Penerjemah: Kuratari Translation
Catatan: Di sini ada dua jenis penyebutan Dewa Kematian. Yang
pertama adalah Dewa Kematian untuk semacam golongan, dan Dewa Kematian untuk
penyebutan nama. Jadi, pembedanya adalah:
> Dewa Kematian { Italic } = Dewa Kematian
Secara Harfiah.
> Dewa Kematian = Penyebutan Nama
Mohon diingat selalu, karena penjelasan hanya di prolog, di bab
selanjutkan takkan ditunjukkan lagi.
_____________________________________________________________________________________
❈ Prolog ❈
Saat SMP, wali kelasku berkata padaku, “Tak
ada orang yang tak memiliki kecemasan.”
Tentang nilai. Tentang ekskul. Tentang
sahabat. Tentang diri sendiri. Tentang orang lain. Baik orang dewasa maupun
anak kecil, mereka pasti memiliki kecemasan. Bahkan, bayi pun memiliki
kecemasan. Karena bayi selalu mencemaskan rasa lapar dan popok kotor mereka.
Hal lumrah memiliki kecemasan. Yang penting
ialah, menyelesaikan kecemasan itu. Jangan dipendam sendiri, tetapi bicarakan
pada orang lain dan coba selesaikan masalah. Guruku bilang jika itu penting.
Namun, apa yang harus kulakukan, jika itu
masalah yang tak terselesaikan meskipun telah menceritakannya pada orang lain?
Guruku tak mengatakan itu.
Saat SMA, aku memendam kecemasan semacam itu.
Kecemasan, yang takkan terselesaikan meskipun telah membicarakannya pada orang
lain.
Saat itulah,
Aku bertemu dengan『Gadis』ini.
“Wah! Kelihatannya lezat!”
Di depannya, terdapat parfait dengan irisan
beragam warna buah-buahan. Duduk berhadapan di kursi untuk dua orang, di sebuah
kafe yang sedang terkenal. Mungkin, kami terlihat seperti sepasang kekasih,
tetapi hubunganku dan gadis ini tak semanis parfait. Bukan saudara, teman
sekelas, ataupun teman masa kecil.
Meski begitu, juga bukan orang asing. Aku
takdapat menemukan contoh yang tepat, tetapi dapat kupastikan bukanlah hubungan
yang normal.
Gadis berambut hitam panjang. Penampilan serta
aura yang mengingatkan pada kucing kecil. Entah seumuran denganku, atau lebih
muda dariku. Jika disebut murid SMA memang terlihat seperti itu, tetapi jika
disebut murid SD pun masuk akal. Semuda itulah sikap dan ucapannya. Dia begitu
heboh, padahal hanya parfait yang diletakkan di hadapannya. Mungkin, jika
mengucapkan dari sisi dia, “Apanya yang ‘hanya’?!”. Atau kurang lebih begitu.
Kata ‘hanya’ sangatlah dibenci gadis ini. Saat aku menggunakannya sebagai kata bantal, suasana hatinya langsung memburuk. Matanya akan berbinar pada hal sekecil apa pun. Jika ia melihat awan dengan bentuk aneh, pasti akan menunjuknya dengan senyuman. Saat ia melihat bunga yang mekar di aspal, maka ia akan mulai bercerita tentang pentingnya hidup. {Catatan: æž•è©ž = Pillow Word = Kata Bantal, merupakan kata kiasan yang digunakan sebagai awalan dalam literatur Jepang klasik. Sumber: https://jisho.org/word/æž•è©ž}
Kami baru bertemu tiga hari ini, tetapi
kupikir aku sudah cukup mengerti tentangnya. Selagi kami bersama, aku semakin
mengerti. Bagaimana sifatnya, apa yang membuatnya senang, dan apa yang
membuatnya marah.
“Krim beragam warna begini bagaimana cara
membuatnya, ya? Boleh enggak, ya, kalau aku mengintip cara pembuatannya?
Soalnya, ada ‘kan yang namanya ‘rahasia bisnis’.”
Sedari tadi, ia hanya melihat parfait dari
berbagai sudut, tetapi tidak memakannya. Ia yang mengajakku ke toko ini, dan
bahkan akulah yang membayarkannya. Namun, ia hanya melihatnya tanpa dimakan.
Yah, apa boleh buat memang. Ia takbisa
memakannya meskipun ingin. Ia tidak bisa memakan parfait itu, ia bahkan takdapat
memegang sendoknya.
Lagi pula, dia bukanlah manusia.
Dia memang ada di sana. Namun, takada seorang
pun yang bisa menyentuhnya, dan dia takbisa menyentuh siapa pun. Karena dia
adalah Dewa Kematian, yang tak seorang pun bisa melihat kecuali
aku. Hanya aku yang tahu jika gadis itu ada di sana. Aku dapat melihatnya,
mendengarnya, dan merasakan keberadaannya.
Di hari pertama kami bertemu, Dewa Kematian
ini memberitahuku. Jika aku akan meninggal dalam tujuh hari. Dia tidak
memberitahuku bagaimana aku akan meninggal, dan karena apa aku akan meninggal.
Pokoknya, dia hanya memberitahuku jika waktu hidupku hanya tersisa satu minggu.
Sebelum dia mengatakan tentang kematianku,
bagiku kematian telah dekat denganku. Satu tahun yang lalu, aku baru saja
kehilangan kakak laki-lakiku. Aku dan kakak adalah saudara. Kakak, yang
sembilan tahun lebih tua dariku.
Penyebab meninggalnya kakak adalah karena
kecelakaan. Tepatnya, bus yang ditumpangi kakak bertabrakan dengan mobil dari
arah berlawanan, menyebabkan bus terjun ke jurang setelah menghancurkan
pembatas jalan. Tampaknya, penyebab kematian langsung kakak adalah pendarahan
intrakranial akibat dampak jatuh.
Ada lima belas penumpang di bus itu, dan dua
belas penumpang termasuk pengemudi meninggal. Menurut kesaksian penumpang
selamat, kakak segera melindungi anak kecil di dekatnya, alhasil nyawa anak itu
terselamatkan berkat bantal tubuh kakak.
Kupikir, begitulah kakak. Seorang berhati baik
yang selalu mencemaskan orang lain. Orang baik, yang selalu memprioritaskan
orang lain daripada dirinya sendiri.
Jika dia lebih mementingkan keselamatan
dirinya sendiri daripada melindungi anak kecil itu, apa mungkin kakak takkan
meninggal? Jika kakak tahu hari itu ia akan meninggal, maka tindakkan apa yang
akan kakak lakukan? Atau, sejak awal dia takkan menaiki bus. Akankah dia dapat
menghindari kematiannya?
Tak seperti kakak, aku telah tahu kapan
kematianku. Aku diberikan pilihan bagaimana aku hidup selama seminggu sebelum
kematianku.
Paruh kedua September. Di bawah langit musim
gugur.
Hari itu, aku bertemu dengan gadis Dewa
Kematian ini, dan mengetahuinya.
Sebelumnya
|| Daftar isi ||
Selanjutnya