Prolog
“Alasan
kenapa seseorang memberikan kancing kedua pada orang yang mereka sukai di acara
kelulusan adalah karena itu merupakan benda yang paling dekat dengan hati.”
Aku masih bisa mengingat wajah
Luna yang terlihat malu-malu seolah-olah itu baru terjadi kemarin.
“Kalau
begitu, kurasa aku memilih yang ini.”
Dengan senyum malu-malu, dia
memberikan sesuatu padaku.
Pita seragam.
Sejak hari itu, benda itu terus
disimpan di laci meja kamarku.
“Aku
belum terlalu sering mencucinya, jadi kalau baunya aneh, rasanya akan memalukan!
Aku akan menyemprotkan parfum padanya!”
Dia berkata dengan riang dan
menyemprotkan banyak parfum pada pita yang dilepaskannya.
Pemandangan Luna yang
mengeluarkan semprotan parfum pada pita yang dilepasnya adalah ingatan terakhirku
mengenai Luna yang masih berseragam sekolah.
Bau bunga atau buah yang sangat
kuat yang menempel di pita itu masih tercium samar-samar ketika aku membuka
laci.
Ketika aku mencium aroma itu,
aku teringat pada hari-hari dimana aku merindukan sesuatu yang tidak mungkin
dicapai, dan aku meraih ke langit dengan keras kepala.
“... Boleh aku meminta punyamu juga, Ryuuto?”
Setelah aku memberinya
persetujuan, Luna memandangku dari bawah dengan menengadah, dan meletakkan
tangannya di dasiku.
“... Entah kenapa, kamu terlihat seperti
istri.”
Aku tersenyum kecil dan berkata
dengan lembut.
“Bagaimana
kalau cara membuka dasi? Kamu sudah tahu cara mengikatnya?”
“Eh?
Misalnya seperti saat kamu pulang dari kerja ... Aku memang ingin mencobanya,
tapi memangnya boleh?”
“Aku
merasa senang, sih ... tapi aku menjadi sedikit terangsang.”
Setelah mendengar perkataanku,
wajah Luna memerah dan menekan dadaku dengan tangannya,
“Duhh…
dasar nakal.”
Dia berbisik untuk menahan rasa
malunya. Kehangatan telapak tangannya terasa seperti menembus pakaian dan
kulitku, lalu mencapai hatiku.
Hatiku masih terpikat kepada
Luna, meskipun dua tahun sudah berlalu sejak hari itu.