Epilog
Tiupan angin semakin kencang
saat kami berjalan menuju stasiun di sepanjang jalan pohon sakura.
“Ah! Aku hampir melupakannya!”
Luna berseru sambil berhenti. Dia melepaskan genggaman tangannya dari tanganku dan mengambil kantong kertas yang dia pegang bersamaan dengan dahan pohon sakura.
“Ini… hadiah ulang tahun
untukmu!”
“Oh ... terima kasih.”
“Aku tadinya ingin
memberikannya padamu, tapi aku lupa karena aku menggunakannya sebagai pemberat
tikar.”
Sebenarnya, aku juga sedikit
penasaran. Seperti yang dikatakan Luna, hembusan anginnya sangat kencang, jadi
kami memerlukan beban di keempat sudut dari tikar piknik. Semua barang bawaan
kami digunakan untuk itu. Akhirnya, angin semakin kencang dan kami harus segera
membongkar semuanya. Itulah sebabnya dia lupa memberinya hadiah itu.
“Coba dibuka dan lihatlah.”
“Ya.”
Kami duduk di batu bata di
perbatasan antara trotoar dan lereng tanah tempat bunga sakura tumbuh dan aku
membuka kantong besar yang diberikan oleh Luna.
Di dalamnya terdapat tas hitam
yang besar.
Tas ransel dewasa dengan desain
simpel dan kuat yang terlihat sangat elegan.
“Ini adalah tas untuk les
persiapan universitas. Gimana kalau kamu menggantinya dengan tas yang kamu
gunakan sekarang?”
Aku terkejut. Aku teringat saat
Luna melihat tas ransel bolongku saat kami belajar bersama untuk ujian. Apa dia
mengingat hal-hal kecil seperti itu dan memilihkan tas untukku?
“Aku meminta Akari yang suka
tas untuk melihatnya juga. Keren iya ‘kan? Aku pikir kamu suka tas ransel jadi
aku memilih tas ransel.”
“Luar biasa...”
Aku melihat logo di sudut kanan
bawah, dan nama merek tas pria terkenal yang aku kenal tertulis di sana.
“Tapi, bukannya tas ini harganya
mahal ...?”
“Tapi aku ingin memberimu
sesuatu yang bagus untuk les bimbelmu, Ryuuto.”
Luna tersenyum usai mengatakan
itu.
“Menurut Akari, tas yang
harganya beberapa ribu yen adalah barang yang digunakan dalam mode dasar dan sekali
pakai, jadi jika kamu membawa barang berat setiap hari dan membawanya ke
mana-mana, itu akan rusak dengan cepat. Tas ini terbuat dari bahan yang dirakit
dan dijahit dengan baik, jadi kamu bisa menggunakannya dari sekarang hingga
saat ujian masuk universitas dan bahkan ketika kamu menjadi mahasiswa, kamu
bisa membawanya pada hari-hari ketika kamu membawa banyak barang.”
Luna mengatakan itu dengan nada
yang tidak biasa baginya, dia sepertinya mengutip kata-kata Tanikita-san.
“...Ini merupakan uang pertama
yang aku hasilkan dari pekerjaanku. Aku ingin memberikan hadiah yang bisa
digunakan lama olehmu, Ryuuto.”
Ujar Luna sambil tersenyum
malu-malu sambil melihat kuku merah muda miliknya.
Wajahnya terlihat lebih dewasa
dari biasanya.
“Aku benar-benar….. berterima
kasih….”
Hadiah pertama yang diberikan
Luna padaku adalah casing ponsel
dengan model stiker kelinci untuk memperingati minggu pertama berpacaran. Sejak
saat itu, Luna sudah memberiku banyak hal.
Baik yang terlihat maupun yang
tidak terlihat.
Namun, di antara semuanya, yang
satu ini sangat spesial.
Hadiah ini adalah sesuatu yang
dibeli Luna dengan upah yang dia dapatkan dari waktu dan usahanya sendiri,
mungkin menggunakan sebagian besar dari itu. Sebuah hadiah yang dia pilih
dengan sungguh-sungguh karena dia yakin akan bermanfaat bagiku.
Hanya memikirkan itu saja sudah
membuatku hampir menangis.
“... Apa kamu menyukainya?”
Luna tersenyum senang.
“Kantong kecil ini tuh bagus
untuk menyimpan jimat!”
Dia membuka resleting di luar
tas. Di dalamnya ada kantong jaring dan gantungan kunci. Ada jimat yang aku
kenal di dalamnya.
“Aku sudah memasukkan satu.”
Itu adalah sepasang jimat yang
kami beli bersama di Kuil Shushin di Kyoto. Aku menyerahkannya kepada Luna saat
kami membelinya dan benar-benar melupakannya.
“Saat aku tidak ada di sisimu,
aku ingin jimat itu bisa melindungi Lute sebagai penggantiku.”
Luna tersenyum kecil sambil menatap
jimat tersebut.
“Terima kasih ... Aku
benar-benar senang.”
Ada banyak perasaan yang ingin
aku sampaikan, tetapi hal tersebut tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Jadi, hanya itu saja yang bisa aku katakan dengan segala perasaanku.
Luna melihatku dengan mata
sedikit terpejam.
“... Dan kemudian ...”
Dia berbicara dengan sedikit
ragu-ragu.
“Ada satu hal lagi ... aku
ingin memberikan hadiah lagi, tapi aku tahu itu terlalu berlebihan.”
Pipi Luna seketika langsung
memerah saat dia mengatakan itu.
“Aku punya sesuatu yang ingin
kuberikan kepada Ryuuto yang berusia 17 tahun. ... Maukah kamu menerimanya?”
“Ehh?”
Saat aku berpikir tentang apa
yang dia katakan, aku merasa gugup dengan harapan yang sedikit erotis.
“Ryuuto, kamu masih ingat
ketika kamu mulai berpacaran denganku, kamu bilang sesuatu padaku, ‘kan?”
“Eh, ya?”
Karena aku sedikit sibuk
memikirkan hal-hal erotis, jadi responku agak lambat.
“Kamu bilang, 'Bukannya rasa suka Shirakawa-san terlalu
gampangan?', kamu pernah mengatakan kalau rasa sukaku sama seperti teman
biasa, ‘kan?”
“Uh, ya ...”
Aku ingat kalau aku memang
pernah mengatakannya. Aku masih mengeluarkan keringat dingin ketika aku
memikirkan fakta bahwa gadis paling populer di sekolah setuju untuk berpacaran
denganku.
“Ternyata perkataanmu memang
benar. Sebelum aku mulai berpacaran denganmu, aku hanya berpura-pura menjadi
pacar dari teman laki-lakiku, dan aku baru menyadarinya sekarang.”
Luna menundukkan kepalanya dan
menggigit bibirnya.
“Ketika aku memikirkan orang
itu, hatiku begitu panas dan berdebar-debar… sehingga membuatku berpikir bahwa
tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya. Aku tidak tahu perasaan semacam
itu pada saat itu.”
“….Ehh….lalu…”
.. kalau sekarang gimana? Apa dia merasa seperti itu tentangku sekarang?
“Aku merasa cemas. Sampai
sekarang, aku selalu menyerahkan semuanya kepada pihak lain sejauh ini,
terlepas dari pengalamanku, kupikir aku cukup payah ... karena kamu terlalu mengharapkannya,
jadi kurasa kamu akan kecewa.”
“.......”
Aku tak bisa berkata apa-apa
karena diberitahu hal yang tak pernah kuduga.
Aku tak pernah menyangka kalau
Luna mengkhawatirkan hal seperti itu.
“Tapi pada malam itu, saat kita
berciuman, aku mengerti. Jika bersama Ryuuto, tubuhku seperti bergerak dengan
sendirinya. Aku ingin merasakan kenikmatan dan memberikan kenikmatan kepadamu
juga.”
Luna menatapku dengan senyuman
penuh kasih sayang.
“Karena aku benar-benar
mencintaimu ... Ryuuto.”
“Luna...”
Aku merasa hatiku hangat dan
dia tiba-tiba memalingkan pandangan, wajahnya diselimuti kecemasan.
“Mulai sekarang kita akan melakukan
yang terbaik bersama-sama ... Jadi, meski aku tidak begitu mahir, tapi jangan
sampai kecewa, ya?”
“Eh!? Apa maksudmu dengan itu
...?”
Aku terlalu senang
sampai-sampai rasanya jantungku akan meledak.
“Jangan-jangan, Luna, kamu ...”
“Tunggu!”
Luna menyela perkataanku saat
aku terlalu bersemangat.
“Biar aku yang mengatakannya.”
Wajahnya terlihat memerah meski
penuh tekad.
“Karena Ryuuto sudah
mengatakannya padaku. Dan menunggu saat aku menginginkannya. Jadi, aku juga akan
mengatakan 'jika aku ingin melakukannya'.
Jadi sekarang, aku ... ingin melakukannya. Sekarang, sangat ingin
melakukannya.”
Luna mengucapkan kata-kata itu
dengan napas terengah-engah, sambil memandangiku dengan penuh perhatian.
“Aku tidak pernah tahu bahwa
mengatakan 'aku ingin melakukannya' dari
mulutku sendiri adalah hal yang sangat memalukan dan membutuhkan keberanian.”
Dia meletakkan kedua tangannya
di dadanya dan mendesah.
“Walaupun ini bukan pengalaman 'pertama'-ku, tapi aku ...”
Setelah bergumam dengan suara
gemetar, dia perlahan-lahan menatapku.
“Apa aku bisa menjadi yang 'pertama' untukmu, Ryuuto?”
Tatapan matanya terlihat goyah
antara penyesalan dan harapan yang cukup besar untuk menetralkannya.
“Aku ingin menjadi satu
denganmu, Ryuuto.”
Kegembiraan merayap dari dasar
tubuhku dan menyebar ke sekujur badanku.
Aku ingin memeluknya dengan
sepenuh tenaga saat ini juga. Tapi aku tidak bisa melakukan itu, dan itu
membuatku gemetar karena rasa tidak puas.
“Hei, Ryuuto. Kita ...”
Mata bulat Luna menatapku
dengan malu-malu,
“... ayo lakukan?”
Dia berkata demikian dengan
wajah yang menahan rasa malu.
“Aku ingin melakukan s*ks. ...
denganmu, Ryuuto.”
Dengan suara yang pelan, Luna
tersenyum bahagia sambil menunduk.
“Aku baru merasakan hal itu untuk pertama
kalinya dalam hidupku ...”
Angin kencang tiba-tiba bertiup
melalui pohon-pohon sakura di sepanjang jalan dan menghamburkan kelopak bunga.
Bukan angin dari arah sungai,
tapi angin selatan.
Musim semi akhirnya tiba.
Musim semi perubahan.
Hubungan antara diriku dan Luna
juga akan berubah sekarang.
Hampir sepuluh bulan telah
berlalu sejak hari pertama kami berpacaran dan aku dengan bodohnya menolak
ajakannya.
Semenjak saat itu, aku telah
menyesalinya dan meronta-ronta di tempat tidurku.
Sungguh lama sekalu ... atau
mungkin sebentar ... atau mungkin memang lama, aku sangat sabar dalam menunggunya.
Kupikir aku benar-benar
berhasil menahan diri. Aku jadi ingin memberi penghargaan pada diriku sendiri.
Tapi sekarang aku benar-benar merasa senang karena telah bertahan hingga saat
ini. Itulah yang kupikirkan dari lubuk hatiku.
Aku benar-benar menyukai Luna,
aku sangat mencintainya.
Dia terlalu cantik dan imut
untuk diriku, tapi dia masih sangat menginginkan diriku, baik secara fisik dan
emosional.
Aku merasa sangat beruntung dan
bahagia hingga otakku menjadi sedikit mati rasa dan menjadi bodoh.
“Luna...”
Ayah,
Ibu.
Terima
kasih banyak sudah melahirkanku di dunia ini dan membesarkanku hingga hari ini.
Aku
Kashima Ryuuto, 17 tahun.
Lain
kali aku bertemu lagi dengan kalian, aku yakin kalau aku sudah menaiki tangga
kedewasaan.