Penerjemah:
Kuratari Translation
❈
Bab 6: Malam Keenam ❈
“Laut———!!”
Dewa Kematian tampak sangat senang begitu melihat
pemandangan luas di balik jendela kereta. Dia menopang tubuhnya dengan lutut di
atas kursi dan menempelkan wajahnya ke jendela layaknya anak kecil.
“Luar biasa, ya! Indah! Sini sini, kamu juga lihat!”
Sedari tadi dia mengisyaratkanku seperti itu.
“Tidak perlu menempel begitu, dari sini juga kelihatan,
kok. Lagian, kau terlalu heboh.”
Sembari berkata begitu pun, sejujurnya aku juga terpukau.
Birunya laut dan langit, merefleksikan cahaya matahari. Syukurlah karena
cuacanya cerah, jadi aku dapat melihat pemandangan indah ini.
Menaiki kereta umum pertama dari hari itu, lalu selama
perjalanan memakan makanan kotak bekal terkenal. Saat ini pukul satu siang.
Kini aku telah tiba di tujuanku, sebuah kota di tepi pantai bersama Dewa
Kematian.
Di sini adalah tanah kenanganku dengan kakak. Liburan
hanya berdua dengan kakak, saat kakak masuk usia dua puluh tahun. Di sini
adalah destinasi kami.
Saat itu, aku merasa sangat bersemangat karena ini
pertama kalinya aku pergi liburan tanpa bersama kedua orang tuaku. Aku merasa
seperti semakin dekat dengan kedewasaan. Setelah itu, Kakak semakin sibuk,
alih-alih bermalam saat liburan, pergi ke tempat yang jauh pun cukup sulit.
Jadi, saat itu menjadi liburan berdua bersama kakak yang pertama sekaligus yang
terakhir. Itu menjadi kenangan perjalanan yang takkan kulupakan.
Dua hari lagi hingga aku meninggal.
Aku berencana menjadikan tempat kenangan ini sebagai
terminal terakhir kehidupanku.
Melewati perjalanan panjang, kami pun turun. Tubuhku jadi
sedikit kaku akibat perjalanan panjang, jadi aku melakukan peregangan ringan,
yang mana Dewa Kematian menirunya, “Unnn ....”, meskipun itu tidak perlu.
Sebagai tempat turis, stasiun ini dipenuhi cendera mata
dan informasi turis. Namun, karena sekarang hari Senin, jadi tak terlalu banyak
orang di sini. Aku takdapat menemukan remaja sepertiku di sekitar sini. Yang
kulihat hanya orang dewasa dan orang luar negeri. Aku masih ingat saat itu aku
dan kakak pergi saat musim panas, jadi keadaannya jauh lebih ramai.
Selagi aku membeli air di toko, Dewa Kematian berjalan ke
sana-sini di sekitar stasiun, tampak tertarik. Mungkin karena dia baru pertama
kali ke sini. Dialah yang paling bersemangat melihat patung lokal seukuran
manusia.
Aku pun meninggalkan stasiun bersama Dewa Kematian.
Dengan peta turis di tangan, kulangkahkan kaki dengan mantap. Pertama-tama,
pergi ke penginapan untuk bermalam hari ini.
Aku datang ke sini sudah lima tahun lalu, dan aku
menyerahkan semua rute perjalanan pada kakak, jadi ingatanku kabur. Namun, jika
ada yang kuingat, aku akan mengikuti rute yang sama. Meskipun telah tiba di
perumahan, aroma garam masih dapat tercium. Perasaan segar yang takkan bisa
kurasakan di kota. Perasaan ini, aku masih mengingatnya.
Dalam perjalanan menuju penginapan, terdapat kios yang
memasak kerang segar, jadi aku membeli lalu memakannya. Sangat lezat. Aku sudah
sangat puas dengan rasanya meski tanpa bumbu apa pun.
Lalu berjalan sekitar dua puluh menit. Penginapan tujuan
kami pun sudah terlihat.
Karena mengingat dengan jelas nama penginapannya, jadi
aku memilih tempat yang sama saat datang dengan kakak. Penginapan ini terkenal
karena pemandian air panas terbukanya yang dekat dengan laut. Baik makanan dan
pemandiannya benar-benar yang terbaik.
Pertama, aku lapor masuk. Karena akan merepotkan kalau
sampai ketahuan aku masih di bawah umur, jadi aku berpura-pura menjadi
mahasiswa dan memalsukan umurku. Aku lega karena baik resepsionis dan bahkan
pemilik penginapan yang memanduku ke kamar tidak menyadarinya.
Kamar yang kutempati tidak sama seperti dulu, tetapi
interiornya sebagian besar sama. Ruang bergaya Jepang dengan pencahayaan
matahari dan ventilasi yang bagus. Aku pun menemukan manjuu selamat
datang seperti dulu, jadi aku memakannya. Tentu saja, rasanya sama.
Kuletakkan tas bawaan untuk menghilangkan beban, lalu aku
hanya memasukkan dompet dan ponsel ke kantung dan pergi berjalan-jalan.
Aku berganti pakaian sebelum pergi. Seperti biasa, saat
aku berganti pakaian Dewa Kematian akan keluar.
Saat ia melihatku setelah berganti pakaian, wajahnya pun
berbinar.
“Wah! Kelihatan bagus! Cocok banget, kok! Enggak rugi
‘kan beli baju itu!”
Baju yang kupakai adalah baju yang kubeli bersama Dewa Kematian.
Karena dia bilang sekalian saja karena tanggung, jadi aku memasukkannya ke
dalam barang bawaan.
Saat berganti pakaian, aku sedikit terkejut saat melihat
tubuhku di cermin. Aku berpikir jika mirip kakak.
Mungkin memang sebagian karena aku membeli pakaian di
toko yang sama dengan kakak, tetapi kurasa dalam setahun ini aku sudah lebih
tinggi. Mungkin karena ini juga resepsionis tidak mencurigaiku sebagai
mahasiswa. Fisik kami juga mirip, jadi entah bagaimana membuatku merasa memang
aku adalah adiknya.
Apa aku sudah dapat sedikit mengejarnya?
Aku—telah berganti pakaian—pun meninggalkan penginapan
bersama Dewa Kematian. Kami kembali berjalan mengikuti peta panduan. Karena ada
tempat yang sangat ingin dikunjungi Dewa Kematian, jadi kami pergi ke sana.
“Uhyyyoooooooo!!!”
Setibanya di sana, ia menumpahkan kesenangannya sampai
seperti itu. Sepertinya ini tempat yang benar-benar sangat ingin ia kunjungi.
Dia terus melompat kegirangan.
“Luar biasa, luar biasa, luar biasa!”
Apa yang menyebar dalam bidang pandang kami ialah
cakrawala tanpa batas.
Laut.
Karena Dewa Kematian bilang sangat ingin melihat laut
dari dekat, jadi kami pun datang ke pantai.
“Wah, luar biasa! Biasanya aku hanya melihatnya di TV
atau buku, tapi kalau dilihat dari dekat begini luar sekali, ya!”
Tampaknya dia baru pertama kali melihat laut dari dekat.
Dewa Kematian berlari di atas pasir pantai menuju laut. Dia berlari hingga ke
tepi pantai.
Aku tetap diam, lagi pula aku takperlu cemas Dewa
Kematian akan tersapu ombak. Sambil melihat rumput laut yang terdampar, ia pun
jadi heboh.
Si Heboh satu ini. Sekarang pun semangatnya terlihat
seolah ingin melompat ke laut dan berenang. Namun, musim telah usai, berenang
di pantai jelas mustahil. Aku datang ke sini dengan kakak pada musim panas,
jadi kami diizinkan menikmati aktivitas laut. Di antaranya jet ski yang mengacu
adrenalin.
Meskipun, Dewa Kematian tidak bisa berganti ke baju
renang atau berenang, masalah musim pun tidak ada hubungannya.
Lalu, saat itu.
“Ugyyyaaaaaaa!!”
Ombak besar datang.
Memantau dari kejauhan, aku pun menyadari datangnya ombak
besar, tetapi tidak kuberitahu. Kejutan untuk Dewa Kematian.
“Haha. Kau ini sedang apa.”
Dewa Kematian terlalu membesar-besarkan keterkejutannya.
Nyatanya, dia sama sekali tidak menerima kerusakan, jika
manusia yang terkena ombak itu sudah pasti akan tersapu. Itu takdapat
terhindarkan.
“Ahh, bikin kaget .... Lagian tiba-tiba ombak besar
datang ....”
Dewa Kematian terjatuh ke belakang dengan hebohnya sambil
terkejut.
“Kuku .... Hahahahahaha!”
Reaksi Dewa Kematian terlalu lucu sehingga membuatku
terbahak-bahak.
“Tu-tunggu, ketawamu berlebihan!”
Sambil berkata begitu, Dewa Kematian pun ikut tertawa
seolah tak tahan lagi.
*****
Kunaiki tangga batu.
Langkah demi langkah, menuju taman di atas bukit.
Di sana juga terdapat kuil Buddha yang terkenal. Tertulis
ada berkah keselamatan dalam perjalanan. Apa kakak akan dapat terhindar dari
kecelakaan jika berdoa dengan benar kuil ini?
Menempuh setengah perjalanan, kami tiba di sebuah
perhentian. Di sana ada produk spesial dan sajian lembut es krim. Aku membeli
minuman berkarbonasi di toko lalu segera meneguknya.
“Cepat, cepat~~”
Dewa Kematian dengan santainya menaiki tangga, tetapi aku
manusia hidup. Bukan lereng terjang juga, sih, tetapi karena sedari tadi terus
berjalan kakiku terasa pegal. Aku menaiki puncak dengan perlahan dan mantap.
Tak lama kemudian kami tiba di puncak.
“Iya! Pemandangannya indah!”
Dari puncak taman ini kami dapat melihat laut dan kota
sekali pandang. Jalan yang sedari tadi kulalui pun terlihat dari sini.
“Kamu juga datang ke sini dengan kakakmu, ‘kan?”
“Ya. Kami melihat pemandangan dan berfoto bersama.”
Saat itu musim panas, karena sekarang musim gugur jadi
pemandangan yang dilihat pun berbeda.
Tak lama dari sekarang, musim dingin pasti akan membawakan
pemandangan yang berbeda lagi. Pastinya saat turun salju nanti akan jadi
pemandangan yang misterius.
Sayangnya aku takdapat melihat itu. Karena aku sudah tak
ada lagi di dunia ini.
“Nah, kalau ‘gitu ayo kita juga berfoto. Sama seperti
saat dengan kakakmu.”
Awalnya kupikir percuma saja berfoto, tetapi hanya itu
yang dapat kutinggalkan di dunia ini. Karena akan meninggal, aku jadi ingin
meninggalkan kenang-kenangan.
Aku mulai mengeklik foto dan melepas rana kamera ke
pemandangan di sekitarku.
“Hei, hei! Sekalian foto berdua saja!”
Aku sedikit ragu dengan saran Dewa Kematian, tetapi
kuputuskan ‘tuk mengiyakan.
Kuatur ponselku ke mode swafoto dan mengangkatnya ke
atas, hingga dapat melihat diriku dan pemandangan secara bersamaan.
Dewa Kematian tepat di sampingku.
Wajahnya begitu dekat denganku. Sesaat, jantungku
berdetak kencang, tetapi aku takdapat merasakan napas maupun kehangatan
tubuhnya.
Seraya merasa sedih, kutekan tombol foto.
“ ’Gimana? Coba aku lihat!”
Dewa Kematian mengintip foto yang baru saja diambil.
Namun, di sana hanya ada aku seorang.
“Haha! Yah, pastinya begitu.” Dewa Kematian tertawa
sedih.
Tak ada sosoknya dalam foto. Setelah meninggal kelak,
dalam foto masih tersisa sosokku, tetapi gadis ini tidak tersisa di mana pun.
Hanya aku seorang yang akan mengingatnya.
“Yah, enggak apa-apa! Ayo berfoto lebih banyak lagi.”
Aku terus berfoto bersama Dewa Kematian. Karena aku
takbisa meminta siapa pun memfoto, jadi semuanya aku yang melakukan.
Mungkin saja aku terlihat seperti orang narsis yang terus
melakukan swafoto. Yah, meskipun aku sudah tak peduli lagi dengan pikiran orang
sekitar. Yah, ada yang bilang jika didekatkan akhir maka seseorang bisa
melakukan apa saja, dan besok aku akan menghilang dari dunia ini.
{Catatan: 旅の恥は搔き捨て = once over the borders one may do anything =
Begitu melewati batas seseorang dapat melakukan apa saja. Kalimat ini ane
kurang yakin, dan di kamus ketemunya ini. Jadi mungkin ini merujuk ke tokoh
utama yang melewati batas ( Hendak meninggal ), maka bisa melakukan apa saja (
Melepas rasa malu ), sebentar lagi mau meninggal buat apa mikirin malu? Kurang
lebih begini. Bagi yang bisa mengoreksi silakan saja.}
Satu demi satu foto dengan ruang kosong tak alami dibuat.
Kenanganku tentangnya—hanya aku yang mengetahuinya—terus menumpuk.
Lalu, itu terjadi saat aku tengah terfokus mengambil
foto.
“Mas dan Mbak. Kalau kalian mau aku bisa memfoto kalian.”
Seorang kakek berambut abu-abu yang duduk tak jauh dari
kami tiba-tiba berbicara. Karena terkejut, aku pun berhenti berfoto.
Aku tidak melewatkan apa yang Kakek ini katakan. Karena
itu, aku melihat sekitar, dan yakin jika Kakek ini berbicara padaku. Lagi pula
saat ini hanya ada kami.
Sangat mengejutkan.
Baru saja, Kakek ini melihat ke arahku dan mengatakan,
“Mas dan Mbak”, dan bukan hanya, “Mas”.
“ ... Umm, apa Anda berbicara pada saya?”
Saat aku bertanya dengan takut, Kakek itu mengangguk
sembari melukis senyum.
“Iya, benar. Soalnya tidak ada siapa-siapa di sini. Dari
tadi kalian berdua terus berfoto, ‘kan? Atau, aku mengganggu kalian?”
Aku pun memahami situasinya. Kakek ini dapat melihat Dewa
Kematian.
Selama ini, aku hampir meragukan keberadaan Dewa
Kematian. Aku ragu jika dia hanyalah buah dari imajinasiku, dan sampai sekarang
aku takdapat memastikannya.
Namun, akhirnya aku memiliki keyakinan.
Ternyata dewa kematian memang ada. Dia tengah berdiri di
sampingku.
Entah mengapa aku jadi bersemangat. Lagi pula aku bisa
memastikan jika aku tidak gila, dan aku mengerti jika gadis ini benar ada.
Namun. Aku tidak bisa senang secara lepas.
Jika begitu, ajak Kakek ini pun sudah dekat.
“Taman ini indah, ‘kan? Fufu. Sebenarnya, aku setiap hari
membersihkan taman ini.”
Kakek tua—yang taktahu waktu hidupnya—mengangkat sapu
kayu bambu yang diletakkan di sampingnya dengan senang. Tampak usang, aku bisa
membayangkan Kakek ini membersihkan taman ini sejak lama.
Saat diberitahu itu, jika kuperhatikan taman ini memang
dibersihkan dengan baik.
Memang wajar karena tempat wisata, tetapi dibalik semua
itu, terdapat seorang Kakek tua yang terus-menerus membersihkan taman dengan
tulus.
“Jadi seperti itu, pasti sulit, ya. Untuk ke sini juga
harus naik cukup tinggi.”
“Kalau sudah terbiasa biasa saja. Semua sepadan jika
berpikir pemandangan tempat ini bisa jadi kenang-kenangan untuk pasangan muda
seperti kalian.”
“ ’pasangan’ .... Tidak, kami itu bu—“
“Iya, benar! Benar-benar taman yang indah, dan jadi
kenang-kenangan terindah kami!” Ucap Dewa Kematian, dengan wajah tampah puas.
“O-oi .... Apa maksudmu ....”
“Enggak apa-apa, ‘kan? Bukan masalah besar ini.”
Yah, tidak masalah, sih ....
Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku melihat
orang lain berbicara dengan Dewa Kematian. Mungkin saja pernah berpas-pasan,
tetapi kalau sampai berbicara baru Kakek ini. Terasa asing.
“Haha, kalian kelihatan cocok.”
“Ahaha! Benar begitu? Duh, jadi malu~~~”
Dasar, jadi semangat sendiri seperti itu ....
Yah, tidak buruk juga, sih ....
“Suah bertahun-tahun aku melihat pasangan di taman ini,
tapi kalianlah yang paling senang.”
“Soalnya di sini indah sekali! Profesional soalnya, profesional!
Karena yang membersihkan profesional!”
“Hahahaha! Bicaramu manis sekali. Tapi, meski
menyanjungku tidak akan keluar apa-apa, lo?”
“Tidak tidak! Bukan menyanjung, tapi benar-benar memuji!”
Semangat Dewa Kematian lebih tinggi dari biasanya. Kemungkinan
karena sudah lama ia tidak mengobrol dengan orang lain selain aku. Jadi ia
terus mengobrol dengan Kakek itu.
“Ohh, kalau datang dari tempat yang jauh, ya. Sekolahnya
lagi libur, ya?”
“Eh?! I-iya, sedang libur.”
Dewa Kematian membalas dengan panik. Aku juga tidak bisa
memberitahunya kalau aku membolos.
“Kakek orang sini?”
“Iya, benar. Aku lahir dan besar di sini.”
Suaranya tampak ceria. Selain itu, karena setiap hari
naik ke sini berjalan kaki demi membersihkan taman, jadi ia tidak terlihat
seperti seseorang yang hendak meninggal.
Meski begitu, Kakek ini akan mencapai akhir hidupnya.
“ ... Kau tidak perlu bekerja?” Tanyaku, berbisik
padanya.
Lalu, Dewa Kematian balik bertanya, “Apa maksudmu?”.
“Tidak, pekerjaan Dewa Kematian. Dia bisa
melihatmu. Memberitahu sebentar lagi akan meninggal itu pekerjaanmu, ‘kan?”
“Iya, kamu benar. Benar juga ....”
Ucapannya terdengar samu.
Pekerjaan Dewa Kematian adalah
memberitahu orang yang hendak meninggal. Seharusnya begitu, tetapi sedari tidak
ia hanya berbicara santai dengan Kakek itu dan tidak mencoba memberitahunya.
Aku penasaran sebenarnya ada apa. Apa ada alasan yang
tidak bisa ia katakan?
“Umm, maaf ....” Karena dia tetap diam, jadi aku
berbicara dari belakangnya.
“ ... Jika, ini hanya jika .... Jika ada yang memberitahu
Anda jika Anda akan meninggal satu minggu lagi, apa ada hal yang ingin Anda
lakukan ...?”
Aku berbicara hampir tanpa sadar, seolah-olah
menggantikan Dewa Kematian.
Aku tertarik, bagaimana orang lain akan bereaksi jika
diberitahu dalam satu minggu lagi mereka akan meninggal. Lalu, apa yang akan
mereka lakukan selama jeda sebelum meninggal.
Kakek itu terdiam dengan ekspresi bingung.
“Ah! Ma-maaf! Tiba-tiba mengatakan hal yang tidak sopan
....”
Aku segera menyesal. Aku ini bicara apa. Tiba-tiba berkata
begitu, tidak mungkin orang akan mengerti.
“Ah, tidak apa-apa. Kamu tidak perlu menunduk sampai
seperti itu. Aku hanya berpikir orang-orang muda memikirkan hal-hal aneh. ...
Satu minggu, ya,” ucap Kakek, dengan suara serius dan membuat gelagat berpikir.
Tampaknya ia berniat menjawab pertanyaanku dengan serius.
“Yah, meskipun meninggal besok dan buka seminggu lagi,
aku tidak akan melakukan apa pun. Seperti biasa, datang ke sini lalu
membersihkannya. Hanya itu.”
Jawaban sederhana. Aku yakin meski dia akan benar
meninggal besok, tetapi ia akan menaiki bukit ini dan melakukan rutinitas
bersih-bersihnya seperti biasa.
“ ... Apa tidak ada sesuatu yang akan jadi penyesalan?
Seperti tempat yang ingin Anda kunjungi sebelum meninggal, ingin berpamitan
dengan seseorang, atau hal lain semacam itu?” Tanyaku, seolah aku adalah Dewa
Kematian.
“Tidak ada, kok. Aku juga bertemu anak dan cucuku setiap
hari, jadi tidak ada hal baru yang ingin kulakukan.”
“Tapi, kenapa Anda tetap membersihkan taman ini sebelum
meninggal? Saya pikir itu memang hal luar biasa, tapi jika meninggal maka tidak
ada artinya. Jadi, apa ada artinya?”
Aku tahu mengatakan hal yang tidak sopan. Meski begitu,
aku tetap bertanya.
“Hmm, semuanya juga sering bilang begitu. Tidak ada yang
meminta, dibayar juga tidak, tapi kenapa setiap hari terus membersihkan tempat
ini.”
Tanpa merasa tersinggung, Kakek itu terus berbicara
sambil tersenyum lembut.
“ ... Almarhum istriku suka pemandangan di sini. Awalnya,
dialah yang membersihkan taman ini. Meski kubilang tidak ada gunanya jadi
berhenti saja, tapi dia tetap datang ke sini lalu bersih-bersih. Di hari dia
meninggal juga sama. Jadi, setelah dia meninggal, akulah yang mulai
membersihkan tempat ini.”
Kata-kata Kakek—tak tersimpan keraguan—menyentuh
telingaku yang bercampur dengan gemeresik laut musim gugur yang bergoyang
tertiup angin musim gugur.
“Mas. Apa kamu penasaran? Almarhum istriku takkan
memujiku meski aku terus membersihkan. Kamu bertanya apa artinya?”
Dalam diam aku menggelengkan kepala terhadap pertanyaan
yang seolah dapat melihat ke hatiku.
“Kalau arti ada, kok,” ucap Kakek, dengan tegas. “Karena
aku sudah memantapkan hati.”
Mendengar jawaban itu, aku terdiam sejenak.
Ekspresi Kakek bahkan lebih bangga dari ucapannya.
Seorang wanita paruh bawa—pasti kenalan Kakek—menundukkan
kepala sambil berkata, “Terima kasih atas kerja kerasnya setiap hari.”.
Kakek tersenyum senang sembari melambaikan tangan.
Pasti meski dia akan meninggal, seseorang akan meneruskan
keinginan terakhirnya dan membersihkan tempat ini. Melihat bagaimana estafet
berjalan, maka mungkin memang ada artinya.
Pikirku menurut pendapatku sendiri.
“ ... Saya akan segera kembali. Maaf karena menanyakan
hal aneh.”
“Ya, aku tidak keberatan. Kalau begitu, selamat tinggal.”
Aku pun berjalan bersampingan dengan Dewa Kematian.
“Mas, jaga baik-baik pacarnya, ya.”
Dengan suara Kakek itu dari belakang, kami pun
meninggalkan taman.
“Fufu, ‘Pacar’ katanya,” ucap Dewa Kematian, sambil
cengar-cengir.
“Hei ....”
“Hm? Ada apa?”
“ ... Aku akan ke mana setelah meninggal? Dunia seberang
itu seperti apa?”
Dewa Kematian membuat ekspresi bermasalah.
“Entahlah .... Aku juga tidak tahu persis .... Lagian aku
belum pernah ke sana.”
“Apa kau tidak ikut denganku ...?”
“ ... Dulu sudah aku kasih tau, ‘kan? Aku tidak bisa ikut
campur dengan kehidupan atau kematian orang itu. Aku tidak bisa melakukan
sesuatu seperti membawa jiwa ke dunia seberang.”
“Begitu, ya ....”
Dengan kata lain.
Setelah meninggal, berarti itu perpisahan kami.
*****
Setelah itu, kami kembali ke penginapan karena sudah
malam.
Makan malam disajikan di restoran bawah tanah secara
prasmanan. Ada berbagai pilihan masakan khas Jepang dan Barat, yang berfokus
pada masakan laut. Aku membuang banyak waktu memakan masakan yang diinginkan
Dewa Kematian, tetapi karena semuanya lezat entah bagaimana bisa kuhabiskan.
Begitu kembali ke kamar, futon telah
disiapkan. Aku pun segera berbaring lalu mengelus perutku yang kekenyangan.
“Sumpah, perutku kepenuhan .... Lagi pula, kenapa aku
yang harus menghabiskan manisanmu ....”
“Fufu. Kerja bagus, kerja bagus,” ucap Dewa Kematian,
sambil melihat-lihat sekitar.
“ ... Kenapa?”
“Hm? Ah, tidak, kayaknya cuma ada satu futon,
ya.”
Yah, wajar saja. Orang dari penginapan ini tidak ada yang
bisa melihatmu, dan aku memesan ruangan ini untuk satu orang. Dari sudut
pandang sekitar, aku hanya berlibur sendirian.
“Hei hei ....”
Sambil cengar-cengir, Dewa Kematian berbicara, “Sesekali
ayo tidur bareng.”
“ ... Hah? Coba ulangi?”
“Ja——di, ayo tidur di futon yang sama.
Kayak kekasih ‘gitu. Kakek tadi juga bilang kita itu pasangan yang cocok.”
“Hah ...? Bicara apa kau ini ....”
Aku menghela napas, sambil mempertanyakan omong kosong
apa yang ia ucapkan. Sekarang aku sedang kekenyangan, jadi aku tidak punya
waktu meladeni candaan semacam itu.
“Fufu. Enggak usah malu, kok.”
“ ... Siapa yang malu. Lagi pula, kau tidak perlu tidur,
‘kan?”
Bahkan sejak pertama kali aku bertemu Dewa Kematian, saat
bangun pagi sudah menjadi kebiasaan ia menatapku ke bawah. Dia tidak tidur
semalam dan terus mengawasiku.
“Ya, benar. Meskipun aku coba mengantuk, tapi enggak
bisa. ... Selain itu, enggak peduli sedekat apa, aku enggak bisa menyentuh
orang lain, begitu juga sebaliknya,” ucap Dewa Kematian, dengan sedih.
Setelah rehat sejenak, aku dapat bergerak, lalu pergi ke
luar kamar meninggalkan Dewa Kematian. Karena ingin ke pemandian air panas.
Aku pun berendam di pemandian air panas terbuka dengan
pemandangan laut demi menghangatkan diri. Angin malam membelai pipiku. Rasanya
begitu nyaman.
Sembari berendam di pemandian air panas, kuingat kembali
ekspresi sedih yang Dewa Kematian tunjukkan di kamar.
Baginya yang tak memilih tubuh nyata, ia tak dapat
merasakan nikmatnya kehangatan pemandian air panas. Aku sangat kasihan padanya.
Lalu, esok aku pun tidak dapat lagi menikmati perasaan
ini. Sambil merasa begitu, aku pun menikmati pemandian air panas hingga
maksimal.
Saat aku kembali ke kamar, aku duduk di teras sambil
melihat pemandangan. Angin laut kembali membalut tubuh, yang dipanaskan di
pemandian.
Anehnya, rona daun musim gugur di malam hari tampak
sangat indah.
Tanpa sadar, aku pun memfotonya.
Aku berulang kali mengambil gambar, meskipun aku tahu aku
takkan bisa melihatnya lagi nanti. Setelah aku meninggal, ponsel ini pasti akan
dikirimkan ke orang tuaku. Meninggalkan jejak kehidupanku akan menjadi
tindakkan berbaktiku yang terakhir. Kutekankan itu pada diriku sendiri.
“ ... Sungguh, sesuatu yang menyenangkan selalu berlalu
cepat ....”
Dewa Kematian datang duduk di sampingku, lalu ia
mendekatkan pundaknya denganku. Aku tak mencoba menolak atau menjauh. Kami
duduk bersampingan, sama-sama memandangi pemandangan indah.
“Hari ini, aku sangat bersenang-senang.”
Saat kulihat ke arahnya, ia tengah menatap langit.
Terpikat, aku pun menatap ke arah yang ditatapnya.
Bulan telah tinggi. Sebuah keindahan misterius. Tanpa
sadar, aku mengambil gambar lain.
“Bukan hanya hari ini. Meski enggak lama, hari yang
kuhabiskan denganmu menyenangkan. Pergi ke sekolah dan kencan di kota. Bahkan
aku bisa melihat laut yang sejak lama ingin kulihat. Waktu yang berharga.”
Sambil menatap bulan, Dewa Kematian mengulas kejadian
satu minggu ini, dan mulai menceritakan hal itu.
Tersugesti, aku pun ikut mengulas satu minggu ini.
Dibandingkan dengan jumlah kehidupanku, itu sangatlah
singkat. Meski begitu, satu minggu terakhir ini meninggalkan kesan terlalu kuat
padaku.
“Sebagian besar aku enggak bisa bersamanya, tapi aku
senang bisa bertemu Hana,” ujar Dewa Kematian, menurunkan suaranya.
Benar, memang ada hal menyenangkan, tetapi juga ada
kepedihan perginya Hana.
Jika ada hal menyenangkan, maka juga ada hal menyedihkan.
Seminggu terakhir ini merupakan bentuk kecil kehidupanku
selama ini.
“——Terima kasih, ya.”
Aku pun dibuat bingung oleh kata-kata mendadak Dewa
Kematian.
Sebenarnya, ucapan terima kasih untuk apa?
“Aku selalu sendiri. Selalu berjalan di dunia ini
sendirian. Bosan dan sedih, aku mulai benci dunia ini. Kamulah yang pertama
kali menerima diriku yang seperti itu. Terima kasih, ya. Kamu orang paling baik
yang pernah aku temui.”
Dewa Kematian telah mengatakannya. Dia terus berjalan di
kota mencari orang yang bisa melihatnya. Namun, semua orang yang bisa
melihatnya hanya berakhir takut, dan tak pernah menganggapnya serius. Hanya aku
yang mempercayai dan mendengar apa yang ia katakan. Itulah mengapa kami mulai
bertindak bersama.
Ia menyebutku baik karena itu.
Namun, salah. Bukan begitu. Dia salah paham akan sesuatu.
Bukan soal aku orang yang baik atau peduli. Melainkan Dewa Kematian yang
datang memberitahukan kematian. Kebanyakan orang takkan menerimanya. Sebagian
besar orang pasti akan menolak. Karena kau tidak lebih dari wabah yang membawa
kematian.
Lalu, mengapa aku menerimanya?
Karena aku sejak awal sudah menerima kematian.
Itu hanya karena aku telah menyerah pada hidup, jadi aku
dapat menerima Dewa Kematian. Singkatnya, sebuah rangkaian kebetulan.
“Sungguh menyenangkan. Maaf, ya. Niatku membuatmu
tersenyum, tapi akulah yang terus dibuat tersenyum.”
“ ... Aku tidak melakukan apa-apa. Kau yang senang
seenaknya.”
Benar. Dia hanya menanggapi berlebihan segala hal kecil
tanpa aku harus melakukan sesuatu. Aku tak melakukan sesuatu yang layak
menerima terima kasih.
“Enggak begitu, kok. Karena kamu menerimaku semua jadi
menyenangkan. Terima kasih karena sudah bersamaku. Berbicara padaku. Aku,
takkan melupakan waktu yang kuhabiskan denganmu.”
“ ....”
Sedari tadi, apa maksudnya. Rasanya geli kalau kau
berterus terang di depanku begitu. Apa dia berniat memberikan salam perpisahan,
karena besok aku akan meninggal.
“ ... Yah, syukurlah kalau kau senang. Tapi, kalau sama
kakak pasti kau bisa mendengarkan cerita lebih seru lagi.”
“Ya, kamu benar.”
“ ‘kau benar’ ... apaan ....”
Nada bicaranya itu, seolah ia pernah bertemu dengan
kakak.
“Kakak yang kamu maksudnya pastinya bisa melakukan apa
pun dan bisa menceritakan hal seru. Tapi, kamu bukan kakakmu, dan kamu enggak
bisa menceritakan hal seru, ‘kan?”
“ ... Iya. Aku tidak bisa menjadi seperti kakak.”
“Tapi, aku senang bersamamu. Satu minggu sangat
menyenangkan. Karena bersamamu aku bisa membuat satu minggu seperti ini.”
“ ... Kalau dengan kakak, kupikir kau bisa lebih senang
lagi. Aku tidak seberapa dibandingkan kakak.”
“Bukan. Ini bukan soal yang lebih baik atau unggul.
Kakakmu yah kakakmu. Kamu yah kamu. Enggak siapa pun bisa menggantikan. Pasti
aku juga bisa bersenang-senang jika dengan kakakmu. Tapi, satu minggu bersamamu
ini sangatlah menyenangkan. Satu minggu ini adalah kenangan yang hanya bisa
dibuat olehku dan kamu.”
Dewa Kematian terus melanjutkan sambil tersenyum.
“Memang benar kakakmu orang yang luar biasa. Semua orang
mencintainya, dan dia mencintai semuanya. Jika masih hidup, dia pasti banyak
menyelamatkan nyawa orang lain. Tapi, ada hal yang hanya bisa dibuat hanya
olehmu. Ada kehidupan yang hanya bisa dibuat olehmu. Jadi, jangan berpikir
dirimu enggak punya nilai. Seseorang enggak bisa jadi orang lain. Kamu hanya
bisa jadi dirimu.”
Aku tahu. Aku hanya bisa menjadi diri sendiri. Aku tahu
itu. Karena sadar akan hal itu, aku berhenti mencoba menjadi seperti kakak.
Aku selalu ingin jadi seperti kakak. Menjadi orang yang
dicintai semua orang. Pintar belajar, baik dalam olahraga, banyak orang yang
bergantung, dan menjadi orang yang berusaha demi orang sekitar. Menjadi orang
yang dapat melindungi orang asing, meski mengorbankan dirinya sendiri.
Kupikir itulah arti hidupku. Jika sudah tidak ada, maka
hidupku sudah tak bernilai. Aku hanya orang tak berguna yang takkan bisa
menjadi pahlawan seperti kakak.
Namun, gadis ini mengatakan jika dia senang bersamaku,
meskipun aku hanya manusia tak berguna.
Dia mengatakan bersyukur bertemu denganku.
Dia menerimaku yang tak bisa menjadi seperti kakak.
Ah, jadi begitu.
Aku selalu mengharapkan kata-kata ini.
Aku ingin ayah atau seseorang mengatakan itu.
Tak kusangka Dewa Kematianlah yang akan mengatakannya.
“Ah, umm, itu .... Maaf, tiba-tiba bicara sombong begitu.
Tapi, biarkan aku mengatakan ini saja. Hidupmu tidak sepele. Jadi, jangan
menyangkal dirimu untuk hidup. Jangan katakan hal menyedihkan seperti meninggal
pun bukan masalah. Aku menyukaimu enggak peduli apa kata orang.”
Untuk sesaat, keheningan berlangsung.
“ ... Ah!! Su-suka yang aku maksud itu begini!!
Se-sebagai manusia!! Ja-jangan salah paham, ya, duhh!!” Ucap Dewa Kematian,
dengan panik dan wajahnya pun merona.
“ ... ....”
Kukepalkan tinjuku sambil menatap Dewa Kematian.
Kau ini bicara apa.
Apa yang kau katakan padaku yang hendak meninggal ini?
Kenapa kau mengucapkan kalimat semacam itu pada orang
yang hendak pergi?
Itu jelas aneh.
“Aghh, dasar ....”
Aku mengacak-acak kepalaku.
“Kenapa ...?”
Dewa Kematian mengintip wajahku, tampak cemas.
“ ... Kenapa begini ....”
Perasaan yang tak tertahankan mulai meluap.
“ ... Kenapa begini ....”
Lalu.
Meledak dalam sekejap.
“Kenapa begini ...! Kau kenapa begini ...?! Kau ini mau
apa?!?!”
Karena tiba-tiba aku berteriak, dia tampak sangat terkejut.
Tanpa peduli, kuluapkan seluruh emosiku secara langsung.
“Ini aneh! Bukankah tugasmu menyelesaikan penyesalan yang
tertinggal?! Kalau begitu kenapa kau melakukan ini?! Aghh, dasarrr! Sial!
Sialan! Ini parah!!”
Kugaruk kepalaku dengan kasar sambil berteriak.
Dewa Kematian berkata. Orang yang masih memiliki
penyesalan selama hidupnya akan menjadi hantu setelah meninggal. Mencegah itu
adalah pekerjaannya.
Kalau begitu, seperti yang kukatakan, pekerjaan Dewa
Kematian sejak awal sudah usai. Aku tidak punya penyesalan, jadi tidak perlu
cemas akan jadi hantu.
Namun, gadis ini repot-repot mencoba mencarinya. Apakah
ada penyesalan selama hidupku. Apa ada yang ingin kulakukan. Apa ada tempat
yang ingin kukunjungi. Ngotot bertanya. Dia mencoba membuatku mengalaminya.
Inilah hasilnya.
Satu minggu yang kuhabiskan bersamanya, membuatku
merasakan perasaan yang sama seperti saat kakak masih hidup. Dia membawaku
kembali pada perasaan di hari aku menyimpan harapan ‘tuk hidup.
“ ... Bagiku juga, satu minggu yang kuhabiskan denganmu
sangat menyenangkan. Kau membuatku mengingat aku dapat merasakan kebahagiaan
seperti ini jika terus hidup ...!”
Hari-hari setelah kepergian kakak berwarna abu-abu,
membuatku sulit untuk terus hidup. Kehilangan tujuan, hubunganku dengan ayah pun
berantakan. Membuatku berpikir, tidak peduli seberapa keras aku berusaha,
seberapa keras aku berusaha demi orang lain, jika meninggal maka semuanya
berakhir. Membuatku berpikir hidup adalah hal sia-sia.
Seminggu yang lalu, aku serius berpikir tidak keberatan
meninggal.
Tidak, aku sudah meninggal.
Sebelum bertemu Dewa Kematian aku sudah meninggal.
“Kalau aku tidak bertemu denganmu, aku tak perlu melalui
perasaan semacam ini ...! Kalau kau tidak ada, aku bisa meninggal tanpa ada
penyesalan! Kenapa kau ikut campur begini?! Kenapa kau mengucapkan kalimat baik
seperti itu?! Kenapa kau mengatakan sesuatu yang membuatku ingin terus hidup?!”
Semua itu berubah saat aku bertemu dengannya.
Dia membuatku hidup kembali.
Berkat kata-kata baik Dewa Kematian membuatku masih ingin
hidup. Membuatku pikir ingin membuat lebih banyak kenangan. Jika aku tidak
bertemu Dewa Kematian, aku bisa pergi ke dunia seberang tanpa penyesalan. Aku
bisa pergi tanpa harus melewati perasaan pahit seperti ini.
Kenapa kau menggangguku? Kenapa kau membuatku ingin terus
hidup? Apa tujuanmu? Apa tujuanmu membuatku tersiksa?
Tidak, aku tidak ingin. Aku tidak ingin meninggal.
Aku ingin hidup. Aku ingin terus hidup.
Aku ingin hidup dan menghabiskan lebih banyak waktu
dengannya.
Aku ingin bersama Dewa Kematian.
Aku ingin membuat kenangan dengannya.
Aku ingin melakukan banyak hal dengannya.
Ahh, mengapa begini? Perasaanku meluap saat datang ke
sini.
Aku ingin mencoba masakan lezat lain sama seperti malam
ini. Saat berumur dua puluh tahun aku ingin minum sake. Aku ingin mengemudi
mobil. Aku ingin bermain pachinko. Aku ingin membaca buku baru dari
penulis yang akhir-akhir ini tidak merilis buku baru. Aku ingin menulis novelku
sendiri. Aku ingin menikah. Aku ingin melihat registrasi pernikahan. Aku ingin
melihat anakku. Aku ingin menunjukkan kedua orang tuaku cucu mereka. Aku ingin
darmawisata lagi dengan kedua orang tuaku. Aku ingin melihat Jepang di masa
depan. Aku ingin bermain gim full dive VR. Aku ingin mencoba terjun
payung. Aku ingin pergi ke luar angkasa. Aku ingin menyewa bioskop. Aku ingin
memakai jam tangan mewah. Aku ingin mencoba trader harian. Aku
ingin mencoba pengamatan astronomi di lapangan terbuka. Aku ingin lari di
maraton Honolulu. Aku ingin membuka toko kopi di hari tua. Aku ingin bermain crane
game. Aku ingin pergi belanja dan membeli semua dari sini ke sini. Aku
ingin melihat salju di musim dingin lagi. Aku ingin melihat bunga sakura di
musim semi lagi. Aku ingin melihat laut musim panas lagi. Tahun depan aku ingin
ke sini lagi.
Ada banyak hal yang ingin kulakukan.
Ada banyak negara yang belum pernah kukunjungi.
Aku bahkan belum pernah mengunjungi makam Hana. Aku ingin
berbicara lagi dengan ayah. Aku ingin berbicara terus terang dengannya. Jika
bisa aku ingin kembali ke keluarga yang dulu. Aku tidak ingin pergi di situasi
yang masih kacau.
Tidak ada penyesalan setelah meninggal?
Tentu saja ada!
Ada banyak hal yang ingin kulakukan sampai meninggal
nanti. Aku hanya berpura-pura tidak melihatnya saja. Aku hanya mencoba tidak
melihatnya, karena jika aku melihatnya maka aku ingin hidup lebih lama lagi.
Jika hidup akan banyak hal pedih. Aku benci hidup saat
kepergian kakak dan Hana. Aku bertanya-tanya mengapa aku hidup sedangkan kakak
meninggal. Kupikir, jika Tuhan benar ada, mungkin ia salah membawa orang.
Aku tidak dapat jujur. Aku hanya mencoba melihat alasan
mengapa aku ingin meninggal. Aku tidak melihat alasan mengapa aku ingin hidup.
“Aku tidak ingin meninggal .... Kenapa harus meninggal
.... Memangnya apa yang sudah kulakukan?! Aku masih ingin hidup! Aku ingin
hidup, lalu melakukan banyak hal! Kenapa aku harus meninggal besok?! Kenapa
harus besok?! Kenapa tidak sepuluh tahun lagi?! Kenapa tidak dua puluh tahun
lagi?! Kenapa harus sekarang?! Kenapa .... Kenapa ...!”
Saat ini, aku bisa mengatakannya dengan jelas.
“Aku masih belum ingin meninggal ...!”
Namun. Besok malam, aku akan meninggal.
Setelah itu, aku akan berpisah dengan Dewa Kematian.
Dengan ayah dan ibu.
Semua orang yang kutemui hingga kini.
“ .......”
Aku berteriak hingga kehabisan napas, lalu berbalik di
tempat.
Sangat lelah.
Lalu, terasa begitu hampa.
Kenapa aku membiarkan emosiku meledak seperti ini?
Dewa Kematian berkata sambil menangis. “Aku senang ... kamu menemukan penyesalanmu ....”
Mengatakan itu, air matanya terus mengalir.
Ahh, kenapa, ya. Kenapa dia menangis?
Aku tidak mengerti perasaannya.
Lalu, aku pun jadi tidak mengerti perasaanku.
Kenapa aku menganggapnya cantik?
Ada apa dengan hatiku?
Dewa Kematian yang tengah menangis tampak indah di
mataku.
“ ... Kenapa ...?”
Aku termenung.
Tiba-tiba, ia menghilang entah ke mana.
Sebelumnya
|| Daftar isi ||
Selanjutnya