Penerjemah:
Kuratari Translation
❈
Bab 7: Malam Ketujuh ❈
Sang gadis menangis di ruang rawat.
Karena, tiba-tiba Masato tak datang lagi menemuinya.
Pada dirinya yang tak diperbolehkan meninggalkan ruang
rawat, Masato selalu menceritakan berbagai hal menyenangkan. Tentang dunia
luar. Tentang teman. Tentang sekolah. Masato menceritakan semuanya. Seolah ia
dapat merasakan dunia luar selagi ia berada di ruang rawat.
Bukan hanya menceritakan hal menyenangkan, Masato juga
mencemaskan tubuh dan hatinya. Dihadapkan kebaikkan itu, sang gadis
mencintai Masato layaknya kakak kandung, dan kunjungan Masato menjadi alasannya
untuk hidup.
Namun, suatu hari Masato berhenti menunjukkan batang
hidungnya.
Dokter lain datang menggantikan. Dia menanyakan soal
Masato, tetapi hanya diberitahu jika tempat kerjanya telah diubah. Sebelum
menghilang, Masato mengatakan semacam ujian, mungkin saja berhubungan dengan
itu. Apa artinya dia telah menjadi dokter sungguhan?
Jika benar begitu, mengapa Masato tidak datang
memberitahu?
Kenapa dia tidak memberikan salam perpisahan?
Apa bagi Masato, keberadaan dirinya hanya sebatas itu?
Sang gadis putus asa. Ia kembali memulai hari-hari
menangis di bantal. Tidak ada kesenangan, ia bahkan taktahu mengapa masih
hidup. Hari-hari semacam itu.
Ditatapnya sebuah cermin. Rambut pirang—diwarnai atas
keegoisannya—kini telah kembali ke warna hitam. Rambutnya sudah mulai rontok.
Tatapannya tampak depresi, tidak ada kepingan kehidupan.
Tak lama kemudian.
Di hadapan sang gadis muncul 『Gadis』.
“Kamu siapa ...?”
Malam hari, segera setelah membuka mata, ia melihat
seorang gadis dengan rambut dan pakaian berwarna hitam. Mungkin seumuran
dengannya. Dia tampak seperti murid SMP, tetapi juga terlihat seperti murid
SMA.
“Ohh? Jangan-jangan kamu bisa, melihatku?”
Gadis itu mengangguk, bingung mengapa gadis di depannya
menanyakan hal yang sudah seharusnya.
“Begitu, ya. Jadi begitu .... Akhirnya kamu bisa
melihatku .... Yah, kupikir juga enggak lama lagi.”
Nuansa ekspresinya saat mengatakan itu tampak sedih juga
sesal.
“Yah, kamu sudah cukup berusaha. Sejak dia enggak ke sini
lagi. Kamu juga semakin memburuk. Hatimu sudah enggak kuat. Kamu sudah menyerah
melawan penyakit yang menggerogoti tubuhmu. Lagi pula orang yang selalu menjadi
penyokongmu sudah enggak ada.”
Apa yang sebenarnya gadis ini katakan? Lalu, sejak kapan
gadis berambut hitam itu ada di sini? Bagaimana caranya bisa memasuki ruang
rawat ini? Sang gadis sama sekali tidak mengerti.
“Oh, aku lupa memperkenalkan diri. ... Aku ini, Dewa
Kematian.”
“Dewa Kematian?”
Sang gadis—yang telah lama berada di ruang
rawat—menghabiskan sebagian besar waktunya membaca komik. Dengan melarikan diri
ke dunia fantasi, ia dapat menemukan sedikit kepuasan. Dewa Kematian memang
banyak muncul di berbagai dunia komik, tetapi ia paham jika Dewa
Kematian itu tidak nyata.
Namun, gadis berambut hitam memang terlihat, dan ia ada
di sana.
Sang gadis dapat melihat Dewa Kematian dengan
sangat jelas.
“Aku, datang ke sini untuk memberitahumu kalau kamu
sebentar lagi akan meninggal. Karena aku adalah Dewa Kematian, yang
hanya dapat dilihat oleh orang yang hendak meninggal.”
Sang gadis mengingat sesuatu.
Sebelumnya, ada seorang gadis yang lebih kecil darinya
juga dirawat di ruang rawat ini. Dia pernah mengobrol dengan gadis itu, tetapi
dia mengatakan beberapa hal aneh.
『Mbak Dewa Kematian mendatangiku』, atau『Lihat, dia ada di sini』.
Tak lama setelah itu, gadis kecil itu meninggal di rumah
sakit.
Mengingat itu, dapat dirasakan detak jantung sang gadis
semakin kencang.
Maka, apa yang dikatakan gadis kecil itu memang
benar. Dewa Kematian ini juga muncul di hadapan gadis kecil
itu. Gadis kecil itu dapat melihat Dewa Kematian ini.
Dengan kata lain, ia akan berakhir sama seperti gadis
kecil tersebut.
“Tidak, aku tidak mau ....”
Menyadari situasi, napas gadis menjadi kacau lalu
berkata, “ ... Aku, masih belum melakukan apa pun. Aku mau ke sekolah. Aku
ingin main dengan teman. Aku masih belum melakukan apa pun. Aku tidak bisa
melakukan apa yang aku mau. Meski begitu, kenapa aku harus meninggal ...?”
“Entah, aku juga enggak tau. Suatu saat manusia pasti
akan meninggal. Aku enggak tahu siapa yang menetapkan, tapi memang benar
begitu. Terus, orang yang bisa melihatku seminggu lagi akan meninggal. Dan, itu
juga benar adanya. Begitulah takdirnya.”
Dewa Kematian dengan santainya mengatakan itu.
Ini takdirku? Ini hidupku? Terpenjara di ruang rawat,
tanpa kebebasan, dan hanya menunggu kematian?
Pada siapa ia harus menyalahkan. Apa pada dirinya yang
terlahir dengan tubuh seperti ini? Atau kedua orang tuanya yang memberikan tubuh
ini?
Untuk apa ia terlahir?
Apa ia hanya terlahir untuk meninggal. Dalam kesendirian
dan menyedihkan?
“Hei, kamu enggak mau meninggal?”
“Aku tidak mau ....”
“Begitu, ya. Kalau ada penyesalan, kamu pasti bakal jadi
hantu.”
“ ... Jadi hantu?”
“Iya, sama sepertiku.”
Dewa Kematian melanjutkan sambil tertawa.
“Aku itu, aku dirundung. Karena enggak tahan, aku bunuh
diri. Lalu aku jadi arwah gentayangan di dunia ini. Orang yang kematiannya
sudah dekat bisa melihat hantu seperti kami. ‘Sebentar lagi kamu akan
meninggal’. Jadi, aku『Dewa Kematian』yang memberitahukan kematian.”
Gadis ini—yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewa
Kematian—tahu.
Ada dua jenis manusia yang meninggal dengan penyesalan
yang mendalam.
Di antaranya, bukan mereka yang putus asa karena kematian.
Melainkan, mereka yang putus asa pada kehidupanlah yang menjadi hantu. Mereka
yang memiliki rasa iri dan dengki pada dunia.
Gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewa
Kematian pun sama. Ada banyak hal yang ingin ia lakukan selama hidup,
tetapi ia menyerah pada rundungan dan memilih bunuh diri.
Aku yakin, gadis ini akan menjadi『teman』-ku, pikir Dewa Kematian, sambil menatap
gadis di hadapannya.
Ia mengerti penyakit gadis itu. Ada banyak hal yang ingin
ia lakukan. Ada banyak penyesalan. Namun, ia tetap hidup tanpa dapat melakukan
apa pun. Meski hidup abadi, apa yang ia inginkan takkan tercapai.
Ia putus asa akan hidup.
Namun, dokter magang itu, Masato berkebalikan dengannya.
Ia memegang harapan untuk hidup. Meskipun ia terlibat kecelakaan dan ditemukan
oleh akhir yang tak rasional, tetapi ia tidak menolak kehidupan.
Karena itu, sebagai ganti kematian ia mempercayakan
keluarganya.
——Ia tak tahu itu.
Tujuanku adalah menambah『teman』. Memberitahukan kematian mereka sudah dekat, dan
membuat mereka berpikir terus hidup tidak ada artinya.
Namun, dokter magang itu, alih-alih putus asa akan
kematian, ia sama sekali tidak merasakan keraguan atau putus asa akan kehidupan
hingga akhir.
Karena itu, ia tidak menjadi hantu.
Benar, itu tidak adil. Kenapa dia bisa menyeberang
semudah itu, sedangkan aku terus bergentayangan dan sengsara di dunia ini?
Sambil berpikir begitu, Dewa Kematian menghilang demi
mencari『teman』lainnya.
Meninggalkan seorang gadis yang meratapi kemalangan yang
tersisa di hidupnya.
*****
Kuingin tahu sudah berapa lama aku tertidur.
Aku bahkan tidak ingat kapan aku tertidur. Begitu
terbangun, aku segera tersadar tidak berada di kamar rumahku, melainkan di
kamar sebuah penginapan tempat aku bepergian.
Hal terakhir yang kuingat dari kejadian semalam adalah
aku marah pada Dewa Kematian.
Aku marah padanya karena membuatku merasa ingin terus
hidup di saat aku ingin mati. Tentu saja, di matanya aku hanya membenturkan
amarah tak masuk akal padanya.
Lalu, karena itu Dewa Kematian menangis di hadapanku.
Adegan itu membekas dalam benakku. Wajah tangisnya.
Pasti dia menangis karena aku membentaknya. Meskipun dia
Dewa Kematian, pada dasarnya dia juga seorang gadis.
Aku pun melirik sekitar kamar.
Tak kutemukan sosok Dewa Kematian.
Aku juga mengecek toilet dan kamar mandi, tetapi tetap
nihil. Aku penasaran ke mana perginya. Kurasa penyebabnya memang karena aku
membentak dan membuatnya menangis.
Meski begitu.
Bagiku, ia tampak seperti tiba-tiba menghilang dari
hadapanku.
Tidak, pasti bukan begitu. Pasti karena canggung
melihatku, dia sedang mengumpat di suatu tempat.
Diriku, yang ingin segera meminta maaf soal semalam pun
meninggalkan kamar mencoba mencari Dewa Kematian.
Meninggalkan kamar lalu berkeliling penginapan.
Penginapan yang luas. Sangat sulit menemukannya hanya dengan berkeliling tanpa
tujuan jelas. Namun, aku juga tidak bisa bertanya pada pengunjung atau karyawan
apakah melihat gadis itu. Lagi pula hanya aku yang bisa melihatnya.
Aku terus mencari hingga tepat sebelum waktu lapor keluar.
Namun, aku takdapat menemukannya.
Yah, lupakan.
Lagi pula malam ini aku akan mati, dan aku akan berpisah
dengannya. Mungkin saja karena tugasnya sudah selesai, jadi dia pergi mencari
partner kerja baru.
Yang menjanggal di hatiku hanyalah takdapat mengucapkan
selamat tinggal dengan baik.
Dan itu membuatku berpikir aku membuat penyesalan lain.
Ngomong-ngomong, hari ini aku akan meninggal pukul
berapa? Dia hanya memberitahuku di hari ketujuh, tetapi tidak dengan pukul
detailnya. Seharusnya aku menanyakan itu.
*****
Aku pun meninggalkan penginapan, dan kembali ke tepi
pantai di mana aku berkunjung kemarin siang bersama Dewa Kematian. Ada sedikit
harapan ia akan datang ke tempat ini lagi, tetapi tidak kutemukan satu orang
pun di sana.
Aku mengingat kembali sosok Dewa Kematian yang heboh.
Padahal baru kemarin, tetapi aku merasa seolah kenangan itu datang dari waktu
yang lama.
Aku menghabiskan sisa hari dengan memandangi pantai, dan
tanpa kusadari malam pun tiba.
Perutku meronta akibat lapar. Aku pun merasa aneh, sambil
berpikir meski hendak meninggal pun perutku masih tetap merasa lapar seperti
biasa.
Aku pun membeli kotak bekal dari toko serba ada terdekat,
meskipun terlalu sederhana untuk hidangan terakhirku. Jika ada Dewa Kematian,
dia pasti akan banyak mengomentari seperti, “Ini makanan terakhirmu, jadi
pikirkan lebih baik!” atau “Ini hidangan terakhirmu, beli yang mahalan dikit
dong!”.
Namun, jika dipikir-pikir lagi, hanya penjahat yang
dihukum mati saja yang masih bisa menentukan hidangan terakhir mereka.
Normalnya kau takkan tahu kapan akan meninggal, dan semisal sedang sakit atau
koma kau takkan punya waktu untuk menikmati makanan yang disukai.
Dengan kata lain, aku tak beda dari penjahat yang dihukum
mati. Aku telah dihukum dan kini aku akan menjalani hukuman itu.
Aku pun membeli sake. Aku ingin mencobanya sekali sebelum
meninggal. Kakak bilang ingin secepatnya bisa minum sake denganku, tetapi itu
tak tercapai.
Kuangkat sebotol anggur sambil menghadap laut malam. Aku
pun bersulang pada kakakku yang ada di Surga.
——Tak lama lagi aku akan ke sana.
——Tunggu aku di sana bersama Hana.
Aku mencoba meminumnya, tetapi tidak terlalu paham.
Setidaknya, aku tidak bisa mengatakan rasanya enak.
Aku pun berbaring membentuk 大 di pantai, dengan perut yang telah terisi penuh. Rasanya
begitu nikmat. Temperatur udaranya pun tidak panas juga tidak dingin. Angin
sepoi membelai kulitku. Desingan ombak bak lantunan lagu.
Kulihat hamparan bintang di cakrawala.
Mungkin saja ini akan menjadi pemandangan terakhirku.
Perlahan kelopak mataku terasa berat. Kesadaranku pun
perlahan memudar.
Kurasa waktunya telah tiba. Apa akan muncul semacam
malaikat kecil atau bahkan Dewa Kematian? Apa mereka akan membawaku
ke dunia sana? Namun, kalau tidak salah orang itu bilang menyeberangkan jiwa
bukanlah tugas dewa kematian.
Akhirnya, mataku tertutup sepenuhnya. Kegelapan menyebar
dalam mataku. Tak ada rasa pedih. Tak ada rasa sakit. Sebaliknya, terasa
nikmat. Kepalaku terasa ringan.
Tampaknya kabar burung itu benar, jika seseorang sekarat,
maka kenangan masa lalu akan terputar kembali seperti lentera yang berjalan.
Aku pun mengalaminya secara langsung.
Kenangan saat kecil. Kenangan dengan kakak. Kenangan
dengan Hana. Semua itu terus bermunculan.
Wajah ayah dan ibu. Wajah temanku saat SD. Wajah semua
orang yang kutemui hingga kini. Wajah Dewa Kematian.
Semua itu terputar di depan mataku.
Ahh, aku akan meninggal.
Aku akan meninggal———
Apa yang akan terjadi padaku setelah meninggal nanti? Apa
karena banyak penyesalan maka aku akan jadi hantu? Atau, aku dapat menyeberang
ke dunia sana? Aku ingin tahu apa aku akan bertemu dengan kakak dan Hana.
Gelap.
Gelap.
Hanya kegelapan yang terus berlanjut.
Dalam gelap, kudengar suara yang mirip gonggongan anjing.
Itu suara Hana. Pikirku segera. Apa dia datang
menjemputku?
Tidak.
Bukan.
Ini bukan Hana.
Jika kudengar lebih teliti, suaranya lebih rendah dari
Hana.
“——Kamu, baik-baik saja?”
Melanjuti, suara laki-laki yang asing pun kudengar.
Terdapat anjing putih begitu aku membuka mata. Anjing
besar. Aku penasaran dia ras apa. Sepertinya gonggongan yang tadi miliknya.
Sama sekali berbeda dengan Hana. Lalu, yang memanggilku ialah sang pemilik
anjing, dengan tali anjing di tangannya.
Dia sama sekali tidak terlihat seperti utusan yang akan
membawaku menyeberang. Hanya seorang laki-laki paruh baya yang tengah
jalan-jalan dengan anjingnya.
“Kalau kamu tidur di sini nanti masuk angin, lo?”
“ ... Ah, iya.”
Masih gelap, tetapi saat kulihat jam di ponsel ternyata
telah pagi.
Aku pun memastikan tanggal, dan tak salah lagi.
Ini adalah hari ke delapan setelah aku bertemu Dewa
Kematian.
“Umm, maaf ... apa, aku masih hidup?”
“Eh? Bisa diulangi?”
“ ... Tidak. Bukan apa-apa.”
Aku pun bangkit, membungkuk sedikit pada pria itu lalu
pergi menjauh.
*****
Setelah itu, aku menginap di hotel atau warnet.
Kapan aku meninggal. Bagaimana caraku akan
meninggal. Sembari memikirkan itu,
aku pergi melewati kota satu ke kota lainnya. Namun, aku tidak meninggal.
Jangka waktu hidup yang dikatakan Dewa Kematian. Malam
ketujuh telah lama lewat. Meski begitu, aku tidak meninggal.
Biaya hotel. Biaya kendaraan. Biaya makan. Muncullah
banyak kesempatan untuk menggunakan uang. Amplop tebal yang kumiliki pun
menipis, hingga aku dapat melihat bagian bawahnya.
Kulangkahkan kakiku tanpa sadar ke rumahku. Memang
kehabisan uang menjadi salah satu alasan, tetapi sebagian besar aku merasa
kesepian karena perginya Dewa Kematian.
Apakah kesendirian itu terasa begitu sepi seperti ini?
Apakah tak adanya lawan bicara membuat cemas sejauh ini? Aku sadar manusia
adalah makhluk yang takbisa sendirian. Bukan sekadar objek. Kehadiran orang
lain berperan besar secara spiritual.
Aku ingin bersama seseorang. Aku ingin lawan bicara. Aku
ingin seseorang berada di sisiku.
Aku pun mengerti mengapa Dewa Kematian tampak begitu
senang. Karena telah lama sendiri, jadi bersamaku sangatlah menyenangkan.
Merasa sepi, apa yang pertama kali terlintas dalam
benakku adalah wajah kedua orang tuaku.
Aku ingin kembali ke rumah yang telah lama kutinggali,
untuk melihat mereka.
Awalnya aku ragu. Ekspresi apa yang harus kubuat di depan
mereka. Padahal aku telah meninggalkan surat seperti itu.
Apa mereka akan lega sambil berkata, “Syukurlah kamu
kembali.”. Pastinya mereka akan marah. Mungkin saja mereka bahkan takkan
membiarkanku melewati ambang pintu. Segala macam kecemasan muncul dalam
pikiranku.
Kulihat pesan di ponsel, yang beberapa hari ini
kumatikan. Terdapat begitu banyak pesan yang bahkan belum pernah kulihat
sebelumnya. Itu dari ayah dan ibu. Begitu banyak kata-kata cemas yang terlampir
untukku. Perasaan untukku meluap di sana.
Jika diperlihatkan ini, tak mungkin aku tidak kembali ke
rumah. Karena kalimat yang selama ini kuinginkan tertulis di sana.
Untuk pertama kalinya setelah sepuluh hari aku kembali ke
rumah.
Aku pun disambut oleh wajah marah ibu begitu melewati
pintu. Aku mengirimkan pesan jika aku akan kembali hari ini, jadi dia terus
menungguku.
Ini marah ibu yang paling besar selama hidupku. Namun,
apa yang berhasil menahan amarahnya ialah rasa senang dan bahagia karena aku
baik-baik saja. Selagi telah melaporkan orang hilang ke polisi, dia telah
mencariku ke berbagai tempat.
Dia begitu mencemaskanku, di saat aku sama sekali tidak
peduli dengannya, yang bahkan berpikir tak ada penyesalan dalam hidupku. Aku
hanya bisa salut padanya.
Tak lama setelah aku mengobrol dengan Ibu, aku penasaran
dengan ayah.
“ ... Ayah di mana?”
“Dia menunggumu di ruang keluarga. ... Ada yang ingin
dibicarakan.”
Seolah ibu mendesakku, aku pun berjalan menuju ruang
keluarga.
Setidaknya, aku ingin meminta maaf karena pergi
meninggalkan rumah tanpa izin dan membuatnya cemas. Namun, aku masih memendam
perasaan tak memaafkan yang kuat pada ayah, terutama dengan sikap kejinya saat
kepergian Hana.
Dengan perasaan campur-aduk, aku membuka pintu ruang
keluarga.
Lalu, apa yang kulihat adalah sosokku saat masih kecil.
『Ayah, jangan di lepas, ya.』
Di layar TV ruang keluarga, terpampang diriku saat kecil
yang mengendarai sepeda mini.
Tampaknya tengah berlatih mengendarai sepeda tanpa roda
latih. Berlari kecil lalu diangkatnya kaki dari tanah, dan sesekali terjatuh.
Namun, diriku terus mengayuh pedal tanpa menyerah.
Aku penasaran saat itu aku berumur berapa.
“Nostalgia, ya .... Karena kamu masih kecil pasti tidak
ingat, ‘kan? Ibu yang merekamnya. Kamu bilang mau naik sepeda tanpa roda latih
saat umur lima tahun, terus latihan mengendarai sepeda seharian dengan ayah di
taman.”
Mendengar ucapan ibu, ingatanku menjadi jelas.
Benar. Aku dengar kakak mengendarai sepeda tanpa roda
latih di umur lima tahun, lalu karena tak ingin kalah, di umur lima tahun aku
melepas roda latih dan berlatih setiap hari.
Namun, aku takbisa mengendarainya semudah kakak.
Ibu merekamnya sehari sebelum ulang tahunku yang keenam.
Aku akan tetap berumur enam tahu, meskipun jika di hari ini aku tetap tidak
bisa mengendarai. Jadi, aku meminta ayah menemaniku berlatih sepeda.
『Bagus, lihat ke arah ayah saja. Iya! Sedikit lagi!』
Diriku saat kecil mengayuh pedal sepeda dengan kondisi
berbahaya ke arah ayah, yang berteriak sungguh-sungguh. Karena kondisinya
seperti itu, aku takdapat mencapai ayah dan aku pun terjatuh ke samping, tetapi
aku segera bangkit dan mengulang kembali.
Diriku yang ada di TV tampak begitu bernyali.
“——Jangan berdiri di sana saja, bagaimana kalau duduk di
sini?”
Ayah berbicara padaku yang tengah duduk di sofa.
Ayah yang sekarang memberikan isyarat padaku yang
sekarang.
Saat aku meragu akibat kejadian tak terduka, tiba-tiba
wajah Dewa Kematian—yang tak lagi di sini—muncul dalam benakku.
Aku yakin dia akan mendesakku dengan berkata, “Ayo, cepat
cepat!”.
Memantapkan hati, aku pun duduk di sebelahnya.
『Ayo, sekali lagi. Kakak tidak menyerah di tengah jalan.
Jangan kalah dengan kakak!』
Di dalam TV, ayah terus berteriak. Ayah saat itu
menyemangatiku, tetapi dengan ayah yang pendiam saat ini sangat sulit membayangkannya.
Sisi ayah yang tak kuketahui———Tidak, bukan begitu. Sisi
lain ayah yang telah kulupakan, sangat jelas terpampang di layar TV.
“Bagus, terus seperti itu! Benar, langsung lurus ke arah
ayah!”
Aku jatuh berkali-kali, tetapi aku pun semakin membaik
hingga akhirnya aku mulai mengayuh pedal dengan postur yang baik. Seolah
ditarik oleh suatu benang, aku melaju lurus ke arah ayah.
“Semangat, sedikit, sedikit lagi .... Terus seperti itu,
terus seperti itu ..., bagus ..., bagus, bagus! Ya! Kamu berhasil!”
Ayah menjemputku—yang berhasil mengendarai sepeda hingga
ke tempatnya—dengan senyum lebar di wajahnya.
『Berhasil——! Berhasil! Aku berhasil! Ayah! Ayah
melihatnya, ‘kan?!』
『Iya, ayah melihatnya, ayah melihatnya dengan jelas! Kamu
hebat! Kamu tidak kalah hebatnya dengan kakakmu!』
Sejujurnya, sedikit memalukan melihat ayah dan aku begitu
polosnya bahagia, tetapi rasanya tidak buruk juga.
“Maaf ....”
Saat itu, ayah yang sebenarnya berbicara.
Kualihkan tatapanku dari wajah sukacita ayah di TV ke
wajah muram ayah di sampingku.
“Aku lemah .... Kamu benar, aku selalu dibayang-bayangi
Masato .... Kamu berusaha keras menggantikan Masato yang telah pergi. Tapi, aku
tidak tahu bagaimana memperlakukanmu sebagai seorang ayah ....”
Ayah melanjutkan dengan perlahan, seolah mengeluarkan
sesuatu yang berat.
“ ... Karena itu aku naif. Aku berasumsi kalau kamu dapat
bekerja keras seperti Masato dan itulah tugas ayah, tapi aku melontarkan
kalimat tak berhati tanpa memikirkan perasaanmu. Hidup tidak semudah
mengendarai sepeda, aku sangat tahu itu, tapi aku hanya bisa bergantung pada
bayang-bayang hari itu.”
Berkata hingga sejauh itu, serta-merta ayah berdiri.
“Aku benar-benar minta maaf ...! Aku sama sekali tidak
memperhatikanmu ...!”
Ayah menundukkan kepalanya begitu rendah padaku yang
tetap duduk.
“Ayahmu, selama ini selalu menderita .... Ayah menyuruhmu
mengubah perasaanmu saat kepergian Hana karena tidak ingin berakhir seperti
saat kepergian Masato. Karena ayah mau kamu menerima sepenuhnya, dan terus
melangkah maju. Memang terdengar dingin cuek soal Hana, tapi maafkanlah ...,”
ucap Ibu, sambil menangis.
Ayah memiliki alasannya sendiri dibalik tindakkannya,
baik padaku maupun Hana.
Lalu, ayah meminta maaf soal itu. Bagiku yang ditelah
disakiti oleh perilakunya, bisa dikatakan ini pengembangan yang kuharapkan.
Namun, meski ayah menundukkan kepalanya, atau ibu telah
memmberitahukan niat asli ayah, tetapi hatiku tetap tak terasa tercerahkan.
——Kamu yakin berakhir begini?
Aku merasa mendengar suara Dewa Kematian.
Dia tak ada di sini. Jadi, aku tahu itu hanya
imajinasiku.
Meski begitu, aku pun berdiri seolah dipandu oleh kalimat
itu.
“ ... Angkat wajah ayah. Aku bukan ingin ayah meminta
maaf ....”
Ucapanku seolah hendak kehilangan suara akibat emosi yang
menguap. Meski begitu, kupaksakan diriku menarik napas dalam-dalam dan
melontarkan paksa kata-kata seolah memerasnya.
“Aku ..., aku hanya ..., ingin berbicara dengan ayah ....
Tentang kakak, tentang Hana, juga tentangku ..., aku hanya ingin berbicara
dengan benar ....”
Ayah yang menerima ucapanku pun mengangkat kepalanya.
Ayah tampak lebih tua dibandingkan dari dirinya di TV. Fakta yang dapat segera
disadari begitu dilihat, untuk pertama kalinya aku menyadari itu.
Ayah bilang dia tidak benar-benar melihatku.
Namun, sejujurnya itu pun sama denganku.
Aku juga tidak benar-benar melihat ayah.
Aku tidak mencoba mengerti ayah.
“ ... Baiklah. Ayo berbicara. Ayo kita berbicara
sebanyak-banyaknya. Tapi, jika kamu bisa menerimaku sebagai ayahmu, dan masih
menerima ucapanku, ada satu hal yang aku ingin kamu dengar lebih dulu.”
Aku pun mengangguk dalam diam, sambil menunggu ucapan
ayah.
“Semua usaha dan pengalamanmu adalah milikmu. Hidupmu
hanya milikmu seorang. Masato tidak ada sangkut pautnya. Masato adalah Masato.
Kamu adalah kamu. Kamu tidak perlu berusaha menggantikan Masato. Hiduplah
sesuai keinginanmu sendiri. Hanya itu keinginanku. Selama kamu terus hidup, itu
saja sudah cukup.”
Ini pertama kalinya ayah mengatakan sesuatu secara
langsung.
Benar.
Itulah yang selalu ingin kudengar.
Aku ingin hidup sebagai diriku sendiri.
Rasanya seperti arwah jahat lepas dari tubuhku.
Aku tidak dapat menahan tangisku.
“Ayo kita ulang sekali lagi. Ayo kita hidup sebaik yang
kita bisa, untuk bagian Masato juga Hana. Sebagai keluarga, kita bertiga.”
Ayah dengan lembut mengelus pundakku, yang meneteskan air
mata. Diriku saat itu yang dipeluknya pasti sama bahagianya seperti sekarang
ini.
Kualihkan tatapanku ke TV segera.
Di layar terdapat kakak masih anak kecil.
Ia tengah memeluk Hana di dadanya. Kakak terus
mengawasiku di samping ibu yang tengah merekamku.
Saat kamera diarahkan padanya, senyum besar ia ukir di
bibirnya lalu berkata padaku.
『Kamu sudah bekerja keras.』
Ya, aku sangat bersyukur.
Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku benar-benar bersyukur
dapat hidup dan kembali ke sini.
Benar.
Aku masih hidup.
Aku sudah bertemu Dewa Kematian lebih dari satu minggu,
tetapi aku masih tetap hidup.
*****
Aku telah meninggal.
Detik kematianku begitu menyakitkan.
Namun, terdapat sesuatu yang lebih menyakitkan lagi
menungguku.
Aku tetap tinggal di dunia ini.
Tidak ada orang yang bisa melihatku. Begitu kembali ke
rumah, kutemukan kedua orang tuaku terus menangis. Meski kukatakan aku ada di
sini, mereka tidak menyadarinya.
Dewa Kematian sudah mengatakannya. Orang yang memiliki
penyesalan sebelum meninggal maka akan menjadi hantu. Tampaknya aku menjadi
seperti itu.
Aku menjadi hantu yang tak seorang pun menyadarinya.
Aku terus mengarungi. Tak ada rasa lapar. Tak ada rasa
lelah. Aku dapat berjalan ke mana pun yang kumau. Aku pun dapat pergi ke tempat
yang ingin kudatangi setelah bisa meninggalkan rumah sakit.
Namun, hatiku tak pernah menari sukaria.
Dunia yang begitu kukagumi tampak abu-abu di mataku.
Dunia kesendirian tidak ada bedanya dengan hamparan gurun
kosong.
Lelah akan kesendirian terus menerus, aku pun mulai ingin
secepatnya menyeberang ke dunia sana. Namun, aku tidak tahu bagaimana cara
untuk pergi ke sana.
Hasil dari merenung, jika orang yang meninggal dengan
penyesalan menjadi hantu, maka mungkin aku dapat menyeberang begitu
menghilangkan penyesalanku.
Penyesalanku apa, ya?
Saat memikirkan itu, aku mengingat seseorang yang begitu
baik padaku.
Aku ingin bertemu dengannya—dengan Masato.
Aku mulai mengarungi kota. Mengandalkan cerita Masato, aku
mencari tempat keberadaan Masato. Beberapa bulan kemudian, aku akhirnya tahu.
Jika Masato tidak ada lagi di dunia ini.
Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan, sebelum
kematianku. Orang-orang di rumah sakit merahasiakan itu dariku demi menjaga
mentalku. Namun, pada akhirnya aku tetap syok. Itu membuatku berpikir Masato
membuangku, dan ironisnya, itulah penyebab kematianku.
Setelah itu, aku berhasil menemukan tempat pemakaman
Masato. Tidak mungkin Masato ada di sana. Namun, diriku mengatakan harus pergi
ke sana.
Saat aku tiba di sana, kutemukan seorang laki-laki yang
menangis di depan makam Masato.
Laki-laki itu mungkin seumuran denganku.
Lalu, aku pun mengerti. Jika dia adalah adik dari Masato.
Adik laki-laki yang sangat berharga bagi Masato dan sering ia ceritakan padaku.
Aku pun teringat saat melihat tangisnya.
Aku ingin membuatnya tersenyum menggantikan Masato.
Aku selalu ingin menjadi manusia yang bisa membuat orang
lain tersenyum.
Semasa hidupku, ada banyak orang yang mendukungku terus
hidup. Oleh orang tuaku. Oleh dokter. Oleh perawat. Aku terus didukung oleh
orang-orang yang bekerja keras demi orang lain.
Selama aku hidup, aku tidak dapat melakukan hal
sebaliknya. Saat sehat aku ingin hidup demi orang lain.
Namun, pada akhirnya, aku meninggal tanpa bisa melakukan
apa pun.
Pasti itulah penyesalan semasa hidupku.
Jadi, aku memantapkan hati.
Aku akan bertindak demi membuat orang lain tersenyum. Aku
akan bergerak untuk menolong orang lain.
Jika aku bisa melihat adik Masato lagi.
Jika dia bisa menemukanku.
Aku akan mengembalikan senyumnya.
Aku berjanji pada diriku sendiri.
Sebelumnya
|| Daftar isi ||
Selanjutnya