Bab 8 — 18 Februari (Kamis) Hari Kedua Jalan-Jalan Sekolah — Ayase Saki
Hari ini merupakan hari kedua
acara jalan-jalan sekolah, dan kekacauan terjadi tepat setelah aku bangun.
Mataku terbuka ke arah Maaya yang duduk di tempat tidur sebelahku sembari menyikat
rambutnya, dan dia tiba-tiba berkata, “Ayo jalan-jalan dengan Asamura-kun dan
yang lainnya hari ini,” membuatku benar-benar bingung. Apa sih yang dia bicarakan? Pikirku dalam hati.
“Apa sih yang sedang kamu
bicarakan?” tanyaku tanpa banyak ragu.
“Persis seperti yang aku katakan.
Apa kamu tidak keberatan dengan itu, Ryou-chan?” Maaya bertanya ke arah tempat
tidur di seberangnya.
“Hmmm?” Satou Ryouko-san
berkedip ke arah Maaya dengan tatapan mengantuk. “Asamura-kun tuh…. siapa?”
“Anak cowok dari kelompok kelas
lain. Ada Maru-kun, Asamura-kun, dan… Ingat apa yang pernah kukatakan?
Kelompoknya juga ada temanmu di dalamnya, kan?”
“Ah… Ya. Oke, kedengarannya
bagus.” Dia masih tampak setengah tertidur ketika setuju di sini. Apa ini
beneran baik-baik saja?
Ditambah lagi, sepertinya
mereka sudah membahas ini sebelumnya.
“Maaya, aku tidak pernah
mendengar semua ini!”
“Karena aku tidak
memberitahumu!”
“Kenapa tidak?!”
“Yang namanya kejutan bukanlah
kejutan jika kamu tidak membuatnya menjadi kejutan, ‘kan?”
Mengapa kita membutuhkan kejutan
dalam jalan-jalan sekolah yang sudah menegangkan? Dan aku pikir kami seharusnya
tetap bersama sebagai kelompok hari ini.
“Kita harus tetap bersama
sebagai kelompok kita lagi hari ini, ‘kan?”
“Yup,” Maaya mengangguk dan
menunjukkan senyum yang benar-benar polos—dengan kata lain, senyum yang pasti
tidak bisa kamu percayai. “Dan hari ini, rombongan kita menuju ke kebun
binatang dan safari malam.”
“Aku sudah tahu itu.”
“Kebetulan kelompok Maru-kun
juga pergi ke kebun binatang dan safari malam hari ini! Sungguh kebetulan yang
luar biasa sekali!”
“Hei.”
“Dengan demikian… Kami siswa
dari SMA Suisei mungkin juga bergerak bersama dalam kelompok besar untuk
membina hubungan antara siswa dan memberikan makna penting lainnya dalam acara jalan-jalan
ini… itulah yang terjadi.”
“Itu tidak terjadi begitu saja,
bukan?”
“Hm? Memangnya aku mengatakan
sesuatu yang aneh? Ryou-chan, bagaimana menurutmu?”
“Tidak, tidak sama sekali. Bisa
menghabiskan waktu dengan orang-orang yang berteman denganku juga membuatku
bahagia.”
Oh, benar. Temannya ada di
kelas Asamura-kun. Tapi… seriusan? Kelompok Asamura-kun dan kami akan
jalan-jalan bersama hari ini. Tapi bagaimana dengan perasaanku? Bagaimana
dengan kesepianku karena tidak bisa melihatnya sepanjang perjalanan ini? … Dan
apakah ini akan baik-baik saja?
“Apa kamu benar-benar
memutuskannya begitu saja?”
“Maksudku, kamu ada di sana
saat kelompok kita memutuskan jadwal, kan?”
“Ah.”
Aku memfokuskan otakku untuk
mencoba dan mengingatnya. Kelompok kami terdiri dari Maaya sebagai pemimpin,
dipasangkan dengan diriku dan Satou Ryouko-san, serta dua anak laki-laki gaduh
dan satu anak laki-laki lagi yang akan membuat mereka tetap memegang kendali.
Ketika kami menyerahkan jadwal kelompok kami, wali kelas kami senang memiliki
Maaya bersama kami, jadi aku kira mereka hanya mengumpulkan semua anak
bermasalah. Aku sangat sadar bahwa aku tidak terlalu baik dalam hal
menyesuaikan diri dengan orang lain. Itu sebabnya aku benar-benar berterima
kasih kepada Maaya. Dan pada saat yang sama, aku ingat dia menyusun informasi
dan perincian tentang setiap kemungkinan tempat yang dapat kami kunjungi,
menanyakan kepada semua anggota kelompok ke mana mereka ingin pergi. Yang kami
lakukan hanyalah memilih ke mana kami ingin pergi. Dalam hal itu, kita harus
benar-benar berterima kasih kepada Maaya. Tapi meski begitu…
“Aku senang dia punya karisma
yang cukup untuk mendorong tempat-tempat populer. Meskipun aku memang
mengatakan kita harus bertemu jika tempat kita saling berpapasan.”
“Kepada siapa?”
“Sungguh menakjubkan memikirkan
semua tempat yang ingin kami kunjungi sangat cocok!”
Ah, dia tidak mau memberitahuku.
Aku ingin tahu siapa dia maksud? Asamura-kun? Tidak, kalau itu Asamura-kun, dia
pasti akan memberitahuku sesuatu.
“Ngomong-ngomong, kita juga
akan pergi ke Pulau Sentosa bersama besok.”
“Besok juga?”
“Ya. Bukankah begitu,
Ryou-chan?”
“Ya. Membuatku bahagia.”
“Adapun anak laki-laki… Yah,
mereka tidak terlalu mengenal satu sama lain, tapi Maru-kun seharusnya bisa
menangani mereka.”
“… Maru-kun adalah teman
Asamura-kun, ‘kan? Aku tidak tahu kamu berteman dengannya.”
“Lagipula, kami berdua
sama-sama pemimpin kelompok.”
Memangnya dia pikir alasan semacam itu benar-benar bisa meyakinkanku?
“Ngomong-ngomong, aku ingin
mengenal anak laki-laki di kelompok mereka. Dan aku perlu memperingatkan anak
laki-laki kelompok untuk tidak terlalu mengganggu gadis-gadis di kelompok
mereka.”
…Begitu rupanya. Jadi dia sudah
merencanakan semuanya sejak awal. Setelah dia menyelesaikan rambutnya, dia
mencondongkan tubuh ke arahku dan berbisik.
“Sekarang kamu bisa selalu
bersama dengan kakakmu, iya ‘kan?” Dia meletakkan satu tangan di mulutnya dan
mencibir layaknya penyihir.
“Maaya! Astaga, aku tidak
percaya padamu!” Aku meledak dalam kemarahan, dan Satou-san tersentak kaget.
Aku bersumpah, lihat apa yang
sudah kamu perbuat, Maaya.
“M-Maaf soal itu.”
“Tidak masalah…”
“Dengan begitu, mari kita
bersenang-senang di kebun binatang hari ini! Waktunya sarapan dulu, tapi setelah
itu, ayo pergi ke Singapura!” Dia menuntaskan semua itu dengan kalimat gaul
bahasa inggris yang kikuk seraya turun dari kasurnya “Semua hewan imut itu
sedang menunggu kita!” Dia berkata sambil mengangkat tinjunya ke udara.
Aku hanya menggelengkan kepala
dan mengangkat bahu. Saat dia seperti ini, tidak ada yang bisa menghentikannya.
Tetap saja… Asamura-kun dan aku akan berjalan-jalan di kebun binatang bersama
hari ini. …Hah.
◇◇◇◇
Ketika kami sampai di pintu
masuk kebun binatang, kelompok Asamura-kun juga baru saja tiba di sana. Meski aku
belum melihat wajahnya hampir sehari, aku merasakan gelombang kelegaan ketika melihatnya
dari kejauhan. Karena kedua kelompok kami akan bersatu hari ini, orang-orangnya
akan berjumlah 12 orang sekaligus yang memeriksa kebun binatang dan safari
malam di sebelahnya. Setelah kupikir-pikir lagi, sudah sejak musim panas lalu
dan hari di kolam renang kami berada dalam grup sebesar ini. Teman Asamura-kun,
Maru-kun dan Maaya mengambil peran utama hari ini saat mereka menjaga kedua
kelompok kami. Dan tidak hanya itu, Maaya bahkan akan memulai percakapan dari
waktu ke waktu.
“Hei, Asamura-kun, Saki, hewan
apa yang kalian berdua sukai?”
Kami sedang berjalan-jalan di
dalam kebun binatang ketika Maaya menanyakan pertanyaan itu kepada kami.
Asamura-kun menjawab lebih dulu dan menjawab dengan “Kungkang.” Um… kungkang?
“Aku tak menyangkanya. Kamu tampak
seperti orang yang sangat berbakti, Asamura-kun. Kupikir kamu siap membantu
membuat makanan jika diperlukan. Bukannya kamu setuju, Saki?”
“… Kurasa dia memang mirip
seperti kungkang.”
Tunggu, bukan begitu. Dia
bertanya kepada kami hewan apa yang kami sukai, bukan hewan mana yang mewakili
kami sebagai pribadi. Asamarua-kun takkan mengira kalau aku menghinanya, ‘kan?
Tapi memang benar bahwa aku bisa merasa santai saat bersamanya. Rasanya
seakan-akan waktu berlalu jauh lebih lambat. Dengan jalan pemikiran semacam
itu, hewan tersebut memang cocok untuknya, tapi bukannya berarti…
“Aku tidak menyebutmu pemalas
atau semacamnya.”
“Aku tahu itu.”
“Oke bagus.”
Fiuh, tadi itu membuatku panik
sejenak. Aku tidak tahu kenapa, tapi berbicara dengan Asamura-kun di depan
semua orang membuatku sangat gelisah. Meskipun aku bisa bersantai dengan baik
ketika kami di rumah. Dan aku tidak berpikir aku sendirian dalam perasaan itu.
Sepertinya Asamura-kun juga menahan diri saat kami berbicara. Oleh karena itu, jarak
di antara kami terasa sangat jauh, meskipun kami bersebelahan. Dan begitu
matahari mulai terbenam, kami menuju ke safari malam.
Setelah menyaksikan berbagai
binatang dan kehidupannya di malam hari, kami pindah ke sebuah restoran dan
makan malam di sana. Menu diatur seperti prasmanan, jadi setelah kami mengambil
semua makanan yang kami inginkan, kami menuju ke sebuah meja. Setelah berjalan
sepanjang hari mengelilingi kebun binatan, aku merasa sangat lapar.
“Suara yang sangat indah,” kata
Maru-kun.
Maru-kun pasti membicarakan
tentang wanita yang bermain gitar di atas panggung itu. Setelah penampilannya
selesai, wanita tersebut mengambil semua barang miliknya, menuju ke bar
terdekat, dan mulai berbicara dengan bartender. Dia memesan sesuatu dan menerima
segelas koktail, tapi dia tiba-tiba datang ke arah kami. Tatapan mata kami
bertemu dan dia tersenyum padaku. Dia tampak seperti orang Jepang atau dari
Asia Selatan. Jika aku boleh menebak, dia sudah berusia sekitar dua puluh
tahun, atau mungkin sedikit lebih tua. Rambut pirangnya yang diikat sampai ke
bahu, yang terbuka dan tidak tertutupi oleh gaun merahnya. Karena gaun itu
cukup terbuka di kedua sisinya, kamu bisa melirik sekilas ke kakinya. Bahkan
sebagai seorang gadis, aku mendapati diriku menatap sejenak. Dia kemudian
melihat semua wajah kami sekali dan mulai berbicara bahasa Inggris.
“Namaku Melissa Woo. Kalian semua berasal dari mana? Jepang?”
Kosakatanya tidak terlalu
sulit, tetapi karena dia berbicara begitu cepat, semua orang di dalam kelompok
kami mulai menatapnya dengan bingung.
“Kalian menonton penampilanku, ‘kan? Bagaimana menurut kalian? Aku tidak
ingin mengganggu perjalanan kalian, tapi aku ingin mendengar pendapat kalian
mengenai penampilanku.” Dia berkata dan tersenyum.
Namun, tidak ada seorang pun
dari kelompok kami yang mengatakan apa pun. Kurasa itu karena seberapa cepat
dia berbicara. Dia menunggu sejenak, tapi kemudian tampak kecewa. Mungkin dia
mengira kami baru saja mengabaikannya. Aku rasa dia tidak menyadari fakta bahwa
bahasa Inggris kami mungkin tidak terlalu bagus. Bahkan aku nyaris tidak
berhasil menangkap apa yang dia katakan. Sementara semua orang ragu-ragu,
Asamura-kun angkat bicara.
“Mungkin saja dia mengatakan
sesuatu seperti 'Who are you?' atau 'Where are you from? ' dan semacamnya?”
Ya, tepat sekali.
“Um, Melissa-san? Kami semua adalah pelajar yang datang dari jepang
untuk melakukan jalan-jalan sekolah.” Aku menjawab, dan Melissa berbalik ke
arahku.
“Jalan-jalan
sekolah! Kalau gitu kalian pasti anak SMP, ya? Rombongan 6 laki-laki dan 6
perempuan, aku bisa tahu kalau klalian berteman baik! Dan dilihat dari usia
kalian, kamu mungkin belum pernah mendengar jenis musik yang kunyanyikan, bukan? Bagaimana menurutmu? Mungkin sesuatu
yang lebih populer jauh lebih baik? Seperti anime musik mungkin?”
S-SMP…? Memangnya kita terlihat
begitu muda di matanya?
“Kami semua anak SMA. Bahkan sebenarnya
sudah duduk di kelas 2. Dan kami datang dari Tokyo, Jepang.”
Aku hanya menjawab dengan
balasan semacam itu dulu untuk saat ini.
“Kamu luar biasa, Saki!”
“Ayase-san, kamu bisa bahasa
Inggris?”
Maksudku, kalian semua akan
bisa memahaminya jika dia berbicara sedikit lebih lambat. Dan Asamura-kun
sepertinya juga mengerti artinya. Aku hanya melambaikan tanganku ke kiri dan ke
kanan saat membantah pujian mereka.
“Aku menggunakan kosakata yang
relatif sederhana. Apa;agi tebakan Asamura-kun juga cukup tepat. Dia bertanya
dari mana kita berasal.”
Itu saja yang aku ceritakan
kepada mereka, tapi Maaya membuat lelucon aneh yang membuat Maru-kun marah
padanya. Aku bersumpah… Lihat, Melissa-san menatap kami dengan kebingungan. Dan
Asamura-kun sepertinya khawatir dia mungkin salah paham.
“Aku mengatakan bahwa kami dari
Jepang dan saat ini sedang melakukan jalan-jalan sekolah. Jadi jangan khawatir.”
“Membosankannnnnnn!”
“Maaya, sumpah… Bagaimana kalau
dia salah paham? Dan selain itu, namanya adalah Melissa Woo-san.”
Dan kemudian dia bertanya
kepada kami tentang kesan kami tentang penampilannya, jadi aku menerjemahkannya
untuknya. Sepertinya aku memainkan peran sebagai juru bahasa sekarang.
“Bagaimana denganmu, Asamura?”
Jantungku berdetak kencang. Aku
bahkan tidak berpikir aku harus menerjemahkan apa yang dikatakan Asamura-kun.
Dan sebenarnya, aku merasa Asamura-kun harusnya cukup mahir untuk mengatakannya
sendiri dalam bahasa Inggris selama ia membuatnya cukup sederhana… Tapi yang
lebih penting, aku perlu mendengarkan dengan baik. Aku mendengarkan apa yang dikatakannya
dan mengubahnya di kepalaku menjadi kata-kata bahasa Inggris. Kupikir karena aku
banyak mendengarkan dan berpikir bahasa Inggris akhir-akhir ini, pikiranku
langsung berubah ke bahasa Inggris tanpa banyak halangan. Hal ini menyadarkanku
bahwa menjaga keseimbangan antara dua bahasa di kepalaku pada saat yang sama
jauh lebih sulit daripada sekadar menerjemahkan sesuatu.
“Melissa-san, ia menyebutkan kalau ia pernah melihat penampilanmu
kemarin juga. Ia bertanya apa yang kamu nyanyikan itu musik rakyat. Dan ia
mengatakan kalau ia menikmati suaramu.”
Asamura-kun berusaha membuat
kesannya terengar singkat dan padat, yang membuatku lebih mudah.
“Hmm…
Apa ia berada di museum kemarin?”
“Kupikir
begitu.”
“Ah,
begitu rupanya. Bearti ini pasti sudah kedua kalinya ia mendengarkan
penampilanku. Dan iya, lagu yang aku nyanyikan kemarin merupakan lagu lokal
yang cukup terkenal di sekitaran sini. Aku sangat senang bahwa ia sangat
menghargai suaraku.”
Aku mengulangi apa yang Melissa
katakan kepadaku dalam bahasa Jepang. Dan bahkan sebelum aku bisa melakukan
itu, beberapa orang dalam kelompok kami sudah mulai mengangguk-angguk sendiri. Aku
menduga mereka perlahan-lahan mulai menangkap apa yang dia katakan. Orang lain
setidaknya mengerti bahwa Melissa berterima kasih, dan kemudian mereka mulai
mengatakan begitu banyak hal sehingga Maru-kun tidak bisa mengendalikan mereka.
Aku sekali lagi mencoba yang terbaik untuk menyampaikannya dalam bahasa Inggris
seakurat mungkin. Meskipun terkadang aku
butuh beberapa saat untuk menemukan ekspresi atau peribahasa bahasa Inggris
yang tepat.
Setelah semua orang selesai,
Maaya tiba-tiba mengangkat kepalanya, mengarahkan ponselnya ke arah Melissa,
dan mengetuk layar. Ketika dia melakukannya, sebuah suara wanita elektronik
mulai berbicara dalam bahasa Inggris. Itu juga teks yang cukup panjang. Dia
mungkin mengetik semuanya menjadi penerjemah dan memainkannya dengan keras.
Melissa awalnya terkejut, tetapi dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Dan mengenai isinya, seperti
yang bisa kamu harapkan dari Maaya. Bagaimana dia merasakan penampilan itu, apa
pendapatnya tentang suara Melissa, dan sebagainya. Setelah mendengarkan itu,
Melissa mulai menyeringai di tengah jalan. Memang, aku tidak tahu seberapa baik
itu menyampaikan semuanya dari teks aslinya karena aku tidak bisa membacanya, tapi
tidak ada yang aneh tentang apa yang aku dengar, yang membuatku tersadar bahwa
kita benar-benar hidup di zaman yang serba praktis. Lagipula, butuh waktu cukup
lama untuk mengetik semuanya begitu saja.
“Kurasa kita seharusnya
bertanya pada Maaya dari awal.”
Aku sempat merasa lemah dan
menggerutu pada diriku sendiri, tapi Maaya langsung menyangkalnya. Dia
berargumen bahwa itu mungkin cepat dan mudah, tapi kehilangan semua nuansa dan
emosi manusia dalam prosesnya. Itu masuk akal.
“Tepat sekali! Dan dia juga
sepertinya berterima kasih, ”kata Maaya, saat Melissa berdiri dari kursinya
untuk berjalan di belakangku sambil memeluk bahuku.
“Siapa
namamu? Apa itu Saki?”
“Ah,
iya. Namaku Saki.”
Oh, dia berhasil mengetahui
namaku melalui semua itu?
“Mmm! Sungguh nama yang manis sekali. Berkat dirimu, aku bisa mendengar
pendapat kalian mengenai penampilanku, jadi aku sangat bersyukur!”
Dia menampar bahuku dengan
senyum cerah, yang sejujurnya sedikit menyakitkan. Tapi ketika aku melihatnya
tersenyum bahagia, aku menyadari bahwa ini hanyalah kontak fisik biasa
untuknya.
“Hei,
Saki. Aku belum mendengar kesanmu.”
Ah, benar juga.
“Aku
pikir itu luar biasa.”
“Begitu
ya, begitu ya! Terima kasih. Bagaimana kesanmu tentang Singapura? Tempat yang
bagus, bukan? Apa kamu merasa bersenang-senang?”
“Ya,
aku berpikir kalau ini merupakan kota yang indah. Meskipun suhunya agak terlalu
panas untuk seleraku.”
“Ha
ha! Benar, sekarang masih pertengahan musim dingin di Jepang, kan?
Ngomong-ngomong, Saki, kamu sepertinya bergaul dengan semua orang di sini…
tetapi apa kamu memiliki seseorang yang spesial di grup ini? Seorang pacar,
mungkin?”
“Hah?!”
Pa-Pacar?!
“Kamu
pasti punya satu, ‘kan? Kamu mempunyai wajah yang cantik. Mana mungkin orang akan
meninggalkanmu sendirian. Jadi beri tahu aku, siapa dan siapa orang yang
beruntung itu?”
Hah? Apa? Siapa dan siapa? Apa
aku baru saja salah dengar sekarang?
“Reaksi
itu… pasti ada seseorang, iya ‘kan?”
Aku kebetulan melirik
Asamura-kun, tapi aku segera mengalihkan pandanganku. Kenapa dia terus terang
menanyakan hal yang memalukan seperti itu? Atau aku hanya salah paham padanya?
Memang, bahasa Inggrisnya agak sulit. Mungkin karena ini adalah percakapan yang
tulus, atau mungkin karena aksennya. Aku tidak tahu apa bahan rahasianya, tapi aku
tidak pernah benar-benar berjuang untuk memahaminya sampai saat ini. Tapi dia
berbicara lebih jujur sekarang, jadi mungkin aku salah menerjemahkan apa yang
dia katakan padaku...
“A-Aku
tidak mempunyai orang seperti itu!”
“Betulkah?” Dia menyipitkan matanya dengan seringai.
Rasanya seolah-olah dia bisa
melihat ke dalam bantinku dan hanya menyuruhku untuk mengaku. Dan aku menyadari
bahwa hanya dengan kata-katanya saja, itu tidak akan terlihat… ucapan Maaya ternyata
benar! Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Aku sedikit panik saat Melissa
melepaskan bahuku. Seorang pria mendekati kami, memanggil nama Melissa. Dia
kemudian melompat ke pelukannya dan mereka bertukar ciuman penuh gairah tepat
di depan kami. Sejujurnya, kupikir jantungku akan copot. Naluriku mengatakan
kepadaku untuk menatap pemandangan itu, yang menyebabkan aku melihat wajah
semua orang. Mereka semua sama terkejutnya denganku, tapi mereka terus melihat.
“Kalian! Berhenti menatap!”
Maaya mencondongkan tubuh ke depan.
Perlahan aku berbalik lagi
untuk melihat… Tapi mereka masih melakukannya. Melissa dan lelaki itu saling
berpelukan erat, seolah berusaha menyedot kehangatan satu sama lain. Akhirnya,
mereka menjauhkan kepala satu sama lain dan Melissa menoleh ke arahku lagi.
“Kalian
menginap di mana?”
Aku melamun dan tidak
mendengarkan dengan baik. Hanya setelah hening sejenak, aku menyadari dia
bertanya di mana kami tinggal selama kunjungan lapangan kami. Aku membicarakan
hal ini dengan Maaya dan memberi tahu Melissa tentang halte bus terdekat yang
harus kami ambil. Setidaknya, itu seharusnya tidak menjadi masalah. Mendengar
itu, Melissa menyebutkan bahwa rumahnya berada di arah yang sama, menanyakan
apakah kami mau pulang bersama. Dan karena kami harus segera pergi, kami
memutuskan untuk setuju. Saat kami duduk di bus, Melissa dan aku berbicara
hampir sepanjang waktu.
Aku tidak pernah menyangka
kalau aku harus bergantung pada latihanku dalam keadaan yang aneh seperti itu,
tetapi aku senang kalau usahaku bisa terbayar. Memang, Melissa menggunakan
beberapa bahasa gaul dan istilah lain yang tidak kuketahui, jadi aku tidak bisa
menangkap setiap hal kecil yang dia katakan, tapi apa yang dia coba sampaikan
pasti berhasil. Adapun topik kami, sejujurnya itu adalah segalanya. Apa yang
sedang populer saat ini di Jepang, lagu favorit kami, dan karena Melissa adalah
penggemar berat anime dan manga, kami berbicara tentang beberapa seri di
sana-sini, tapi karena aku tidak begitu rajin membaca, jadi aku tidak bisa
berkontribusi banyak.
Mungkin seharusnya aku meminta
bantuan Maaya. Tapi dia sibuk berbicara dengan orang lain seperti biasanya.
Pacar Melissa (?) tidak ikut dengan kami. Mereka berpisah di restoran.
Ternyata, mereka tinggal di daerah yang berbeda. Kami kemudian turun dari bus
di dekat hotel dan Melissa pergi ke arah tempat tinggalnya, mengatakan dia
berharap kami akan bertemu lagi jika ada kesempatan.
◇◇◇◇
Kami semua memasuki hotel, dan
aku berbicara sedikit dengan gadis-gadis dari kelompok Maru-kun di lobi. Karena
aku ingat nama dan wajah mereka setelah bertemu hari ini, kurasa aku sendiri
telah membuat beberapa kemajuan. Tetapi pada saat yang sama, aku menyadari
bahwa ini biasanya terjadi ketika ada Maaya.
Saat kami masuk lebih dalam dan
kembali ke kamar kami, ponselku mulai dibanjiri pesan baru. Pesan tersebut
berasal dari obrolan grup, dengan orang-orang mengatakan 'Hari ini menyenangkan' atau 'Selamat
malam semuanya.' Itu bukan sesuatu yang luar biasa, tetapi melihatnya
membuat hatiku merasa lembut. Itu mungkin mengapa aku menjawab dengan 'Itu menyenangkan,'. Kemudian semuanya
berubah menjadi berisi satu-satunya grup perempuan, di mana aku mengirim stiker
kucing yang tersenyum. Itulah yang suka dikirim Maaya. Sebagai tanggapan, banjir
stiker mulai saling menanggapi satu sama lain. Mereka masing-masing bertema
senyuman, tetapi setiap orang menggunakan karakter atau motif yang berbeda. Kupikir
ini benar-benar menunjukkan perbedaan antara orang-orang. Misalnya saja Maaya, dia
mengirimkan semacam stiker aneh berbentuk robot tertawa. Stiker macam apa itu?
Setelah tiba di kamar, kami
berganti dengan baju yang lebih nyaman. Aku ingin memastikan bahwa seragamku
tidak berakhir dengan kerutan, tapi aku baru menyadari kalau rokku sedikit
compang-camping. Untungnya, tidak ada lubang yang perlu diperbaiki. Tidak lebih
dari tempat berjumbai. Itu pasti terjadi saat kami berjalan melewati kebun
binatang atau safari malam. Ada banyak semak atau dahan yang bisa membuatnya
tersangkut. Kerusakannya tidak cukup signifikan sehingga membuatnya menonjol,
tetapi aku juga tidak bisa membiarkannya begitu saja. Tapi untuk memperbaikinya
sepenuhnya, aku harus membawanya ke penjahit di Jepang.
Aku melihat melalui koper aku, hanya
untuk menyadari kesalahanku. Aku tidak membawa perlengkapan menjahit. Apa yang
harus kulakukan… Aku harus bertanya apakah aku bisa meminjamnya dari orang
lain. Aku merasa Maaya atau Satou-san pasti memilikinya.
“Um...”
Aku mengangkat kepalaku dan
mencoba berbicara, tapi aku menyadari bahwa Satou-san sedang sibuk dengan
panggilan telepon. Itu pasti gadis 'Mio-chan' dari kelompok Asamura-kun. Mereka
mungkin mendiskusikan apa yang terjadi hari ini. Biasanya, dia selalu sangat
penurut dan pendiam, tapi ketika berbicara dengan temannya, dia tampak sangat
bahagia dan energik. Aku tidak ingin mengganggunya karena alasanku sendiri.
Adapun Maaya… dia sedang melakukan sesuatu di teleponnya. Ya, aku lebih suka
tidak menghalangi mereka.
Aku memeriksa waktu di
ponselku. Aku masih bisa keluar jika perlu. Dan maksudku dengan 'di luar', aku
mengacu pada minimarket terdekat yang ada di sini di halaman hotel. Mereka
mungkin memiliki perlengkapan menjahit di sana. Aku lalu membawa dompetku dan
memberi tahu Maaya bahwa aku hendak pergi ke minimarket. Dalam perjalanan, aku
menjelaskan keadaanku kepada wakil kepala sekolah yang mengawasi dan menuju ke
lantai satu hotel.
Meskipun terletak di area
hotel, toserba ini cukup besar untuk memiliki dua pintu masuk. Satu untuk
bagian depan di luar bangunan, dan satu lagi untuk pengunjung hotel. Aku segera
pergi mencari perlengkapan menjahit ketika suara yang akrab memanggil namaku.
Ketika aku berbalik, aku melihat seorang wanita tersenyum kepadaku dengan botol
plastik di tangannya—ternyata itu Melissa. Dia membawa keranjang yang
tergantung di lengannya, berisi minuman dan keripik kentang.
“Oh wow! Jadi ini hotel tempat kamu menginap? Kebetulan sekali. Apa kamu punya waktu sebentar untuk berbicara?”
“Um...”
Aku ragu sejenak tetapi
melihatnya sebagai kesempatan untuk melatih bahasa Inggrisku lebih jauh, dan aku
tidak punya alasan untuk menolak sejak awal. Jadi aku setuju untuk mengobrol
sebentar dengannya. Melissa selesai membayar barang-barangnya, menyerahkannya
kepada pria yang berdiri di sebelahnya. Ketika melihatnya, aku dibuat kebingungan,
karena ia bukan pria yang kami temui di restoran. Pria yang diciumnya
berpenampilan Asia dengan rambut hitam lurus, tapi yang ini berambut merah,
sedikit lebih kecil, dan memancarkan aura ramah. Aku juga tidak berpikir kalau
pria tersebut adalah keluarganya, mereka terlihat terlalu berbeda. Pria itu
menerima kantong plastik itu, mencium pipi Melissa, dan meninggalkan
minimarket.
“Apa
kamu yakin?”
“Tentang
apa?”
“Maksudku,
membuat temanmu menunggu.”
“Tidak
masalah. Bagaimanapun, kita akan menghabiskan sisa malam ini bersama. Selain
itu, ia bukan temanku, ia pacarku.”
…Hah? Mungkin aku salah
mendengarnya? Apakah dia baru saja memanggilnya pacarnya? Aku bingung, tetapi
entah bagaimana aku berhasil membeli perlengkapan menjahit, serta sekaleng kopi
saat aku melakukannya. Setelah itu, aku pindah menuju area istirahat di lobby
bersama Melissa. Aku pikir tidak apa-apa jika kita berbicara di sini selama
sepuluh menit atau lebih. Ada banyak orang juga di lobbi, jadi tidak ada
masalah. Tapi tepat saat aku duduk, ponselku bergetar. Setelah mengambilnya, aku
melihat bahwa aku mendapat pesan dari Maaya.
“Apa
aku mengganggumu?”
Melissa bertanya padaku dengan
ekspresi khawatir, tapi aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Dia baru
saja mengajakku untuk bermain kartu dengan mereka, jadi bergabung nanti
seharusnya tidak menjadi masalah besar. Padahal aku membalasnya dengan pesan
singkat. Sementara itu, Melissa membuka sekaleng minuman yang ada di kakinya.
Gelembung-gelembung menyembur keluar, dan dia menempelkan bibirnya untuk
meminumnya seteguk. Itu pasti minuman bir, atau sesuatu yang lain dengan
karbohidrat. Setidaknya, minuman itu berbau alkohol.
“Mau
minum, Saki?”
“Tidak,
terima kasih. Aku masih di bawah umur.”
“Oh?
Kupikir orang Jepang dianggap sebagai orang dewasa pada usia 18 tahun?”
Aku terkejut dia bisa mengetahui
tentang itu. Tapi itu juga kurang tepat.
“Tidak
dalam hal minum-minum atau merokok. Lagipula, aku masih 17 tahun.”
“Ah,
benarkah? Maafkan aku. Kurasa aku bahkan tidak bisa mengajakmu keluar untuk
minum.”
“Dan
aku juga punya jam malam. Meskipun aku senang atas undangannya.”
“Jam
malam! Wow, aku tidak tahu… Berarti kamu hanya bisa melihat kekasihmu di siang
hari, ya.”
Untuk beberapa alasan, dia
menunjukkan simpati dan penyesalan. Dia kemudian berkata bahwa kami takkan
punya waktu untuk melakukan aktivitas seksual di siang hari… Tunggu, apa?
“Hm?
Apa kamu tidak mengerti ucapanku? Mungkin pelafalanku salah?”
Tidak, bukan begitu masalahnya.
Aku hanya berpikir… Aku mendengar beberapa kosakata ortodoks bercampur dalam
pernyataannya. Melissa menyipitkan matanya, menganggap kalau aku tidak
memahaminya.
“Hm,
kupikir kamu akan baik-baik saja, Saki.”
“…Mengenai
apa?”
Aku bertanya dalam bahasa
Inggris, tapi…
“Seperti, hubungan intim.
Memperdalam ikatanmu. Sesuatu semacam itu?”
Tiba-tiba, dia mulai berbicara
dalam bahasa Jepang.
“A-Apa yang kamu katakan?!
Tolong jangan keras-keras!”
Melissa melihat reaksiku dan
menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Tapi kamu jauh lebih keras
dariku.”
Aku tersentak dan melihat
sekelilingku. Untungnya, hanya ada beberapa orang di sekitar, dan tidak ada
yang memperhatikan kami. Fiuh… itu membuatku panik sesaat.
“Melissa-san, kamu bisa berbicara
bahasa Jepang...?”
“Ah, ya. Aku sedikit mengerti.
Lagipula, aku setengah Jepang.”
“…Apa?”
Ketika dia mengatakan itu
padaku, aku sekali lagi menatapnya dengan cermat. Aku selalu merasa dia
berpenampilan seperti orang Asia, tapi dengan rambut pirang dan kulit
kecokelatan, sangat sulit untuk memastikannya.
“Lebih tepatnya, ibuku dari
Taiwan dan ayahku dari Kyushu. Mereka mengenal satu sama lain ketika ibuku
belajar di luar negeri.”
“Aku sama sekali tidak tahu.”
Kami kemudian beralih
menggunakan bahasa Jepang, dan dia bercerita tentang hidupnya. Dia berkata
bahwa ibunya, lahir di Taiwan, datang ke Jepang untuk belajar, di mana dia
bertemu dengan ayahnya. Setelah dia lulus, mereka menikah, dan Melissa lahir di
Jepang. Itu sebabnya dia memiliki akta kelahiran orang Jepang. Dia menghabiskan
beberapa tahun di Jepang, jadi dia setidaknya bisa berbicara bahasanya.
“Nama asli aku adalah Woo
Meishen. Begitulah cowokku tadi memanggilku barusan, ingat? Melissa hanyalah
nama Inggrisku.”
Dia pasti berbicara tentang
pria yang bersamanya di minimarket tadi. Meskipun aku tidak ingat ia
memanggilnya apa.
“Kalau begitu, haruskah aku
memanggilmu Meishen?”
“Aku akan menyerahkannya
padamu. Padahal aku lebih suka Melissa, ”katanya saat bayangan samar muncul di
wajahnya.
… Mungkin ada suatu cerita yang
terjadi di balik layar? Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. Dan aku
menduga Melissa melihat ini, saat dia menanyakan pertanyaan lain kepada aku.
“Berapa banyak pacar yang ingin
kamu miliki, Saki?”
Apa dia baru saja bertanya...
Berapa banyak?
“Bukannya normal hanya memiliki
satu pacar?” Aku menjawab, dan Melissa mendesah pelan.
“Jadi itulah yang menjadi
jawabanmu…”
Maksudku, justru akulah yang
terkejut.
“Bisakah kamu menjelaskannya?”
“Kalau aku, aku setidaknya ingin
lebih dari dua.”
“Maaf?”
“Apa itu sangat mengejutkan
untuk didengar?”
“Bagiku, itu ya.”
“Tapi… tidak hanya ada satu
alasan mengapa kamu jatuh cinta pada seseorang, kan?”
Kata-katanya membuatku
berpikir. Alasan untuk jatuh cinta dengan seseorang... Karena mereka baik.
Karena mereka keren. Karena mereka tampan… Hal-hal semacam itu, ‘kan?
“Tepat. Karena hobimu sejalan.
Atau karena kepribadian kalian cocok.”
“Ah, karena kamu cocok dengan
orang itu—”
“Karena kemistri badanmu sangat
serasi satu sama lain.”
…Kurasa tidak.
“Dan tidak ada jaminan bahwa
satu orang memenuhi semua berbagai permintaan yang mungkin kamu miliki.”
“Itu ... itu memang benar, tapi
...”
Aku ingin sekali bertemu orang
seperti itu.
“Dan dengan pemikiran begitu, rasanya
tidak normal hanya mencintai satu orang, kan?”
“Ehm…”
Aku pikir itu cara berpikir
yang terlalu ekstrim.
“Misalnya, selera alkoholku
mirip dengan pria yang baru saja kamu lihat.”
“Jadi… ia teman minummu?”
“Tubuh kami juga sangat cocok.
Tentu saja maksudnya di atas ranjang. Ia melakukan semua yang aku suka dan
lakukan padaku.”
Kamu
benar-benar tidak perlu menjelaskan terlalu detail… Aku
bisa merasakan pipiku memanas.
“Jadi orang di restoran itu…”
“Ia juga ada di kancah musik.
Dan selera musik kami serasi. Aku ingin lebih banyak orang mendengarkan
musiknya. Tapi tidak peduli seberapa besar cinta yang ia bisikkan kepadaku, ia
tidak tertarik dengan tubuhku.”
Itu… mungkin bisa terjadi?
“Jika hanya ada satu alasan
untuk menyukai, maka kamu bisa memilih siapa yang merasa lebih baik. Tetapi
dengan berbagai alasan untuk mencintai seseorang, kamu tidak bisa membatasi
diri hanya pada satu orang.”
“Aku memahami apa yang ingin
kamu katakan, tapi ...”
“Kamu juga berpikir itu aneh,
kan?”
“Yahh…”
Menyangkal sesuatu hanya karena
aku tidak dapat memahami logikanya akan bertentangan dengan prinsipku. Aku
tidak ingin memaksakan pandangan dan prinsipku kepada orang lain. Terutama
dalam hal menjalin hubungan dan bagaimana orang lain mencintai.
“… Aku tidak akan menyangkal
perasaanmu, tapi aku penasaran. Mengikuti logika tersebut, itu berarti pacarmu
juga bisa memilih kekasih lain sebanyak yang mereka inginkan, bukan?”
“Itu benar,” jawab Melissa
blak-blakan.
Dia menatapku seolah-olah aku
menanyakan sesuatu yang aneh.
“Um, jadi… Apa semua pria yang
kamu kencani itu sebenarnya…”
“Aku tahu. Rasanya tidak adil
jika tidak begitu. Meskipun, kedua belah pihak harus menyetujui ini, tentu
saja, ”katanya sambil tersenyum, yang membuatku tidak bisa berkata-kata.
Itu adalah sekumpulan pandangan
nilai yang belum pernah aku temui sebelumnya, yang membuatku semakin
membingungkan. Dibandingkan dengan argumen Melissa, rentetan logika dan nalar
Profesor Kudou jauh lebih mudah dipahami.
“Saki, aku senang kamu tidak
menyebutnya aneh.”
Aku terkesiap. Melissa
menjatuhkan pandangannya ke bawah.
“Ketika aku tinggal di Jepang,
tidak ada satu pun yang mengerti apa yang aku bicarakan. Tidak ada yang mau
mendengarkan pendapatku. Itu sebabnya aku datang ke sini. Tetapi ketika orang
mendengar bahwa aku berasal dari Jepang, banyak orang mengharapkan kesucian dan
kebajikan dariku. Terlepas dari warna rambut dan kulitku.”
“Itu sebabnya kamu memilih nama
Inggris?”
Melissa mengangguk. Dia
menyemir rambutnya, merias wajah, dan memilih nama Inggris, yang akhirnya
memungkinkan dia menemukan orang yang setuju dengan logikanya. Tempat di mana
dia bisa berkomunikasi sesuai keinginannya. Menurutnya, dia belajar bahasa
Inggris, Cina, dan Jepang. Namun, dia biasanya bercakap-cakap menggunakan
bahasa Inggris. Setelah mendengar itu, rasanya aku mengerti dirinya sedikit.
Alasan aku mewarnai rambutku dan memperhatikan penampilanku adalah karena tubuhku
sendiri sedikit berbeda dari yang aku inginkan. Semua orang mengatakan bahwa
itu cocok dengan diriku. Jika aku sekuat Yomiuri Shiori-san, aku mungkin bisa
melakukan apa yang dia lakukan. Jujur pada dirinya sendiri sambil
mempertahankan kecantikan khas Jepangnya. Tapi aku tahu kalau diriku tidak
sekuat dirinya. Dan supaya aku tidak terseret ke arah yang tidak aku sukai, aku
memilih untuk membangun persenjataanku.
“Saat aku melihatmu, Saki, aku mempunyai
firasat.”
“Hah…?”
“Bahwa kita berdua mirip satu
sama lain.”
Aku ingat sebelumnya ketika dia
tersenyum padaku di restoran.
“Itulah sebabnya aku memutuskan
untuk berbicara denganmu. Kupikir aku setengah benar, dan setengah melenceng. Kamu
cenderung menahan diri dalam banyak hal, bukan?”
“Apa aku ... terlihat seperti
itu?”
“Setidaknya bagiku, memang
begitu.”
Sangat mudah untuk menyangkalnya.
Tapi apa gunanya?
“Saki, kamu sangat terganggu
dengan tatapan orang lain dan tekanan dari masyarakat, kan?”
“Itu… benar.”
Selama seluruh perjalanan ini,
aku tidak pernah mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Asamura-kun
sekali pun. Tidak peduli apa yang aku katakan, fakta tersebut tidak dapat
disangkal.
“Kamu merasa sangat dibatasi,
kan?”
Ketika dia mengatakan itu, aku
merasakan dorongan untuk membalas.
“Tapi kamu membatasi diri pada
pilihan untuk tidak berbicara bahasa Jepang, ‘kan?”
“Aku ingin mengatakan bahwa
kamu perlu menemukan tempat di mana kamu bisa menjadi egois dan sebebas yang
kamu inginkan, atau kamu akan hancur berantakan.”
Terlepas dari kemarahan aku,
Melissa terus berbicara dengan kata-kata yang baik, membuatku menyadari kalau
dia terus menyenggol di tempat yang menyakitkan. Dan itu membuatku merasa malu.
“Kamu harus menemukan komunitas
yang memungkinkan dirimu hidup bebas tanpa berusaha menghalangi dan menahan
setiap hal yang kamu lakukan.”
Itu bukan tentang hidup
sembarangan dan seperti yang aku inginkan, tetapi lebih tentang menemukan
tempat yang aman di mana aku diizinkan untuk melakukan itu… mungkin itulah yang
ingin dia katakan. Dan hanya itu yang dia katakan padaku. Dia pergi dan kembali
ke tempat pacarnya menunggu. Mereka berencana untuk minum dan makanan ringan
dan menonton anime sepanjang malam. Aku juga meneguk sisa kopi kaleng yang kubeli.
Rasa manis samar menari-nari di atas lidahku dan tetap di sana. Jika aku tahu
itu akan terjadi, aku mending memilih kopi hitam saja.
◇◇◇◇
Ketika aku kembali ke kamar,
Maaya masih benar-benar dihajar habis-habisan oleh Satou-san dalam permainan
kartu yang mereka mainkan.
“Itu sebabnya aku ingin kamu
bergabung dengan kami, Saki!”
Jadi dia ingin aku bergabung
supaya dia tidak berakhir hanya dengan kekalahan?
“Maksudku, kamu juga payah
dalam permainan ini! Kamu selalu akan menang, hanya untuk melupakan kalau kamu
harus menyebutnya.”
Maksudku… itu tidak salah. Tapi
itu hanya terjadi dari waktu ke waktu.
“Um, kalau begitu, apa kita
perlu memainkan satu game lagi? Aku berjanji akan menahan diri.”
“Memenangkan permainan yang
begitu mudah takkan membuatku bahagia sama sekali!”
“Ah… maafkan aku…” Satou-san
membuat ekspresi sedih, yang membuat Maaya panik.
Sungguh pemandangan yang langka
sekali.
“Ti-Tidak, kamu tidak perlu
meminta maaf segala, Ryou-chan. Kamu tidak bersalah! Itu semua karena gadis
membosankan di sini!”
“Siapa yang kamu panggil gadis
membosankan?”
“Kamu?”
“Jangan mengungkapkannya
sebagai pertanyaan.”
“Jika kamu ada di sini, aku
akan memenangkan beberapa putaran tanpa harus menahan Ryou-chan!”
Itu mungkin saja benar secara
logika, tapi…
“Kamu tidak bisa mengetahuinya
dengan pasti.”
“Oh, sekarang kamu sudah mengatakannya.
Mari kita lakukan satu pertandingan terakhir!”
“Jika kita tidak segera mandi,
lampu akan padam sebelum kita selesai, tahu?”
“Cuma satu permainan lagi saja!
Ayolah!”
Ya ampun… Maaya mulai
membagikan kartu bahkan sebelum aku bisa mengatakan ya atau tidak. Tapi pada
akhirnya, kami memainkan satu ronde lagi, dan Satou-san menang. Di babak final,
aku berhasil menang tipis melawan Maaya, yang lagi-lagi berakhir di posisi
terakhir.
“Oh…Hm? Ini aneh…” Aku
menyeringai.
“Kalian berdua, saatnya mandi,”
kata Maaya yang berusaha lari dari kenyataan.
“Aku sudah mandi,” kata
Satou-san.
Sangat mengagumkan.
“Kalau begitu ayo kita mandi
bareng, Saki.”
“Kenapa…?”
“Kalau tidak, kita tidak akan
selesai tepat waktu, kan?”
Aku melirik ke waktu, dan
seperti yang dia katakan, kami tidak bisa bergiliran.
“Ayo, ayo.”
"Iya, iya.”
Untungnya, kamar mandi di
ruangan ini relatif luas, memungkinkan kami berdua untuk menggunakannya pada
waktu yang bersamaan. Rasanya seperti dirancang untuk tradisi Jepang, yang mana
hal itu sanga aku syukuri. Setelah aku selesai menyirami badanku, aku melanjutkan
membasuh tubuhku. Sementara itu, Maaya berendam di bak mandi.
“Tumben sekali kamu kembalinya
lama. Apa yang terjadi?”
“Ah, tentang itu…”
Aku memberi tahu dia apa yang
terjadi saat aku membersihkan diri. Bahwa aku bertemu Melissa di toserba, dan
kami mengobrol di lobi sampai sekarang.
"Oh begitu. Jadi dia punya
dua cowok seksi, eh? Yah, aku mengerti logikanya. Jika ada berbagai alasan
untuk menyukai seseorang, dan jika alasan ini tidak muncul bersamaan pada dua
orang pada saat yang sama, maka kamu harus bergantung pada memiliki beberapa
kekasih.”
“Cukup banyak, tapi kenapa kamu
mengucapkannya seperti itu?”
“Maksudku, rasanya masih
terlihat adil jika melibatkan izin. Masalah sebenarnya adalah pencocokan.” Kata
Maaya sambil berdiri dari bak mandi.
Handuknya jatuh ke air,
memungkinkanku untuk melihat pusarnya dan area di sekitarnya. Astaga, gunakan
handukmu dengan benar dong, Maaya… Setelah aku selesai mandi, aku bertukar
tempat dengannya dan masuk ke bak mandi. Membiarkan dirimu tenggelam sedalam
mungkin ke dalam air benar-benar membuat ini terasa seperti pemandian Jepang.
Sepertinya semua kelelahan hari ini tersapu bersih. Ketika kepalaku mulai
terasa kabur karena uap panas, aku mengajukan satu pertanyaan lagi.
“Apa maksudmu dengan pencocokkan?”
“Maksudku, satu sisi mungkin
menyukainya, tapi yang lain tidak. Dan itu berjalan dua arah. Jika kedua belah
pihak setuju dan tidak saling menyakiti, maka biarkan saja mereka melakukan apa
yang mereka inginkan, sungguh.”
"Menyakiti…”
Pilihan kata-kata yang kejam.
“Coba pikirkan tentang hal itu
dengan cara yang lebih ekstrim.
Bagaimana dengan dunia di mana hanya ada satu pria yang tersisa tetapi banyak
wanita, atau sebaliknya? Gagasan hanya memiliki satu pasangan akan menyebabkan
kehancuran umat manusia.”
Itu… memang contoh ekstrim ya.
Tapi aku mengerti maksudnya.
"Dengan kata lain, jika
kamu mencoba untuk mematuhi moral dan gagasan hanya memiliki satu pasangan
seperti yang umum di Jepang, maka mungkin akan menimbulkan masalah.”
Nilai moral terus berubah seiring
dengan perubahan dunia. Seperti yang diharapkan, bisa dibilang. Dan jika
Profesor Kudou ada di sini, dia akan melanjutkan dengan bantahan itu.
“Tepat. Tentu saja,
kebalikannya juga bisa terjadi. Namun, tanda dunia dan masyarakat yang tumbuh
adalah, selama moralmu tidak melukai atau menyakiti orang lain, Kamu harus
berusaha mempertahankannya.”
“Benar…”
“Itulah yang dikatakan oleh
salah satu karakter dalam anime fiksi ilmiah yang kutonton sebelumnya.”
“Apa semua kebijaksanaanmu
berasal dari anime, Maaya?”
“Aku juga punya efek suara,
loh.”
“Sungguh sepele.”
“Tentu saja enggak. Kamu mau
mendengarnya?”
“Enggak dulu, deh.”
Aku takkan pernah bisa tidur
sedikitpun jika dia memulainya.
“Pokoknya, jika orang yang
terlibat senang, lantas apa masalahnya? Selama mereka menerimanya. Tapi, Saki,
dalam kasusmu—”
Aku sangat menikmati mandi air
panas dan menyenangkan sehingga otakku tertinggal.
“—Kamu tidak ingin Asamura-kun
dicuri darimu, kan?”
“Tentu saja tidak,” semburku
tanpa ragu tapi aku terlambat menyadarinya.
Aku menatap Maaya dengan kaget,
yang menyeringai padaku. Walaupu itu tidak terlalu penting, tetapi cara sampo
di kepalanya membentuk gelembung membuat senyumnya terlihat lebih licik.
“Sekarang kamu sudah terlanjur mengatakannya.”
“Agh… um…”
“Hee hee hee! Kamu tidak perlu
menyembunyikannya lagi, sungguh!”
“Ta-Tapi… Kita seharusnya
bersaudara… itu aneh, ‘kan?”
Aku khawatir tentang apa yang
dia pikirkan tentang itu.
“Maksudku, pada dasarnya kalian
adalah orang asing yang menjadi saudara tiri dan tidak memiliki hubungan darah.
Tentu saja, bukannya berarti bahwa semua saudara tiri di dunia akan berakhir
sama seperti kalian berdua.”
“Y-Ya…”
“Tapi pada awalnya, kamu tidak
memandangnya seperti yang kamu lakukan sekarang, bukan? Kamu berencana untuk
tetap dalam posisi polos dan menjaga jarak sebagai adik perempuannya, iya ‘kan?”
Tepat sekali. Bagaimana dia
bisa memahamiku dengan baik, sih?
“Kamu GAMPANG SEKALI DIBACA seperti
buku terbuka.”
“B-Benarkah?”
“Setidaknya untukku.”
Aku sama sekali tidak tahu.
“Aku punya perasaan kalian
berdua mungkin berakhir dalam hubungan seperti itu.”
“Ugh ... Memangnya itu terlihat
dengan jelas?”
Sejujurnya, aku sangat khawatir
tentang apa yang akan dia pikirkan jika mengetahuinya, tetapi sekarang setelah
rahasiaku sudah terbongkar, aku merasa sangat lelah.
“Jadi?”
“Jadi… apa?”
“Jika kamu tidak ingin ia
berkeliaran sembarangan, Kamu mungkin harus membuatnya terikat. Apa kamu berniat
melakukannya?”
“Me-Melakukan apa?”
“Misalnya seperti, pergi
berkencan.”
“Ah, jadi itu yang kamu maksud.”
Tunggu, memangnya aku pikir apa
yang dia tanyakan padaku? Astaga…
“Yang begitu juga tidak masalah.
Tapi aku akan memintamu menceritakan semuanya kepadaku nanti selama obrolan
bantal.”
“Hal yang semacam itu takkan
pernhah terjadi, oke?”
“Ya, ya. Lagi pula, kamu sedang
dalam perjalanan, ingat? Kamu harus menggunakannya untuk keuntunganmu.”
“Tapi bukan hanya kami berdua.
Kami sedang dalam jalan-jalan sekolah.”
“Lalu bagaimana kalau kalian
berdua pergi berkencan besok? Untungnya, rombongan Asamura-kun juga sedang
berkeliling Pulau Sentosa. Dan kita bisa bergerak bebas besok.”
“Apa itu…”
… benar-benar sesuatu yang bisa
kami lakukan?
“Jika kamu membiarkannya
sendiri, ia mungkin akan berjalan-jalan dengan gadis-gadis dari kelompoknya.”
Hmph.
“Dan akhir-akhir ini, ia jauh
lebih peka tentang pakaiannya. Orang-orang juga lebih tertarik untuk berbicara
dengannya.”
Mhmph…
“Benarkah?”
“Nah, itulah yang aku katakan.”
“Hanya kamu…”
Berhenti membuatku takut
seperti itu.
“Ngomong-ngomong, itu sudah
menajdi tugasku untuk memastikan bahwa grupku bersenang-senang dan kembali ke
Jepang dengan banyak kenangan indah. Dan kamu adalah bagian dari grupku, Saki.
Jadi beri tahu aku… Apa yang ingin kamu lakukan?”
Maaya membilas sampo dari
rambutnya lalu menatapku. Dia juga menyeringai. Tidak adil. Jika dia bertanya
seperti itu…
“Aku ingin berjalan-jalan
dengan Asamura-kun…Hanya kita berdua.”
Maaya mendengus.
“Gadis baik. Aku merasa senang
kamu berani mengatakan itu.”
“Ugh, ini sangat memalukan.”
Tetapi ketika aku melihat Maaya,
dan bagaimana dia mengizinkanku untuk dengan mudah berbicara tentang apa yang
ada di pikiranku… Maka mungkin dia adalah salah satu komunitas yang akan
menerima aku sepenuhnya… seperti yang diceritakan Melissa kepadaku. Padahal aku
akan senang jika aku bisa menjadi orang seperti itu untuk Maaya juga.
“Maka kamu harus memberitahu
Asamura-kun mengenai itu, oke?”
“Yeah.”
Aku hampir mati karena malu,
jadi aku masuk lebih dalam ke bak mandi sehingga hanya mata dan kepala bagian
atasku yang terlihat. ‘Terima kasih,
Maaya…’ Gumamanku berubah menjadi gelembung dan meletus saat mencapai
permukaan air.
Kami berdua lalu selesai mandi,
dan setelah selesai mengeringkan rambut, aku langsung merebahkan diri ke tempat
tidur. Sebelum rasa kantuk merayapiku, aku segera memikirkan rencanaku untuk
besok. Kami akan menghabiskan sepanjang hari di Pulau Sentosa, dan meskipun
kami seharusnya tetap dalam kelompok kami, Maaya mengizinkan untuk menjelajah
secara mandiri. Dan aku pikir hal yang sama berlaku untuk kelompok Asamura-kun.
Karena ini kedengarannya
seperti kebetulan yang beruntung, aku yakin Maaya mengatur ini dengan Maru-kun.
Dan karena Satou-san berteman dengan seorang gadis dari kelompok mereka, jadi dia
tidak keberatan sama sekali. Bahkan, dia mungkin ingin berjalan-jalan dengannya.
Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Maaya. Aku mengambil ponselku yang
sedang di charge. Aku hanya akan mengirim pesan kepada Asamura-kun. Kupikir
semua panas dan gairah dari hari ini membuatku gila. Dan karena Maaya
mendorongku seperti ini. Dia bahkan mengetahuinya juga. Aku juga harus
memberitahunya tentang itu.
'Aku
ingin berjalan-jalan berdua denganmu di Pulau Sentosa besok. Apa menurutmu itu
mungkin?’
Aku bahkan menambahkan alasan
bahwa kami tidak perlu berjalan-jalan sebagai kelompok besar selama kami tidak
meninggalkan pulau. Akan ada begitu banyak siswa tahun ke-2 dari SMA Suisei di
pulau itu. Namun, selama kita menjauh dari tempat keramaian dan memperhatikan
keadaan sekitar, kami seharusnya takkan bertemu dengan siapa pun yang mengenal
kita. Itu seharusnya memungkinkan kami untuk bertemu.
Aku mendapat pemberitahuan baca
yang dilampirkan pada pesanku, tetapi waktu yang dihabiskan untuk menunggu
tanggapannya terasa sangat lama. Aku menjadi khawatir bahwa mungkin aku terlalu
menekannya. Saat notifikasi pesan masuk, aku merasakan dadaku sesak.
'Oke.
Aku akan memberi tahu orang-orang di kelompokku, jadi aku akan memberitahumu
jika kita bisa bertemu dan yang lainnya besok.’
Helaan napas keluar dari
bibirku. Itu bukan OK atau tidak, tapi bisa lebih buruk. Sejujurnya, tidak ada
jaminan kami bisa selalu berduaan. Setidaknya Asamura-kun tidak menolak jadi…
sisanya tergantung besok. Aku sangat lega sehingga aku langsung merasa
mengantuk. Tapi saat kesadaranku mulai menjauh, pesan lain masuk. Aku menggosok
mataku dan memeriksa ponselku.
'Aku
juga ingin berjalan-jalan denganmu, Ayase-san.'
…Hah? Ah,pesan itu membuatku sangat bahagia. Bagaimana aku
harus menanggapi? Setelah banyak khawatir, aku hanya membalasnya dengan stiker.
Aku tidak ingin terlalu senang kalau-kalau ada sesuatu yang muncul dan itu
membuatnya lebih sulit untuk menolak. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa
agar kami bisa berjalan di sekitar pulau bersama sambil menutup kelopak mataku.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya