Kanpeki no Sako-san Bab 13 Bahasa Indonesia

Bab 13

 

Di dalam ruangan remang-remang dengan tirai tertutup, hanya suara gemuruh A/C saja yang bisa didengar. Begitu banyak hal memenuhi kepalaku, yang paling terkait dengan Festival Musim Panas kemarin, bahwa aku hampir tidak bisa tidur. Aku terus-menerus berguling-guling di atas kasurku sepanjang malam. Setelah berguling satu kali lagi, aku mengambil smartphone yang sedang aku isi dayanya saat ini. Melihat bahwa tidak ada pesan baru yang ditampilkan di layar yang terkunci, aku menghela nafas.

Tumben-tumbennya, Sako-san tidak menghubungiku sama sekali sejak festival musim panas. Dia bahkan tidak membaca pesanku. Meskipun dia biasanya akan merespons dalam waktu satu jam jika dia bangun. Aku khawatir. Aku mungkin sudah melakukan sesuatu yang membuatnya membenciku. Mungkin dia jengkel padaku bahwa aku tidak menyadari kakinya terluka?

Jika demikian, satu-satunya hal yang bisa aku bayangkan adalah kecelakaan lalu lintas atau penyakit mendadak. Hal tersebut tidak sepenuhnya tak terpikirkan. Intinya, aku mengkhawatirkan tentang dia. Aku mengiriminya pesan 'jika ada sesuatu yang terjadi, maka tolong beri tahu aku’, dan menaruh smartphone-ku lagi. Saat ini, yang bisa aku lakukan adalah menunggu tanggapannya. Meski tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku hanya bisa berdoa agar masalah ini bisa diselesaikan pada waktunya.

Aku berguling sekali lagi, menutupi diriku dengan selimutku. Aku pikir aku bisa tidur lebih, dan karena aku masih lelah aku langsung merasakan kesadaranku melayang. Namun, sebelum aku benar-benar tertidur, aku mendengar nada dering dari smartphone-ku. Aku tidak ingat mengatur alarm. Apa ada seseorang meneleponku? Aku berbalik, melihat bahwa orang yang memanggilku Nishida-san. Aku tidak percaya itu suatu kebetulan, jadi aku melesat dari tempat tidurku.

“Halo, ini Tsuyoshi.”

“Kamu bahkan tidak mau mengantarnya?”

Suara Nishida-san ternyata dipenuhi dengan kemarahan, mencapai titik dia bahkan tidak menyebut dirinya.

“Um, apa ada yang salah?”

“Aku memberitahumu untuk mengantar Machika. Berani-beraninya kamu berpura-pura bego sekarang?”

Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia bicarakan. Aku hanya tahu bahwa ini terkait dengan Sako-san.

“Apa maksudmu dengan mengantarnya?”

“Apakah kamu lupa bahwa itu hari ini atau sesuatu?”

“Tidak, seriusan, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan ...”

Segera setelah aku mengatakan hal itu, Nishida-san menelan napasnya.

“... Jangan bilang, Machika tidak pernah memberitahumu tentang belajar di luar negeri?”

“Belajar ke luar negeri? …Apa?”

Apa maksudnya itu? Sako-san akan belajar di luar negeri? Tapi ... hah? Aku benar-benar bingung ketika Nishida-san menghela napas dengan nada tak percaya.

“Jadi begitu rupanya. Aku sepenuhnya memahaminya. Kurasa semuanya jadi masuk akal mengapa sikapmu terasa janggal sepanjang waktu ini.”

“Jika kamu memang paham, tolong jelaskan kepadaku ...”

Aku sama sekali tidak tahu menahu apa yang dia bicarakan. Pertama dan terutama, aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Sako-san dan belajar di luar negeri dengan apa pun.

“Biarkan aku minta maaf sebelumnya. Aku mendengar tentang semua yang terjadi kemarin. Aku pikir kamu adalah cowok yang brengsek, tetapi aku berada di bawah kesan yang salah.”

“Jadi ada sesuatu yang terjadi kemarin?”

Aku yakin sesuatu yang merepotkan terjadi di balik layar. Aku hanya mengetahuinya.

“Tenanglah dulu dan dengarkan aku, Tsuyoshi.” Kata Nishida-san.

“Ya.”

“... Machika akan pergi ke luar negeri untuk belajar di sana. Hari ini adalah hari keberangkatannya. Dia akan kembali pada bulan Mei tahun depan. Dengan kata lain, kamu baru bisa bertemu lagi dengannya setelah kamu sudah duduk di bangku kelas 3. Festival Budaya, turnamen Bola, semua itu akan terjadi tanpa kehadiran Machika.”

Dia menjelaskannya dengan suara tenang, meninggalkan detail penting. Rasanya seperti akhirnya aku melihat gambaran yang lebih besar.

“Umm, tapi, mengapa ... dan juga, dia akan pergi hari ini?!”

“Kupikir dia sengaja menyembunyikannya darimu. Dia juga tidak pernah memberitahu teman sekelasnya.”

“Ke-Kenapa dia tidak memberitahuku?”

“Hanya Machika yang tahu alasannya! Kupikir kamu sudah mengetahui itu, Tsuyoshi!”

Ketika aku menelusuri kembali ingatanku, aku bisa melihat beberapa tanda di sana-sini. Ekspresinya yang tampak kesakitan, ragu-ragu, dan sedih seolah-olah akan menangis kapan saja. Jadi itu semua mengisyaratkan kepergiannya, ya.

“Tsuyoshi. Kamu harus datang ke sini untuk mengantar keberangkatannya. Dia tampak seperti dia mulai menangis kapan saja.”

“Apa kamu sedang bersamanya sekarang?”

“Ya. Di Bandara.”

“Bisakah aku berbicara padanya?”

Nishida-san setuju dan suaranya terdengar lebih jauh. Ketika aku fokus pada kebisingan samar di latar belakang, aku mendengar Sako-san mengatakan 'Aku enggak mau,” tetapi Nishida-san masih berusaha memaksanya. Percakapan mereka berlanjut selama beberapa saat sampai aku mendengar suara jernih Sako-san.

“Ya, ini Sako.”

“Di sini Tsuyoshi. Apa kamu punya waktu sebentar?”

“Aku agak jauh dari yang lain, jadi tidak apa-apa.”

“Aku mengerti ... jadi kamu bersama keluargamu sekarang?”

“Ya…”

Aku bisa tahu melalui telepon bahwa dia gugup. Hal-hal yang ingin aku katakan, hal-hal yang ingin aku minta maaf, semua hal ini memenuhi kepalaku, tetapi ada satu hal yang perlu aku tanyakan sebelum itu.

“Kenapa kamu tidak memberitahuku apa-apa mengenai kamu yang pergi ke luar negeri?”

Sako-san menarik napas dalam-dalam, hampir seolah-olah dia bisa menebak apa yang akan kukatakan.

"Hari itu pada bulan Juni ketika aku menyatakan perasaanku kepadamu ... itu sebenarnya hari di mana aku belajar di luar negeri sudah diputuskan. Menyadari bahwa aku hanya memiliki dua bulan lagi dengan semua orang, aku jadi merasa panik dan menyatakan perasaanku karena terbawa suasana.”

“Itu sebabnya pernyataanmu begitu mendadak, ya ...”

Sejak Sako-san dan aku nyaris tidak berbicara sebelum hari itu, pengakuannya benar-benar membuatku terkejut. Itu karena dia punya alasan untuk menembakku seperti itu.

“Tapi saat itu, aku tidak bisa memberitahumu. Aku tidak bisa memintamu untuk berpacaran denganku karena aku hanya memiliki waktu dua bulan lagi.”

“Mengapa? Padahal kamu bisa saja memberitahuku...”

“Dengan asumsi kalau aku akan menembak dengan alasan seperti itu, apa kamu masih bisa menolakku? Mengetahui bahwa aku hanya memiliki dua bulan lagi, kamu mungkin akan setuju untuk berpacaran denganku meskipun kamu tidak menyukaiku sama sekali, bukan?”

Aku tidak bisa membantah perkataannya. Sebaliknya, aku bisa dengan mudah membayangkan diriku akan melakukan itu.

“Kurasa aku memang tidak bisa menolakmu.”

“Sudah kuduga. Itu sebabnya aku tidak ingin memberitahumu. Aku yakin kalau berpacaran dengan seseorang yang tidak kamu pedulikan hanya melelahkan bagimu, dan aku ingin kamu benar-benar menyukaiku dari lubuk hatimu.”

Aku biasanya tipe orang yang tidak ingin berkencan dengan seseorang dengan perasaan yang tidak jelas. Itu sebabnya aku tidak bisa menyalahkan Sako-san karena menyembunyikan ini dariku.

“Aku minta maaf karena aku tiba-tiba bertindak begitu manja pada hari kamu datang untuk mengunjungiku. Tubuh dan pikiranku lemah karena demam, dan aku benar-benar ketakutan dan takut belajar di luar negeri. Tolong lupakan itu.”

Aku tidak bisa melihat wajah Sako-san sekarang, tapi aku yakin dia memaksakan diri untuk tersenyum seperti biasa. Dan saat itulah aku menyadari sesuatu. Dia tidak pernah langsung mengungkiy belajar di luar negeri. Dia hanya menggunakan kata-kata 'takut' atau 'kesepian'. Aku ingat Michihiko-san mengatakan dia mungkin memaksa Sako-san menjadi sesuatu yang tidak ingin dia lakukan. Mungkin ini terkait dengan pembelajarannya di luar negeri? Sako-san terlalu baik dan sungguh-sungguh untuk kebaikannya sendiri. Hal tersebut takkan aneh baginya untuk setuju.

“Kamu ingin belajar di luar negeri, kan? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin pergi, ya?”

Aku ingin dia menegaskannya segera. Namun, hanya keheningan yang kembali.

“Sako-san ...?”

“Kamu memiliki keyakinan yang kuat, Tsuyoshi-kun. Kamu mulai melakukan pekerjaan lain-lain untuk mengubah dirimu ... Itu sebabnya aku jatuh cinta padamu. Itu adalah sifat yang tidak aku miliki.” Suara Sako-san terdengar serak, melanjutkan dengan suara yang sesenggukan. “Jika aku bisa berkata jujur dengan apa yang aku inginkan, hal semacam ini mungkin tidak pernah terjadi ...”

Aku merasakan dorongan untuk melakukan sesuatu. Pada tingkat ini, Sako-san akan dipenuhi dengan kemalangan.

“Kapan kamu berangkat?”

“Jadwal penerbangannya dimulai pukul 4 sore ...”

Bagus, masih ada cukup waktu.

“Aku sedang dalam perjalanan. Tunggu aku di sana.”

'Apa-'

Aku mengakhiri panggilan dan berdiri. Aku memakai apa pun yang bisa aku temukan, dan mengisi minimal dari apapun yang aku butuhkan ke dalam tasku. Aku memeriksa rute terdekat ke bandara dengan ponselku, mengenakan sepatu, dan berlari keluar dari pintu masuk. Karena aku baru saja meninggalkan kamar dinginku dan menuju panasnya matahari yang terik, kepalaku terasa sedikit pening. Di kejauhan, aku melihat udara bergetar. Aku menarik napas dalam-dalam dan berlari sekuat tenaga. Aku harus pergi ke tempat Sako-san secepat mungkin.

Setelah beberapa menit berlari, aku mencapai stasiun kereta terdekat dengan keringat yang bercucuran. Saat melodi kereta tiba dimainkan, aku segera melompat masuk. Bagian dalamnya terasa dingin karena A/C, memungkinkan tubuh panasku yang terbakar untuk bersantai dan menyegarkan diri. Ketika aku duduk di kursi kosong, aku diizinkan bernapas dengan baik.

Aku secara refleks meninggalkan rumahku. Tapi, aku yakin aku membuat pilihan yang tepat. Sako-san ditahan oleh kepribadiannya, dan tidak bisa mengatakan apa yang diinginkannya. Itu sebabnya dia tidak mengatakan tidak ketika Michihiko-san menyuruhnya belajar di luar negeri. Ini hanya dugaanku, tapi Michihiko-san mungkin menyesal karena sudah memaksanya juga. Tetapi selama Sako-san tidak mengatakan dia tidak ingin pergi, beliau juga tidak akan menariknya kembali.

Pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang ingin Sako-san untuk pergi ke luar negeri. Dan hanya aku satu-satunya yang menyadarinya. Tentu saja, aku tidak tahu apakah aku bahkan dapat mencapai sesuatu dengan bergegas ke sisi Sako-san. Tapi meski begitu, tubuhku memberitahuku untuk pergi ke sana tidak peduli apapun yang terjadi. Melihat ke luar jendela kereta, aku melihat pemandangan distrik perumahan dengan cepat lewat. Dan meski begitu, kecepatan ini masih terasa terlalu lambat untukku. Sambil membuat tekadku, aku mengubah postur badanku di kursi.

Sesampainya di perhentian terakhir, aku segera menerobos kedua pintu terbuka. Aku berlari sesuai dengan apa yang Navi katakan kepadaku, dan meskipun aku harus membuatnya tepat waktu, aku tidak bisa menyia-nyiakan. Bawah tanah terasa seperti labirin, tetapi tidak ada masalah selama aku mengikuti urutan di dalam.

Aku melihat pemberhentianku bertujuan, menatap Navigasi lagi. Ada beberapa tempat lain yang perlu diambil, jadi aku tidak bisa salah di sini. Aku membandingkan nama di ponselku dan di papan elektronik. Aku dekat dengan kereta berangkat. Aku mendengar pengumuman datang dari tangga. Harus bergegas ... tapi begitu aku henda naik, seseorang meraih pundakku.

“Hei, dasar bego. Bukan ke situ arahnya.”

“Takumi?! Kenapa kamu…”

Takumi mengenakan pakaian olahraga, terengah-engah. Sepertinya dia sedang mencariku.

“Ada banyak hal yang terjadi ... Pokoknya, kamu ingin pergi ke bandara, kan? Ikuti aku.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Nishida memanggilku. Ayo, kita akan naik kereta.”

“Baiklah.”

Aku mendengarkan perintah Takumi dan melompat ke kereta yang tiba. Tepat setelah kami berangkat, Takumi membuka mulutnya.

“Kurasa ini adalah hukumanku.” Dia memegang pegangan gantung saat ia melanjutkan. “Pagi ini, Nishida memarahiku habis-habisan dengan mengatakan kalau aku memengaruhimu dengan cara yang aneh.” Takumi mencoba meniru nada nishida-san yang membuatku tertawa.

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti mengapa dia akan memarahimu.”

“Kamu mencoba menjadi seorang cowok yang layak untuk Sako, kan?”

“Err, ya?”

“Kupikir itu motivasi yang bagus, itulah sebabnya aku memberi Kamu nasihat. Tapi kamu tahu…”

Aku mulai menebak apa yang ingin dikatakan Takumi.

“Aku baik-baik saja dengan diriku yang sekarang, kan?”

“Serius, kamu akhirnya menyadarinya?”

Aku telah mencapai jawaban itu. Ketika aku baru saja berbicara dengan Sako-san di telepon, aku mendapat lebih dari cukup petunjuk.

“Sako-san memberitahuku alasan dia jatuh cinta padaku. Aku selalu berpikir aku adalah orang biasa yang tidak menonjol dengan cara apa pun, tetapi Sako-san tidak pernah merasa seperti itu.”

“Jika dia melakukan itu, dia pasti takkan menembakmu, ya.”

Aku mencoba mengubah diri sendiri demi Sako-san, tetapi dia tidak menginginkannya. Jika ada, dia lebih menyukai diriku yang dulu. Takumi tampaknya mencapai kesimpulan yang sama, menunjukkan ekspresi minta maaf.

“Itu sebabnya Nishida memaki-makiku. Mengatakan bahwa kamu baik-baik saja dengan cara sebelumnya dan bahwa aku seharusnya tidak membuat segalanya lebih rumit. Saat itulah aku menyadari bahwa aku telah mengacaukan sesuatu. Kamu tidak perlu mengubah diri sendiri, dan aku seharusnya tidak memberimu saran kencan. Aku tidak memprioritaskan perasaanmu.”

Takumi tampak cukup sedih, bahkan ke titik punggungnya tampak seperti meringkuk.

“Jika tidak untuk waktu seperti ini, aku pasti tidak akan mengatakannya, tapi aku benar-benar berpikir kamu pria yang hebat, Tsuyoshi. Aku bisa membayangkan mengapa Sako mulai menyukaimu, dan kamu tidak pernah membutuhkan perubahan. Itu sebabnya ini semua padaku. Lupakan semua yang kukatakan.” Takumi benar-benar tampak depresi.

Jika tidak, mana mungkin ia akan mengawalku sampai ke bandara. Tapi aku tidak berpikir bahwa semua nasihatnya itu tidak ada gunanya.

“Ada sesuatu yang aku sadari berkadt dirimu juga, Takumi. Beberapa waktu yang lalu, kamu mengatakan bahwa akumulasi upaya bisa berubah menjadi percaya diri, bukan?”

“... Ya, tentu saja.”

Beberapa saat yang lalu, Sako-san berkata bahwa bagian diriku lah yang membuat Sako-san jatuh cinta padaku. Aku sebenarnya memiliki sesuatu yang istimewa tentang diriku tanpa kusadari, dan itulah sebabnya Sako-san mengarahkan kasih sayang padaku. Bahkan Takumi berkata dia pikir aku pria yang baik. Itu sebabnya ...

“Menyadari bahwa seseorang mengagumi semua yang telah aku lakukan sampai saat ini, aku bisa menghadap ke depan. Aku dapat menyebut perasaanku ini pada saat ini kepercayaan diri, aku yakin itu.”

“Tsuyoshi, kamu ...”

“Jika kamu tidak memberitahuku tentang itu, kurasa aku takkan merasakan seperti ini sekarang. Jadi terima kasih.”

Aku akhirnya memahami perasaan percaya diri pada diriku sendiri. Bukannya aku tiba-tiba berubah dari ulat menjadi kupu-kupu yang indah, tapi aku setidaknya bisa menerima semua yang telah aku lakukan sebagai sesuatu yang baik tentang diriku sendiri.

“Dan karena kamu percaya diri sekarang ... kamu akan menyatakan perasaanmu ke Sako, ‘kan?”

“Menyatakan perasaanku, ya ... mungkin, tapi aku hanya berpikir tentang bagaimana menghentikannya pergi ke luar negeri.”

Takumi menatapku seolah-olah ia sedang melihat hantu.

“Kamu serius? Memangnya itu bahkan sesuatu yang bisa kamu lakukan?”

“Aku punya beberpa ide, tapi tidak tahu apa itu akan berhasil atau tidak.”

“Tapi kamu masih akan mencobanya, ‘kan?”

"Bahkan jika Sako-san pergi ke luar negeri, tidak ada yang akan bahagia. Dia jelas-jelas tidak mau pergi, jadi aku akan melakukan apapun yang aku bisa.”

“Begitu ya. Tindakan itu sangat menggambarkanmu, jadi lakukan yang terbaik.”

Aku sendiri menyadari kalau peluangku di sini sangatlah kecil. Tapi demi Sako-san, aku akan melakukan apapun yang aku bisa. Pengumuman kereta mencapai telingaku, dan menarikku kembali ke kenyataan. Kami semakin dekat dengan tujuan kami. Takumi memeriksa rute dengan ponselnya, lalu ia mengibaskan rambutnya saat berbicara.

“Hei, Tsuyoshi. Hari ini mengatakan beberapa hal yang sangat jauh dari sifatku yang biasanya, jadi lupakan saja.”

Jarang-jarang melihat Takumi yang selalu berwajah asam, menunjukkan ekspresi malu-malunya.

“Yah, kurasa aku tidak bisa. Hal tersebut membuatku sadar bahwa kamu pria yang hebat, Takumi.”

“Berisik. Aku harap kamu ditolak oleh Sako.”

“Apa kamu benar-benar kepengen aku khawatir dengan ramalan itu?!”

Takumi mendengus. Itu adalah komentar yang kejam, tetapi sangat menggambarkan sifat Takumi, jadi aku merasa lega. Setiap kali dirinya terlalu jujur, aku benar-benar tidak bisa bersantai. Selama sisa perjalanan kereta, kami tidak mengatakan apa-apa, dana hanya menunggu tujuan kami tiba.

Setelah turun dari kereta, Takumi dan aku berpisah. Ia membariyahu kalau dirinya hanya memandu arah saja, dan aku mempercayainya. Setelah bertanya Nishida-san, dia menyebutkan bahwa Sako-san dan keluarganya sedang menunggu di lobi untuk rute penerbangan internasional. Kali ini aku melihat dengan baik di peta dan berlari melalui dinding. Akhirnya, aku sampai di lobi yang dimaksud.

Di bangku-bangku yang terletak di sudut lobi, aku melihat empat wajah yang akrab. Sako-san, Michihiko-san, Meiko-san, dan Nishida-san. Tas Boston besar berdiri di depan bangku. Apa yang akan aku lakukan mungkin tidak lain adalah campur tangan orang luar. Kupikir aku sudah membulatkan tekad, tetapi aku tidak berani melakngkah kakiku lebih jauh. Namun, jika aku tidak melakukan apa-apa di sini, Sako-san akan menderita. Itu sebabnya aku takkan menahan diri lagi. Aku mendekati bangku mereka, dimana Nishida-san melihatku.

“Tsuyoshi!”

Ketiga orang lainnya juga berbalik ke arahku, bersamaan dengan wajah Sako-san pucat seperti salju.

“Um, sudah lama tidak ketemu...”

Ketika tatapan mataku bertemu dengan Sako-san, dia justru memalingkan wajahnya. Meiko-san adalah orang yang mengambil langkah ke arahku.

“Astaga, Tsuyoshi-kun. Sepertinya Machika tidak memberitahumu tentang ini, ya. Aku pasti akan memberitahumu jika aku tahu ...” Meiko-san menunjukkan ekspresi minta maaf.

“Tidak, aku tidak keberatan sama sekali. Kupikir itu hal yang tidak bisa dihindari.”

Di sinilah semuanya dimulai. Aku tidak bisa membuang waktu dengan pembicaraan basa-basi, jadi aku segera beraksi. Aku berbicara dengan suara lembut sebentar, dan bertanya kepada Meiko-san.

"Permisi, tapi bisakah aku punya waktu bersama Machika-san? Aku tidak ingin mencuri waktu beberapa menit terakhirmu dengannya, tetapi ...”

Sambil mengatakan itu, aku melirik sekilas ke arah Michihiko-san, yang memiliki wajah tanpa ekspresi. Karena ia mengirim Sako-san untuk belajar di luar negeri tanpa alasan kuat, keadaan mentalnya bisa terlihat jelas di luar. Meiko-san masih tersenyum seperti biasa, jadi sulit untuk menebak bagaimana perasaannya.

“Ya, tentu saja. Selama itu tidak terlalu memakan waktu.”

“Terima kasih banyak. Kami akan segera kembali.”

Sako-san tidak berpartisipasi dalam percakapan kami sama sekali, dia hanya terus menunduk ke bawah.

“Ayo, Machika. Tsuyoshi-kun datang untukmu, jadi setidaknya berbicara dengannya sebentar.”

“Baiklah…”

Setelah punggungnya didorong oleh Meiko-san, Sako-san pun mulai berdiri. Ekspresinya muramnya masih terlihat jelas seperti sebelumnya.

“Kami akan pergi ke dek penglihatan di lantai lima. Kami akan kembali antara sepuluh dan dua puluh menit.”

Aku membungkuk kepada orang tua Sako-san dan mengajak Sako-san bersamaku. Sementara aku berjalan bersamanya, aku mendengar suara tajam Nishida-san di belakangku, dan memberiku peringatan.

“Jangan coba-coba membuatnya menangis.”

Aku tahu itu. Aku sudah gagal berkali-kali sampai saat ini, aku datang ke sini untuk menebus semuanya. Aku tidak berencana membuatnya menangis. Kami berhenti di depan lift ketika Sako-san bergumam sesuatu dengan wajah tertunduk.

“... Aku tidak ingin kamu datang ke sini. Itu hanya akan membuat segalanya lebih menyakitkan.”

“Maaf, tapi ada hal-hal yang perlu aku katakan atau kita berdua akan berpisah dengan penuh penyesalan.”

Lampu di lift menyala, dan pintu pun terbuka. Aku melangkah ke dalam, dengan Sako-san mengikutiku diam-diam.

Di area dek pengawasan, tidak ada yang melindungi kami dari tiupan angin, jadi kami ditabrak angin konstan. Ketika melihat di balik pagar, aku bisa melihat beberapa pesawat yang siaga atau bahkan sedang naik ke udara. Aku membimbing Sako-san ke bangku di bayang-bayang dan duduk di sebelahnya. Alasan mengapa semua ini bisa terjadi meskipun Sako-san tidak ingin itu cukup sederhana.

Michihiko-san menyarankan ini tanpa memikirkannya, dan Sako-san jelas-jelas tidak tertarik dengan hal tersebut, tetapi masih setuju agar tidak mengecewakan orang tuanya. Semakin banyak waktu berlangsung, semakin banyak keinginan Sako-san untuk tidak belajar di luar negeri tumbuh. Namun, begitu dia menyetujui sesuatu, Sako-san tidak bisa menentang perkataannya sendiri. Dan karena itu yang terjadi, Michihiko-san tidak menarik kembali seluruh usulannya. Dengan segala sesuatunya menjadi semakin rumit, hari keberangkatannya pun mulai tiba.

Pada hari di mana aku pergi menjenguk Sako-san, Michihiko-san dan Meiko-san sama-sama mengatakan mereka ingin memberikan beberapa keegoisan Sako-san untuk sekali. Jika keegoisan ini juga mencakup seluruh cobaan ini, maka sangat mungkin untuk membatalkan semuanya. Jika Sako-san berani mengatakan kalau dirinya tidak ingin pergi, maka kami mungkin bisa menyelesaikan situasi ini sepenuhnya. Jadi tugasku yang sekarang ialah memaksa keluar sifat keegoisan Sako-san.

Apa syarat supaya dia bia menjadi seperti itu? Aku sudah menerima jawabannya dari Meiko-san. Jika itu melibatkan cintanya, dia bisa menjadi egois. Aku juga berpikir itu ada benarnya. Setiap kali Sako-san bersamaku, dia tergila-gila dengan perasaan romantisnya, dan dia terus menunjukkan padaku sisi egoisnya. Jika itu masalahnya, hanya ada satu hal yang harus kulakukan. Yaitu untuk memberi tahu Sako-san tentang semua perasaanku untuknya.

“Kamu mungkin sudah menyadarinya, tapi aku ingin menjadi pria yang layak bagimu, Sako-san. Itu sebabnya aku ingin menjadi lebih percaya diri, dan bekerja keras dengan belajarku serta melakukan yang terbaik dalam memandu kencan….”

Sako-san tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku percaya kalau dia masih mendengarkanku, jadi aku terus melanjutkan.

“Tetapi karena kamu mengajariku semua bagian baikku, aku mulai lebih sedikit tidak memedulikannya. Karena kamu jatuh cinta padaku, aku bisa menyukainya.”

Sako-san menjaga kepalanya tetap menggantung rendah, jadi aku memintanya untuk “Tolong angkat kepalamu.” Meskipun dengan enggan, dia perlahan-lahan mengarahkan matanya padaku.

“Jika berbicara secara objektif, kupikir kita berdua bukanlah pasangan yang seasi. Tetapi karena kamu memberiku kepercayaan diri, aku berhenti mencemaskan hal semacam itu.”

Aku sudah menderita hal itu sepanjang waktu ini, tidak memiliki kepercayaan diri. Namun, perasaan kasih sayang Sako-san menyelamatkanku. Itu sebabnya aku ingin membalas budi kepadanya. Tatapanku salng bertemu dengan Sako-san, dan aku menegaskan kembali bahwa perasaan kami sama. Setelah festival musim panas, aku berjanji kalau aku akan menyatakan perasaanku jika kencan berikutnya berjalan dengan baik, tapi aku tidak memiliki waktu luang untuk khawatir tentang waktu dan situasi. Jika aku akan memberitahunya, itu harus di sini dan sekarang. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengambil keputusan.

“Aku menyukaimu, Sako-san. Entah kamu gadis yang sempurna atau tidak, aku tetap menyukaimu apa adanya.”

Mata Sako-san terbuka lebar karena dia menahan napas. Namun, wajahnya segera dipenuhi dengan rasa sakit, karena butiran air mata besar mulai di sudut matanya.

“Knapa! Kita harus mengucapkan selamat tinggal hari ini, jadi tidak ada artinya jika kamu memberitahuku sekarang ...! “

Dia menekan telapak tangannya di matanya, tetapi air matanya tidak mau berhenti mengalir. Aku dengan panik melambaikan tangan.

“Kamu salah. Ini bukan perpisahan kita. Apa kamu masih ingat dengan janji kita kemarin? Janji kalau kita akan pergi ke festival musim panas lainnya pada akhir pekan depan.”

“Hah…?” Sako-san menjauhkan tangannya dari wajahnya, matanya terbuka lebar ketika dia menatapku.

“Aku tidak bisa menemukan festival musim panas di lingkungan terdekat, tetapi setidaknya akan ada kembang api, jadi mari kita pergi ke sana bersama.”

“Kita tidak bisa! Aku pergi ke luar negeri hari ini, jadi kita harus menunggu sampai tahun depan ...”

“Aku tidak akan membiarkanmu menunggu selama itu. Karena ... Aku akhirnya mengerti apa yang harus aku lakukan.”

Sampai pada titik ini, hubungan kami dipenuhi penyimpangan, selalu selangkah terpisah tidak peduli apapun yang kami lakukan. Tapi sekarang, kami harus bisa mencapai sesuatu yang asli. Jadi sekarang, aku tidak bisa melepaskan tangan Sako-san apa pun yang terjadi.

“Ayo pergi bersama-sama minggu depan. Sebagai sepasang kekasih.”

Ketika aku mengatakan itu kepadanya, Sako-san mulai menangis menjadi-jadi.

“Aku ingin ... Aku ingin pergi! Tapi ... Aku akan pergi hari ini ... meskipun aku tidak ingin pergi ...! “

Saat dia menjadi emosional, aku muli melihat kesempatanku. Dia akhirnya mengungkapkan perasaan jujurnya untuk tidak mau pergi.

“Kalau begitu mari kita bicarakan dengan orang tua mu, dan kamu harus memberitahu mereka hal itu. Jika kamu mengatakan dengan jujur kepada mereka mengenai perasaanmu, mereka pasti bisa memahaminya.”

“... Aku tidak bisa. Aku takkan pernah jujur ​​dengan apa yang aku inginkan. Mana mungkin aku bisa memberitahu mereka bahwa aku tidak ingin pergi ...! "

“Setidaknya beri tahu mereka. Jika tidak, kita takkan bisa pergi untuk melihat pertunjukan kembang api.”

“Itu masih mustahil ...! Aku tidak pernah berhasil menjadi seegois itu!”

Rasanya seolah-olah seperti bendungannya pecah. Dia membuang semua pemikiran logis, hanya meratapi semuanya. Ini gawat, jika terus begini, dia akan berakhir menjadi terlalu keras kepala . Aku dengan panik mencari kata-kata sempurna untuk memberikan Sako-san, mencari percakapan apa pun di pikiranku.

“Aku ingin menjadi orang yang mirip seperti Sako-san.”

“Aku ingin menjadi orang yang mirip seperti Tsuyoshi-kun.”

Sako-san memiliki sesuatu yang tidak aku punya, dan aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Sako-san. Begitulah cara kami mulai tertarik satu sama lain. Saat aku menyadari hal tersebut, aku meraih bahu Sako-san dan mengguncang tubuhnya.

“Aku berhasil mengubah diriku sendiri. Aku mengagumimu, ingin menjadi sepertimu, dan aku sekarang memiliki kepercayaan diri untuk berdiri di sampingmu. Jadi—” Aku menaruh tenaga ke dalam cengkeramanku. “Kamu juga bisa melakukannya, Sako-san. Kamu bisa mengubah dirimu juga.”

Mana mungkin Sako-san tidak bisa melakukan apa yang berhasil aku capai. Dia harusnya bisa menyingkirkan sikap penurutnya. Tatapan matanya bergetar.

“Apa aku ... apa aku benar-benar bisa melakukan itu ...?”

“Tentu saja bisa. Karena aku sendiri berhasil melakukannya.”

Aku sadar bahwa itu adalah metode yang kuat. Tetapi aku percaya itu adalah kata-kata terbaik untuk memberikan keberanian kepada Sako-san.

“…Begitu ya. Kamu benar. Kamu bisa melakukannya ... “

Sako-san merenungi perkataanku dan dengan erat-erat menyatukan bibirnya. Air matanya dengan cepat berhenti.

“Aku ingin menjadi seperti Tsuyoshi-kun ...!” Dia mengangkat kepalanya, bertemu dengan tatapanku.

“Jadi maksudmu ...!”

“Aku akan bicara dengan Ayah.”

“Benarkah?!”

“Aku tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak, tapi ...”

Sako-san kelihatannya sudah memutuskan. Ketika aku menghela nafas lega, Sako-san menatapku.

“…Boleh, ya?”

“Apanya yang boleh?”

Sako-san tidak mengatakan sepatah kata pun dan hanya memeluk pinggangku, menekan dahinya ke dadaku.

“Ap-Apa...”

“…Aku minta maaf. Hanya sebentar saja, oke? Aku membutuhkan tenaga demi bisa melakukannya.”

Pelukan mendadak ini hampir membuat hatiku berhenti. Atau lebih tepatnya, aku cukup yakin itu berhenti sejenak. Aku membalas pelukannya dengan lembut dan membelai kepalanya.

“Kamu sungguh luar biasa, Tsuyoshi-kun. Selalu melakukan hal-hal yang tidak bisa aku lakukan ...” katanya ketika menggosok kepalanya di dadaku. “Aku sudah berusaha mengubah diriku sejak aku bertemu denganmu. Sampai pada titik ini, aku selalu mendengarkan Ayahku, jadi kali ini, aku sudah membuat pilihan sendiri. Aku memiliki sesuatu yang ingin aku lakukan ... itu sebabnya aku tidak bisa meninggalkan Jepang ...!”

“Syukurlah…”

“Sekarang kita sudah memutuskan apa yang harus dilakukan, jadi kita harus melakukan segala sesuatu yang kita bisa,” kata Sako-san saat menjauhkan badannya dariku.

Pada saat yang sama, dia menggaruk pipinya dengan malu-malu.

“Hanya ... ada satu hal lagi yang ingin aku pastikan sebelum kita berbicara dengan orang tuaku ... Kamu mau berpacaran denganku, ‘kan?”

“Ya, itu sebabnya aku menyatakan perasaanku padamu.”

“Jika aku bisa menghindari pergi ke luar negeri, maukah kamu pergi bersamaku untuk menonton kembang api?”

“Tentu saja.”

“Jika seandainya aku tetap pergi ke luar negeri, apa kamu bersedia menunggu sampai tahun depan? Kamu takkan selingkuh, ‘kan?”

“Aku berjanji. Aku akan memastikan untuk sering-sering meneleponmu.”

“Kalau begitu ... Apa kamu akan menghargaiku bahkan jika aku berubah menjadi wanita tua yang lusuh?”

“Te-Tentu saja.”

Karena ruang lingkup pertanyaan naik sepuluh level, aku ragu untuk menanggapinya. Namun, Sako-san memberiku senyum menggoda.

“Hehe, aku hanya bercanda kok. Aku takkan bertingkah kegatelan semacam itu.”

“Fiuhh...”

“Jadi, kamu akan menikahiku begitu kita dewasa?”

“Ya.”

“Aku bercanda tentang itu, jadi mengapa kamu memberikan tanggapan segera ...”

Dia menjebakku. Aku ingin merangkak ke dalam lubang dan menghilang. Kami berdua sama-sama diam, membuat suasananya menjadi semakin menakutkan. Meski demikian, aku bisa merasakan kehangatan Sako-san tepat di sebelahku, jadi kurasa semuanya tidak terlalu buruk. Kami melihat satu pesawat lepas lkamus ketika Sako-san berdiri.

“Aku sudah lebih baikan sekarang, jadi aku harus pergi. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya, tetapi ada baiknya bertaruh pada kesempatan.”

“Tidak apa-apa, jika kamu berbicara dengan kata-katamu sendiri, perasaanmu pasti akan tersampaikan.”

Jika apa yang dikatakan Michihiko-san dan Meiko-san itu benar, maka Sako-san tidak pernah memprioritaskan dirinya sendiri. Dalam hal itu, dia akan membutuhkan banyak keberanian untuk memintanya belajar di luar negeri untuk dibatalkan. Tapi meski begitu, dia tidak menunjukkan keraguan di matanya.

“Kamu bisa melakukannya, Sako-san.”

“Ya. Aku akan memperhatikanmu di sisimu.”

Aku bangkit dari bangku sendiri, dan kami berdua naik lift.

Sekembalinya kami, Meiko-san memanggil Sako-san dengan senyum lembut.

“Apa kamu berhasil mengucapkan selamat tinggal dengan baik?”

“Yah, tentang itu sebenarnya ...”

Tentu saja, Sako-san dan aku tidak punya niat untuk mengucapkan selamat tinggal, jadi dia masih ragu-ragu. Nishida-san adalah orang pertama yang menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh.

“Apa ada yang salah, Machika?”

“Umm, tidak juga, sungguh ...”

“Tap kelihatannya tidak seperti itu. Matamu juga merah.”

“Ah, mana mungkin.”

Nishida-san memalingkan kepalanya, memelototi wajahku dengan tajam.

“Tsuyoshi, dasar bajingan ...”

“Tunggu, tunggu, kamu mungkin salah paham tenga sesuatu di sini

Oh ya, dia memang memperingatkanku untuk tidak membuat Sako-san menangis.

“Machika apa yang terjadi?”  Nishida-san berbalik ke arah Sako-san.

“Tepat sekali. Matamu kelihatan merah. Apa kamu baik-baik saja?” Meiko-san juga bertanya.

Sako-san sementara terhuyung-huyung mundur tetapi masih menjawab.

“Yah, sesuatu mungkin terjadi ...”

Tentu saja, Nishida-san segera memberi tatapan tajam dengan silau kematian. Selain itu, bahkan Michihiko-san mengirimiku tatapan yang meragukan. Keringat dingin mengalir deras di punggungku. Aku tidak melakukan hal yang aneh, jadi tolong jangan melihatku seperti itu. Aku memalingkan wajahku, tapi pandanganku justru bertemu dengan Sako-san. Ekspresinya kaku, dan aku mulai ragu apakah dia benar-benar bisa mengatakan apa yang diinginkannya. Aku menggerakkan mulutku untuk membentuk kata-kata 'Kamu bisa melakukannya,' yang mana dibalas dengan anggukan kepala.

“Maaf, ini bukan waktunya untuk menjadi ambigu.” Sako-san menunjukkan tekad.

Dia berdiri di depan Michihiko-san dan Meiko-san, menurunkan kepalanya dengan sudut 90 derajat.

“Aku punya permintaan seumur hidup. Tolong, dengarkan aku, ibu, ayah.”

Meiko-san tampak terkejut, ketika dia meletakkan satu tangan di mulutnya. Pada saat yang sama, Michihiko-san menjaga wajah masamnya.

“Apa itu?” Ia bertanya.

“Aku tahu aku banyak meminta, tapi tolong ... Aku tidak ingin belajar di luar negeri.”

Suaranya dipenuhi dengan keyakinan. Dia berbicara dengan sangat jelas, aku hampir meragukan telingaku. Nishida-san tampak sama, ketika dia menatap Sako-san dengan wajah kebingungan. Namun, Michihiko-san tidak gagap.

“Machika, katakan padaku alasanmu.”

Sako-san tampak seperti gelisah sejenak, tetapi terus berbicara dengan suara yang kuat.

“... Sampai saat ini, aku melakukan semua yang Ayah katakan padaku, dan aku tidak menyesalinya. Karena aku buruk dalam memikirkan apa yang ingin kulakukan, aku bersenang-senang belajar dan mengikuti jalan yang ayah bangun untuk u. Tapi, aku sudah selesai mengandalkan ayah. Jika aku benar-benar belajar di luar negeri sekarang, aku mungkin takkan pernah bisa menjadi mandiri.”

Baik Michihiko-san dan Meiko-san mendengarkan Sako-san dalam keheningan.

“Aku benar-benar berterima kasih kepada kalian berdua. Tapi ... Aku ingin memutuskan segalanya sendiri mulai sekarang. Aku ingin memilih hal-hal yang ingin aku lakukan, serta hal-hal yang tidak ingin aku lakukan. Biaya untuk membatalkan rencana ini mungkin tinggi, tetapi aku akan bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang dan menebusnya. Jadi tolong, aku mohon.”

Aku juga tahu bahwa membatalkan rencana besar seperti itu pada hari yang sama sangatlah sulit. Tapi Sako-san seharusnya tidak pergi, dan dia juga tidak mau. Itu sebabnya aku ingin membantu dan mendukungnya.

“Sako-san bekerja sangat keras, dan terus-menerus menunjukkan hasil untuk itu, jadi aku percaya dia harus tinggal di Jepang. Kupikir kita semua akan mendapat manfaat lebih jika dia tidak pergi ke luar negeri dan malah berusaha sepenuh hati di Jepang. Aku benar-benar mengagumi Sako-san seperti itu, dan aku menghormatinya. Jadi kumohon—” Aku juga sama-sama menundukkan kepalaku. “Apakah kalian bersedia mempertimbangkan keegoisannya sekali ini?”

Mengikutiku, Sako-san juga menurunkan kepalanya sekali lagi.

“Bu, Ayah, tolong.”

Waktu kami menunggu tanggapan mereka terasa sangat lama. Mungkin beberapa detik atau seluruh menit.

“Perkataan yang bagus, Machika,” kata Meiko-san sambil sesenggukan. “Ibu sudah menunggumu akhirnya berbicara sendiri ….”

Ketika kami mendongak ke atas, kami melihatnya menyeka matanya dengan sapu tangan.

“Jadi ... um ... Apa?” Sako-san bingung.

“Ya, mari kita batalkan rencanamu.”

Apa tidak masalah untuk memutuskan itu dengan acuh tak acuh? Aku mengira bakalan ada lebih banyak diskusi ... karena tidak dapat benar-benar memahami situasinya, aku melirik ke arah Sako-san. Dia sama bingungnya denganku.

“Bu, kamu benar-benar bisa menerimanya dengan mudah? Ini tentang belajar di luar negeri, bukan? Dan Ayah, apa Ayah takkan keberatan dengan ini?”

Michihiko-san menyilangkan lengannya, mengerutkan alisnya.

“Aku punya satu syarat. Jika kamu menentang belajar di luar negeri, maka aku ingin kamu memikirkan rencana masa depanmu mulai dari sini, dan—”

“Aku sudah memikirkannya.” Punggung Sako-san membentang dengan lurus ketika dia menghadapi Michihiko-san. “Karena itu adalah rencanaku untuk menjadi wakil presiden klub music tiup jika bukan karena untuk belajar di luar negeri, aku berencana menarik semua orang dan menang dalam kontes. Dan karena aku pikir itu membantu orang-orang seperti Tsuyoshi-kun sangat keren, aku ingin bergabung dengan OSIS dan bekerja demi orang lain. Aku juga ingin memutuskan universitas mana yang ingin aku masuki. Sejauh ini, aku baru belajar demi itu, tetapi sekarang aku ingin memutuskan masa depanku sendiri. Setelah itu——” Sako-san melirik ke arahku, pipinya sedikit merah merona. “... Tidak, itu rahasia. Pokoknya! Aku punya banyak hal yang ingin aku lakukan.”

Bahkan wajah asam Michihiko-san langsung hancur saat dia meragukan telinganya. Aku tidak menyalahkannya. Aku tidak menyangka kalau Sako-san memiliki begitu banyak hal yang ingin dia lakukan. Kemajuannya begitu gila dalam waktu yang singkat. Namun, Sako-san sendiri tidak sadar betapa besar perubahan ini sebenarnya, karena reaksinya menunjukkan.

“Bu! Ibu terlalu cepat untuk menerima ini! Menghentikan rencana pada hari keberangkatan hanya akan memberi mu banyak masalah!”

"Aku selalu merasakan sesuatu seperti ini mungkin terjadi. Tetapi karena Kamu tidak pernah mengatakan kalau kamu sebenarnya tidak ingin belajar di luar negeri, jadi ibu cuma bisa menunggu.”

“Ba-Bagaimana ibu bisa tahu?”

Michihiko-san lantas berbicara.

“Buku harianmu. Ibumu menemukannya di kamarmu.”

“Sayang, itu seharusnya menjadi rahasia ..."

“Bu-Buku harianku...?!” Sako-san mulai bergetar.

“Um ... ibu minta maaf, ya?”

Wajah Sako-san berubah menjadi semerah tomat, dan bahkan mencapai telinganya.

“I-Ibu...!”

“Tapi berkat itu, kami berhasil menyadari sinyal SOS-mu. Itu sebabnya aku memastikan untuk memungkinkan pembatalan yang lebih mudah. Jadi tolong maafkan ibu karena sudah melihat buku harianmu, oke? Maafin ya?”

Sako-san menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, duduk tersungkur di atas bangku.

“... Sangat memalukan ... Aku ingin mati saja...”

“Tapi ayahmu bekerja jauh lebih keras. Dia berbicara tentang suatu kondisi dan yang lainnya, tapi aku yakin kalau ayahmu lah yang paling ingin kamu tinggal. Benar begitu, ‘kan?”

Michihiko-san dengan cepat mengalihkan wajahnya. Sepertinya ia hanya berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia sangat peduli dengan Sako-san. Namun, Meiko-san belum selesai.

“Kamu tahu, ia segera menyesali karena sudah menyarankanmu belajar di luar negeri. Dia mungkin tidak bisa terus hidup jika kamu beneran pergi.”

Kedengarannya sangat mirip dengan Michihiko-san yang aku kenal. Sako-san dengan cepat menjadi kesepian, jadi keduanya serupa dalam hal itu. Meiko-san mendorong dadanya dan menghela nafas.

“Aku dan ayahmu harus membahas beberapa hal sehubungan dengan pembatalan sekarang, jadi bisakah kamu menghabiskan waktu di tempat lain? Kamu juga tidak perlu khawatir tentang biaya untuk pembatalannya.”

“Tapi akulah yang mengungkit ini, jadi aku harus membantumu ...”

“Dengar, Machika, kamu tidak pernah menyebabkan kita masalah, jadi biarkan orang tuamu ini yang mengurus semuanya sekarang. Tolong?”

“Tapi…”

“Tidak ada tapi-tapian.”

Sako-san berusaha berdebat dengan ibunya, tetapi Meiko-san membalasnya kembali dengan senyum. Itu adalah senyum yang kuat yang memberi mu perasaan lega. Melihat betapa ngotot ibunya, Sako-san hanya bisa menyerah.

“Oke ... Terima kasih, Bu.”

“Tidak apa-apa. Aku senang aku akhirnya bisa melakukan sesuatu untukmu.” Meiko-san benar-benar tampak bahagia, dan dengan lembut membelai kepala Sako-san yang tersenyum malu-malu.

Setelah dia selesai dengan itu, Meiko-san memandang kami semua.

“Mari kita tinggalkan pembicaraan tentang belajar di luar negeri untuk saat ini. Kamu dapat melihat bandara dan meninggalkan sisanya kepada kami. Hal yang sama berlaku untukmu, Mayu-Chan.”

Nishida-san tidak bereaksi sama sekali, dia hanya memelototi Meiko-san.

“Tante  berbohong, iya ‘kan?”

“Err, apa ... yang sedang kamu bicarakan?”

“Tante melihat buku harian Machika, ‘kan?”

“Ah, um, yah ...” Meiko-san mulai panik.

Kalau dipikir-pikir, mereka berdua pernah membicarakan tentang buku harian ketika aku berkunjung.

“Buku harian yang dimaksud itu... milik Sako-san, kan? Apa yang dia tulis di sana?”

“Kamu tidak perlu tahu.” Nishida-san memberiku jawaban segera.

“Apa yang kamu bicarakan?” Meiko-san berpura-pura polos.

“Sudah, tolong hentikan ...” wajah Sako-san semakin memerah.

Semua reaksi mereka hanya membuatku menjadi lebih penasaran. Aku tahu ini adalah item utama untuk menghentikan kejadian ini, tetapi isinya adalah sebuah misteri. Meiko-san jelas-jelas merasa gelisah ketika dia mendorong punggung kami.

“Ayolah, kalian bertiga bisa pergi duluan!”

“Tante payah dalam berpura-pura ...” Nishida-san berkomentar.

“Bu, kamu yang terburuk ...”

“Sudah cukup! Kalian bisa pergi!”

Dia mendorong kami lebih jauh. Tiba-tiba, aku mendengar suara hangat yang memanggil namaku. Aku berbalik dan melihat Michihiko-san dengan kepalanya menggantung rendah.

“Tolong buat Machika bahagia.”

“Ah, ya, tentu saja.”

Aku memberikan respons yang ambigu karena terbawa suasana saat ini, tetapi aku berpikir kalau hanya mengangguknya adalah bukan pilihan yang tepat. Nah, terserah. Dengan buku harian masih diselimuti misteri, kami berjalan menjauh dari area lobi. Sako-san tampak dalam suasana hati yang hebat, berbicara dengan Nishida-san. Keberadaanku hanya seperti obat nyamuk yang menyempil di antara mereka. Namun, Nishida-san secara mendadak berbalik dan bertanya.

“Jadi, apa kalian berdua resmi berpacaran sekarang?”

“Ah, ya, begitulah,” jawabku dengan jujur ​​ketika Sako-san mulai panik.

“Ak-Aku berpikir untuk merahasiakannya!”

“Benarkah? Kupikir tidak ada salahnya untuk memberitahunya, maaf.”

“Aku sudah mendengarnya, jadi aku akan merahasiakannya dari orang lain.”

“Terima kasih, Mayuko.”

“Omong-omong.” Nishida-san berhenti berjalan. “Bukannya ini membuatmu ingin makan sesuatu yang manis?”

“Aku benar-benar paham banget.” Sako-san setuju.

Mereka melihat toko suvenir di kejauhan yang menjual es krim edisi terbatas.

“Baiklah, mari kita buat Tsuyoshi mentraktir kita beberapa es krim.”

“Hah? Aku tidak berpikir kita harus ...”

“Bukankah kamu bilang kamu akan sedikit lebih terbuka tentang keinginanmu?”

“Oh iya!”

“Kamu harus belajar itu, jadi mari kita mulai dari sini.”

“Kenapa malah kamu yang memutuskan itu?!” Aku melempar ocehan yang diabaikan ketika Sako-san bergerak di depanku.

“Tsuyoshi-kun.”

“Ya?”

“Aku ingin makan es krim!”

Ketika melihat senyumannya yang berseri-seri, aku tidak dapat menyangkal permintaannya. Aku mengeluarkan dompetku, dan Nishida-san menyeringai.

“Dan kamu pasti tidak punya masalah untuk mentraktir sahabat pacarmu, ‘kan?”

“Iya, iya, aku sudah paham, ya ampun...”

“Machika! Cowok ini hebat banget!”

“Benar, ‘kan? benar ‘kan?”

Sementara kami bertiga memulai pesanan kami, aku berpikir untuk diri aku sendiri. Dia mungkin tidak sempurna, tetapi Sako-san yang egois masih terlihat imut.

 

 

 

9 Agustus,

Buat ibu yang mungkin akan membaca buku harian ini.

Terima kasih banyak untuk hari ini.

Meskipun aku mungkin tidak bisa memaafkanmu dalam waktu dekat.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi   |  Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama