenang.

“Kalau kamu meninggal tanpa pernah pacaran, pasti bakal jadi penyesalan! Jadi, aku akan memberikanmu kesempatan merasakan kencan dengan seorang gadis!”

“ ... Tidak, terima kasih.”

“Enggak apa-apa, enggak usah ragu!”

“Tidak, aku tidak merasa begitu.”

“Enggak apa-apa, sumpah enggak apa-apa. Enggak usah malu-malu kucing!”

“Tidak, aku tidak malu.”

“Enggak apa-apa, sumpah asli enggak apa-apa. Enggak usah ragu!”

“Tidak, aku tidak merasa begitu.”

“Boleh, kok, enggak apa-apa, sumpah asli enggak apa-apa. Enggak usah malu-malu kucing!”

 

*****

 

——— Dengan percakapan tidak berguna itu, aku pun menyerah dan pergi ke kota bersama Dewa Kematian sepulang sekolah.

“Cuacanya bagus~~ Waktu yang tepat buat kencan~~”

Langkah Dewa Kematian tampak begitu ringan di sampingku, yang tengah berjalan dengan langkah berat.

Kencan berdua dengan perempuan.

Ini 100% pertama kalinya dalam hidupku, tetapi aku tidak merasakan debaran. Yah, meskipun dia perempuan, dia ini Dewa Kematian, lo? Disebut kencan pun, di mata orang lain aku hanya sendiri.

Dewa Kematian memintaku pergi ke toko manisan yang terkenal di kalangan perempuan. Sama seperti kemarin, pramusaji mengatakan, “Kursi untuk seorang, ‘kan?”. Di mata staf, aku adalah seorang pria yang tak seharusnya berada di sini, di sebuah toko yang dipenuhi pasangan. Aku sadar akan itu, tetapi aku merasa tak nyaman karena mungkin mereka berpikir, “Ini laki-laki ngapain di sini sendirian?”.

Pramusaji perempuan pun memanduku—yang merasa ragu berada di tempat yang stylish seperti ini—ke tempat duduk kosong dengan senyum bisnis. Sayang sekali, aku telah memastikan tidak ada pengunjung laki-laki yang sendiri saja sama sepertiku.

“Kayaknya dari tadi kamu terlalu banyak melihat sekitar, deh.”

Aku pun duduk di kursi untuk dua orang, dan di hadapanku terdapat Dewa Kematian. Untuk pertama kalinya aku berpikir alangkah baiknya jika orang sekitar dapat melihatnya. Jika begitu, aku dapat berbaur dengan pasangan di sini.

Karena Dewa Kematian tidak dapat menyentuh menu, aku pun memperlihatkannya. Karena aku membukanya berkebalikan dengan arahku, pengunjung yang ada di dekatku pun menatap curiga.

“Duh, aku bingung mau pilih apa. Lagian semuanya kelihatan enak.”

Bagaimana gadis itu menatap parfait penuh warna itu membuatku berpikir dia hanyalah seorang gadis.

“Baiklah! Yang ini saja! Rekomendasi toko ini, jadi aku pesan ini saja!”

Dewa Kematian menunjuk pesanannya. Apa yang ia pilih ada parfait dengan ukuran dan buah yang banyak. Di bandingkan dengan parfait lain, yang ini cukup mahal.

“ ... Dan, akulah yang akan mentraktirnya.”

“Yah, apa boleh buat. Aku enggak bisa membelinya.”

Pramusaji tidak dapat melihatnya, dan dia juga tidak punya uang, jadi sejak awal mustahil dia bisa membeli manisan. Tidak ada pilihan lain selain aku yang membayarkannya.

Lalu.

Dia tidak bisa memakannya.

Aku sudah menuangkan protesku karena pergi ke toko manisan tidak ada artinya, tetapi karena dia bilang ini demi merasakan sensasi kencan, jadi mau tak mau aku menurutinya.

Aku sebenarnya punya tabungan uang karena takpernah menggunakannya, jadi bisa dibilang tidak terlalu mahal juga, tetapi aku tetap memilih yang murah saja jika bisa. Karena katanya parfait itu seharusnya dibeli satu set dengan minuman, jadi kupesan kopi untuk kuminum dan parfait untuk Dewa Kematian.

Tak lama kemudian, pramusaji membawa pesanan kami. Baik kopi dan parfait dibariskan di depanku. Kuletakkan parfait yang takbisa Dewa Kematian makan di depannya, seolah sesembahan.

“Wahh! Kelihatannya enak!!”

Dewa Kematian melompat-lompat kecil di kursinya, tampak sangat senang.

“Ukuran jumbonya! Keberadaan! Ditambah tampilan cantiknya! Padahal besar, tapi imut, ya! Jadi begitu, stroberi yang di  tengahnya itu aksennya, ya!”

Sama seperti sebelumnya, Dewa Kematian memberikan ulasan, meskipun aku tak memintanya.

Sambil kudengar dengan sikap, “Iya, iya. Aku mengerti.”, memang benar gadis ini luar biasa. Toko ini memang terkenal, karena telah ditampilkan di internet dan koran. Terlebih, hidangan satu ini punya dampak yang cukup kuat.

“Lo, lo~~? Kamu kelihatannya enggak tertarik, tapi sebenarnya tertarik, ya~~~”

“Uh ....”

Tanpa sadar aku pun memfoto parfait itu, yang berakhir diolok-olok oleh Dewa Kematian.

Sial .... Dia jadi cengar-cengir begitu ....

Saat hendak kumatikan kembali ponselku, lalu aku sadar jika Dewa Kematian tidak terlihat di foto yang kuambil.

Aku hampir saja lupa. Jika gadis ini gadis biasa.

Lalu, terkadang di saat seperti inilah aku tersadar.

Jika, gadis ini bukanlah manusia.

“Ada apa?”

“Ah, tidak. ... Jadi, sekarang apa?”

Saat Dewa Kematian tengah senang-senang melihat parfait, aku pun bertanya.

“Eh? Tentu saja kamu yang memakannya. Kalau ditinggalkan begini juga mubazir. Nanti sama staf toko dicap orang merepotkan, lo?”

“Yah, pastinya begitu ....”

Aku tidak membenci manisan. Bisa dibilang aku menyukainya, hanya saja ukuran kali ini cukup berbahaya. Lalu, tampaknya perempuan bisa menghabiskan sekali duduk. Lagi pula mereka bilang manisan itu beda tempat di perut, tetapi kurasa strukturnya berbeda dari perut laki-laki.

Namun, apa boleh buat. Kumantapkan tekad, lalu kuarahkan ujung sendok ke parfait dan memakannya.

“ ’Gimana? Enak?”

Dewa Kematian melihatku makan dengan senang.

“ ... Rasanya enak, jadi ini lezat.”

“Begitu, ya. Baguslah kalau begitu. Nah, kamu puas-puasin rasanya sebagai gantiku.”

Benar, ini memang lezat. Namun, itu hanya awalnya saja. Kini kian sulit. Manis usai manis. Terutama bagian es krimnya bikin tidak tahan. Meski terus kumakan, tetapi seolah tidak berkurang, hingga menimbulkan rangsangan kuat di lidah dan kepalaku.

“Terima kasih makanannya ....”

Aku pun bersandar, sambil mengelus pelus yang sepenuhnya mendingin.

“Kerja bagus. Nah, sekarang ayo pergi ke toko baju! Ada toko yang mau aku datangi. Ayo cepat, waktunya terbatas, lo! Gerak, ayo gerak!”

Berkebalikan denganku, Dewa Kematian mendesakku penuh semangat. Aku baru saja makan, setidaknya biarkan aku istirahat sejenak.

Dapat kurasakan penuh semangat gadis itu hanya dengan berjalan di belakangnya. Aku berjalan dengan lemas, mengekori Dewa Kematian setelah meninggalkan toko.

“ ... Hei, aku ingin memastikan sesuatu. Sekarang ini, tujuannya agar aku dapat merasakan kencan, ‘kan? Agar tidak ada penyesalan setelah meninggal nanti.”

“Ya, kamu benar!”

“ ... Tapi, kok kayaknya kau yang lebih senang dariku?”

“Eh?!”

Dewa Kematian tampaknya sudah menentukan ingin pergi ke toko apa hari ini, dan dia kini lebih bersemangat daripada saat meninggalkan rumah.

“En-enggak begitu, kok! Ini hanya pekerjaan Dewa Kematian!”

“Di toko tadi juga, kau lebih bersenang-senang daripada aku, ‘kan?”

“Ya-yah, soalnya aku lagi jadi pacarmu, jadi aku enggak boleh kelihatan bosan, ‘kan?! Terus, karena kamu tadi bilang enggak punya tujuan pergi, jadi aku yang memutuskan! Selain itu, coba lihat ke sana! Di sana! Ada toko yang terkenal di kalangan remaja!”

Mau tak mau aku pun menuruti arahan Dewa Kematian. Karena akulah yang mengatakan akan pergi ke tempat yang ia mau. Lagi pula, aku takpunya kemampuan untuk memimpin perempuan dalam kencan. Meskipun, berbeda denganku, Kakak pasti akan membawa pasangannya ke toko menarik dan dapat membuat pasangannya senang.

Aku meragu saat hendak masuk. Dewa Kematian membawaku ke toko pakaian modis yang takpernah sekali pun aku datangi. Ini adalah toko yang biasa riajuu kunjungi. Aku biasa membeli pakaian secara daring, dan pakaian yang kukapai ini adalah yang kulihat di katalog. Seminimal mungkin aku mengenakan pakaian yang tak memalukan di tempat umum, tetapi aku tidak tertarik dengan pakaian modis seperti ini.

“ ....”

“Kenapa?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Pokoknya, ini pertama kalinya aku memasuki toko seperti ini.

Meski begitu, entah mengapa aku merasakan déjà vu dari toko ini. Apa mungkin saat kecil aku pernah pergi ke toko ini?

Tentu saja, toko ini penuh dengan pakaian. Ke mana pun aku memandang, yang kutemukan hanyalah pakaian, pakaian, dan pakaian. Aku taktahu mana yang bagus atau tidak. Di mataku semuanya terlihat sama, tetapi aku dikejutkan dengan harga pakaian bermerek.

“Pakaian seperti apa yang Anda cari?”

Saat aku tengah berjalan tanpa tujuan di toko, seorang karyawan laki-laki tampan bertanya padaku.

“Ah, tidak, aku masih bingung ....”

“Jika sedang mencari pakaian musiman, saya sarankan pakaian yang ini.”

Seperti yang kuduga, dia pasti tipe karyawan yang akan terus menempel meski aku tidak memintanya. Ia membawakan pakaian dan mencocokkannya dengan tubuhku.

“Iya, yang ini juga bagus. Saya pikir jika Anda coba pakaian ini pasti akan sangat cocok. Figur Anda juga bagus, pasti akan terlihat ganteng, lo, Mas.”

“Ya ... aku tidak yakin begitu.”

Aku tahu ini obrolan bisnis, tetapi dia punya kemampuan sugestif yang cukup baik. Lalu, aku terima baju itu dengan tanganku dan mengeceknya di cermin.

Yah, memang lumayan, sih ....

“Nah, tolong silakan dicoba bajunya.”

“Sudah, coba saja dulu itu bajunya! Lagian coba baju juga gratis!” Ujar Dewa Kematian dari belakangku, matanya penuh ekspetasi.

Menerima serangan ganda dari karyawan dan Dewa Kematian, sambil menghela napas aku pun membuka gorden ruang ganti.

“Ya! Bagus! Bagus! Kamu kelihatan keren!”

“Bagus sekali. Sangat cocok dengan Anda.”

Pujian Dewa Kematian dan karyawan tampak harmoni. Sampai-sampai membuat berpikir jika mereka bekerja sama agar aku membeli pakaian ini.

“Ahh, bagaimana dengan yang ini?” Sambil mengatakan itu, Karyawan membawakan pakaian lain.

“Tidak, sudah cukup ....”

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa! Untung lagi di sini, sekalian coba yang banyak!”

Mulai dari sini, dimulailah peragaan busana semua pakaian yang disarankan oleh karyawan. Pikirku seharusnya ini dilakukan oleh perempuan, tetapi karena Dewa Kematian tidak dapat menyentuh atau berganti pakaian, jadi mau tak mau aku yang harus melakukan.

Dewa Kematian bertepuk tangan riah saat aku membuka gorden dan menunjukkan pakaian baru. Bukan karena dia memaksakan diri untuk membuatku senang, melainkan dialah sendiri yang bersenang-senang.

Setelah itu, karena tidak enak pulang tanpa membeli apa pun, jadi kuputuskan membeli pakaian luar, pakaian dalam, dan celana panjang masing-masing satu lalu meninggalkan toko.

“Fufu, nah kamu dapat belanjaan bagus, tuh.”

Dewa Kematian cengar-cengir sambil melihat ke dalam kantung belanjaan. Aku mulai merasa malu karena ia berhasil membuatku membawa dan berasa begitu. Aku penasaran, apa dia tipe perempuan di Kabaret yang akan membuat pelanggan membeli sake mahal, ya?

{Catatan: キャバクラ = Kyabakura = Kabaret itu merupakan semacam Bar, tapi kita dilayani oleh perempuan untuk pelanggan laki-laki.}

“ ... Oh.”

Akhirnya aku menyadari déjà vu yang kurasakan tadi. Logo dari nama toko yang tertulis di katung belanjaan. Ini dia.

Kenapa aku tidak menyadarinya langsung? Aku tidak tahu apakah gerainya sama, tetapi ini adalah toko yang biasa Kakak kunjungi. Ia sering pulang membawa kantung belanjaan semacam ini.

{Catatan: Di sini ada dua kalimat yang sebenarnya hampir sama. 店舗 dan . Keduanya sama-sama toko, tapi punya definisi berbeda. Ane artikan dalam dua kata, “Gerai” dan “Toko”. Simpelnya, Toko ini anggap saja seperti toko baju besar gitulah tempat berbagai merk jual ( Taulah toko semacam apa yang ane maksud ), dan Gerai adalah toko-toko kecil di dalamnya. Jadi, si Tokoh Utama enggak yakin Kakaknya beli di Gerai yang sama atau tidak, tapi paling tidak masih satu toko karena pakai kantung plastik yang sama.}

Aku tidak tertarik dengan benda modis seperti itu, dan aku takpernah sekali pun pergi membeli baju dengan Kakak. Setelah Kakak meninggal, sebenarnya aku menyesal karena aku berharap dapat tahu di mana Kakak biasa membeli baju, tetapi berkat Dewa Kematian, secara kebetulan aku dapat mengetahui toko seperti apa yang sering Kakak kunjungi.

Aku penasaran apa dia sudah mengiranya. Agar aku tidak meninggalkan penyesalan.

Tidak, kurasa tidak mungkin.

Dia seharusnya takpernah bertemu dengan Kakak, dan tidak mungkin dia mencari tahu Kakak biasa berbelanja pakaian.

“Nah, selanjutnya ayo pergi ke sana, yang di sana itu.”

Saat kulihat tempat yang ditunjuk Dewa Kematian, aku meragukannya.

“Oi, tempat itu kurasa ....”

Skema warna bangunan dengan dasar warna merah muda. Di depan toko terdapat banyak sekali benda kecil yang tampak berkilauan. Ini tempat yang biasanya disebut Toko Umum Mewah.

Toko manisan memang terasa berat juga untuk dimasuki, tetapi itu masih lebih baik. Namun, takpeduli bagaimana kau memikirkannya, di sana bukanlah ruang yang bisa dimasuki oleh satu orang laki-laki.

“Banyak benda-benda imut~~ Sebelumnya aku pernah pergi ke sini sendirian, tapi aku mau coba pergi ke sini bareng seseorang meski sekali saja~~~ Hei hei, menurutmu mana yang im— .... Lah, ah, tung! Tu-tunggu!”

Lebih baik aku menarik diri saja.

Aku meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat tanpa memedulikan Dewa Kematian yang mencoba menghentikanku.

“Duhh .... Padahal banyak benda imut ....”

Sejak awal. Ke mana kami pergi aku juga punya hak untuk memutuskan. Aku takperlu harus mengindahkan semua yang dikatakan Dewa Kematian.

Lalu, kutemukan bangunan yang sekiranya menarik dalam bidang pandangku.

Bioskop.

Iya, ini lebih baik. Jika di sana aku takperlu memedulikan tatapan sekitar, dan aku sendiri bisa menikmatinya.

“Ehh .... Ke sini ...?”

Namun, minat Dewa Kematian cukup rendah.

“Enggak banget .... Kencan pertama sama perempuan ke bioskop asli enggak banget ....”

“ ... Tidak apa-apa, ‘kan? Lagi pula, pergi ke bioskop saat kencan itu standar, ‘kan?”

“Hmm, enggak, sih, menurutku. Lagian film bisa ditonton sendiri, ‘kan? Untung laki-laki dan perempuan remaja lagi jalan bareng begini, menghabiskan di tempat yang enggak bisa mengobrol bebas itu cuma buang-buang waktu doang.”

Asli, ini makhluk maunya apa, sih? Kenapa, dia bicara seolah, “Aku ini paham beginian.”.

“ ... Dari tadi sudah pergi ke tempat yang kaumau, jadi sekali saja biarkan aku yang menentukan tempat selanjutnya. Lagi pula ini kencan untukku, ‘kan? Agar aku tidak punya penyesalan setelah meninggal nanti. Jadi, seharusnya aku yang menentukan tempat yang dikunjungi.”

“ ... Ah, yah, benar begitu, sih .... Iya, yah ... benar juga, sih. Tapi, kalau aku pribadi, sih, enggan ....”

“Duhh, bahaya, nih .... Pasti bakal jadi penyesalan, nih .... Ya, kalau aku tidak melihat film sekarang, pasti bakal jadi penyesalan terus aku jadi hantu ....”

“Ehhh?! Se-serius?! Ba-baiklah! Kalau sampai sejauh itu, ayo ke sana! Sekarang juga ayo kita lihat film!”

Dewa Kematian mengiyakan, meskipun dengan cara paksa. Dengan begitu, kami pun melangkahkan kaki ke bioskop. Dia gampangan.

 

*****

 

Aku membeli tiket untuk dua kursi. Tentu saja, sebenarnya tidak perlu membelinya. Bagi Dewa Kematian yang tak siapa pun bisa lihat, dia bisa melihat film semaunya tanpa tiket. Dia bisa menggunakan fasilitas publik secara gratis. Namun, karena Dewa Kematian bilang itu curang dan aku sendiri juga ada sedikit keraguan, jadi aku membeli tiket untuknya juga.

Yang kami pilih adalah film Hollywood. Sebuah kisah epik penuh ketegangan. Bercerita tentang penyelidik narkotika alkoholis yang melarikan diri dari istrinya dan melakukan tindak kekerasan.

Dewa Kematian mengatakan lebih menyukai film romantis atau film anime, tetapi kuabaikan dan membeli tiketnya.

Dewa Kematian terus berbisik sebelum dimulai, tetapi———

“Mantap!! Asli mantap banget!”

Setelah film selesai, seperti yang dapat kau lihat, dia jadi kegirangan seperti ini.

“Enggak aku sangka akan jadi begitu! Aku enggak bisa menebaknya. Terus juga berakhir bahagia saat ia kembali ke istrinya! Jadi terasa segar!”

Setelah film selesai, kami memutuskan untuk beristirahat di kafe dalam bioskop. Selama itu pula, Dewa Kematian menghujaniku banyak sekali pemikirannya tentang film tersebut.

“Yah, ini film dari direktur film yang kusuka. Jadi menurutku memang pasti bagus. Tapi, percakapan dengan pelanggan di bar jadi poin persiapan, jadi sedikit mudah ketebak.”

“Eh, serius? Aku sama sekali enggak mengerti, lo. Eh ... jadi begitu, ya! Aku benar-benar terkejut.”

Kami saling bertukar impresi film itu, meskipun opini kami berkebalikan.

Suaraku pun semakin kencang—yang mana membuat pengunjung di sebelahku menatap curiga—tetapi aku sudah tak peduli lagi. Sampai seperti itulah betapa menyenangkannya membicarakan film dengan Dewa Kematian.

“Ah!!”

Tiba-tiba, Dewa Kematian membuat reaksi seolah menyadari sesuatu.

“Ada apa, tiba-tiba begitu?”

“Aku, akhirnya mengerti! Ohh, jadi begitu, ya!”

“Apa yang kau mengerti, sih?”

“Aku selalu penasaran kenapa yang lain saat kencan selalu melihat film, ternyata karena ini. Setelah menonton kita bisa bertukar impresi seperti ini. Jadi ini, ya, yang namanya kencan bioskop.”

Cara bicara seolah telah tercerahkan, tetapi menurutku apa yang ia katakan benar adanya.

Berbagi kegiatan menyenangkan dengan seseorang di tempat dan waktu yang sama. Terlebih jika itu orang yang dicintainya pasti akan lebih menyenangkan.

“Ah, ternyata kencan seru juga, ya. Di dunia ini banyak hal yang menyenangkan. Sungguh, aku iri dengan manusia yang masih hidup.”

Cara bicaranya. Pada akhirnya, seharian ini dialah yang paling senang.

Yah, bukan berarti aku tidak senang juga, sih.

Bisa dikatakan cukup senang.

Tidak, sangat menyenangkan.

“Hei? Dengan begini satu penyesalanmu sudah hilang, ‘kan?”

Aku takbisa sepenuhnya menyangkal. Mungkin aku memang bersyukur dapat merasakan yang namanya kencan dengan seorang gadis. Meski semalam aku bilang begitu, sebenarnya aku sedikit tertarik. Aku bisa merasakannya dengan mudah seperti ini, lagi pula mencari pacar dalam seminggu terlalu sulit bagiku.

“Kalau begitu, apa ada yang terbesit tentang apa yang kamu mau lakukan sebelum meninggal nanti?” Tanya Dewa Kematian, sambil mengintip wajahku yang tengah menyeruput kopi.

“ ... Tidak, tidak ada kayaknya.”

“Begitu, ya. Jadi tidak terbesit, ya ....” Kekecewaan Dewa Kematian  terlihat jelas.

Setidaknya, selama kencan ini aku sudah memikirkannya. Namun, tidak terbesit satu pun. Tak peduli seberapa keras berpikir, tidak ada hal khusus yang ingin kulakukan.

“Hmm, kalau begitu bukan yang sekarang juga enggak apa-apa, deh. Saat kecil ada enggak hal yang kamu kagumi atau punya cita-cita ‘gitu? Contohnya kayak mau jadi pahlawan yang berubah di TV, atau apa pun enggak masalah. Mungkin bisa ketemu kalau mencarinya ke sana.”

Ucapan Dewa Kematian membuat hatiku bergetar.

Pahlawan, ya.

“ ... Kurasa kau benar, aku punya cita-cita. Meskipun sekarang sudah tidak ada.”

“Hee, begitu ternyata. Terus apa cita-citamu? Kasih tau dong.”

Ekspresi semangat muncul di wajah Dewa Kematian.

Awalnya aku tidak berniat memberitahunya, tetapi kini aku mulai berpikir tidak masalah menceritakan tentang diriku padanya. Aku sadar selama bersama dengannya aku mulai menurunkan penjagaan, tetapi jika itu rencana ia menarik informasi dariku, sejujurnya menyeramkan.

“ ... Belum lama ini aku ingin menjadi dokter.”

Setelah mendengar itu, ekspresi Dewa Kematian semakin cerah.

“Ohh, dokter, ya! Ternyata begitu! Ya, cita-citamu bagus!”

Reaksi jujur. Sangat tidak mungkin dia merencanakan sesuatu diam-diam.

“Tapi, tadi kamu bilang berbeda, berarti sekarang kamu sudah menyerah, ‘kan? Karena apa?”

“Suatu saat, aku sadar. Ini bukanlah cita-citaku. Aku tidak berniat menjadi dokter. Aku sadar jika aku ingin, ‘menjadi kakak’.”

Sepertinya Dewa Kematian tidak mengerti. Ia pun menggelengkan kepala.

“Ingin menjadi kakak? Apa maksudmu? Artinya kamu mau punya adik ‘gitu?”

“Tidak, bukan begitu. Aku ingin menjadi seperti almarhum kakak—ingin menjadi seperti Masato. Kakak juga ingin menjadi dokter. Jadi, aku juga ingin menjadi dokter sama seperti kakak. Jika begitu, aku berpikir akan jadi seperti kakak. ... Menjadi—yang kuanggap—pahlawan.”

“Pahlawan? Kakakmu?”

Aku mengangguk.

Saat kecil pun aku mengagumi para pahlawan yang berubah di TV. Para pembela keadilan yang keren. Mengalahkan kejahatan dan melindungi yang lemah. Menjadi pahlawan keadilan yang bertarung siang dan malam demi senyum semua orang.

Namun, bukan yang ada di sisi lain TV, tetapi pahlawan yang ada di dekatku. Benar, bagiku kakak adalah pahlawan keadilan.

Kenangan saat kecil bangkit.

Kenangan yang kuhabiskan dengan kakak.

 

*****

 

“Kakak!”

Masato berada di pintu masuk karena hendak pergi, tetapi karena dipanggil oleh adiknya ia pun berhenti.

Saat berbalik, dilihatnya adik laki-laki yang tengah menatap dengan senyum lebar di wajahnya, tampak sedang sangat senang.

“Hm, kenapa?”

Masato mencoba untuk berbicara sejajar dengan siapa pun. Begitu pun dengan adiknya. Setiap mengobrol, ia menyamakan tinggi tatapannya. Jadi, ia berjongkok agar sepantar dengan adiknya. Lalu, siaplah posisi untuk mendengar sang adik.

“Begini begini! Hewan itu luar biasa, lo! Kayak mereka mengerti yang aku bicarakan! Soalnya saat aku bilang akan memberinya makan dia datang mendekat!”

Padahal belum lama ini ia merasa masih menggantikan popoknya, tak dirasa sang adik telah masuk sekolah dasar. Ia berada pada usia di mana dia tertarik dengan banyak hal. Masato mengingat saat adiknya mengatakan jika sekolah dasarnya akan bertamasya ke kebun binatang. Tampaknya dia sangat ingin membicarakan tentang itu.

Dia menceritakan penuh semangat para hewan yang ia lihat hari ini. Kapibara, merak jantan, dan gajah Afrika. Ia mencoba menyampaikan daya tarik hewan-hewan yang tak mungkin ditemukan di tengah kota itu dengan kosakata yang cukup buruk.

“Iya, kamu benar. Hewan itu semuanya pintar. Hana juga mengerti ucapanmu.”

“Eh, sungguh?! Benar begitu, Hana?!” Berkata begitu, sang adik berlari ke anak anjing. Dipeluknya tubuh kecil anjing itu dengan tubuh kecilnya.

Dari sudut pandang Masato, keduanya seolah terlihat seperti adik-adiknya yang tengah bermain bersama.

Masato bertanggung jawab merawat adik yang sembilan tahun lebih muda darinya. Ayahnya merupakan seorang dokter yang bekerja di rumah sakit besar. Karena sangat sibuk, ia jarang pulang ke rumah. Masato memiliki rasa sebagai pengganti ayah bagi adiknya itu.

Masato akan membawa adiknya ke berbagai tempat di hari Minggu. Mengajari cara memakai transportasi umum. Yang mengajarkan cara meminjam buku di perpustakaan juga Masato. Entah sejak kapan adiknya pun ikut menyukai buku seperti dirinya. Buku yang disukai adiknya adalah buku berilustrasi, yang terdapat gambar hewan atau mobil. Terkadang, ia bilang ingin melihat yang asli. Selama Masato bisa, ia ingin mengabulkannya.

Masato menyukai senyum ditunjukkan adiknya. Bukan hanya adiknya, tetapi keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitarnya.

“Habis itu, habis itu!”

Lalu Masato, “Ah, maaf!” dan menyatukan kedua telapak tangannya untuk menghentikan ucapan adiknya.

“Kakak harus pergi sekarang. Kelanjutannya nanti kakak dengarkan setelah pulang nanti, tolong, ya,” ucapnya, sambil menunjukkan tas olahraga yang dibawa pada adiknya.

“Oh! Kalau tidak salah hari ini kakak ada pertandingan sepak bola, ya.”

Saat itu Masato masih SMA. Dia tidak masuk ke ekskul apa pun demi memaksimalkan belajarnya untuk cita-cita, tetapi dia sering dimintai membantu ekskul olahraga. Lagi pula dia senang dapat bermanfaat bagi sekitar, jadi sebisa mungkin ia tidak menolaknya. Hari ini, dia akan berpartisipasi dalam pertandingan tim sepak bola resmi.

“Kalau begitu aku ikut dan mendukung Kakak!”

Masato berlari di lapangan sepak bola.

Gerakkan Masato tampak lebih terampil dibandingkan dengan anggota ekskul olahraga lain. Refleks yang bagus. Setiap hal yang ia kerjakan selalu diselesaikan dengan terampil. Karena itulah, ia sering dimintai sebagai penolong seperti ini.

Babak kedua. Sorak-sorai pecah. Sang andalan penyerang mencetak gol indah dengan umpan dari Masato.

Kesenangan teman-temannya meledak. Semuanya berkumpul di sekitar andalan tim yang berhasil mencetak gol, dan para penonton pun bersorak heboh untuknya.

“ ....”

Di stadium itu hanya adiknya yang mengerti.

Masato bisa saja menendang, tetapi ia urungkan dan memberikan peran utama pada andalan tim. Ia lebih memilih mengumpan agar sorak-sorai semuanya menjadi lebih kencang.

Itulah Masato.

Lebih mementing dapat berguna untuk orang lain daripada dirinya sendiri.

Bagi adiknya, Masato yang seperti itu layaknya pahlawan. Sosok kakak yang selalu menjadi pusat semuanya dan dapat diandalkan. Sosok kakak yang membuat semuanya senang. Kebanggaan, sekaligus kekaguman.

Sang adik pun ingin menjadi pahlawan sama seperti kakak kelak nanti.

 

*****

 

“Begitu, ya .... Bagimu, kakakmu itu pahlawan yang kamu kagumi, ya ...,” ucap Dewa Kematian dengan pelan.

Kakak selalu menjagaku sejak aku kecil. Bisa melakukan semuanya, baik pelajaran maupun olahraga, dia juga mengajariku banyak hal. Baik tentang sains, dan peraturan dalam olahraga, sampai-sampai membuatku berpikir tidak ada hal yang tidak diketahuinya.

Fondasi dari diriku saat ini dibentuk oleh kakak.

“ ... Tapi, kakak pahlawan superku sudah tidak ada lagi di dunia. Aku sudah kehilangan pahlawan tujuanku, pada saat yang bersamaan aku juga menyerah pada cita-citaku menjadi dokter.”

Pahlawan yang kukagumi tiba-tiba pergi. Sejak saat itu aku berubah. Tujuan hidupku sirna, bahkan aku taktahu untuk apa aku hidup.

Tak hanya ayah, mungkin aku masih terbelenggu akan bayang-bayang kakak. Kehilangan kakak membuatku tak lagi mampu melangkah maju.

Sejak aku menceritakan tentang kakakku, terukirlah ekspresi sedih di wajah Dewa Kematian. Untuk seorang gadis seperti dirinya, tidak biasanya dia membuat ekspresi seperti itu.

“Kalau tidak salah karena kecelakaan, ya ...?”

“Oh, aku sudah mengatakannya padamu? Kau benar. Bus yang ditumpangi kakak mengalami kecelakaan lalu lintas. Katanya melindungi anak kecil di dalam bus. Sampai akhir pun tetap seperti pahlawan, ‘kan?”

“Iya, kamu benar. Beliau luar biasa,  mengorbankan dirinya demi menyelamatkan nyawa anak kecil.”

Semuanya berkata begitu.

Sosok luar biasa yang menyelamatkan anak kecil.

Sosok pahlawan yang sebenarnya.

Tentu saja, aku juga senang kakak menyelamatkan nyawa anak kecil itu.

Kakak menyelamatkan satu kehidupan kecil. Sebagai adiknya aku juga bangga.

Namun, aku ingin kakak hidup.

Kenapa dia lebih mementingkan orang lain daripada dirinya? Aku ingin ia mementingkan dirinya terlebih dahulu. Jika kakak tidak melindungi anak kecil di bus itu, mungkin saja kakak masih hidup.

Apakah aku orang jahat, karena berpikir begitu?

“ ... Tapi, kenapa kamu menyerah menjadi orang seperti kakakmu? Apa kamu enggak terbesit ingin menggapai cita-cita yang enggak bisa kakakmu capai sebagai gantinya?”

“Awalnya aku juga berpikir begitu. Saat kakak meninggal, aku memutuskan untuk menggapai cita-cita menjadi dokter yang tidak bisa kakak capai. Tapi, aku sadar. Meski aku menjadi dokter, aku tidak bisa menjadi seperti dirinya. Aku tidak bisa belajar sekeras kakak, aku pun payah dalam olahraga. Aku tidak bisa menceritakan hal seru pada semua orang, teman pun tidak punya. Seberapa keras aku berusaha, aku takkan bisa menjadi pahlawan seperti kakak. Jadi aku menyerah. Menggantikannya, ataupun menjadi dokter sebagai gantinya.”

“ ....”

Dewa Kematian membuat ekspresi taktahu harus berkata apa.

“Aku tidak berbakat seperti kakak, kedua orang tuaku pun tidak berharap padaku.”

“ ... Jangan pandang rendah dirimu seperti itu. Itu menyedihkan ....”

“Kalau begitu, apa nilai dari diriku? Apa ada yang bisa membuatku melebihi kakak? Apa ada hal yang bisa kucapai, tetapi kakak tidak bisa?”

Menyadari suaraku kian kencang, aku pun menahan diri.

Dewa Kematian benar bingung harus berkata apa. Mulutnya buka-tutup seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak satu pun terucap.

“Lagi pula, meski aku berusaha keras dan menjadi sosok seperti kakak, jika aku mati nanti akan percuma saja. Kakak juga sama. Ia tiada segera akibat kecelakaan. Padahal dia sedikit lagi menjadi dokter. Percuma saja bekerja keras jika akhirnya akan meninggal. Jadi, dalam hidupku tidak ada penyesalan.”

Sudah kutuangkan apa yang ingin kukatakan.

Ini pertama kalinya aku mengutarakan apa yang selalu kupendam di hati. Perasaan yang tak pernah kubagikan pada siapa pun. Aku merasa sedikit segar setelah mengungkapkannya pada Dewa Kematian.

Namun, Dewa Kematian yang menerima itu kehilangan seluruh energinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi taktahu harus berkata apa. Ia masih melukis ekspresi seperti itu.

Melihat itu, aku merasa sedikit bersalah.

 

*****

 

Setelah itu, kami pun pulang setelah matahari tenggelam.

Sudah cukup lama aku tidak makan malam di rumah. Karena tampaknya ayah pulang telat, dia tidak akan muncul di meja makan malam ini.

Malam, setelah usai mandi aku pun datang ke ruang keluarga. Sembari mengeringkan rambut yang basah, aku pun duduk di sofa lalu mengelus kepala Hana. Kenangan masa kecil kembali kuingat saat mengelus Hana seperti ini.

Menyentuh Hana sudah menjadi rutinitas harianku. Tidak berubah bahkan sejak kepergian kakak.

“Sejak kapan kamu tinggal dengan Hana?” Tanya Dewa Kematian, yang melihat kontak fisik kami.

“Sudah sejak aku lahir.”

Hana lebih tua setahun dariku, dia sudah ada di rumah ini sejak aku lahir. Ayah memeliharanya sejak ia masih bayi setelah diminta oleh kenalannya.

“Begitu, ya. Kalau begitu, bagimu Hana itu salah satu kakakmu.”

“Eh?”

Memang benar dia lahir lebih dulu dariku, jadi mungkin Hana bisa dikatakan salah satu kakakku. Saat kakak meninggal, aku tak pernah melupakan bagaimana ia menjilatiku seolah-seolah ingin menghiburku saat aku menangis. Mungkin ia ingin melindungiku menggantikan kakak.

Dia selalu ada di sebelahku, baik duka maupun bahagia. Benar, Hana adalah kakak lainku yang berharga.

“ ... Meski aku tidak mengatakannya, tapi ternyata kau bisa mengerti, ya.”

“Apa maksudmu?”

“ ... Ah, tidak, bukan apa-apa.”

Dengan lembut kuelus kepala Hana. Hanya dengan itu saja sudah begitu menenangkan.

“Hana, kayaknya nikmat banget~~~”

Ekspresi Dewa Kematian melembut saat melihat interaksiku dengan Hana.

“Uhhh ... Aku juga mau mengelusnya ....”

Mengatakan itu, ekspresinya langsung berubah menjadi frustrasi.

Kasihan sekali. Dia tidak bisa menikmati kenikmatan bulu Hana ini.

Aku terus mengelus Hana seolah ingin memamerkannya pada Dewa Kematian.

“Tu-tunggu! Kenapa kamu tersenyum sambil melihatku begitu?! Kamu sengaja memamerkannya, ‘kan?!”

“Tidak juga.”

Benar-benar orang sibuk, tersenyum dan marah, selalu mengubah ekspresinya setiap saat.

Mungkin karena gadis ini. Sudah lama aku tidak merasa lelah seperti ini.

Bagaimana kumenyebutnya, rasa lelah yang menyegarkan(?). Seolah berhasil mencapai garis akhir dalam maraton. Sangat berbeda dari rasa lelah dari keseharian suram biasanya. Aku sangat jarang pergi ke luar selain sekolah dan bimbel, bercanda dengan seseorang seperti ini pun benar-benar sudah lama sekali.

Semua ini normal sampai kakak meninggal.

Sampai beberapa saat yang lalu Dewa Kematian tampak tidak bersemangat, tetapi setelah melihat wajah Hana ia bersemangat kembali.

Alasan ia kehilangan semangatnya karena aku memberitahu tentang aku membuang cita-citaku. Atau mungkin karena ia mengerti jika aku tidak punya penyesalan di dunia ini. Jadi, karena sadar jika tidak ada yang bisa ia lakukan untukku, dia jadi murung.

Sayang sekali, tetapi itu benar.

Tidak ada lagi yang perlu Dewa Kematian lakukan untukku. Aku bisa menyelamatkan orang yang dipalak, aku juga bisa merasakan kencan yang membuatku seperti riajuu. Aku sangat berterima kasih padanya.

Namun, tak ada lagi yang bisa gadis itu lakukan lebih dari ini.

Sisanya hanya menghabiskan hari seperti biasa, dan menjemput akhir dalam sunyi.

Aku mengelus Hana sambil berpikir begitu, lalu pintu ruang keluarga pun terbuka dan masuklah seseorang.

Kupikir ibu, ternyata bukan.

Melihat sosok itu, tubuhku langsung menegang.

Ayah.

Ayah melihatku dengan tatapan kosong sambil berdiri di sana. Karena dia baru saja dari kerja, ia masih mengenakan seragam kerja. Tak mengatakan apa pun, dan hanya melihat ke arahku. Seolah ia melihat hantu.

Yang menemani adalah kesunyian canggung seperti biasanya, tetapi kali ini ada sedikit perbedaan. Biasanya kami tak saling bertatapan seperti ini. Sudah lama ayah tidak melihatku.

Padahal kami tinggal di bawah atap yang sama, tetapi dia seolah tidak menyadari keberadaanku. Layaknya Dewa Kematian, aku kasatmata baginya.

Lalu, kali ini ada apa? Kenapa dia menatapku terus seperti itu? Apa dia tidak senang jika aku duduk di sini? Lagi pula, tempatku duduk bukanlah tempat yang biasanya ayah tempati.

Di sebelahku ada Hana. Malahan, ini adalah tempat kesukaan Hana. Alih-alih bermain di luar, Hana lebih senang berleha-leha di sini. Mungkin saja melihat Hana, bukan diriku. Hana pun akrab dengan ayah. Mereka tak memiliki konflik aneh seperti yang manusia lakukan, jadi itu sisi yang sejujurnya membuatku iri.

Atau, jangan bilang ....

Ah, benar.

Ada satu sosok lain di sini.

Di belakangku saat ini. Berdirilah Dewa Kematian.

“Cepat tidur.”

Akhirnya, ayah berucap.

Tak salah lagi, ia memang melihat ke arahku. Sejenak, kupikir ia melihat Dewa Kematian, tetapi tampaknya hanya imajinasiku saja. Sebaliknya, jika dia bisa melihatnya pasti akan bertanya. Wajar saja jika ia terkejut melihat orang asing duduk di rumahnya.

Namun, ada yang lebih penting.

Aku dibuat sangat terkejut, karena fakta sudah lama ayah tidak berbicara padaku.

Malam saat aku gagal ujian masuk. Keluhan tentangku. Fakta masih dibayang-bayangi kepergian kakak. Sudah lama sejak ayah memendam semua itu. Sejak kematian kakak, hubunganku dan ayah berangsur-angsur tumbuh, tetapi malam itu menjadi pemicu mendinginnya hubungan kami. Sejak malam itu, alih-alih bercakap-cakap, saling bertukar tatapan pun tak lagi terjadi.

Setelah semua, angin apa yang membawa semua ini?

Kenapa ayah tiba-tiba berbicara padaku?

“——Karena malam ini akan dingin.”

Mengucapkan kelanjutan singkat, ayah pun meninggalkan ruang keluarga dan menuju ke kamarnya sendiri.

Baru saja, ayah mengatakan sesuatu yang seolah mencemaskan tubuhku.

Itu adalah percakapan normal orang tua dan anak pada umumnya. Tak ada hal khusus.

Namun, bagi kami itu hal yang mustahil.

Aku masih termenung melihat ke arah di mana ayah berdiri sebelumnya.

“Ayahmu sudah bilang begitu, sekarang tidur cepat sana,” ucap Dewa Kematian dengan nada tenang.

“Biar enggak masuk angin, cepat sana kembali ke kamarmu. Maaf, aku tidak menyadarinya. Soalnya aku enggak bisa merasakan suhu udara.”

“Eh? I-iya ....”

Dewa Kematian cengar-cengir melihatku yang kebingungan.

“Nah, mendengar ceritamu kukira ayahmu itu orangnya dingin, tapi enggak sama sekali. Bahkan dia mencemaskanmu begitu, dia ayah yang baik. Bukannya dia tidak acuh. Kakak yah kakak. Kamu yah kamu. Dia pasti juga mencemaskanmu.”

Memang benar, tetapi itu sebelum kakak meninggal. Ayah orangnya pendiam, tetapi di setiap ucapannya tersimpan kepedulian kepadaku dan kakak.

Saat SD, aku masih ingat bagaimana ayah memegang pundak dan menghiburku saat aku menangis kesal karena gagal meraih posisi pertama di atletik. Aku tahu dia memiliki sifat baik seperti itu.

Namun, ayah berubah sejak kepergian kakak.

Ayah semakin jarang berbicara, dan setelah malam aku gagal ujian masuk, dia berhenti berbicara padaku. Jadi seolah bukan hanya kakak, tetapi aku juga tidak ada di rumah ini.

Meski begitu, apa yang merubahnya?

Apa terjadi sesuatu?

Menurutku tidak ada niat buruk, tetapi dalam lubuk hatiku tak bisa merasa senang.

Bagiku, itu seperti pertanda jika sesuatu akan terjadi.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama