Kanpeki no Sako-san Bab 12 Bahasa Indonesia

Bab 12

 

Aku langsung disambut oleh pemandangan malam distrik perumahan yang dikenal setelah keluar dari rumahku. Bahkan aspal yang biasanya panas membara sekarang cukup dingin. Hari ini adalah hari yang dijanjikan dari kencan festival musim panasku dengan Sako-san. Aku mengenakan sandal Geta dan pakaian musim panas biasa, lalu menuju ke halte bus terdekat. Dalam perjalanan ke sana, aku sudah melihat beberapa wanita mengenakan Yukata, membuat penampilanku benar-benar membaur dengan sempurna. Aku penasaran, apa Sako-san akan mengenakan yukata ... Atau dia akan mendengarkan permintaanku dan mengenakan pakaian kasualnya?

Jika dia mengenakan Yukata, hal tersebut akan menjadi bukti sempurna bahwa dia akan berbuat apa saja untuk berhenti menjadi sempurna. Jadi, mana yang akan terjadi? Sambil menunggu bus tiba, aku mengeluarkan smartphone-ku. Aku bisa melihat pesan dari Takumi yang mengatakan 'semoga sukses dalam pertempuran.' Aku menjawab dengan singkat 'Aku akan melakukan yang terbaik.'

Selama beberapa hari terakhir, aku menerima banyak saran dari Takumi. Berkat itu, kupikir aku bisa bertindak seperti pengawalan yang tepat untuk kencan ini. Aku masih berpikir bahwa Sako-san dan aku bukanlah pasangan yang serasi, tetapi setidaknya aku ingin dirinya bisa menikmati kencan. Untuk itu, berusaha menjangkau sesuatu yang tidak bisa kugapai seharusnya boleh diizinkan. Aku menyimpan smartphoneku, dan sekali lagi memikirkan saran yang kudapatkan dari Takumi.

[Begitu kalian berdua bertemu, kamu harus memuji pakaiannya]

Aku tidak tahu apakah Sako-san akan mengenakan pakaian kasualnya atau yukata, tetapi aku harus memujinya tidak peduli apa pilihannya. Ketika aku secara mental mempraktikkan kalimatku, lampu-lampu cerah dari bus memotong kegelapan malam. Pajangan bus untuk kuil terdekat sudah dipenuhi dengan berbagai keluarga dan pasangan. Tidak seperti sebelumnya, semua penumpang tersenyum. Hal itu membuatku merasa seperti hanya ak satu-satunya yang merasa gugup.

 

*****

 

Ponselku bergetar. Ternyata itu pemberitahuan pesan dari Tsuyoshi-kun, yang menyatakan 'Halte busnya lumayan sesak, jadi aku mungkin akan sedikit terlambat’. Aku lalu mengiriminya balasan singkat ‘Iya, enggak apa-apa’. Tempat di depan stasiun kereta tempat kami memutuskan untuk bertemu sudah penuh dengan orang-orang. Hari ini adalah kesempatan terakhir yang bisa kumiliki untuk bertemu Tsuyoshi-kun. Kesempatan terakhirku untuk menyatakan perasaanku. Bahkan, aku merasa ingin menangis setiap kali aku memikirkannya, tetapi aku tidak bisa bersantai. Aku harus menang atas Tsuyoshi-kun sepenuhnya hari ini. Aku mengeluarkan ponselku dan menggunakan kamera untuk memeriksa apakah rambut dan pakaianku terlihat bagus-bagus saja. Aku membeli yukata baru dengan perpaduan warna putih dan vermillion.

Karena Tsuyoshi-kun bilang kalau ia ingin melihat penampilanku dalam pakaian kasual, jadi aku memilih Yukata sebagai gantinya. Mengabaikan permintaan anak laki-laki akan membuatku kebalikan dari sempurna. Ibu membantuku mengikat rambutku untuk membuatnya bergetar di belakang kepalaku, mengungkapkan leherku. Aku juga memotong poni aku sedikit untuk membuatnya terlihat kikuk seperti dulu ketika aku pertama kali ditolak. Menyadari bahwa persiapanku sempurna, aku mengangguk kepada diriku sendiri. Aku masih terlihat manis seperti sebelumnya, tapi gambaranku yang sempurna sudah hancur. Sama seperti yang aku rencanakan.

Meski begitu, aku maish merasa agak cemas. Setiap kali aku melihat seorang gadis melewatiku, aku merasa bahwa desain Yukataku terlalu polos. Aku yakin ia tidak tertarik dengan Yukata, tetapi aku masih ingin Tsuyoshi-kun berpikiran kalau aku ini imut. Dadaku dipenuhi dengan ketegangan, dan aku mengalihkan pandanganku dari kerumunan orang. Kurasa sudah waktunya baginya untuk tiba. Karena ada banyak pengunjung, aku mungkin sulit untuk melihatnya.

Apalagi ia mungkin berpikiran kalau aku mengenakan pakaian kasual, jadi mungkin ia bahkan tidak akan mencariku dengan penampilanku yang memakai yukata. Aku ingin memanggilnya dan mengejutkannya. Aku menantikan untuk melihat reaksinya sekarang. Ia mungkin hanya melompat kaget — tepat ketika aku sedang melamuni itu , justru ada seseorang yang memanggilku .

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Sako-san.”

“Wah, Tsuyoshi-kun?! Kamu bikin kaget saja!”

Kupikir aku sudah melakukan pekerjaan yang dilakukan dengan baik, namun Tsuyoshi-kun justru menemukanku terlebih dahulu. Seperti yang diharapkan, bisa dibilang begitu, karena Tsuyoshi-kun mengenakan sesuatu yang sama sekali berbeda dari apa yang aku bayangkan. Rambutnya ditata bergaya sedikit, mengungkapkan matanya yang tampak lembut. Selain itu, ia mengenakan jaket pendek hitam kasual dengan celana panjang. Penampilannya terlihat jauh lebih dewasa daripada seragam sekolahnya. Aku ingin memberitahunya betapa tampannya. Aku ingin memujinya karena itu cocok untuknya. Tapi ... lidahku terasa kaku, aku mengalami kesulitan membentuk kata-kata. Ditambah pula, Tsuyoshi-kun duluan yang mulai angkat bicara.

“Sungguh pemandangan yang cantik sekali, Sako-san.”

Otakku segera bangkit sepenuhnya. Apa ia baru saja memanggilku cantik ...? Walaupun itu hanya satu kata, jalan pikiranku masih belum mampu memahaminya. Aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku dan menyadari apa yang Tsuyoshi-kun bicarakan.

“Ah! Maksudmu yukataku! Kelihatan bagus, bukan? Ibu bilang kalau ini terlihat cantik pada aku, jadi dia—”

“Tidak, maksudku kamu terlihat cantik. Yukata hanyalah tambahan.”

Kesadaran aku hampir melompat keluar dari tubuhku, membuatku merasa pusing. Hatiku berpacu dengan cepat. Aku mungkin akan segera mati.

“Kamu baik-baik saja?”

“Y-Ya, seharusnya sih begitu.”

Aku tidak baik-baik saja.

“Kamu memotong ponimu juga, ya.”

“Ya! Terlihat kikuk, iya ‘kan!”

“Tidak, kupikir itu sangat cocok untukmu.”

Sudah berakhir, upayaku untuk merusak kesan sempurnaku sudah gagal total.

“Ayo kita pergi?”

Tsuyoshi-kun mulai memimpin, dan berjalan di depanku dengan jarak setengah langkah. Ada yang aneh. Atau lebih tepatnya, semuanya terasa aneh. Mengapa Tsuyoshi-kun mengenakan itu? Hampir seolah-olah ia sudah menebak kalau aku akan memakai yukata. Meskipun ia bilang ia tidak menginginkanku. Belum lagi dia memuji penampilanku. Kurasa itu sudan menjadi norma untuk melakukan itu ketika berkencan dengan seorang gadis, tapi cara pengucapannya sangat alami ... di tambah lagi, ia dengan hati-hati berjalan di dekatku, sehingga aku takkan tersesat meskipun dengan canggung mengikutinya.

Isi kepalaku jadi kacau balau karena semuanya tidak sesuai dengan apa yang kurencanakan. Kakiku tidak mau bekerja seperti yang aku inginkan, tidak mengizinkanku berjalan dengan benar. Namun, tubuhku terasa sangat ringan. Aku hanya mengikuti Tsuyoshi-kun dengan kepala u menggantung rendah sampai kami mencapai kerumunan besar, dan aku mengangkat kepalaku. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah gerbang kuil yang besar, dengan berbagai kios berbaris di kedua sisi jalan. Jalanan bata bergaya Jepang menggelitik keingintahuanku.

Aroma yang melayang ke arah kami berkat hembusan angina, tidak hanya terdiri satu makanan saja, tapi aromanya bercampur dengan arma manis dan pedas yang hanya meningkatkan nafsu makanku. Tepat sebelum kami melewati gerbang kuil, Tsuyoshi-kun berbalik ke arahku.

“Apa ada sesuatu yang ingin kamu makan?”

Aku langsung kepikiran kue spons berukuran kecil atau pisang cokelat. Mumpung kami sedang berada di sebuah festival, aku ingin mencoba beberapa manisan yang cuma bisa dibeli di sini. Tetapi karena aku memberi tahu Tsuyoshi-kun bahwa aku suka makanan asin, aku tidak bisa mengungkapkan makanan favoritku di sini. Sudah waktunya bagiku untuk bertindak lagi.

“Mungkin Ikayaki*? Aroma kecapnya benar-benar menarik selera makanku.” Aku menjawab begitu, lalu Tsuyoshi-kun berkedip dalam kebingungan. (TN: Jajajanan cumi panggang yang dilapisi kecap asin)

Dan setelah keheningan singkat, ia berbicara.

“Hmmm ... bukan permen apel?”

Permen apel! Itu adalah makanan favoritku di festival musim panas. Meski begitu, aku berusaha menahan keinginanku.

“Kamu tahu makanan kesukaanku, ‘kan? Kenapa kamu malah bertanya tentang itu?”

“Kamu memang menyebutkannya sebelumnya, tapi ... Yah, tentu saja.” Tsuyoshi-kun memberikan respons bingung dan mulai berjalan menuju kios yang menjual Ikayaki.

Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai Ikayaki, tetapi berbeda dengan miso kepiting, setidaknya aku bisa memakannya. Aku tidak bisa membiarkan Tsuyoshi-kun menyadari kebohonganku. Setelah kami berjalan selama beberapa menit, Tsuyoshi-kun tiba-tiba berhenti dan mengeluarkan dompetnya.

“Hah? Kios Ikayakinya masih ada di depan, ‘kan?”

“Yap, tapi ada sesuatu yang ingin aku makan.”

Tsuyoshi-kun berjalan menuju sebuah kios dan memanggil paman dengan handuk di lehernya.

“Aku mau satu permen apelnya.”

“Siapp, harganya 200 yen.”

Bersama dengan uang kembalian, Tsuyoshi-kun menerima permen apel tersebut. Aku merasa iri sekali. Aku ingin memakannya juga. Tetapi karena aku berbohong kepadanya, aku tidak bisa meminta untuk mencicipinya. Tsuyoshi-kun menjatuhkan tatapannya pada permen apel dan berbicara.

“Aku selalu ingin mencobanya.”

“H-Hah ...”

Permen apel yang dipegang di tangannya tampak bersinar terang saat diterangi oleh cahaya dari kios. Permen apel tersebut terlihat sangat lezat ... Aku mengutuk diriku karena berbohong tentang sesuatu yang sangat bodoh.

“Jadi beginilah rasanya, ya.” Tsuyoshi-kun mencicipi permen apel itu, dan menggumamkan kesan tulusnya. Aku bisa melihat daging putih dari apel, yang membuatku menelan ludah kecut.

“Mau mencicipinya?”

“Ak-aku baik-baik saja.”

“Oh baiklah. Kupikir kamu ingin mencobanya.”

“Tidak, aku baik-baik saja.”

Aku bertingkah sok tidak mau, dimana Tsuyoshi-kun menunjukkan senyum bermasalah. Aku menyadari bahwa bahkan tidak mencicipinya sedikit tampak tidak wajar, dan aku merasa minta maaf. Namun, karena aku sudah melontarkan kebohongan yang tidak menyukai hal-hal manis, jadi ya apa boleh buat. Setelah membeli permen apel, kami sekarang menuju ke kios Ikayaki. Aroma saus kedelai panas datang dari depan, dan sebelum aku bahkan bisa mengatakan apa-apa, Tsuyoshi-kun sudah berbicara.

“Permisi, satu mau satu bungkus Ikayaki, tolong.”

“Oke mas, harganya 300 yen.”

Tsuyoshi-kun menyerahkan koin 500 yen kepada penjual itu dan menerima kembaliannya. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengambil dompetku sendiri, karena ia dengan santai mentraktritku. Itu adalah contoh sempurna tentang cara memandu seorang wanita, tapi cuma aku satu-satunya gugup, mungkin. Setiap kali ia memperlakukanku dengan ramah, aku merasa sangat gembira sampai aku mengutuk diri.

“Ini dia, Sako-san. Hati-hati dengan sausnya.”

“…Terima kasih.” Aku menerima Ikayaki dan mengucapkan terima kasih.

Sedangkan di sisi lain, Tsuyoshi-kun terlihat kebingungan.

“Kenapa kamu tampak sangat tidak senang?”

“... Hari ini kamu sangat tidak adil, Tsuyoshi-kun.”

Rasanya seolah-olah emosiku sedang menari di atas telapak tangannya.

“Tidak adil? Apa maksudmu?”

“Aku tidak tahu, tapi itu tetap tidak adil.”

Aku ingin membuat jantung Tsuyoshi-kun berdegup kencang. Itulah sebabnya aku mengundangnya ke sini. Ketika aku menderita hal ini, Tsuyoshi-kun melangkah jauh dari jalan setapak.

“Ayo duduk di pagar batu di sini dan makan. Berjalan sambil makan Ikayaki cukup sulit, bukan?”

“Y-Ya ...” Aku mengangguk ketika Tsuyoshi-kun meletakkan saputangan di atas batu.

“Duduklah di sini.”

Seorang anak cowok menawariku saputangan untuk duduk! Aku pernah melihat adegan ini di manga shoujo sebelumnya!

“Tapi sapu tanganmu ...”

“Aku tidak ingin yukata mu kotor.” Dia mengetuk tangannya pada saputangan, ketika aku dengan enggan duduk.

“Te-Terima kasih ...”

“Sama-sama.” Ia menyipitkan matanya saat tersenyum.

Ekspresi hangatnya itu membuat hatiku berdetak kencang lagi. Aku duduk di sebelah Tsuyoshi-kun. Jarak di antara kami sangat dekat. Ia mungkin menyadari seberapa memerahnya wajahku. Tiba-tiba, ia mendorong permen apel ke arahku.

“Bagaimana kalau kita barteran?”

“Barter?”

“Aku ingin mencicipi Ikayaki. Satu gigitan seharusnya tidak masalah, ‘kan?”

Jadi Tsuyoshi-kun memang sudah menyadari bahwa aku ingin memakan permen apel. Rasanya sangat bikin sebal ketika ia terkadang bertingkah sangat peka.

“Kamu tidak mau?”

Aku melihat permen apel yang diulurkan padaku. Tsuyoshi-kun hanya mengambil satu gigitan dari itu. Mungkin ia sengaja membelinya dengan maksud memberikannya kepadaku?

“Tsuyoshi-kun, kamu terlalu baik ...”

“Kamu terlalu dramatis. Aku cuma ingin barteran saja.”

Aku mulai bertingkah semakin menjauh dari pengaturan awal yang aku buat. Aku belum memakan dari Ikayakiku, yang lebih dari cukup bukti. Saat ini, aku hanya ingin mengandalkan kebaikan Tsuyoshi-kun dan dimanjakan olehnya.

“Maaf, boleh aku mencobanya sedikit...?”

“Tentu saja.”

Aku menerima permen apel dan memberi Tsuyoshi-kun Ikayaki. Bekas gigitan yang dimakannya hilang, menjadikan ini sebagai ciuman tidak langsung. Namun, gairah festival itu sepertinya menarikku, seperti yang aku inginkan untuk adegan ciuman tidak langsung ini terjadi. Aku menjadi sadar betapa mesumnya diriku, namun masih mengambil gigitan besar.

“Mhmmm~, lezatnya ...”

Sejak aku kecil, aku akan selalu membeli permen apel ketika mengunjungi sebuah festival. Ini hanya cemilan yang sederhana, tapi memiliki rasa yang berbeda yang kunikmati. Rasanya begitu nostalgia.

“Kurasa membeli permen apel adalah pilihan yang tepat.”

“…Apa?”

Aku memenuhi isi mulutkku tanpa berpikir ketika aku melihat Tsuyoshi-kun melihat-lihat wajahku.

“Ekspresi seperti apa yang aku buat ...?”

“Rasanya sulit untuk menggambarkannya, tapi aku bisa mengatakan bahwa kamu benar-benar menyukai permen apel.”

“Ak-Aku juga suka Ikayaki!"

“Iya, iya.”

“Kamu tidak mempercayaiku sama sekali!”

Tsuyoshi-kun tertawa terbahak-bahak dengan keras.

“Kamu bisa memiliki sisanya. Kamu menyukainya, bukan?”

“Tidak, aku tidak bisa ...!”

“Sejak awal aku membelinya untukmu, jadi tidak apa-apa.”

Sudah kuduga. Ia melakukan begitu banyak untuk membuatku bahagia. Jika kami berdua mulai berpacaran, apa setiap kencan kami akan terasa seperti ini? Aku tidak yakin apakah hatiku bakalan sanggup menanganinya, tapi aku yakin kalau aku akan menjadi orang paling bahagia di Bumi. Tsuyoshi-kun duduk di sebelahku, mengisi mulutnya dengan Ikayaki. Hari ini ia tidak hanya bertingkah dewasa dan jantan, tetapi juga relatif tenang. Memangnya ia tidak merasakan apa-apa ketika duduk di sebelahku? Ia sudah melakukan pekerjaan yang sempurna untuk memandu kencan kami hari ini, tapi aku tidak yakin apakah dirinya benar-benar menganggapku sebagai seorang gadis. Aku merasakan dorongan untuk menguji hal itu.

“Kalau begitu dengan senang hati aku akan mengambil sisanya, tetapi bagaimana kalau kamu mengambil satu gigitan terakhir?” Aku membalik bagian yang sempat kumakan tadi ke arah Tsuyoshi-kun.

Bahkan Tsuyoshi-kun pastinya akan merasa ragu-ragu ketika mengungkit ciuman tidak langsung.

“Ya, tentu.”

Ia tidak menerima permen apel yang aku ulurkan kepadanya, tapi ia malah menggenggam tangan kananku dengan kedua tangannya.

“Apa—”

Wajah Tsuyoshi-kun tiba-tiba muncul tepat di depanku. Ia langsung menggigit permen apel, sama sekali tidak tersipu kalau itu adalah bagian yang aku gigit sebelumnya.

“Terima kasih, rasanya sangat nikmat,” Tsuyoshi-kun berbicara seakan-akan tidak ada yang aneh terjadi, tapi aku terlalu kaget sampai-sampai tak bisa berkata apa-apa.

“Ngomong-ngomong, apa yang kita lakukan tentang Ikayakimu, Sako-san?”

Tsuyoshi-kun menawariku nampan dengan makanan di atasnya.

“Kamu bisa memiliki semuanya ...”

Aku sudah tidak sanggup lagi. Bagaimanapun juga, aku tidak bisa mengambil alih panduan dari Tsuyoshi-kun. Aku hanya akan membiarkannya memanduku. Jika aku mencoba apa pun, itu hanya akan membuatku semakin tersipu. Setelah selesai makan Ikayaki, kami bangkit dari pagar batu. Kami berjalan di sepanjang jalur kuil sekali lagi, ketika tiba-tiba aku merasakan sakit nyeri menyerang kakiku. Aku melihat ke bawah dan melihat kalau tali dari sandal getaku sedikit membekas ke atas kulitku dan menciptakan sedikit memar merah.

Sesaat, aku berpikir untuk memberi tahu Tsuyoshi-kun, tetapi aku memutuskan untuk tidak memberitahunya. Mengingat sifatnya, ia pasti menggendongku di punggungnya. Dan ia akan melakukannya dengan wajah lurus. Tsuyoshi-kun menatap mataku dan bertanya.

“Selanjutnya kita mau pergi ke mana?”

“Bagaimana kalau permainan menembak?”

“Kedengarannya bagus.”

Ia masih berjalan berjarak setengah langkah lebih maju dariku, memamerkan punggungnya. Punggungnya terlihat lebih kecil daripada kebanyakan anak laki-laki, tapi rasanya jauh lebih dapat diandalkan daripada biasanya. Membuatnya untuk menggendongku rasanya memang memalukan, tetapi aku ingin melompat di sana setidaknya sekali. Dan aku ingin membungkus lenganku dengan lembut. Tsuyoshi-kun mungkin berakting hari ini, tapi keadaanku hari ini juga tidak normal. Aku seharusnya merasa bahagia sekarang, namun aku menemukan diriku menginginkan lebih. Aku ingin berpegangan tangan dengannya, datang ke sini lagi tahun depan, membuatnya menjadi pacarku, semua itu.

Ketika isi kepalaku semakin menggila, aku hanya berlari mengejar Tsuyoshi-kun. Sejak saat itu, kami pergi untuk memeriksa berbagai kios. Kami nyaris tidak bertukar kata-kata, tetapi fakta bahwa kami mengalami pengalaman ini bersama membuatku merasa puas. Pada saat kami bermain-main sepuasnya dan memakan banyak makanan, kerumunan orang-orang semakin berkurang, dan lebih mudah bagi kami untuk berjalan. Suasana untuk segera pulang mulai memenuhi suasana kami.

“Kurasa kita harus pulang juga.”

“Ya.” Aku mengangguk pelan.

Hatiku pastinya sudah merasa puas, jadi keinginanku untuk bersamanya lebih lama hampir terasa seperti nafsu tidak murni dariku. Hal tersebut menunjukkan seberapa menyenangkannya malam ini. Begitu melewati jalan kuil, aku melihat gerbang kuil yang akrab. Aku hanya bisa berjalan dengan Tsuyoshi-kun sebentar. Pemikiran semacam itu membuat kakiku terasa berat. Suara-suara samar orang lain, aroma pembakaran dari kecap, pencahayaan cerah, semua kelima inderaku menyerap satu momen ini. Aku ingin menutup jarak antara kami hanya sedikit lebih jauh, jadi aku mendekati Tsuyoshi-kun.

—— Dan pada saat itulah sesuatu terjadi. Rasa sakit yang menyengat mengalir melalui kakiku, membuatku tersandung. Aku meraih tangan Tsuyoshi-kun dengan panik. Tubuh kami bersandar satu sama lain, karena ia setengah memelukku. Dadaku ditekan ke arahnya.

“Ka-Kamu baik-baik saja?”

Aku mendengar suara melengking dan penuh kegugupan. Ketika mendongak ke atas, aku melihat kalau wajah Tsuyoshi-kun memerah ketika menatap mataku. Tampaknya tindakanku yang terakhir ini benar-benar mengejutkannya. Jika aku harus menebak, hatinya pasti sedang berdetak kencang sekarang.

“Maaf, aku tadi tersandung dan hampir jatuh.”

Rasa sakit pada kakiku semakin memburuk, namun aku tidak peduli tentang hal itu. Jari-jariku menyelinap di antara tangan Tsuyoshi-kun. Itu adalah genggaman tangan yang biasa disebut genggaman sepasang kekasih.

“S-Sako-san, tanganmu ...”

“Bagaimana dengan tanganku?”

“Itu…”

Tsuyoshi-kun mengalihkan matanya. Reaksinya terlalu jelas. Aku bisa merasakan keringat di antara jari-jari kami. Apa itu keringatku, atau miliknya? Itu mungkin campuran dari kedua keringat kami. Ia sadar dan menganggapku sebagai seorang gadis. Fakta itu saja membuatku sangat bahagia, aku menaruh lebih banyak kekuatan dalam cengkeramanku. Dengan bahu kami di sebelah satu sama lain, kami bergerak maju. Karena kami harus menuju ke arah yang berbeda untuk pulang, kami harus berpisah segera setelah kita melewati gerbang itu. Aku harus melepaskan tangan ini. Aku memusatkan seluruh tubuhku dalam bentuk tangan Tsuyoshi-kun sehingga aku tidak akan melupakannya, mengambil satu langkah lambat demi satu. Hampir seolah-olah dengan hati-hati mencicipinya.

Sepuluh langkah tersisa, sembilan, delapan - kanan karena aku selesai menghitung, Tsuyoshi-kun berhenti.

“Aku harus menuju ke sini, jadi ...”ujarnya dengan wajahnya masih merah.

Jari-jari kita terurai, dan lenganku menggantung di sebelahku.

“Ah…”

Seketika tanganku menjadi bebas, hampir seolah-olah sihir pada malam ini akan berakhir, aku ingat sesuatu. Hari ini adalah hari terakhir aku bisa bersama Tsuyoshi-kun. Aku sangat senang sepanjang waktu ini, aku merindukan kesempatan untuk mengatakannya tentang perasaanku lagi. Aku dengan panik membuka mulutku, tetapi tidak ada suara yang keluar. Aku telah menyiapkan kata-kata yang tepat. Namun, aku tidak mengingatnya sama sekali. Aku terlalu panik untuk tetap berpikir tenang.

“Sampai jumpa, Sako-san.”

Aku harus mengatakan sesuatu— aku berkata pada diriku sendiri dan dengan panik menggunakan kepalaku. Tetapi pada akhirnya, aku hanya bisa menggumamkan kata-kata kosong.

“... Tadi itu ... menyenangkan.”

“Benarkah? Aku juga merasakan hal yang sama. Terima kasih telah mengundangku.”

“Aku juga, terima kasih sudah mau ikut denganku.”

“Sampai jumpa.” Tsuyoshi-kun mengangkat tangannya, melambaikannya.

“Yap, selamat tinggal.” Aku melambaikan tangaaku juga.

Tsuyoshi-kun dengan lembut tersenyum dan menuju ke halte bus. Punggungnya tumbuh semakin jauh. Aku secara refleks menjangkau sosoknya dengan tanganku, tetapi punggungnya sudah terlalu jauh. Akhirnya, dia berjalan melewati tikungan dan menghilang sepenuhnya. Tangan kosongku tidak bisa berhenti bergetar. Kegelapan malam merayapi lingkungan sekitarku, membuatnya terasa dingin. Rasanya seolah-olah seperti angin dingin mencuri semua kehangatan yang aku miliki.

Setelah aku mulai berjalan lagi, aku mulai mengingat rasa sakit di atas kakiku. Karena luka terbuka, tali Geta berwarna merah dari darahku.

“Aku tidak bisa ... memberitahunya kalau aku menyukainya ...”

Kalau dipikir-pikir kembali sekarang, aku sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir. Aku hanya ingin memberitahunya tiga kata saja. Tapi ini baik-baik saja. Jika aku menyatakan perasaanku sebelum kami akan berpisah, aku pasti hanya merepotkan Tsuyoshi-kun.

 

******

 

Begitu aku berbalik melewati tikungan, aku bersandar pada pagar kuil dan menghela nafas. Aku tidak berpikir kalau Sako-san bisa melihatku di sini. Aku bahkan tidak memiliki kekuatan untuk menuju halte bus. Tepat sebelum kami berpisah, beberapa meter dari gerbang, kami saling berpegangan tangan. Semua itu terjadi begitu mendadak, jadi hal itu membuatku bingung, dan aku tidak benar-benar ingat sensasinya. Yang aku tahu adalah bahwa itu benar-benar menghapus sejumlah kecil staminaku yang tersisa.

Aku menyalakan smartphoneku, dan melihat bahwa aku mendapat pesan dari Takumi yang mengatakan 'Bagaimana hasilnya?'

“Aku lelah.” Aku menjawab, lalu aku mendapat tanggapan segera.

“Apa, memangnya kamu tidak bisa menikmati kencanmu atau sesuatu?”

“Aku terlalu sibuk mengikuti saranmu.”

“Tapi Sako harusnya merasa puas, ‘kan?”

“Entahlah, aku tidak terlalu percaya diri.”

“Kamu tidak berhasil melakukan kencan yang sempurna?”

“Aku tidak berpikir itu sempurna ...”

Kencan hari ini merupakan uji coba untuk melihat apakah kami bisa menjadi pasangan serasi. Sako-san bertindak seperti gadis yang tidak sempurna, mengenakan yukata bukannya pakaian kasualnya, memotong poni, dan tidak memakan makanan favoritnya. Pada saat yang sama, aku mencoba yang terbaik untuk bertindak jantan dan mengawalnya. Pada dasarnya, kami berdua seharusnya bertindak seperti yang orang lain merasa paling nyaman. Aku secara pribadi berpikir ada baiknya kalau Sako-san untuk tetap sempurna, tetapi semua hal itu diperlukan bagi kami untuk bisa sejajar. Akan tetapi…

“Aku penasaran, rasanya ada sesuatu terasa tidak benar.”

“Apa maksudmu?”

'Sako-san ingin kita menjadi pasangan yang lebih baik dan berhenti bertindak sempurna. Pada saat yang sama, dengan menggunakan saranmu, aku mencoba mengubah diriku sendiri menjadi seseorang yang layak untuknya. '

Dipikir-pikir lagi, aku benar-benar memaksakan diri untuk bersikap baik padanya. Biasanya aku takkan bisa menyebutnya cantik. Itu sebabnya aku merasa begitu lelah sekarang. Sebelum Takumi menjawab, aku mengiriminya pesan lain.

“Aku mulai berpikir jika apa yang kita lakukan salah. Ketika bersama orang-orang, memangnya kamu harus menyesuaikan diri dengan orang lain sampai sedemikian rupa?”

Aku cukup yakin kalau kencan kali ini bekerja dengan cukup baik. Namun, mengapa aku pertama kali berpikir untuk kelelahan bukannya 'itu menyenangkan'? Aku pikir ini bukanlah hubungan yang benar untuk kita, namun rasanya kita tidak cocok sama sekali. Setelah sedikit waktu berlalu, Takumi mengirimiku tanggapannya.

"Itu karena kalian berdua melakukan apa yang biasa dilakukan para pasangan yang memiliki perbedaan tinggi.”

“Apa maksudmu?”

“Ketika si gadis lebih tinggi dari si cowok, dia akan memakai sepatu kets rendah, dan pria itu akan mengenakan sepatu bot tinggi dengan sol tebal. Begitulah cara mereka bertujuan untuk perbedaan ketinggian ideal mereka. Aku pernah mengatakan itu sebelumnya, bukan?”

Setelah Takumi mengungkitnya, aku cukup ingat pernah mendengar tentang itu. Sako-san dan aku hanya berusaha mengecilkan jarak di antara kami dengan cara yang berbeda.

“Tapi, tahu enggak?” Takumi melanjutkan. 'Bahkan jika kamu melakukan itu, perbedaannya masih tidak akan hilang. Semuanya masih tergantung pada bagaimana kamu melihatnya, tetapi kupikir hal yang terbaik ialah menerima perbedaanmu dan bangga dengan hal tersebut.”

“Maksudmu, apa kami tidak apa-apa bahkan jika kami tidak serasi?”

“Tepat sekali. Jika orang-orang dalam hubungan itu sudah merasa puas dengan hal tersebut, maka kalian tidak perlu repot-repot tentang pandangan mata orang lain.”

Aku akhirnya mengerti apa yang ingin dikatakan Takumi. Bahkan jika hubungan kami masih terasa canggung, semuanya tidak ada masalah selama kami merasa bahagia.

“Kamu pikir Sako-san dan aku bisa tetap seperti keadaan kami yang sekarang?”

'Ya. Tidak perlu berubah. Namun, aku seharusnya tidak memberimu saran semacam ini untuk kencanmu,maaf. Yang terpenting ialah kamu bisa tetap bertindak seperti dirimu, dan saling menerima satu sama lain.”

Takumi berusaha menekan intinya lebih jauh, tetapi aku masih merasa ragu-ragu. Bahkan selama kencan hari ini, menyesuaikan satu sama lain bekerja dengan cukup baik. Tapi pada saat yang sama, sama seperti yang dikatakan Takumi, aku merasa akan baik-baik saja untuk menjadi diriku yang sebenarnya.

“Terima kasih sudah mau mendengarku. Aku akan memikirkannya lagi.”

“Tentu.”

Jika aku menerima keadaanku yang sekarang, maka semua usahaku untuk mengejar ke Sako-san akan menjadi sia-sia. Tapi ... memangnya bisa sesederhana itu? Bisakah aku mulai berpacaran dengan Sako-san tanpa memiliki apa pun yang aku banggakan? Bisakah aku tetap bertingkah sama ketika dia berusaha menyesuaikan dirinya denganku? Ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan ini, sensasi nyeri mulai menjalari kepalaku. Kurasa aku tidak dapat menemukan jawabanku sekarang. Untuk saat ini, aku hanya memutuskan untuk memikirkannya saat perlahan-lahan pulang ke rumah.

 

******

 

Orang-orang yang pulang dari festival secara bertahap melewati gerbang tiket stasiun. Dari kejauhan, aku bisa melihat gerbang kuil yang berwarna kemerahan, tatapanku sepenuhnya dibuat terpesona. Aku entah bagaimana berhasil memaksa badanku menuju gerbang tiket, tetapi hatiku masih terjebak di sana. Aku takut melewati gerbang tiket. Jika aku mengambil langkah terakhir ini, aku takkan bisa kembali lagi. Sensasi terbakar di dadaku, kegembiraan aneh yang kurasakan disekujur tubuhku, dan kesepian tangan kosongku ... semuanya akan menghilang.

Saat ini, aku hampir dibuat hancur berkeping-keping. Aku mencoba untuk mengatakan pada diriku sendiri bahwa akhir begini masih baik-baik saja, tetapi penyesalan karena tidak menyatakan perasaanku masih menusuk tajam hatiku. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, aku mencari bantuan dari Mayuko.

“Maaf sudah menelponmu selarut ini.”

“Tidak apa-apa. Jadi, bagaimana hasilnya?”

“... Aku tidak bisa mengatakannya.”

“Kenapa?”

“Kata-kataku tidak akan keluar ... Tapi, bahkan jika aku menyatakan  perasaanku sekarang, itu pasti akan merepotkan Tsuyoshi-kun, ‘kan?”

Aku sadar bahwa aku memaksakan diri untuk terdengar ceria, tetapi Mayuko takkan membiarkan itu berdiri.

“Dasar bego! Kamu masih harus memberitahunya! Hari ini adalah kesempatan terakhirmu, ‘kan!”

“Kamu benar, tapi mendapatkan pengakuan dari gadis yang akan menghilang besok ...”

Mayuko menunggu sejenak dan kemudian memberiku respons yang tenang.

“Kamu tahu, ketika kamu melakukan pendekatan gila kepada Tsuyoshi, aku sedikit bahagia.”

“Mana mungkin. Kamu malah terus memarahiku.”

“Aku khawatir kamu terlalu baik untuk kebaikanmu sendiri. Kamu mendengarkan apapun yang dikatakan orang dewasa kepadamu, kamu terlihat seperti terus berusaha menahan diri. Tetapi ketika berkaitan dengan perasaanmu, Kamu benar-benar emosional, bukan? Sampai ke titik menjadi gila sebentar.”

“Aku tidak benar-benar ...”

“Aku tidak berusaha menyangkalnya. Sebaliknya, aku senang bisa melihatmu bertindak sedikit egois. Kita berdua masih anak SMA, ingat? Terkadang Kamu boleh memprioritaskan dirimu.”

Aku bahkan tidak sadar kalau aku orang yang egois. Apa keinginanku untuk berpacaran dengan Tsuyoshi-kun berasal dari itu? Selama dua bulan terakhir, aku selalu ingin menjadi egois. Tapi mungkin aku selalu egois dalam hal itu. Mayuko melanjutkan.

“Itulah sebabnya ... kamu jangan melarikan diri di akhir. Jadilah egois demi kebaikanmu sendiri, Machika.”

“Apa aku benar-benar boleh menjadi egois ...?”

“Kamu sangat salah. Sejak awal, gadis SMA selalu egois.”

Aku menelan ludahku. Perasaan yang selama ini terus aku pendam, langsung pecah sekaligus, dan mengisi seluruh tubuhku.

“Tapi aku sudah berpisah dengan Tsuyoshi-kun.”

“Kalau begitu, kamu harus mengejarnya.”

Itu tindakan yang gegabah. Tapi meski begitu, aku harus melakukannya. Aku harus melakukannya hari ini, karena ini adalah kesempatan terakhirku. Jangan takut. Larilah.

“Terima kasih, Mayuko. Kalau begitu, aku pergi dulu.”

'Kejarlah mangsamu, harimau.'

“Ya!”

Aku menyimpan ponselku dan berlari di atas aspal dengan sandal getaku. Langkah pertama yang aku ambil membuat rasa sakit di kakiku terasa lebih kuat. Namun ketika aku melangkah untuk kedua kalinya, semua rasa sakitku lenyap. Yukataku menjadi berantakan karena berlari, dan rambutku juga ikut berantakan. Tapi meski begitu, aku terus berlari. Hati dan tubuhku bergerak ke arah yang sama. Keduanya sama-sama gelisah dan bersemangat. Saat ini, aku tidak punya rencana dalam pikiran. Tidak ada kebohongan untuk menebus. Aku hanya berlari menembus angin sambil menjadi seperti diriku. Aku mengambil hak di tempat Tsuyoshi-kun dan aku berpisah dan pergi ke halte bus. Meskipun kegelapan di sekitar kami, aku melihat bayangan tunggal berjalan menyusuri jalan kosong. Itu adalah punggung akrab yang terus kulihat sepanjang malam. Aku sementara berhenti dan mengambil napas dalam-dalam.

“Tsuyoshi-kun!”

Ia perlahan-lahan berbalik, tetapi wajahnya berlawanan dengan lampu jalan, aku tidak bisa menebak ekspresinya. Aku mengambil langkah maju untuk menutup jarak di antara kami, ketika aku diingatkan tentang rasa sakit. Meski begitu, aku mencoba mengambil langkah lain. Rasa sakit menjalari kakiku dan aku harus menginjak tanah dengan kakiku yang lain. Akhirnya, setelah sesaat, wajah Tsuyoshi-kun tepat di depanku. Aku mengambil beberapa napas dalam-dalam dan membuka mulutku. Tetapi kata-katanya masih tidak mau keluar. Aku memiliki pikiran penuh berlari, aku tidak berpikir tentang apa yang harus dikatakan padanya.

Aku diizinkan untuk menjadi egois. Itulah yang dikatakan Mayuko kepadaku. Aku bisa tetap menjadi diriku. Jadilah egois, diriku. Namun, sebelum aku diberi kesempatan untuk berbicara, Tsuyoshi-kun mengangkat suaranya terlebih dahulu.

“S-Sako-san?!”

Suara aku benar-benar terhapus.

“Kakimu berdarah!”

 

****

 

Untuk sesaat, aku pikir Sako-san yang muncul di hadapanku hanyalah halusinasiku. Namun, ketika dia mendekatiku lebih jauh dengan ekspresi tersipu seperti itu, aku diingatkan bahwa ini adalah kenyataan. Dia mengambil langkah maju dan benar-benar kehilangan keseimbangannya. Pada saat itu, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang janggal tentang Sako-san. Warna tali geta-nya dengan satu kaki tampak berbeda ... area di sekitar kami lumayan gelap kecuali cahaya redup dari lampu jalan, tetapi aku bisa segera tahu. Tali itu berwarna merah dari darah kakinya.

“S-Sako-san?! Kakimu berdarah!”

Itu ada luka yang tidak hanya terlihat seperti sayatan. Dia mungkin mengabaikannya untuk sementara waktu sekarang. Aku ingat saran Takumi. “Sangat mudah untuk terluka dengan alas kaki yang tidak dikenal, jadi berhati-hatilah dengan itu. Selalu siapkan handsaplas di dalam kantongmu.” Aku seharusnya menyadari ini jauh lebih cepat. Bahkan tanpa saran itu, cara berjalannya yang aneh seharusnya sudah jelas bagiku. Ini masalah besar. Kupikir aku berhasil membuat kencan ini agak sukses, tetapi aku bahkan tidak bisa menyadari hal sekecil itu. Perasaan minta maafku terhadap Sako-san membuat dadaku terbakar. Tapi saat ini bukan waktunya untuk merenungkannya, pertama-tama aku harus memberinya pertolongan pertama.

“Duduk di sana dan tunggu! Aku akan mengambil beberapa tisu basah!”

Aku membuat Sako-san duduk di tangga bantu terdekat, dan berlari menuju toilet umum.

Aku mencapai toilet, dan sambil mempersiapkan peralatan pertolongan pertama, aku menyadari bahwa kencan hari ini adalah kegagalan mutlak. Alasannya sederhana. Aku berusaha bertindak kuat, mencoba bertindak keren dengan menggunakan saran Takumi. Karena aku hanya mengandalkan itu, aku menyakiti Sako-san.

Jika aku tidak mendapatkan saran dan pergi pada kencan biasanya, aku pasti akan segera menyadari cedera Sako-san. Bagaimanapun, caraku melakukan kencan hari ini benar-benar senjata makan tuan. Seperti yang dikatakan Takumi. Aku seharusnya tidak mencoba untuk menghapus perbedaan ketinggian di antara kami.

Memang benar bahwa ada perbedaan kaliber antara diriku dan Sako-san. Tetapi jika aku tidak menerimanya, kami tidak akan dapat bergerak maju. Bahkan pakaian aku saat ini dilarang mulai sekarang. Dan dengan keputusan itu dibuat, saatnya untuk membersihkan kesalahpahaman di antara kami berdua. Pada hari Sako-san menyatakan perasaannya kepadaku, aku menahannya dengan menyebutnya sempurna. Jadi aku harus bertanggung jawab. Aku mengambil seikat tisu basah dan bergegas kembali ke Sako-san.

Sako-san masih duduk di tanga batu dengan kepalanya tergantung rendah, menatap kakinya yang memerah.

“Maaf sudah membuatmu menunggu.”

“…Tidak apa-apa. Aku minta maaf karena sudah merepotkanmu

Aku mengendalikan pernapasanku ketika mendekati Sako-san, aku  lalu berjongkok di dekat kakinya. Aku dengan lembut melepas sendal geta-nya, di mana darah kering pecah. Sako-san mengeluarkan erangan pelan 'uch!'.

“Maaf! Apa itu terasa perih?”

“Aku baik-baik saja... “

Seluruh kakinya berdarah, aku tidak tahu di mana lukanya berawal. Aku terpaksa sekadar menggosok area umum dengan lembut. Saat melakukan itu, aku melemparkan kata-kata yang baru saja aku siapkan padanya.

“Aku punya sesuatu seperti permintaan padamu, Sako-san. Bisakah kita pergi ke festival musim panas lainnya?”

“Err, ya ...... Kenapa?”

“Aku tidak bisa menggambarkannya. Bukannya aku tidak bersenang-senang hari ini, tapi aku ingin mencoba lagi, karena itu akan membuatnya lebih menyenangkan.”

“Ak-Aku! Aku memang bersenang-senang ... tapi ...”

Aku bisa mendengar gelombang ketidakpastian dalam suara Sako-san. Aku tidak ingin menyangkal apa yang terjadi hari ini. Tapi meski demikian, tidak ada yang akan berubah jika kami berdua tidak jujur ​​satu sama lain.

“Dan ada sesuatu yang perlu aku minta maaf juga. Setelah kamu mengajakku ke festival musim panas ini, aku segera mendapat saran dari Takumi. Menanyakan cara bagaimana menjalani kencan yang sempurna dan semacamnya"

Aku berhasil mengeluarkan darah kering, mengungkapkan luka merah.

“Karena ini pertama kalinya aku pergi ke suatu tempat dengan seorang gadis, jadi aku khawatir. Akibatnya, aku belajar banyak tentang cara membuatmu bahagia. Jadi sikapku hari ini mungkin bukan sifatku yang sebenarnya.”

Aku dengan lembut menaruh tisu segar dan basah di lukanya.

“Pada saat yang sama, aku perlu menyelesaikan kesalahpahaman. Aku tahu itu salahku untuk mengatakannya dengan cara yang salah, tetapi kamu berakting untuk menghancurkan citra sempurnamu, bukan? Karena aku berkata, ‘Kamu terlalu sempurna, jadi aku tidak bisa berpacaran denganmu, 'kan?”

Tubuh Sako-san berkedut dengan lembut kesakitan ketika aku menyentuh luka dan berbicara dengan suara khawatir.

“... kamu tahu semua tentang itu?”

“Cuma baru-baru ini. Itu sebabnya ... Maafkan aku. Aku juga tahu ketika kamu berbohong kepadaku hari ini.”

Setelah lukanya tampak jauh lebih bersih, aku mengeluarkan hansaplas. Aku dengan lembut menyentuh kaki Sako-san, ketika kakinya bergetar sedikit seolah-olah dia merasa geli.

“Kamu tahu aku sengaja memakai yukata?”

“Ya.”

“Kamu juga tahu kalau aku menyukai makanan manis?”

“Kamu suka puding, kan?”

“Bahkan aku memotong poniku dengan kikuk?”

“Kurasa gaya rambut semacam itu juga terlihat hebat padamu.”

Setelah aku menutupi sebagian besar luka dengan hansaplas, aku dengan hati-hati melapisinya dengan tiga lapis. Mungkin lukanya masih sakit, tetapi lebih baik dari sebelumnya. Aku membantunya mengenakan Geta lagi, lalu menatap Sako-san.

“Aku tahu kalau akulah yang memulai seluruh kekacauan ini karena aku memanggilmu sempurna, tapi kupikir kita berdua harus bertingkah lebih alami satu sama lain. Aku sering memikirkannya, tetapi aku ingin menghadapimu dengan benar. Aku ingin kita bergaul dengan cara alami ... dan aku ingin kita lebih dekat dari sebelumnya ...”

Aku segera menyadari hal-hal yang memalukan yang aku ucapkan dengan wajah memerah. Sako-san juga tersenyum.

“Kamu luar biasa, Tsuyoshi-kun. Kamu memikirkan apa yang ingin kamu lakukan dan memberi tahu orang lain ...”

“Itu bukan sesuatu yang istimewa, serius. Jadi ... bagaimana kalau kita pergi ke festival musim panas lain pada akhir pekan depan? Maka kita berdua bisa menjadi diri kita sendiri, bukan?”

“Jika kamu bertanya padaku, maka aku tidak bisa menolaknya ...”

“Tentu saja, jika kamu tidak keberatan dengan itu. Aku tidak akan memaksamu.”

“Tidak, aku benar-benar senang. Aku bisa melihat kalau kamu benar-benar memikirkan aku. Jadi mari kita pergi ke festival musim panas.”

Meskipun dia menerima undanganku, rasanya ada yang janggal dengan senyum Sako-san. Sepertinya dia memaksakan dirinya sendiri seakan-akan dia akan hancur. Apa dia menyadari sesuatu? Tapi apa ... oh ya, sekarang aku memikirkannya.

“Kenapa kamu kembali ke kuil? Apa kamu melupakan sesuatu?”

Sako-san menjatuhkan tatapannya berlutut.

“... Ada sesuatu yang ingin aku katakan, tapi kurasa tidak apa-apa sekarang. Jangan khawatir tentang itu.”

Sesuatu yang ingin dia katakan padaku? Benar-benar hanya satu hal. Aku mungkin menghentikan pengakuan kedua Sako-san.

“U-Ummm ... bisakah aku yang mengatakannya? Setelah kita menikmati diri kita selama festival minggu depan ... Aku ingin menjadi orang yang menembakmu......”

“........ Apa itu janji?”

“Yap, janji. Aku akan mencari festival lain minggu depan.”

“Kalau gitu, janji ya... bahkan jika itu harus terjadi tahun depan.”

Aku agak terjebak pada bagian terakhir dari apa yang dia katakan, tetapi sudah diputuskan. Jika aku berikutnya berjalan dengan baik, aku akan menjadi orang yang menembaknya.

“Aku akan pulang sekarang. Terima kasih atas bantuanmu.” Sako-san berdiri, membalikkannya ke arahku saat dia mulai berjalan.

“Aku tidak ingin kamu terluka lagi, jadi aku akan mengantarmu—”

“Aku baik-baik saja. Aku akan segera pulang.”

Aku mencoba untuk mengikuti di belakang Sako-san, tetapi tampaknya tidak ada masalah dengan cara dia berjalan, jadi aku tidak mengejarnya.

“Hati-hati di jalan, oke? Aku akan menghubungimu lagi setelah aku memutuskan harinya.”

“Yap, sampai jumpa.” Sako-san dengan lembut melambaikan tangannya ke arahku, berjalan di depan sekali lagi.

Dari belakang, aku bisa melihat rambutnya mengacak-acak, dan jepit rambutnya yang sudah terlihat longgar.

 

 

 

8 Agustus,

Aku masih tidak mempunyai keberanian.

Aku tidak bisa menjadi egois.

[1 hari tersisa.]

 

 

 

Sebelumnya Daftar isi   |  Selanjutnya

 

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama