Otonari no Tenshi-sama Jilid 6 Bab 6 Bahasa Indonesia

Bab 6 — Tenshi-sama dan Individu yang Mencurigakan

 

Keesokan harinya, hal pertama yang Amane lakukan setelah kembali ke unit kamar apartemennya adalah membereskan semuanya. Ia mendapati dirinya terlalu lelah pada hari dirinya kembali, tetapi setelah jauh dari kamar apartemen selama kurang dari dua minggu, kamarnya menjadi agak berdebu. Meski tidak terlalu berdebu layaknya rumah kosong, Amane ingin menjaganya sebersih mungkin—lagipula ia akan menghabiskan waktu di sana bersama Mahiru.

Oleh karena itu, Amane harus membersihkan kamarnya menggunakan kemampuan beres-beres yang pernah diajarkan Mahiru. Tampaknya, Mahiru juga melakukan pembersihan di kamarnya sendiri. Makanya Amane sendirian. Meskipun bersih-bersih bukan keahliannya, ia tidak kesulitan melaksanakannya berkat Mahiru. Menurut Mahiru, “Jika kamu sering membersihkan rumah secara teratur, kamu tidak perlu berusaha terlalu keras dalam jangka panjang. Jika kamu terus menundanya, kamu akan membuang-buang waktu dan usaha yang tidak perlu.”

Seperti yang sudah diajarkan pacarnya, Amane hanya perlu melakukan bersih-bersih ringan di sana-sini secara teratur untuk menjaga kebersihan tempatnya. Dirinya tidak membutuh waktu lama karena debu hanya menutupi sedikit furniturnya. Amane dengan cepat menyeka debu sebelum memutuskan untuk menyedot debu, tetapi saat melakukannya, ia juga sekalian membersihkan jendela. Amane lalu melihat jam dan menyadari kalau waktunya sudah lewat puku; tiga sore.

Penjualan di supermarket lokal biasanya dimulai pada pukul empat, jadi Amane pikir dirinya harus segera pergi ke sana.

(Aku sudah berkembang cukup baik, jika aku mengatakannya sendiri ...)

Alasan Amane pergi ke supermarket adalah karena ia sudah mengosongkan kulkas sebelum mengunjungi orang tuanya, dan karena itu, dia tidak punya bahan apa-apa untuk makan malam. Amane bisa sarapan dan makan siang dengan ramen instan dan makanan beku, tapi porsi tersebut masih tidak cukup untuk makan malam.

Amane bertugas berbelanja, tapi mereka masih membagi biaya bahan-bahannya. Karena mereka berdua berbagi biaya makanan, jadi tidak mengherankan jika mereka berusaha menekan biaya serendah mungkin. Memikirkan seberapa banyak dirinya telah berubah, Amane tersenyum masam pada dirinya sendiri dan pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian kotornya.

 

   

 

“…Hm?”

Ketika Amane sedang berjalan menuju supermarket, seseorang dengan rambut berwarna kuning muda melewatinya. Mau tak mau dirinya jadi berbalik untuk melihat ke belakang, tapi tentu saja, ia hanya bisa melihat punggung pria itu. Sementara rambut orang itu tidak sepanjang rambut Mahiru dan pria itu memiliki jenis kelamin yang berbeda, warna rambut alami yang terang itu terlihat tidak biasa, terutama karena tampaknya tidak diwarnai.

Amane lalu memasuki supermarket sambil berpikir, ‘Terkadang ada hal-hal yang tidak biasa terjadi, ya’, saat dirinya memilih bahan untuk makan malam dan memasukkannya ke dalam keranjang. Tapi kemudian ia mendengar suara yang dikenalnya datang dari belakangnya.

“Tumben sekali, rasanya senang bisa bertemu denganmu di sini.”

“Kokonoe?”

Orang yang berdiri di belakangnya adalah seorang pemuda yang berteman dengannya melalui pertempuran kavaleri, dan mereka diperkenalkan oleh Yuuta. Di tangannya ada keranjang belanjaan yang sama seperti Amane. Ia berbelanja layaknya anak SMA, memiliki beberapa makanan ringan dan cemilan, yang lebih khas dari orang seusia mereka dibandingkan dengan Amane.

“Fujimiya, kamu tinggal di dekat lingkungan sini?”

“Ya. Kukira kamu tidak berada di area ini, Kokonoe…”

“Aku di sini hanya untuk berbelanja karena kebetulan sedang mampir di rumah teman. Fujimiya, kamu membeli bahan untuk makan malam…?”

“Ya, membeli bahan untuk makan malam nanti.”

Dari apa yang bisa dilihatnya, keranjang di tangan Amane berisi ayam mentah, lobak, susu, tahu, dan barang-barang lain yang takkan dianggap sebagai makanan ringan.

“Aku ingat kamu hidup sendiri, Fujimiya. Itu patut dipuji.”

“Yah, tidak ada yang perlu dipuji karena Mahiru yang memasak makanannya…”

“…..Ah, kamu pernah mengatakan itu…kamu benar-benar menjalani kehidupan yang penuh impian.”

“Yah bisa dibilang benar. Aku selalu berterima kasih kepada Mahiru.”

Tanpa kehadirannya, pola makan Amane akan berantakan. Berkat Mahiru, Amane sekarang bisa melakukan sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Jika dia pergi dari sampingnya, kehidupan Amane saat ini tidak mungkin dipertahankan. Sambil terkekeh kecil, dia bergumam, “Ini semua berkat Mahiru,” dan Makoto mendesah pelan.

“Bagaimana bilangnya ya, serius ... kamu benar-benar sudah bucin banget dengannya.”

“Ya, dan itu juga sama untuk Mahiru.”

“Kamu kelihatan percaya diri sekali.”

“Aku tahu seberapa besar dia memujaku.”

Sebelum mereka mulai berpacaran, Amane tidak begitu yakin tentang seberapa besar Mahiru menyukainya, tapi sekarang dirinya bisa merasa yakin. Ia sadar  kalau Mahiru dangat peduli dan menyayanginya, dan juga dia ingin Amane tetap di sisinya. Bukannya Amane merasa kepedean, karena dirinya benar-benar sadar kalau memang begitulah kebenarannya. Fakta bahwa Amane bisa menyatakannya dengan tegas adalah bukti kepercayaan yang dia bangun. Mahiru menghujaninya dengan kasih sayang juga merupakan faktor lain yang mungkin terjadi.

Sekarang giliran Makoto yang tersenyum masam ketika mendengarkan jawaban lugas Amane yang menjawab tanpa ragu.

“Yah, menurutku ada bagusnya kamu mendapatkan kepercayaan diri,” kata Makoto. “Ini lebih baik daripada saat kamu ragu untuk menegaskan perasaanmu meskipun kalian saling mencintai.”

“Perkataanmu lumayan pedas juga.”

“Maksudku, bahkan aku bisa melihat bahwa dia menyukaimu. Meski ini bukan urusanku, tapi selama kalian bahagia, itulah yang terpenting.”

Makoto mengangkat bahunya, dan Amane tersenyum, mengetahui bahwa ia memberikan pujian dengan caranya sendiri.

“…Yah, Yuuta juga menerimanya, jadi kupikir sekarang sudah beres.”

“Hah?”

“Nah, bukan apa-apa. Kalau begitu, aku akan membayar semua barang yang aku ambil.”

Mengapa ia mengungkit nama Kadowaki? Amane bertanya-tanya pada dirinya sendiri, tapi Makoto dengan cepat memunggunginya dan pergi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut.

 

   

 

Saat Amane berjalan kembali ke apartemennya, ia melihat pria yang sempat berpapasan dengannya, berdiri di sana. Pria itu melihat ke atas kompleks apartemen. Amane tidak menyangka akan melihat pria yang sama di depan gedung apartemennya, apalagi ia berdiri di luar setelah sekian lama, dan Amane menghentikan langkahnya dan menatap pria itu. Lagi pula, pria itu memiliki warna rambut yang familiar.

Amane tidak begitu yakin karena dirinya hanya melihat bagian belakang kepalanya, tapi pria tersebut bukan orang yang berperawakan besar. Sebaliknya, badannya cukup ramping, dan tinggi badannya mungkin sedikit lebih pendek dari Amane. Pria itu melihat ke gedung apartemen dengan kepala menengadah, dan Amane tidak bisa melihat ekspresinya.

Terlepas dari kekhawatirannya, Amane merasa tidak nyaman mendekati orang asing dan tidak punya pilihan selain melewatinya. Rasanya mencurigakan jika dirinya membalikkan badan setelah lewat, jadi Amane takkan bisa melihat wajah pria itu secara langsung. Namun, dirinya tetap penasaran, jadi Amane berpura-pura memeriksa isi tas belanjaannya sebelum melanjutkan. Sambil merasa tidak enakan, Amane dengan sengaja membenturkan tas pembawanya ke pria itu saat dia lewat dan tanpa sengaja menjatuhkannya. Di dalam plastik belanjaan ada beberapa makanan ringan dan makanan darurat, yang sudah Amane simpan secara terpisah dari yang lainnya, jadi meskipun ia menjatuhkannya, itu tidak akan menimbulkan masalah bagi Mahiru.

Melihat Amane menjatuhkan barang-barangnya setelah menabraknya, perhatian pria itu terfokus padanya. Menyingkirkan debu yang menempel, Amane mengambil plastik belanjaannya yang terjatuh dan menatap pria itu.

Seperti yang sudah kuduga. Dalam arti tertentu, Amane sudah mengharapkan ini, tapi dirinya masih merasakan emosi tertentu. Pria itu memiliki wajah yang sangat rapi dan tegas, menurunkan alisnya dengan ekspresi meminta maaf saat menatapnya. Bahkan mata cokelatnya yang bening jelas menunjukkan rasa bersalahnya. Namun, karena dia sengaja menabraknya, Amane-lah yang merasa bersalah.

“Maaf, aku ceroboh.”

“Tidak, seharusnya aku yang meminta maaf karena menghalangi jalanmu.”

Permintaan maafnya disampaikan dengan nada lembut dan rendah yang tenang serta kalem. Sekali lagi, Amane menundukkan kepalanya dan berkata, “Tidak, itu salahku.”

Amane bisa membedakan apa yang ingin dipastikannya. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa dengan pasti, tapi pria itu sepertinya adalah orang yang Amane pikirkan.

Seolah tidak terjadi apa-apa, Amane lalu berjalan melewatinya. Pria itu mungkin tidak tahu siapa Amane, dan hampir tidak ada alasan baginya untuk mencurigainya. Meski insiden itu hanya berlangsung beberapa detik, Amane merasa sangat gugup. Mungkin itu karena melibatkan gadis yang dia cintai.

Amane menghela nafas lega ketika tiba di pintu masuk apartemennya, dan pada saat itu, pacar kesayangannya itu muncul di depannya.

“Selamat datang kembali, Amane-kun.”

Amane tidak menyangka Mahiru sampai repot-repot menuju ke pintu masuk gedung apartemen, atau lebih tepatnya, turun untuk menyambutnya, dan dirinya terguncang. Mahiru memperhatikan perubahan ekspresinya dan menatapnya dengan rasa penasaran.

“Apa-Apaan dengan wajah itu?”

“Bu-Bukan apa-apa... Aku hanya penasaran mengapa kamu datang jauh-jauh ke pintu masuk segala.”

“Kamu sendiri yang mengirimiku pesan kalau kamu akan segera kembali, bukan? Aku tahu kamu pasti membawa banyak barang yang aku minta, dan kupikir aku harus membantumu.”

“Be-Begitu ya.”

Sepertinya Mahiru hanya mencoba membagi beban dan membantu membawa barang bawaan. Jantung Amane merasa tegang setelah memastikan identitas pria itu sebelumnya, tapi setelah kemunculan Mahiru, jantungnya mulai berdetak lebih kencang lagi.

Amane melirik ke belakang, khawatir apakah Mahiru akan menyadari keberadaan pria itu, tapi kemudian pria itu, yang seharusnya berada sekitar sepuluh meter di depannya, menghilang.

…Ia tidak datang untuk bertemu dengan Mahiru? Ia hanya berbalik sebelum melihatnya?

Pria tersebut tidak mungkin mengingat sikap Mahiru, tapi jika ia benar-benar datang menemuinya, ia akan mendekatinya begitu menyadari keberadaan Mahiru. Tidak ada alasan baginya untuk pergi.

Meski begitu, kenapa ia datang kemari? Ia sampai repot-repot berkeliaran di sekitar apartemen tempat tinggal Mahiru, dan melihat sekeliling lantai tempat dia tinggal dengan kedua matanya sendiri. Tapi kenapa ia pergi begitu saja sebelum menemui putrinya?

“Apa ada yang salah?”

"Tidak apa-apa, jangan pedulikan itu."

Seraya menghembuskan nafas lega, Amane menyerahkan plastik belanjaan berisi makanan ringan kepada Mahiru, karena dia terlihat ingin membawa barang bawaannya, dan naik lift bersamanya.

 

   

 

Karena kejadian tadi sore, Amane merasa bimbang apa dirinya harus menyebutkan pria yang ditemui tadi saat ia menatap Mahiru yang duduk di sampingnya. Kemungkinan besar, pria itu adalah ayahnya. Adapun ibunya, dia memiliki atmosfir yang kuat dan egois tentang dirinya, dan wajah yang tajam. Mahiru sama sekali tidak mirip dengannya, dan sedemikian rupa sehingga orang mungkin meragukan apakah mereka benar-benar ibu dan anak. Namun, pria yang Amane temui sebelumnya sangat mirip dengan Mahiru sehingga Amane bisa mengenali identitasnya hanya dengan pandangan sekilas.

Di antara wajahnya yang tampan dan lembut serta warna mata maupun rambutnya, ia memiliki penampilan seorang pria yang cocok dengan ayah Mahiru dan pasti akan menarik perhatian yang sama. Pria tersebut tampak persis seperti Mahiru jika dia lebih tua dan berjenis kelamin laki-laki.

Mana mungkin Amane salah mengira pria tersebut sebagai orang asing yang random. Namun,Amane tidak begitu yakin apa ia harus menyampaikan apa yang dilihatnya kepada Mahiru. Dirinya menyadari keretakan antara Mahiru dan orang tuanya, serta cenderung menghindari topik tersebut. Jika memungkinkan, Amane juga bisa sepenuhnya berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Meski demikian, Mahiru pasti akan terkejut jika pria itu kembali lagi dan mendekatinya. Jadi Amane menyimpulkan bahwa lebih baik mempersiapkan Mahiru terlebih dahulu sebelum hal seperti itu terjadi.

“…Apa ada yang salah? Kamu dari tadi terus-menerus menatapku.”

Mahiru akan tercengang tidak peduli keputusan apa yang akan Amane pilih, dan ketika dirinya sedang mempertimbangkan segala hal, Mahiru memperhatikan tatapannya dan menatapnya dengan rasa ingin tahu.

“Ah, yah, bagaimana aku harus mengatakannya, ya?”

“Apa ini? Apa kamu menyembunyikan sesuatu?”

“Aku tidak yakin apa yang harus kukatakan kepadamu…”

“Jika kamu ingin mengatakannya, silakan katakan saja. Aku takkan menekan lebih jauh jika kamu tidak menginginkannya, tetapi aku akan mendengarkan apa pun yang kamu katakan, Amane-kun.”

Mahiru akhirnya meninggalkan keputusan akhir di tangan Amane, dan Amane tenggelam dalam pikirannya selama sepuluh detik, masih merasa bimbang di detik-detik terakhir, sebelum perlahan membuka mulutnya.

“…Erm, sebelumnya…ketika aku pergi berbelanja, aku bertemu dengan seseorang.”

“H-Hah, begitu ya?”

Amane menatap mata Mahiru saat dia menganggukkan kepalanya, sepertinya tidak mengerti apa yang Amane bicarakan. Pupil matanya berwarna sama dengan pria yang pernah ia temui sebelumnya.

“Pria tersebut berdiri di depan gedung apartemen kita, menatapnya. …Warna matanya persis seperti milikmu, Mahiru.”

“...Eh?”

Mahiru, yang memasang ekspresi penasaran di wajahnya, langsung tercengang.

“Ia memiliki warna mata dan rambut yang sama denganmu, Mahiru, dan wajahnya juga mirip denganmu.”

Sembari dipenuhi kecemasan, Amane secara implisit bertanya apa pria tersebut adalah ayahnya, dan Mahiru terkejut… atau tidak; sebaliknya, dia tampak bingung.

“H-Hah… Kamu mungkin pernah bertemu seseorang yang mirip dengan ayahku, apa itu yang kamu maksudkan?”

“Mungkin, tapi…”

Amane berkata mungkin, tapi dirinya hampir yakin bahwa pria tersebut adalah ayahnya. Wajahnya, dan atmosfirnya sangat mirip dengan Mahiru. Mana mungkin bagi mereka untuk tidak berkaitan sama sekali. Dia berkedip pada kata-kata Amane sebelum menyipitkan matanya, mungkin dengan rasa bingung.

“… Kamu yakin kamu tidak salah orang?”

"Eh?"

Setelah mendengar tanggapan langsung Mahiru, sekarang giliran Amane yang kebingungan.

“Ayahku tidak pernah menunjukkan minat padaku. Seingatku, ia tidak pernah meluangkan waktu untukku. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga hampir tidak pernah memberiku perhatian. Bahkan sekarang, ia jarang menghubungiku, dan jika ia menghubungiku, itu hanya beberapa kali dalam setahun dan hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.”

Saat dia berbicara tanpa basa-basi, mata Mahiru berangsur-angsur berubah dari bingung menjadi dingin.

“Ia tidak punya alasan untuk mendekatiku, dan jika ia ingin mengunjungiku, ia akan menghubungiku sebelumnya. Namun, hal itu tidak sekali pun itu terjadi sebelumnya.”

Melihat raut wajah Mahiru saat dia berbicara dengan tegas, Amane meraih tangannya.

“Lagipula, apa yang ia ingin katakan padaku setelah sekian lama? Demi tujuan apa seorang ayah yang telah meninggalkan putrinya selama lebih dari sepuluh tahun demi pekerjaan datang jauh-jauh untuk menemuinya secara langsung? Aku sama sekali tidak paham kenapa ia datang menemuiku, dan kupikir tidak ada artinya bagiku untuk memahaminya.”

“Mahiru.”

“Secara hipotesis, bahkan jika mereka ingin melihatku sekarang… aku takkan mengakui mereka sebagai orang tuaku. Mereka hanya berkaitan denganku melalui darah, bukan sebagai orang tua yang membesarkanku. Satu-satunya orang tua yang membesarkanku adalah Koyuki-san.”

Ucapan Mahiru dipenuhi duri yang tak terhitung jumlahnya ketika dia bergumam dengan suara monoton. Amane langsung memeluknya, merasa tidak tega melihatnya terus melanjutkan, ekspresinya tanpa emosi. Duri yang tertanam dalam suaranya menyakiti dirinya sendiri lebih dari orang lain. Dia tidak bersikap keras kepala; sebaliknya, Mahiru memberi kesan bahwa dia mencekik dirinya sendiri dengan kata-katanya, membuat dirinya terpojok. Apa yang menegaskan ini adalah rasa sakit yang dia rasakan di bawah ekspresi datarnya. Terlepas dari penampilannya yang tanpa emosi, dia tampak seolah-olah sedang menahan luka itu.

“…Apa?” Mahiru perlahan mengangkat kepalanya dan menatapnya saat berada di dalam rangkulan Amane.

“… Lebih banyak keintiman.”

“Untuk siapa?”

“Kurasa untuk diriku sendiri.”

“…Jadi begitu ya.”

Setelah membalas dengan bisikan, Mahiru menyandarkan tubuhnya ke badan Amane dan dengan lembut mendesah.

“Sebenarnya aku tidak terlalu terganggu dengan itu. Lagi pula, aku sudah tidak ada hubungannya dengan orang itu lagi.”

“Jadi begitu.”

“Aku juga sudah mempunyai... tempat baru untuk disebut rumah.”

“Ya itu benar.”

“… Jadi, aku baik-baik saja.”

“Nm.”

Amane mengelus-ngelus kepalanya dengan lembut, merasa senang karena Mahiru menganggap rumah keluarganya sebagai miliknya, dan Amane merasakan bagaimana perasaan Mahiru terhadap orang tua kandungnya sekali lagi.

“… Jadi, yah… jika kebetulan aku bertemu pria itu lagi, apa yang harus kulakukan?”

Ketika Mahiru bersandar di dadanya, Amane dengan lembut membelai rambutnya dengan telapak tangannya saat ia bertanya. Mahiru perlahan mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan tatapan lembut. Ekspresinya bukanlah keterkejutan atau rasa sakit, dan begitu melihat tatapannya, Amane balas menatapnya dengan meyakinkan, tapi Mahiru menurunkan alisnya, sedikit khawatir karena dia ditatap balik.

“…Kupikir kamu bebas melakukan apapun yang kamu suka, Amane-kun.”

“Apa tidak ada yang ingin kamu lakukan tentang itu, Mahiru?”

Amane berasumsi bahwa dia akan memberitahunya untuk tidak ikut campur, tetapi Mahiru malah menggelengkan kepalanya.

“Sama sekali tidak ada… Segalanya akan berbeda jika aku berada di sampingmu saat bertemu dengannya atau jika ia mendekatiku saat aku sendirian, tapi karena ia bertemu denganmu sendirian, Amane-kun, aku tidak akan mengkritik pilihan yang kamu buat. Paling banter, Aku hanya memintamu melapor kepadaku terlebih dahulu. ”

“…Jadi begitu. Bisa dibilang kalau kamu tidak mau terlibat, ‘kan?”

“Ya. Jika ia ingin mengatakan sesuatu kepadaku, ia seharusnya membuat janji dan datang langsung kepadaku atau mengirim pesan, tetapi aneh baginya untuk diam-diam mengamatiku. Kecuali ia menghubungiku, aku takkan mengambil tindakan apa pun. Selama dia tidak melakukan apa pun untuk mengganggu hidupku, itu saja.”

Mahiru tampak khawatir dengan kehadiran pria yang mirip dengan ayahnya, tapi ia tidak ingin melakukan kontak dengannya. Amane akan melakukan hal yang sama di posisi Mahiru, tetapi fakta bahwa Mahiru memutuskan untuk mengabaikannya meskipun hampir pasti bahwa pria itu adalah ayahnya memperjelas sekali lagi bahwa perseteruan antara Mahiru dan orang tuanya berakar kuat.

Saat Mahiru menggeliat dan membenamkan wajahnya di dada Amane lagi, bertingkah manja dengannya, Amane hanya menjawab, “Begitu, ya.”

Amane melingkarkan lengannya di punggungnya dan menekuk lututnya sebelum mengangkat Mahiru ke atas pangkuannya. Ia hanya tersenyum sedikit pada ekspresi terkejutnya, dan Amane mencium keningnya untuk menghiburnya, tapi Mahiru langsung memerah dan membenamkan wajahnya lagi di dada Amane seolah-olah ingin menyembunyikan dirinya.

Kali ini, dalam upaya untuk menyembunyikan rasa malunya, Mahiru menekankan dahinya ke arahnya dengan lebih kuat dari sebelumnya, seolah-olah dia mencoba untuk menyundulnya. Amane tidak bisa menahan tawa melihat tingkah lucu pacarnya.

“… Yah, kamu tahu, aku bukan dirimu, Mahiru, jadi aku tidak bisa terlalu banyak ikut campur dalam situasi keluargamu, tapi menurutku lebih baik melakukan apa yang kamu inginkan, dan aku akan mendukung apa pun keputusanmu.”

Sebagai orang luar. Hanya itu yang bisa dilakukan Amane. Tentu saja, dari sudut pandangnya, 'untuk saat ini' ditetapkan di akhir pernyataan itu. Itu sebabnya Amane tidak bisa menyelidiki terlalu dalam situasi keluarganya. Selama Mahiru tidak ingin ia melakukannya, yang bisa dilakukan Amane hanyalah mendukungnya dengan lembut dari sampingnya.

Tapi terlepas dari itu, Amane sudah memutuskan untuk tetap berada di sisinya, dan apapun yang terjadi dengan keluarganya, Mahiru akan tetap menjadi satu-satunya untuknya. Jika lari dari keluarganya adalah salah satu keinginannya, Amane akan siap mewujudkannya.

“Ya,” jawab Mahiru dengan suara pelan saat Amane membelai rambutnya dengan lembut.

“Aku akan merebutmu jika saatnya tiba, jadi jangan khawatir.”

Amane berbisik dengan suara yang hampir tidak bisa dia dengar dan mengeluarkan tawa nakal, dan Mahiru dengan cepat mengangkat kepalanya dengan wajah yang bahkan lebih merah dari sebelumnya. Amane berpura-pura tidak menyadarinya dan hanya membelai rambutnya.

 

   

 

Beberapa hari telah berlalu sejak Amane bertemu dengan pria yang sepertinya adalah ayah Mahiru. Dirinya kurang lebih berhati-hati untuk melihatnya ketika keluar, tetapi bertentangan dengan kecemasannya, Amane bahkan tidak menemukan sosok bayangannya. Kemungkinan besar, pria itu datang untuk menemui Mahiru atau untuk memeriksanya, dan pada akhirnya, ia ragu untuk bertemu dengannya. Kalau tidak begitu, ia pasti akan memulai percakapan.

Amane sudah bertanya tentang hal itu, tetapi Mahiru menjawab bahwa pria itu tidak pernah menghubunginya atau menunjukkan wajahnya, jadi mungkin saja pria itu tidak berniat untuk bertemu dengannya saat ini.

“...Aku tidak mengerti sama sekali.”

Bukannya Amane tidak mengerti bahwa pria itu ingin mampir, tapi Amane masih merasa bingung karena motifnya masih menjadi misteri. Di sisi lain, dirinya tidak bisa melewati batasnya, jadi kecuali pria itu sendiri yang mendekatinya, Amane tidak akan bisa mengambil tindakan apapun.

“Apa ada yang salah?”

“Aku cuma sedang kepikiran sesuatu.”

Itsuki, yang saat ini berada di rumah Amane sambil membawa tugas musim panasnya, menunjukkan ekspresi khawatir saat Amane bergumam pada dirinya sendiri sambil melihat tugas PR-nya.

“Tumben sekali kamu sampai segitu khawatirnya tentang sesuatu sampai-sampai mengatakannya dengan lantang, Amane… Coba lihat, kakakmu omo akan mendengarkan masalahmu.”

“Kamu ini mengoceh apaan? Akulah yang lahir duluan.”

“Jangan memusingkan masalah sepele. Ayo, ceritakan saja.”

Sepertinya Itsuki lelah mengerjakan tugasnya. Ia melemparkan pensilnya ke seberang meja, berbalik menghadap Amane, dan menampar dadanya. Ia sepertinya menyiratkan, Serahkan padaku.

(…Apa yang harus kulakukan?)

Mana mungkin dirinya akan membeberkan situasi keluarga Mahiru. Bukan masalah seberapa dekat mereka sebagai teman; hanya saja Amane tidak boleh membagikan hal-hal yang diputuskan untuk dirahasiakan oleh Mahiru. Jika ini adalah rahasianya sendiri, Amane mungkin akan menceritakannya, tapi karena itu milik Mahiru, jadi dirinya tidak bisa melakukannya. Tidak mungkin dia bisa menyampaikan situasinya dengan benar tanpa membocorkan terlalu banyak. Meski begitu, ia takkan menemukan jawabannya dengan khawatir sendirian.

Amane menutup mulutnya sejenak, lalu mulai berbicara. Ia merangkai kata-katanya dengan hati-hati dalam pikirannya.

“Misalnya, ada seseorang yang tidak pernah terlibat denganmu, tetapi kemudian orang tersebut mendadak melakukan kontak denganmu. Jika itu terjadi, menurutmu apa yang mereka inginkan?”

“Apa ini tentangmu, Amane?”

“Tidak ada komentar.”

“Hmm. Baiklah.”

Itsuki menunduk setelah mendengar pernyataan Amane seolah-olah dia telah menebak seluk beluk dari apa yang dikatakannya, tapi Itsuki tidak mengoreknya terlalu dalam; ia hanya menerima perkataan Amane dan fokus pada masalah.

“Yah, menurutku itu tergantung pada situasinya ... dia tidak menghubungi mereka sebelumnya, atau semacamnya?”

“Iya.”

“Hmm. Orang yang kamu bicarakan bukan penguntit, ‘kan?”

“… Perkataanmu sedikit melenceng.”

Pria itu mengunjungi kompleks apartemen mereka, dan menghilang tanpa suara begitu Mahiru muncul; Amane takkan terlalu jauh untuk memanggilnya penguntit, tapi ada aura kecurigaan tertentu yang menyertainya.

“Aku merasa penasaran dengan ‘sedikit’ tersebut, tapi mari kita lihat... Aku yakin orang tersebut pasti khawatir. Aku tidak tahu hubungan seperti apa yang mereka miliki, tetapi jika ada satu kemungkinan, itu adalah masalah penting yang harus didiskusikan secara langsung, atau sesuatu yang memicu perubahan hati, dan sekarang ingin melibatkannya.”

“…Perubahan sikap.”

“Bukannya cuma itu satu-satunya alasan seseorang tiba-tiba muncul setelah terus-menerus menghindarinya?”

Itsuki mengangkat bahunya sambil melanjutkan, “Tapi kami masih belum tahu penyebabnya, sih” dan Amane tersenyum masam, berkata, “Yah, itu benar.”

Mempertimbangkan apa yang dikatakan Itsuki, memang benar memeriksa putrinya sendiri bukanlah sesuatu yang aneh. Namun, alasannya tetap menjadi misteri.

Amane tidak mengenal ayah Mahiru, tidak mengenal kepribadiannya atau bagaimana wataknya, jadi meskipun Amane mencoba membayangkan motifnya, tidak ada teorinya yang muncul. Sebuah petunjuk, jika ada, kemungkinan terletak pada perubahan keadaan pikiran atau lingkungannya. Itulah satu-satunya alasan Amane bisa membayangkan mengapa ia datang menemui Mahiru sekarang.

“Yah, aku tidak tahu detailnya, jadi aku tidak bisa memastikannya. Jika aku jadi lamu, aku akan khawatir dan melakukan kontak dengannya sendiri. Aku tidak menyukai gagasan merasa gelisah dan tidak melakukan apa-apa.”

“Itu sangat menggambarkan dirimu…”

“Yah, karena kamu tipe pasif, Amane, jadi tidak ada salahnya menunggu sampai orang tersebut muncul lagi, ‘kan? Aku yakin ia akan segera datang lagi, dengan satu atau lain cara. Jika hanya itu yang diperlukan baginya untuk menyerah pada pertemuan langsung, dia akan mengirim email atau menelepon sejak awal.”

“Karena kamu tidak mengerti situasinya, kamu tidak punya pilihan selain menunggu, kan?”  Itsuki melanjutkan, dan Amane sampai pada kesimpulan yang sama. Ia bermaksud untuk mengadopsi sikap menunggu dan melihat sejak saat itu. Pertama-tama, Mahiru yang dihubungi, jadi hanya sedikit yang bisa dilakukan Amane dalam situasi seperti itu.

“Kurasa hanya itu yang bisa kulakukan,” desah Amane, dan bibir Itsuki melengkung geli.

“…Baiklah, lakukan yang terbaik untuk kekasihmu, ‘nak.”

“Apa–”

“Kamu itu memang gampang sekali dibaca, ya? Jika itu tentang kamu sendiri, Kamu akan mengatakannya langsung. Satu-satunya orang yang sampai membuatmu secemas ini hanya Shiina-san saja.”

“…Berisik.”

“Yah aku takkan mengungkitnya lagi, karena aku tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusanmu, tapi lakukan yang terbaik untuk pacar imutmu itu, Amane.”

Amane memasang ekspresi tidak senang saat Itsuki menyikut sikunya ke arahnya, dan menjawab dengan suara pelan, “Aku tahu,”.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama