Bab 7 — 18 Februari (Kamis) Hari Kedua Jalan-Jalan Sekolah — Asamura Yuuta
Ketika aku bangun, aku pertama
kali dibuat bingung oleh pemandangan langit-langit di atasku. Itu tidak sama
dengan yang biasa kulihat di rumah, tapi warna hijau yang samar membuatku
lengah, tapi kemudian aku mengingat kalau aku masih dalam acara jalan-jalan
sekolah.
“Waktunya sarapan.”
Aku mendengar suara Maru jadi aku
berbalik. Baik dia maupun Yoshida sudah selesai berganti pakaian, yang
membuatku terkejut sejenak. Aku memeriksa smartphone-ku untuk memastikan—pukul 6
pagi. Hah? Rencana keberangkatan kami hari ini adalah jam 9 pagi, dan sarapan
dimulai jam 7. Kenapa mereka berdua sudah terlihat rapid an bersiap-siap?
“Selama ada jadwal latihan pagi, aku akan selesai makan sarapan
sekitar waktu ini.”
“Tepat sekali.”
… Dasar para otak otot sialan.
“Asamura, kita akan
berpetualang lagi hari ini. Kamu bergabung dengan kami.”
“…Aku sih ogah. Mendingan kalian
berdua bersenang-senang saja tanpaku.”
Maru dan Yoshida memulai tahap
kedua dari petualangan mereka, dan aku meluangkan waktu untuk berganti pakaian
dan menyelesaikan perjalananku ke kamar mandi. Aku kembali ke kamar tidur dan
mengambil smartphone-ku dari pengisi daya, lalu memasukkannya ke dalam kantongku.
Saat melakukan itu, aku melihat bentuk outlet — menyadari bahwa itu adalah tipe
BF dengan tiga lubang. Anehnya, ini adalah paku terakhir di peti mati yang
membuatku sadar bahwa kami berada di luar Jepang. Aku baru mengingatnya karena
hal itu baru saja terjadi tadi malam, tapi ada beberapa anak laki-laki
kebetulan lupa adaptornya, yang menyebabkan sedikit kepanikan sesaat. Kami juga
memiliki beberapa orang seperti itu di kelas kami. Saat itulah Maru datang
untuk menyelamatkan dan meminjamkan beberapa adaptaor ekstra yang dia bawa
bersamanya.
Dia diperlakukan sebagai
pahlawan hanya untuk itu. Dan sekali lagi aku terkesan dengan betapa matang
persiapannnya, bahkan untuk dilema terkecil. Atau mengantisipasi dia memang sudah memperkirakan
hal ini dan membeli beberapa duluan? Mana mungkin, iya ‘kan? Tempat kami
sarapan sama dengan makan malam tadi malam, jadi aku dengan mudah menemukan
jalanku. Sekali lagi, kami disuguhi prasmanan lain untuk dipilih secara bebas.
Meskipun aku memutuskan untuk
memilih sarapan yang ringan di pagi hari, jadi aku membuat makananku dengan
roti panggang yang enak dan dapat diandalkan. Terutama karena aku kebanyakan
makan daging tadi malam, aku memilih untuk menyantap salad kecil hari ini.
Mungkin aku berpikiran seperti ini karena sudah terbiasa dengan masakan
Ayase-san di rumah. Aku melihat area sekeliling dengan nampan di tangan, dan
aku melihat Maru yang tinggi seperti biasanya, dengan Yoshida di sebelahnya.
Duduk di seberang meja dari kami adalah tiga gadis dari kelompok kami, jadi
kami mengucapkan selamat pagi. Itu adalah hal yang paling penting.
“Dengarkan, teman-temanku.”
Saat kami sedang menikmati makanan,
Maru tiba-tiba mengangkat satu tangan dan meminta perhatian kami. Hah?
“Apa yang terjadi padamu,
Maru?” Yoshida menatapnya dengan tatapan ragu.
Maklum saja dia bereaksi begitu,
karena menurutku Maru belum pernah berbicara dengan cara seperti itu
sebelumnya.
“Yah, dengarkan saja dulu,
kalian.”
“Maksudmu ... kami juga?”
Ketiga gadis itu sama
bingungnya.
“Untuk hari kedua, kita akan
berjalan-jalan di berbagai tempat sebagai grup.”
“Ya,” kata Yoshida dan aku
mengangguk.
“Tentu saja kami sudah tahu
mengenai itu, tapi apa hubungannya dengan itu, Maru-kun?” Pemimpin kelompok
gadis bertanya pada Maru.
“Pada dasarnya, mungkin saja
kita bertemu dengan kelompok lain yang membuat rencana serupa. Itu sebabnya aku
ingin menanyakan semua ini kepada kalian.”
“Yah, lagipula tidak banyak
tempat yang bisa kita pilih.”
“Tepat sekali. Tidak akan
mengejutkan jika kita bertemu dengan orang lain. Dan aku sudah bilang pada
Ryou-chan kalau kami mungkin saja bisa bertemu. Aku harap bisa begitu!”
Gadis itu menyebutkan bahwa
temannya di kelas yang berbeda kebetulan memiliki rencana yang hampir sama
persis dengan kelompok kita. Jadwal kami hari ini adalah mengunjungi kebun
binatang pada sore ini, dilanjutkan dengan safari malam nanti malam, yang
letaknya tepat di sebelah kebun binatang. Kedua tempat tersebut sepertinya tempat
yang cukup populer.
“Memang, kedua tempat itu
lumayan populer. Oleh karena itu, tidak aneh bagi kita untuk bertemu dengan
grup lain, kan?”
Semua orang mengangguk. Benar,
perkataannya memang ada benarnya. Tapi mengapa Maru mengungkitnya dengan nada
dramatis seperti itu?
“Kamu mengerti ‘kan, Asamura?”
Maru menyeringai padaku.
“Ya…?”
“Bagus, bagus.”
◇◇◇◇
Pokoknya, setelah rombongan
kami berkumpul pada jam 9 pagi sesuai rencana, kami menaiki bus kota dan menuju
kebun binatang yang terletak di distrik Mandaii. Lokasinya terletak di utara
hotel, dan itu akan memakan waktu sekitar 20 menit. Sementara itu, kami
memiliki pemandu dalam perjalanan untuk memberi tahu kami sedikit tentang
daerah tersebut. Lebih khususnya lagi, tentang sejarah Singapura,
perkembangannya, serta masalah sosial seperti persediaan air dan
lainnya—semuanya dalam bahasa Jepang yang sempurna. Sama seperti di hari
pertama, aku tidak yakin apakah ini hal yang baik atau buruk, karena secara
teknis kami datang ke sini untuk belajar bahasa Inggris. Yah, kurasa aku takkan
terlalu mengerti jika seluruh turnya hanya dalam bahasa Inggris.
Awalnya, pemandu itu memberitahu
kami beberapa informasi umum tentang Singapura. Total permukaan Singapura
sedikit lebih besar dari 23 distrik di Tokyo. Hotel tempat kami menginap
terletak di selatan, dan kawasan Mandai di utara. Jaraknya sekitar 20 km,
sebanding dengan jarak antara stasiun Shinagawa dan stasiun Akabane. Aku tidak
tahu apakah dia mengenal banyak tentang Jepang itu sendiri atau mencari
informasinya karena dia tahu tentang kami sebelumnya, tapi aku berterima kasih
untuk itu.
Dan pada akhirnya, kami melihat
tujuan kami di kejauhan: Kebun Binatang Singapura di Mandai. Kami turun di
tempat parkir dan langsung menuju pintu masuk. Semuanya tumbuh hijau, membuatku
merasa seperti baru saja melenggang di dalam hutan belantara. Aku bahkan bisa
mendengar kicau burung di dalam juga. Selama periode waktu itu, Maru sepertinya
sedang panik akan sesuatu. Bergumam seperti itu tentang waktu dan apa pun.
“Tapi kurasa kita tidak
memiliki jadwal yang terlalu padat di sini…?” Gumamku, bertanya-tanya apa yang
dibicarakannya karena satu-satunya yang mengatur waktu tutup adalah toko.
“Oh! Bukannya itu Asamura-kun
dari kelas sebelah kita! Benar-benar kebetulan
sekali!”
Aku mendengar suara yang
familiar, yang menyebabkan mulutku terbuka lebar seperti ikan yang menunggu
untuk diberi makan. Apa itu… kelompok Narasaka-san? Aku memang sempat melihat
kalau kelompok di dekat pintu masuk tampak familiar, tapi aku tidak pernah
menyangka kalau kelompokku akan bertemu mereka di sini. Ayase-san bahkan
berbalik dan menatapku dengan tak percaya.
Kebun Binatang Singapura.
Itulah yang tertulis di tanda itu, ditulis dengan huruf alfabet... atau lebih
tepatnya, itulah yang dikatakan huruf-huruf yang ditempatkan di pintu masuk
depan, tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya sekarang. Melihat ekspresi
Ayase-san, dan bagaimana dia menatapku, aku berasumsi bahwa dia sendiri tidak
pernah menyangka kalau kita akan bertemu satu sama lain di sini. Dan saat
itulah aku ingat bahwa aku bahkan tidak pernah bertanya tentang rencana kelompoknya
selama jalan-jalan sekolah ini. Mungkin karena aku berpikir tidak ada alasan
untuk bertanya sejak awal, karena kami takkan bisa menghabiskan waktu bersama.
Namun, Maru—dan mungkin juga Narasaka-san—mengetahui tentang itu.
“Rasanya ini terasa seperti
sudah diatur sejak awal,” bisikku pada Maru.
“Aku tidak memaksakan apa pun di
sini, jadi jangan khawatir,” jawabnya dengan mengatakan sesuatu yang hanya
membuatku semakin khawatir.
Maru kemudian berjalan menuju
kelompok Narasaka-san dengan satu langkah lagi, angkat bicara.
“Wah, wah, wah. Bukannya kamu
Narasaka-san yang terkenal itu!”
“Oh! Ternyata Maru Tomokazu-kun,
toh! Kebetulan banget!”
“Memang! Kebetulan sekali, ya!”
Akting mereka kelihatan payah sekali, jelas-jelas kalau mereka sudah merencanakan kebetulan ini. Namun meski begitu, Maru berbalik ke arah kami, saat Narasaka-san berbalik menghadap kelompoknya sendiri.
“Sepertinya kita kebetulan
bertemu dengan kelompok lain karena kebetulan belaka. Aku menganggap ini pasti
takdir, jadi kita tidak boleh melawannya dan sebaliknya, berjalan-jalan di
kebun binatang bersama. Bagaimana menurut kalian?”
“Aku tidak keberatan. Dan
rasanya bakal lebih seru kalau ditambah banyak orang!” Yoshida dengan senang
hati setuju.
Gadis-gadis dari kelompok kami
juga mengangguk.
“Aku sendiri baik-baik saja
dengan itu. Dan aku cukup yakin ada kelompok lain yang berkeliaran.” Dia
mengangkat tangannya di atas wajahnya untuk menghalangi sinar matahari yang
menyinari kami saat melihat sekeliling.
Seperti yang dia katakan, aku
bisa melihat beberapa siswa lain dari SMA Suisei.
"Aku tidak keberatan. Mari
kita semua berjalan-jalan sebagai kelompok besar!”
“Ryou-chan! Aku senang kita
bisa bertemu di sini!” kata seorang gadis saat dia melakukan tos dengan seorang
gadis dari kelompok Narasaka-san.
Gadis bertampang penurut
bernama Ryou-chan juga tersenyum, mengatakan ‘Aku sangat senang.’ Itu berarti kelompok temannya ternyata adalah
kelompok Ayase-san. Siapa yang bisa menyangkanya? Nah, jika beberapa kelompok
dari sekolah yang sama memilih lokasi yang sama untuk dikunjungi, maka tidak
terlalu aneh jika hal seperti ini terjadi. Kurasa aku bisa menganggap ini
sebagai benar-benar kebetulan… Tidak, kebetulan ini terlalu praktis.
“Maru, apa kamu berteman dengan
Narasaka-san?”
“Dia berteman dengan semua
orang, ingat?”
Itu… memang argumen yang valid,
tapi bukan itu yang aku maksud. Rasanya seperti kita sudah dipermainkan. Kami lalu
mengantre untuk membeli tiket, dan aku terus menanyai Maru tentang apa yang
disebut kebetulan ini, tapi dia hanya menjelaskan dirinya sendiri seperti “Kami memeriksa tempat-tempat yang ingin
dikunjungi kelompok lain, jadi kami pikir sebaiknya kami bertemu saja. di
sini.” Kalau dipikir-pikir lagi, dia anehnya memaksa ketika datang ke kebun
binatang. Aku tidak terlalu memikirkannya karena itu adalah tempat yang cukup
populer untuk dikunjungi. Dan karena Ayase-san takkan bersama kami, kupikir
sebaiknya aku pergi dengan tempat yang lebih santai untuk dikunjungi seperti
para turis.
“Aku akan membeli tiketnya,”
kata Maru dan pindah ke loket tiket.
Dia membawa uang yang diterimanya
dari kami dan membeli tiket untuk enam orang. Sebaliknya, Narasaka-san
melakukan hal yang sama untuk kelompoknya. Mereka bertindak seperti pemimpin
kelompok asli, ya? Dibandingkan dengan diriku sendiri dan seberapa sulitnya aku
berjuang untuk menyatukan semua itu, aku harus menghormati mereka sekali lagi.
Setelah itu, kami semua menerima tiket dan memasuki kebun binatang. Dengan
kelompok besar kami yang terdiri dari dua belas orang, kami tidak punya banyak
waktu untuk omong kosong, jadi kami berjalan melewati gerbang depan.
Kebun binatang yang terletak di
distrik Manai ini cukup besar. Menurut pamflet yang kami terima, luasnya
mencapai 28 hektar—yang agak sulit dipahami, tetapi pada dasarnya luasnya enam
kali lipat Tokyo Dome. Satu-satunya kebun binatang yang pernah aku kunjungi
adalah yang ada di Ueno. Dan itu tiga kali ukuran Tokyo Dome. Dengan kata lain,
yang ini berukuran dua kali lipat dari ukuran kebun binatang yang pernah aku
kunjungi… Astaga, benar-benar luas sekali. Dan di dalam semua ruang ini, ada
area luas yang sealami mungkin subtropis, diisi dengan hewan yang hidup seperti
di alam liar, yang bisa kami amati dari jauh.
Mereka juga memasang pagar dan
kanal untuk menjaga agar hewan tetap terkurung, tetapi kebanyakan ditempatkan
di area tersembunyi sehingga dapat dilihat sealami mungkin. Hal tersebut
menghilangkan perasaan dikurung untuk hewan, dan mereka tampaknya menjalani
kehidupan yang cukup santai di sini. Sedikit keluar topik mengenai kebun
binatang, meskipun ukuran grup kami relatif besar, kami segera bergaul dengan
baik. Mungkin berkat Ratu Komunikasi Narasaka-san dan Penguasa yang pandai
mengurus, Maru. Adapun arti dari mengurus… dia pada dasarnya hanya menjaga
orang lain. Dan mereka berdua melakukan pekerjaan berat.
“Semuanyaaa! Aku akan membuat
grup chat, ya!”
Atas perintah Narasaka-san,
kami semua berkumpul dan bergabung dengan grup LINE yang dia buat.
“Baiklah, kalau begitu lihat
ini dulu,” lanjut Maru sambil mengirimkan gambar peta kebun binatang ke grup.
Sambil melihatnya, kami
memeriksa di mana kami berada saat ini.
“Peta ini juga dalam bahasa
Jepang?” Yoshida menunjuk, benar-benar terkejut.
Selain bahasa Inggris, peta itu
juga memiliki teks dalam bahasa Cina dan Jepang. Aku menduga kalau mereka pasti
mendapatkan banyak turis dari Jepang di sini karena mereka sudah repot-repot
menambahkan semua ini. Selain hal itu, kita juga bisa menggunakan wifi di sini.
Kisaran wifi gratis dan perkembangan digital di Singapura memang tidak setengah-setengah.
Maru terus menjelaskan tindakan hari ini dan membagikan jadwal kami.
“Walaupun kemungkinan
tersesatnya bakalan kecil, tapi tempat ini cukup besar. Jika kalian terpisah
dari yang lain, pastikan untuk segera memberi tahu kami melalui LINE.”
“Okeaay.”
Semua orang menanggapi
serempak.
“Kalau begitu mari kita periksa
harimau putih dulu!” Narasaka-san menyatakan saat dia mengambil posisi depan.
Kami semua mengikutinya.
Sebagian besar dari kami sudah lupa berada di kelas yang berbeda saat kami terlibat
dalam percakapan kiri dan kanan. Karena semua orang sepertinya
bersenang-senang, kurasa ini akan menjadi pekerjaan yang dilakukan dengan baik
untuk Narasaka-san dan Maru. Semua orang bersenang-senang, ya? Mempertimbangkan
kepribadianku sendiri, seluruh gagasan untuk membentuk grup untuk
bersenang-senang bersama terasa sangat asing bagiku. Aku tidak berpikir aku
akan pernah datang dengan ide itu sendiri. Aku tahu betapa egoisnya diriku. Tapi
setelah kami semua pergi ke kolam renang bersama pada liburan musim panas lalu,
aku menyadari betapa pentingnya berinteraksi dengan orang lain.
Tentu saja, aku takkan terlalu
bersusah payah jika aku bisa segera mewujudkan kesadaran itu. Tapi ini juga
membuatku lebih menghargai Maru dan Narasaka-san. Mereka mengungkit topik apa
pun yang mereka miliki, memungkinkan kedua kelompok kami untuk segera berbaur
dengan baik. Faktanya, itu adalah kebalikan dari apa yang akan aku dan
Ayase-san lakukan, yaitu bertindak secara mandiri, yang memungkinkan kami untuk
hanyut tanpa tenggelam terlalu banyak. Namun, ada satu jebakan yang tidak bisa aku
lampaui.
Setiap kali aku akhirnya
berbicara dengan Ayase-san, dan setiap kali dia kebetulan berbicara denganku,
salah satu dari kami akan sedikit blak-blakan dan memotong pembicaraan. Aku
pikir itu benar-benar aneh bahwa kami dapat berbicara berjam-jam ketika kami
bertemu setiap hari, tetapi segera setelah kami dilemparkan ke dalam situasi
yang tidak biasa begini, kami segera membuat segalanya menjadi canggung. Tapi
pada saat yang sama, kami juga merasa bahwa kami mungkin tidak akan berhenti
berbicara sama sekali jika kami berhasil sekali. Dan jika itu terjadi, pada
dasarnya kami sendirian menghancurkan upaya Maru dan Narasaka-san untuk
memastikan bahwa setiap orang dapat berbicara dengan semua orang dalam kelompok
besar kami yang terdiri dari dua belas orang.
Namun… aku ingin berbicara
dengannya. Aku ingin mendengar suaranya. Perasaan tersebut begitu kuat sehingga
aku mungkin tidak dapat berhenti jika itu akhirnya terjadi, dan kemudian tidak
butuh waktu lama bagi yang lain untuk mengetahui hubungan seperti apa yang kami
jalani. Misalnya saja, jika kami membicarakan hal ini atau itu dan seseorang
bergabung dengan mengatakan 'Kalian
berdua cukup dekat, ya?', maka aku sudah kehilangan kata-kata, membuatnya
cukup jelas. Itu sebabnya aku mencoba untuk tidak berbicara terlalu banyak
dengan Ayase-san, dan dia sepertinya melakukan hal yang persis sama. Akibatnya,
kami baik-baik saja berbicara dengan teman sekelas kami yang lain, tetapi hanya
ketika sampai pada percakapan antara kami berdua, semuanya menjadi canggung dan
segera terputus.
“Kalian berdua benar-benar
sangat dekat, ya!”
Suara Yoshida membuat jantungku
berdetak kencang.
“Maru… apa kamu dan
Narasaka-san berbicara sebelum ini?”
Oh, ini bukan tentang kami
berdua, huh.
“Maksudku, kami berdua
sama-sama pemimpin kelompok.”
“Ya! Dan sebagai pemimpin
kelompok, kita juga harus bergaul dengan pemimpin lainnya!”
“…Apa memang begitu cara
kerjanya?”
“Ya.”
“Ya!”
Yah, jika kalian berkata
begitu, Yoshida diyakinkan dengan cukup cepat.
Tapi dari sudut pandangku, hal
itu justri lebih membingungkan dari apa pun. Aku tidak tahu apa yang
menyebabkan mereka berdua bisa dekat seperti itu, tetapi jika itu semua karena
mereka adalah pemimpin kelompok, maka Maru juga harus berhubungan dengan
kelompok lain. Setelah kupikir-pikir lagi, baik Maru dan Narasaka-san tahu
bahwa aku dan Ayase-san adalah saudara tiri. Itulah koneksi yang mereka miliki.
Mereka tahu rahasia kami. Meskipun aku sangat meragukan Maru tahu tentang
hubungan asmaraku dengan Ayase-san, dan hal yang sama juga berlaku untuk
Narasaka-san… Seharusnya, ya. Tapi meski begitu, bagaimana jika mereka
mendiskusikan kami di antara mereka sendiri? Dan kemudian mereka mengatur
seluruh situasi ini dengan sengaja?
Sambil merenungkan hal itu, aku
menatap Maru dan Narasaka-san lagi. Maru sedang melihat ke bawah ke ponselnya,
memeriksa jalan yang tepat yang kami tuju dan membagikan info di grup LINE
kami. Pada saat yang sama, Narasaka-san menggunakan semua keterampilan
percakapannya untuk menyatukan kedua belas anggota grup di bawah satu topik —
Mungkin aku terlalu banyak kepikiran mengenai hal ini?
Bahkan jika mereka khawatir
tentang hubungan kami sebagai saudara tiri, mereka sepertinya bukan tipe orang
yang berusaha sedemikian rupa untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Aku
tidak berpikir mereka akan memaksa dua orang bersama untuk memastikan mereka
baik-baik saja. Jika ya, Maru mungkin takkan bisa membawa kelompok kami bersamanya, dan Narasaka-san tidak akan
menjadi Ratu Komunikasi seperti dirinya. Nyatanya, sepertinya Narasaka-san memandang
semua orang sama, Ayase-san dan aku hanyalah anggota grup. Bahkan sekarang, dia
melemparkan topik baru pada kami berdua.
“Hewan apa yang kalian berdua
sukai?”
“Kungkang.”
“Mungkin Harimau.”
“Aku tak menyangkanya. Kamu tampak
seperti orang yang sangat berbakti, Asamura-kun. Kupikir Kamu siap membantu
membuat makanan jika diperlukan. Bukannya kamu setuju, Saki?"
“… Kupikir dia memang mirip
kungkang,” gumam Ayase-san.
“Oh?! Benarkah?! Asamura-kun,
bagaimana rasanya dibandingkan dengan kungkang?”
“Aku benar-benar tidak tahu apa
yang kamu ingin aku katakan tentang itu."
“Aku bukannya memanggilmu pemalas
atau semacamnya,” kata Ayase-san padaku.
“Aku tahu itu.”
“Oke bagus.”
Kami berkata satu sama lain,
hanya untuk terkesiap dan terdiam lagi. Dengan itu, percakapan lain terhenti.
Sementara itu, Maru dan Narasaka-san menghela nafas secara bersamaan.
“Kalau aku… sangat suka buaya!
Graaah!”
“Aku tidak berpikir buaya
menggeram seperti itu.”
“Yah, aku mengerti kenapa kamu
suka harimau, Ayase.”
“Benar? Dia sangat keren!”
“K-Kamu pikir begitu?”
Dia sepertinya tidak
mengharapkan pujian itu, dan reaksinya agak tersipu malu. Komentar Narasaka-san
juga membuat semua orang tertawa. Dan berkat tindak lanjut inilah Ayase-san dan
aku tidak akan merusak suasana kelompok. Kami berjalan-jalan di dalam kebun
binatang sampai malam tiba ketika kami pindah ke safari malam di sebelahnya.
Safari malam dibuka pukul 19:15.
Karena ini juga waktu matahari terbenam selama musim ini, langit di luar mulai
berubah menjadi jingga. Langit jauh di timur bahkan sudah gelap. Safari malam
ini diadakan agar pengunjung dapat mengamati satwa di habitat aslinya pada
malam hari. Dan karena dimulainya pada sore hari, waktu tutupnya terjadi pada
tengah malam. Tak perlu dikatakan lagi, kami takkan tinggal selama itu.
“Kami akan makan malam di sini,
tapi lampu mati jam 10, jadi kami tidak punya banyak waktu,” kata Maru.
Dan dengan begitu, kami menuju
ke pertunjukan 'Makhluk Malam', yang
merupakan pertunjukan langsung yang populer di safari malam. Ide dasarnya
adalah untuk memperkenalkan hewan-hewan yang dapat dilihat pengunjung selama
safari. Kami bahkan bisa mendengar geraman dan suara binatang dari semua sisi. Aku
tidak tahu apakah mereka binatang buas atau hanya burung. Tapi suara-suara di
sekitarku membuatku sadar bahwa hutan belantara di malam hari pun bisa sangat
bising. Pertunjukan berakhir setelah sekitar tiga puluh menit, dan karena kami
semua sudah lapar, kami memutuskan untuk makan sesuatu di restoran.
Restorannya dirancang seperti
toko prasmanan biasa, karena kami dapat menikmati sedikit musik santai dari panggung
di belakang. Di sudut mataku, aku melihat seorang wanita bermain gitar dan
bernyanyi. Namun, aku tidak terlalu terganggu dengan itu karena sibuk mengambil makanan. Aku membawa nampanku
ke meja kami di mana semua orang sudah sibuk makan.
“Suara yang sangat indah,”
gumam Maru.
“Hm?”
“Pasti musik lokal.”
Aku mengikuti garis pandang
Maru, melihat wanita yang bermain di atas panggung. Dan kemudian aku
menyadarinya. Penampilan dan suaranya terasa akrab bagiku.
“Bukannya dia itu wanita yang
kemarin?”
Hanya kelompok kami yang
bereaksi terhadap kata-kata Maru, saat Narasaka dan kelompoknya menanyakan apa
yang sedang terjadi. Aku yakin mereka juga ada di museum kemarin, tapi mereka
pasti melewatkan pertunjukkannya.
“Kemarin dia bernyanyi di depan
museum,” kataku, tetapi tepat saat aku berkata begitu, wanita itu menyelesaikan
pertunjukannya, dan orang lain menggantikannya.
Dia kemudian bergerak menuju
konter dan berbicara dengan bartender. Segera setelah itu, dia menerima gelas
koktail berisi cairan berwarna kuning. Dia kemudian duduk di kursi dan melihat
sekeliling… tapi dia segera bangun dan berjalan ke arah kami. Hah? Butuh
sedetik bagiku untuk menyadari bahwa dia sudah berdiri di depan kami sembari
berbicara bahasa Inggris dengan sempurna. Narasaka-san mendengarkan lalu
mengangguk.
“Dia bilang apaan tadi?” Maru
bertanya pada Narasaka-san.
“Tidak tahu.”
“Hei…”
“Um ... Lady, you want something?” Narasaka-san berkata dengan bahasa
Inggris yang patah-patah, dan hampir terdengar seperti bahasa Jepang, sambil
mengepakkan lengannya ke atas.
Atau lebih tepatnya, itu hanya
bahasa Jepang.
“Narasaka, kamu mungkin ingin
mencoba pengucapan bahasa Inggris, tapi itu tidak cukup jika kamu hanya
mengandalkan bahasa tubuh. Bukannya kamu pandaii bahasa Inggris?” Maru
bertanya, tapi Narasaka-san hanya tertawa canggung.
“Kalau di atas kertas sih, ya.
Dan bukannya kamu memiliki nilai yang lebih tinggi dariku?”
“Karena aku benci yang namanya
kalah. Tapi pada akhirnya kita berdua sama-sama tidak bisa berkomunikasi
dengannya.”
“Mempelajarinya dan
menerapkannya adalah dua hal yang berbeda.”
“Sungguh bikim frustrasi…
Padahal dia sudah repot-repot untuk berbicara dengan kita, jadi setidaknya kita
harus—”
“Tunggu, Maru. Dia menunjuk ke
arah kita sambil mengatakan sesuatu,” komentar Yoshida.
Dia menunjuk kami dan terus
berbicara dalam bahasa Inggris. Karena kami tidak dapat menjawab, dia pasti
menyadari bahwa kami berasal dari luar negeri. Jika begitu…
“Mungkin dia mengatakan sesuatu
seperti 'Who are you?' atau 'Where are you from?' dan sejenisnya?” ujarku,
ketika aku mendengar seseorang berbicara bahasa Inggris dari pihak kami.
Sebagai tanggapan, wajah wanita
itu mengarah ke sumber suara. Dia terus berbicara bahasa Inggris dengan
kecepatan tinggi. Aku sudah berjuang untuk mengimbangi kecepatan bicaranya,
tapi jika dia berbicara lebih cepat dari itu… Aku menjadi khawatir, tapi ada
seseorang di kelompok kami yang berbicara bahasa Inggris dengan kecepatan yang
sangat tinggi juga. Saat aku menyadari milik siapa suara yang familiar ini,
Narasaka-san sudah bersorak sambil berkata 'Kamu
luar biasa, Saki!' ... Tunggu, suara itu berasal dari Ayase-san? Aku
berbalik dan melihat Ayase-san berbicara dengan wanita itu dalam bahasa Inggris
yang sangat fasih.
... Dia tidak berbicara secepat
ini saat kita berlatih sebelumnya, ‘kan? Mungkin dia hanya menahan diri demiku?
Aku tidak berpikir dia meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisnya sebanyak itu
dalam satu hari. Semua anggota dari kedua kelompok menatapnya berbicara dengan
wanita itu.
“Ayase-san, kamu bisa bahasa
Inggris?” Salah satu anak laki-laki dari kelompok mereka bertanya.
“Aku menggunakan kosakata yang
relatif sederhana. Asumsi Asamura-kun juga cukup tepat. Dia bertanya dari mana
kita berasal.”
“Kamiiiii adalahhhh penduduk
bumi.*” Narasaka-san memegang satu tangan di tenggorokannya dan mengetuknya
sambil berbicara layaknya robot, menciptakan lelucon otaku legendaris secara
langsung. (TN:
Ware ware wa chikyuu-jin daa :v)
… Lawakannya memang lucu, tapi
aku cukup yakin kalau dia juga berasal dari bumi.
“Narasaka, jangan menyebabkan
masalah yang akan menimbulkan konsekuensi intergalaksi.”
Aku sangat ragu ini akan
meningkat sejauh itu. Dan semua orang di sini berasal dari bumi, iya ‘kan?
“Maru-kun! Aku hanya mencoba
untuk menenangkan semua orang ke dalam percakapan menggunakan sedikit humor!”
“Ada yang namanya waktu dan
tempat, dan di sini kami tidak memiliki satu pun syarat yang diselesaikan.
Lebih penting lagi, apa yang kamu katakan padanya, Ayase?” Maru bertanya, yang
mana Ayase-san memberi Narasaka-san senyum kusam.
“Aku memberitahunya kalau kami
dari Jepang dan saat ini sedang dalam acara jalan-jalan sekolah. Jangan
khawatir.”
“Membosankannnnnnn!”
“Maaya, ya ampun… Bagaimana
kalau dia salah paham? Dan selain itu, namanya adalah Melissa Woo-san.”
Mendengar komentar Ayase-san,
Maru menyeringai pada dirinya sendiri, berkata, “Kurasa aku benar!” Dia mungkin
mengacu pada nama yang dia baca kemarin.
“Merry-san?”
“Bukan Merry, Maya. Melissa.
Melissa Woo-san. Dia ingin tahu bagaimana pendapat kita sebagai pengunjung muda
tentang nyanyiannya dan ingin mendengar kesan kita.”
Seseorang dari kelompok kami
mendesah kagum. Wanita bernama Melissa, yang tampaknya berusia lebih dari dua
puluh tahun, terus tersenyum saat duduk di kursi terbuka di meja kami.
“Dia benar-benar ingin tahu
tentang kesan kita sekarang.”
“Bisakah kamu menerjemahkannya
untuk kami, Ayase?” Maru bertanya dan Ayase-san mengangguk.
“Aku tidak keberatan. Aku akan
melakukan yang terbaik yang aku bisa.”
“Hm. Nah, yang namanya
kehidupan berkerja dengan cara yang misterius, dan ini adalah kesempatan untuk
mengalami sedikit pertukaran antar budaya. Bagaimana menurut kalian, semuanya?
Apa kalian memiliki sesuatu untuk dikatakan kepada Melissa-san?
“It’s bootiful dan wandaful!” kata Yoshida.
Mendengar pernyataannya,
Melissa-san menyeringai. Kurasa dia berhasil memahami itu.
“Berhasil!”
"Bisakah kamu benar-benar
menyebutnya sukses?” Maru membuat senyum masam saat dia menatapku.
“Bagaimana denganmu, Asamura?”
“Um… Yah. Karan aku pernah mendengarnya
bernyanyi kemarin. Kupikir itu adalah musik rakyat. Menurutku suara nyanyiannya
adalah suguhan menarik untuk didengarkan. Apa kamu bisa menyampaikan itu,
Ayase-san?”
“Biar aku coba dulu.”
Aku mencoba membuatnya singkat dan
sederhana supaya bisa diterjemahkan dengan mudah, tapi apa begitu saja sudah
cukup baik? Tapi kekhawatiranku sepertinya tidak perlu, karena Ayase-san dengan
cepat menerjemahkan pernyataan aku ke dalam bahasa Inggris. Melissa
mendengarkan Ayase-san sampai akhir dan kemudian menunjukkan senyum yang
memancar. Dia kemudian menatapku dan menembakkan rentetan bahasa Inggris cepat.
Aku menduga kalau dia merasa senang. Setelah itu, anggota kelompok lainnya
menyuarakan kesan mereka, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Ayase-san. Memang, dia tidak bisa melakukan ekspresi atau frase yang rumit,
tapi dia mencoba yang terbaik sambil melirik ke langit-langit satu atau dua
kali sambil membentuk teks bahasa Inggris di kepalanya. Meski begitu, Melissa
dengan senang hati mendengarkan setiap kata yang dikatakan Ayase-san.
“Selesai!” Narasaka-san
tiba-tiba berteriak.
Penasaran dengan apa yang
terjadi, aku menoleh padanya. Dia mengulurkan ponselnya ke arah Melissa-san
sembarimengetuk layar. Ketika dia melakukannya, suara robot wanita berbicara
dalam bahasa Inggris. Itu adalah teks bahasa Inggris yang cukup panjang
dibandingkan dengan apa yang kami katakan, tapi Melissa hanya tersenyum senang.
“Apa itu terjemahan mesin,
Narasaka?”
“Ya! Aku baru saja menulis
semua yang kupikirkan dan membiarkan mesin terjemahan membacakan terjemahan
bahasa Inggrisnya.”
“Aku bahkan tidak kepikiran
untuk mencobanya.”
Aku merasa bersyukur lahir di
zaman yang dipenuhi teknologi canggih.
“Kurasa kita seharusnya bertanya
pada Maaya saja dari awal,” kata Ayase-san.
“Itu tidak benar sama sekali,
Saki! Bocah nakal ini mungkin kelihatan praktis, tapi semua nuansa hilang dalam
prosesnya. Komunikasi tidak hanya mengandalkan kata-kata, tapi juga intonasi
dan ekspresi kan?”
Bocah nakal… Apa dia mengacu
pada smarphone-nyasendiri? Atau lebih tepatnya, aplikasi yang dia gunakan? Tapi
itu masuk akal. Setiap kali Ayase-san memberi tahu Melissa tentang kesan kami,
dia tidak hanya menyampaikan kata-kata, tetapi ekspresinya juga berubah. Ketika
dia mengatakan betapa mengesankannya suara Melissa, dia berbicara dengan nada
yang berlebihan, dan ketika dia menyebutkan komentar musik rakyatku, dia
memiliki pandangan yang agak jauh. Jika tidak ada “avatar” untuk menyampaikan emosi di samping kata-kata tersebut,
terjemahan mesin seperti ini sangat terbatas.
“Kamu pikir begitu?”
“Tentu saja! Dan sepertinya dia
juga berterima kasih.”
Melissa berdiri dan berjalan ke
kursi Ayase-san, meletakkan tangannya di pundaknya sambil membisikkan sesuatu
padanya. Dia tampak bahagia saat dia menampar bahu Ayase-san. Sepertinya dia merasa
sedikit sakit, dan Ayase-san tersenyum masam. Dan kemudian, Melissa mengangkat
kepalanya saat seorang pria jangkung memanggil namanya. Wajahnya semakin
bersinar saat dia menempel padanya. Segera setelah itu, kami semua tersentak
kaget, saat para gadis bersorak dan kami para lelaki kehilangan kata-kata.
Melissa dan pria itu, mungkin kekasihnya, berbagi ciuman penuh gairah tanpa
peringatan.
“Di tempat umum seperti ini…!”
“Tenang, Yoshida. Ini ciuman. Itu
cuma sekedar salam,”Maru mencoba menenangkannya.
“Tapi…”
“Kalian para cowok! Berhenti
menatap!” Narasaka-san langsung menegur anak laki-laki lainnya.
“Aku kaget kamu bisa tetap
setenang ini, Asamura-kun.”
“Aku sendiri merasa terkejut,
sungguh.”
Ya, itu benar-benar terjadi
terlalu mendadak. Aku sangat penasaran bagaimana mereka bisa melakukan itu di
depan orang lain tanpa merasa malu. Tapi pada saat yang sama, aku menyadari
bahwa pemandangan ini anehnya terasa akrab. Sensasi akrab tersebut karena ada
pasangan pengantin baru yang terang-terangan menggoda di depan putri dan putra
remaja mereka. Tidak diragukan lagi, mereka adalah pasangan yang benar-benar saling
menyayangi satu sama lain. Memang, mereka tidak berpelukan atau berciuman di
depan umum seperti pasangan yang di depanku sekarang.
Karena mengingat orang tuaku,
pemandangan seperti ini sekarang juga bukan hal yang tak tertahankan.
Memang, itu tidak hanya secara
ajaib menghapus rasa malu. Namun, ciuman Melissa terasa lebih… alami. Rasanya
seperti sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari hewan yang kami tonton
sepanjang hari. Begitu Melissa dan pacarnya berpisah, dia menoleh ke arah kami
sekali lagi dan mengatakan sesuatu. Menurut Ayase-san, dia bertanya di mana
kami tinggal. Kami menyebutkan nama halte bus terdekat, yang dia sebutkan bahwa
tempat tinggalnya cukup dekat. Alhasil, kami malah naik bus yang sama pulang.
Adapun pria yang dia cium tadi, pria itu tidak ikut dengan kami. Mereka
tampaknya tinggal di arah yang berbeda. Dan sampai kami sampai di halte bus
yang dimaksud, kami berada di alat transportasi yang sama.
Sepanjang waktu itu, Ayase-san
dan Melissa mendiskusikan sesuatu dalam bahasa Inggris. Sesampainya di hotel
kami berpisah dengan kelompok Narasaka-san dan gadis-gadis lain di lobi, tetapi
sepanjang perjalanan kembali ke kamar kami, Yoshida masih terus berbicara
tentang betapa gilanya adegan ciuman tadi. Sejujurnya aku khawatir semua
pengalaman dan kesannya hari ini hanya ditimpa oleh adegan terakhir itu. Tapi
sekali lagi, beberapa gadis tersipu bahkan sepanjang perjalanan kembali ke
hotel.
Secara pribadi, alih-alih
merasa tersipu malu karena menyaksikan adegan itu, aku justru menyadari sesuatu
yang cukup jelas. Inilah artinya menjadi kekasih. Dan dengan pemikiran tersebut,
aku sekali lagi diingatkan bahwa kunjungan kami ke Pulau Sentosa besok sebagian
besar adalah waktu luang. Dan aku pikir kelompok Ayase-san juga pergi ke sana.
Aku ingat merasa bersenang-senang menghabiskan sedikit kesenangan dengan
kelompoknya hari ini. Tepat saat aku meringkuk di tempat tidur, ponselku
bergetar. Ketika aku melihat pesan yang muncul di layarku, aku merasa detak jantungku
berpacu dengan cepat. Pesan tu ternyata dari Ayase-san.
'Aku
ingin berjalan-jalan di Pulau Sentosa besok hanya dengan kiya berdua. Apa
menurutmu itu mungkin?’
Pertanyaan itu membuatku
menelan ludah. Segera setelah itu datang pesan lain, mengatakan bahwa itu
seharusnya baik-baik saja karena kita tidak harus berjalan-jalan sebagai
kelompok dan kebanyakan itu hanya jadwal waktu luang. Jadi mereka punya rencana
yang mirip dengan kelompok kita? Aku ingat apa yang Maru katakan saat jam wali
kelas terakhir beberapa hari yang lalu.
‘Pada
hari ketiga, selama kita tidak menyimpang jauh dari Pulau Sentosa, kita mungkin
akan diberi banyak kebebasan. Kita bisa membeli oleh-oleh dan menikmati pemandangannya.’
Dan anggota grup lainnya juga sangat
menghargai jadwal yang santai. Aku hanya berasumsi aku akan berjalan-jalan
dengan Maru. Bagaimana aku bisa tahu bahwa kelompok Ayase-san serupa dalam hal
itu? Mungkin Maru dan Narasaka-san sudah mengatur ini supaya orang bisa
menghabiskan waktu dengan orang lain dari kelompok yang berbeda. Tidak, aku terlalu
banyak kepikiran tentang itu lagi. Aku membaca pertanyaan Ayase-san dan
merenungkannya.
Aku memang ingin bertemu
dengannya, tapi jika aku ingin keluar dari kelompok, setidaknya aku harus
memberitahu Maru. Kurasa aku tidak perlu memberinya alasan yang tepat, tapi ada
kemungkinan besar dia akan memintaku untuk membeli oleh-oleh dan yang lainnya.
Namun sekali lagi, dia tahu bahwa Ayase-san dan aku adalah sepasang saudara
tiri, jadi jika aku mengatakan kalau ingin berjalan-jalan dengan Ayase-san
sebentar, dia mungkin takkan keberatan. Saat aku menoleh ke sampingku, dia dan
Yoshida sedang tertidur lelap. Aku kemudian mulai mengetik tanggapan.
'Oke.
Aku akan memberitahu orang-orang di kelompokku, jadi aku akan memberitahumu
jika kita bisa bertemu dan yang lainnya besok.’
Segera setelah aku mengirim
pesan itu, aku mendapat pemberitahuan baca dan 'OK' yang sederhana. Aku
memutuskan untuk memberi tahu Maru begitu dia bangun. Dan kemudian aku akan memberi
tahu Ayase-san di mana kami bisa bertemu sebelum sampai di Pulau Sentosa. Entah
kenapa, aku merasa lega, dan rasa kantuk menyerangku. Meski begitu, aku merasa
seperti telah melupakan sesuatu dan tidak bisa tertidur. Setelah berpikir sejenak, aku menyadari perbedaan
antara pesanku dan pesan Ayase-san.
Dia mengatakan kepadaku
perasaannya yang tulus. Bahwa dia ingin berjalan-jalan denganku. Namun yang aku
pedulikan hanyalah jadwal dan segala sesuatu di sekitarnya. Aku tidak memberitahunya
bagaimana perasaanku sebenarnya. Aku memelototi waktu yang terpantul di ponsel aku…
10:30 malam. Mungkin dia sudah tidur. Dan aku mungkin membangunkannya dengan
tanggapanku. Tapi meski begitu…
'Aku
juga ingin berjalan-jalan denganmu, Ayase-san.'
Aku menarik napas dalam-dalam
untuk mempersiapkan diri dan menekan tombol
'Kirim'. Aku segera mendapat tanda baca untuk pesanku, serta emote kucing
jahil yang menyeringai padaku. Sejujurnya, aku merasa ini adalah pertama
kalinya dia menggunakan emotedalam pesannya. Tetapi pada saat yang sama, aku
merasa lega dan akhirnya menyerah pada rasa kantukku.
Pada malam itu, aku bermimpi. Aku
melihat adegan ciuman yang sama yang aku saksikan beberapa jam sebelumnya. Tapi
wajah kedua orang yang berciuman itu berubah menjadi wajahku dan wajah
Ayase-san.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya