Epilog — Hanya Pada Momen Ini…
“Setelah melalui penghitungan,
penghargaan untuk penampilan terbaik diberikan kepada penampilan pentas drama
dari klub kendo wanita.”
“Ooohhhh~”
“Yah, kurasa itu sudah bisa
ditebak.”
“Pentas pedang mereka sangat
dahsyat, sih...”
“Penampilan Sumire-senpai juga sangat
keren…”
“Dan penghargaan khusus
diberikan kepada proyek gabungan antara Kelas 1-D dan Kelas 1-F, Kafe Maid.”
“... Wahhh~”
“Seriusan, apa-apaan dengan
kemenangan yang telak ini ... Meskipun ini adalah upaya bersama dari dua kelas,
namun hasilnya sangat berbeda jauh dengan kelas lainnya.”
“Ah, apa ketua tidak sempat
mampir ke sana?”
“Aku tidak tahu harus berkata
apa tentang itu...”
“Rasa-rasanya aku bahkan
melihat sekilas mengenai kengerian dari bisnis idola ...”
Festival sekolah akhirnya telah
berakhir, dan sementara setiap kelas dan klub sibuk membersihkan dan
beres-beres, panitia penyelenggara festival sekolah mengadakan pertemuan
terakhir. Alisa juga telah menyelesaikan tugasnya sebagai bendahara dan
menghadiri pertemuan, tapi.... sejujurnya, dia hanya setengah mendengarkan.
(Hah...kenapa
aku malah melakukan itu...)
Alisa sekali lagi mengingat apa
yang dirinya lakukan kepada Masachika setelah selesai pertandingan piano. Dia
melakukan sesuatu yang tidak terlalu dia pahami sambil digerakkan oleh emosi
yang tidak begitu dia mengerti. Sekarang setelah dirinya sudah merasa sedikit
tenang karena bekerja dalam kepanitiaan, Alisa mau tak mau hanya bisa
menyesalinya.
(Sungguh,
apa sih yang sudah aku lakukan... memeluknya dengan seluruh tenagaku,
menggigitnya, dan bahkan mencium lehernya... Ah, aku benar-benar tidak mengerti
lagi apa yang sudah kulakukan)
Pada saat itu, Alisa hanya ingin
Masachika hanya melihat dirinya saja, dia ingin hanya dia saja yang boleh melihat
sisi lain Masachika, dan dia membenci Masachika karena terus bersikap tenang
dan melakukan apapun sesukanya... tanpa disadari, dia sudah melakukan hal itu.
(Ahh... Apa jangan-jangan aku ini sebenarnya orang yang sangat posesif...)
Alisa tidak berniat untuk menyangkal
bahwa Masachika adalah orang yang spesial baginya.
Selain masa kecilnya, ia adalah
teman pertama Alisa, rekannya dalam kampanye pemilihan dan sang penyihir yang
menunjukkan banyak dunia kepadanya. Alisa memikirkan Masachika secara istimewa
lebih dari Masachika pikirkan tentang dirinya.
(Mungkin,
itulah sebabnya, kali ya?)
Alisa penasaran, apa Masachika juga
mencari “keistimewaan” yang sama dengannya. Apakah itu sifat sebenarnya dari
keposesifannya..… Pada akhirnya, semua perasaan ini adalah hal yang
baru baginya dan Alisa tidak bisa memahaminya.
(Aku
benar-benar seorang pemula dalam hubungan interpersonal...)
Dirinya mendapatkan lebih
banyak teman melalui aktivitas band, dan sadar bahwa kemampuan berkomunikasinya
sedikit meningkat, tapi itulah sebabnya Alisa memahami bahwa jalannya masih
sangat panjang. Dia masih belum pandai menunjukkan senyum ramah, dia masih
tidak tahu harus berkata apa, dan sama sekali tidak tahu bagaimana mengukur
jarak...
(Yup
... tapi yang itu sih sudah keterlaluan)
Tidak peduli bagaimana Alisa
beralasan, tiba-tiba menggigitnya merupakan perbuatan yang tak masuk akal.
Lagipula, dia sama sekali bukan anjing. Itu adalah tindakan keterlaluan yang
tidak bisa dibela hanya dengan kata-kata seperti tidak terbiasa atau kikuk.
(Ahh,
seriusan, kenapa sih aku malah melakukan itu...tapi Yuki-san pernah melakukan
hal yang sama padanya, ‘kan? Ada bekas giginya pula.....atau lebih tepatnya,
justru karena aku pernah melihat hal itu, aku jadi merasakan semacam dorongan
untuk melakukan hal yang sama...)
Alisa melirik ke arah Yuki yang
sedang menonton jalannya rapat dengan wajah datar, lalu melirik ke arah Masachika
yang ada di sebelahnya. Dan ketika melihat tapal yang telah dioleskan untuk
menutupi bekas giginya, Alisa merasa sangat menyesali atas apa yang sudah dia
lakukan.
(Ahh
mouu ini memang yang terburuk... Aku harus meminta maaf kepadanya nanti... tapi
bagaimana caraku meminta maaf...)
Bagaimana mungkin Alisa bisa menjelaskan
dan meminta maaf ketika dirinya saja benar-benar tidak tahu mengapa dia
menggigit Masachika. Kalau sudah mentok begini, mengapa tidak langsung saja
meminta Masachika untuk menggigitnya dengan cara yang sama, dengan prinsip 'mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi'?……
Tidak, cara yang begitu juga sama-sama tidak masuk akal.
(Ugh...
rasanya aku ingin menghilang saja. Seseorang tolong bantu aku...)
Ketika Alisa akhirnya merengek
dalam hati saat menghadapi masalah yang terlalu sulit, ketua panitia
penyelenggara tiba-tiba berdiri.
“Baiklah! Yah, meskipun ada
berbagai masalah hari ini, tapi berkat kerja sama semua orang, tidak ada orang
yang terluka, dan tidak ada khotbah dari para petinggi Raikokai! Kita entah
bagaimana berhasil melewatinya! Terima kasih banyak, semuanya!”
Setelah mengatakan itu dan
menundukkan kepalanya bersama wakil ketua, si Ketua panitia menyeringai lebar.
“Terima kasih semuanya untuk satu
bulan yang luar biasa! Sekarang kalian bisa menikmati pesta setelah festival
sepuasnya! Oh, dan bagi yang masih memiliki pekerjaan, jangan terlalu
memaksakan diri kalian, ya?”
Setelah sedikit tertawa kecil,
si ketua merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Kalau begitu, mari kita akhiri
dengan satu sorakan kemenangan! Semuanya, tolong ulurkan tangan kalian!”
Mendengar aba-aba tersebut,
semua orang segera berdiri. Ketika Alisa mengulurkan kedua tangannya dengan
cara yang sama, ketua mengambil alih aba-aba.
“Yooo~ohh”
Prokk!
Suara tepuk tangan bergema berulang
kali, dan panitia penyelenggara Festival Shureisai ke-66 akhirnya dibubarkan.
◇◇◇◇
“Alya.”
Ketika dia hendak meninggalkan
ruang konferensi utama, dia dihentikan dari belakang dan Alisa menyentakkan
bahunya. Dia kemudian menoleh sedikit ke belakang dan menjawab dengan singkat
kepada Masachika yang memanggilnya.
“Apa?”
“Ah enggak~ apa kamu punya
waktu setelah ini? Ada tempat yang aku ingin kamu menemaniku…”
Alisa merasa ragu dengan tawaran
Masachika. Sejujurnya, dia sama sekali tidak punya rencana lain. Dia bahkan
berpikir untuk membantu jika ada kegiatan beres-beres yang tersisa untuk kelasnya.
Sekarang setelah pekerjaan panitianya sudah selesai, tidak ada lagi yang harus dia
dilakukan. Namun, setelah memikirkan apa dia harus memberitahunya
secara jujur….. Alisa menyadari bahwa tidak ada gunanya melakukan itu.
Mereka berdua bekerja bersama.
Masachika pasti sudah tahu kalau Alisa tidak punya rencana lain setelah ini.
Lebih
baik meminta maaf di sini dan menyelesaikan masalah dengan anggun daripada
mengatakan kebohongan yang buruk dan berlarut-larut dalam depresi. Setelah
memutuskan hal itu, Alisa hanya mengangguk kecil sambil mengangkat bahunya.
“Yah, aku tidak keberatan,
kok.”
“Syukurlah. Kalau begitu,
maukah kamu ikut denganku?”
Dia meninggalkan ruang
konferensi utama, mengikuti Masachika di depannya. Berjalan menyusuri koridor
yang diterangi cahaya senja, Alisa menatap punggung Masachika dan
bertanya-tanya bagaimana cara membahas topik tersebut.
(Apa
aku tinggal mengatakan [Maafkan aku karena sudah menggigitmu?]. Tapi bagaimana
aku bisa menjelaskan perilaku itu...)
Alisa memutar otak untuk
mencari-cari alasan, meskipun alasannya berbelit-belit.
Hal pertama yang terlintas di
dalam pikirannya adalah Masachika telah melakukan debat atas kemauannya sendiri.
Namun, usai perdebatan, Masachika menjelaskan alasan dibalik tindakannya
tersebut. Ketika Alisa mendengar kalau cerita tersebut hanya diberitahu kepada sesama
anggota OSIS, ketua panitia, dan wakil ketua panitia penyelenggara, dia tidak
ingin mengungkitnya lagi. …… Tidak, sebelum itu masih ada masalah lain yang
masih menjadi misteri.
(Kemarahanku
sendiri tidak masuk akal, bukan...)
Tidak ada alasan atau
semacamnya. Alisa bertindak seperti itu karena rasa posesifnya sendiri.
(Ya
ampun, aku sungguh bodoh sekali)
Tidak peduli seberapa dekatnya
tubuh mereka, bukannya berarti hati mereka juga akan semakin dekat. Bahkan jika
dirinya menggunakan alasan kewanitaan untuk menggambarkan ekspresi alaminya,
dia tidak dapat mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Sejak mereka berdua bertemu
sampai sekarang, tidak ada yang berubah. Bagi Alisa, Masachika adalah
keberadaan yang sangat dekat sekaligus jauh tidak peduli berapa lama waktu
berlalu.
(Suatu
hari nanti... Masachika-kun mungkin akan pergi meninggalkan sisiku.)
Masachika bisa melakukan apa
saja sendiri dan bisa pergi kemana saja. Suatu hari nanti, ketika saatnya tiba,
Masachika mungkin akan mengikuti kata hatinya dan pergi ke tempat lain. Dan
kemudian…. Alisa yang tidak bisa terbang bebas, pasti tidak bisa mengikutinya.
(Ah,
aku benci ini... aku merasa ingin menangis)
Tiba-tiba dadanya bergetar dan
Alisa berkedip-kedip seakan hendak menahan sesuatu yang keluar dari sudut
matanya. Dan kemudian Masachika berhenti.
“Tempat ini...?”
Alisa memiringkan kepalanya
seraya memastikan di mana dia berada, Masachika lalu membukakan pintu untuknya.
“Masuklah”
Dan ketika Alisa masuk ke dalam
ruangan klub kerajinan tangan seperti yang diminta, seorang gadis yang sudah
tidak asing lagi sedang menunggu di sana.
“Oh, akhirnya kamu datang juga
ya, Kuze-shi.”
“Maaf sudah memaksamu menerima
permintaanku, Slit-paisen.”
“Bener banget, deh. Hutang budi
ini bayarannya sangat besar, loh~?”
“Jika aku menjadi wakil ketua
OSIS, aku akan membayarnya kembali sampai dua kali lipat.”
“Nahahahaha! Aku akan sangat
menantikannya jika kalian berdua yang terpilih~”
Ketika melihat dua orang yang
bertukar kata-kata ramah dengan ekspresi yang sedikit rumit, perhatian gadis
tersebut tiba-tiba tertuju kepada Alisa.
“Jadi begitulah, gimana kalau
kita mulai sekarang saja, Kujou-san?”
“Eh, ap-apanya?”
“Sudah~ sudah~ pokoknya, ayo
kemari.”
“E-Ehh?”
Dia menatap Masachika dengan
bingung, tetapi Masachika hanya mengisyaratkan kepadanya dengan lirikan mata. Alisa
kemudian dibawa ke ruang penyimpanan di ruangan sebelah tempat dia melakukan
sesi pemotretan kemarin.
“Ummm...?”
“Hoi, silakan berganti pakaian
dengan baju itu.”
“Eh?”
Gadis itu lalu menunjuk ke
sebuah gaun putih bersih yang dipajang pada sebuah manekin di ruang jendela
yang diizinkan untuk digunakannya kemarin.
“Kalau gitu~ ayo ganti bajunya
dengan cepat, oke~? Seharusnya ukurannya sudah pas, tapi jika tidak, aku akan
segera menyesuaikannya. Ah, pakai sepatunya yang ini, ya~”
“Eh, enggak, ummm, apa-apaan
ini ...”
“Ayo~ cepat pakai~”
Gadis itu jelas-jelas
mengabaikan keraguannya, dan Alisa pun berganti pakaian tanpa mengetahui apa
yang sedang terjadi.
“Sippp! Ukurannya pas banget!
Seperti yang diharapkan dariku. Kuze-shi~ sebelah sini sudah selesai, loh~”
Dan kemudian, setelah merasa
kagum dengan hasil kerjanya sendiri, gadis itu segera pergi.
“... apa yang harus aku lakukan
di sini?”
Ditinggal sendirian di dalam
ruang penyimpanan, Alisa mengguncang dirinya dengan tidak nyaman. Namun,
Masachika segera memanggil namanya dan Alisa memeriksa pakaiannya sejenak
sebelum meninggalkan ruang penyimpanan.
“Ohh~ ... pakaian itu sangat
cocok untukmu. Kamu terlihat sangat cantik sekali.”
Dan kemudian, Alisa dibuat
kagum dengan pakaian Masachika yang menertawakannya. Seragam ksatria berwarna
putih dan biru itu tampak mempesona bahkan dalam cahaya yang redup. Masachika
yang menyisir dan mengatur sedikit rambutnya, tersenyum masam melihat reaksi Alisa
yang berdiri di sana dalam diam.
“Oi hentikan, jangan mendadak
diam napa!?”
“Ahh, enggak…..”
“Tidak, mending jangan bilang
apa-apa. Lebih baik kalau tidak berkomentar apa-apa! Aku sadar betul dengan
pakaianku sendiri!”
Alisa hampir saja mencoba
mengatakan “keren”, tapi Masachika
menghentikannya dan menelan kembali kata-katanya. Sebagai gantinya, dia
mengajukan pertanyaan yang selama ini dia pendam.
“Sebenarnya, apa-apaan ini...?”
“Ahh, ini sebenarnya...”
Masachika kemudian dengan
canggung meletakkan tangannya di lehernya.
“Aku sudah berjanji padamu
kemarin, kan...? Yah sebenarnya, sudah lama sebelum itu juga sih. Kita akan pergi
ke festival sekolah bersama-sama.”
“Ah...”
“Aku benar-benar minta maaf.
Pada akhirnya, kita malah kehabisan waktu, dan yang terpenting, aku bahkan tidak
bisa menonton pertunjukan konsermu…. Tidak mengherankan jika kamu marah.”
Sambil berkata demikian,
Masachika menunjukkan tapal di lehernya dengan jarinya. Alisa merasakan
kepedulian Masachika terhadapnya, dan hatinya tersentuh oleh tindakannya
tersebut.
Setelah memahami penyesalan dan
penderitaan Alisa, Masachika seolah-olah mengatakan kalau dia tidak perlu
meminta maaf. Dirinya juga tidak akan bertanya mengapa Alisa melakukan tindakan
itu.
(Ahh……)
Kebaikan yang ditunjukkannya membuat
Alisa merasa ingin menangis lagi. Etah ia menyadarinya atau tidak, Masachika dengan
cepat mengalihkan pandangannya dan berkata sambil melihat ke bawah secara
diagonal.
“Jadi, yah, itu sebabnya...
meski ujung-ujungnya kita cuma bisa menghadiri pesta perayaan selesai festival
, tapi seperti yang kamu minta, kupikir aku akan membuat ajakan yang pantas
dengan caraku sendiri.”
Kemudian, setelah berdeham
ringan, Masachika berlutut di tempat. Dan setelah berkedip sebentar, senyuman
tipis muncul di wajahnya.
“Hanya untuk saat ini, izinkan
aku memperlakukanmu seperti seorang putri, oke?”
Setelah mengatakan hal itu
sambil bercanda, Masachika dengan lembut mengulurkan tangannya ke arah Alisa.
“Putri, apakah kamu bersedia
memberiku kehormatan untuk menjadi pasanganmu?”
Itu adalah ajakan untuk
berdansa dalam pesta perayaan. Pada ajakan yang begitu romantis dan nyaris seperti
orang yang sedang menggombal membuat jantung Alisa berdegup kencang dan dia pun
tertawa kecil.
“Duhhh, apa-apaan itu...
bukannya kamu cuma meniru akting Kiryuuin-senpai saja.”
“Apaan sih, padahal aku sudah
berusaha sejantan mungkin!?”
“Jadi niatmu yang sebenarnya?”
“Mana mungkin aku bisa
melakukan ini dengan wajah tenang dan serius begini?!”
“Pfft, ahahaha.”
Seraya mendengar kejujuran Masachika,
Alisa merasakan kegembiraan yang menyebar di dalam hatinya.
Meskipun ia masih bercanda
seperti biasanya, Masachika yang sekarang hanya melihat ke arah Alisa. Dari
lubuk hatinya, ia benar-benar menginginkan Alisa.
(Hanya
untuk saat ini... Masachika-kun benar-benar menjadi pasanganku.)
Anehnya, saat ini mereka berdua
memiliki pemikiran yang sama. ‘Hanya pada
momen ini, itulah yang mereka pikirkan.
Tanpa menyadari perasaan
masing-masing, Alisa meletakkan tangannya di atas tangan Masachika dengan gerakan
teatrikal untuk menyamai gerakan Masachika.
“Tentu, dengan senang hati.”
Lalu dia tersenyum dengan nakal
seraya berkata,
Pada saat itu, terdengar bunyi
jepretan kamera ponsel yang samar-samar. Masachika lalu menoleh ke arah suara
itu, dan mengomel sambil memberi tatapan tajam.
“Oi, Slit-pai. Jangan seenaknya
mengambil foto tanpa izin.”
“Jangan ngedumel begitu. Ini bisa
menjadi kenangan yang bagus, kan? Lihat nih.”
Layar smartphone yang diarahkan
kepadanya saat dia mengatakan itu menunjukkan dua orang yang berpegangan tangan
dengan senyuman di wajah mereka. Alisa mengangkat bahunya karena merasa malu.
Ketika Alisa melirik ke arahnya, Masachika juga kebetulan sedang melihat ke
arahnya. Mereka berdua saling memandang dan kemudian berpaling pada saat yang
bersamaan. Kemudian, terdengar suara kagum memasuki telinga mereka berdua.
“Seriusan deh, kalian berdua
pasangan yang serasi banget. Pantas saja kalian saling bertukar percakapan yang
begitu manis ketika di atas panggung tadi.”
“…Ehh?”
Saat Alisa berbalik dengan alis
mengernyit mendengar kata-kata yang didengarnya, siswi itu mengedipkan matanya
dengan kaget.
“Lah? Jangan-jangan orangnya
sendiri tidak menyadarinya, ya? Padahal itu sedang menjadi topik hangat
sekarang, loh. Entah bagaimana, katanya Kujou-san mengatakan sesuatu seperti 'Aku mempercayaimu' kepada Kuze-shi di
atas panggung halaman sekolah.”
“... Hah? Ke, napa—”
Ketika dia mengeluarkan suara
tercengang, pemandangan kejadian pada waktu itu kembali terlintas dalam benak
Alisa.
Ketika Masachika
memberitahunya, “Percayalah padaku dan
tunggu aku,” Alisa mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya dan
menjawab, “Aku percaya padamu.”
…Menggenggam kedua tangannya,
di depan dadanya.
Di tangannya, ada sebuah
mikrofon.
Dan mikrofon itu, sudah
dinyalakan.
“Ah, ah, ah, ahh ...”
Alisa merasa ngeri dengan
firasat yang menakutkan itu dan mengeluarkan suara gemetar dengan ekspresi
kaget di wajahnya. Siswi tersebut lalu mengacungkan jempol kepada Alisa sambil
tersenyum manis.
“Seperti yang sudah kubilang
sebelumnya, pembicaraan itu sudah menjadi trending topik sekarang. Jika kalian berdua
pergi ke halaman sekolah bersama dengan pakaian itu, kalian berdua pasti akan
menjadi bintang utama di pesta perayaan!”
Rasa malu Alisa menembus hingga
batasnya karena serangan mental bertubi-tubi yang tidak disadari itu, kemudian…
“Ti-Tidaaaaaaakkkkkkkkkkkkkk~~~~!!!”
Jeritan Alisa bergema memenuhi
sepenjuru ruang klub kerajinan tangan saat senja.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya