Bab 6 — Tenshi-sama dan Individu yang Mencurigakan
Keesokan harinya, hal pertama
yang Amane lakukan setelah kembali ke unit kamar apartemennya adalah
membereskan semuanya. Ia mendapati dirinya terlalu lelah pada hari dirinya
kembali, tetapi setelah jauh dari kamar apartemen selama kurang dari dua
minggu, kamarnya menjadi agak berdebu. Meski tidak terlalu berdebu layaknya
rumah kosong, Amane ingin menjaganya sebersih mungkin—lagipula ia akan
menghabiskan waktu di sana bersama Mahiru.
Oleh karena itu, Amane harus
membersihkan kamarnya menggunakan kemampuan beres-beres yang pernah diajarkan
Mahiru. Tampaknya, Mahiru juga melakukan pembersihan di kamarnya sendiri.
Makanya Amane sendirian. Meskipun bersih-bersih bukan keahliannya, ia tidak
kesulitan melaksanakannya berkat Mahiru. Menurut Mahiru, “Jika kamu sering membersihkan rumah secara teratur, kamu tidak perlu
berusaha terlalu keras dalam jangka panjang. Jika kamu terus menundanya, kamu
akan membuang-buang waktu dan usaha yang tidak perlu.”
Seperti yang sudah diajarkan
pacarnya, Amane hanya perlu melakukan bersih-bersih ringan di sana-sini secara
teratur untuk menjaga kebersihan tempatnya. Dirinya tidak membutuh waktu lama
karena debu hanya menutupi sedikit furniturnya. Amane dengan cepat menyeka debu
sebelum memutuskan untuk menyedot debu, tetapi saat melakukannya, ia juga
sekalian membersihkan jendela. Amane lalu melihat jam dan menyadari kalau
waktunya sudah lewat puku; tiga sore.
Penjualan di supermarket lokal
biasanya dimulai pada pukul empat, jadi Amane pikir dirinya harus segera pergi
ke sana.
(Aku
sudah berkembang cukup baik, jika aku mengatakannya sendiri ...)
Alasan Amane pergi ke supermarket
adalah karena ia sudah mengosongkan kulkas sebelum mengunjungi orang tuanya,
dan karena itu, dia tidak punya bahan apa-apa untuk makan malam. Amane bisa sarapan
dan makan siang dengan ramen instan dan makanan beku, tapi porsi tersebut masih
tidak cukup untuk makan malam.
Amane bertugas berbelanja, tapi
mereka masih membagi biaya bahan-bahannya. Karena mereka berdua berbagi biaya
makanan, jadi tidak mengherankan jika mereka berusaha menekan biaya serendah
mungkin. Memikirkan seberapa banyak dirinya telah berubah, Amane tersenyum masam
pada dirinya sendiri dan pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian kotornya.
✧ ✦ ✧
“…Hm?”
Ketika Amane sedang berjalan
menuju supermarket, seseorang dengan rambut berwarna kuning muda melewatinya.
Mau tak mau dirinya jadi berbalik untuk melihat ke belakang, tapi tentu saja,
ia hanya bisa melihat punggung pria itu. Sementara rambut orang itu tidak
sepanjang rambut Mahiru dan pria itu memiliki jenis kelamin yang berbeda, warna
rambut alami yang terang itu terlihat tidak biasa, terutama karena tampaknya
tidak diwarnai.
Amane lalu memasuki supermarket
sambil berpikir, ‘Terkadang ada hal-hal
yang tidak biasa terjadi, ya’, saat dirinya memilih bahan untuk makan malam
dan memasukkannya ke dalam keranjang. Tapi kemudian ia mendengar suara yang
dikenalnya datang dari belakangnya.
“Tumben sekali, rasanya senang
bisa bertemu denganmu di sini.”
“Kokonoe?”
Orang yang berdiri di
belakangnya adalah seorang pemuda yang berteman dengannya melalui pertempuran
kavaleri, dan mereka diperkenalkan oleh Yuuta. Di tangannya ada keranjang
belanjaan yang sama seperti Amane. Ia berbelanja layaknya anak SMA, memiliki beberapa
makanan ringan dan cemilan, yang lebih khas dari orang seusia mereka
dibandingkan dengan Amane.
“Fujimiya, kamu tinggal di
dekat lingkungan sini?”
“Ya. Kukira kamu tidak berada
di area ini, Kokonoe…”
“Aku di sini hanya untuk
berbelanja karena kebetulan sedang mampir di rumah teman. Fujimiya, kamu
membeli bahan untuk makan malam…?”
“Ya, membeli bahan untuk makan
malam nanti.”
Dari apa yang bisa dilihatnya,
keranjang di tangan Amane berisi ayam mentah, lobak, susu, tahu, dan barang-barang
lain yang takkan dianggap sebagai makanan ringan.
“Aku ingat kamu hidup sendiri,
Fujimiya. Itu patut dipuji.”
“Yah, tidak ada yang perlu
dipuji karena Mahiru yang memasak makanannya…”
“…..Ah, kamu pernah mengatakan
itu…kamu benar-benar menjalani kehidupan yang penuh impian.”
“Yah bisa dibilang benar. Aku
selalu berterima kasih kepada Mahiru.”
Tanpa kehadirannya, pola makan Amane
akan berantakan. Berkat Mahiru, Amane sekarang bisa melakukan sebagian besar
pekerjaan rumah tangga. Jika dia pergi dari sampingnya, kehidupan Amane saat
ini tidak mungkin dipertahankan. Sambil terkekeh kecil, dia bergumam, “Ini semua berkat Mahiru,” dan Makoto
mendesah pelan.
“Bagaimana bilangnya ya, serius
... kamu benar-benar sudah bucin banget dengannya.”
“Ya, dan itu juga sama untuk Mahiru.”
“Kamu kelihatan percaya diri
sekali.”
“Aku tahu seberapa besar dia
memujaku.”
Sebelum mereka mulai berpacaran,
Amane tidak begitu yakin tentang seberapa besar Mahiru menyukainya, tapi
sekarang dirinya bisa merasa yakin. Ia sadar
kalau Mahiru dangat peduli dan menyayanginya, dan juga dia ingin Amane
tetap di sisinya. Bukannya Amane merasa kepedean, karena dirinya benar-benar
sadar kalau memang begitulah kebenarannya. Fakta bahwa Amane bisa menyatakannya
dengan tegas adalah bukti kepercayaan yang dia bangun. Mahiru menghujaninya
dengan kasih sayang juga merupakan faktor lain yang mungkin terjadi.
Sekarang giliran Makoto yang
tersenyum masam ketika mendengarkan jawaban lugas Amane yang menjawab tanpa
ragu.
“Yah, menurutku ada bagusnya kamu
mendapatkan kepercayaan diri,” kata Makoto. “Ini lebih baik daripada saat kamu
ragu untuk menegaskan perasaanmu meskipun kalian saling mencintai.”
“Perkataanmu lumayan pedas
juga.”
“Maksudku, bahkan aku bisa melihat
bahwa dia menyukaimu. Meski ini bukan urusanku, tapi selama kalian bahagia, itulah
yang terpenting.”
Makoto mengangkat bahunya, dan
Amane tersenyum, mengetahui bahwa ia memberikan pujian dengan caranya sendiri.
“…Yah, Yuuta juga menerimanya,
jadi kupikir sekarang sudah beres.”
“Hah?”
“Nah, bukan apa-apa. Kalau
begitu, aku akan membayar semua barang yang aku ambil.”
Mengapa
ia mengungkit nama Kadowaki? Amane bertanya-tanya pada
dirinya sendiri, tapi Makoto dengan cepat memunggunginya dan pergi sebelum ia
bisa bertanya lebih lanjut.
✧ ✦ ✧
Saat Amane berjalan kembali ke
apartemennya, ia melihat pria yang sempat berpapasan dengannya, berdiri di
sana. Pria itu melihat ke atas kompleks apartemen. Amane tidak menyangka akan
melihat pria yang sama di depan gedung apartemennya, apalagi ia berdiri di luar
setelah sekian lama, dan Amane menghentikan langkahnya dan menatap pria itu.
Lagi pula, pria itu memiliki warna rambut yang familiar.
Amane tidak begitu yakin karena
dirinya hanya melihat bagian belakang kepalanya, tapi pria tersebut bukan orang
yang berperawakan besar. Sebaliknya, badannya cukup ramping, dan tinggi
badannya mungkin sedikit lebih pendek dari Amane. Pria itu melihat ke gedung
apartemen dengan kepala menengadah, dan Amane tidak bisa melihat ekspresinya.
Terlepas dari kekhawatirannya,
Amane merasa tidak nyaman mendekati orang asing dan tidak punya pilihan selain
melewatinya. Rasanya mencurigakan jika dirinya membalikkan badan setelah lewat,
jadi Amane takkan bisa melihat wajah pria itu secara langsung. Namun, dirinya
tetap penasaran, jadi Amane berpura-pura memeriksa isi tas belanjaannya sebelum
melanjutkan. Sambil merasa tidak enakan, Amane dengan sengaja membenturkan tas
pembawanya ke pria itu saat dia lewat dan tanpa sengaja menjatuhkannya. Di
dalam plastik belanjaan ada beberapa makanan ringan dan makanan darurat, yang
sudah Amane simpan secara terpisah dari yang lainnya, jadi meskipun ia
menjatuhkannya, itu tidak akan menimbulkan masalah bagi Mahiru.
Melihat Amane menjatuhkan
barang-barangnya setelah menabraknya, perhatian pria itu terfokus padanya.
Menyingkirkan debu yang menempel, Amane mengambil plastik belanjaannya yang terjatuh
dan menatap pria itu.
Seperti
yang sudah kuduga. Dalam arti tertentu, Amane sudah mengharapkan
ini, tapi dirinya masih merasakan emosi tertentu. Pria itu memiliki wajah yang
sangat rapi dan tegas, menurunkan alisnya dengan ekspresi meminta maaf saat
menatapnya. Bahkan mata cokelatnya yang bening jelas menunjukkan rasa
bersalahnya. Namun, karena dia sengaja menabraknya, Amane-lah yang merasa
bersalah.
“Maaf, aku ceroboh.”
“Tidak, seharusnya aku yang
meminta maaf karena menghalangi jalanmu.”
Permintaan maafnya disampaikan
dengan nada lembut dan rendah yang tenang serta kalem. Sekali lagi, Amane
menundukkan kepalanya dan berkata, “Tidak,
itu salahku.”
Amane bisa membedakan apa yang
ingin dipastikannya. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa dengan pasti, tapi pria
itu sepertinya adalah orang yang Amane pikirkan.
Seolah tidak terjadi apa-apa,
Amane lalu berjalan melewatinya. Pria itu mungkin tidak tahu siapa Amane, dan
hampir tidak ada alasan baginya untuk mencurigainya. Meski insiden itu hanya
berlangsung beberapa detik, Amane merasa sangat gugup. Mungkin itu karena melibatkan
gadis yang dia cintai.
Amane menghela nafas lega
ketika tiba di pintu masuk apartemennya, dan pada saat itu, pacar kesayangannya
itu muncul di depannya.
“Selamat datang kembali,
Amane-kun.”
Amane tidak menyangka Mahiru
sampai repot-repot menuju ke pintu masuk gedung apartemen, atau lebih tepatnya,
turun untuk menyambutnya, dan dirinya terguncang. Mahiru memperhatikan
perubahan ekspresinya dan menatapnya dengan rasa penasaran.
“Apa-Apaan dengan wajah itu?”
“Bu-Bukan apa-apa... Aku hanya
penasaran mengapa kamu datang jauh-jauh ke pintu masuk segala.”
“Kamu sendiri yang mengirimiku
pesan kalau kamu akan segera kembali, bukan? Aku tahu kamu pasti membawa banyak
barang yang aku minta, dan kupikir aku harus membantumu.”
“Be-Begitu ya.”
Sepertinya Mahiru hanya mencoba
membagi beban dan membantu membawa barang bawaan. Jantung Amane merasa tegang setelah
memastikan identitas pria itu sebelumnya, tapi setelah kemunculan Mahiru,
jantungnya mulai berdetak lebih kencang lagi.
Amane melirik ke belakang,
khawatir apakah Mahiru akan menyadari keberadaan pria itu, tapi kemudian pria
itu, yang seharusnya berada sekitar sepuluh meter di depannya, menghilang.
…Ia
tidak datang untuk bertemu dengan Mahiru? Ia hanya berbalik sebelum melihatnya?
Pria tersebut tidak mungkin
mengingat sikap Mahiru, tapi jika ia benar-benar datang menemuinya, ia akan
mendekatinya begitu menyadari keberadaan Mahiru. Tidak ada alasan baginya untuk
pergi.
Meski
begitu, kenapa ia datang kemari? Ia sampai repot-repot berkeliaran di sekitar
apartemen tempat tinggal Mahiru, dan melihat sekeliling lantai tempat dia
tinggal dengan kedua matanya sendiri. Tapi kenapa ia pergi begitu saja sebelum
menemui putrinya?
“Apa ada yang salah?”
"Tidak apa-apa, jangan
pedulikan itu."
Seraya menghembuskan nafas
lega, Amane menyerahkan plastik belanjaan berisi makanan ringan kepada Mahiru,
karena dia terlihat ingin membawa barang bawaannya, dan naik lift bersamanya.
✧ ✦ ✧
Karena kejadian tadi sore,
Amane merasa bimbang apa dirinya harus menyebutkan pria yang ditemui tadi saat ia
menatap Mahiru yang duduk di sampingnya. Kemungkinan besar, pria itu adalah
ayahnya. Adapun ibunya, dia memiliki atmosfir yang kuat dan egois tentang
dirinya, dan wajah yang tajam. Mahiru sama sekali tidak mirip dengannya, dan
sedemikian rupa sehingga orang mungkin meragukan apakah mereka benar-benar ibu
dan anak. Namun, pria yang Amane temui sebelumnya sangat mirip dengan Mahiru
sehingga Amane bisa mengenali identitasnya hanya dengan pandangan sekilas.
Di antara wajahnya yang tampan
dan lembut serta warna mata maupun rambutnya, ia memiliki penampilan seorang
pria yang cocok dengan ayah Mahiru dan pasti akan menarik perhatian yang sama.
Pria tersebut tampak persis seperti Mahiru jika dia lebih tua dan berjenis
kelamin laki-laki.
Mana mungkin Amane salah mengira
pria tersebut sebagai orang asing yang random. Namun,Amane tidak begitu yakin
apa ia harus menyampaikan apa yang dilihatnya kepada Mahiru. Dirinya menyadari
keretakan antara Mahiru dan orang tuanya, serta cenderung menghindari topik
tersebut. Jika memungkinkan, Amane juga bisa sepenuhnya berpura-pura tidak
terjadi apa-apa.
Meski demikian, Mahiru pasti
akan terkejut jika pria itu kembali lagi dan mendekatinya. Jadi Amane
menyimpulkan bahwa lebih baik mempersiapkan Mahiru terlebih dahulu sebelum hal
seperti itu terjadi.
“…Apa ada yang salah? Kamu dari
tadi terus-menerus menatapku.”
Mahiru akan tercengang tidak peduli
keputusan apa yang akan Amane pilih, dan ketika dirinya sedang mempertimbangkan
segala hal, Mahiru memperhatikan tatapannya dan menatapnya dengan rasa ingin
tahu.
“Ah, yah, bagaimana aku harus
mengatakannya, ya?”
“Apa ini? Apa kamu
menyembunyikan sesuatu?”
“Aku tidak yakin apa yang harus
kukatakan kepadamu…”
“Jika kamu ingin mengatakannya,
silakan katakan saja. Aku takkan menekan lebih jauh jika kamu tidak
menginginkannya, tetapi aku akan mendengarkan apa pun yang kamu katakan,
Amane-kun.”
Mahiru akhirnya meninggalkan
keputusan akhir di tangan Amane, dan Amane tenggelam dalam pikirannya selama
sepuluh detik, masih merasa bimbang di detik-detik terakhir, sebelum perlahan
membuka mulutnya.
“…Erm, sebelumnya…ketika aku
pergi berbelanja, aku bertemu dengan seseorang.”
“H-Hah, begitu ya?”
Amane menatap mata Mahiru saat
dia menganggukkan kepalanya, sepertinya tidak mengerti apa yang Amane
bicarakan. Pupil matanya berwarna sama dengan pria yang pernah ia temui
sebelumnya.
“Pria tersebut berdiri di depan
gedung apartemen kita, menatapnya. …Warna matanya persis seperti milikmu,
Mahiru.”
“...Eh?”
Mahiru, yang memasang ekspresi
penasaran di wajahnya, langsung tercengang.
“Ia memiliki warna mata dan
rambut yang sama denganmu, Mahiru, dan wajahnya juga mirip denganmu.”
Sembari dipenuhi kecemasan,
Amane secara implisit bertanya apa pria tersebut adalah ayahnya, dan Mahiru
terkejut… atau tidak; sebaliknya, dia tampak bingung.
“H-Hah… Kamu mungkin pernah
bertemu seseorang yang mirip dengan ayahku, apa itu yang kamu maksudkan?”
“Mungkin, tapi…”
Amane berkata mungkin, tapi dirinya hampir yakin bahwa
pria tersebut adalah ayahnya. Wajahnya, dan atmosfirnya sangat mirip dengan
Mahiru. Mana mungkin bagi mereka untuk tidak berkaitan sama sekali. Dia
berkedip pada kata-kata Amane sebelum menyipitkan matanya, mungkin dengan rasa
bingung.
“… Kamu yakin kamu tidak salah
orang?”
"Eh?"
Setelah mendengar tanggapan
langsung Mahiru, sekarang giliran Amane yang kebingungan.
“Ayahku tidak pernah
menunjukkan minat padaku. Seingatku, ia tidak pernah meluangkan waktu untukku.
Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga hampir tidak pernah memberiku
perhatian. Bahkan sekarang, ia jarang menghubungiku, dan jika ia menghubungiku,
itu hanya beberapa kali dalam setahun dan hanya untuk hal-hal yang berhubungan
dengan pekerjaan.”
Saat dia berbicara tanpa
basa-basi, mata Mahiru berangsur-angsur berubah dari bingung menjadi dingin.
“Ia tidak punya alasan untuk
mendekatiku, dan jika ia ingin mengunjungiku, ia akan menghubungiku sebelumnya.
Namun, hal itu tidak sekali pun itu terjadi sebelumnya.”
Melihat raut wajah Mahiru saat
dia berbicara dengan tegas, Amane meraih tangannya.
“Lagipula, apa yang ia ingin
katakan padaku setelah sekian lama? Demi tujuan apa seorang ayah yang telah
meninggalkan putrinya selama lebih dari sepuluh tahun demi pekerjaan datang
jauh-jauh untuk menemuinya secara langsung? Aku sama sekali tidak paham kenapa
ia datang menemuiku, dan kupikir tidak ada artinya bagiku untuk memahaminya.”
“Mahiru.”
“Secara hipotesis, bahkan jika
mereka ingin melihatku sekarang… aku takkan mengakui mereka sebagai orang
tuaku. Mereka hanya berkaitan denganku melalui darah, bukan sebagai orang tua
yang membesarkanku. Satu-satunya orang tua yang membesarkanku adalah
Koyuki-san.”
Ucapan Mahiru dipenuhi duri
yang tak terhitung jumlahnya ketika dia bergumam dengan suara monoton. Amane langsung
memeluknya, merasa tidak tega melihatnya terus melanjutkan, ekspresinya tanpa
emosi. Duri yang tertanam dalam suaranya menyakiti dirinya sendiri lebih dari
orang lain. Dia tidak bersikap keras kepala; sebaliknya, Mahiru memberi kesan
bahwa dia mencekik dirinya sendiri dengan kata-katanya, membuat dirinya
terpojok. Apa yang menegaskan ini adalah rasa sakit yang dia rasakan di bawah
ekspresi datarnya. Terlepas dari penampilannya yang tanpa emosi, dia tampak
seolah-olah sedang menahan luka itu.
“…Apa?” Mahiru perlahan
mengangkat kepalanya dan menatapnya saat berada di dalam rangkulan Amane.
“… Lebih banyak keintiman.”
“Untuk siapa?”
“Kurasa untuk diriku sendiri.”
“…Jadi begitu ya.”
Setelah membalas dengan bisikan,
Mahiru menyandarkan tubuhnya ke badan Amane dan dengan lembut mendesah.
“Sebenarnya aku tidak terlalu terganggu
dengan itu. Lagi pula, aku sudah tidak ada hubungannya dengan orang itu lagi.”
“Jadi begitu.”
“Aku juga sudah mempunyai... tempat
baru untuk disebut rumah.”
“Ya itu benar.”
“… Jadi, aku baik-baik saja.”
“Nm.”
Amane mengelus-ngelus kepalanya
dengan lembut, merasa senang karena Mahiru menganggap rumah keluarganya sebagai
miliknya, dan Amane merasakan bagaimana perasaan Mahiru terhadap orang tua
kandungnya sekali lagi.
“… Jadi, yah… jika kebetulan
aku bertemu pria itu lagi, apa yang harus kulakukan?”
Ketika Mahiru bersandar di
dadanya, Amane dengan lembut membelai rambutnya dengan telapak tangannya saat
ia bertanya. Mahiru perlahan mengangkat kepalanya dan menatapnya dengan tatapan
lembut. Ekspresinya bukanlah keterkejutan atau rasa sakit, dan begitu melihat
tatapannya, Amane balas menatapnya dengan meyakinkan, tapi Mahiru menurunkan
alisnya, sedikit khawatir karena dia ditatap balik.
“…Kupikir kamu bebas melakukan
apapun yang kamu suka, Amane-kun.”
“Apa tidak ada yang ingin kamu
lakukan tentang itu, Mahiru?”
Amane berasumsi bahwa dia akan
memberitahunya untuk tidak ikut campur, tetapi Mahiru malah menggelengkan
kepalanya.
“Sama sekali tidak ada…
Segalanya akan berbeda jika aku berada di sampingmu saat bertemu dengannya atau
jika ia mendekatiku saat aku sendirian, tapi karena ia bertemu denganmu
sendirian, Amane-kun, aku tidak akan mengkritik pilihan yang kamu buat. Paling
banter, Aku hanya memintamu melapor kepadaku terlebih dahulu. ”
“…Jadi begitu. Bisa dibilang
kalau kamu tidak mau terlibat, ‘kan?”
“Ya. Jika ia ingin mengatakan
sesuatu kepadaku, ia seharusnya membuat janji dan datang langsung kepadaku atau
mengirim pesan, tetapi aneh baginya untuk diam-diam mengamatiku. Kecuali ia
menghubungiku, aku takkan mengambil tindakan apa pun. Selama dia tidak
melakukan apa pun untuk mengganggu hidupku, itu saja.”
Mahiru tampak khawatir dengan
kehadiran pria yang mirip dengan ayahnya, tapi ia tidak ingin melakukan kontak
dengannya. Amane akan melakukan hal yang sama di posisi Mahiru, tetapi fakta
bahwa Mahiru memutuskan untuk mengabaikannya meskipun hampir pasti bahwa pria
itu adalah ayahnya memperjelas sekali lagi bahwa perseteruan antara Mahiru dan
orang tuanya berakar kuat.
Saat Mahiru menggeliat dan
membenamkan wajahnya di dada Amane lagi, bertingkah manja dengannya, Amane
hanya menjawab, “Begitu, ya.”
Amane melingkarkan lengannya di
punggungnya dan menekuk lututnya sebelum mengangkat Mahiru ke atas pangkuannya.
Ia hanya tersenyum sedikit pada ekspresi terkejutnya, dan Amane mencium
keningnya untuk menghiburnya, tapi Mahiru langsung memerah dan membenamkan
wajahnya lagi di dada Amane seolah-olah ingin menyembunyikan dirinya.
Kali ini, dalam upaya untuk
menyembunyikan rasa malunya, Mahiru menekankan dahinya ke arahnya dengan lebih
kuat dari sebelumnya, seolah-olah dia mencoba untuk menyundulnya. Amane tidak
bisa menahan tawa melihat tingkah lucu pacarnya.
“… Yah, kamu tahu, aku bukan
dirimu, Mahiru, jadi aku tidak bisa terlalu banyak ikut campur dalam situasi
keluargamu, tapi menurutku lebih baik melakukan apa yang kamu inginkan, dan aku
akan mendukung apa pun keputusanmu.”
Sebagai orang luar. Hanya itu
yang bisa dilakukan Amane. Tentu saja, dari sudut pandangnya, 'untuk saat ini' ditetapkan di akhir pernyataan
itu. Itu sebabnya Amane tidak bisa menyelidiki terlalu dalam situasi keluarganya.
Selama Mahiru tidak ingin ia melakukannya, yang bisa dilakukan Amane hanyalah
mendukungnya dengan lembut dari sampingnya.
Tapi terlepas dari itu, Amane
sudah memutuskan untuk tetap berada di sisinya, dan apapun yang terjadi dengan
keluarganya, Mahiru akan tetap menjadi satu-satunya untuknya. Jika lari dari keluarganya
adalah salah satu keinginannya, Amane akan siap mewujudkannya.
“Ya,” jawab Mahiru dengan suara
pelan saat Amane membelai rambutnya dengan lembut.
“Aku akan merebutmu jika saatnya
tiba, jadi jangan khawatir.”
Amane berbisik dengan suara
yang hampir tidak bisa dia dengar dan mengeluarkan tawa nakal, dan Mahiru
dengan cepat mengangkat kepalanya dengan wajah yang bahkan lebih merah dari
sebelumnya. Amane berpura-pura tidak menyadarinya dan hanya membelai rambutnya.
✧ ✦ ✧
Beberapa hari telah berlalu
sejak Amane bertemu dengan pria yang sepertinya adalah ayah Mahiru. Dirinya
kurang lebih berhati-hati untuk melihatnya ketika keluar, tetapi bertentangan
dengan kecemasannya, Amane bahkan tidak menemukan sosok bayangannya.
Kemungkinan besar, pria itu datang untuk menemui Mahiru atau untuk memeriksanya,
dan pada akhirnya, ia ragu untuk bertemu dengannya. Kalau tidak begitu, ia
pasti akan memulai percakapan.
Amane sudah bertanya tentang
hal itu, tetapi Mahiru menjawab bahwa pria itu tidak pernah menghubunginya atau
menunjukkan wajahnya, jadi mungkin saja pria itu tidak berniat untuk bertemu
dengannya saat ini.
“...Aku tidak mengerti sama
sekali.”
Bukannya Amane tidak mengerti
bahwa pria itu ingin mampir, tapi Amane masih merasa bingung karena motifnya
masih menjadi misteri. Di sisi lain, dirinya tidak bisa melewati batasnya, jadi
kecuali pria itu sendiri yang mendekatinya, Amane tidak akan bisa mengambil
tindakan apapun.
“Apa ada yang salah?”
“Aku cuma sedang kepikiran
sesuatu.”
Itsuki, yang saat ini berada di
rumah Amane sambil membawa tugas musim panasnya, menunjukkan ekspresi khawatir
saat Amane bergumam pada dirinya sendiri sambil melihat tugas PR-nya.
“Tumben sekali kamu sampai
segitu khawatirnya tentang sesuatu sampai-sampai mengatakannya dengan lantang, Amane…
Coba lihat, kakakmu omo akan mendengarkan masalahmu.”
“Kamu ini mengoceh apaan? Akulah
yang lahir duluan.”
“Jangan memusingkan masalah
sepele. Ayo, ceritakan saja.”
Sepertinya Itsuki lelah mengerjakan
tugasnya. Ia melemparkan pensilnya ke seberang meja, berbalik menghadap Amane,
dan menampar dadanya. Ia sepertinya menyiratkan, Serahkan padaku.
(…Apa
yang harus kulakukan?)
Mana mungkin dirinya akan
membeberkan situasi keluarga Mahiru. Bukan masalah seberapa dekat mereka
sebagai teman; hanya saja Amane tidak boleh membagikan hal-hal yang diputuskan
untuk dirahasiakan oleh Mahiru. Jika ini adalah rahasianya sendiri, Amane
mungkin akan menceritakannya, tapi karena itu milik Mahiru, jadi dirinya tidak
bisa melakukannya. Tidak mungkin dia bisa menyampaikan situasinya dengan benar
tanpa membocorkan terlalu banyak. Meski begitu, ia takkan menemukan jawabannya
dengan khawatir sendirian.
Amane menutup mulutnya sejenak,
lalu mulai berbicara. Ia merangkai kata-katanya dengan hati-hati dalam
pikirannya.
“Misalnya, ada seseorang yang
tidak pernah terlibat denganmu, tetapi kemudian orang tersebut mendadak
melakukan kontak denganmu. Jika itu terjadi, menurutmu apa yang mereka
inginkan?”
“Apa ini tentangmu, Amane?”
“Tidak ada komentar.”
“Hmm. Baiklah.”
Itsuki menunduk setelah
mendengar pernyataan Amane seolah-olah dia telah menebak seluk beluk dari apa
yang dikatakannya, tapi Itsuki tidak mengoreknya terlalu dalam; ia hanya
menerima perkataan Amane dan fokus pada masalah.
“Yah, menurutku itu tergantung
pada situasinya ... dia tidak menghubungi mereka sebelumnya, atau semacamnya?”
“Iya.”
“Hmm. Orang yang kamu bicarakan
bukan penguntit, ‘kan?”
“… Perkataanmu sedikit
melenceng.”
Pria itu mengunjungi kompleks
apartemen mereka, dan menghilang tanpa suara begitu Mahiru muncul; Amane takkan
terlalu jauh untuk memanggilnya penguntit, tapi ada aura kecurigaan tertentu
yang menyertainya.
“Aku merasa penasaran dengan ‘sedikit’ tersebut, tapi mari kita
lihat... Aku yakin orang tersebut pasti khawatir. Aku tidak tahu hubungan
seperti apa yang mereka miliki, tetapi jika ada satu kemungkinan, itu adalah
masalah penting yang harus didiskusikan secara langsung, atau sesuatu yang
memicu perubahan hati, dan sekarang ingin melibatkannya.”
“…Perubahan sikap.”
“Bukannya cuma itu satu-satunya
alasan seseorang tiba-tiba muncul setelah terus-menerus menghindarinya?”
Itsuki mengangkat bahunya
sambil melanjutkan, “Tapi kami masih belum tahu penyebabnya, sih” dan Amane
tersenyum masam, berkata, “Yah, itu benar.”
Mempertimbangkan apa yang
dikatakan Itsuki, memang benar memeriksa putrinya sendiri bukanlah sesuatu yang
aneh. Namun, alasannya tetap menjadi misteri.
Amane tidak mengenal ayah
Mahiru, tidak mengenal kepribadiannya atau bagaimana wataknya, jadi meskipun
Amane mencoba membayangkan motifnya, tidak ada teorinya yang muncul. Sebuah
petunjuk, jika ada, kemungkinan terletak pada perubahan keadaan pikiran atau
lingkungannya. Itulah satu-satunya alasan Amane bisa membayangkan mengapa ia
datang menemui Mahiru sekarang.
“Yah, aku tidak tahu detailnya,
jadi aku tidak bisa memastikannya. Jika aku jadi lamu, aku akan khawatir dan
melakukan kontak dengannya sendiri. Aku tidak menyukai gagasan merasa gelisah
dan tidak melakukan apa-apa.”
“Itu sangat menggambarkan
dirimu…”
“Yah, karena kamu tipe pasif, Amane,
jadi tidak ada salahnya menunggu sampai orang tersebut muncul lagi, ‘kan? Aku
yakin ia akan segera datang lagi, dengan satu atau lain cara. Jika hanya itu
yang diperlukan baginya untuk menyerah pada pertemuan langsung, dia akan
mengirim email atau menelepon sejak awal.”
“Karena kamu tidak mengerti
situasinya, kamu tidak punya pilihan selain menunggu, kan?” Itsuki melanjutkan, dan Amane sampai pada
kesimpulan yang sama. Ia bermaksud untuk mengadopsi sikap menunggu dan melihat
sejak saat itu. Pertama-tama, Mahiru yang dihubungi, jadi hanya sedikit yang
bisa dilakukan Amane dalam situasi seperti itu.
“Kurasa hanya itu yang bisa
kulakukan,” desah Amane, dan bibir Itsuki melengkung geli.
“…Baiklah, lakukan yang terbaik
untuk kekasihmu, ‘nak.”
“Apa–”
“Kamu itu memang gampang sekali
dibaca, ya? Jika itu tentang kamu sendiri, Kamu akan mengatakannya langsung.
Satu-satunya orang yang sampai membuatmu secemas ini hanya Shiina-san saja.”
“…Berisik.”
“Yah aku takkan mengungkitnya
lagi, karena aku tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusanmu, tapi lakukan
yang terbaik untuk pacar imutmu itu, Amane.”
Amane memasang ekspresi tidak senang saat Itsuki menyikut sikunya ke arahnya, dan menjawab dengan suara pelan, “Aku tahu,”.