Boku to Shinigami no Nanokakan Bab 1 Bahasa Indonesia

Penerjemah: Kuratari Translation

Bab 1: Malam Pertama 

 

Jalan pulang dari bimbingan belajar malam. Waktu telah hampir pukul sembilan malam. Aku mampir ke toko serba ada untuk membeli minuman energi yang mahal.

Bukan karena aku lelah. Aku sudah mengikuti sekolah malam ini sejak sekolah dasar, aku sudah terbiasa pulang di jam seperti ini. Aku hanya lagi ingin menggunakan uang saja, jadi aku membeli makanan atau minuman mahal yang bisa kutemukan di toko. Mungkin, untuk murid SMA uang jajan ini termasuk mewah, tetapi bagiku ini tidak seberapa.

Aku mengerti karena ayahku seorang dokter, jadi keuangan kami cukup terjamin. Aku tidak bertanya ke orang lain untuk memastikan, tetapi kupikir uang jajanku beberapa kali lebih banyak dari anak biasanya. Namun, tak peduli seberapa banyak uang yang kudapat, aku tak punya hobi yang menguras banyak duit atau teman yang bisa diajak bertamasya. Saat uang jajanku sudah terkumpul seperti ini, jadi sesekali aku menggunakannya secara acak seperti sekarang. Aku pernah dengar orang dewasa melepas stres dengan membeli barang mahal, tetapi apa perasaanku mirip seperti itu? Entah mengapa aku ingin menggunakan uang untuk barang yang sebenarnya tak terlalu kugunakan. Malam ini, aku ingin melakukan itu.

Kuminum minuman energi berkualitas tinggi itu. Hingga beberapa bulan yang lalu tak terpikirkan olehku. Sebelum SMP, kupikir ini adalah minuman orang dewasa. Namun, faktanya minuman ini ditargetkan untuk orang lima belas tahun ke atas. Awalnya, aku merasa tidak nyaman dengan bau uniknya, tetapi kini kupikir rasanya lezat karena sudah terbiasa. Apa artinya aku sudah sedikit dewasa?

Wilayah pusat kota pada malam hari. Keramaian dan hiruk pikuk layaknya siang, tetapi ada banyak godaan unik saat malam. Mungkin, saat SMA akan melakukan hal menarik sekali atau dua kali, tetapi aku langsung menuju ke rumahku. Orang tuaku sebenarnya takkan memarahiku jika aku mengambil jalan memutar, tak peduli seberapa terlambat aku pulang. Bagi mereka berdua, aku memang anak seperti itu.

Berperilaku baik. Di kelas pun aku memiliki nilai tertinggi. Aku bahkan berada di sepuluh besar nilai tertinggi di tahun yang sama. Namun, itu karena aku memasuki SMA yang biasa saja, jadi aku takterlalu bangga.

Ibu memujiku setiap kali aku menunjukkan hasil ulangan, tetapi ayah tak sekali pun pernah memujiku. Ibuku memberikanKepercayaan, sedangkan ayahku memberikanKeapatisan.

Aku paham alasan dibalik sikapnya padaku.

——— Itu karena aku mengkhianati ekspektasinya.

Setelah menghabiskan minuman energi itu, aku membuang botol kosong ke dalam tempat sampah di toko dan mulai melangkahkan kaki menuju rumah.

Tepat sebelum aku dapat menyeberang di persimpangan, lampu jalan berubah merah. Jadi, aku menunggu lampu persimpangan kembali berubah.

Dari keempat arah berlalu kencang kendaraan besar baja. Jika aku berjalan sekarang, maka aku akan dihancurkan berkeping-keping, dan kematianku pun telah dipastikan. Manusia sangatlah rapuh.

Kakakku pun begitu. Terlibat kecelakaan dan meninggal di tempat.

Kakakku ingin menjadi dokter sama seperti ayah.

Faktanya, dia merupakan mahasiswa kedokteran yang aktif, telah bekerja sebagai pekerja magang di rumah sakit berafiliasi, dan satu tahun lagi untuk menjadi dokter. Satu langkah lagi menuju mimpinya.

Semua kerja keras dan usaha kakak terhapuskan sekaligus di kecelakaan itu.

Kakakku memiliki bakat, ditambah lagi dengan kerja kerasnya. Namun, semua itu takada artinya. Takpeduli seberapa keras manusia berusaha, manusia sangatlah mudah meninggal.

Siapa pun kelak akan meninggal. Takada gunanya semangat. Hidup pun, kenyataannya lebih banyak kesedihan daripada kesenangan.

Apakah ada nilai dalam kehidupan semacam itu?

Setidaknya bagiku, aku takdapat menemukannya.

Jika aku melompat ke jalan di depanku ini sekarang, hidupku dengan mudahnya berakhir. Takperlu lagi merasakan cemas dan penderitaan.

Lampu jalan berubah menjadi biru. Secara bersamaan, orang-orang mulai berjalan. Seolah waktu kembali bergerak, aku mulai berjalan mengikuti arus keramaian.

Tiba-tiba, aku melihat seorang perempuan yang berjalan dari arah berlawanan.

Aku tidak mengenal gadis itu. Kurasa dia mungkin anak SMP. Wajahnya memang cantik, tetapi yang lebih menarik perhatianku adalah pakaian yang ia kenakan. Blus serta rok lipit hitam. Dari kejauhan tampak seperti seragam sekolah, tetapi karena tidak ada lencana sekolah jadi kurasa bukan.

Intuisiku pun berkata jika itu pakaian berkabung.

Jika memang pakaian berkabung, apa itu artinya dia habis kembali dari pemakaman, atau baru saja hendak ke pemakaman? Di sekitarnya takada seseorang yang tampak seperti keluarga menemaninya. Gadis itu berjalan sendirian.

Mataku terus mengikuti gadis itu. Sederhana, aku mengikutinya karena aku merasakan déjà vu. Adegan saat dengan kakakku pun terbangkit dalam benak. Hari itu, banyak orang yang berduka atas kematian kakakku. Semuanya, mengenakan pakaian hitam, sama seperti gadis ini.

Sudah setahun sejak hari itu.

Selagi menyeberangi jalan sambil memikirkan itu, begitu kami berhadapan, mata kami bertemu.

Secara refleks aku mengalihkan pandangan, merenung karena melirik-lirik seorang gadis hanya membuatku layaknya orang mesum. Lalu, saat yang bersamaan, aku cemas dia memikirkan hal-hal aneh tentangku.

Tidak, tunggu tunggu, takada yang perlu kucemaskan. Bukankah hanya sekilas ini saja? Apa pun yang gadis ini pikirkan, takada pengaruhnya dengan kehidupanku ke depannya.

“———Umm. Halo. Boleh minta waktunya sebentar?” Setelah aku selesai menyeberang, seseorang memanggilku dari belakang.

Aku pun berbalik, lalu melihat gadis  yang tadi berdiri di belakangku. Dia menatap langsung ke mataku, jadi sangat jelas dia memang berbicara padaku.

“Aku enggak yakin, tapi tadi kamu melirik-lirikku, ‘kan?”

“Eh?!”

Tanpa sadar, aku meninggikan suara.

Sepertinya, lirikkanku sedari tadi sepenuhnya ia sadari. Kini, ia mengamatiku dengan tatapan takpercaya.

“Ah, tidak .... A-aku tidak melihatmu, kok ....”

Kuberikan kebohongan singkat. Tidak, kurasa tidak ada orang yang bilang, “Iya, aku melihatmu.”. Mungkin memang ada teknik nanpa seperti itu, tetapi itu pasti menyeramkan.

“ ... Kurasa hanya kebetulan doang mata kita bertemu. Maaf membuatmu tak nyaman.”

Memang aneh, aku yang mengatakan itu, tetapi bilang begini. Namun, minta maaf karena hal ini sebenarnya aneh. Jika aku dicap sebagai penjahat karena melirik sekilas seorang gadis, dunia ini hanya akan dipenuhi kriminal.

Namun, kenapa, ya? Gadis itu tidak terlihat marah atau semacamnya. Setelah aku menjawabnya, ia hanya membuka mulutnya lebar-lebar dengan wajah terkejut.

“Ahh, sudah kuduga ... kamu, bisa melihatku, ya ....” Tiba-tiba, dia mengucapkan itu.

Bisa melihatku, ya.

Gadis itu bergumam seperti itu. Apa maksudnya, ya? Namun, wajahnya terlihat senang.

Saat aku memiringkan kepala bingung, Gadis itu menggelengkan kepalanya sembari berkata, “Tidak apa-apa, kok!”. Lalu, ia menatapku seraya mengukir senyum.

“Jadi begitu, ya, jadi begitu! Kalau kamu bisa melihatku apa boleh buat! Pasti, inilah yang disebut takdir! Pasti kita bisa bertemu di sini juga ada artinya!”

Gadis ini masih saja mengatakan hal yang tak kumengerti. Namun, kenapa, ya. Suaranya memang terdengar senang, tetapi ia menyunggingkan senyum sedih, seolah ia memaksakan senyumnya.

Gadis itu menatapku dalam diam, selagi aku kebingungan. Karena ditatap terus seperti itu di situasi seperti ini membuatku malu, jadi aku ....

“ ... Umm, aku akan pergi sekarang,” ucapku, dan mencoba meninggalkan tempat itu.

“Ah! Tu-tunggu sebentar!” Gadis itu menghentikanku dengan panik.

Secara refleks aku menunggu seperti yang gadis itu ucapkan, tetapi ia kembali menatapku dalam diam. Aku menghentikanku, tetapi tetap diam. Hanya terkadang mengalihkan mata sesekali dan menggumamkan sesuatu.

Setelah keheningan canggung, aku pun berbalik dan mulai berjalan kembali. Lalu, aku taktahu apa yang dipikirkan, tetapi ia kini mengekoriku dalam diam.

Dia mau apa, sih? Penampilannya memang imut, tetapi tetaplah mengerikan diikuti oleh orang asing yang sedari tadi diam saja.

“ ... Begini, kamu, kenapa mengikutiku?” Aku pun blak-blakan menanyakan sesuatu yang memang sudah sewajarnya.

“Eh?! Eh, ummm .... Begini .... Umm ....”

Gadis itu tampak kebingungan harus berkata apa. Ia semakin sering mengalihkan padangan. Aku bingung bagaimana mengatakannya, kupikir dia itu perempuan yang banyak sekali membuat ekspresi.

“Mungkin ... karena itu pekerjaanku.”

Itulah kesimpulan yang gadis itu dapatkan setelah sangat meragu.

Aku sama sekali tidak mengerti. Apa maksudnya pekerjaan dia adalah mengikutiku? Apa ia ingin aku membeli sesuatu darinya? Namun, ia tampak seperti seumuran denganku atau lebih muda, ia juga tidak terlihat seperti penjual. Lagi pula dia tidak membawa barang apa pun, jadi memang tidak ada produk yang ingin dijual.

“Umm, aku tidak mengerti, tapi aku ingin pulang sekarang ....”

Tiba-tiba aku terbesit jika ini nanpa terbalik, tetapi aku langsung memupus pikiran itu. Kurang lebih aku mengerti itu. Mungkin penipuan, atau orang yang mau memeras.

{Catatan: ç¾Žäººå±€ = kurang lebih pemerasan, tetapi yang jadi target adalah laki-laki.}

Apa pun itu, pilihan terbaik ialah tak terlibat.

Aku berjalan cepat meninggalkan tempat itu, tetapi gadis ini masih mengekoriku. Saat aku berjalan cepat, gadis itu pun ikut berjalan cepat mengikuti langkahku.

“Dengar, bisa tidak kau berhenti melakukan ini?”

Aku pun berbalik dan melemparkan kalimat kesal pada gadis itu. Tubuh gadis itu sedikit berkedut saat aku mengencangkan suara, yang mana pejalan kaki lain pun mulai melirik kami.

“Sejujurnya sangat merepotkan kalau kau mengikuti, terus diam saja begitu. Kalau ada urusan katakan dengan jelas.”

Aku tidak ingin menarik perhatian sekitar, tetapi aku takpeduli. Aku pun lanjut berbicara dengan suara kencang.

“Uhh, umm, itu ....”

Gadis ini pasti menyadari perhatian sekitar, karena ia mulai melirik-lirik sekitar sambil bertingkah mencurigakan.

“Mau apa? Kau ingin menjual vas? Mengajakku masuk kepercayaan tertentu? Atau, kalau ada yang membuatmu tak senang dariku katakan saja. Aku lelah, jadi aku ingin pulang secepatnya.”

Aku sendiri pun terkejut nadaku semakin agresif.

Aku sadar jika aku melampiaskan frustrasi harianku padanya. Yang lelah bukanlah tubuhku, melainkan hati. Seolah ingin menghilangkan stres, aku berteriak kesal pada gadis di depanku.

Aku memang merasa brengsek karena melampiaskan emosi kepada gadis yang tak kukenal, tetapi sejak awal gadis inilah yang memulai. Aku ingin dia mengatakan dengan jelas jika memang ada sesuatu. Wajar saja aku merasa tidak nyaman jika ada seseorang yang mengikutimu seperti penguntit.

Meski tak ingin, aku dapat merasakan perhatian sekitar. Apa jangan-jangan orang sekitar melihatku seperti laki-laki jahat yang merundung gadis ini?

“U-umm, begini. Kupikir lebih baik kamu menurunkan suaramu sedikit ...,” jawab gadis itu, dengan canggung.

“Hah? Kenapa?”

“Lagian, umm ... wujudku ini, hanya kamu yang bisa melihatnya .... Jadi, kamu kelihatan aneh di mata sekitar ....”

“Hah~~~~ .... Hah, dasar ...! Sudah cukup ...! Berhenti mengatakan hal yang tidak kumengerti!”

Apa-apaan gadis pembawa masalah ini?! Aku jadi terlibat situasi yang tidak mengenakan.

“———Umm. Kamu, boleh minta waktunya?”

Aku pun dipanggil oleh seseorang dari samping. Aku pun melihat ke sana dan menemukan dua polisi. Sepertinya sedang patroli dan kebetulan berada di dekat sini. Semakin merepotkan saja.

“Apa, kamu murid SMA? Sekarang sudah larut.”

“ ... Saya minta maaf. Saya dalam perjalanan pulang dari bimbingan belajar. Saya akan pergi sekarang.”

“Ah, tunggu sebentar. Tadi, kelihatannya kamu berteriak, apa kamu tidak apa-apa?”

“Iya, saya baik-baik saja. Kami tidak bertengkar, kok. Jadi tidak usah cemas.”

Para polisi itu terlihat sangat tidak percaya padaku. Tampaknya aku harus memberikan penjelasan. Sebaliknya, mungkin saja ini kesempatan. Aku akan menjelaskan jika aku diikuti oleh orang aneh dan meminta bantuan.

“Umm, bagaimana saya menjelaskannya, saya hanya terkejut dipanggil oleh gadis asing.”

“Gadis asing?”

“Gadis ini. Dia datang mengeluh padaku, karena pandangan kami saling bertemu atau semacamnya.”

Aku pun menunjuk gadis itu, tetapi para polisi malah terlihat bingung saat melihat ke arah gadis yang kutunjuk dan terdiam.

“ ... Hm? Gadis yang mana? Apa maksudmu dia sudah pergi?”

Karena mereka mengatakan hal yang keterlaluan, tanpa sadar aku pun berkata, “Hah?” dengan keras.

“Tidak, gadis ini yang saya maksud. Dia memanggil saya karena ada perlu, tetapi setelah itu dia tetap diam. Ditambah lagi, dia terus diam sambil mengikuti saya.”

Polisi yang tampak lebih tua melihat ke gadis itu sambil mengernyit.

“ ... Hmm. Aku tidak mengerti, tapi apa kamu mempermainkan kami?”

“Iya?”

“O-ohh, atau seperti itu? Apa kamu mau bilang kalau kamu bisa melihat hantu, atau kamu itu paranormal? Maaf, ya. Kalau itu sudah di luar yurisdiksi kami. Aku juga tidak mau terlibat dengan yang namanya hantu. Kalau memang ada di sana, mungkin kupikir pergi ke kuil atau lakukan pembersihan lebih baik.”

Polisi yang lebih muda berbicara padaku dengan nada seolah mengejek.

Alih-alih marah, aku dibingungkan oleh keadaan tak terduga. Aku ingin mengatakan, “Kalianlah yang mempermainkanku.”, tetapi apakah polisi akan menahan murid SMA? Tidak, kupikir tidak akan.

“Yah, lupakan. Pokoknya, langsung pulang ke rumah. Meski banyak orang bukan berarti aman. Lagi pula di dunia ini banyak orang aneh.”

Seolah mengatakan, “Sama sepertimu.”. Lalu, dengan tatapan kasihan, mereka pun pergi meninggalkanku.

Untuk sesaat, aku pun terdiam.

“———Jadi, begitulah.”

Gadis yang sedari tadi diam melihat percakapanku dengan polisi pun berbicara di sampingku.

“Orang normal tidak bisa melihatku.”

“ ....”

Polisi tadi pun sepenuhnya mengabaikan gadis ini, yang terlintas dalam benakku adalah mereka memang tidak bisa melihatnya. Kalau dipikir-pikir. Aku merasa jika tatapan sekitar hanya terlemparkan padaku saja.

Tidak tidak, tunggu. Ini itu, ‘kan? Ini yang namanya lelucon terapan dalam kelompok, ‘kan? Mungkin mereka sedang mengawasiku untuk acara TV atau semacamnya.

Sedikit takut, aku pun mencoba meraih gadis itu.

Aku dapat melihat wujudnya dengan jelas.

Namun, dia tidak ada. Aku tidak dapat menyentuhnya.

Tanganku menembus tubuhnya.

“Duhh .... Kamu cukup berani, ya, tiba-tiba ingin menyentuh seorang gadis. ... Yah, tapi dengan ini kamu mengerti, ‘kan?”

Jadi, memang seperti yang gadis ini katakan.

Ah, apa-apaan ini. Aku yakin aku bukanlah paranormal. Namun, kini aku bisa melihat wujudnya dengan jelas.

“Ahh, tunggu tunggu, jangan kabur!!” Ujar gadis itu dengan panik, saat menyadariku hendak pergi.

“Aku tahu kamu kaget, tapi aku ini bukan roh jahat atau semacamnya! Aku enggak akan menyakitimu, jadi tenang saja!”

 ... ‘Tenang saja’? Mana mungkin aku bisa tenang.

Namun, dia terlihat layaknya perempuan normal, takpeduli bagaimana aku melihatnya. Kakinya pun menapak. Aku pun ragu menyebutnya hantu. Bagaimana, ya. Dia memang tidak terlihat seperti hantu. Cara bicara, dan ragam ekspresi miliknya tak seperti mayat. Iya, dia terlihat hidup. Bahkan lebih energik daripada aku.

“Dengar, ya! Aku enggak akan mengutukmu, atau menculikmu terus memakanmu, ya! Pokoknya, pertama-tama enggak usah takut denganku! Iya?! Dengar, ‘kan?!”

Dalam diam aku pun mengangguk.

“Oke, oke! Kayaknya kamu sudah mengerti! Tadi aku bilang soal pekerjaanku, tapi aku harus memberitahumu sesuatu. Dan, itulah pekerjaanku.”

“ ... Hal yang diberitahu? Jadi, ada apa gerangan?”

“Tung—?! Kenapa tiba-tiba jadi sopan?! Tunggu tunggu! Kamu masih takut denganku, ‘kan?!”

Tentu saja aku takut. Meskipun aku bisa melihat dan mendengarnya dengan jelas, tetap saja dia hanyalah roh.

“Tidak, memang beginilah aku .... Kenapa kau menghantuiku ...? Sejujurnya itu merepotkan ....”

“Sudah kubilang aku tidak menghantuimu! Ah, tunggu tunggu! Jangan blak-blakan mencoba menjauh dariku begitu! Dengarkan saja aku! Ini sangat penting!”

Sepertinya memang benar orang lain takdapat melihatnya. Suara pun takdapat didengar mereka. Karena mereka hanya berlalu tanpa menaruh perhatian pada kami, padahal sedari tadi gadis ini membuat kebisingan.

Kuletakkan tangan di dada, mencoba mengatur ulang pernapasan.

Aku bisa sedikit lebih tenang. Penampilan gadis ini memang bukan seperti roh jahat, dan jika memang roh jahat dia pasti akan membunuhku tanpa pikir panjang.

“Aku tidak mengerti, tetapi memang jika ada hal yang sangat ingin dibicarakan, jangan buang waktu dan cepat katakan .... Kenapa kau hanya diam sambil mengikutiku saja ...?”

“Oh, maaf maaf! Tapinya, aku sangat enggak enak mengatakannya! Pokoknya aku perlu mempersiapkan diri buat mengatakannya! ... Ah! Ta-tapi aku enggak berniat menyatakan perasaan, lo?! Jangan Salah paham!!”

Kenapa ini orang tersipu dan meriah sendiri seperti ini? Kewaspadaanku terhadap gadis ini semakin memudar.

“Aku bilang, nih! Aku bilang, ya! Kamu, sebentar akan meninggal! Kamu akan meninggal!”

“ ... Hah? Meninggal?”

“Iya, benar .... Kamu sebentar lagi akan meninggal. Hidupmu akan berakhir.”

Itu adalah cerita terburuk yang pernah kudengar.

“Tuh, ‘kan! Sudah kuduga kau memang roh jahat yang mau mengutukku menuju kematian!”

“Tidak tidak, sudah kubilang bukan begitu! Aku enggak akan membunuhmu! ... Duhh, kenapa kamu enggak bisa mengerti, sih! Sudah kubilang aku ini bukan roh jahat!”

“Kalau bukan roh jahat lalu apa?!”

Ah, sial. Aku kebablasan. Tatapan sekitar membuatku sakit. Wajahku pun langsung terasa hangat.

Aku hampir melupakannya jika orang-orang di sekitar takdapat melihat gadis ini. Jadi, aku adalah orang aneh yang heboh sendirian. Wajar saja dua polisi tadi datang karena mencemaskanku.

“Umm .... Untuk sekarang, ayo kita ganti tempat mengobrolnya.”

 

*****

 

Aku berjalan ke restoran keluarga yang buka dua puluh empat jam bersama gadis ini—hanya aku yang bisa melihatnya. Aku pun sadar jika berbicara dengannya di persimpangan lampu lalu lintas sangatlah mematikan, dalam artian sosial.

Kini sudah pasti. Meskipun kami masuk bersama, pelayan di sana bertanya seolah itu memang wajar, “Untuk satu orang?”. Hanya aku yang dapat melihat gadis ini.

Aku mencari kursi di pojok agar tak menarik perhatian, lalu duduk berhadapan dengan gadis itu di kursi dua orang.

“Wah, lihat lihat! Hamburger waktu terbatas! Kelihatannya lezat! Ada keju di atasnya, ya? Ini saus apa, ya?”

Mata gadis itu berbinar sembari melihat poster iklan di dinding.

“ ... Tidak, tidak usah bahas tentang hamburger. Sebenarnya kamu ini apa? Bisa tidak kau jelaskan padaku?”

Aku berbicara dengan suara sekecil mungkin. Aku harus berhati-hati agar orang sekitar tidak berpikir kalau aku orang aneh yang bicara sendirian.

“Umm, bagaimana, ya .... Aku bingung harus memulai dari mana ....”

Gadis itu menyilangkan tangan, lalu bergumam, “Hmmm.”.

“Pertama-tama, tentang aku ini apa, ‘kan? Aku ... Dewa Kematian.”

Gadis itu berkata dengan ekspresi sombong.

“ ... Dewa Kematian? Lah, kalau begitu tidak ada bedanya dengan roh jahat.”

“Tidak tidak, jelas beda jauh dong! Dewa Kematian dan roh jahat itu beda jauh!”

“Tadi kau bilang, ‘kan? Kalau aku sebentar lagi akan meninggal. Itu artinya, kamu—Dewa Kematian—datang mengambil rohku, ‘kan?”

“Hmm, tapi bukan begitu .... Kalau di komik gambaran Dewa Kematian memang begitu, tapi aslinya bukan. Roh manusia bukanlah sesuatu yang bisa  kami, para Dewa Kematian, kendalikan. Siapa yang akan meninggal, bagaimana cara orang itu meninggal, itu takdir yang sudah ditentukan. Dewa Kematian hanya dapat memberitahu saja.”

“Memberitahu? Batas waktu hidup seseorang?”

“Nah, iya. Aku memberitahu seseorang yang akan segera meninggal. Mengesampingkan bagaimana orang itu meninggal. Seseorang yang akan segera meninggal dapat melihatku———dapat melihat Dewa Kematian.”

Dengan kata lain, itulah syarat untuk dapat melihat gadis ini. Seseorang yang dekat dengan kematian. Aku pun menelan ludah.

“Yang merepotkannya itu, jika mereka yang hendak meninggal tidak menyadariku, aku juga tidak bisa memberitahu mereka. Jadi, karena itu aku mencari seseorang yang bisa melihatku. Kalau aku menemukannya, aku akan langsung memberitahu orang itu soal kematiannya.”

Kalau diingat-ingat, pertama kali kami bertemu, hal pertama yang ia tanyakan adalah dapat melihatnya atau tidak. Jika aku tidak meliriknya, atau tidak menjawab panggilannya, gadis itu tidak akan tahu jika aku sebentar lagi akan meninggal.

“Mungkin saja di toko ini ada orang lain yang dapat melihatku. Kalau begitu, itu artinya orang itu akan ditakdirkan meninggal sebentar lagi.”

Aku diberitahu hal di luar nalar, tetapi aku harus mempercayainya. Pramusaji pun hanya menyajikan satu gelas air saja, setidaknya pramusaji itu takdapat melihat keberadaan gadis ini. Kesampingkan apakah benar adanya Dewa Kematian, tetapi tidak diragukan lagi jika gadis ini adalah makhluk supranatural.

“ ... Jadi, Mbak Dewa Kematian. Kapan aku akan meninggal? Spesifik dari kata sebentarmu itu kapan?”

“Eh?! Ka-kamu yakin ingin mendengarnya ...?”

Dewa kematian itu mengernyit. Ekspresinya terlihat seperti sulit mengatakan itu. Mungkin hampir mirip seperti seorang dokter yang memberitahukan jangka waktu hidup seseorang. Namun, tak seperti gadis ini, dokter pasti memberitahukan dengan lebih santai. Dalam benakku terlintas wajah ayah. Wajah seorang dokter yang selalu masam.

“Itu pekerjaanmu, ‘kan? Lagi pula, kau sudah membeberkan sejauh ini, sebaliknya aku lebih kesal kalau kau malah setengah-setengah. Kalau sudah sejauh ini katakan semuanya. Kapan aku akan meninggal.”

Dewa kematian itu tampak ragu sejenak, lalu memberikan jawaban dengan nada tegas.

“Seminggu lagi. Seminggu lagi kamu akan meninggal.”

Dewa kematian itu berkata seraya menggigit pelan bibirnya. Aku pun hanya mengangguk dengan wajah datar.

“Hmm. Begitu, ya. Jadi seminggu lagi aku akan meninggal. Benar-benar sudah dekat, ya.”

“Ah, muncul kan reaksi begitu. Kamu pasti enggak percaya, ‘kan? Yah, wajar saja, sih. Enggak mungkin kamu akan langsung percaya setelah aku mengatakannya tiba-tiba begini. Semmmmmuanya sama. Mereka sama sekali enggak percaya kalau aku dewa kematian, atau mereka sebentar lagi akan meninggal.”

“Tidak, aku percaya, kok. Aku percaya kalau kamu dewa kematian dan jangka hidupku hanya tersisa satu minggu lagi.”

Namun, tatapan gadis itu seolah takpercaya.

“Bohong .... Kalau kamu percaya enggak mungkin bisa setenang itu.”

Yah, kurasa dia ada benarnya. Orang normal takkan mungkin bisa setenang ini. Jika saja mereka tahu akan meninggal dalam seminggu, mereka pasti akan panik dan mulai berteriak mengapa mereka harus mati.

Namun, kenapa aku bisa tetap santai? Jawabannya sangatlah mudah.

“Karena aku merasa mati pun tidak masalah.”

Dewa kematian itu diam sejenak setelah mendengar kalimatku, lalu segera merespons, “Kenapa?!” dengan wajah terkejut.

“Hidup itu, bukankah lebih banyak hal menyakitkan daripada hanya menyenangkan? Meskipun hidup, aku tidak punya mimpi atau harapan di masa depan.”

“Hah?!”

Dewa kematian bangkit dai kursi sambil berteriak kencang. Meskipun membuat reaksi sekencang itu, tidak ada pelanggan lain yang merespons.

“Kenapa kamu bilang begitu?! Kamu masih SMA, ‘kan?! Pemuda yang masih punya masa depan enggak boleh bilang begitu!”

Rasanya sedikit geli saat orang yang seumuran denganku menyebutku pemuda. Meski penampilannya seperti itu, jangan bilang jika ia sudah hidup jauh lebih lama dariku?

“ ... ‘Pemuda yang punya masa depan’, aku sebentar lagi akan meninggal, ‘kan?”

“Eh? Ah, tidak, benar juga, sih .... Duh! Pokoknya jangan mengatakan hal menyedihkan begitu! Kamu harus menghargai hidupmu! Apa kamu tidak merasa enggak enak dengan orang tua yang melahirkanmu?! Banyak hal menyenangkan selama hidup! Kamu cuma anak kecil yang belum hidup lama, jangan bicara seolah sudah tahu benar!”

Tidak kusangka akan tiba hari di mana aku diomeli oleh Dewa Kematian. Kenapa, ya. Aku sama sekali tidak tergerak dengan kalimatnya, tetapi gadis itu terus berbicara.

“Memang benar selama hidup pasti ada hanya menyedihkan, tapi juga ada banyak hal menyenangkan, ‘kan? Pasti ada hal yang membuatmu bersyukur telah dilahirkan. Enggak peduli seberapa malang, pasti ada saatnya kamu merasa bahagia.”

“Memangnya, ya?”

“Iya! Kalau enggak begitu, enggak ada artinya aku di sini!”

Dewa Kematian melompat dari kursi dan mendekatkan dirinya ke depan wajahku. Tatapannya begitu serius.

“ ... Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti.”

“Begini, ya. Tugasku itu bukan sekadar memberitahu kapan mereka akan meninggal. Bisa dibilang, kalau dalam masakan itu kayak hidangan pembuka. Hidangan utama tugasku adalah membebaskan keterikatanmu yang tersisa dengan dunia ini setelah kamu meninggal.”

“Keterikatan?”

“Apa yang ingin orang itu lakukan di sisa hidupnya. Kalau enggak nanti pasti akan menyisakan penyesalan besar. Beberapa orang yang masih menyisakan penyesalan enggak bisa pergi ke dunia berikutnya begitu mereka meninggal. ... Iya, mereka akan menjadi hantu dan akan terus bergentayangan di dunia ini. Mungkin sedikit sulit dimengerti, tapi intinya kalau jadi begitu akan sangat menyakitkan.”

Apa hantu itu kurang lebih akan menjadi seperti gadis ini? Hanya orang tertentu yang dapat melihatnya. Dalam kondisi seperti itu, mereka akan terus bergentayangan di dunia ini. Aku penasaran bagaimana rasanya. Sama seperti yang gadis ini katakan, aku sulit memahaminya.

Apa itu akan lebih menyakitkan daripada hidup sekarang ini?

“Aku bekerja demi mencegah mereka yang hendak meninggal enggak menjadi roh yang kasihan. Kamu tahu, semacam persiapan begitu. Persiapan sebelum meninggal. Kalau tiba-tiba meninggal kita enggak bisa melakukan itu. Jadi, pekerjaan Dewa Kematian adalah membantu di bagian itu.”

“ ... Hmm. Jadi begitu. Kalau begitu, syukurlah.”

“Eh? Apanya yang syukurlah?”

“Aku tidak punya hal yang ingin aku lakukan, jadi aku tidak perlu takut akan menjadi hantu. Karena kau jadi takperlu membantuku, sekarang bubar. Syukurlah pekerjaanmu jadi lebih ringan.”

“Itu enggak benar! Pasti kamu juga punya hal yang ingin kamu lakukan sebelum meninggal! Lagian, aku enggak mau langsung pisah tanpa melakukan apa pun, padahal sudah ketemu!”

“Hah?”

Kenapa ini makhluk tiba-tiba ngegas begini?

“ ... Aku selalu mencari. Orang yang bisa melihatku. Berhari-hari. Meskipun ketemu, terkadang mereka malah ketakutan dan melarikan diri. Mereka enggak percaya saat aku beritahu kalau mereka sebentar lagi meninggal.”

Yah, kurasa itu reaksi yang normal. Tak banyak orang yang bisa menerima dengan mudahnya didekati oleh sosok asing, terlebih sosok asing itu mengatakan jika dia sebentar lagi akan meninggal.

“Ini pertama kalinya, ada orang yang mau mendengarkanku sepertimu ini! Padahal kupikir akhirnya aku bisa melakukan tugasku sebagai Dewa Kematian! Jadi biarkan aku melakukannya sampai akhir!”

Sepertinya menjadi Dewa Kematian itu pekerjaan yang sulit. Terus berkeliling kota sambil mencari orang yang bisa melihatmu. Begitu ditemukan, mereka akan melarikan diri karena takut. Gadis ini pasti terus mengulangi hal itu. Tampaknya aku—yang mau mendengarkannya—merupakan pelanggan penting.

Namun, tetap saja.

“ ... Aku tak tahu bagaimana kondisimu itu. Pokoknya, aku tak punya penyesalan bahkan setelah meninggal nanti. Meskipun aku akan meninggal besok, aku tak punya penyesalan.”

Ini perasaan asliku. Bukan berarti aku sepenuhnya tak takut meninggal, tetapi itu hanya sebatas rasa sakit atau penderitaan saat meninggal, dan hanya itu. Bukan berarti aku takut tak dapat hidup lagi.

Aku sudah putus asa akan hidupku sejak lama.

“Jangan katakan hal menyedihkan seperti itu! Pasti kamu juga punya! Contohnya hal yang mau kamu lakukan di masa depan nanti, tempat yang mau kunjungi, menembak perempuan yang kamu suka, atau seseorang yang kamu mau beri salam perpisahan! Pasti ada yang terbesit meski hanya satu, ‘kan?!”

Dewa kematian terus berbicara seolah ingin melahap. Tampaknya dia sangat tidak ingin melepaskan mitra bisnis yang akhirnya telah ia temukan.

Karena akhirnya aku merasa kasihan, kucoba ‘tuk berpikir. Hal yang ingin kulakukan sebelum meninggal ....

Memang benar, ada hal yang ingin kulakukan—tepatnya aku punya mimpi. Namun, aku telah menyerah pada mimpi itu.

Dulu, aku ingin menjadi dokter seperti ayah dan kakak. Demi mencapai tujuan itu, aku mengambil ujian masuk SMA, dengan niat diterima dengan nilai tertinggi.

Namun, tampaknya aku tidak cukup memiliki bakat dan semangat. Pada akhirnya, aku tidak diterima di SMA pilihan pertamaku, dan masuk ke SMA yang kuhadiri sekarang ini.

Jika Masato, dia pasti bisa lulus.

Kenapa kau tak bisa seperti Masato?

Kenapa Masato harus pergi?

Hingga kini aku tak melupakan kata-kata yang ayah katakan di malam aku gagal dalam seleksi masuk. Orang itu selalu melihat kakak yang telah meninggal.

Gagal dalam seleksi masuk SMA bukan berarti kau takkan bisa menjadi dokter. Ada banyak cara untuk kembali ke jalur yang seharusnya. Namun, kata-kata ayahku malam itu menghancurkan hatiku.

Sejak awal, menjadi dokter bukanlah cita-citaku, melainkan cita-cita kakak. Kakak merupakan mahasiswa kedokteran yang sangat aktif, bahkan telah memulai cita-citanya sebagai dokter. Baik dalam akademis dan olahraga. Banyak memiliki teman. Dia bahkan banyak melakukan pekerjaan sukarelawan. Bagi ayah, dia merupakan anak kebanggaan.

Bukan hanya ayah. Bagiku, kakak adalah kebanggaanku, juga pahlawan superku. Kakak menceritakan banyak hal seru padaku dan mengajakku bermain meskipun sedang sibuk belajar. Saat aku kelas lima, darmawisata yang kulakukan dengan kakak merupakan salah satu kenangan terbaik.

Kakak yang seperti itu tiba-tiba meninggal dalam kecelakaan.

Ayah sekarang sudah tidak apa-apa, tetapi tepat setelah kematian kakak, ayah sangat sedih hingga tingkat siapa pun tak tahan melihatnya. Minum sake meskipun biasa tidak minum, dan saat malam hari ia mengeluarkan suara ratapan dari kamarnya.

Aku mencoba menjadi kakak. Aku hanya perlu menjadi dokter yang hebat sebagai ganti kakak. Aku hanya perlu menjadi manusia yang sama seperti kakak. Jika begitu, ayah pasti akan bangkit kembali. Sembari hidup dengan pemikiran itu, aku berusaha untuk bangkit dari kesedihan kematian kakakku.

Namun, mustahil. Meski telah berusaha, kemampuanku masih belumlah cukup. Gagal dalam seleksi masuk SMA dan mendengar kata-kata kekecewaan ayah, aku pun menyerah pada mimpiku.

Hanya sebatas diriku takkan bisa menjadi seperti kakak.

Jika memang benar adanya Tuhan, mengapa Dia merebut kakak dan bukan aku dalam kecelakaan itu? Aku tak punya apa-apa. Aku belajar tanpa tujuan, aku pergi ke sekolah tanpa harapan, aku tak punya mimpi, dan hanya menghabiskan waktu tanpa  arti.

Tidak ada gadis yang kusuka. Gadis yang kusuka saat SMP pun hanya tinggal masa lalu. Kini, saat SMA pun aku tidak punya teman. Aku mulai tak nyaman terlibat dengan orang lain. Di sekolah pun, aku hanya belajar dalam diam. Tidak ada teman dari satu SMP.

Diriku sekarang hanya cangkang kopong. Tidak ada apa pun, hanya manusia membosankan.

Aku takpunya penyesalan setelah mati kelak.

 ... Ah, tidak, tunggu.

Benar, aku yang seperti ini pun ada. Satu-satunya yang kucemaskan setelah aku meninggal kelak. Yaitu meninggalkan Hana yang sangat berharga.

Hana adalah anjing yang keluargaku pelihara. Dia sudah bersamaku bahkan sejak aku lahir. Bahkan setelah kematian kakak, dia selalu berada di sisiku. Dia bagian dari keluargaku, sekaligus teman terbaik.

Di hari kecelakaan kakak. Kata-kata terakhir kakak pun terkilas balik dalam benakku.

Nah, aku berangkat. Tolong jaga Hana, ya.

Cukup sulit aku meninggal lebih dulu dan meninggalkan Hana. Itu memang kalimat yang biasa kakak katakan, tetapi jika tidak dilakukan sama saja seperti aku takdapat memenuhi permintaan terakhirnya.

“—Nah, ayolah. Pasti ada, ‘kan? Kalau meninggal nanti bakal jadi penyesalan.”

Kalimat Dewa Kematian membawaku kembali ke kenyataan.

“Tidak. Aku tidak terbesit apa pun.”

Aku memutuskan untuk tidak memberitahunya. Memangnya apa yang bisa ia lakukan saat aku ceritakan tentang Hana? Apa dia akan merawat Hana sebagai gantiku? Bagaimana caranya Dewa Kematian yang tak bisa dilihat merawat seekor anjing?

Aku pun takbisa apa-apa. Apa yang bisa kulakukan pada Hana sebelum kematianku hanya sebatas mengucapkan kalimat perpisahan.

“Hmm .... Begitu, ya. Jadi enggak kepikiran apa-apa ....”

Dewa kematian itu menyilangkan tangan, menatap langit seolah berkata, ‘sekarang bagaimana, ya?’.

“Ya, tidak ada hal yang ingin kulakukan sebelum meninggal. Jadi, dengan ini pekerjaanmu telah selesai. Kalau begitu, aku pula———”

“Oke, baiklah! Kalau begitu ayo cari bersama!”

Dewa kematian itu berkata sembari menepuk tangan.

{Catatan: Yang dimasuk menepuk tangan di sini itu kayak, tangan kanan yang dikepalkan ditepukkan ke telapak tangan kiri, terus seolah kayak muncul suara, “Pon”. Di beberapa anime juga sering muncul. Ane harap dapat dimengerti.}

Aku hendak bangun, tetapi langsung terhenti.

“ ... ‘mencari’?”

“Mencari yang mau kamu lakukan. Jadi selama seminggu ini aku akan bersamamu, sampai kamu meninggal. Kita akan mencari sesuatu yang akan menjadi penyesalanmu setelah meninggal nanti, dan apa yang mau kamu lakukan sebelum meninggal. Yah, sejak awal aku memang berniat membantu aktivitasmu sebelum meninggal.”

“O-oi, kenapa kau seenaknya sendiri memutuskan ....”

“Meski kamu enggak mau aku tetap akan ikut, lo! Jadi, ayo temukan sesuatu yang mungkin akan jadi penyesalanmu nanti!”

Sepertinya aku takpunya pilihan menolak. Lagi pula aku takbisa mendorong paksa gadis yang bahkan takbisa kusentuh ini, dan percuma saja jika aku hendak mengadukan ke ibu atau polisi. Jika aku bilang diikuti oleh Dewa Kematian, aku hanya dicap sebagai anak gila dan semuanya akan berakhir.

Atau, mungkin aku akan mengikuti saran polisi sebelumnya untuk pergi melakukan pembersihan? Namun, gadis ini bukan roh jahat, melainkan Dewa Kematian. Apa melakukan pengusiran terhadap Dewa Kematian bisa?

Hahh, jadi merepotkan begini.

Gadis Dewa Kematian itu tersenyum bahagia, tanpa memedulikan kondisiku.

 

*****

 

Dengan begitu, gadis Dewa Kematian ini pun mengikuti hingga ke rumah.

Sembari berjalan bersamanya, ada beberapa hal yang kumengerti. Gadis ini berkegiatan dengan menapaki tanah, dia tidak bisa terbang. Juga, dia tidak punya kekuatan khusus seperti teleportasi atau kewaskitaan.

Jadi, ia tetaplah gadis biasa, kecuali hanya orang tertentu yang bisa melihatnya.

Namun, ada batasan dia takdapat menyentuh atau memindahkan sesuatu. Karena pasti akan menembus. Tentu saja, ia juga takdapat memakan makanan. Saat di restoran keluarga tadi, ia hanya bisa menatap dengan iri hidangan yang kupesan.

Yang bisa ia lakukan hanyalah berbicara denganku—yang bisa melihatnya. Aku penasaran bagaimana cara ia membantuku nanti saat kami telah menemukan hal yang ingin kulakukan.

“Hee, jadi di sini, ya ...!”

Dewa kematian itu terkejut begitu melihat rumahku.

“Heee, ini rumahmu, ya ...! Ohh, hee ...!”

Rumah tinggal satu keluarga dengan taman. Ayahku seorang dokter, jadi kukira memang lebih besar dari rumah di sekitar, tetapi bukan sesuatu  yang dapat membuat mata berbinar. Ekspresi penuh warna terukir di wajahnya.

Di restoran keluarga pun sama, hanya melihat menu hidangan saja sudah sangat heboh, benar-benar orang yang berlebihan dengan hal kecil.

Aku bingung dengan orang ini. Entah bisa kusebut orang biasa, atau bahkan bukan layaknya Dewa Kematian. Pokoknya, orang aneh.

“Hei .... Jangan bilang, kau akan sampai masuk ke rumah, ‘kan ...?”

“Eh,  tidak tidak, kamu ini bicara apa? Yah, tentu saja, ‘kan? Demi melakukan tugasku sebagai Dewa Kematian, aku harus lebih memahamimu dulu. Jadi aku harus tahu bagaimana gaya hidupmu saat di rumah.”

Aku pun berjalan menuju pintu masuk, seraya berpikir,

Yah, kalau sudah mengikuti sampai sini apa boleh buat.

Dewa kematian itu masuk ke dalam rumah tanpa menunjukkan sedikit pun keseganan.

Sudah sejak lama ada tamu yang datang ke rumah. Tak kusangka tamu yang datang saat aku SMA adalah Dewa Kematian.

“Oh, selamat kembali. Hari ini kamu pulang lebih lama, ya.”

Ibu menyambutku di depan pintu masuk. Penampilannya menunjukkan jika ia sudah hendak tidur. Aku pulang lebih lama akibat Dewa Kematian, tetapi ibu tidak memarahiku. Dia tidak menanyai alasan aku pulang telat. Sejauh itulah ibu mempercayaiku.

Tidak, atau mungkin dia sudah sama seperti ayah, takpeduli lagi denganku. Lagi pula kau tak punya kewajiban mengetahui perasaan asli orang itu, meskipun keluarga.

“Kamu sudah makan malam?”

“Sudah. Sambil istirahat aku ke toko serba ada. Terus, sehabis itu aku sedikit lapar, jadi aku mampir di restoran keluarga terdekat.”

“Begitu, ya. Jadi karena itu kamu pulang telat. Terima kasih kerja kerasmu. Mandi sana, habis itu istirahat.”

“Permisiiii!!”

Sembari berbicara dengan penuh energi, Dewa Kematian membungkuk dan berjalan melewati ibuku dengan santainya. Awalnya aku sedikit takut, tetapi ibu benar-benar mengabaikan gadis itu, kurasa dia sepenuhnya takdapat melihat Dewa Kematian. Ibu pasti akan menanyakan sampai ke bagian mendetail jika aku tiba-tiba membawa perempuan ke rumah.

Terlebih, di larut malam seperti ini. Jika orang itu gadis normal, dalam artian bagus aku pasti akan deg-degan. Namun, gadis itu bukanlah manusia. Takpeduli meskipun penampilannya cantik, perasaan semacam itu tidak timbul dalam diriku.

Setibanya di ruang tamu, kudengar suara gonggongan anjing.

“Aku pulang, Hana.”

Hana melompat ke arahku, sembari menggonggong senang. Seperti biasa, aku pun mengelus kepalanya.

Hana jenis anjing Skipperki hitam, bentuk kecil. Untuk seekor anjing, dia lebih suka bermalas-malasan di rumah daripada bermain di luar, terutama sofa ini adalah tempat kesukaannya.

“Wahh! Wahhh!”

Dewa kematian itu melompat senang begitu melihat Hana. Dia pun berjongkok sambil menatap wajah Hana. Mungkin hanya imajinasiku, tetapi Hana pun melihat ke arah dewa kematian, lalu mengibaskan ekornya dengan gembira.

Dewa kematian itu pun mengelus kepala Hana sama sepertiku. Namun, tidak dalam artian nyata. Karena dia takdapat menyentuh sesuatu. Hana—yang dielus—pun tak memunculkan respons.

Meski begitu, dewa kematian itu melakukannya dengan senang.

“ ... Jangan-jangan, kamu suka anjing?”

“Iya! Suka, aku suka! Aku sangat suka!!”

Dia kelihatan sangat bersemangat. Sepertinya dia memang benar-benar menyukai anjing. Jika punya ekor, pasti dia sudah mengibaskan ekornya sama seperti Hana.

Tak lama, Hana menjauh dari Dewa Kematian dan berbaring di sofa. Setelah itu, ia tak lagi melihat ke arah Dewa Kematian. Apa hanya perasaanku saja jika Hana dapat melihat Dewa Kematian. Meskipun kutanyakan pada Hana, ia takkan menjawab, jadi percuma saja.

Jika Hana dapat melihat Dewa Kematian, berarti waktu hidupnya tinggal sebentar lagi, sama sepertiku. Hana sudah dipelihara bahkan sejak sebelum aku lahir, dan ia tumbuh bersamaku sejak kecil. Meskipun Skipperki termasuk jenis anjing yang bisa hidup lama, tetapi dia sudah cukup tua sehingga tak aneh jika ia mati kapan saja.

Jika mungkin.

Mungkin, apa yang terjadi jika Hana mati?

Aku yakin penyesalanku di dunia ini sudah tak ada.

“Nah, sekarang bawa aku ke kamarmu!”

Dipaksa oleh Dewa Kematian, meski enggan aku pun berjalan menuju kamarku.

“Ohh, ternyata kamarmu rapi juga.”

Setibanya di dalam, ia mulai memperhatikan kamarku.

“Kukira kamar laki-laki itu pasti lebih berantakan dari ini. Ya, enak dipandang.”

“Oi, jangan terlalu banyak melihat seisi kamarku ....”

Karena aku tipe yang selalu membereskan kamar, jadi kurasa kamarku bukanlah kamar yang terlihat berantakan, jadi aku tidak terlalu malu. Namun, meskipun oleh Dewa Kematian, aku tetap merasa tak nyaman seorang perempuan mengintip isi ruangan pribadiku.

“Hmm, jadi begitu, ya. Kamu suka buku, ya.”

Melihat seperlima kamarku diisi rak buku, Dewa Kematian berucap kagum.

“Yah, begitulah ....”

Bisa dibilang membaca adalah satu-satunya hobiku.

Novel, buku literatur, buku filosofi, tak pilih genre. Buku yang berhubungan dengan kakak pun banyak tersimpan di sini. Buku kedokteran pun ada, meskipun belum kubaca semuanya. Untuk sekarang ini, sebagian besar isinya tak dapat kupahami.

Kini pun aku takpunya keinginan untuk memahami.

“Oh! Aku kira isinya begituan semua, ternyata juga ada komik!”

“ ... Yah, meski tidak banyak.”

Sebelum masuk SMP aku punya teman cukup banyak. Aku sering membeli komik terkenal agar bisa dengan nyaman mengobrol dengan teman-temanku. Namun, aku sudah tidak berhubungan lagi dengan mereka. Saat masuk SMA pun takpunya teman, dan aku tidak membeli buku keluaran terbaru.

“Fufu .... Fufufu ....”

“?!”

Aku pun mengambil posisi bertahan, saat Dewa Kematian tiba-tiba terkekeh menyeramkan.

Ini makhluk tiba-tiba kenapa? Wajahnya benar-benar kelihatan punya niatan aneh. Akhirnya, kubisa dengan yakin akhirnya dia memasang ekspresi layaknya Dewa Kematian.

“Biasanya ada di sini, ya ....”

Sembari berucap begitu, Dewa Kematian itu mengintip ke bawah ranjang.

“ ... Apaan?”

“Gufufu .... Jangan buat aku mengatakannya, malu tahu.”

“ ....”

Aku pun hanya dapat menghela napas begitu sadar apa yang gadis itu maksudkan.

“Lo ...? Aneh .... Kok enggak ada, sih.”

“Dengarkan aku ....”

Sayang sekali, aku takpunya buku semacam itu.

“Hei, di mana? Kamu menyembunyikannya di mana? Tenang aja, aku enggak akan mulut ember, kok. Lagian juga aku enggak bisa berbicara dengan orang lain, jadi mau aku sebarkan juga enggak bisa. Santai aja.”

Sembari mengatakan itu, Dewa Kematian mengintip bagian belakang buku, celah-celah, bahkan tanpa ragu mengecek seluruh ruangan. Sepertinya gadis ini tidak tahu yang namanya menahan diri. Meskipun dia bukan manusia, tetap saja aku tidak senang jika ada orang yang mengacak-acak privasi seperti ini.

“Oi! Sudah cukup!!”

Karena tak tahan, aku pun berteriak padanya. Lalu, Dewa Kematian pun menatapku tak senang.

“Apaan, sih .... Enggak perlu marah juga kali .... Ini demi mengenalmu lebih jauh lagi. Ya, ini bagian dari pekerjaanku.”

“ ... Meskipun memang begitu, apa kau taktahu namanya menahan diri? Lagi pula, terus terang, hal ini sudah berbeda dari tujuan awalmu, ‘kan? Meskipun kamu bilang pekerjaan, kamu hanya ingin bersenang-senang, ‘kan? Lagi pula kau terlihat sangat senang seperti itu.”

“Eh?! Bukan, umm .... Fiuh .... fifiuh ....”

“Tidak ada suaranya! Kalau mau bersiul yang benar! Bodoh banget mau mengalihkan pembicaraan.”

Mendengar suara ketukan pintu, aku pun terkejut.

“I-iya?”

Begitu kuberi balasan, ibuku pun membuka pintu lalu mengintip ke dalam.

“ ... Ibu kayak mendengarmu sedang mengobrol, apa ada orang lain di dalam?” Ucap Ibu, seraya melirik sekeliling kamar.

Dalam bidang pandangku, sosok Dewa Kematian benar-benar terlihat. Namun, jika dari sudut pandang ibu hanya aku seorang di kamar itu.

“Ah, tidak, aku sedang menelepon teman SMA-ku.”

“Wah, jadi begitu. Dengan temanmu ....”

Kenapa, ya, ibu tampak senang saat mendengar kebohonganku yang mengatakan tengah mengobrol dengan teman melalui telepon.

“ ... Jadi begitu, ya. Jadi kamu dapat teman dekat, ya. Soalnya suaramu terdengar sangat senang.”

Eh, serius ...? Memangnya suaraku terdengar senang, ya ...?

“Ufufu, kalau begitu, habis itu cepat mandi, ya.”

Berkata begitu, ibu pergi meninggalkan kamarku. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

Ah, jadi begitu. Selama ini ibu mencemaskanku.

Lagi pula, aku takpernah membicarakan tentang temanku begitu masuk SMA.

Bukan hanya tentang teman. Sejak kepergian kakak, aku sadar jika ibu selalu mencemaskanku. Ibu pasti juga sangat terpukul atas kepergian kakak, tetapi ibu selalu berusaha yang terbaik mendukungku dan ayah agar bangkit kembali.

Tak seperti ayah. Ibu selalu benar-benar memikirkanku. Akhirnya aku dapat memastikan itu.

Apa yang ibu pikirkan saat aku meninggal nanti, ya? Apa yang ibu pikirkan jika aku tiba-tiba mengatakan sebentar lagi akan meninggal? Ibu akan bereaksi seperti apa saat aku memberikan salam perpisahan?

 ... Tentu saja, tak mungkin aku memberitahukan itu.

“Ohhh! Kalau dilihat-lihat, ternyata kamu juga punya gim!”

Mengabaikanku, dia benar-benar santai.

Dewa kematian terus menggeledah kamarku, sembari berusaha mati-matian mengalihkan pembicaraan, sesekali melirik sekilas.

“Kukira kamu orangnya kaku, ternyata kamu juga main gim.”

“ ....”

Kulihat konsol video gim di bawah TV sembari tenggelam dalam pikiran.

“ ... Aku sudah lama tidak memainkannya. Yah, dulu aku sering memainkannya dengan kakak.”

“Kakak ...?” Ekspresi Dewa Kematian pun menjadi serius.

“Aku punya kakak laki-laki. Meskipun setahun yang lalu dia meninggal.”

Dewa Kematian itu membuat ekspresi tak jelas, entah terkejut atau sedih.

“Jadi, begitu .... Maaf,  ya ....”

“Eh? Kenapa kau minta maaf?”

“ ... Yah, karena aku membuatmu mengingat kakakmu yang sudah pergi, ‘kan ...?”

Setidaknya, gadis ini mempunyai sedikit kehalusan.

“ ... Tidak apa-apa. Lagi pula, lebih menyakitkan lagi diberitahu kalau aku sebentar lagi akan meninggal.”

“Eh?! Ah, ma-maaf!!”

Padahal aku berniat satire, tetapi dia benar-benar meminta maaf.

Sungguh, sebenarnya dia ini apa? Bukankah Dewa Kematian itu seharusnya memberitahukan kematian tanpa emosi? Apa itu hanya imajinasi personalku saja?

“ ... Hei, aku mau memastikan. Seminggu lagi aku akan meninggal, ‘kan?”

Dewa Kematian itu pun mengangguk. “Iya, kamu benar. Itu enggak salah lagi. Malam ketujuh, termasuk hari ini. Itulah hari kapan kamu akan meninggal.”

Begitu dipertegas lagi, kurasakan hawa dingin di sekitar hatiku.

Hari ketujuh, malam hari.

Itulah hari aku meninggal.

“ ... Jadi, aku meninggal karena apa?”

Karena kurasa ini waktu yang tepat, maka kuputuskan untuk bertanya.

“Sebelumnya kau mengatakan mengesampingkan mengapa orang itu bisa meninggal, ‘kan? Karena kecelakaan? Terbunuh oleh pembunuh? Apa serangan teroris? Atau karena bencana besar yang belum pernah terjadi sebelumnya? Tubuhku sangat sehat, jadi kukira aku takkan meninggal tiba-tiba karena suatu penyakit.”

Pemeriksaan kesehatan di sekolah pun ada, begitu pun dengan rumah sakit tempat ayah bekerja yang peralatannya cukup lengkap, jadi kurasa mereka takkan melewatkan kelainan sedikit pun.

Jika begitu, masuk akal saja jika aku meninggal karena terlibat insiden mendadak.

“ ... Maaf, ya. Aku enggak bisa memberitamu itu. Karena aturan Dewa Kematian.”

Karena alasan apa orang itu akan meninggal. Kurasa Dewa Kematian dilarang mengatakan hal itu. Yah, wajar saja. Jika diberitahu, mungkin saja mereka dapat menghindari kematian, dan itu mungkin juga kerugian bagian Dewa Kematian.

Yah, kuharap kematianku enggak perlu yang ribet-ribet.

“Nah ....” Aku pun bangkit dari kursi.

“Lo? Kamu mau ke mana?”

“Mau mandi. ... Jangan bilang, kamu juga mau mengawasiku sampai sana, ‘kan?”

“He?! Ka-kamu bodoh, ya?! Aku enggak akan mengintip! Aku tunggu di sini, jadi sana cepat!”

Padahal bisa sesantai itu masuk kamar laki-laki, tetapi dia malu karena hal itu, dan membuat reaksi layaknya seorang gadis biasa. Hah ... bikin malas. Sifatnya tidak cocok dengan  gelar Dewa Kematian-nya.

Lagi pula, apa benar gadis ini memang Dewa Kematian? Entah mengapa dia sangat mencurigakan.

Sejak awal, apa gadis ini memang benar ada?

Jangan-jangan, gadis ini hanyalah teman imajiner yang orang lain tak bisa melihatnya? Aku pernah membacanya di buku. Seseorang memiliki teman khayalan yang diciptakan hati mereka karena terlalu kesepian.

Jika memang begitu, saat ini aku sedang berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan, membuatku mengkhayalkan gadis cantik di depanku. Pasti kondisiku sudah sangat parah.

“Kenapa kamu menusuk pipimu sendiri?”

“ ... Bukan apa-apa.”

Aku pun meninggalkan Dewa Kematian di kamar, lalu turun ke ruang tamu. Ada sedikit keraguan meninggalkannya di kamar, tetapi karena dia takbisa menyentuh atau menggerakkan sesuatu, jadi aku tak perlu cemas dia akan memberantakkan kamar.

Begitu tiba di ruang tamu, seperti biasa Hana berbaring di sofa. Sepertinya dia belum tidur. Menyadari kehadiranku di ruang tamu, dia pun melihat ke arahku.

Aku pun duduk di samping dan meringkuk di tubuhnya. Bulu lembut Hana menyentuh lenganku. Sensasinya begitu menenangkan. Perasaan yang telah lama kurasakan.

Sama seperti hari itu.

Malam saat kepergian kakak, aku memeluk Hana sambil menangis, dan aku pun dapat sedikit lebih tenang. Sepertinya dia menyadari hal menyedihkan terjadi, Hana pun menghibur dan menjilati pipiku.

“ ... Hei, Hana,” ucapku, seraya mengelus bulunya dengan perlahan.

“Aku sebentar lagi akan meninggal. ... Konyol sekali, iya ‘kan?”

Hana pun melihat ke arahku, lalu mengeluarkan suara sedih.

Lalu, sama seperti hari itu, ia pun menjilati pipiku.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama