Bab 13
Di dalam ruangan remang-remang
dengan tirai tertutup, hanya suara gemuruh A/C saja yang bisa didengar. Begitu
banyak hal memenuhi kepalaku, yang paling terkait dengan Festival Musim Panas
kemarin, bahwa aku hampir tidak bisa tidur. Aku terus-menerus berguling-guling
di atas kasurku sepanjang malam. Setelah berguling satu kali lagi, aku mengambil
smartphone yang sedang aku isi dayanya saat ini. Melihat bahwa tidak ada pesan
baru yang ditampilkan di layar yang terkunci, aku menghela nafas.
Tumben-tumbennya, Sako-san
tidak menghubungiku sama sekali sejak festival musim panas. Dia bahkan tidak
membaca pesanku. Meskipun dia biasanya akan merespons dalam waktu satu jam jika
dia bangun. Aku khawatir. Aku mungkin sudah melakukan sesuatu yang membuatnya
membenciku. Mungkin dia jengkel padaku bahwa aku tidak menyadari kakinya
terluka?
Jika demikian, satu-satunya hal
yang bisa aku bayangkan adalah kecelakaan lalu lintas atau penyakit mendadak.
Hal tersebut tidak sepenuhnya tak terpikirkan. Intinya, aku mengkhawatirkan
tentang dia. Aku mengiriminya pesan 'jika
ada sesuatu yang terjadi, maka tolong beri tahu aku’, dan menaruh
smartphone-ku lagi. Saat ini, yang bisa aku lakukan adalah menunggu
tanggapannya. Meski tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku hanya bisa berdoa
agar masalah ini bisa diselesaikan pada waktunya.
Aku berguling sekali lagi,
menutupi diriku dengan selimutku. Aku pikir aku bisa tidur lebih, dan karena aku
masih lelah aku langsung merasakan kesadaranku melayang. Namun, sebelum aku
benar-benar tertidur, aku mendengar nada dering dari smartphone-ku. Aku tidak
ingat mengatur alarm. Apa ada seseorang meneleponku? Aku berbalik, melihat
bahwa orang yang memanggilku Nishida-san. Aku tidak percaya itu suatu
kebetulan, jadi aku melesat dari tempat tidurku.
“Halo, ini Tsuyoshi.”
“Kamu
bahkan tidak mau mengantarnya?”
Suara Nishida-san ternyata
dipenuhi dengan kemarahan, mencapai titik dia bahkan tidak menyebut dirinya.
“Um, apa ada yang salah?”
“Aku
memberitahumu untuk mengantar Machika. Berani-beraninya kamu berpura-pura bego
sekarang?”
Aku sama sekali tidak tahu apa
yang dia bicarakan. Aku hanya tahu bahwa ini terkait dengan Sako-san.
“Apa maksudmu dengan
mengantarnya?”
“Apakah
kamu lupa bahwa itu hari ini atau sesuatu?”
“Tidak, seriusan, aku tidak
tahu apa yang kamu bicarakan ...”
Segera setelah aku mengatakan
hal itu, Nishida-san menelan napasnya.
“...
Jangan bilang, Machika tidak pernah memberitahumu tentang belajar di luar
negeri?”
“Belajar ke luar negeri? …Apa?”
Apa maksudnya itu? Sako-san akan
belajar di luar negeri? Tapi ... hah? Aku benar-benar bingung ketika
Nishida-san menghela napas dengan nada tak percaya.
“Jadi
begitu rupanya. Aku sepenuhnya memahaminya. Kurasa semuanya jadi masuk akal
mengapa sikapmu terasa janggal sepanjang waktu ini.”
“Jika kamu memang paham, tolong
jelaskan kepadaku ...”
Aku sama sekali tidak tahu
menahu apa yang dia bicarakan. Pertama dan terutama, aku ingin tahu apa yang
akan dilakukan Sako-san dan belajar di luar negeri dengan apa pun.
“Biarkan
aku minta maaf sebelumnya. Aku mendengar tentang semua yang terjadi kemarin.
Aku pikir kamu adalah cowok yang brengsek, tetapi aku berada di bawah kesan
yang salah.”
“Jadi ada sesuatu yang terjadi
kemarin?”
Aku yakin sesuatu yang
merepotkan terjadi di balik layar. Aku hanya mengetahuinya.
“Tenanglah
dulu dan dengarkan aku, Tsuyoshi.” Kata Nishida-san.
“Ya.”
“...
Machika akan pergi ke luar negeri untuk belajar di sana. Hari ini adalah hari
keberangkatannya. Dia akan kembali pada bulan Mei tahun depan. Dengan kata
lain, kamu baru bisa bertemu lagi dengannya setelah kamu sudah duduk di bangku
kelas 3. Festival Budaya, turnamen Bola, semua itu akan terjadi tanpa kehadiran
Machika.”
Dia menjelaskannya dengan suara
tenang, meninggalkan detail penting. Rasanya seperti akhirnya aku melihat
gambaran yang lebih besar.
“Umm, tapi, mengapa ... dan
juga, dia akan pergi hari ini?!”
“Kupikir
dia sengaja menyembunyikannya darimu. Dia juga tidak pernah memberitahu teman
sekelasnya.”
“Ke-Kenapa dia tidak
memberitahuku?”
“Hanya
Machika yang tahu alasannya! Kupikir kamu sudah mengetahui itu, Tsuyoshi!”
Ketika aku menelusuri kembali
ingatanku, aku bisa melihat beberapa tanda di sana-sini. Ekspresinya yang
tampak kesakitan, ragu-ragu, dan sedih seolah-olah akan menangis kapan saja.
Jadi itu semua mengisyaratkan kepergiannya, ya.
“Tsuyoshi.
Kamu harus datang ke sini untuk mengantar keberangkatannya. Dia tampak seperti
dia mulai menangis kapan saja.”
“Apa kamu sedang bersamanya
sekarang?”
“Ya.
Di Bandara.”
“Bisakah aku berbicara
padanya?”
Nishida-san setuju dan suaranya
terdengar lebih jauh. Ketika aku fokus pada kebisingan samar di latar belakang,
aku mendengar Sako-san mengatakan 'Aku
enggak mau,” tetapi Nishida-san masih berusaha memaksanya. Percakapan
mereka berlanjut selama beberapa saat sampai aku mendengar suara jernih
Sako-san.
“Ya,
ini Sako.”
“Di sini Tsuyoshi. Apa kamu
punya waktu sebentar?”
“Aku
agak jauh dari yang lain, jadi tidak apa-apa.”
“Aku mengerti ... jadi kamu
bersama keluargamu sekarang?”
“Ya…”
Aku bisa tahu melalui telepon
bahwa dia gugup. Hal-hal yang ingin aku katakan, hal-hal yang ingin aku minta
maaf, semua hal ini memenuhi kepalaku, tetapi ada satu hal yang perlu aku
tanyakan sebelum itu.
“Kenapa kamu tidak
memberitahuku apa-apa mengenai kamu yang pergi ke luar negeri?”
Sako-san menarik napas
dalam-dalam, hampir seolah-olah dia bisa menebak apa yang akan kukatakan.
"Hari
itu pada bulan Juni ketika aku menyatakan perasaanku kepadamu ... itu
sebenarnya hari di mana aku belajar di luar negeri sudah diputuskan. Menyadari
bahwa aku hanya memiliki dua bulan lagi dengan semua orang, aku jadi merasa panik
dan menyatakan perasaanku karena terbawa suasana.”
“Itu sebabnya pernyataanmu
begitu mendadak, ya ...”
Sejak Sako-san dan aku nyaris
tidak berbicara sebelum hari itu, pengakuannya benar-benar membuatku terkejut.
Itu karena dia punya alasan untuk menembakku seperti itu.
“Tapi
saat itu, aku tidak bisa memberitahumu. Aku tidak bisa memintamu untuk
berpacaran denganku karena aku hanya memiliki waktu dua bulan lagi.”
“Mengapa? Padahal kamu bisa
saja memberitahuku...”
“Dengan
asumsi kalau aku akan menembak dengan alasan seperti itu, apa kamu masih bisa
menolakku? Mengetahui bahwa aku hanya memiliki dua bulan lagi, kamu mungkin
akan setuju untuk berpacaran denganku meskipun kamu tidak menyukaiku sama
sekali, bukan?”
Aku tidak bisa membantah
perkataannya. Sebaliknya, aku bisa dengan mudah membayangkan diriku akan
melakukan itu.
“Kurasa aku memang tidak bisa
menolakmu.”
“Sudah
kuduga. Itu sebabnya aku tidak ingin memberitahumu. Aku yakin kalau berpacaran
dengan seseorang yang tidak kamu pedulikan hanya melelahkan bagimu, dan aku
ingin kamu benar-benar menyukaiku dari lubuk hatimu.”
Aku biasanya tipe orang yang
tidak ingin berkencan dengan seseorang dengan perasaan yang tidak jelas. Itu
sebabnya aku tidak bisa menyalahkan Sako-san karena menyembunyikan ini dariku.
“Aku
minta maaf karena aku tiba-tiba bertindak begitu manja pada hari kamu datang
untuk mengunjungiku. Tubuh dan pikiranku lemah karena demam, dan aku
benar-benar ketakutan dan takut belajar di luar negeri. Tolong lupakan itu.”
Aku tidak bisa melihat wajah
Sako-san sekarang, tapi aku yakin dia memaksakan diri untuk tersenyum seperti
biasa. Dan saat itulah aku menyadari sesuatu. Dia tidak pernah langsung
mengungkiy belajar di luar negeri. Dia hanya menggunakan kata-kata 'takut' atau 'kesepian'. Aku ingat Michihiko-san mengatakan dia mungkin memaksa
Sako-san menjadi sesuatu yang tidak ingin dia lakukan. Mungkin ini terkait
dengan pembelajarannya di luar negeri? Sako-san terlalu baik dan
sungguh-sungguh untuk kebaikannya sendiri. Hal tersebut takkan aneh baginya
untuk setuju.
“Kamu ingin belajar di luar
negeri, kan? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin pergi, ya?”
Aku ingin dia menegaskannya
segera. Namun, hanya keheningan yang kembali.
“Sako-san ...?”
“Kamu
memiliki keyakinan yang kuat, Tsuyoshi-kun. Kamu mulai melakukan pekerjaan
lain-lain untuk mengubah dirimu ... Itu sebabnya aku jatuh cinta padamu. Itu
adalah sifat yang tidak aku miliki.” Suara Sako-san terdengar serak, melanjutkan dengan suara yang
sesenggukan. “Jika aku bisa berkata jujur
dengan apa yang aku inginkan, hal semacam ini mungkin tidak pernah terjadi ...”
Aku merasakan dorongan untuk
melakukan sesuatu. Pada tingkat ini, Sako-san akan dipenuhi dengan kemalangan.
“Kapan kamu berangkat?”
“Jadwal
penerbangannya dimulai pukul 4 sore ...”
Bagus, masih ada cukup waktu.
“Aku sedang dalam perjalanan.
Tunggu aku di sana.”
'Apa-'
Aku mengakhiri panggilan dan
berdiri. Aku memakai apa pun yang bisa aku temukan, dan mengisi minimal dari
apapun yang aku butuhkan ke dalam tasku. Aku memeriksa rute terdekat ke bandara
dengan ponselku, mengenakan sepatu, dan berlari keluar dari pintu masuk. Karena
aku baru saja meninggalkan kamar dinginku dan menuju panasnya matahari yang
terik, kepalaku terasa sedikit pening. Di kejauhan, aku melihat udara bergetar.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berlari sekuat tenaga. Aku harus pergi ke tempat
Sako-san secepat mungkin.
Setelah beberapa menit berlari,
aku mencapai stasiun kereta terdekat dengan keringat yang bercucuran. Saat
melodi kereta tiba dimainkan, aku segera melompat masuk. Bagian dalamnya terasa
dingin karena A/C, memungkinkan tubuh panasku yang terbakar untuk bersantai dan
menyegarkan diri. Ketika aku duduk di kursi kosong, aku diizinkan bernapas
dengan baik.
Aku secara refleks meninggalkan
rumahku. Tapi, aku yakin aku membuat pilihan yang tepat. Sako-san ditahan oleh
kepribadiannya, dan tidak bisa mengatakan apa yang diinginkannya. Itu sebabnya
dia tidak mengatakan tidak ketika Michihiko-san menyuruhnya belajar di luar
negeri. Ini hanya dugaanku, tapi Michihiko-san mungkin menyesal karena sudah memaksanya
juga. Tetapi selama Sako-san tidak mengatakan dia tidak ingin pergi, beliau
juga tidak akan menariknya kembali.
Pada akhirnya, tidak ada
seorang pun yang ingin Sako-san untuk pergi ke luar negeri. Dan hanya aku
satu-satunya yang menyadarinya. Tentu saja, aku tidak tahu apakah aku bahkan
dapat mencapai sesuatu dengan bergegas ke sisi Sako-san. Tapi meski begitu,
tubuhku memberitahuku untuk pergi ke sana tidak peduli apapun yang terjadi.
Melihat ke luar jendela kereta, aku melihat pemandangan distrik perumahan
dengan cepat lewat. Dan meski begitu, kecepatan ini masih terasa terlalu lambat
untukku. Sambil membuat tekadku, aku mengubah postur badanku di kursi.
Sesampainya di perhentian
terakhir, aku segera menerobos kedua pintu terbuka. Aku berlari sesuai dengan
apa yang Navi katakan kepadaku, dan meskipun aku harus membuatnya tepat waktu, aku
tidak bisa menyia-nyiakan. Bawah tanah terasa seperti labirin, tetapi tidak ada
masalah selama aku mengikuti urutan di dalam.
Aku melihat pemberhentianku
bertujuan, menatap Navigasi lagi. Ada beberapa tempat lain yang perlu diambil,
jadi aku tidak bisa salah di sini. Aku membandingkan nama di ponselku dan di
papan elektronik. Aku dekat dengan kereta berangkat. Aku mendengar pengumuman
datang dari tangga. Harus bergegas ... tapi begitu aku henda naik, seseorang
meraih pundakku.
“Hei, dasar bego. Bukan ke situ
arahnya.”
“Takumi?! Kenapa kamu…”
Takumi mengenakan pakaian
olahraga, terengah-engah. Sepertinya dia sedang mencariku.
“Ada banyak hal yang terjadi
... Pokoknya, kamu ingin pergi ke bandara, kan? Ikuti aku.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Nishida memanggilku. Ayo, kita
akan naik kereta.”
“Baiklah.”
Aku mendengarkan perintah
Takumi dan melompat ke kereta yang tiba. Tepat setelah kami berangkat, Takumi
membuka mulutnya.
“Kurasa ini adalah hukumanku.”
Dia memegang pegangan gantung saat ia melanjutkan. “Pagi ini, Nishida
memarahiku habis-habisan dengan mengatakan kalau aku memengaruhimu dengan cara
yang aneh.” Takumi mencoba meniru nada nishida-san yang membuatku tertawa.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti
mengapa dia akan memarahimu.”
“Kamu mencoba menjadi seorang
cowok yang layak untuk Sako, kan?”
“Err, ya?”
“Kupikir itu motivasi yang
bagus, itulah sebabnya aku memberi Kamu nasihat. Tapi kamu tahu…”
Aku mulai menebak apa yang
ingin dikatakan Takumi.
“Aku baik-baik saja dengan
diriku yang sekarang, kan?”
“Serius, kamu akhirnya
menyadarinya?”
Aku telah mencapai jawaban itu.
Ketika aku baru saja berbicara dengan Sako-san di telepon, aku mendapat lebih
dari cukup petunjuk.
“Sako-san memberitahuku alasan
dia jatuh cinta padaku. Aku selalu berpikir aku adalah orang biasa yang tidak
menonjol dengan cara apa pun, tetapi Sako-san tidak pernah merasa seperti itu.”
“Jika dia melakukan itu, dia
pasti takkan menembakmu, ya.”
Aku mencoba mengubah diri sendiri
demi Sako-san, tetapi dia tidak menginginkannya. Jika ada, dia lebih menyukai
diriku yang dulu. Takumi tampaknya mencapai kesimpulan yang sama, menunjukkan
ekspresi minta maaf.
“Itu sebabnya Nishida
memaki-makiku. Mengatakan bahwa kamu baik-baik saja dengan cara sebelumnya dan
bahwa aku seharusnya tidak membuat segalanya lebih rumit. Saat itulah aku
menyadari bahwa aku telah mengacaukan sesuatu. Kamu tidak perlu mengubah diri
sendiri, dan aku seharusnya tidak memberimu saran kencan. Aku tidak memprioritaskan
perasaanmu.”
Takumi tampak cukup sedih,
bahkan ke titik punggungnya tampak seperti meringkuk.
“Jika tidak untuk waktu seperti
ini, aku pasti tidak akan mengatakannya, tapi aku benar-benar berpikir kamu
pria yang hebat, Tsuyoshi. Aku bisa membayangkan mengapa Sako mulai menyukaimu,
dan kamu tidak pernah membutuhkan perubahan. Itu sebabnya ini semua padaku.
Lupakan semua yang kukatakan.” Takumi benar-benar tampak depresi.
Jika tidak, mana mungkin ia
akan mengawalku sampai ke bandara. Tapi aku tidak berpikir bahwa semua
nasihatnya itu tidak ada gunanya.
“Ada sesuatu yang aku sadari
berkadt dirimu juga, Takumi. Beberapa waktu yang lalu, kamu mengatakan bahwa
akumulasi upaya bisa berubah menjadi percaya diri, bukan?”
“... Ya, tentu saja.”
Beberapa saat yang lalu,
Sako-san berkata bahwa bagian diriku lah yang membuat Sako-san jatuh cinta
padaku. Aku sebenarnya memiliki sesuatu yang istimewa tentang diriku tanpa
kusadari, dan itulah sebabnya Sako-san mengarahkan kasih sayang padaku. Bahkan
Takumi berkata dia pikir aku pria yang baik. Itu sebabnya ...
“Menyadari bahwa seseorang
mengagumi semua yang telah aku lakukan sampai saat ini, aku bisa menghadap ke
depan. Aku dapat menyebut perasaanku ini pada saat ini kepercayaan diri, aku
yakin itu.”
“Tsuyoshi, kamu ...”
“Jika kamu tidak memberitahuku
tentang itu, kurasa aku takkan merasakan seperti ini sekarang. Jadi terima
kasih.”
Aku akhirnya memahami perasaan
percaya diri pada diriku sendiri. Bukannya aku tiba-tiba berubah dari ulat
menjadi kupu-kupu yang indah, tapi aku setidaknya bisa menerima semua yang
telah aku lakukan sebagai sesuatu yang baik tentang diriku sendiri.
“Dan karena kamu percaya diri
sekarang ... kamu akan menyatakan perasaanmu ke Sako, ‘kan?”
“Menyatakan perasaanku, ya ...
mungkin, tapi aku hanya berpikir tentang bagaimana menghentikannya pergi ke
luar negeri.”
Takumi menatapku seolah-olah ia
sedang melihat hantu.
“Kamu serius? Memangnya itu bahkan
sesuatu yang bisa kamu lakukan?”
“Aku punya beberpa ide, tapi
tidak tahu apa itu akan berhasil atau tidak.”
“Tapi kamu masih akan
mencobanya, ‘kan?”
"Bahkan jika Sako-san
pergi ke luar negeri, tidak ada yang akan bahagia. Dia jelas-jelas tidak mau
pergi, jadi aku akan melakukan apapun yang aku bisa.”
“Begitu ya. Tindakan itu sangat
menggambarkanmu, jadi lakukan yang terbaik.”
Aku sendiri menyadari kalau
peluangku di sini sangatlah kecil. Tapi demi Sako-san, aku akan melakukan
apapun yang aku bisa. Pengumuman kereta mencapai telingaku, dan menarikku
kembali ke kenyataan. Kami semakin dekat dengan tujuan kami. Takumi memeriksa
rute dengan ponselnya, lalu ia mengibaskan rambutnya saat berbicara.
“Hei, Tsuyoshi. Hari ini mengatakan
beberapa hal yang sangat jauh dari sifatku yang biasanya, jadi lupakan saja.”
Jarang-jarang melihat Takumi yang
selalu berwajah asam, menunjukkan ekspresi malu-malunya.
“Yah, kurasa aku tidak bisa.
Hal tersebut membuatku sadar bahwa kamu pria yang hebat, Takumi.”
“Berisik. Aku harap kamu
ditolak oleh Sako.”
“Apa kamu benar-benar kepengen
aku khawatir dengan ramalan itu?!”
Takumi mendengus. Itu adalah
komentar yang kejam, tetapi sangat menggambarkan sifat Takumi, jadi aku merasa
lega. Setiap kali dirinya terlalu jujur, aku benar-benar tidak bisa bersantai.
Selama sisa perjalanan kereta, kami tidak mengatakan apa-apa, dana hanya
menunggu tujuan kami tiba.
Setelah turun dari kereta,
Takumi dan aku berpisah. Ia membariyahu kalau dirinya hanya memandu arah saja,
dan aku mempercayainya. Setelah bertanya Nishida-san, dia menyebutkan bahwa
Sako-san dan keluarganya sedang menunggu di lobi untuk rute penerbangan
internasional. Kali ini aku melihat dengan baik di peta dan berlari melalui
dinding. Akhirnya, aku sampai di lobi yang dimaksud.
Di bangku-bangku yang terletak di
sudut lobi, aku melihat empat wajah yang akrab. Sako-san, Michihiko-san,
Meiko-san, dan Nishida-san. Tas Boston besar berdiri di depan bangku. Apa yang
akan aku lakukan mungkin tidak lain adalah campur tangan orang luar. Kupikir
aku sudah membulatkan tekad, tetapi aku tidak berani melakngkah kakiku lebih
jauh. Namun, jika aku tidak melakukan apa-apa di sini, Sako-san akan menderita.
Itu sebabnya aku takkan menahan diri lagi. Aku mendekati bangku mereka, dimana
Nishida-san melihatku.
“Tsuyoshi!”
Ketiga orang lainnya juga
berbalik ke arahku, bersamaan dengan wajah Sako-san pucat seperti salju.
“Um, sudah lama tidak
ketemu...”
Ketika tatapan mataku bertemu dengan
Sako-san, dia justru memalingkan wajahnya. Meiko-san adalah orang yang
mengambil langkah ke arahku.
“Astaga, Tsuyoshi-kun. Sepertinya
Machika tidak memberitahumu tentang ini, ya. Aku pasti akan memberitahumu jika aku
tahu ...” Meiko-san menunjukkan ekspresi minta maaf.
“Tidak, aku tidak keberatan
sama sekali. Kupikir itu hal yang tidak bisa dihindari.”
Di sinilah semuanya dimulai. Aku
tidak bisa membuang waktu dengan pembicaraan basa-basi, jadi aku segera
beraksi. Aku berbicara dengan suara lembut sebentar, dan bertanya kepada
Meiko-san.
"Permisi, tapi bisakah aku
punya waktu bersama Machika-san? Aku tidak ingin mencuri waktu beberapa menit
terakhirmu dengannya, tetapi ...”
Sambil mengatakan itu, aku
melirik sekilas ke arah Michihiko-san, yang memiliki wajah tanpa ekspresi.
Karena ia mengirim Sako-san untuk belajar di luar negeri tanpa alasan kuat, keadaan
mentalnya bisa terlihat jelas di luar. Meiko-san masih tersenyum seperti biasa,
jadi sulit untuk menebak bagaimana perasaannya.
“Ya, tentu saja. Selama itu
tidak terlalu memakan waktu.”
“Terima kasih banyak. Kami akan
segera kembali.”
Sako-san tidak berpartisipasi
dalam percakapan kami sama sekali, dia hanya terus menunduk ke bawah.
“Ayo, Machika. Tsuyoshi-kun
datang untukmu, jadi setidaknya berbicara dengannya sebentar.”
“Baiklah…”
Setelah punggungnya didorong
oleh Meiko-san, Sako-san pun mulai berdiri. Ekspresinya muramnya masih terlihat
jelas seperti sebelumnya.
“Kami akan pergi ke dek
penglihatan di lantai lima. Kami akan kembali antara sepuluh dan dua puluh
menit.”
Aku membungkuk kepada orang tua
Sako-san dan mengajak Sako-san bersamaku. Sementara aku berjalan bersamanya, aku
mendengar suara tajam Nishida-san di belakangku, dan memberiku peringatan.
“Jangan coba-coba membuatnya
menangis.”
Aku tahu itu. Aku sudah gagal
berkali-kali sampai saat ini, aku datang ke sini untuk menebus semuanya. Aku
tidak berencana membuatnya menangis. Kami berhenti di depan lift ketika
Sako-san bergumam sesuatu dengan wajah tertunduk.
“... Aku tidak ingin kamu
datang ke sini. Itu hanya akan membuat segalanya lebih menyakitkan.”
“Maaf, tapi ada hal-hal yang
perlu aku katakan atau kita berdua akan berpisah dengan penuh penyesalan.”
Lampu di lift menyala, dan
pintu pun terbuka. Aku melangkah ke dalam, dengan Sako-san mengikutiku
diam-diam.
Di area dek pengawasan, tidak
ada yang melindungi kami dari tiupan angin, jadi kami ditabrak angin konstan.
Ketika melihat di balik pagar, aku bisa melihat beberapa pesawat yang siaga
atau bahkan sedang naik ke udara. Aku membimbing Sako-san ke bangku di
bayang-bayang dan duduk di sebelahnya. Alasan mengapa semua ini bisa terjadi
meskipun Sako-san tidak ingin itu cukup sederhana.
Michihiko-san menyarankan ini
tanpa memikirkannya, dan Sako-san jelas-jelas tidak tertarik dengan hal
tersebut, tetapi masih setuju agar tidak mengecewakan orang tuanya. Semakin
banyak waktu berlangsung, semakin banyak keinginan Sako-san untuk tidak belajar
di luar negeri tumbuh. Namun, begitu dia menyetujui sesuatu, Sako-san tidak
bisa menentang perkataannya sendiri. Dan karena itu yang terjadi, Michihiko-san
tidak menarik kembali seluruh usulannya. Dengan segala sesuatunya menjadi
semakin rumit, hari keberangkatannya pun mulai tiba.
Pada hari di mana aku pergi
menjenguk Sako-san, Michihiko-san dan Meiko-san sama-sama mengatakan mereka
ingin memberikan beberapa keegoisan Sako-san untuk sekali. Jika keegoisan ini
juga mencakup seluruh cobaan ini, maka sangat mungkin untuk membatalkan semuanya.
Jika Sako-san berani mengatakan kalau dirinya tidak ingin pergi, maka kami
mungkin bisa menyelesaikan situasi ini sepenuhnya. Jadi tugasku yang sekarang
ialah memaksa keluar sifat keegoisan Sako-san.
Apa syarat supaya dia bia
menjadi seperti itu? Aku sudah menerima jawabannya dari Meiko-san. Jika itu
melibatkan cintanya, dia bisa menjadi egois. Aku juga berpikir itu ada benarnya.
Setiap kali Sako-san bersamaku, dia tergila-gila dengan perasaan romantisnya,
dan dia terus menunjukkan padaku sisi egoisnya. Jika itu masalahnya, hanya ada
satu hal yang harus kulakukan. Yaitu untuk memberi tahu Sako-san tentang semua
perasaanku untuknya.
“Kamu mungkin sudah
menyadarinya, tapi aku ingin menjadi pria yang layak bagimu, Sako-san. Itu
sebabnya aku ingin menjadi lebih percaya diri, dan bekerja keras dengan belajarku
serta melakukan yang terbaik dalam memandu kencan….”
Sako-san tidak mengatakan
apa-apa. Tapi aku percaya kalau dia masih mendengarkanku, jadi aku terus
melanjutkan.
“Tetapi karena kamu mengajariku
semua bagian baikku, aku mulai lebih sedikit tidak memedulikannya. Karena kamu
jatuh cinta padaku, aku bisa menyukainya.”
Sako-san menjaga kepalanya tetap
menggantung rendah, jadi aku memintanya untuk “Tolong angkat kepalamu.” Meskipun
dengan enggan, dia perlahan-lahan mengarahkan matanya padaku.
“Jika berbicara secara
objektif, kupikir kita berdua bukanlah pasangan yang seasi. Tetapi karena kamu
memberiku kepercayaan diri, aku berhenti mencemaskan hal semacam itu.”
Aku sudah menderita hal itu sepanjang
waktu ini, tidak memiliki kepercayaan diri. Namun, perasaan kasih sayang
Sako-san menyelamatkanku. Itu sebabnya aku ingin membalas budi kepadanya.
Tatapanku salng bertemu dengan Sako-san, dan aku menegaskan kembali bahwa
perasaan kami sama. Setelah festival musim panas, aku berjanji kalau aku akan
menyatakan perasaanku jika kencan berikutnya berjalan dengan baik, tapi aku
tidak memiliki waktu luang untuk khawatir tentang waktu dan situasi. Jika aku
akan memberitahunya, itu harus di sini dan sekarang. Aku menarik napas
dalam-dalam dan mengambil keputusan.
“Aku
menyukaimu, Sako-san. Entah kamu gadis yang sempurna atau tidak, aku tetap menyukaimu
apa adanya.”
Mata Sako-san terbuka lebar
karena dia menahan napas. Namun, wajahnya segera dipenuhi dengan rasa sakit, karena
butiran air mata besar mulai di sudut matanya.
“Knapa! Kita harus mengucapkan
selamat tinggal hari ini, jadi tidak ada artinya jika kamu memberitahuku
sekarang ...! “
Dia menekan telapak tangannya
di matanya, tetapi air matanya tidak mau berhenti mengalir. Aku dengan panik
melambaikan tangan.
“Kamu salah. Ini bukan
perpisahan kita. Apa kamu masih ingat dengan janji kita kemarin? Janji kalau
kita akan pergi ke festival musim panas lainnya pada akhir pekan depan.”
“Hah…?” Sako-san menjauhkan
tangannya dari wajahnya, matanya terbuka lebar ketika dia menatapku.
“Aku tidak bisa menemukan
festival musim panas di lingkungan terdekat, tetapi setidaknya akan ada kembang
api, jadi mari kita pergi ke sana bersama.”
“Kita tidak bisa! Aku pergi ke
luar negeri hari ini, jadi kita harus menunggu sampai tahun depan ...”
“Aku tidak akan membiarkanmu
menunggu selama itu. Karena ... Aku akhirnya mengerti apa yang harus aku
lakukan.”
Sampai pada titik ini, hubungan
kami dipenuhi penyimpangan, selalu selangkah terpisah tidak peduli apapun yang
kami lakukan. Tapi sekarang, kami harus bisa mencapai sesuatu yang asli. Jadi
sekarang, aku tidak bisa melepaskan tangan Sako-san apa pun yang terjadi.
“Ayo pergi bersama-sama minggu
depan. Sebagai sepasang kekasih.”
Ketika aku mengatakan itu
kepadanya, Sako-san mulai menangis menjadi-jadi.
“Aku ingin ... Aku ingin pergi!
Tapi ... Aku akan pergi hari ini ... meskipun aku tidak ingin pergi ...! “
Saat dia menjadi emosional, aku
muli melihat kesempatanku. Dia akhirnya mengungkapkan perasaan jujurnya untuk
tidak mau pergi.
“Kalau begitu mari kita bicarakan
dengan orang tua mu, dan kamu harus memberitahu mereka hal itu. Jika kamu
mengatakan dengan jujur kepada mereka mengenai perasaanmu, mereka pasti bisa
memahaminya.”
“... Aku tidak bisa. Aku takkan
pernah jujur dengan apa yang aku inginkan. Mana mungkin aku
bisa memberitahu mereka bahwa aku tidak ingin pergi ...! "
“Setidaknya beri tahu mereka.
Jika tidak, kita takkan bisa pergi untuk melihat pertunjukan kembang api.”
“Itu masih mustahil ...! Aku
tidak pernah berhasil menjadi seegois itu!”
Rasanya seolah-olah seperti
bendungannya pecah. Dia membuang semua pemikiran logis, hanya meratapi
semuanya. Ini gawat, jika terus begini, dia akan berakhir menjadi terlalu keras
kepala . Aku dengan panik mencari kata-kata sempurna untuk memberikan Sako-san,
mencari percakapan apa pun di pikiranku.
“Aku
ingin menjadi orang yang mirip seperti Sako-san.”
“Aku
ingin menjadi orang yang mirip seperti Tsuyoshi-kun.”
Sako-san memiliki sesuatu yang
tidak aku punya, dan aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Sako-san.
Begitulah cara kami mulai tertarik satu sama lain. Saat aku menyadari hal
tersebut, aku meraih bahu Sako-san dan mengguncang tubuhnya.
“Aku berhasil mengubah diriku
sendiri. Aku mengagumimu, ingin menjadi sepertimu, dan aku sekarang memiliki
kepercayaan diri untuk berdiri di sampingmu. Jadi—” Aku menaruh tenaga ke dalam
cengkeramanku. “Kamu juga bisa melakukannya, Sako-san. Kamu bisa mengubah dirimu
juga.”
Mana mungkin Sako-san tidak
bisa melakukan apa yang berhasil aku capai. Dia harusnya bisa menyingkirkan
sikap penurutnya. Tatapan matanya bergetar.
“Apa aku ... apa aku
benar-benar bisa melakukan itu ...?”
“Tentu saja bisa. Karena aku
sendiri berhasil melakukannya.”
Aku sadar bahwa itu adalah metode
yang kuat. Tetapi aku percaya itu adalah kata-kata terbaik untuk memberikan
keberanian kepada Sako-san.
“…Begitu ya. Kamu benar. Kamu
bisa melakukannya ... “
Sako-san merenungi perkataanku
dan dengan erat-erat menyatukan bibirnya. Air matanya dengan cepat berhenti.
“Aku ingin menjadi seperti
Tsuyoshi-kun ...!” Dia mengangkat kepalanya, bertemu dengan tatapanku.
“Jadi maksudmu ...!”
“Aku akan bicara dengan Ayah.”
“Benarkah?!”
“Aku tidak tahu apakah itu akan
berhasil atau tidak, tapi ...”
Sako-san kelihatannya sudah
memutuskan. Ketika aku menghela nafas lega, Sako-san menatapku.
“…Boleh, ya?”
“Apanya yang boleh?”
Sako-san tidak mengatakan
sepatah kata pun dan hanya memeluk pinggangku, menekan dahinya ke dadaku.
“Ap-Apa...”
“…Aku minta maaf. Hanya sebentar
saja, oke? Aku membutuhkan tenaga demi bisa melakukannya.”
Pelukan mendadak ini hampir
membuat hatiku berhenti. Atau lebih tepatnya, aku cukup yakin itu berhenti
sejenak. Aku membalas pelukannya dengan lembut dan membelai kepalanya.
“Kamu sungguh luar biasa,
Tsuyoshi-kun. Selalu melakukan hal-hal yang tidak bisa aku lakukan ...” katanya
ketika menggosok kepalanya di dadaku. “Aku sudah berusaha mengubah diriku sejak
aku bertemu denganmu. Sampai pada titik ini, aku selalu mendengarkan Ayahku,
jadi kali ini, aku sudah membuat pilihan sendiri. Aku memiliki sesuatu yang
ingin aku lakukan ... itu sebabnya aku tidak bisa meninggalkan Jepang ...!”
“Syukurlah…”
“Sekarang kita sudah memutuskan
apa yang harus dilakukan, jadi kita harus melakukan segala sesuatu yang kita
bisa,” kata Sako-san saat menjauhkan badannya dariku.
Pada saat yang sama, dia
menggaruk pipinya dengan malu-malu.
“Hanya ... ada satu hal lagi
yang ingin aku pastikan sebelum kita berbicara dengan orang tuaku ... Kamu mau
berpacaran denganku, ‘kan?”
“Ya, itu sebabnya aku
menyatakan perasaanku padamu.”
“Jika aku bisa menghindari
pergi ke luar negeri, maukah kamu pergi bersamaku untuk menonton kembang api?”
“Tentu saja.”
“Jika seandainya aku tetap
pergi ke luar negeri, apa kamu bersedia menunggu sampai tahun depan? Kamu
takkan selingkuh, ‘kan?”
“Aku berjanji. Aku akan
memastikan untuk sering-sering meneleponmu.”
“Kalau begitu ... Apa kamu akan
menghargaiku bahkan jika aku berubah menjadi wanita tua yang lusuh?”
“Te-Tentu saja.”
Karena ruang lingkup pertanyaan
naik sepuluh level, aku ragu untuk menanggapinya. Namun, Sako-san memberiku
senyum menggoda.
“Hehe, aku hanya bercanda kok.
Aku takkan bertingkah kegatelan semacam itu.”
“Fiuhh...”
“Jadi, kamu akan menikahiku
begitu kita dewasa?”
“Ya.”
“Aku bercanda tentang itu, jadi
mengapa kamu memberikan tanggapan segera ...”
Dia menjebakku. Aku ingin
merangkak ke dalam lubang dan menghilang. Kami berdua sama-sama diam, membuat
suasananya menjadi semakin menakutkan. Meski demikian, aku bisa merasakan kehangatan
Sako-san tepat di sebelahku, jadi kurasa semuanya tidak terlalu buruk. Kami
melihat satu pesawat lepas lkamus ketika Sako-san berdiri.
“Aku sudah lebih baikan
sekarang, jadi aku harus pergi. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya, tetapi ada
baiknya bertaruh pada kesempatan.”
“Tidak apa-apa, jika kamu
berbicara dengan kata-katamu sendiri, perasaanmu pasti akan tersampaikan.”
Jika apa yang dikatakan Michihiko-san
dan Meiko-san itu benar, maka Sako-san tidak pernah memprioritaskan dirinya
sendiri. Dalam hal itu, dia akan membutuhkan banyak keberanian untuk memintanya
belajar di luar negeri untuk dibatalkan. Tapi meski begitu, dia tidak
menunjukkan keraguan di matanya.
“Kamu bisa melakukannya,
Sako-san.”
“Ya. Aku akan memperhatikanmu
di sisimu.”
Aku bangkit dari bangku
sendiri, dan kami berdua naik lift.
Sekembalinya kami, Meiko-san
memanggil Sako-san dengan senyum lembut.
“Apa kamu berhasil mengucapkan
selamat tinggal dengan baik?”
“Yah, tentang itu sebenarnya
...”
Tentu saja, Sako-san dan aku
tidak punya niat untuk mengucapkan selamat tinggal, jadi dia masih ragu-ragu.
Nishida-san adalah orang pertama yang menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh.
“Apa ada yang salah, Machika?”
“Umm, tidak juga, sungguh ...”
“Tap kelihatannya tidak seperti
itu. Matamu juga merah.”
“Ah, mana mungkin.”
Nishida-san memalingkan
kepalanya, memelototi wajahku dengan tajam.
“Tsuyoshi, dasar bajingan ...”
“Tunggu, tunggu, kamu mungkin
salah paham tenga sesuatu di sini
Oh ya, dia memang
memperingatkanku untuk tidak membuat Sako-san menangis.
“Machika apa yang terjadi?” Nishida-san berbalik ke arah Sako-san.
“Tepat sekali. Matamu kelihatan
merah. Apa kamu baik-baik saja?” Meiko-san juga bertanya.
Sako-san sementara
terhuyung-huyung mundur tetapi masih menjawab.
“Yah, sesuatu mungkin terjadi
...”
Tentu saja, Nishida-san segera
memberi tatapan tajam dengan silau kematian. Selain itu, bahkan Michihiko-san
mengirimiku tatapan yang meragukan. Keringat dingin mengalir deras di
punggungku. Aku tidak melakukan hal yang aneh, jadi tolong jangan melihatku
seperti itu. Aku memalingkan wajahku, tapi pandanganku justru bertemu dengan
Sako-san. Ekspresinya kaku, dan aku mulai ragu apakah dia benar-benar bisa
mengatakan apa yang diinginkannya. Aku menggerakkan mulutku untuk membentuk
kata-kata 'Kamu bisa melakukannya,' yang
mana dibalas dengan anggukan kepala.
“Maaf, ini bukan waktunya untuk
menjadi ambigu.” Sako-san menunjukkan tekad.
Dia berdiri di depan
Michihiko-san dan Meiko-san, menurunkan kepalanya dengan sudut 90 derajat.
“Aku punya permintaan seumur
hidup. Tolong, dengarkan aku, ibu, ayah.”
Meiko-san tampak terkejut,
ketika dia meletakkan satu tangan di mulutnya. Pada saat yang sama,
Michihiko-san menjaga wajah masamnya.
“Apa itu?” Ia bertanya.
“Aku tahu aku banyak meminta,
tapi tolong ... Aku tidak ingin belajar di luar negeri.”
Suaranya dipenuhi dengan
keyakinan. Dia berbicara dengan sangat jelas, aku hampir meragukan telingaku.
Nishida-san tampak sama, ketika dia menatap Sako-san dengan wajah kebingungan.
Namun, Michihiko-san tidak gagap.
“Machika, katakan padaku
alasanmu.”
Sako-san tampak seperti gelisah
sejenak, tetapi terus berbicara dengan suara yang kuat.
“... Sampai saat ini, aku
melakukan semua yang Ayah katakan padaku, dan aku tidak menyesalinya. Karena aku
buruk dalam memikirkan apa yang ingin kulakukan, aku bersenang-senang belajar
dan mengikuti jalan yang ayah bangun untuk u. Tapi, aku sudah selesai mengandalkan
ayah. Jika aku benar-benar belajar di luar negeri sekarang, aku mungkin takkan
pernah bisa menjadi mandiri.”
Baik Michihiko-san dan
Meiko-san mendengarkan Sako-san dalam keheningan.
“Aku benar-benar berterima
kasih kepada kalian berdua. Tapi ... Aku ingin memutuskan segalanya sendiri
mulai sekarang. Aku ingin memilih hal-hal yang ingin aku lakukan, serta hal-hal
yang tidak ingin aku lakukan. Biaya untuk membatalkan rencana ini mungkin
tinggi, tetapi aku akan bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang dan
menebusnya. Jadi tolong, aku mohon.”
Aku juga tahu bahwa membatalkan
rencana besar seperti itu pada hari yang sama sangatlah sulit. Tapi Sako-san
seharusnya tidak pergi, dan dia juga tidak mau. Itu sebabnya aku ingin membantu
dan mendukungnya.
“Sako-san bekerja sangat keras,
dan terus-menerus menunjukkan hasil untuk itu, jadi aku percaya dia harus
tinggal di Jepang. Kupikir kita semua akan mendapat manfaat lebih jika dia
tidak pergi ke luar negeri dan malah berusaha sepenuh hati di Jepang. Aku
benar-benar mengagumi Sako-san seperti itu, dan aku menghormatinya. Jadi
kumohon—” Aku juga sama-sama menundukkan kepalaku. “Apakah kalian bersedia
mempertimbangkan keegoisannya sekali ini?”
Mengikutiku, Sako-san juga
menurunkan kepalanya sekali lagi.
“Bu, Ayah, tolong.”
Waktu kami menunggu tanggapan
mereka terasa sangat lama. Mungkin beberapa detik atau seluruh menit.
“Perkataan yang bagus,
Machika,” kata Meiko-san sambil sesenggukan. “Ibu sudah menunggumu akhirnya berbicara
sendiri ….”
Ketika kami mendongak ke atas,
kami melihatnya menyeka matanya dengan sapu tangan.
“Jadi ... um ... Apa?” Sako-san
bingung.
“Ya, mari kita batalkan
rencanamu.”
Apa tidak masalah untuk
memutuskan itu dengan acuh tak acuh? Aku mengira bakalan ada lebih banyak
diskusi ... karena tidak dapat benar-benar memahami situasinya, aku melirik ke
arah Sako-san. Dia sama bingungnya denganku.
“Bu, kamu benar-benar bisa
menerimanya dengan mudah? Ini tentang belajar di luar negeri, bukan? Dan Ayah,
apa Ayah takkan keberatan dengan ini?”
Michihiko-san menyilangkan lengannya,
mengerutkan alisnya.
“Aku punya satu syarat. Jika kamu
menentang belajar di luar negeri, maka aku ingin kamu memikirkan rencana masa
depanmu mulai dari sini, dan—”
“Aku sudah memikirkannya.”
Punggung Sako-san membentang dengan lurus ketika dia menghadapi Michihiko-san. “Karena
itu adalah rencanaku untuk menjadi wakil presiden klub music tiup jika bukan
karena untuk belajar di luar negeri, aku berencana menarik semua orang dan menang
dalam kontes. Dan karena aku pikir itu membantu orang-orang seperti
Tsuyoshi-kun sangat keren, aku ingin bergabung dengan OSIS dan bekerja demi
orang lain. Aku juga ingin memutuskan universitas mana yang ingin aku masuki.
Sejauh ini, aku baru belajar demi itu, tetapi sekarang aku ingin memutuskan
masa depanku sendiri. Setelah itu——” Sako-san melirik ke arahku, pipinya
sedikit merah merona. “... Tidak, itu rahasia. Pokoknya! Aku punya banyak hal
yang ingin aku lakukan.”
Bahkan wajah asam Michihiko-san
langsung hancur saat dia meragukan telinganya. Aku tidak menyalahkannya. Aku
tidak menyangka kalau Sako-san memiliki begitu banyak hal yang ingin dia
lakukan. Kemajuannya begitu gila dalam waktu yang singkat. Namun, Sako-san
sendiri tidak sadar betapa besar perubahan ini sebenarnya, karena reaksinya
menunjukkan.
“Bu! Ibu terlalu cepat untuk
menerima ini! Menghentikan rencana pada hari keberangkatan hanya akan memberi mu
banyak masalah!”
"Aku selalu merasakan
sesuatu seperti ini mungkin terjadi. Tetapi karena Kamu tidak pernah mengatakan
kalau kamu sebenarnya tidak ingin belajar di luar negeri, jadi ibu cuma bisa
menunggu.”
“Ba-Bagaimana ibu bisa tahu?”
Michihiko-san lantas berbicara.
“Buku harianmu. Ibumu
menemukannya di kamarmu.”
“Sayang, itu seharusnya menjadi
rahasia ..."
“Bu-Buku harianku...?!”
Sako-san mulai bergetar.
“Um ... ibu minta maaf, ya?”
Wajah Sako-san berubah menjadi semerah
tomat, dan bahkan mencapai telinganya.
“I-Ibu...!”
“Tapi berkat itu, kami berhasil
menyadari sinyal SOS-mu. Itu sebabnya aku memastikan untuk memungkinkan
pembatalan yang lebih mudah. Jadi tolong maafkan ibu karena sudah melihat buku
harianmu, oke? Maafin ya?”
Sako-san menutupi wajahnya
dengan kedua tangannya, duduk tersungkur di atas bangku.
“... Sangat memalukan ... Aku
ingin mati saja...”
“Tapi ayahmu bekerja jauh lebih
keras. Dia berbicara tentang suatu kondisi dan yang lainnya, tapi aku yakin
kalau ayahmu lah yang paling ingin kamu tinggal. Benar begitu, ‘kan?”
Michihiko-san dengan cepat mengalihkan
wajahnya. Sepertinya ia hanya berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia sangat
peduli dengan Sako-san. Namun, Meiko-san belum selesai.
“Kamu tahu, ia segera menyesali
karena sudah menyarankanmu belajar di luar negeri. Dia mungkin tidak bisa terus
hidup jika kamu beneran pergi.”
Kedengarannya sangat mirip
dengan Michihiko-san yang aku kenal. Sako-san dengan cepat menjadi kesepian,
jadi keduanya serupa dalam hal itu. Meiko-san mendorong dadanya dan menghela
nafas.
“Aku dan ayahmu harus membahas
beberapa hal sehubungan dengan pembatalan sekarang, jadi bisakah kamu
menghabiskan waktu di tempat lain? Kamu juga tidak perlu khawatir tentang biaya
untuk pembatalannya.”
“Tapi akulah yang mengungkit
ini, jadi aku harus membantumu ...”
“Dengar, Machika, kamu tidak
pernah menyebabkan kita masalah, jadi biarkan orang tuamu ini yang mengurus
semuanya sekarang. Tolong?”
“Tapi…”
“Tidak ada tapi-tapian.”
Sako-san berusaha berdebat
dengan ibunya, tetapi Meiko-san membalasnya kembali dengan senyum. Itu adalah
senyum yang kuat yang memberi mu perasaan lega. Melihat betapa ngotot ibunya,
Sako-san hanya bisa menyerah.
“Oke ... Terima kasih, Bu.”
“Tidak apa-apa. Aku senang aku
akhirnya bisa melakukan sesuatu untukmu.” Meiko-san benar-benar tampak bahagia,
dan dengan lembut membelai kepala Sako-san yang tersenyum malu-malu.
Setelah dia selesai dengan itu,
Meiko-san memandang kami semua.
“Mari kita tinggalkan
pembicaraan tentang belajar di luar negeri untuk saat ini. Kamu dapat melihat bandara
dan meninggalkan sisanya kepada kami. Hal yang sama berlaku untukmu, Mayu-Chan.”
Nishida-san tidak bereaksi sama
sekali, dia hanya memelototi Meiko-san.
“Tante berbohong, iya ‘kan?”
“Err, apa ... yang sedang kamu
bicarakan?”
“Tante melihat buku harian
Machika, ‘kan?”
“Ah, um, yah ...” Meiko-san
mulai panik.
Kalau dipikir-pikir, mereka
berdua pernah membicarakan tentang buku harian ketika aku berkunjung.
“Buku harian yang dimaksud itu...
milik Sako-san, kan? Apa yang dia tulis di sana?”
“Kamu tidak perlu tahu.”
Nishida-san memberiku jawaban segera.
“Apa yang kamu bicarakan?”
Meiko-san berpura-pura polos.
“Sudah, tolong hentikan ...” wajah
Sako-san semakin memerah.
Semua reaksi mereka hanya
membuatku menjadi lebih penasaran. Aku tahu ini adalah item utama untuk
menghentikan kejadian ini, tetapi isinya adalah sebuah misteri. Meiko-san jelas-jelas
merasa gelisah ketika dia mendorong punggung kami.
“Ayolah, kalian bertiga bisa
pergi duluan!”
“Tante payah dalam berpura-pura
...” Nishida-san berkomentar.
“Bu, kamu yang terburuk ...”
“Sudah cukup! Kalian bisa pergi!”
Dia mendorong kami lebih jauh.
Tiba-tiba, aku mendengar suara hangat yang memanggil namaku. Aku berbalik dan
melihat Michihiko-san dengan kepalanya menggantung rendah.
“Tolong buat Machika bahagia.”
“Ah, ya, tentu saja.”
Aku memberikan respons yang
ambigu karena terbawa suasana saat ini, tetapi aku berpikir kalau hanya
mengangguknya adalah bukan pilihan yang tepat. Nah, terserah. Dengan buku
harian masih diselimuti misteri, kami berjalan menjauh dari area lobi. Sako-san
tampak dalam suasana hati yang hebat, berbicara dengan Nishida-san. Keberadaanku
hanya seperti obat nyamuk yang menyempil di antara mereka. Namun, Nishida-san secara
mendadak berbalik dan bertanya.
“Jadi, apa kalian berdua resmi
berpacaran sekarang?”
“Ah, ya, begitulah,” jawabku dengan
jujur ketika
Sako-san mulai panik.
“Ak-Aku berpikir untuk
merahasiakannya!”
“Benarkah? Kupikir tidak ada
salahnya untuk memberitahunya, maaf.”
“Aku sudah mendengarnya, jadi
aku akan merahasiakannya dari orang lain.”
“Terima kasih, Mayuko.”
“Omong-omong.” Nishida-san
berhenti berjalan. “Bukannya ini membuatmu ingin makan sesuatu yang manis?”
“Aku benar-benar paham banget.”
Sako-san setuju.
Mereka melihat toko suvenir di
kejauhan yang menjual es krim edisi terbatas.
“Baiklah, mari kita buat
Tsuyoshi mentraktir kita beberapa es krim.”
“Hah? Aku tidak berpikir kita
harus ...”
“Bukankah kamu bilang kamu akan
sedikit lebih terbuka tentang keinginanmu?”
“Oh iya!”
“Kamu harus belajar itu, jadi
mari kita mulai dari sini.”
“Kenapa malah kamu yang
memutuskan itu?!” Aku melempar ocehan yang diabaikan ketika Sako-san bergerak
di depanku.
“Tsuyoshi-kun.”
“Ya?”
“Aku ingin makan es krim!”
Ketika melihat senyumannya yang
berseri-seri, aku tidak dapat menyangkal permintaannya. Aku mengeluarkan dompetku,
dan Nishida-san menyeringai.
“Dan kamu pasti tidak punya
masalah untuk mentraktir sahabat pacarmu, ‘kan?”
“Iya, iya, aku sudah paham, ya ampun...”
“Machika! Cowok ini hebat
banget!”
“Benar, ‘kan? benar ‘kan?”
Sementara kami bertiga memulai
pesanan kami, aku berpikir untuk diri aku sendiri. Dia mungkin tidak sempurna,
tetapi Sako-san yang egois masih terlihat imut.
9 Agustus,
Buat ibu yang mungkin akan membaca
buku harian ini.
Terima kasih banyak untuk hari
ini.
Meskipun aku mungkin tidak bisa
memaafkanmu dalam waktu dekat.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya