Kanpeki no Sako-san Bab 10 Bahasa Indonesia

Bab 10

 

Meskipun baru sepuluh menit sejak upacara penutupan selesai, ruang kelas masih dipenuhi kebisingan. Ujian akhir semester telah berakhir, dan teman sekelas kami pergi untuk mendiskusikan rencana liburan musim panas mereka. Karena aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan liburan musim panas, aku hanya berencana untuk pulang, tapi tiba-tiba ponselku bergetar.

'Ini Nishida dari kelas yang sama denganmu. Aku minta maaf karena tiba-tiba menghubungimu, tetapi aku perlu berbicara denganmu tentang Machika. Silakan datang ke Taman Matsukita.’

Bahasa sopan bahkan dalam pesan itu dengan sempurna mencerminkan jarak antara kami dan Nishida-san. Kami hampir tidak pernah berbicara meskipun berada di kelas yang sama. Namun, aku harus pergi apa pun yang terjadi. Lagipula, Sako-san mengambil cuti sekolah karena dia sedang tidak enak badan. Jika itu Nishida-san, dia pasti tahu sesuatu. Oleh karena itu, aku mengiriminya balasan 'Oke' dan meninggalkan kelas.

Aku secara teratur memeriksa peta dengan ponselku, jadi aku membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk sampai ke Taman Matsukita. Taman ini terletak di tengah kawasan pemukiman, serta tidak terlalu luas. Berkat itu, aku segera melihat orang yang aku cari. Aku mendekati bangku di sudut dan memanggil gadis itu.

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Nishida-san.”

“Jadi kamu datang, Tsuyoshi.”

Meski ini pertemuan pertama kami, sikapnya terdengar sangat tajam dan dingin.

“Duduklah.”

Aku melakukan apa yang diperintahkan dan duduk di bangku. Meskipun kami duduk di kursi yang sama, rasanya seperti ada tembok tinggi yang berdiri di antara kami. Tanpa menatapku, Nishida-san mulai angkat bicara.

“Sejak kami saling mengenal di sekolah SMP, Machika selalu mendengarkan apa yang dikatakan guru, dan tidak pernah tidur selama di kelas, apalagi bermalas-malasan saat belajar mandiri. Begitulah rajinnya Machika.”

“Aku mendengar dari Sako-san. Begitulah cara nilainya meningkat secara drastis, kan?”

“Tepat. Tapi itu semua karena dia begitu tulus dan gampang tertipu. Dia belajar jika orang menyuruhnya belajar, dan berlatih jika seseorang menyuruhnya. Itu sebabnya Machika selalu dalam bahaya.”

“Bahaya? Apa yang buruk dari menjadi sungguh-sungguh?” Itu adalah pertanyaan tulusku karena aku tidak dapat melihat dimana letak bahayanya.

Nishida-san tidak ragu-ragu terlalu lama, seolah-olah dia mengharapkan pertanyaanku.

“Tidak juga. Tapi jika ada seorang penipu menyuruhnya membeli sesuatu, dia mungkin akan melakukannya.”

“Mustahil. Sako-san mempunyai kepala yang pintar, dia mana mungkin bisa ditippu semudah itu.”

“Contoh itu mungkin agak ekstrem, tetapi hal semacam itu bukan mustahil. Aku sudah bersama Machika sejak SMP, jadi aku tahu.”

Kurasa sekarang sudah menjadi tahun kelima mereka berteman. Mungkin perumpamaannya memang tidak terlalu jauh dari kenyataan.

“Kamu mengerti apa yang aku coba katakan, kan?”

“Tidak terlalu…”

“Kamu menolak Machika karena dia terlalu sempurna, ingat? Dia menerimanya begitu saja dan mencoba merusak citranya yang sempurna. Dia bertingkah gila akhir-akhir ini dan itu semua karena salahmu.”

Suaranya yang tegang terdengar seperti dia sedang memarahiku, dan aku menundukkan kepalaku. Rasanya sulit untu mempercayai bahwa alasan dia bertingkah aneh selama ini karena dia ingin merusak citra sempurnanya, tetapi Sako-san sendiri mengatakan bahwa dia ingin berhenti menjadi sempurna. Memikirkannya seperti itu, argumen Nishida-san memang masuk akal. Ada kemungkinan besar aku memaksanya ke dalam keadaan seperti  itu.

“Kamu yakin tentang itu?”

“Tidak salah lagi. Karena itulah aku memintamu untuk bertanggung jawab, Tsuyoshi.”

Aku tidak tahu harus berkata apa dan hanya menundukkan kepala. Nishida-san juga menyilangkan tangannya dan mulai berpikir. Setelah keheningan singkat, Nishida-san tiba-tiba angkat bicara.

“Katakan, apa kamu membenci Machika?”

“Tentu saja tidak.”

“Lalu kamu menyukainya?”

“Itu…”

“Sebenarnya, lupakan saja. Mana ada anak cowok yang tidak akan jatuh cinta pada Machika setelah pengakuannya.”

“………”

“Pokoknya, hubungan kalian sangat berantakan. Jadi kamu harus berbicara dengan Machika dan memperbaikinya. Lalu, jangan berani-beraninya membuatnya sedih.”

“Te-Tentu saja.”

Nishida-san sudah lama berteman dengan Sako-san, jadi dia mungkin sudah terbiasa dengan hal ini sampai batasan tertentu.

“Terima kasih telah memberitahuku.” Aku berterima kasih padanya.

“Tidak perlu untuk itu. Tugasmu ialah untuk tidak membuatnya menangis.”

“Serahkan itu padaku.”

Nishida-san tampak puas dengan jawabanku dan mengangguk sambil berdiri dari bangku.

“Kalau begitu ayo pergi.”

“Hah? Pergi ke mana?”

“Bukannya itu sudah jelas? Kita akan mengunjungi Machika. Itulah alasan utamaku memanggilmu ke sini. ”

“Kita seharusnya jangan menganggu istirahatnya.”

Helaan napas panjang keluar dari mulut Nishida-san.

“Kalau saja kamu berhenti bersikap plin-plan…” kata Nishida-san dan mengeluarkan ponselnya untuk memulai panggilan.

Panggilannya langsung terhubung, dan dia beralih ke mode speaker.

“Yo, Machika? Kamu sudah bangun?”

'Ya. Aku baru saja makan buah-buahan.’

Ternyata Sako-san. Suaranya memang terdengar sedikit melemah dibandingkan biasanya.

“Bolehkah aku datang mengunjungimu sekarang?”

'Ya tentu saja! Aku akan menunggu.'

“Apa aku perlu membawa Tsuyoshi bersamaku?”

Suara Sako-san langsung naik satu oktaf.

'Tsuyoshi-kun akan datang juga ?!'

Aku mendengar suara terbatuk-batuk segera setelah itu.

“Tenanglah dulu. Bukannya kamu terlalu bersemangat setiap kali nama Tsuyoshi muncul?”

'Ehehe, mau gimana lagi, habisnya aku merasa senang sih.'

Bahkan di telepon, aku tahu bahwa Sako-san sedang menyeringai pada dirinya sendiri.

“Jadi begitu ya. Kamu merasa sangat senang, ya?”

'Ini tentang Tsuyoshi-kun, tau? Tentu saja aku,merasa senang. Aku harus memakai beberapa pakaian yang pantas. Apa yang harus aku pakai, ya…'

“Ini bukan kencan, tau?”

'Ke-Ke-Kencan?! Y-Yah...Aku jadi seidkit bersemangat sekarang.'

Yup, seseorang pasti takkan mempercayai jika dia sedang sakit. Mungkin kepalanya sudah gila karena demam. Dan juga, dia pasti tidak sadar bahwa aku mendengarkan, kan?

“Baiklah, aku akan membiarkan Tsuyoshi mengambil alih sekarang.”

'Hah?! Tsuyoshi-kun sedang bersamamu?!’

“Ya. Sedari tadi ia sedang bersamaku.”

'Mustahillllll?!'

Sako-san mengangkat suara kaget dan langsung batuk-batuk setelahnya.

“Machika, kamu baik-baik saja? Maaf karena sudah menggodamu.” Nishida-san menatapku dengan tatapan mendesak, mungkin menyuruhku mengatakan sesuatu.

Karena aku sudah mendengarkan mereka dalam diam selama ini, aku merasa tidak enak karena menguping, dan suaraku tergagap.

“Um… ini Tsuyoshi.”

'Ughhk ...'

“Bagaimana keadaan?”

'Kupikir aku sudah sedikit lebih baik ... .'

“Syukurlah. Kamu tak keberatan jika kita datang menjenguk sekarang? ”

'Sebenarnya, aku agak malu sekarang, jadi tolong jangan.'

“Ummm…”

'Itu bohong. Silakan datang menjengukku.’

“Mengerti. Kamu bisa tetap mengenakan piyama jika kamu mau. ”

'...Dasar nakal!'

Dia menutup panggilan telepon. Aku agak khawatir dia akan kedinginan, tetapi dia jauh lebih energik dari biasanya. Dia mungkin akan berubah menjadi anak manja begitu dia demam.

“Lihat tuh, sudah kubilang dia akan bahagia.”

Hal ini merupakan pertama kalinya aku mengunjungi rumah seorang gadis, terlebih lagi saat dia sedang sakit. Aku memang merasa sangat gugup, tetapi aku tidak ingin mengecewakan Sako-san.

“Ya, aku pasti pergi. Apa kamu bisa mengantarku ke sana?”

Mendengar jawabanku, ekspresi Nishida-san menjadi santai untuk pertama kalinya.

“Sejak awal aku sudah berencana begitu.”

Kami meninggalkan area taman dan menuju distrik perumahan.

“Di sebelah sini,” kata Nishida-san, menunjuk rumah keluarga sederhana yang berjarak beberapa menit dari taman.

Meski begitu, aku masih belum siap secara mental. Di pintu gedung tiga lantai, tertulis nama 'Sako', membuatku sadar bahwa aku benar-benar datang ke sini. Keringat dingin bercucuran di keningku. Saat aku merasa gelisah, Nishida-san dengan santai membunyikan bel pintu.

“Ini Nishida. Aku datang untuk mengunjungi Machika.”

'Ya ampun, Mayu-chan? Selamat datang, selamat datang. Aku akan segera membuka pintu.'

“Terima kasih banyak.”

Segera setelah itu, pintu depan terbuka, diiringi dengan kemunculan wanita cantik yang menyerupai Sako-san. Matanya mirip dengan Sako-san. Aku bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk menyadari bahwa dia adalah ibu Sako-san.

“Mama Machika~ Sudah lama!”

“Memang sudah lama sekali kamu tidak main ke sini! Oh…siapa anak laki-laki ini?”

Ibu Sako-san melirikku. Aku segera melafalkan pengenalan diri yang aku siapkan sebelumnya.

“Um, aku temannya Sako—temannya Machika-san, Tsuyoshi.”

“Ara, ara, senang bertemu denganmu. Namaku Meiko.” Dia berkata dan mulai menyeringai. “Jadi kamu yang namanya Tsuyoshi-kun, ya…Hmmm…” Dia mengamati dengan cermat setiap bagian tubuhku.

Untuk beberapa alasan, dia tampak sangat senang. Dan setelah senyum terakhir, dia mengundang kami masuk.

“Masuklah. Machika sedang berada di lantai tiga, jadi kamu bisa menjenguknya ke sana.”

“Terima kasih banyak.”

Nishida-san sepertinya sudah terbiasa mengunjungi rumah ini, saat dia menaiki tangga tanpa ragu-ragu. Begitu aku mengikutinya, Meiko-san berbisik ke telingaku.

“Aku sangat ingin kamu tinggal dan makan malam bersama kami, tapi kurasa lebih baik kamu pergi sebelum ayahnya pulang. Baru-baru ini, ia membuat Machika sedikit gelisah.”

Sako-san sudah memberitahuku tentang ayahnya beberapa kali. Ia memaksa Sako-san untuk melakukan banyak hal yang sebenarnya tidak ingin dia lakukan. Bahkan baru-baru ini, ia memarahi Sako-san dengan mengatakan 'Jika kamu ingin melakukan sesuatu, jujurlah tentang itu.' Aku bisa menilai kalau beliau merupakan orang yang tegas.

“Aku mengerti. Aku akan segera pergi.”

Nishida-san sepertinya telah mendengar percakapanku dengan Meiko-san, saat dia berbalik.

“Tante tahu tentang Tsuyoshi?”

“Tentu saja.”

“…Kok bisa? Jangan bilang Tante membaca buku harian Machika, kan?”

“Tidak tidak Tidak. Aku ingin membacanya, secara pribadi, tetapi setelah aku menemukannya sekali, dia menyembunyikannya sejak itu. Apa kamu tahu tempat di mana dia bisa menyembunyikannya, Mayu-chan?”

Nishida-san tampak jijik saat dia menatap Meiko-san.

“Jika Tante melewati kamar Machika, aku akan mengadu padanya, oke?”

“…Tolong jangan, Mayu-chan. Dia pasti tidak mau berbicara denganku lagi. Terakhir kali butuh tiga hari sebelum dia mengatakan sepatah kata pun. ”

“Tante pantas mendapatkan apa yang tante tabur.”

Melihat Meiko-san panik mendengar kata-kata Nishida-san membuatku bertanya-tanya siapa sebenarnya yang menjadi orang dewasa di sini. Nishida-san menutup mulutnya dan berbalik untuk menaiki tangga lebih jauh, jadi aku mengikutinya. Dari belakang kami, aku mendengar Meiko-san merintih 'Mayu-chan, aku mohon ...' Tepat saat kami mencapai ujung tangga, kami berakhir di depan kamar Sako-san. Itu jelas miliknya karena pelat pintu bertuliskan 'Machika'.

Aku belum pernah memasuki kamar perempuan sebelumnya. Apalagi Sako-san seharusnya tidur di balik pintu ini, tidak mengenakan apa-apa selain piyamanya. Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam untuk mengendalikan detak jantungku, tapi Nishida-san sudah mengetuk pintu.

“Machika, kita masuk, oke~.”

Dari pintu yang terbuka terdengar embusan angin sejuk, mungkin disebabkan oleh AC yang menyala. Setelah itu adalah aroma kesegeran dan kelegaan, kemungkinan besar semacam aroma. Setelah masuk ke dalam, aku bisa melihat pengaturan ruangan dengan cahaya redup masuk melalui celah tirai. Itu adalah kamar yang dirawat dengan baik. Lantainya bersih, dan rak bukunya dipenuhi dengan aksesoris dan barang-barang kecil bergaya lainnya.

“Pagi, Makika. Bisakah aku menyalakan lampu?” Nishida-san bertanya, di mana bayangan bergerak di atas tempat tidur.

“Ah, Mayuko. Ya, silakan.”

Nishida-san menekan tombol, dan ruangan menjadi terang. Berkat hal itu, aku bisa dengan jelas melihat wajah Sako-san saat dia berbaring ke atas di tempat tidur. Matanya terlihat jauh lebih mengantuk dari biasanya, dan poninya berantakan. Kerah kuning piyamanya mengintip dari balik selimut tipisnya. Begitu dia menyadari kehadiranku, ekspresi wajahnya langsung berubah sembari matanya terbuka lebar, dan dia menutupi wajahnya di bawah selimut.

“H-Halo, Sako-san…”

"Sangat memalukan ... Tolong lupakan apa yang aku katakan sebelumnya ..."

Aku tahu dia berguling merintih dan kesakitan. Pada saat yang sama, Nishida-san menunjukkan senyum masam.

“Apa gunanya kami datang berkunjung jika kamu bahkan tidak menunjukkan wajahmu?”

Berbeda dari sebelumnya, suaranya terdengar lembut dan menenangkan. Dia seolah-olah sedang berbicara dengan adik perempuannya. Sebelum Sako-san bisa mengatakan apa-apa, Nishida-san mengeluarkan kantong plastik dari tas pelajarnya, meletakkannya di meja belajar Sako-san.

“Aku membelikanmu minuman berenergi dan beberapa barang lainnya, jadi aku akan meninggalkannya di sini.”

“Waaah, terima kasih!”

Sako-san menunjukkan wajahnya dari balik selimut. Karena dia memakai masker, suaranya agak teredam. Dan setelah urusannya selesai, Nishida-san meraih tasnya dan meletakkannya di bahunya.

“Baiklah, aku akan kembali ke sekolah sekarang. Aku akan menyerahkan sisanya padamu, Tsuyoshi.”

“Hahhhh?!” Aku berteriak dengan nada tercengang.

“Aku akan segera mengadakan aktivitas klub, dan tidak seperti Machika, aku masih payah dalam hal itu.”

“Ji-Jika itu masalahnya, maka aku akan pulang juga.”

Ini semua berkat Nishida-san bahwa aku bisa berada di kamar perempuan tanpa terlalu panik, jadi begitu dirinya pergi, kurasa aku bahkan tidak bisa bernapas dengan baik. Namun, Nishida-san benar-benar mengkhianati harapanku.

“Dasar bodoh, kamu akan tinggal di sini. Kamu ‘kan bagian dari klub langsung nyelongong ke rumah, dan ujian juga sudah selesai. Atau kamu punya rencana lain setelah ini?”

“Tidak, tapi aku tidak bisa mengganggunya saat dia sakit…”

“Machika-lah yang memutuskan apakah kamu mengganggu atau tidak. Jadi katakan padanya, Machika. Apa kamu ingin Tsuyoshi tinggal di sini, atau pergi?”

Sako-san tersipu dan mulai berpikir ketika dia melihat ke arahku.

“…Tinggallah sedikit lebih lama.”

Suara manisnya benar-benar mencengkeram semua sanubariku. Matanya bergetar karena ketidakpastian, alisnya mengekspresikan nuansa kesepian. Kurasa tidak ada anak laki-laki di dunia ini yang bisa menolak permintaan ini.

“…Baiklah, aku mengerti.”

“Makasih.”

Dadaku sekali lagi terasa sesak. Pada saat yang sama, Nishida-san meletakkan tasnya di bahunya.

“Kalau gitu, aku pergi dulu.”

“Terima kasih, Mayuko. Sampai jumpa di sekolah.”

“Sampai jumpa~”

Saat hendak keluar kamar, Nishida-san menendang tulang keringku dengan kekuatan penuh.

“Kenapa?!”

“Dia tidak mau bergantung padaku sama sekali, tapi dia langsung berubah menjadi bayi yang manja saat kamu ada di dekatnya, dan itu membuatku kesal.”

Alasanmu terlalu tidak masuk akal!!!

“Ngomong-ngomong, aku bukan penggemar berat ini, tapi tolong jagalah Machika.”

“Jika kamu tidak menyukainya, maka kamu bisa tinggal, tau?”

Aku mencoba yang terbaik untuk membantah tetapi diabaikan oleh Nishida-san, yang berlari keluar ruangan. Saat ini, hanya ada kami berdua di dalam ruangan, hanya suara AC yang menyala yang bisa terdengar. Karena tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya berdiri diam. Sako-san tertawa kecil.

“Kamu bisa menggunakan kursi dari meja belajarku. Ayo duduk di sebelahku.”

“O-Oke.”

Aku memindahkan kursi di sebelah bantalnya dan duduk. aku harus membicarakan sesuatu…

“Bagaimana dengan keadaanmu?”

“Aku jauh lebih baik. Aku harusnya bisa berangkat ke sekolah besok.”

“Syukurlah, aku senang mendengarnya.”

Hanya sampai segitu saja percakapan kami. Berbeda dengan obrolan kami yang biasa melalui LINE, aku tidak dapat mengatakan apa pun. Saat aku sedang kebingungan mencari topik, Sako-san tiba-tiba berbicara di depanku.

“Pada hari kita belajar bersama, keadaan tetap basah kuyup tempo hari rupanya menjadi bumerang. Sejak saat itu, aku merasa tidak enak badan.”

Itulah hari di mana aku mengucapkan pengakuan semuku. Hanya kembali mengingatnya saja sudah membuat kepalaku mendidih, jadi aku segera mengganti topik pembicaraan.

“Oh iya, kamu sempat tertidur selama ujian terakhir itu, ‘kan? Ujian-ujian itu mungkin hanya memperburuk demammu.”

"Mungkin. Tapi, bukannya kamu juga kelelahan, Tsuyoshi-kun?”

“Ya, tentu saja. Aku mengurangi banyak waktu tidur untuk belajar lagi.”

Terutama beberapa hari terakhir sebelum ujian, aku benar-benar bekerja keras. Kurasa aku hanya tidur kurang dari batas minimum.

“Lalu, apa sekarang kamu merasa mengantuk?” Dia bertanya kepada u dengan suara mengantuk, di mana tubuhku tiba-tiba diserang dengan rasa kantuk yang kuat.

Aku telah mengambil banyak tidur ekstra untuk mengimbangi kekurangan tidurku, tetapi sepertinya tubuhku masih sedikit kelelahan.

“Sekarang setelah kamu menyebutkannya, aku masih merasa agak mengantuk.”

“Ah, benarkah?”

Bahkan melalui masker wajahnya, aku bisa tahu bahwa Sako-san sedang menyeringai. Aku sudah melalui banyak hal untuk mengatakan bahwa dia akan melakukan sesuatu yang gila lagi. Aku meningkatkan kewaspadaanku, lalu Sako-san bergerak di atas tempat tidurnya, menciptakan sedikit ruang. Dia mengangkat selimut dan mengundangku.

“Kalau begitu, mari tidur bersamaku?”

Jalan pikiranku segera berhenti total. Setelah keheningan singkat, aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku.

“Kamu sedang demam, ‘kan? Kamu hanya akan menularkan itu kepadaku. ”

“Aku sudah merasa jauh lebih baik.”

“Tapi Meiko-san ada di lantai pertama.”

“Saat ini, Ibu sibuk menyiapkan makan malam, jadi tidak apa-apa."

"Tetapi…"

Aku mati-matian mencoba mencari alasan yang kuat. Aku tidak punya nyali untuk tidur bersama dengan seorang gadis yang bahkan tidak aku pacari. Namun, tindakan gila Sako-san masih belum selesai.

“Aku takkan memberi tahu siapa pun. Ini hanya rahasia di antara kita. Jadi tidak ada masalah, kan? Dan juga, kamu… merasa seperti itu tentangku, ‘kan? Kamu pasti ingin dekat denganku.”

Aku benar-benar berharap dia tidak mengemukakan argumen itu ... Wajahku terasa sangat panas seperti terbakar. Tapi meski begitu, aku ingin menghindari tidur di sampingnya. Namun, aku tidak dapat menemukan alasan, dan Sako-san mendekatiku sekali lagi.

“Apa kamu membenciku? Jadi itu sebabnya kamu tidak mau mendekat?”

Aku membayangkan bahwa ini hanya bagian dari aktingnya, tetapi aku masih sangat lemah terhadapnya.

“Bukan begitu masalahnya.”

“Kamu lebih suka ketika aku tidak sempurna, iya ‘kan? Saat aku kikuk, tidak feminim, tidak rajin, payah…jadi aku masih belum cukup baik untukmu…?” Dia menatap lurus ke arah mataku.

Seperti yang Nishida-san katakan, semuanya dimulai karena aku menolak pengakuannya. Dia mencoba menghancurkan citra sempurnanya dengan bertindak dengan cara yang konyol. Dengan kata lain, akulah yang memasukkannya ke dalam kandang ini tanpa tanpa bisa melarikan diri.

“Jika kamu tidak membenciku ... maka buktikan.”

Aku tidak bisa melarikan diri. Karena aku memberinya ide-ide aneh, jadi tindakannya menjadi sembarangan. Aku perlahan-lahan bangkit dari kursi, dan berbaring di tempat tidur. Aku mencoba yang terbaik untuk menjaga jarak sejauh mungkin dari Sako-san, jadi setengah tubuhku tergantung di tempat tidur. Namun, dia kelihatannya masih tidak puas dengan itu.

“Terlalu jauh.”

Dia meraih dasiku dan menarikku lebih dekat. Aku berguling sekali, berakhir di tempat tidur sepenuhnya. Mata dan hidung Sako-san berada tepat di depanku. Napas kami memasuki ritme aneh, llau akhirnya melebur menjadi satu, sama halnya seperti suhu tubuh kami. Bahkan detak jantung kami terdengar bersamaan.

“Tsuyoshi-kun,” kata Sako-san. “Apa kamu memiliki gadis yang memaksa melakukan hal semacam ini? Apakah Kamu menganggap aku tidak pantas? ”

“Daripada tidak pantas, aku hanya berharap kamu berhenti karena ini buruk untuk hatiku…”

Aku mencoba yang terbaik untuk menghindarinya, tapi Sako-san masih meringkuk di dadaku. Dahinya yang kecil menyentuh tulang selangkaku.

“Sa-Sako-san…!”

“Kamu sebenarnya ingin melakukan sesuatu seperti ini, iya kan…?”

Aku mulai memahami jalan pikirannya. Sampai citra sempurnaku tentang dirinya hancur, dia akan terus bertindak dengan berbanding terbalik dari dirinya yang biasa.

“Aku minta maaf. Aku tahu kalau ini rasanya tidak adil jika aku melakukan ini sebelum kita mendapatkan hasil ujian, tapi…setidaknya untuk hari ini.” Suaranya hampir menghilang.

Aku bisa merasakan betapa cemasnya dia. Aku pikir dia bertindak sangat bertentangan karena dia kesepian, tetapi kurasa masalahnya bukan karena itu lagi.

“Apa ada sesuatu yang terjadi?”

Bahu Sako-san bergetar. Napasnya terasa sangat lemah, hampir ketakutan. Jika aku harus menebak, kapasitas mental Sako-san telah menderita karena sakit demamnya. Ketika aku sakit sebelumnya, aku merasa kesepian. Karena kedua orang tuaku bekerja penuh waktu, jadi aku ditinggalkan sendirian. Sako-san pasti merasakan hal yang sama sekarang.

“Kamu akan baik-baik saja. Begitulah cara kerja penyakit demam.”

“Begitu ya…Yeah, begitu besok datang…”

Atau begitulah katanya, tetapi suaranya bergetar. Setelah berpikir sejenak, aku melingkarkan tangan kananku di bahu Sako-san. Saat tanganku menyentuhnya, bahunya sedikit bergetar, tapi dia segera tenang kembali. Jantungku berdegup kencang dengan sangat menyakitkan. Aku belum pernah memeluk seorang gadis sebelumnya, dan Sako-san juga bukan pacarku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku melakukan ini, tapi tubuhku tetap mendesakku untuk menghibur Sako-san.

“…Tolong elus kepalaku,” Sako-san memohon padaku dengan suara pelan.

Aku menarik napas dalam-dalam dan meletakkan tangan kananku di atas kepalanya. Karena aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya dengan benar, aku hanya menggerakkan tanganku selembut mungkin. Rambutnya yang halus mengalir melalui sela-sela jariku, dan saat aku menyadarinya, Sako-san sudah tertidur. Menyadari hal ini, aku menghela nafas lega. Dia seharusnya merasa lebih baik setelah dia bangun. Karena merasakan napasnya yang lembut di dadaku, aku sendiri mulai mengantuk. Kurang tidurku benar-benar terlihat sekarang. Bahkan sebelum aku menyadarinya, kesadaranku perlahan-lahan tenggelam ke dalam jurang yang gelap.

 

*****

 

Pada saat berikutnya aku terbangun, aku merasa panik. Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku tertidur. Aku dengan hati-hati bangkit dari tempat tidur sambil berusaha untuk tidak membangunkan Sako-san dan memeriksa waktu dengan ponselku. Sudah sekitar satu jam sejak aku tiba di sini. Aku mungkin harus segera pulang secepat mungkin. Kalau tidak, ayah Sako-san akan pulang.

“Sampai jumpa besok, Sako-san.” Aku dengan tenang memberitahunya dan dengan hati-hati menutup pintu di belakangku.

Setelah menuruni tangga, aku bertemu Meiko-san.

“Ya ampun, aku baru saja akan memanggilmu.”

“Aku minta maaf karena tinggal begitu lama.” Aku berjalan menuju pintu masuk.

“Terima kasih sudah datang menjenguknya.”

“Tidak, aku lah yang seharusnya minta maaf karena sudah mengganggu tanpa memberitahu dulu.”

“Sesekali mampirlah kemari ketika keadaaan Machika sudah lebih baik. Kemudian kamu bisa memberitahu Tante bagaimana kalian berdua bisa mulai menjalin hubungan.”

“Hubungan kami tidak seperti itu!”

“Aku tahu, bagaimanapun juga, kamu sudah menolak putriku yang menggemaskan.”

Dia tahu?! Senyum tipisnya mengeluarkan aura yang menekan, otot-otot punggungku membeku.

“A-Aku sangat mina maaf tentang itu ..."

“Tante hanya bercanda, kok. Kamu tidak perlu meminta maaf. Yang ada justru, tante merasa senang kamu menolaknya.”

“Ummm, dan kenapa begitu…?”

Mungkin Sako-san dan aku benar-benar bukan pasangan yang cocok.

“Tante tidak yakin apa tante harus mengatakan itu tentang putri tante sendiri, tetapi Machika sangat baik dan tulus, bukan? Itu sebabnya aku senang melihat dia memprioritaskan perasaan romantisnya sendiri dan akhirnya dimanipulasi olehnya.”

“...Aku penasaran, memangnya dia benar-benar gadis yang begitu emosional.”

“Pada hari kamu menolaknya, dia menangis sesenggukan.”

“Ah…aku benar-benar minta maaf…!” Aku menundukkan kepalaku sekali lagi.

“Aku tidak bermaksud seperti itu!” Meiko-san melambaikan tangannya. “Machika tidak pernah menjadi orang yang menangis. Dia selalu tenang dan kalem, tidak pernah melawan kita. Itu sebabnya aku senang melihat bahwa bahkan dia bisa menjadi egois dalam hal perasaan cintanya. Aku menyadari dia cukup serius tentang kamu sampai-sampai membuatnya menangis seperti itu.” Meiko-san tersenyum lembut.

Dia tersenyum seperti Sako-san. Karena akulah orang yang membuat Sako-san menangis, mendengarkan Meiko-san mengatakan hal seperti itu membuatku merasa geli.

“Ummm ... mengapa tante memberitahuku tentang hal ini?”

“Ya ampun, tante minta maaf. Tante bukannya menyuruhmu untuk berpacaran  dengan Machika atau semacamnya. Kamu memiliki hak untuk memilih. Tapi setidaknya aku berharap kamu dan Machika bisa berhubungan dengan baik.”

“Tentu saja,” seruku dengan percaya diri, yang membuat Meiko-san menyipitkan matanya.

“Begitu ya, tante merasa lega mendengarnya. Sekarang, tante percaya akan lebih baik bagimu untuk cepat-cepat pulang. Karena suami tante akan segera pulang. Ia berencana pergi lebih awal karena Machika sakit—”

Suara klik logam datang dari pintu depan dan melihat orang itu masuk, aku membeku. Pria itu mengenakan setelan ketat dan tampak mahal, dengan potongan rambut yang rapi. Aku bisa melihat kerutan samar di wajahnya, tapi dia memiliki punggung yang tinggi, mukanya juga tidak terlihat terlalu tua. Tentu saja, aku bahkan tidak perlu sedetik pun untuk menebak siapa pria ini. Tapi betapa apesnya diriku…

“Ya ampun, Sayang, selamat datang kembali. Ini adalah teman Machika, Tsuyoshi-kun. DIa datang menjenguknya.”

Ayah Sako-san memeriksa wajahku dengan cermat, membuatku menggigil ketakutan.

“Aku ayah Machika, Michihiko. Terima kasih sudah menjenguk putriku.”

“Ah, tidak apa-apa… Namaku Tsuyoshi Haru.”

Kami menyelesaikan salam dengan singkat, dan berakhir dengan keheningan total. Setidaknya, rasanya jadi sangat tidak nyaman. Karena aku ingin pulang secepat mungkin, jadi aku menundukkan kepala.

“Kalau begitu, aku permisi untuk pulang...”

Aku menyelinap melewati Michihiko-san, dengan cepat memakai sepatuku, dan meraih pintu, tapi ada seseorang yang meraih bahuku.

“Tsuyoshi-kun, kan? Aku ingin kamu bisa tinggal sedikit lebih lama ... aku bisa menawarkan beberapa manisan sebagai balasannya.” Dia berkata dan menunjukkan sebuah kotak di tangannya.

Dia mungkin terdengar tenang dan kalem, tetapi ekspresi besinya membuat sulit untuk menyaring ekspresinya, dan aku lebih putus asa daripada apa pun. Instingku menyuruhku untuk kabur, tapi jika aku melakukan sesuatu yang kasar, ia mungkin akan menyuruh Sako-san untuk menjauh dariku. Pada akhirnya, aku melangkah ke lorong lagi dengan pasrah.

Aku dibawa ke ruang tamu, tercengang dengan ukurannya. Bagian belakang ruangan memiliki dapur yang sistematis, dengan banyak ruang untuk diisi oleh furnitur, dan desainnya terlihat cukup modern. Di depan sofa juga berdiri TV layar datar yang tinggi. Sepertinya aku masuk ke salah satu kamar contoh yang aka dilihat seseorang ketika hendak berbelanja furnitur. Aku terpesona oleh keindahan ruangan ini tetapi sayangnya tidak punya banyak waktu untuk melakukannya. Lagipula, Michihiko-san duduk di seberang meja dariku.

Meiko-san mulai menyiapkan makan malam, jadi tidak ada yang membantuku. Sejak kami duduk, Michihiko-san tidak mengucapkan sepatah kata pun. Itu sebabnya semuanya terasa sunyi dan canggung. Tidak yakin apa yang harus dilakukan, aku hanya memeriksa meja kayu di depanku.

“Tentang Machika—”

Michihiko-san tiba-tiba membuka mulutnya, dan aku mempersiapkan diri.

“Apa dia bersenang-senang di sekolah?”

“…Ummm, ya. Aku percaya begitu.”

Karena caranya bertanya begitu ambigu, aku berusaha keras untuk memberikan jawaban yang tepat. Michihiko-san tidak terlalu keberatan dan menanyakan pertanyaan berikutnya.

“Apa Machika belajar dengan benar?”

“Kurasa iya. Hasilnya sendiri sudah menjadi buktinya.”

“Apa dia akrab dengan teman-temannya?”

“Ya, dia sangat populer di kelas kami.”

“Apa dia bekerja keras di klubnya?"

“Sayangnya kami tidak berada di klub yang sama, jadi aku tidak tahu.”

Aku dihujani dengan rentetan pertanyaan yang membuatku bingung. Aku mengira kalau ia sebagai tipe ayah yang protektif, tapi mungkin ia hanya benar-benar khawatir? Setidaknya, sepertinya agak berlebihan. Setelah beberapa pertanyaan lagi…

“Apa Machika—”

“Sayang, kurasa itu sudah cukup.”

Meiko-san datang dari dapur. Dia memegang nampan di kedua tangannya, yang memiliki puding botol di atasnya.

“Ini silakan dinikmati. Itulah yang ia beli.”

“Tante tidak perlu repot-repot segala,” kataku.

"Tidak apa-apa, jangan khawatir.”

Meiko-san memberiku puding dengan sendok dan duduk di sebelah Michihiko-san. Memasak harus pada istirahat sekarang.

“Tolong maafkan dirinya, Tsuyoshi-kun. Machika tidak pernah benar-benar berbicara tentang sekolahnya, jadi ia merasa khawatir.”

“Berbicara tentang sekolahnya… misalnya seperti berapa nilai yang dia dapatkan?”

“Tepat. Serta apa yang dia bicarakan dengan teman-temannya, apa yang dia lakukan di klubnya. Tapi dia masih seorang gadis remaja, jadi dia juga harus mengkhawatirkan banyak hal. Dia tidak pernah membicarakan hal itu dengan kami, jadi kami khawatir…”

Jika mereka benar-benar dekat sebagai keluarga, maka Sako-san akan mengeluarkan satu atau dua keluhan. Kurasa dia bahkan berakting dengan sempurna di rumah? Aku menunjukkan kebingunganku dengan memiringkan kepalaku, dimana Michihiko-san menunjukkan senyum masam.

“Baik itu Natal maupun ulang tahunnya, dia tidak pernah memberi tahu kami mengenai apa yang dia inginkan. Aku tidak keberatan jika itu agak mahal. ”

“Maksudnya dia bahkan menahan diri di rumah?”

“Dia tidak pernah egois sekali pun. Aku tidak tahu apakah dia menahan diri atau tidak.”

Oh iya, Sako-san sendiri bilang kalau dia ingin lebih egois. Aku kira orang tuanya pasti tidak puas dengan komunikasi saat ini. Meiko-san menunjukkan ekspresi yang agak sedih.

“Dia hanya tidak ingin memaksakan harapan tinggi pada kami. Aku ingin membeli apa yang dia inginkan, dan mendukungnya dalam hal-hal yang dia inginkan. Tapi dia tidak pernah membicarakan itu sama sekali…”

Ahhh, begitu rupanya. Keluarga ini terlalu bahagia. Meiko-san dan Michihiko-san benar-benar mencintai putri mereka, hidup mereka berjalan dengan baik, dan Sako-san bisa mengandalkan mereka jika dia mau. Tapi ... dia tidak. Dia dilahirkan dengan kepribadian yang rajin dan sungguh-sungguh, jadi dia menyadari situasinya yang diberkati dan mempertahankan sikap tabah. Itu sebabnya mereka mungkin merasa seperti mereka membesarkan seorang gadis jauh di luar kemampuan mereka. Michihiko-san mengangguk dan setuju dengan kata-kata Meiko-san.

“Dan karena dia tidak pernah egois sekali pun, kami harus memaksakan sesuatu padanya. Dia tidak belajar atas keinginannya sendiri, memilih masa depannya sendiri, yang benar-benar menempatkan kita dalam posisi yang sulit.”

Hal tersebut juga persis seperti yang dikatakan Sako-san. Dia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh orang tuanya, tidak lebih.

“Kecakapan bahasa Inggrisnya yang tinggi karena anda menyuruhnya untuk mempelajarinya, kan Michihiko-san? Setidaknya, itulah yang dia katakan padaku.”

“Bagaimana dia mengatakannya? Apa dia menyesalinya? ” Ia terpaku pada pertanyaanku.

“Tidak, dia pasti tidak menyesalinya, tapi…”

“Tsuyoshi-kun, apa Machika memberitahumu hal lain? Apa ada sesuatu yang dia katakan padamu tapi dirahasiakan dari kami? Aku ingin mengabulkan permintaannya sekali…”

“Hal yang lain…”

Aku mencari-cari ingatanku dan melihat ekspresi sedih Sako-san yang dia tunjukkan selama sesi belajar, dan juga barusan. Mungkin sedikit berbeda dari keegoisan, tetapi jelas bahwa Sako-san menderita. Meskipun aku tidak tahu alasannya.

“Sepertinya dia tidak senang tentang sesuatu ...”

“Benarkah? Apa yang terjadi?”

“Itu bukan sesuatu luar biasa, tapi…”

Aku tidak bisa memberi tahu mereka apa yang terjadi di ruang wawancara, atau baru saja di tempat tidurnya. Kami berjanji untuk merahasiakannya.

“Begitu… Jika dia datang untuk mengatakan hal semacam itu, tolong beri tahu aku.”

“Aku mengerti.”

Michihiko-san tampak puas dengan jawabanku dan bersandar ke belakang. Aku tahu dia menahanku di sini untuk bertanya tentang Sako-san, tapi aku sedih aku tidak bisa membantu.

“Maaf mengganggumu seperti ini,” kata Meiko-san sembari membersihkan meja.

“Tidak apa-apa. Aku belajar banyak tentang Machika-san, jadi aku merasa cukup senang.”

“Kamu tidak perlu begitu segan-segan begitu. Aku harus kembali memasak makan malam, tapi apa yang akan kamu lakukan, Tsuyoshi-kun? Apa kamu akan tinggal sedikit lebih lama?" Meiko-san berbicara dengan nada menggoda.

Aku sudah bisa melihat diriku berakhir sangat lelah dengan berbicara dengan Michihiko-san. Meiko-san mungkin menciptakan momen bagiku untuk pulang. Aku menyendok puding terakhir dan bangkit dari kursi. Setelah itu, aku menundukkan kepalaku ke arah Michihiko-san.

“Umm, terima kasih banyak untuk semuanya. Pudingnya enak.”

“Maaf telah menanyakanmu seperti itu. Jika putriku memberitahumu sesuatu, tolong jaga dia. Aku kemungkinan besar memaksakan sesuatu yang tidak perlu padanya.”

Sesuatu yang tidak perlu...Mungkin itu terkait dengan hal yang Sako-san khawatirkan.

“Um…” Aku ragu untuk bertanya padanya, tapi pintu ruang tamu terbuka.

Ternyata itu Sako-san, dia masih memakai piyamanya.

“Hah? Tsuyoshi-kun, kamu masih di sini?”

“Ya, hanya sedikit lebih lama.”

Meiko-san mendekati Sako-san dan meletakkan tangan kanannya di dahinya.

“Sepertinya demammu sudah turun cukup banyak.”

“Ya, aku merasa jauh lebih baikan sekarang.”

“Kamu punya bafsu makan?”

“Aku bisa makan dengan baik.”

Sako-san menjawab sepenuhnya secara alami, hampir seolah-olah sikap kesepiannya barusan adalah sebuah kebohongan.

“Pokoknya, aku pikir sudah waktunya aku pulang. Aku tidak ingin mengganggumu terlalu lama.”

“Hah? Kamu bisa tinggal dan makan bersama kami.”

Sako-san terlihat cemberut, menarik lengan bajuku. Aku sedikit terkejut dia bisa bertingkat lengket seperti ini di depan orang tuanya.

“Tidak, aku benar-benar harus pergi sekarang. Aku tidak bisa membiarkan orang tuaku menunggu terlalu lama.”

“Oke ... kalau begitu apa boleh buat, deh.”

Sako-san dengan enggan melepaskan bajuku, dan aku meninggalkan ruang tamu. Sako-san dan Meiko-san datang untuk mengantarku pergi, dan saat aku memakai sepatuku, Meiko-san membisikkan sesuatu ke telingaku.

“Puding tadi sebenarnya salah satu favorit Machika. Dia menyukai hal-hal yang manis, jadi ingatlah itu.”

“Mama, apa yang kalian berdua bicarakan sekarang?”

“Hehe, itu rahasia.”

Melihat percakapan ibu dan anak di depanku, mereka benar-benar tampak akrab. Meskipun Meiko-san terlihat jauh lebih dewasa.

“Kalau begitu, aku pamit pulang dulu.”

“Lain kali, silakan mampir lagi.” Meiko-san tersenyum.

“Sampai jumpa besok.” Sako-san melambaikan tangannya sambil tersenyum.

Aku menutup pintu di belakangku dan menghela nafas lega. Banyak hal yang terjadi, tapi apa yang Meiko-san katakan menjelang akhir masih terngiang-ngiang di pikiranku.

“Dan aku malah memberinya miso kepiting sebagai hadiah…”

Meskipun akulah yang menjadi alasan mengapa itu terjadi, sepertinya dia juga berbohong kepadaku dalam hal itu. Suatu hari nanti, kami harus menyelesaikan kesalahpahaman itu. Dan di saat yang sama, aku menyadari bahwa Sako-san dikendalikan oleh dirinya yang rajin. Dia tidak bisa jujur ​​bahkan jika dia mau. Aku ingin membantunya, tetapi aku tidak bisa memikirkan apa pun. Dan dengan alasan itu, kakiku terasa jauh lebih berat dari biasanya saat berjalan pulang.

 

 

 

 

 

25 Juli,

Aku merasa tidak enak badan untuk sementara waktu, namun kesepianku adalah masalah terbesarku.

Aku jelas-jelas sudah merepotkan Tsuyoshi-kun karena bertingkah sangat bergantung padanya.

Kira-kira, apa aku berhasil menghancurkan citra sempurnaku?

Bisakah aku menjadi gadis yang bisa membuatnya jatuh cinta?

Tinggal dua minggu lagi, jadi aku harus membuat kemajuan dengan cepat…

[Waktunya tersisa 15 hari lagi.]

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

 

 

 

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama