Chapter 1
Tiriririringririririring……tiriririririririririririring.
Bunyi alarm smartphone
berdering keras di samping telingaku seolah-olah menggoyangkan udara yang
dingin dan sunyi.
“Mmm ...”
Sambil mengambil smartphone-ku,
aku memeriksa kata-kata “berhenti”
dan menyentuh tombolnya agar tidak menekan tombol snooze.
Waktu sekarang sudah pukul
tujuh pagi.
“... Hah.”
Kurasa tidak ada gunanya tidur
lagi, lalu aku membuka mata dengan santai.
Cahaya terang yang merangsek
masuk dari celah tirai melalui jendela di atas kepalaku. Cuaca hari ini
kelihatannya lumayan bagus.
Setelah menyelesaikan
persiapan, aku memeriksa kembali isi tas yang sudah aku siapkan semalam.
“Hari ini ada empat kelas
sampai selesai ...”
Karena ada banyak buku teks,
hari ini tas ransel yang biasa kubawa akan sangat berguna.
Tas ransel yang berbentuk kotak
hitam ini sudah terlihat agak kusam dibandingkan saat masih baru, tapi masih
aktif dan membantu. Aku sudah menggunakannya selama masa persiapan ujian masuk
universitas dan saat musim ujian, dan kami telah melewati semuanya
bersama-sama.
“... Hmm.”
Sambil membawa tas yang sudah
seperti sahabat di punggungku, aku keluar dari lorong dan berteriak ke arah
ruang tamu.
“Aku pergi berangkat dulu!”
Ibuku melihat keluar dan berkata
“selamat jalan” sebelum aku meninggalkan
rumah dengan memakai sepatuku.
“Dingin banget...”
Tanpa sadar aku menceploskan
kata tersebut.
Udara pagi hari terasa begitu
dingin sehingga terasa menyengat telinga, dahi, dan sedikit kulit kepala yang
terbuka. Bahkan dalam sekejap mata, aku bisa merasakan dinginnya di bulu mataku.
Aku segera memasukkan tanganku
ke dalam saku mantel dan memakai sarung tangan yang sudah lama aku tinggalkan di
sana. Ini adalah hadiah dari pacarku pada Natal setahun yang lalu. Tentu saja,
itu bukan buatan tangan, tetapi itu hangat dan sangat bagus karena dapat
digunakan untuk mengoperasikan smartphone.
Semakin dekat ke stasiun,
semakin padat orang yang berjalan di jalan. Pada saat masuk ke gerbang stasiun,
kerumunan orang sudah sangat padat hingga lengan bajuku saling bersentuhan.
Kereta api yang berangkat dari
Stasiun K pada waktu ini biasanya begitu ramai sehingga bahkan jika orang-orang
berkerumunan dari platform, itu masih sangat padat. Aku hanya harus bertahan di
satu stasiun karena banyak orang yang turun pada stasiun A berikutnya, tetapi
inilah yang membuatku merasa tertekan karena ada batasan tersebut.
Aku langsung menaiki kereta
yang datang dan mendorong diri ke dekat pintu belakang. Aku menekan tubuhku ke
jendela dingin sambil menunggu gerbong kereta bergerak. Aku bahkan tidak bisa
menggunakan smartphone-ku, jadi satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah
melihat pemandangan dari luar kereta.
Ini adalah musim dinginku yang
kedua sejak masuk kuliah, tetapi tingkat penumpang pada musim ini tampak 1,5
kali lipat lebih banyak dibandingkan musim panas karena semua orang mengenakan
mantel tebal.
Rasa dingin menusuk tulang yang
tadi kurasakan berubah menjadi panas dan kelembapan yang sangat kuat. Aku
selalu menyesalinya setiap saat, tapi mau bagaimana lagi karena aku tidak bisa
berpakaian tipis hanya karena kereta yang padat sesaat.
Tiba-tiba, lajur gerbong kereta
melintasi tebing dan melewati jembatan besi. Pandanganku langsung tertarik pada
deretan pohon sakura yang muncul di luar kereta.
Deretan pohon sakura di musim
dingin tanpa daun terlihat coklat dan menyedihkan.
Hatiku terasa sakit ketika
mengingat wajah bahagia Luna yang tersenyum di tengah deretan pohon sakura itu.
Perasaanku masih sama seperti
hari itu.
Setelah melewati Stasiun A, aku
merasa bisa lebih bersantai meskipun berdiri di kereta api yang penuh sesak.
Aku beruntung bisa duduk menyelinap
di kursi kosong. Meskipun itu bukan kursi prioritas, aku bisa menikmati waktu
yang tenang untuk sementara waktu.
Aku lalu membuka ponselku dan
memeriksa pesan.
“Selamat
pagi! Aku sibuk bulan ini tapi aku akan terus berusaha keras.”
Pesan dari pacarku masih terlihat
sama seperti kemarin pagi.
[Bagaimana
kabarmu hari ini?]
[Selamat
malam]
[Selamat
pagi]
[Aku
akan pergi dulu karena ada jam kuliah pertama]
Aku mengirimkan pesan lanjutan
ke pacarku dan kemudian menutup aplikasi secara perlahan. Kemudian, aku menatap
smartphone di tanganku. Sarung ponsel, yang tampaknya agak mewah untuk selera
anak laki-laki, merupakan generasi ketiga dari sarung ponsel yang serasi dengan
pacarku.
Hanya para pekerja kantoran dan
mahasiswa yang turun di stasiun terdekat ke universitas. Semua orang berjalan
cepat dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Aku memeriksa ponselku sambil
berjalan, tapi aku belum menerima balasan dari pacarku.
“......”
Mungkin
cuma aku satu-satunya mahasiswa di kampus Houou dengan penampilan yang tidak
keren seperti ini.
Sambil berpikiran seperti itu,
aku melintasi gerbang utama yang sudah sangat akrab bagiku.
Ketika aku tiba di kelas hampir
tepat waktu, ternyata kuliah sudah dimulai.
“Hari ini Bapak harus pergi
lebih awal karena ada rapat, jadi bapak akan memberikan lembaran tugas terlebih
dahulu.”
Seorang dosen laki-laki tua di
depan kelas dengan suara serak yang tidak terdengar jelas tanpa mikrofon
mengatakan hal tersebut tanpa melihat ke arah para mahasiswa.
Ruang kuliah besar yang dapat
menampung ratusan orang hanya dihadiri oleh segelintir mahasiswa karena jam
kuliah pagi dan pembelajaran dosennya yang cepat.
Meja panjang seperti tangga
yang mirip seperti teater Yunani Kuno semakin pendek ke bawah dan semakin dekat
dengan meja pengajar.
Berdasarkan pengalamanku, siswa
akan datang secara bertahap setelah kuliah dimulai, dan teman-teman yang
berkumpul dengan banyak orang selalu duduk di bagian belakang, sehingga
kerumunan orang semakin padat setelah setengah bagian ke belakang. Untuk
menghindari itu, aku maju ke depan dan duduk di baris ketiga.
“Ini,” kata dosen sambil memberikan
tumpukan lembaran tugas tanpa menatap mataku.
Hanya ada aku satu-satunya
orang di baris ketiga, dan bahkan tidak ada orang lain yang duduk di baris
keempat atau kelima, sehingga aku harus bangun dan memberikan lembaran tugas
kepada orang yang duduk di baris keenam.
Di baris keenam, ada sepasang
mahasiswa laki-laki dan perempuan yang duduk berdampingan.
Saat aku diam-diam menyerahkan
setumpuk lembaran tugas, si gadis menatap wajahku.
“… Sampai jumpa?”
“Fufufu, dasar.”
Saat aku berjalan kembali ke
tempat dudukku dengan membelakangi kedua orang itu, terdengar percakapan nakal
dari belakang yang sedikit mengganggu hati.
Mata kuliah hari ini terasa
membosankan seperti biasa.
Alasan kenapa aku memilih mata
kuliah logika simbolik umum hanya karena mudah mendapatkan SKS, dan aku terlalu
maniak sehingga sulit untuk memahami apa yang dikatakan oleh sang dosen.
Menurut beberapa orang, tujuan dari sang dosen hanyalah demi menjual buku
kuliahnya sendiri yang tebal dan mahal senilai ribuan yen sebagai buku teks
kepada ratusan siswa setiap tahunnya. Seolah-olah untuk mendukung teori
tersebut, kegiatan kuliah itu sendiri hampir kebanyakan seperti membacakan buku
teks, sehingga pada awal semester, aku langsung kehilangan semangat untuk
membuat catatan.
Karena perkuliahan tidak
mengumpulkan daftar kehadiran, sehingga tidak sedikit siswa yang hanya membaca
buku teks dan datang hanya untuk mengikuti ujian akhir semester. Oleh karena
itu, aku cukup terkejut ketika ruang kuliah penuh sesak pada saat ujian
pertengahan semester.
“..... Nah, itu saja untuk hari
ini. Kami akan memasuki bagian berikutnya pada perkuliahan berikutnya.”
Sekali lagi, perkuliahan berakhir
tanpa benar-benar memahami materi kuliahnya, dan si dosen segera mengemas
barang-barang dan pergi.
“.......”
Rasanya
hampa banget... pikirku sembari merapikan buku kuliahku ke
dalam tas dan meninggalkan ruangan
sendirian karena aku tidak mempunyai teman yang bisa diajak berbicara.
“Hei, aku sama sekali tidak
mengerti perkuliahan ini, bukannya itu gawat?”
“Aku juga tidak mengerti sama
sekali.”
“Rasanya terlalu kosong.”
“Bener banget.”
“Apa orang yang selalu hadir
bisa mengerti perkuliahan ini?”
“Entahlah. Karena ini sudah
kedua kalinya aku mengambil kuliah ini.”
“Seriusan, lu?”
Dua mahasiswa laki-laki yang
mengambil kuliah yang sama mengikutiku persis di belakangku.
“Ehh, kelihatannya Yukari akan
makan parfait di Shinagawa sekarang.”
“Serius?”
“Karena dia mengunggahnya di
Instagram, jadi aku mengiriminya pesan dan dijawab 'Mau ikutan datang?' Jadi, kamu mau ikutan enggak?”
“Lah, jadwal kuliah keduamu
gimana?”
“Jika kamu meminta Iida, itu
baik-baik saja, dia pasti akan hadir.”
“Ah ya, benar juga. Kalau gitu,
aku ikutan nimbrung, deh.”
“Tau enggak, sepertinya Yukari
sudah putus dengan pacarnya, loh.”
“Yang bener? Cowok yang katanya
bekerja di perusahaan periklanan, ‘kan?”
“Karena dia sendiri yang curhat
denganku, jadi itu berarti, aku mungkin ada kesempatan, iya ‘kan?”
“Enggak, enggak, cewek yang
jadi kontestan Miss Kampus pasti standarnya terlalu tinggi, kali.”
Aku ingin pergi secepat mungkin
sehingga aku masuk ke kamar mandi yang tidak ingin saya kunjungi, tetapi dua
orang itu juga masuk dan akhirnya kami bertiga harus melakukan keperluan kecil
bersama-sama.
“Lagian juga, ngincar Yukari
sih enggak masalah, tapi bagaimana dengan junior klub yang pernah kamu
ceritakan sebelumnya?”
“Ahh~, kalau gadis itu sih
masih dalam pertimbangan.”
“Jadi, cuma dijadiin FWB?”
“Yahh, mungkin lebih dari teman
tapi kurang dari FWB. Aku sih tidak keberatan melakukannya dengan gadis-gadis
penyuka pesta macam dirinya, tapi dia kayaknya terlalu ngotot ingin menjadi
pacarku, jadi aku mengesampingkannya dulu. Kamu sendiri gimana akhir-akhir
ini?”
“Yah, aku sih lagi buntu.
Gadis-gadis di kampus Houou memiliki harga diri yang tinggi, tetapi jika di
luar kampus, mereka seperti hidangan makan siang yang lucu dan menggemaskan.
Bagaimana jika kita mencoba untuk mengajak mereka dengan menunjukkan kartu
identitas mahasiswa kita?”
“Seriusan, luh? Memangnya itu
bakalan ampuh.”
“Ya iya ampuh lah. Merk kampus
Houou memang hebat. Hanya dengan menjadi anak kampus Houou saja sudah membuat
pandangan wanita jadi berubah.”
“Yang benar, loe? Tapi yah, aku
tidak akan menggunakan cara itu.”
“Yah, memiliki pacar seperti
Yukari memang mantep. Tapi aku cuma ingin bersenang-senang dengan cara yang
aman.”
“Hahaha, bukannya itu konyol
banget.”
Ya, itu memang konyol sekali,
‘kan?
“Jika aku membolos jam kuliah
kedua, aku akan terlambat untuk jam kuliah ketiga.”
“Betul banget. Yah, mendingan
kita membolos saja semua jam kuliah hari ini.”
Sambil membersihkan tangannya
dengan sabun berulang kali, mereka meninggalkan kamar mandi terlebih dahulu.
Aku merasa lega.
Tetapi pada saat yang sama, aku
merasa sangat lelah.
“Aku masih tak menyangka kalau
aku mahasiswa Houou sama seperti mereka......”
Aku berdiri di wastafel kamar
mandi yang kosong, mengeringkan tanganku dengan sapu tangan, dan kemudian
mengeluarkan keluhan.
──Jika
di luar kampus, mereka seperti hidangan makan siang yang lucu dan menggemaskan.
Apa itu benar?
Meskipun aku merasa sedikit
cemburu, aku tidak memiliki keberanian untuk melakukan itu, dan sejak awal aku
sudah mempunyai pacar.
Bahkan jika aku tidak memiliki
pacar, berteman dengan banyak gadis yang tidak dikenal sudah menjadi rintangan
yang terlalu tinggi bagi orang pemalu seperti diriku dan hanya membayangkannya
saja sudah membuatku merasa gila.
Ya, hal yang terpenting adalah
hati.
Aku tidak ingin berpacaran
hanya karena penampilan saja.
Setelah berbicara dengan orang
yang diperlakukan sebagai individu, aku bisa merasa nyaman dan bermesra-mesraan
dengan gadis yang bisa saling memahami satu sama lain.
Walaupun aku belum melakukan
itu akhir-akhir ini, sih......
“...........”
Ketika aku mengingatnya dan
melihat ponselku, tetapi pesan hanya berhenti pada “aku pergi sekarang”.
“...........”
Hatiku menjadi dingin lagi, dan
aku berjalan terhuyung-huyung menuju ruang kelas perkuliahan kedua.
Setelah itu, perkuliahan kedua
juga berakhir tanpa masalah, dan aku pergi ke kantin. Pada hari dimana ada
jadwal perkuliahan kedua dan ketiga, aku lebih memilih makan siang di dalam
kampus karena tidak ada waktu untuk keluar.
Ada kantin yang terlihat seperti
aula yang luas, tapi aku lebih menyukai ruang makan yang di atasnya dengan meja
panjang dan kursi pipa seperti ruang rapat. Meskipun suasananya tegang,
makanannya ada banyak dan enak. Ada juga kantin modis dengan interior elegan di
mana seorang koki hotel mengawasi menu di kampus ini, tapi persentase wanita
yang tinggi membuat sulit bagi introvert seperti diriku untuk melangkah masuk
ke dalam sana, jadi aku hanya pernah ke sana sekali.
Karena tempat ini sangat
tegang, banyak atlet yang lapar dan ingin makan banyak, atau mahasiswa yang
datang sendiri dan menghabiskan waktu makan mereka sambil melihat ponsel
mereka. Aku bukan tipe orang yang banyak makan, tetapi sebagai pria, aku sangat
menghargai makanan murah dan banyak.
Aku membeli tiket untuk menu
andalan kari daging babi dan menukarnya dengan nampan, dan ketika aku hendak
menikmati makanan dengan diam, ada seseorang yang berbicara padaku.
“Kashima-dono. Sudah kuduga
dikau bakalan ada di sini.”
Ada seseorang di sebelahku yang
juga membawa nampan yang berisi hidangan kari daging babi dan memanggilku.
“Kujibayashi-kun.”
Kujibayashi Haruku adalah
mahasiswa semester dua jurusan sastra Jepang di Fakultas Sastra, dan
satu-satunya temanku di kampus ini.
Kami bersama-sama menghadiri
mata kuliah bahasa pada tahun pertama kami. Ketika kami berbicara bersama
sebagai pasangan di kelas, kami mengetahui bahwa kami sama-sama introvert dan
akhirnya berteman. Sejak saat itu, kami menjadi teman yang saling bergantung di
bawah bayang-bayang kampus yang brilian ini.
“Bagaimana kabar dikau? Dikau
terlihat sedikit murung.”
Seperti yang bisa kamu dengar,
cara bicara Kujibayashi-kun sangat khas.
Ternyata, ketika ia masih duduk
di kelas satu SMP, ia terlalu introvert untuk berbicara dengan siapapun
walaupun waktunya sudah hampir memasuki pertengahan semester , jadi ia berpikir, “Jika aku mencoba menjadi karakter yang
berbeda dari biasanya, mungkin aku bisa berbicara dengan orang,” dan ia mulai berbicara dengan gaya sastra. Hal
tersebut membuat teman sekelasnya tertawa dan dia menjadi populer. Dan sejak
saat itu, dia tidak bisa berbicara dengan orang lain tanpa menggunakan cara
bicara begini.
“Yah bukan apa-apa, hanya
saja... Ketika melihat ada anak lain yang tidak serius dari kampus yang sama
denganku, membuat suasana hatiku menjadi kecewa.”
Aku sebenarnya khawatir karena
tidak mendapat balasan dari pacarku, tetapi aku tidak ingin membuat kesal
Kujibayashi-kun yang jomblo dengan menceritakan tentang pacarku, jadi aku
memutuskan untuk tidak mengatakannya segera setelah kami bertemu.
“Ohoo, menarik sekali, jadi
dikau pula mengalami hal yang sama? Meskipun dikau pasti lebih normies dibandingkan diriku.”
Ngomong-ngomong, gaya bicara
Kujibayashi-kun sepenuhnya hanya “Mirip-mirip”,
jadi sepertinya dia tidak meniru cara bicara dari kelas atau zaman tertentu.
Jadi, sepertinya ia tidak memiliki kebijakan seperti pelawak yang memaksakan
pengubahan bahasa Inggris ke bahasa Jepang.
“Tidak, kalau begitu
Kujibayashi-kun jauh lebih tampan dariku.”
Ya, meskipun Kujibayashi-kun memiliki
karakter seperti itu, tapi ia mempunyai wajah tampan. Alis dan bulu mata tebal,
kontur wajah yang tajam, terlihat seolah-olah ada darah ras Latin yang
bercampur dalam dirinya, tetapi kedua orang tuanya adalah orang Jepang murni.
Tingginya sedikit lebih tinggi dariku namun postur tubuhnya hampir standar,
jadi aku merasa cukup puas dengan itu.
Namun, Kujibayashi-kun
mempunyai rabun jauh, jadi ia mengenakan kacamata hitam tebal. Itulah sebabnya
fitur wajah yang tajam terlihat terlalu mencolok dan sayangnya ia tidak
terlihat memiliki daya tarik bagi para gadis. Aku juga tidak berpikir ia cowok
yang tampan sampai aku mengenalnya beberapa minggu kemudian ketika kami pergi
ke restoran ramen bersama dan melihatnya melepas kacamata yang berkabut karena
uap, hanya saat itulah aku menyadari bahwa dirinya tampan.
Meskipun aku memujinya, tapi
Kujibayashi-kun mengambil sendok dan tersenyum sinis.
“Hanya dikau yang mengatakan
hal seperti itu pada diriku.”
“Itu sih karena aku tidak punya
teman lain selain kamu... Kita saling memahami.”
“Hahaha.”
Sambil mendengar suara tawa
Kujibayashi-kun yang terdengar seperti pertunjukan seni klasik, aku terus menikmati
hidangan kare.
Keberadaan Kujibayashi-kun
mirip seperti oasis di universitas ini.
“Tapi berbeda dengan diriku
yang seperti badut, dikau masih berhubungan dengan teman-teman SMAmu, ‘kan?
Memangnya dikau tidak pernah berkomunikasi lagi dengan mereka?”
“Ahh...”
Aku berhenti makan kare dan
menatap ke depan. Di meja seberang, ada seorang mahasiswa laki-laki yang tampak
kuat dan terlihat seperti anggota klub olahraga, dia makan dua porsi kare katsu
dengan cepat.
“Kalau dipikir-pikir, memang sudah
lama sekali sejak terakhir kali aku berkomunikasi dengan mereka. Aku tahu kalau
mereka baik-baik saja, tetapi...”
Icchi masih aktif dalam acara “Kids Join”, jadi aku bisa melihat
keberadaannya melalui video KEN dan Twitter. Nisshi juga kadang-kadang online
di Discord permainan, jadi aku tahu kalau ia baik-baik saja.
Di masa SMA, kami mempunyai
hobi yang sama dan topik utama pembicaraan kami adalah KEN.
Tapi akhir-akhir ini, aku tidak
bisa mengikuti video-video Ken. Aku sibuk dengan perkuliahan dan pekerjaan
paruh waktu, ketika aku berbaring di tempat tidur dengan niat untuk menonton
video, aku malah ketiduran. Video yang belum aku tonton terus menumpuk dan mana
mungkin aku bisa menonton semuanya.
“Aku memang ingin bertemu
mereka... tapi jika kami bertemu sekarang, kami mungkin tidak mempunyai banyak
topik pembicaraan.”
Setelah lulus, Icchi
melanjutkan studinya di jurusan arsitektur Universitas Nichiyou. Sementara itu,
Nisshi masuk ke fakultas hukum Universitas Seimei. Karena keduanya tinggal di
rumah mereka di daerah metropolitan, mereka bisa bertemu kapan saja. Sedangkan
aku, yang mengambil jurusan sosiologi di fakultas sastra, sepertinya tidak
memiliki kesamaan dalam hal isi kuliah dengan mereka.
“Aliran sungai terus mengalir,
namun tidak pernah sama. Gelembung buih yang mengambang di permukaan sungai
akan hilang dan muncul lagi, tetapi tidak pernah bertahan lama ...”
Kujibayashi-kun mulai
melafalkan awal sajak “Hojoki”. Ini adalah pengetahuan khas jurusan sastra
Jepang.
Kujibayashi-kun adalah
mahasiswa tahun kedua yang ingin melanjutkan ke sekolah pascasarjana. Dirinya
tertarik pada sastra modern dan rencananya untuk menulis tesis tentang Mori
Ogai. Impiannya adalah melanjutkan ke program doktoral dan menjadi peneliti.
Ayahnya juga seorang profesor universitas
(bidang spesialisasinya adalah sastra Amerika), dan dia mengambil nama putranya
dari hobi komik Amerika.
“….Jika kita pernah mengambang
bersama-sama di permukaan sungai yang sama, kita mungkin akan bertemu lagi di
tempat yang lebih jauh di aliran sungai.”
Ini bukan kutipan dari puisi
Kamo Choumei, tetapi kata-kata Kujibayashi-kun sendiri yang mencoba menghibur
saya. Mungkin karena aku terlihat sangat kesepian.
“Terima kasih. Aku berharap ada
kesempatan seperti itu.”
Setelah memberikan ucapan
terima kasih ringan, aku melihat layar smartphone-ku yang diletakkan di atas
meja. Aku memeriksa waktu dan yang saya khawatirkan adalah balasan dari
pacarku. Karena aku mengaktifkan bunyi notifikasi, jika itu tidak muncul di
layar kunci, itu berarti pesan belum diterima.
“.......”
Apa yang sebenarnya terjadi?
Bukankah seharusnya dia sudah bangun dan
waktunya untuk pergi bekerja?
Sebenarnya, aku khawatir karena
dia tidak menghubungiku sejak semalam. Apa dia baik-baik saja ...?
“Apa ada sesuatu yang dikau
cemaskan?”
Seperti yang diharapkan,
Kujibayashi-kun pasti menyadarinya.
“Tidak, sebenarnya, aku tidak
bisa menghubungi pacarku sejak semalam...”
“Hohou.”
Bertentangan dengan
ekspetasiku, Kujibayashi-kun terlihat gembira. Ia biasanya terlihat cemburu
ketika aku berbicara tentang pacarku dan ia tidak terlalu mendengarkan. Namun,
sepertinya ini adalah topik favoritnya.
“Kelihatannya dia sangat
menikmati waktunya sampai-sampai dia melupakanmu.”
“Bukannya seperti itu. Hari ini
adalah hari kerjanya yang lain.”
Aku bertingkah kekanak-kanakan
dan mengungkapkan ketidaksenanganku secara terbuka. Hal ini membuktikan kalau
aku tidak bisa tenang.
“Sebaliknya, aku
mengkhawatirkan apa dia jatuh sakit dan pingsan ... itulah yang membuatku
khawatir.”
“Jika dia sakit, keluarganya
pasti akan memberitahumu. Jika itu penyakit yang mendadak.”
“….Mungkin bukan penyakit
mendadak yang terlalu parah.”
“Jika memang begitu, palingan
besok juga sudah sembuh. Pokoknya, jangan terlalu dipikirin.”
Kujibayashi-kun menyeringai.
“Dikau harus merasakan sedikit
perasaan hampa dari youkai perjaka yang belum pernah memegang tangan atau jari
seorang gadis sejak lahir.”
Istilah “Youkai perjaka” adalah istilah yang digunakan Kujibayashi-kun
ketika sedang merendahkan dirinya sendiri. Kujibayashi-kun lulus dari sekolah
pria terkenal di Jepang dan tidak pernah mendapatkan informasi tentang wanita
selama masa pubertasnya, yang menyebabkan libido yang terdistorsi dan kebencian
terhadap orang-orang yang sukses dalam hidupnya, sehingga dia menjadi mirip
seperti Youkai. Aku tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan, tetapi dia
pernah mengatakan hal itu sebelumnya.
“Kujibayashi-kun tuh memang
enggak punya ampun ya ...”
Setelah berpura-pura terluka
dan menghela napas dalam-dalam, Kujibayashi-kun menjadi gelisah. Ia sebenarnya
orang yang baik hati dan lembut.
“Kalau gitu, aku harus pergi
sekarang. Jam perkuliahan ketigaku berada di lantai lima gedung selatan.”
“Ah, iya ...”
Ketika aku berdiri dengan
nampan makanan kosong, Kujibayashi-kun melihatku dengan pandangan ragu-ragu.
“Jika sakit, aku yakin kalau kamu
pasti akan mendapat kabar darinya besok.”
Ini adalah penghiburan kedua
dari Kujibayashi-kun hari ini, dan tanpa disadari aku menanggapinya sambil
tersenyum.
“Ya, kamu benar. Terima kasih.”
Aku mengembalikan nampan
makananku dan meninggalkan kantin. Langkahku menjadi lebih ringan dari
sebelumnya.
Sudah
kuduga, ini memang soal hati, pikirku.
Aku tidak tahu bagaimana mengenai
orang lain, tetapi setidaknya aku merasa seperti tipe orang yang bisa diberi
semangat atau ditenangkan dengan menyentuh hati seseorang yang akrab denganku.
Ada banyak orang seperti itu di
masa laluku.
Setelah kupikir-pikir lagi,
hari-hari yang bersinar itu adalah satu-satunya momen sepanjang hidupku yang
hampir menyentuh dua dekade.
Sekarang, aku merindukan
hari-hari di mana aku bisa tertawa gembira bersama Luna dan teman-temanku
setiap hari di sekolah SMA.
◇◇◇◇
Setelah jadwal perkuliahan
keempat berakhir, semua kelas yang aku ambil hari ini telah selesai.
Waktunya sudah menunjukkan
lewat jam 4 sore. Aku meninggalkan ruang kuliah yang kosong tanpa teman dan
bergegas menuju stasiun dengan cepat.
Kereta api di jam sore masih
cukup sepi. Suara ceria murid-murid SMP atau SMA yang pulang sekolah terdengar
jelas, dan ekspresi penumpang terlihat tenang.
Karena tingkat kepadatan
penumpang hanya sampai cukup untuk mengisi semua kursi, aku berdiri di samping
pintu yang tertutup dan menatap pemandangan di balik luar jendela.
Lampu hiasan di jalan berderet
di kawasan perkantoran terlihat menyala terang. Di sekitarnya, pasangan muda-mudi
berjalan berdekatan.
“……..”
Pada saat itu, smartphone yang
berada di kantongku bergetar. Aku mengambilnya dengan panik dan melihat bahwa
itu hanyalah pemberitahuan bahwa stamina dalam aplikasi game-ku telah terisi
penuh.
“…….”
Namun, kondisi mentalku sendiri
justru sedikit terkuras.
Aku turun di stasiun K terdekat
dari rumah dan menuju ke pusat kota.
Tempat pekerjaan paruh waktuku
berada di lantai dasar bangunan komersial berlantai lima yang memiliki restoran
keluarga.
Segera setelah aku masuk
kuliah, aku mulai bekerja sebagai guru les privat di sana. Orang tuaku memiliki
kebijakan kalau mereka akan membayar biaya kuliahku, tapi aku harus mencari
pekerjaan paruh waktu sendiri untuk mendapatkan uang saku, itulah sebabnya aku
memutuskan untuk mencari pekerjaan paruh waktu.
Karena aku kurang percaya diri
dalam pekerjaan layanan pelanggan di industri makanan dan minuman, jadi aku lebih
memilih pekerjaan bidang pendidikan karena tampaknya lebih mudah bagiku untuk mengajar
satu lawan satu daripada di depan orang banyak. Oleh karena itu, aku memilih
sekolah les di daerah tempat tinggal aku yang sudah lama aku ketahui sejak
dulu.
“Halo.”
Aku berhenti di pintu masuk dan
memberi hormat.
“Halo.”
Aku mendapat sambutan balasan dari
karyawan dan guru-guru dari balik meja resepsionis. Meskipun aku merasa bahwa
orang-orang yang ada di sini kebanyakan pendiam dan suka belajar, tetapi meskipun
berkumpul dengan teman sebaya, mereka tidak banyak mengobrol dan tempat ini
tidak terlalu buruk untuk tinggal.
Aku pergi menuju ruang tunggu
guru dan meletakkan barang-barangku. Saya kembali ke ruang staf dekat pintu
masuk untuk mempersiapkan pelajaran setelah memeriksa jadwal.
Ruang staf adalah ruangan yang
luas seperti ruang kelas dengan kursi pipa dan meja panjang seperti ruang
rapat. Di dinding samping terdapat rak buku dan “arsip pengajaran” dengan nama-nama siswa yang telah disusun
dengan rapi.
“Hari ini ... Jadwal kelas
ketiga adalah Makimura-san, Kelas keempat adalah Kuwabara-kun.”
Sambil memeriksa jadwal, aku
bergumam sedikit untuk memastikan.
Saat ini sedang berlangsung jam
pelajaran kedua, aku dan para pengajar yang akan memulai kelas ketiga sedang
menyiapkan bahan pelajaran. Di ruang guru, buku-buku teks yang akan digunakan
oleh siswa tersedia, para pengajar akan menyalin rentang materi hari ini dan
membuat catatan seperti menuliskan jawaban, membayangkan materi yang akan
ditulis di papan tulis, dan seterusnya demi mempersiapkan diri untuk mengajar.
Selain itu, tugas lain yang
harus dilakukan para pengajar adalah menyelesaikan “laporan pengajaran” yang mencakup materi pelajaran hari ini dan
poin-poin kesulitan siswa setelah kegiatan belajar-mengajar selesai. Laporan
ini kemudian akan diperiksa oleh staf dan dimasukkan ke dalam file pengajaran
sebelum pulang.
Aku terlalu teliti dalam
menulis laporan pengajaran, dengan tulisan kecil dan rinci, sehingga memakan
waktu yang cukup lama. Karena para pengajar tidak mendapatkan upah selain saat
mengajar, aku harus bekerja selama sekitar satu jam setiap hari tanpa dibayar.
Upah saat ini adalah 1400 yen
per jam, yang merupakan upah yang lumayan bagi pekerjaan mahasiswa. Namun, jika
waktu kerja tanpa bayaran dihitung juga, aku tidak yakin apa ini benar-benar
tempat kerja yang baik. (TN: 1.400 yen tuh kurang lebih sekitar 150k rupiah)
Di tempat bimbingan ini, aku terutama
mengajar bahasa Inggris kepada siswa SMP dan SMA. Aku mengatakan bahwa aku bisa
mengajar “semua mata pelajaran di bidang sosial”, tetapi kelihatannya hanya ada
sedikit sekali siswa yang ingin belajar bahasa Jepang atau IPS, sedangkan
pengajar yang bisa mengajar bahasa Jepang dan sosial cukup banyak. Oleh karena
itu, aku secara alami mengajar bahasa Inggris yang banyak diminati. Terutama
karena aku memiliki gelar “Anak kampus
Houou”, aku sering diberi tanggung jawab untuk mengajar siswa yang
mempersiapkan diri untuk masuk universitas yang sulit.
Walaupun aku mengajar siswa dari
SD hingga SMA, upah yang aku terima masih tetap sama.
“Kashima-sensei.”
Ketika aku sedang menyalin
materi pelajaran, aku dipanggil oleh seorang pengajar lain yang sepertinya baru
selesai mengajar.
Dia adalah seorang wanita
pengajar yang kecil dan sering terlihat di dalam tempat bimbingan ini, dan tampak
seperti orang yang sebaya denganku. Kupikir dia terlihat bersih dan baik, tapi
ini pertama kalinya dia berbicara denganku.
“Ada sesuatu yang ingin
kubicarakan tentang Makimura Megumi-chan.”
“Eh? Ya, silakan.”
Makimura Megumi adalah gadis
kelas tiga SMP yang menjadi tanggung jawabku di jam pelajaran ketiga. Dia
adalah siswi dari sekolah negeri setempat dan sekarang sedang mempersiapkan diri
untuk ujian masuk dengan belajar soal-soal ujian dari sekolah pilihannya.
“Kashima-sensei bertanggung
jawab untuk mengajar bahasa Inggris, bukan? Aku bertanggung jawab untuk
mengajar bahasa Jepang.”
“Oh ya, benar.”
Aku melihat label nama di bajunya
dan tertulis “Umino Yuuko”. Itu adalah nama yang pernah saya lihat di file
pengajaran.
Seketika itu juga, aku merasa
sangat canggung karena tidak bisa mengingat wajah dan nama pengajar lain yang
sudah aku kenal sebelumnya. Aku merenungkan kembali betapa pemalunya diriku.
Sambil merasa cemas, aku merasa
penasaran mengapa orang ini datang untuk memberitahuku yang kurang pergaulan
sosial. Tapi kemudian, Umino-sensei tersenyum dengan ramah seolah-olah untuk
meredakan kewaspadaanku.
“Megumi-chan bilang, 'Kashima-sensei itu baik dan keren lho'.
Dia sepertinya sangat menyukaimu, sensei, dan belakangan ini dia sering bilang 'Aku akan merasa sedih kalau ujian selesai
dan harus berhenti les di sini'.”
“... Benarkah?”
Karena Megumi-chan adalah gadis
yang pemalu, aku tidak merasakan hal seperti itu sama sekali. Sebaliknya, aku
bahkan memikirkan kemungkinan kalau dia membenciku. Jadi, aku merasa lega
setelah mendengar hal itu.
Dalam pengajaran privat,
kecocokan antara guru dan siswa sangat penting, jadi jika ada permintaan dari
siswa atau wali murid, pergantian guru bisa dilakukan kapan saja. Meskipun
alasan pergantian selain alasan administratif (seperti jadwal yang tidak cocok) takkan diberitahukan oleh
karyawan, tetapi ketika tiba-tiba dicopot dari tugas yang sudah lama dijalankan
dengan baik, itu akan menjadi sesuatu yang mengejutkan dan membuat curiga.
Tapi yah, karena aku sudah
bertanggung jawab sebagai pengajar Makimura-san sejak awal kelas 3 SMP, aku tidak khawatir
kalau dia akan menggantiku dengan orang lain.
“Oh iya, Kashima-sensei. Apa
kamu akan datang ke pesta minum Sabtu ini?”
Umino-sensei tiba-tiba bertanya
seolah-olah baru mengingatnya.
“Eh? Pesta minum?”
“Iya. Pesta itu diadakan
sekitar sekali sebulan oleh pengajar yang sudah mengajar sekitar dua tahun atau
lebih. Tapi aku belum pernah melihat sensei di sana.”
Sudah hampir dua tahun sejak
aku mulai bekerja di sekolah bimbel ini, tapi aku belum pernah mendengar
tentang pengajar yang mengadakan pesta minum. Apa hanya aku yang tidak
diundang? Atau hanya orang-orang yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik
saja yang diajak? Ini adalah kejutan budaya.
“Kalau kamu tidak keberatan,
apa Kashima-sensei juga ingin datang?”
“... Yah, baiklah.”
Tanpa memiliki keberanian untuk
menolak tawaran itu, aku hanya mengangguk.
Kemudian aku baru menyadari
sesuatu.
“... Aku masih berusia sembilan
belas tahun, apa itu tidak masalah?”
Umino-sensei mengangguk sambil
tersenyum.
“Iya tidak masalah. Aku juga
ikut sejak sebelum ulang tahunku. Kamu bisa memesan soft drink jika kamu mau,
Kashima-sensei.”
“Jadi begitu .....”
Sekarang aku tidak punya alasan
untuk tidak hadir, jadi aku merasa sedikit bingung.
“Kashima-sensei lahir lebih
duluan dariku. Aku lahir di bulan Desember juga, jadi aku merasa senang karena
kita seumuran.”
Umino-sensei tersenyum ramah
padaku.
“Baiklah, aku akan memberitahu
panitia yang mengadakannya. Boleh aku tahu nomor kontakmu?”
“Oh ya ......”
“Sensei, hari ini kita berdua
sama-sama mengajar sampai jam pelajaran keempat, ‘kan? Jadi ketika pulang nanti
di ruang tunggu saja.”
“Baik, aku mengerti ......”
Umino-sensei lalu pergi
meninggalkanku.
Aku bergegas kembali mengerjakan
persiapan untuk mengajar di jam pelajaran ketiga.
Kegiatan belajar-mengajar
dengan Makimura-san pada jam ketiga berjalan seperti biasa. Dia sesekali
menatap mataku saat aku berbicara, tetapi wajahnya tidak menunjukkan senyum
atau kelembutan, dan aku merasa seperti sedang ditipu setelah mendengar
perkataan Umino-sensei tadi.
Jam pelajaran keempat dimulai
setelah istirahat sepuluh menit, dan itu adalah pekerjaan utama hari ini yang
cukup menguras tenaga.
Kuwabara-kun yang menjadi murid
les privat di jam pelajaran keempat adalah siswa kelas 2 SMA. Ia adalah seorang
siswa laki-laki dari sekolah swasta di Tokyo yang ingin masuk ke universitas
dengan reputasi tinggi, termasuk universitas negeri.
Terus terang saja, mengajar
siswa SMA lain ketika aku sendiri baru saja lulus dari SMA membutuhkan
keberanian, terlepas dari nilai siswa. Aku merasa enggan untuk menjadi guru
bagi siswa yang fisik dan wajahnya tidak jauh berbeda dari diriku sendiri.
Selain itu, ia belajar di sekolah yang jauh lebih tinggi nilai standarnya daripada
Sekolah SMA Seirin, jadi pada awalnya aku sempat kepikiran seperti “Apa aku benar-benar cocok untuk
mengajarnya?”.
Sekarang sudah hampir setahun
sejak aku menjadi guru privat Kuwabara-kun, jadi aku merasa lebih mudah untuk mengajarnya
dan lebih akrab dengannya. Namun, ia adalah siswa yang tidak bisa diabaikan
karena kadang-kadang dirinya memberikan pertanyaan atau komentar yang tajam
saat aku sedang memberikan pelajaran.
“… Sensei.”
Ia tiba-tiba memanggilku selama
pelajaran.
“Aku sudah punya pacar
sekarang.”
Matanya tampak bersinar dan
pipinya memerah. Sepertinya ia tidak sedang bercanda.
“Hee, benarkah?”
Aku melihat sekeliling ruangan
dengan santai.
Ruangan tempat kelas diadakan
dibagi menjadi beberapa sekat kecil. Setiap sekat dipisahkan oleh dinding
plastik tipis yang cukup besar untuk menampung satu meja, dan ada ruang tunggal
dengan papan tulis di depan yang terletak di seluruh lantai ini. Karena suara
mudah terdengar di sekitar, ketika ruang kelas penuh sesak dengan murid-murid,
setiap guru harus berbicara dengan keras agar murid-murid mereka dapat
mendengar.
“Dia gadis dari mana?”
Karena tidak ada pegawai yang
berjalan di sekitar kelas, aku menjawab dengan santai.
Karena Kuwabara-kun merupakan siswa
dari sekolah khusus laki-laki, ia seharusnya jarang bertemu dengan perempuan.
“Dia dari sekolah bimbel ini.
Kami berada di kelas yang sama untuk mata pelajaran sastra klasik, dan saat
makan siang saat les musim dingin baru-baru ini, dia bilang 'Ayo pacaran'.”
Kuwabara-kun adalah siswa yang
mengambil dua kursus bimbel berbeda. Ia mengambil pelajaran kelompok di sekolah
persiapan tapi ia ingin mendapatkan bimbingan pribadi untuk pelajaran bahasa
Inggris yang tidak dikuasainya.
“Syukurlah untukmu.”
Aku tersenyum dan memberi
selamat kepadanya, tetapi wajah Kuwabara-kun menjadi suram.
“Tapi ketika aku membanggakannya
kepada orang tuaku, mereka justru marah-marah. Mereka bilang 'Apa yang kamu pikirkan ketika menjelang
ujian masuk? Kamu bakalan menjadi bodoh jika kamu berpacaran. Cepat putus
dengan gadis itu'.”
“Jadi begitu, ya……”
Aku bisa memahami kekhawatiran
orang tuanya. Pada kenyataannya, selama masa persiapanku untuk ujian masuk
universitas, ada sepasang pria dan wanita di kelas bimbelku yang mulai berpacaran
selama liburan musim panas SMA. Namun, pria tersebut gagal diterima hingga
universitas pilihan kelima. Sementara itu, wanita tersebut diterima pada
universitas pilihan pertamanya melalui jalur rekomendasi. Mereka berdua rupanya
putus tak lama setelah itu. Itu merupakan kisah yang cukup menyedihkan.
Ngomong-ngomong, aku sama
sekali bukan teman dari orang-orang tersebut. Semua sumber informasiku berasal
dari Sekiya-san. Sekiya-san sangat menyukai “cerita
putus cinta” orang lain, dan memiliki kebiasaan seperti orang dengan sifat
Masokis yang mengumpulkan pembicaraan asmara siswa dari guru bimbel yang baik
hati dan kemudian merasa sakit perut dan kecewa.
Ketika aku sedang
mengingat-ingat masa itu, aku menyadari kalau Kuwabara-kun sedang menatap
wajahku dengan seksama.
“Sensei, apa anda memiliki
pacar saat SMA dulu?”
“… Ya. Aku punya, kok.”
Setelah mendengar jawabanku,
ekspresi Kuwabara-kun tampak bersinar dengan rasa ingin tahu.
“Heee, sejak kapan?”
“Sejak kelas dua SMA.”
“Dia masih bersama dengan Anda saat
kelas tiga?”
“Ya…”
“Anda masih berpacaran dengannya
saat ujian masuk universitas?”
“Ya….”
“Begitu, ya.”
Wajah Kuwabara-kun menjadi
lebih cerah. Sisi bagus dari dirinya adalah ia merupakan cowok yang tulus dan
lugas.
“Meski demikian, Sensei masih bisa
diterima di Universitas Houou. Aku akan memberitahu orang tuaku nanti.”
Melihat tanggapannya yang
begitu, aku pun memberitahunya.
“Tapi itu hanya kasusku.”
Ekspresi gembiranya langsung
membeku seketika.
“Apa kamu akan menjadi lebih
bodoh atau lebih pintar setelah memiliki pacar, semua itu terserah padamu.”
Seandainya aku tidak berpacaran
dengan Luna, aku pasti tidak akan bermimpi untuk masuk ke Universitas Houou.
Aku akan belajar dengan santai
dan mendaftar ke universitas yang ada di daftar prioritas berdasarkan hasil
ujian simulasi.
Pada akhirnya, aku hanya
mendapatkan nilai E hingga ujian simulasi akhir SMA untuk Universitas Houou.
Aku kemudian mengikuti saran Sekiya-san dan mendaftar di beberapa fakultas,
namun hanya diterima di Fakultas Sastra.
“Jika kamu tidak memiliki
kepercayaan diri untuk menjadi lebih pintar, maka menurutku, sebaiknya kamu
putus saja dengan pacarmu seperti yang dikatakan orang tuamu.”
Ketika seseorang berbicara
seperti ini, biasanya orang akan merasa terprovokasi. Aku tahu karena aku juga
merasakan hal yang sama.
Benar saja, Kuwabara-kun
menggigit bibirnya sejenak dan mengangkat kepalanya.
“Aku akan berjuang sebisa
mungkin, Sensei.”
Saat aku melihatnya berkata
seperti itu dengan tenang namun mantap...
Berjuanglah
semampumu, anak muda.
Aku memberikan dukungan dalam hati
dan melanjutkan pelajaran.
◇◇◇◇
Setelah aku selesai menulis
laporan bimbel mengenai kedua murid lesku dan membawanya menuju ketua akademik
untuk diperiksa, beliau mengatakan sesuatu usai menandai laporan dengan stempel.
“Kashima-sensei. Bimbel Makimura-san
akan berakhir minggu depan.”
“Ah...ya. Begitu rupanya?”
Karena masa ujiannya akan
berakhir sekitar waktu itu, jadi kupikir memang sudah waktunya.
“Kashima-sensei, apa kamu tidak
keberatan untuk mempertahankan jadwal yang sama pada tahun depan.”
“Uhmm ... Aku masih belum tahu
sampai April karena jadwalnya masih belum keluar.”
“Jika Sensei berencana mengurangi
jumlah kelas bimbel karena mencari pekerjaan, tolong beritahu aku sebelumnya.
Untuk sementara waktu, tempat Makimura-san dan siswa lain yang lulus ujian akan
kosong mulai Februari, tetapi jika ada siswa yang baik berniat masuk, aku ingin
mereka bergabung.”
Ketua akademik yang tampaknya
berusia empat puluhan merupakan orang yang pendiam, tetapi ia memberikan
informasi yang diperlukan dengan tenang.
“Sebaliknya, apa Sensei berencana
ingin menambah jumlah kelas?”
“Umm ... itu ...”
Aku kesulitan menjawabnya bukan
karena aku akan sibuk, tetapi karena aku merasa lelah dengan pekerjaan di
sekolah bimbel akhir-akhir ini.
Aku sekarang bekerja di sini selama
empat hari setelah perkuliahan dan satu hari Sabtu. Siswa yang aku tangani
berjumlah sekitar sepuluh orang. Ketika Makimura-san dan siswa lain yang mengikuti
ujian berhenti mengikuti bimbel, Kuwabara-kun dan empat siswa anak kelas 2 SMA lainnya,
mereka akan menghadapi ujian masuk universitas secara bersamaan pada tahun
depan dan beban mengajarku akan semakin meningkat.
“Yah, aku tidak akan memaksanya
tetapi jika Kashima-sensei ingin menambah jumlah kelas, itu akan sangat
membantu bagi kami.”
Mungin beliau menerima kesunyianku
sebagai jawaban, ketua akademik dengan cepat mengakhiri pembicaraan. Aku merasa
lega ketika dia memberikan senyum dan ucapan terima kasih.
“….iya.”
Merupakan suatu kehormatan
menjadi seorang guru privat yang dapat membuat karyawan memiliki suasana hati
yang baik. Aku lalu mengucapkan selamat tinggal dengan cepat dan keluar dari
ruangan tersebut.
Ketika aku menuju ke ruang
tunggu, Umino-sensei sedang menunggu di dalam.
“Terima kasih atas kerja
kerasnya.”
Sambil mengenakan mantel, dia
mendongak dari layar ponselnya dan tersenyum padaku.
“Ah, maaf. Apa kamu sedang menungguku?”
Aku berkata tergesa-gesa dan
Umino-sensei menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Tidak, aku sedang membalas
pesan temanku sebelum pulang. Jadi ini cuma kebetulan saja.”
Aku merasa dia sangat baik
karena tidak ingin membuatku merasa khawatir.
Kami bertukar nomor telepon dan
ketika hendak pulang, Umino-sensei lalu berkata.
“Kalau tidak keberatan, apa
kamu mau pergi bersama-sama sampai ke stasiun?"
“Uh ... yah.”
Aku tidak punya alasan khusus
untuk menolaknya, jadi aku meninggalkan gedung sekolah bersama Umino-sensei.
“Aku pergi pulang dulu.”
“Aku pergi pulang duluan.”
“... Terima kasih atas kerja
kerasnya.”
Dari belakang konter, kepala
departemen melihat kami dua kali saat kami pulang. Pasti rasanya cukup
mengejutkan bahwa aku akan pulang dengan guru lain. Kejadian ini memang pertama
kalinya.
Sebelum pukul 10 malam, kawasan
pusat kota di depan stasiun masih terang dengan lampu-lampu jalanan dan toko.
Umino-sensei bertubuh pendek
dan kepalanya setara dengan bahuku. Rasanya agak aneh berjalan bahu-membahu
dengan seseorang yang belum pernah aku ajak bicara sampai hari ini.
“Aku dengar dari Megumi-chan,
Sensei tuh katanya anak kampus dari Houou, ya?”
Tiba-tiba, Umino-sensei
mengatakan sesuatu seperti itu.
“Iya.”
“Heh~, keren. Anak kampus
Houou~.”
Itulah yang dikatakan semua
orang, tapi aku tidak yakin bagaimana harus menanggapinya, jadi aku tetap diam,
dan Umino-sensei menatapku dengan ekspresi penuh arti di wajahnya.
“Itu berarti, Sensei tuh
populer, ya?”
"Tidak juga, tidak sama
sekali...”
Setelah menyangkal sepenuhnya,
aku mempertimbangkan kembali dan membuka mulut.
“… Aku punya pacar yang sudah
kukencani sejak SMA.”
“Ah, jadi begitu rupanya.”
Wajah Umino-sensei berubah
serius sesaat, tapi dia segera mendapatkan kembali senyumnya.
“Kalau begitu, sudah lama
sekali pacarannya, ya? Tiga tahun?”
“Benar. Kurasa sekitar…. tiga
setengah tahun.”
“Hebat sekali. Hubunganmu
lumayan awet, ya.”
Setelah membuka matanya,
Umino-sensei tersenyum pahit.
“Enak banget, ya. Aku sendiri
baru saja putus dengan pacarku.”
“Begitu ya.”
“Aku sudah berkencan dengannya
sejak SMA, tapi akhirnya ia main belakang dengan junior di klub yang sama di
kampusnya.”
“Haa...”
Sejujurnya, aku sedikit
kesulitan untuk menanggapinya jika menyangkut topik yang terlalu pribadi untuk
orang yang aku ajak bicara untuk pertama kalinya.
Umino-sensei sepertinya sudah
menebaknya, dan tersenyum seolah-olah meminta maaf.
“Maaf. Ini pasti merepotkan,
bukan?”
“Tidak juga……”
“Tapi Kashima-sensei mudah
diajak bicara. Aku merasa kalau kita seperti sudah berteman sejak dulu.”
“…………”
Mungkin karena aku adalah
karakter figuran, tapi aku bingung karena aku sama sekali tidak merasa seperti
itu. Namun, aku merasa sedikit senang karena diperlakukan dengan ramah oleh
seorang wanita.
“Kalau begitu, aku menantikan
untuk berbicara dengan Kashima-sensei di pesta minum pada hari Sabtu.”
Setelah meninggalkan tempat
parkir sepeda di depan stasiun, Umino-sensei mengucapkan kata-kata itu dan
pergi.
“.......”
Ketika aku berhenti dengan
perasaan deja vu yang aneh, smartphone di kantongku bergetar. Saat melihat ke
arah layar, ternyata itu adalah panggilan dari pacarku.
“Halo.”
Segera setelah aku menjawab tombol
panggilan, suara yang akrab terdengar di telingaku.
“Ryuuto~!”
“... Luna.”
Suara dari pacar yang sangat
kucintai membuat wajahku rileks dengan sendirinya.
Aku terus mencemaskannya
sepanjang hari karena tidak ada pesan yang masuk, tetapi dalam sekejap aku
sudah tidak memedulikan itu lagi.
“Aku
benar-benar minta maaf! Aku tidak bisa menghubungimu sama sekali hari ini~!
Kemarin malam, manajer wilayah tiba-tiba mengajakku pesta minum setelah selesai
bekerja, aku merasa sedikit mabuk setelah minum karena kurang tidur, tetapi
berhasil pulang dengan taksi dan langsung tertidur hingga pagi, ketika aku
bangun, aku menyadari kalau aku cuma memiliki lima menit sebelum waktu kerja,
jadi aku mandi dengan cepat dan bersiap-siap, kemudian memesan taksi lagi. Aku
tidak punya waktu untuk memeriksa smartphone-ku karena aku harus berdandan di
perjalanan menuju tempat kerja.”
Luna mulai bekerja paruh waktu
di sebuah toko pakaian saat dia duduk di bangku kelas 3 SMA berkat relasinya
dengan toko kue. Dengan penampilannya yang menarik dan kepribadiannya yang ramah,
Luna dengan cepat menjadi pegawai toko yang populer di mata pelanggan dan
kemudian melanjutkan bekerja di perusahaan tersebut setelah lulus.
Saat ini, dia sudah menjadi
wakil manajer di sebuah toko yang terletak di gedung fashion Shinjuku.
Penjelasan Luna yang panjang terus
berlanjut.
“Lalu,
ketika aku datang bekerja hari ini, itu adalah hari terakhir dari penjualan
obral, jadi aku sangat sibuk. Karena itu penjualan obral dengan waktu terbatas,
para pelanggan terus berdatangan, mencoba pakaian dan membayar di kasir,
sementara manajer sedang libur dan pekerja paruh waktu harus diberi istirahat,
aku bahkan tidak punya waktu untuk makan siang sendiri dan tidak pernah pergi
ke toilet selama delapan jam. Aku merasa sangat lelah dan pikir aku akan mati,
tetapi pada akhirnya aku selesai dengan aman dan bisa pulang.”
“Itu sih…. Terima kasih buat
kerja kerasmu.”
Sementara aku khawatir tentang
mengapa aku tidak menerima pesan sepanjang hari, aku juga penasaran apa Luna benar-benar
tidak memiliki waktu untuk mengirim pesan dalam beberapa detik. Namun, aku juga
menyadari bahwa waktu berjalan lebih cepat bagi orang bekerja daripada
mahasiswa. Selain itu, ada satu hal yang membuatku penasaran.
“... Kalau tidak salah, manajer wilayah itu laki-laki, ‘kan?”
Aku pernah mendengar Luna
menyebutkan jabatan tersebut beberapa kali sebelumnya.
“Ya,
ia adalah pria paruh baya berusia sekitar lima puluh tahun. Ia berganti
pekerjaan dari industri makanan dan minuman dan sangat atletis. Ia sering
mengundang para manajer toko dan wakil manajer untuk minum-minum bersama. Ia
bahkan memberitahuku sebelum aku menjelang usia dewasa ketika aku masih berusia
18 tahun bahwa kita akan pergi minum-minum pada saat itu.”
“Yeah, kamu pernah menceritakan
hal itu sebelumnya…..”
Aku yakin kalau orang tersebut
pasti paman keren yang seperti Mao-san. Mao-san adalah paman Luna, jadi tidak
apa-apa, tapi manajer area adalah orang
lain, jadi aku sedikit galau dan gelisah.
“… Apa nantinya bakalan buruk
kalau kamu menolak undangan dari orang itu?”
“Hmm~......”
Luna mengangkat suara khawatir.
“Entah kenapa, baru-baru ini,
sepertinya ada sesuatu yang ingin beliau bicarakan denganku.”
Apaaaa?!?
Pikirku, tapi aku tidak bisa langsung menanyainya karena masih sedikit
sungkan.
“... itu tentang pekerjaan,
bukan?”
“Iya bener, Rasanya seperti,
topik yang terlalu sensitif mungkin?”
“Apa maksudmu..?”
“Hmmm. Rasanya masih sedikit
samar-samar. Seperti seolah-olah sedang mencari tahu perasaanku.”
“...?”
Aku merasa penasaran... apa-apaan
itu... ini benar-benar tentang pekerjaan? Bukannya ia cuma orang tua mesum!?
Ini bukan ajakan untuk berselingkuh, ‘kan!? Apa kamu baik-baik saja, Luna!?
Namun, aku tidak tahu apa-apa
tentang pakaian atau dunia pekerja, jadi aku tidak tahu harus bertanya apa
kepada Luna untuk mendapatkan jawaban yang aku inginkan.
“Bagaimana
dengan Ryuuto? Bagaimana harimu?”
“Ehh? Hmm, biasa-biasa saja. Aku
berangkat kuliah, kerja paruh waktu... Aku sedang dalam perjalanan pulang
sekarang.”
“Begitu
ya, terima kasih atas kerja kerasmu, Ryuuto!”
Suaranya yang ceria selalu
mencerahkan hatiku. Aku yakin kalau aku sudah lelah, tapi bagaimana aku bisa
tetap segar?
“Ah, saat aku pulang nanti, aku
harus mengurus Haruka dan Haruna lagi!”
Luna menyebut nama adik
perempuannya yang kembar.
“Karena aku tertidur tadi
malam, jadi kurasa Misuzu-chan pasti capek mengurusnya sendirian. Aku harus
menemuinya lagi malam ini.”
Pada bulan Juni, ketika Luna
lulus SMA dan menjadi anggota masyarakat, dia memiliki adik perempuan kembar.
Mereka adalah anak dari ayahnya dan pasangannya yang menikah lagi, Shirakawa
Misuzu, yang sebelum menikah nama keluarganya adalah Fukusato-san.
Luna berdamai dengan Misuzu-san
ketika dia masih SMA, dan ketika Misuzu-san mengetahui bahwa dirinya hamil pada
musim gugur itu, mereka mulai tinggal bersama di kediaman keluarga Shirakawa.
Kehamilan Misuzu-san tidak
berjalan mulus, dan dia terbaring di tempat tidur selama beberapa bulan
terakhir. Menggantikan ayahnya yang sibuk bekerja, Luna bekerja keras bersama
neneknya yang tinggal bersamanya untuk merawat Misuzu-san dan mempersiapkan
kelahiran bayinya. Setelah bayinya lahir dengan selamat, tidak peduli betapa
lelahnya dirinya bekerja, Misuzu-san akan menyusu dan mengganti popoknya saat
dia sampai di rumah.
“Kalau
begitu, keretanya akan segera datang, jadi aku tutup ya!”
“Ya, terima kasih sudah menelepon,
meskipun kamu lelah.”
Pastinya, aku bisa mendengar
suara berderu dan pengumuman kereta yang sepertinya sudah sampai di peron.
Setelah menyelesaikan panggilan
teleponku dengan Luna, aku melihat ke langit sambil berjalan di jalan di malam
hari.
Bulan sabit tipis menggantung
rendah di langit.
“... Luna.”
Saat aku bergumam begitu, hatiku
merasa sedikit sakit karena aku sangat ingin melihat wajah tersenyumnya lagi.
◇◇◇◇
Akhir-akhir ini, aku sering
teringat dengan kata-kata yang dulu pernah diucapkan oleh Sekiya-san.
──Masa-masa
selama SMA itu berbeda dengan waktu yang lainnya. Itu benar-benar berharga dan
istimewa.
Selama waktu itu, jika aku
pergi ke sekolah, aku pasti bisa bertemu dengan Luna seolah-olah itu hal yang
biasa.
Di sana juga Icchi dan Nisshi.
Orang-orang yang aku sukai
selalu berada dalam ruang yang sama.
Aku bisa bertemu, berbicara,
dan tertawa bersama mereka setiap hari tanpa harus merencanakan kapan bertemu.
Sekarang aku baru menyadari
betapa istimewanya saat itu dan merasa sangat menyesalinya.
“Ada apa, Kashima-sensei?”
Saat aku meminum soda melon
sambil melamun, aku dipanggil oleh Umino-sensei.
Setelah selesai mengajar pada
hari Sabtu, aku menghadiri pesta minum dengan para pengajar lainnya.
Meskipun ada banyak bar dekat
dengan sekolah bimbel, tempat pesta minum ini terletak agak jauh dari stasiun
demi pertimbangan murid les dan orang tua mereka.
Terasa jelas sekali bahwa
suasana di dalam toko yang gelap dan tenang ini bukan untuk mahasiswa yang suka
berisik, dan aku merasa bahwa mereka sangat memperhatikan supaya semuanya tidak
terlalu berlebihan.
“Bukan apa-apa…. aku sedang
memikirkan sesuatu ...”
Ketika aku menjawab, Umino-sensei
membalas “Begitukah?” sambil
tersenyum. Dia orang yang sering
tersenyum, ya, pikirku.
“Bolehkah aku duduk di sini?”
“Oh ya, silakan.”
“Maaf mengganggu.”
Kemudian, Umino-sensei duduk di
sebelahku.
Meja makan panjang dan kursi
panjang digunakan di pesta ini.
Hingga saat ini, hanya sekitar
sepuluh pengajar yang menghadiri pesta minum. Acara ini dimulai pada pukul 7
malam tepat setelah pulang kerja, tetapi ada orang yang akan bergabung setelah
jam kerja mereka berakhir.
Sebagian besar pengajar mungkin
sudah saling mengenal, tetapi mereka belum pernah berbicara satu sama lain.
Setelah bersulang beberapa kali, aku mulai berbicara dengan orang-orang di
sekitarku dengan percakapan yang aman, tetapi orang lain mulai bergerak ke arah
teman-teman mereka dengan gelas mereka. Kursi kosong muncul di sekitarku sejak
tadi. Sangat menyedihkan.
“Oh ya, hari ini aku memiliki
waktu kosong jadi aku bersiap-siap untuk anak baru yang akan aku ajar nanti.”
Umino-sensei berkata demikian setelah
minum sedikit dari minumannya. Kupikir dia minum highball dari desain mug-nya. Aku bisa mencium sedikit aroma
alkohol dari Umino-sensei.
“Aku akan mengajar bahasa
Inggris untuk anak kelas satu SMA selanjutnya. Jadi aku sedang memilih buku
kosakata Inggris. Aku lalu menemukan buku materi yang bagus jadi aku memberitahu
kepala akademik dan ia berkata 'Itu
adalah buku yang ditinggalkan oleh Kashima-sensei'.”
“Ohh ... buku materi yang itu,
ya.”
Aku segera mengingatnya karena
masih menggunakannya sampai sekarang..
“Aku mengajar seorang anak
bernama Kuwabara-kun yang kesulitan dalam menghafal kata-kata, tapi tidak ada
buku panduan yang bagus di tempat les, jadi aku pergi ke toko buku dan memilih
materi yang cocok. Aku lalu meminta kepala akademik untuk menyimpannya
untukku.”
“Jadi begitu rupanya,
Kashima-sensei tuh sangat antusias banget, ya.”
“Tidak, bukannya begitu…. aku
sendiri tidak terlalu pintar, jadi ketika melihat ada anak yang cerdas tapi
tidak memahami cara belajar dengan benar, aku merasa sangat kasihan dan
berpikir tentang bagaimana aku bisa membantunya bahkan di luar jam kerja.”
“Sungguh luar biasa sekali.
Kalau aku sih tidak bisa melakukan hal seperti itu. Sepertinya Kashima-sensei
cocok menjadi seorang guru.”
Ketika Umino-sensei mengatakan
itu dengan suara kagum, ada suara seorang gadis yang menggema di kepalaku.
――Jika
itu Kashima-kun, sepertinya kamu cocok menjadi seorang guru.
Suara manis dan lembut kembali
muncul dalam ingatanku. Aku bisa mengingat senyum lembutnya juga.
“... Seseorang pernah mengatakan
hal yang sama padaku dulu.”
Orang tersebut adalah Kurose-san.
Ya ...
Mungkin aku telah dipandu oleh
suaranya.
“Aku baru saja mengingatnya ...
Mungkin aku memilih pekerjaan ini karena kata-kata orang tersebut.”
Umino-sensei mendengarkan
dengan diam sambil menganggukkan kepalanya.
“... Namun, setelah mencoba
menjadi pengajar di tempat les, aku jadi tidak yakin apakah aku benar-benar
cocok menjadi seorang guru.”
Apa itu karena dia mengatakan
hal yang sama dengan Kurose-san? Aku telah berbicara dengan Umino-sensei tentang perasaanku yang
sebenarnya .
“Aku merasa agak lelah
akhir-akhir ini.”
Karena aku hanya meminum soda
melon, jadi aku tidak bisa menggunakan mabuk sebagai alasan.
“Aku mengambil kuliah untuk
sertifikasi pengajar di universitas, tetapi sejujurnya, orang seperti diriku
mungkin tidak cocok untuk bekerja sebagai guru. Demi melindungi hatiku ...”
“Umino-sensei!”
Pada saat itu, Imoto-sensei,
yang bertindak sebagai penyelenggara, memanggil kami dari meja lain.
Imoto-sensei mungkin lebih tua
dariku. Ia memiliki aura yang sudah lama bekerja sejak awal aku bergabung
dengan tempat les, jadi mungkin dirinya adalah mahasiswa tahun ke-3 atau ke-4,
atau bahkan mungkin mahasiswa pascasarjana. Ia mempunyai penampilan tinggi dan
kurus, terlihat seperti otaku sedikit, tetapi ia adalah pengajar pria ceria
yang populer di kalangan siswa.
“Katanya Maruyama-sensei
mengikuti klub paduan suara, loh! Bukannya pembicaraan kalian bakalan klop?”
“Oh, benarkah?”
Umino-sensei lalu berdiri
sambil memegang gelasnya.
“Maaf ya, Kashima-sensei. Aku
harus pergi sekarang ...”
“Tidak apa-apa.”
Ketika aku melihat Umino-sensei
pergi, aku berpikir bahwa dia mungkin juga anggota dari klub paduan suara. Aku
tidak tahu banyak tentang Umino-sensei atau dia berasal dari universitas mana.
Aku bahkan mungkin tidak
tertarik untuk mengetahuinya.
Sambil memikirkan hal itu, aku
menyeruput soda melon yang rasa aslinya sudah berkurang karena es yang mencair.
Meskipun dalam situasi yang
agak canggung, aku tetap bertahan di pesta minum hingga akhir acara. Aku tidak
memiliki keberanian untuk mengatakan “aku
pulang” karena takut menjadi pusat perhatian.
“Siapa yang mau ikut ke acara
kedua~?!”
Imoto-sensei berteriak dengan
keras di sisi trotoar. Ia sudah cukup mabuk, dengan wajah merah dan kaki yang
sedikit goyah. Meskipun waktunya sudah mendekati larut malam, sepertinya tidak
ada yang khawatir tentang kereta terakhir karena banyak guru yang tinggal di
daerah ini dan tidak ada jadwal pekerjaan pada hari Minggu.
“Ayo kita pindah ke toko
berikutnya~”
Tidak ada yang peduli apakah
aku akan ikut acara kedua atau tidak. Jadi aku memutuskan untuk menghilang
tanpa meninggalkan jejak dan mulai berjalan menuju stasiun. Tapi kemudian ...
“Kashima-sensei.”
Seseorang memanggilku dari
belakang dan kepalanya berjalan berdampingan di sebelah bahuku. Ternyata itu
adalah Umino-sensei.
“Apa kamu akan pulang?”
“Eh, ya ...”
“Aku juga akan pulang. Ayo
pergi bersama-sama.”
“....baiklah.”
Kami mencari orang lain yang
akan pulang, tetapi hanya kami berdua yang berjalan ke arah stasiun.
“... Kamu yakin tidak mau ikut
acara kedua, Umino-sensei?”
Berbeda dengan diriku,
sepertinya Umino-sensei tampak akrab dengan semua orang.
“Tidak apa-apa. Aku tidak ingin
terlalu larut karena saya harus menyelesaikan laporan yang harus diserahkan
pada hari Senin.”
“Jadi begitu.”
“Aku juga tidak bisa berbicara
banyak dengan Kashima-sensei hari ini, jadi aku senang bisa mengobrol sedikit.”
Sudah kuduga, dia pasti sedikit
penasaran tentang apa yang kubicarakan tadi. Dia benar-benar orang yang sopan
dan taat aturan.
“Apa kamu bersenang-senang hari
ini?”
“Hmm, ya ...”
Aku mencari kata-kata yang
tepat untuk tidak berbohong.
“... Mungkin rasanya akan lebih
menyenangkan jika aku bisa minum sedikit alkohol.”
“Oh, iya. Maafkan aku. Kapan
ulang tahunmu?”
“Maret ini. Di akhir bulan.”
“Ternyata sudah lumayan dekat,
ya. Kalau begitu, tolong datanglah lagi pada acara minum dua bulan nanti.”
“Haha ...”
Aku tertawa kering karena
merasa sedikit canggung. Jika aku minum alkohol untuk pertama kalinya, aku
ingin melakukannya di tempat yang lebih menyenangkan.
Kami berjalan menuju stasiun
sambil berbicara seperti itu, tetapi Umino-sensei tidak meninggalkanku bahkan
setelah kami melewati tempat parkir sepeda sebelumnya.
“... Hari ini kamu tidak datang
menggunakan sepeda?”
Aku bertanya padanya karena
penasaran, dan Umino-sensei mengangguk.
“Ya. Karena ini acara minum,
jadi aku datang dengan berjalan kaki.”
“Ohh…..”
Aku ingat bahwa bahkan
mengendarai sepeda dalam keadaan mabuk juga dianggap sebagai tindakan mengemudi
di bawah pengaruh alkohol.
“Apa rumahmu dekat dari sini?”
“Tidak, sekitar 15 menit
berjalan kaki dari stasiun….”
Memang, jika dekat, mana mungkin
dia akan naik sepeda.
“Jadi kamu akan berjalan
pulang?”
Ketika aku bertanya, Umino-sensei
mengalihkan pandangannya.
“Yahh... karena keluargaku
tidur cepat, jadi aku tidak bisa meminta mereka untuk menjemputku.”
“... Apa kamu selalu berjalan
pulang?”
“Pada saat acara minum seperti
ini, aku biasanya pergi ke acara kedua, jadi Imoto-sensei akan mengantarkan aku
pulang. Karena kami menuju arah yang sama.”
“... Begitu ya...”
Entah bagaimana, aku merasa
seperti harus mengantarnya pulang, dan menjadi gelisah.
Aku masih teringat tentang
kejadian saat masih duduk di kelas 2. Hari dimana aku berhenti berteman dengan
Kurose-san.
Aku pergi pulang bersama
Kurose-san, kemudian berpisah. Segera setelah itu, Kurose-san diserang oleh
pelaku pelecehan seksual di kuil yang sepi.
“... Bagaimana jika kamu pulang
dengan menaiki taksi? Berjalan sendirian di malam hari itu berbahaya bagi
wanita.”
Ketika aku berkata demikian,
Umino-sensei terlihat kesulitan.
“... Aku kehabisan uang karena
belum gajian. Hari ini aku hanya membawa uang cukup untuk biaya acara pertama.
Dan tidak ada uang tersisa di ponselku juga...”
“.....”
Memangnya itu mungkin? Jarak 15
menit berjalan kaki seharusnya bisa dicapai dengan biaya taksi yang murah
bahkan dengan tarif malam. Atau dia sengaja menggunakan alasan ini untuk
memintaku untuk mengantarnya pulang?
Jika itu memang benar, kenapa
dia melakukan itu? (TN: Entah emang MC yang kelewat polos atau enggak peka, tebakan
mimin sih udah jelas nih cewek ngode buat diajak ke Love Hotel :v)
──Merek
anak Houou memang keren. Hanya dengan menjadi anak kampus Houou, pandangan mata
wanita langsung berubah seketika.
Aku sedikit terkejut ketika
mengingat percakapan kedua cowok playboy yang tidak sengaja aku dengar.
──Aku
mendengarnya dari Megumi-chan, apa benar kalau Sensei tuh berasal dari kampus
Houou?
Aku kemudian teringat ucapan
Umino-sensei.
──Wah,
keren. Anak kampus Houou
──Aku
baru saja putus dengan pacarku.
Saat aku berpikir begitu, aku
merasa kalau aku terlalu gede rasa.
Umino-sensei adalah orang yang
baik seperti itu, dia tidak perlu sengaja menargetkan orang yang seperti aku
yang pendiam. Dia pasti memiliki banyak calon pacar lainnya.
“Sungguh tidak apa-apa, aku
akan berjalan pulang. Aku cuma sedikit takut saat melewati taman besar tanpa
lampu jalan. Selain itu, jalannya aman.”
Ucap Umino-sensei sambil
tersenyum.
“.........”
Saat aku mengingat masa-masa
SMA-ku, aku merasa itu adalah masa yang gemilang.
Namun, jika ada satu hal yang
membuatku menyesal, itu adalah tentang Kurose-san. Aku seharusnya melakukan
sesuatu untuk membantunya pada saat itu.
Karena aku tidak membantunya,
aku masih merasa menyesal hingga saat ini.
Pada waktu itu, aku tidak punya
uang, tidak berpengalaman, dan tidak tahu cara memperlakukan wanita.
Umino-sensei bukanlah
Kurose-san.
Aku tidak berpikir ini akan
menjadi penebusan bagi Kurose-san. Namun, aku ingin memberikan sesuatu yang
tidak bisa aku berikan untuk Kurose-san pada Umino-sensei.
“Silakan naik taksi.”
Ketika aku berkata demikian
setelah sampai di tempat taksi di depan stasiun, ekspresi Umino-sensei terlihat
semakin bingung.
“Tapi aku benar-benar tidak
punya uang sekarang... Kalau jalan kaki, aku tidak perlu membayar, ‘kan?”
“Kalau begitu, silakan gunakan
ini.”
Aku mengeluarkan seribu yen
dari dompetku dan mencoba memberikannya pada Umino-sensei.
“Tapi aku tidak bisa mengembalikannya
karena sedang kekurangan uang.”
“Kamu tidak perlu
mengembalikannya. Aku hanya khawatir.”
Umino-sensei menolak untuk
menerimanya, jadi aku memasukkan seribu yen ke dalam tas yang dipegangnya.
Pada saat itu juga, aku
seharusnya melakukan hal yang sama pada Kurose-san. Tidak meninggalkannya di
tengah jalan.
Namun, aku tidak pernah
menyangka kalau Kurose-san akan mengalami pelecehan seksual di tempat sepi
seperti itu.
Aku tahu bahwa wanita berisiko
mengalami hal seperti itu, tetapi mungkin aku tidak benar-benar memahaminya.
Meskipun begitu, aku merasa
bahwa mengantar seorang wanita yang mungkin tertarik padaku sendirian ke
rumahnya adalah tindakan yang salah.
Satu-satunya alasan aku ingin
melihatnya aman dengan mataku sendiri adalah karena demi pacarku tercinta...
Luna.
Oleh karena itu, aku tidak
punya pilihan lain selain melakukannya dengan cara begini.
“Tapi...”
Umino-sensei masih terlihat ragu-ragu.
“Silakan menaiki taksi dengan
uang ini karena itu juga demi diriku sendiri. Tolong.”
Mungkin karena dia merasa segan
dengan permintaanku, Umino-sensei berjalan mendekati tempat parkir mobil taksi.
Sopir taksi lalu membuka pintu dan Umino-sensei duduk di kursi belakang dengan
terpaksa.
Aku memasukkan kepala ke dalam
taksi dan berkata padanya.
“Kamu tidak perlu
mengembalikannya. Jangan khawatirkan hal itu. Selama Umino-sensei kembali ke
rumah dengan selamat, itulah yang terpenting.”
“…….”
Umino-sensei hanya terdiam dan
memandangku dengan wajah canggung.
Begitu aku mundur menjauh dari
taksi, pintunya tertutup.
Di dalamnya, Umino-sensei
memberitahu sopir taksi mengenai sesuatu.
Beberapa saat kemudian, mobil
taksi itu pergi meninggalkan bundaran dengan cepat.
Taksi lain dari belakang datang
ke tempat itu dan membawa penumpang lain yang mabuk sebelum pergi dengan cepat.
Mungkin karena ini masih terasa
seperti musim pesta tahun baru, banyak orang dewasa yang berdiri dengan goyah di
depan stasiun larut malam pada hari Sabtu. Setiap orang yang bergaul dengan
orang lain berbicara dengan keras dan terlihat seperti sedang bersenang-senang.
“…………”
Setelah menonton pemandangan
itu sebentar, aku yang tidak mabuk mulai berjalan pulang dengan tenang.
◇◇◇◇
“Kashima-sensei, ini, silakan
diterima.”
Pada minggu berikutnya, ketika
aku pergi bekerja di sekolah bimbel setelah kuliah, Umino-sensei ada di ruang
tunggu dan memberikan sesuatu padaku.
Saat aku melihatnya, itu adalah
amplop bermotif bunga yang indah.
“Ini adalah uang 1000 yen yang
aku pinjam darimu sebelumnya. Terima kasih banyak.” Sensei Umino-sensei.
“Ehh…. Ah, sama-sama.”
Aku merasa sedikit terkejut
karena dia sendiri yang bilang kalau dia tidak bisa mengembalikan uang karena sedang kekurangan uang. Namun, aku
menerima amplop itu karena terbawa suasana.
“Hari ini ada bimbel terakhir untuk
Megumi-chan, ‘kan? Dia mengeluh kemarin bahwa dia merasa kesepian, loh.”
Umino-sensei berbicara kepadaku
seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku masih berpikir bahwa dia adalah orang
yang baik.
“Baiklah, sampai jumpa lagi.”
Ucap Umino-sensei saat dia
meninggalkan ruang tunggu dengan meninggalkanku sendirian.
Beberapa saat kemudian, Sensei
Umino memutar kepalanya dan berkata.
“…. Aku merasai iri dengan pacar
Sensei. Seorang pria tulus seperti Sensei selalu menghargainya dengan baik.”
Umino-sensei mengatakan itu
setelah menunduk sebentar dan menatapku dengan senyum malu.
“Semoga kalian bahagia. Mungkin
aku terlalu ikut campur.”
Dengan senyum nakal, Umino-sensei
mulai meninggalkan ruang tunggu.
Makimura-san masih bersikap
sinis padaku sampai di pelajaran bimbel terakhirnya.
Dua minggu kemudian, aku
mendengar gosip dari rekan kerja di ruang tunggu bahwa Umino-sensei dan Imoto-sensei
mulai berpacaran.
◇◇◇◇
──
Aku merasai iri dengan pacar Sensei. Seorang pria tulus seperti Sensei selalu
menghargainya dengan baik.
Aku sendiri tidak tahu, apakah
aku benar-benar dapat memperlakukan Luna dengan baik karena meskipun sudah
bulan Februari, aku masih belum bertemu dengannya sejak tahun baru.
Selama liburan Tahun Baru,
pekerjaanku adalah memberikan les privat untuk siswa yang akan mengikuti ujian
masuk universitas, dan kelas bimbel tersebut berlangsung dari pagi hingga malam
hari.
Kebanyakan waktu libur Luna
berada pada hari kerja, sehingga aku merasa kesulitan untuk menyesuaikan
waktuku dengannya ketika jadwal perkuliahanku sudah dimulai.
Selain harus bekerja di siang hari,
Luna juga harus merawat adik-adiknya pada malam hari. Selama satu setengah
tahun terakhir, dia selalu kekurangan tidur. Bahkan pada hari libur kerjanya,
dia sibuk mengantar dan menjemput adik-adiknya dari tempat penitipan anak,
menuliskan nama pada banyak sekali popok, dan membeli makanan bayi.
Jika itu terjadi padaku, aku
akan berpikir bahwa seharusnya aku pindah dari rumah setelah lulus sekolah dan
tinggal sendiri. Namun, adik-adiknya yang jauh lebih muda sangat menggemaskan,
dan Luna menjalani hidupnya dengan penuh semangat setiap hari tanpa mengeluh.
Kemudian, Luna yang sibuk
tiba-tiba meneleponku. Kejadian itu terjadi sekitar pukul 21.00 saat aku pulang
dari bekerja dan makan malam di kamarku.
“Halo?”
Aku merasa gugup dan suaraku
terdengar bersemangat.
Namun, pikiranku langsung terhenti
pada detik berikutnya.”
“Halo,
Kashima-kun? Sudah lama sekali kita tidak saling kontak.”
“......!?”
Aku dibuat kaget dan melihat
panggilan masuk pada ponselku, itu benar-benar panggilan dari Luna.
“Ku-Kurose-san?”
“Maaf
kalau aku tiba-tiba menelponmu. Aku berada di kediaman Shirakawa sekarang. Luna
memberiku izin untuk menggunakan ponselnya, jadi aku meneleponmu. Habisnya, aku
tidak tahu nomor kontak Kashima-kun, sih.”
Suara Kurose-san sangat sulit
didengar karena terdengar bising suara tangisan anak kecil dan suara televisi
untuk anak-anak. Di antara suara itu, aku bisa mendengar suara Luna yang
berkata, “Sudah waktunya tidur, Haruna! Haruka
pasti akan bangun nanti!”
Tidak diragukan lagi kalau
Kurose-san sedang berada di rumah Shirakawa.
“Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Karena tempat Kurose-san
lumayan berisik, aku pun berbicara dengan suara yang cukup keras.
“Begini,
Kashima-kun. Aku sekarang bekerja paruh waktu di departemen editorial manga di
toko buku Iidabashi.”
“Ahh ... Aku pernah mendengarnya
dari Luna. Bukannya itu luar biasa sekali?”
“Enggak
juga kok, karena aku mendapatkan pekerjaan itu melalui kenalan.”
Kurose-san tertawa dengan nada
merendahkan diri sendiri.
Kurose-san adalah mahasiswa tahun
kedua di Universitas Risshuin. Dia masuk ke dalam fakultas sastra di jurusan sastra
Jepang. Menurut penuturan Luna, dia sering membaca buku pada hari liburnya dan
secara bertahap mempersiapkan diri untuk menjadi editor.
“Karena
aku direkomendasikan oleh paman Mao.”
“Oh, Mao-san...”
Kalau dipikir-pikir, pekerjaan
orang itu adalah “penulis lepas”. Tampaknya
ia terutama menulis di Internet, tapi ia tampaknya menerbitkan buku sekitar
setahun sekali, jadi wajar saja dirinya memiliki koneksi dengan penerbit.
“Namun,
belakangan ini, beberapa karyawan paruh waktu selain diriku telah berhenti secara
berturut-turut.”
Suara Kurose-san menjadi muram.
“Banyak
orang yang mendaftar karena ingin menjadi editor, tetapi tugas-tugas yang
diberikan kepada karyawan paruh waktu hanyalah pekerjaan-pekerjaan sepele yang
dapat dilakukan oleh siapa saja. Sepertinya motivasi mereka tidak bertahan
lama.”
“Begitu ya.”
“Meski
begitu, tugas-tugas yang sepele tersebut memerlukan banyak waktu, jadi beban
kerjaku bertambah besar karena banyaknya tugas yang harus dilakukan. Kami juga
tidak dapat mengumumkan lowongan pekerjaan dengan cepat. Karyawan tetap
mengatakan bahwa jika aku memiliki kenalan yang cocok, aku bisa
merekomendasikannya untuk bekerja di sini. Namun, satu-satunya orang yang
terlintas dalam pikiranku adalah Kashima-kun. Kamu adalah seorang mahasiswa
yang sangat pintar dan mampu bekerja di perusahaan penerbitan besar tanpa meninggalkan
tanggung jawabnya.”
“Ehh?”
Perkembangan yang begitu
mendadak membuatku terkesiap.
“Ketika
aku berkonsultasi dengan Luna, dia bilang 'Kenapa tidak bertanya padanya? Kalau
itu Ryuuto, aku yakin ia bisa memintanya untuk membantumu’, itulah sebabnya aku
meminjam ponselnya untuk meneleponmu.”
Seperti biasa, Kurose-san
meniru suara Luna dengan sangat mirip.
“Bagaimana
menurutmu? Apa kamu tertarik untuk bekerja di departemen editorial? Jika kamu beruntung,
kamu bisa bertemu dengan penulis manga terkenal atau membaca naskah manga
populer sebelum dirilis.”
“......”
Selama beberapa saat, aku
dibuat tertegun ketika aku mendengar tentang dunia yang belum pernah aku
pikirkan sebelumnya.
Namun, di dalam suatu tempat di
hatiku, aku merasa bahwa inilah perubahan yang bisa menyelamatkanku dari
kebosanan yang aku rasakan selama ini.
“….Bagaimana,
menurutmu?”
Kurose-san bertanya dengan
ragu-ragu.
“Ya benar juga, mungkin aku
akan mencobanya.”
“Eh!?”
Meskipun dia sendiri yang
mengajakku, tapi Kurose-san tampak terkejut.
“Kamu
beneran…. mau melakukannya….?”
“Nee
Maria! Bisakah kamu mengambil popok di sebelah sana?”
Lalu suara Luna tumpang tindih.
“Ryuuto
bilang ia mau melakukannya? Baguslah untukmu!”
Aku merasa lega ketika
mendengar suaranya.
──Tapi
karena pihak lainnya adalah Maria…. jadi, aku tidak bisa mengabaikannya begitu
saja.
Aku masih ingat dengan jelas
wajahnya ketika dia mengatakan itu kepadaku dulu.
Tapi sekarang sudah berbeda.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
dia percaya padaku bahkan jika aku bekerja di tempat yang sama dengan
Kurose-san.
Tentu saja, dia juga mempercayai
Kurose-san.
Satu-satunya penyesalanku, Kurose-san.
Tiga tahun lebih telah berlalu
sejak hari dimana aku berhenti berteman dengannya, tapi dia tiba-tiba
meneleponku.
Pada saat ini, aku mempunyai
firasat bahwa awal hubungan baru dengannya akan mengubah kehidupan kampusku yang
membosankan ini menjadi sesuatu yang lebih menarik.