Bab 7 —
Tenshi-sama dan Festival Musim Panas
Liburan musim panas akan segera
berakhir; sisa waktunya tinggal seminggu lagi. Chitose tiba-tiba berkunjung ke
rumah Amane sebelum tengah hari dan bertanya kepadanya, “Tau enggak kalau hari
ini ada festival musim panas di lingkungan sini?”
“… Sebenarnya, aku sudah tahu.”
“Oh, kamu sudah berencana pergi
dengan Mahirun? Aku mengundang Ikkun untuk ikut denganku.”
“Kami berencana untuk pergi ke
sana bersama, atau sebenarnya, aku akan mengundang Mahiru nanti.”
Amane mengetahui jadwal bebas
Mahiru untuk hari itu, jadi dirinya berencana mengundangnya keluar bersamanya
sebagai kejutan. Untuk menutupi semua kebutuhan, Amane telah meminta ibunya
untuk mengirimkan sepasang yukata yang pas untuk mereka berdua, dan memastikan untuk meninjau terlebih dahulu
metode yang benar untuk memakainya, sehingga mereka bisa pergi bersama tanpa
hambatan.
Kembali setelah menuangkan teh,
Mahiru mengeluarkan “Hah?” dan menatapnya dengan ekspresi kosong.
“Aku ingin pergi ke festival
musim panas, jadi aku melakukan riset tentang itu,” Amane membalas, dan Mahiru
berkedip beberapa kali berulang kali.
“… Mungkin aku mengganggu
kalian berdua di sini?”
“Tidak juga. Rasanya memang
menyenangkan untuk pergi berdua saja, tapi kupikir sebaiknya kita melihat-lihat
sebagai kelompok saat kita melakukannya. Lagi pula, kita sudah berkumpul di
sini.”
Amane dan teman-temannya sudah
menginjak bangku kelas 2 SMA. Begitu akhir liburan musim panas tiba, kelas
mereka akan mulai lebih fokus dalam mempersiapkan ujian masuk mendatang.
Di sekolah tempat mereka
belajar, siswa harus menyelesaikan keseluruhan waktu belajar tiga tahun mereka
dalam dua tahun pertama. Tahun yang tersisa kemudian digunakan untuk setiap
siswa untuk mengikuti kursus pilihan mereka sebagai persiapan untuk jalur karir
ideal mereka, menghasilkan kelas yang bergerak cukup cepat.
Oleh karena itu, mereka tidak
diberi kebebasan untuk bisa nongkrong terlalu sering, dan mereka tidak diberi
banyak kesempatan untuk bermalas-malasan tanpa banyak pikiran. Dan tentu saja,
begitu mereka naik ke kelas 3, mereka akan lebih sering belajar di rumah,
mungkin menghadiri sekolah persiapan, sekolah bimbel, atau bahkan mengikuti les
privat, sehingga akan ada lebih sedikit kesempatan bagi mereka untuk berkumpul.
Amane selalu bisa meluangkan
waktu untuk menghabiskan waktu sendirian dengan Mahiru, tetapi menyesuaikan
jadwal semua orang sekali lagi akan menjadi tantangan yang sulit.
“… Apa kamu pendapat lain,
Mahiru?”
“Aku akan sangat senang jika
kita semua bisa pergi bersama. Tetap saja, aku lebih menyukai kalau kamu
menghubungi kami sebelum berkunjung, Chitose-san.”
“Sudah kubilang aku minta maaf.
Kupikir aku sudah melakukan yang terbaik dengan itu, tau?”
“Tapi itu hanya sepuluh menit
sebelum kamu tiba…”
Mahiru tersenyum masam saat dia
terus menyajikan teh barley dingin kepada Chitose, memperlihatkan apa yang
telah dia lakukan.
Dalam keadaan tercengan, Mahiru
tiba-tiba memberi tahu, “Chitose-san akan datang ke sini,” dan Amane secara
alami juga terkejut dengan kunjungan mendadaknya, mengesampingkan undangan
mereka sebelumnya. Itsuki juga tiba-tiba masuk ke rumah temannya sebelumnya,
tapi dia tidak pernah menduga Chitose akan melakukan hal yang sama.
Dia menerobos masuk karena dia
yakin kalau mereka ada di rumah, tapi selain itu, Amane berharap setidaknya dia
memberitahu mereka lebih awal. Amane menghela nafas pada Chitose, yang sedang
menikmati teh barley dinginnya, sebelum melirik Mahiru. Dia sepertinya tidak
menentang pergi ke festival.
Amane menyadari penurunan halus
antusiasme Mahiru akhir-akhir ini, dan kemungkinan itu adalah efek dari insiden
dengan ayahnya, jadi dirinya bermaksud untuk mengajaknya keluar sebagai
pengalih perhatian. Dia mungkin akan melakukan kontak dengan ayahnya lagi, tapi
meski hanya sesaat, Amane berharap ia bisa membiarkan Mahiru melupakan
keberadaannya.
“Yah, ada bagusnya juga kita
memutuskan untuk pergi bersama, tapi apa yang akan kamu lakukan, Mahiru? Mau
pakai yukata?”
“Hah? Tidak, sayangnya, aku
tidak punya yukata yang bisa dipakau.”
“Yah, erm… Sebenarnya ada. Di
sini, sebenarnya. Dan itu sangat cocok dengan ukuranmu.”
“Hah, kok bisa?”
“Aku memintanya pada ibu.”
Begitu Amane menyebutkan
keterlibatan Shihoko, “Ahh…” Mahiru buru-buru setuju. Amane yakin bahwa dalam
benak Mahiru, ibunya adalah seseorang yang, entah kenapa, memiliki banyak
koleksi pakaian seukurannya. Sulit baginya untuk menertawakan fakta bahwa dia
juga tidak salah.
Amane lah yang meminta
bantuannya kali ini, jadi dirinya tidak bisa berkomentar, tapi Amane penasaran
mengapa Ibunya bisa memiliki pakaian dalam untuk ukuran gadis muda. Terlepas
dari kenyataan bahwa Shihoko bekerja di industri mode, jelas-jelas bahwa dia
mempersiapkannya secara khusus untuk digunakan oleh Mahiru.
“Hah? Kamu akan memakai yukata,
Mahirun? Aku ingin melihatnya!”
“Apa kamu tidak memakainya?”
“Tidak mau. Pakai Yukata memang
kelihatan manis, tapi sulit untuk bergerak, dan aku tidak bisa makan sampai
kenyang dengan selempang di sekitarku.”
“Kamu yakin kalau kamu bukan
hanya rakus?”
“Sembarangan saja kalau
ngomong.”
Sebagai seseorang yang lebih
memilih untuk tidak berpakaian ketat, tapi Chitose juga makan sesuka hatinya
dan menikmati menggerakkan tubuhnya dengan bebas, jadi mengenakan pakaian yang
akan dikenakan seseorang untuk menunjukkan keanggunan seperti yukata tidak
cocok untuknya.
Pakaian semacam itu akan sulit
untuk digrakkan—terlalu sempit untuk Chitose yang terlalu aktif.
“Kalau dipikir-pikir, apa yang
sedang dilakukan Itsuki?”
“Kita seharusnya bertemu di
sana, sih.”
“Kamu sudah memutuskan banyak
hal sebelum mengundang kami, bukan? Hampir seolah-olah kamu sudah menduga kalau
kami akan pergi dari awal…?”
“Hehe, kupikir kalian berdua
tidak akan menolak jika kalian punya waktu luang.”
“Kamu benar-benar harus lebih
khawatir tentang itu.”
“Maaf, maaf.”
Amane menyipitkan matanya pada
Chitose, yang sepertinya tidak memikirkan tindakannya, tapi mau bagaimana lagi.
Karena Amane telah mengirim
pesan kepada Itsuki tentang adanya jadwal kosong selama beberapa hari terakhir,
kemungkinan itulah alasan undangannya. Tentu saja, Amane ingin dia mengundang
mereka dari jauh-jauh hari, tetapi perubahan kecepatan itu penting, jadi kali
ini dirinya berterima kasih meskipun mereka mengajaknya di menit-menit
terakhir.
“Jadi, bagaimana, Mahiru? Ingin
memakai yukata?”
“… Bukannya itu berarti hanya
aku saja satu-satunya yang memakai yukata?”
“Aku berencana memakainya juga
sih...”
“Hah? Kamu juga akan
memakainya?”
“Yah, erm, ini acara khusus,
dan kupikir aku akan mencobanya juga agar terbiasa.”
“Amane-kun dengan yukata-nya…”
Mahiru tiba-tiba mulai tampak
tersipu saat menyebutkan penampilan yukata-nya, dan Amane bergumam, “Tapi
menurutku rasanya takkan menarik untuk melihat yukata pria…”
Amane tidak mencoba untuk
memuaskan siapa pun, tetapi ia meyakini kalau yukata memiliki bakat tertentu ketika
dikenakan oleh seorang wanita dan bukan oleh seorang pria. Meskipun itu
menciptakan suasana khusus, yukata seorang pria tidak layak
diapresiasi—begitulah pandangan Amane.
Namun, seolah dia benar-benar
ingin melihatnya, Mahiru terus menatapnya dengan tatapan penuh harap. Itu
adalah keinginan pacarnya yang imut, jadi penampilan yukata Amane sekarang
sudah dipastikan. Amane pikir dirinya akan terlihat lebih baik jika memakainya
juga karena ia akan berjalan bersama Mahiru.
“Yah, jika kamu ingin
melihatnya, Mahiru, aku dengan senang hati akan memakainya.”
“A-Aku ingin melihatnya.”
“Responmu terlalu cepat. Aku
tidak masalah sih, tapi jangan terlalu berharap terlalu banyak. Punyaku hanya
yukata biasa.”
Itu adalah warna biru tua yang
sederhana dan simpel dengan selempang berwarna kacang merah, jadi itu tidak
menonjol atau terlihat mewah. Meski demikian, Mahiru menatapnya dengan penuh
har, jadi Amane tersenyum kecut dan menepuk kepalanya, berkata, “Baiklah, aku
akan mencoba menyesuaikannya sebaik mungkin.”
✧ ✦ ✧
Satu setengah jam sebelum
festival dimulai, Amane dan Mahiru memulai persiapan mereka. Mahiru kembali ke
unit apartemennya sambil membawa yukata di tangannya, begitu pula Chitose,
sementara Amane bersiap-siap mengenakan yukata sendiri dengan kesepiannya.
Seseorang membutuhkan pengetahuan tentang cara memakai yukata dengan benar,
tetapi ia tidak mengkhawatirkan Mahiru dalam hal itu. Karena Mahiru pernah
mengenakan kimono sebelumnya, jadi mengenakan yukata akan sangat mudah baginya.
Masalah sebenarnya adalah
dirinya sendiri, Amane merasa cemas apa dirinya sudah memakainya dengan benar
atau tidak. Ia jarang memiliki kesempatan untuk memakainya sebelumnya, meskipun
Shihoko telah memberikan pengetahuan yang tepat padanya di masa lalu.
Amane memeriksa penampilan dirinya
sendiri di cermin ketika selesai memakainya, dan itu dibentuk dengan rapi;
setidaknya itu tidak berantakan. Warna biru tua yang polos, dan dengan
selempang kacang merah. Kimono Amane tidak memiliki pola mewah, tampilan yang
sangat dihargainya mengingat seleranya. Amane memperhatikan bahwa tinggi
badannya membantu menciptakan suasana khusus saat melihat ke cermin, yang merupakan
keuntungan tambahan. Dalam artian yang baik atau buruk, dirinya memiliki wajah
yang tenang, jadi dirinya memberikan kesan kalem dan dewasa yang mungkin cocok
untuknya dengan baik mengingat kesempatan itu.
Amane memutuskan untuk membaca
penilaian orang lain tentang dirinya sebagai dasar apakah dirinya cocok untuk
berjalan di sisi Mahiru. Walaupun ia juga ingin tahu tentang tatapan dan
pendapat orang yang lewat, tapi yang paling penting adalah perasaannya sendiri,
dan perasaan Mahiru.
Setelah selesai berdandan dan
menata rambutnya, Amane lalu duduk di sofa dan dengan santai menghabiskan sisa
waktunya menunggu. Butuh waktu lama bagi wanita untuk bersiap-siap. Amane
menyadari hal ini dan mempersiapkan banyak waktu sebelumnya, jadi tidak ada
masalah apapun.
Selain itu, ketika berkaitan
dengan cara memakai, yukata akan lebih merepotkan untuk dipakai daripada
pakaian biasa, dan Mahiru kemungkinan akan mengikat rambutnya setelah diganti,
jadi Amane memperkirakan akan memakan waktu lebih lama dari biasanya. Karena
Mahiru mungkin akan merias wajahnya setelah semua langkah tersebut, Amane
sangat menghormati upaya para gadis dan menganggapnya luar biasa.
(Mahiru
sudah terlihat imut bahkan saat dia tidak mengenakan apa pun, tapi gadis-gadis terlihat
lebih bersinar cerah saat mereka berdandan, itu luar biasa.)
Amane menghabiskan waktunya
untuk bersantai dan merasa kalau senyuman mulai menyebar di wajahnya saat ia
menghargai usaha Mahiru yang menawan untuk menunjukkan bagian dirinya yang
paling menggemaskan dan merasakan perasaan bahagia yang tak terlukiskan muncul
di hatinya.
Kemudian, Amane mendengar
pintunya dibuka, dan Mahiru tampaknya sudah selesai dengan persiapannya. Amane
menahan diri untuk tidak menghadap ke arahnya dan menunggunya untuk
mendekatinya, mengantisipasi kecantikannya. “Amane-kun,”
panggil Mahiru dengan lembut, dan menepuk pundaknya.
Pada saat itulah Amane akhirnya
berbalik — dan tersenyum.
“Kamu kelihatan lucu. Itu
sangat cocok untukmu.”
“…A-Apa semudah itu menilai?”
“Pasti, tidak diragukan lagi.
Aku bisa langsung tahu hanya dengan melihatnya sekilas.”
Mahiru sedikit keberatan karena
berpikir bahwa kata-kata pujiannya sudah disiapkan sebelumnya, tapi mau
bagaimana lagi. Bagaimanapun juga, itulah yang benar-benar dipercaya Amane.
Sekali lagi, Amane merasa kagum
pada wawasan ibunya dan merasa benar-benar terkesan.
Mungkin karena pertimbangan
bahwa Mahiru akan berdiri di samping Amane, yukata yang dipakai Mahiru
memancarkan kesan cerah meskipun desainnya agak tenang. Itu menggambarkan pola
bunga Hydrangea yang kontras dengan kain putih yang mengelilinginya. Hydrangea
berwarna biru tua, memancarkan aura kedewasaan yang membuatnya tampak sopan dan
sopan.
Meskipun Amane tidak dapat
menyangkal bahwa itu sedikit berlebihan untuk musim ini, tapi yukata tersebut
sangat cocok untuknya. Mahiru memakai selempang ungu cerah yang melengkapi
desain sederhana yukata miliknya. Gesper obi dihiasi dengan manik-manik capung,
menambah suasana menyegarkan.
Amane tersenyum seraya menatap
sosok Mahiru dengan tegas, penampilannya tampak seperti perwujudan dari
kecantikan yang murni dan pantas.
“Kamu biasnaya terlihat imut.
Tapi hari ini, kamu terlihat lugu dan menawan. Haruskah aku menyebutnya pesona
lembut? Aku bilang kalau itu imut, dan itu benar, tetapi jika aku harus
mengatakannya, aku akan mengatakan kalau kamu terlihat lebih cantik daripada
imut. Itu pasti cocok untukmu.”
“I-Ini terlalu…”
Setelah mendengar betapa
seriusnya pendapat Amane, seketika itu juga pipi Mahiru langsung merah merona,
seolah-olah dia tidak bisa tenang; tangannya memainkan ujung rambutnya. Melihat
reaksinya yang begitu, Amane hanya bisa tertawa.
Sanggul rambut Mahiru sepertinya
ditahan dengan jepit rambut, dan jepit rambut peraknya bergoyang lembut saat
dia bergerak. Jepit rambut itu didekorasi dengan manik-manik kaca berwarna biru
tua dengan gaya yang sama dengan ikat pinggangnya, dan suasana yang
ditimbulkannya mirip dengan yukata Amane.
“Mahirun, Mahirun,” kata
Chitose. “Ia jelas tidak berpura-pura.”
“Aku tahu, aku sudah mengalami
ini berkali-kali.”
“… Apa sekarang kamu
menyalahkanku?”
“Sebenarnya itu pujian, tapi
juga sanggahan, mungkin?” Chitose mengklarifikasi, meskipun tidak dapat
mengambil keputusan.
“Apa-Apaan itu maksudnya?”
Amane bingung dengan jawaban
Chitose dan menyipitkan matanya curiga. Chitose tidak mengatakan apa-apa lagi
dan terus tersenyum.
Namun, sikap Mahiru sepertinya
tidak menolaknya, jadi Amane menduga itu bukanlah hal yang buruk.
“…A-Aku pikir pakaianmu sangat
cocok untukmu, Amane-kun.”
“Benarkah? Terima kasih. Aku
senang jika kamu berpikir demikian.”
Menurut Amane pakaian itu memang
terlihat cukup cocok, tapi sekarang dengan penegasan Mahiru, dirinya menjadi
lebih puas. Meskipun Amane tahu dia memiliki filter cinta, tetap rasanyna masih
menyenangkan untuk dipuji. Amane mencoba untuk menerima pujian Mahiru secara
terbuka, tapi entah kenapa, mata Mahiru menunjukkan sedikit ekspresi kesal.
“…Apa aku melakukan sesuatu
yang salah?”
“Karena cuma dia satu-satunya
yang merasa malu, jadi menurutnya itu tidak adil~”
"Chi-Chitose-san!”
Mendengar komentar Chitose,
Mahiru langsung kesal. Reaksinya membuktikan bahwa Chitose benar. Sepertinya
Mahiru juga ingin membuat Amane merasa malu, tapi Amane takkan malu dengan hal
sekecil itu. Ia merasa senang dan memang sedikit malu, tapi tidak semalu
Mahiru.
Melihat Mahiru jelas-jelas
terguncang, Chitose tersenyum senang dan berkata, “Kamu sangat imut~”, sambil menekan dan menyentuhnya. Ketika
melihat kontak Chitose, pikiran Amane agak campur aduk. Dirinya tidak tahu
apakah harus mengaguminya karena bisa menghindari mengacak-acak rambut dan
pakaiannya saat menggoda Mahiru, atau berdebat bahwa hanya dia yang bisa
menyentuhnya.
Mahiru terlihat sangat malu
sampai-sampai pipinya memerah. Karena
reaksi Mahiru sangat imut, mari biarkan mereka saling bercanda, Amane
memutuskan untuk membiarkan Chitose menyentuh Mahiru dan melihat mereka salinng
bermain-main dengan ekspresi hangat.
✧ ✦ ✧
Ketika mereka tiba di stasiun
terdekat dengan tempat diadakannya festival, Itsuki sudah menunggu mereka di
sana. Ia sepertinya tidak menyangka Amane dan Mahiru memakai yukata, jadi
ketika melihat mereka, ia menatap mereka dengan kagum, “Whoaa, yukata!”
“Aku sudah memilikinya selama
beberapa hari. Dua set yukata ini dikirim oleh ibuku.”
“Oh wow, selera Shihoko-san
sangat bagus; Kamu berdua terlihat sangat serasi satu sama lain.”
“Ibuku memiliki selera yang
sangat bagus dengan barang-barang semacam ini.”
Mereka berdua tampak seperti
sepasang, dan pakaian mereka dipilih dengan memikirkan mereka berdua berdiri
bersama. Jika ada yang melihat mereka, mau tak mau pasti akan mengagumi mereka.
Amane memutuskan untuk
mengirimkan foto Mahiru dengan balutan yukata kepada ibunya sebagai hadiah
terima kasih. Ia kemudian menatap Itsuki. Dia mengenakan pakaian kasual, tapi
jeans dan kemeja yang dikenakannya cocok untuknya. Punya wajah tampan memang dosa, pikir Amane dalam hati.
Chitose akan terlihat menawan
jika dia mau memakai yukata. Tapi Amane tahu dia tidak ingin memakainya, jadi
ia menyingkirkan pikiran itu.
"Yah, gadis cantik yang
memakai yukata emang sangat memanjakan mata.”
“Ah, Ikkun, bagaimana
denganku~?”
“Kamu sangat imut, Chi.
Kapanpun dan dimanapun.”
“… Tapi kamu mengolok-olokku
ketika kamu melihatku memakai masker wajah.”
“Kamu juga imut seperti itu.”
“Kamu jelas-jelas tertawa hanya
dengan memikirkannya!”
Chitose meneak-nepak pundak
Itsuki beberapa kali, tapi ia tetap tidak terpengaruh oleh getaran dan cibiran
itu. Melihat tingkah laku mereka berdua, Mahiru tersenyum pahit.
Adapun Amane, dirinya juga
pernah melihat Mahiru menggunakan masker saat kunjungan terakhirnya ke kampung
halamannya, tapi ia tidak menganggapnya lucu atau menarik, Amane hanya berpikir
pasti sulit untuk menjaga kecantikan dan mengagumi Mahiru karena ketekunannya.
Saat itu, Amane hampir diminta untuk menggunakan sendiri, tapi pada akhirnya ia
menolak. Begitu banyak kerja keras untuk
menjaga wajah yang menarik, pikir Amane, sambil dengan lembut membelai
wajah Mahiru dengan punggung jarinya, berhati-hati agar riasannya tidak luntur.
Gerakannya itu membuat Mahiru merasa geli, dan dia tersenyum lembut.
Hanya dengan melihatnya, dia
membuat orang-orang di depan Amane terkesiap.
“Memiliki pacar yang imut
adalah cara yang sangat mudah untuk menonjol.”
Melihat reaksi orang-orang yang
lewat, Amane sekali lagi mengakui bahwa pacarnya itu sangat cantik.
“Bukan itu saja—hanya fakta
bahwa mereka berdua berdiri bersama membuat mereka menonjol, kau tahu..."
“Sejujurnya, saat ini hanya
sedikit orang yang mengenakan yukata ke festival, bahkan selama musim panas.
Jadi tidak mengherankan kalau mereka menonjol.”
“Kamu tidak salah, tapi bukan
itu maksudku… Ah sudahlah; lupakan saja."
Amane tidak peduli dengan reaksinya
dan menarik Mahiru dengan lembut. Alasan dia melakukan ini adalah untuk
menekankan kepada orang-orang di sekitar mereka bahwa Mahiru adalah miliknya.
Pada awalnya, Mahiru berkedip kaget, tapi kemudian dia menyadari arti dibalik
tindakannya, dan pipinya sedikit memerah. Dia bersandar di lengan Amane dengan
eksrpesi bahagia.
Ketika mereka melihat reaksi
Mahiru, baik Chitose maupun Amane mengangkat sudut mulut mereka dan tersenyum.
Tapi Mahiru tidak peduli, dan terus menempel pada Amane.
“Kita tidak boleh ketinggalan.
Lihat kami!”
“Wahahaha, ayolah.”
Amane tersenyum pahit saat
melihat Itsuki dan Chitose bersandar satu sama lain dengan menantang. Kemudian,
ia melihat ke arah Mahiru yang sedang bersandar padanya. Mahiru sedikit
menundukkan kepalanya dan menatap Amane, matanya penuh kepercayaan.
“Kalau begitu mari kita mulai
berbelanja. Kita tidak bisa berdiri diam di sini terus.”
“Ya! Dengan demikian, festival
kita dimulai sekarang! Aku harus makan sebanyak yang aku bisa~”
Chitose melingkarkan lengannya
di sekitar tangan Itsuki dan mengangkat tangannya dengan semangat saat dia
mengatakannya. Dia tampaknya lebih peduli untuk memuaskan nafsu makannya
daripada pesona kewanitaannya. Melihat tingkah lakunya yang seperti ini, Amane
pun tersenyum, berbalik menghadap tempat festival, dan mengambil langkah.
Ia menatap Mahiru lagi,
tersenyum padanya, dan kemudian memegang tangannya saat mengikuti di belakang
mereka.
✧ ✦ ✧
Mereka berempat lalu tiba di
tempat festival, dan tempat sudah ramai dengan kerumunan orang. Daerah itu
biasanya tidak begitu ramai, tapi hari ini penuh sesak—jauh berbeda dari kesan
biasanya. Tidak ada festival lain yang diadakan di dekat sini dalam satu atau
dua minggu terakhir, jadi kemungkinan itulah alasan utamanya.
Sekilas, sepertinya tidak
banyak orang yang datang mengenakan yukata, dan berjalan-jalan dengan yukata
akan sangat menarik perhatian. Namun, alasan utama ketertarikan itu adalah kecantikan
Mahiru.
“Di sini ramai banget, ya,”
komentar Chitose.
“Memang. Kita harus
berhati-hati agar tidak terpisah.” jawab Amane.
“Mahirun, jangan lepaskan
Amane, oke?”
“… Aku takkan melepaskannya.”
Mahiru menempel dengan lengket
ke tubuh Amane dan memegang tangannya dengan erat. Amane juga mengatupkan
jarinya dan bersumpah dalam hatinya bahwa ia tidak akan pernah melepaskannya.
Jika dirinya melepaskannya, pasti akan ada orang jahat yang mencoba untuk
merayunya.
Dia adalah gadis yang sangat
cantik; cowok mana yang tdiak ingin mencoba merayunya? Itsuki bersiul dan
menatap Amane dengan pandangan penuh arti, Lihat
kamu masih berpegangan tangan dengannya, lalu lihat penjual dan kios yang
berjejer di festival.
“Mahiru, apa ada yang ingin
kamu lihat? Atau apa pun yang ingin kamu makan?”
“Aku tidak yakin. Aku baru
pertama kali mengunjungi tempat seperti ini…”
“Jadi begitu. Kalau begitu mari
kita makan sesuatu dulu.”
Hati Amane sedikit sedih
mengingat Mahiru hampir tidak pernah pergi bersama keluarganya. Untuk mengangkat
semangatnya, Amane tersenyum padanya, dan dia balas tersenyum.
“Ah, aku ingin makan permen
kapas~”
“Bukannya nanti kamu akan cepat
kenyang jika kamu membeli itu?”
Amane tidak yakin apa itu akan
bermasalah, tapi Chitose adalah pemakan yang cepat dan akan dengan mudah
menghabiskan permennya dengan cepat. Namun, sebelum makan yang manis-manis,
makan yang lain akan lebih tepat.
Amane ingin memulai dengan
yakisoba atau takoyaki, seperti tradisi. Tapi karena mereka memakai yukata,
jadi mereka harus berhati-hati agar tidak menumpahkan saus apapun. Namun bagi
Amane, pendapat Mahiru adalah yang paling penting.
“… Jenis makanan apa sajayang
ada di festival?”
“Biasanya ada yakisoba,
takoyaki, ikayaki, dan sosis. Mereka lebih mudah dimakan dan membuatmu
kenyang.”
“… Bisakah kita berpikir sambil
berjalan?”
“Jika kamu menghendaki. Itulah
bagian yang menyenangkan tentang pergi ke festival.”
Kamu bisa memutuskan apa yang
ingin dimakan sebelum memulai, tetapi mencari hal-hal yang kamu sukai saat
berkeliling mempunyai kesenangan tersendiri. Lebih baik menikmati festival
seperti itu. Amane meminta pendapat Itsuki dan Chitose. Mereka menganggukkan
kepala dan setuju dengan rencana itu. Jadi Amane memutuskan untuk berkeliling,
dan mengawal Mahiru melewati kerumunan.
Kelompok mereka berkeliling
dengan santai dan membeli beberapa makanan dari penjual. Kemudian, mereka
melihat kios untuk menembak sasaran, permainan umum yang biasa di festival.
Amane berpikir bahwa menembak target adalah hal yang unik di festival. Ia
berencana mengajak Mahiru untuk memainkan game ini jika ada kesempatan. Tapi
jika Mahiru tidak tertarik, Amane akan melewatkannya begitu saja. Mahiru
berpegangan tangan dengannya, melihat sekeliling ke semua kios terdekat; tatapan
matanya bersinar, tampak seperti dia menikmati dirinya sendiri. Kemudian dia
melihat mata Amane melihat ke arah stan tertentu, jadi Mahiru menoleh ke arah
tersebut dan bertanya.
“Amane-kun, itu apaan?”
“Ahhh, itu adalah game menembak
target. Kamu menembak gabus menggunakan pistol mainan, dan jika tembakanmu
mengenai hadiah dan menjatuhkannya, kamu bisa membawanya pulang. Kamu ingin
mencobanya?”
Amane merasa bahwa mereka harus
mengalami sebanyak yang mereka bisa, jadi ia mengeluarkan dompetnya dan
mengocoknya beberapa kali.
Melihat Mahiru setuju, Amane langsung
membayar pemilik stan. Ia mengambil pistol mainan dan lima butir amunisinya,
memasukkan gabus ke dalam pistol untuk digunakan Mahiru. Orang tuanya sering membawanya
ke festival ketika masih kecil, dan berkat itu, Amane bisa memuat amunisinya
sendiri tanpa perlu meminta pemilik stan.
“Sudah terisi, ini dia. Yang
mana yang kamu mau?”
“… Menurutku yang itu lucu.”
Mahiru menunjuk ke kotak
plastik sambil berkata begitu. Kotak itu berisi jepit rambut. Ada hiasan bunga
hydrangea yang cocok dengan yukata Mahiru, dan memiliki desain yang agak lucu.
Amane sudah sering memainkan
game semacam ini, dan menurut pengalamannya, hadiahnya sengaja ditempatkan di
posisi yang sulit ditembak. Hal tersebut membuat game tidak adil untuk pemula.
Namun, ia ingin menghormati keinginan Mahiru, jadi ia tidak menyuarakan
kekhawatirannya. Amane mengajari Mahiru cara menggunakannya bersama dengan
posisi yang tepat, dan membiarkannya membidik apa yang diinginkannya sendiri.
Meskipun
itu hanya pistol mainan, cara dia memegangnya sangat menarik, pikir
Amane pada dirinya sendiri sambil menatapnya setelah melangkah mundur. Setelah
terdengar suara ringan, peluru itu terbang keluar… dan mengenai tirai yang
tergantung di belakang hadiah.
“Ini sulit.” kata Mahiru.
“Sejujurnya, untuk pemain
pemula, rasanya memang sulit untuk membidik secara akurat.”
Meskipun jarak posisi mendembak
dengan hadiahnya tidak jauh, tidak ada gunanya meremehkan kesulitan permainan. Kamu
harus menyesuaikan sudut sesuai dengan kekuatan senjata dan kecepatan gabus,
dan pegangan yang kuat diperlukan untuk menghindari guncangan. Keadaan setiap
senjata tidak sama, dan jika kamu tidak bisa menguasai kendali atas semua
variabel, pelurunya tidak akan pernah mengenai hadiahnya.
Ini
adalah permainan yang sangat canggih. Pikir Amane, dan pada saat yang
sama, mengingat keterampilan dan pengetahuan yang tidak terlalu diperlukan yang
diajarkan orang tuanya di masa lalu, dirinya hanya bisa tertawa kering. Mahiru
terus memasukkan peluru dan menembak seperti yang baru saja diajarkan Amane padanya.
Semua tembakannya meleset, dan Mahiru kehilangan keinginannya untuk melanjutkan
dan mendesah.
Sebagai hadiah karena sudah
berpartisipasi, pemilik stan memberinya beberapa makanan ringan sbagai hadiah
bonus.
“Semuanya meleset…”
“Ini pertama kalinya kamu bermain,
jadi mau bagaimana lagi.”
“Itu benar. Ini selalu terjadi
pertama kali. Aku yakin Amane akan menghilangkan semua penyesalanmu, pergi dan
tunjukkan sisi kerenmu!”
“Jangan anggap remeh karena
kamu cuma jadi penonton.”
Amane berencana menantangnya
sendiri jika Mahiru meleset, karena dia sepertinya sangat menginginkan jepit
rambut. Tapi karena Chitose mengatakan itu sangat mudah, rasanya akan memalukan
jika ia tidak berhasil mendapatkannya.
“…Aku mau itu.” Mahiru menatap jepit dengan enggan dan menatap
Amane.
“… Jika kamu berkata begitu,
aku harus memberikan yang terbaik.”
Mahiru bergumam dengan kepala
sedikit menunduk dan pandangannya mengarah ke atas. Amane yakin bahwa Chitose
telah mengajarinya cara cemberut yang lucu. “Sekarang
aku tidak bisa menembak meleset.” Amane berkata dengan senyum pahit,
lalumembayar pemilik stan seperti sebelumnya dan mengambil pistol beserta
peluru gabusnya.
Sudah lama sekali sejak Amane
terakhir bermain. Ia dengan hati-hati memeriksa rasa senjatanya, mengingatkan
dirinya untuk tidak terlalu stres, dan menarik pelatuknya. Amane menembak
dengan gerakan halus, dan peluru gabus terbang lurus ke arah kotak plastik
berisi jepit rambut, menyapu tepi kotak. Kotak itu bergetar sedikit tetapi
tidak roboh.
“Ah, sayang sekali.” kata
Mahiru.
“Jangan khawatir, santai saja. Aku
hanya mencoba merasakannya dan memastikan kondisi senjatanya.”
Sejak awal, Amane tidak
bermaksud menjatuhkannya dalam satu tembakan. Tembakan pertama hanyalah upaya
percobaan, dan ia berhasil mengenai hadiah. Namun, dari sensasi senjatanya,
tembakannya, dan perasaan peluru yang menyentuh hadiahnya, Amane menilai bahwa
senjata stan ini seharusnya bisa mengenai itu. Sering kali sebuah senjata gagal
mencapai hadiah karena sejumlah faktor, tetapi kali ini senjata itu tampaknya
cukup berguna. Selama dirinya membidik dengan benar dan mencapai tempat yang
tepat, ia bisa menjatuhkan hadiah apa pun yang diinginkan. Amane merasa lega
bahwa ia tidak kehilangan akal sehatnya untuk game tersebut. Amane mengisi ulang
dan membidik sekali lagi.
Selama itu untuk Mahiru, Amane
bersedia menantang hadiah apa pun di stan ini, termasuk hadiah terbesar dari
semuanya, mainan besar. Tapi karena Mahiru menginginkan jepit rambut, jadi ia
hanya mengincar hadiah itu.
(…perasaan
yang nostalgia sekali)
Ketika Amane duduk di bangku SD
dan SMP, orang tuanya sering mengajaknya ke berbagai festival. Sambil mengingat
kenangan ini, Amane diam-diam menarik pelatuknya. Kali ini, peluru mengenai
bagian atas kotak, tepat di tengah. Bahkan jika tembakannya mencapai tengah,
hadiahnya mungkin tidak akan jatuh. Oleh karena itu, Amane fokus menjatuhkan
hadiah menggunakan pusat gravitasinya. Akibatnya, kotak itu bergetar seperti
yang diharapkannya dan akhirnya terjatuh. Ada kegemparan di sekitar Amane,
seolah-olah pelanggan lain menyaksikan dirinya menembak.
Rasanya
sangat memalukan jika aku meleset, pikir Amane sambil mengambil
beberapa hadiah makanan ringan dan menembakkan peluru yang tersisa. Ketika
Amane berhasil mendapatkan hadiah, pemilik stan masih tersenyum, tetapi
ekspresinya sedikit berkedut karena kaku.
Mengambil
terlalu banyak hadiah akan mengganggu bisnisnya.
Ketika mengenang Ibunya yang
pernah ditolak oleh para pemilik kios karena dia memenangkan terlalu banyak
hadiah sekaligus, Amane mengangkat bahu dan berkata “Maaf,” sambil menerima
hadiah yang dia menangkan. Amane berbalik dan mengambil jepit rambut yang ia
menangkan dan menunjukkannya pada Mahiru, “Kamu menginginkan ini, bukan?”
“…Te-Terima kasih banyak,”
Mahiru mengucapkan terima kasih, sedikit terkejut. “Tidak kusangka itu
benar-benar jatuh…”
“Bagaimana kamu bisa mendapatkannya
dengan begitu mudah?” tanya Chitose.
“Bisa dibilang aku cukup jago
dalam permainan seperti ini.”
“Wuaahh, energi pria tampan.”
seru Chitose. “Agak membuatku frustasi.”
“Kenapa malah begitu…?”
Terlihat jelas Chitose mengajak
Amane untuk bermain, namun nyatanya setelah mendapatkan hadiah, Amane merasa
reaksinya tidak masuk akal.
“Yah, Amane cukup bagus dalam
game semacam ini. Saat kami pergi ke arcade bersama, dia selalu berhasil dalam
permainan menembak.”
“Karena keluargaku berfokus
pada pendidikan yang tidak perlu seperti ini… orang tuaku mengatakan bahwa
hal-hal seperti ini membuat hidup lebih menyenangkan.”
“Yah, berkat itu, kamu bisa
mendapatkan apa yang diinginkan Shiina-san, jadi itu sangat berguna.”
“Benar sekali.”
Memang benar Amane bisa
mendapatkan jepit rambut yang diinginkan Mahiru, jadi ia berterima kasih kepada
orang tuanya.
“Aku penasaran apa yang begini
bisa disebut keahlianku,” kata Amane sambil mengeluarkan jepit rambut dari
kotak plastik. Dirinya dengan lembut menyisir rambut Mahiru dan memasang jepit
rambut. Meskipun jepit rambutnya, secara kebetulan, dihiasi dengan hydrangea
seperti yukata-nya, itu terlihat sangat pas dan cocok dengan pakaiannya.
“Yup, jepit rambutnya kelihatan
cocok untukmu. Gayanya sederhana dan imut, jadi cocok dengan itu,” Amane
berbicara, dan pipi Mahiru berubah semerah mawar sebelum dengan lembut
menjawab, “Te-Terima kasih.”
Ketika Amane merasa bahwa dia
merasa cukup menggemaskan, Itsuki berkomentar begitu saja, “Kamu langsung mulai
bertingkah seperti ini dengan Shiina-san,” dan Amane memberinya perlakuan diam
saat dia dengan lembut membelai kepala Mahiru. Mahiru dipenuhi dengan rasa
malu, namun wajahnya terlihat tetap gembira.
“Mahirun dalam suasana hati
yang baik ~”
Sambil Mengenakan jepit rambut
yang Amane menangkan, Mahiru terlihat sangat bersemangat. Seolah-olah ada bunga
yang beterbangan dari belakangnya, bahkan Chitose terpaksa menunjukkannya.
Namun, bukan hanya bunganya, tetapi juga senyum manis lebar yang menghiasinya.
Jika dia melakukan gerakan ceroboh, dia mungkin bahkan akan menembus hati orang-orang
yang lewat, yang mana itu akan menjadi pemandangan yang menakutkan.
Penampilannya sudah mirip seperti bidadari, memikat
pria-pria di sekitarnya, tapi bahkan senyumnya memiliki aura ilahi tertentu di
sekitarnya. Bahkan Itsuki belum pernah melihat Mahiru dalam suasana hati sebaik
itu sebelumnya, tersandung dan terlihat malu. Amane juga, yang sudah membangun
tingkat toleransi tertentu, tidak bisa menekan jantungnya yang berdetak
kencang.
“Hei, Amane. Kita harus
menghentikan ini, bung.” seru Itsuki.
“Aku setuju. Dia terlalu imut,
tapi kita akan memiliki korban yang menumpuk tak lama lagi.” Chitose
menambahkan.
Setelah mendengar pendapat
mereka, Amane mulai menyuarakan pikirannya, “Aku senang kamu sangat bahagia,
Mahiru, tapi kamu tidak boleh menunjukkan wajah seperti itu kepada orang-orang.
Orang jahat mungkin membawamu pergi. Di samping itu…”
“Di samping itu?”
“Aku tidak suka kalau kamu
menunjukkan wajah imut itu padaku saat kita tidak sendirian. Aku ingin itu
menjadi milikku, dan milikku saja.”
Amane berbisik dengan suara
yang hanya bisa didengar oleh Mahiru, “Itulah sebabnya aku tidak ingin kamu
memamerkannya,” dan wajah Mahiru memerah seperti membuat suara poof.
Kejujuran, kesungguhan, dan
kelucuannya tersampaikan saat Mahiru dengan sepenuh hati menggelengkan
kepalanya dari satu sisi ke sisi lain, tetapi jepit rambut yang dia pakai
sebelumnya telah terlepas. Amane menghentikannya dan dengan lembut memposisikan
lagi sebelum membelai pipinya.
Kali ini, Mahiru menegang. Dia
kemudian dengan ringan menyandarkan dahinya ke lengan atas Amane untuk
menyembunyikan wajahnya. Amane menyadari wajah Mahiru memerah saat ia membelai
telapak tangannya dengan ujung jarinya, dan dia bereaksi dengan benar, jadi
sepertinya dia tidak terlalu kepanasan.
“Ada bagusnya kalau kalian
berdua berhenti bermesraan, tapi kali ini pemandangan tersebut menjadi racun
bagi kami.”
“Mau bagaimana lagi, karena Mahiru
terlalu imut.”
“Aku yakin kali ini salahmu,
dan kamulah penyebabnya, Amane-kun… aku ingin menunjukkan kepada gadis-gadis
yang biasa memanggilmu ‘suram’ untuk
melihat kebangkitanmu.”
“Kenapa kamu mendadak
mengungkit itu?”
“Mahirun terlalu lemah
melawanmu sekarang, Amane. Semua tentangmu terlalu berdampak buat hatinya.”
“Hanya apa yang membuatku
terbangun?” Ia melihat ke arah Mahiru, yang menyodoknya dengan putus asa, dan
untuk beberapa alasan, Mahiru memelototinya secara halus dengan mata menengadah.
“Amane-kun, aku akan
mengembalikan kalimat itu padamu.”
“Y-Ya?”
“Aku pasti akan membalas.”
Amane menganggukkan kepalanya,
lalu Mahiru menekan lengannya dengan dahinya, sedikit lega. Dia benar-benar suka kontak fisik semacam
ini, renung Amane saat membiarkan Mahiru melakukan apa yang disukainya, dan
melihat Chitose menyeringai padanya.
“Daya tarik seksual alami
Mahirun tidak pernah berubah, bukan?”
“Daya tarik seksual? Hey…”
“Kurasa kamu belum kenyang,
Mahirun, jadi aku tidak akan menghentikanmu. Yang lebih penting lagi, aku
lapar, jadi bagaimana kalau kita membeli ikayaki di sana? Rasanya terlalu
manis, aku ingin makan sesuatu yang asin.”
“Kamu ‘kan belum makan sesuatu
yang manis ...”
“Aku tidak berbicara tentang
makanan… tapi tentang kalian berdua! Baiklah, ayo pergi, demi orang-orang di
sekitar kita juga.”
Saat Chitose mengatakan itu,
Amane melirik ke arah orang yang lewat, dan matanya bertemu dengan mereka yang
tersipu. Baik pria maupun wanita menerima kerusakan kritis dari tampilan
malu-malu Mahiru yang menggemaskan. Memang begitulah adanya, karena Amane
menerima tatapan dingin dan cemburu dari para pria.
Penuh kejelasan, Amane
menyesalinya. Berpikir bahwa ia seharusnya tidak membuat Mahiru malu di tempat
dengan begitu banyak orang, Amane menerima saran Chitose, menarik tangan
Mahiru, dan mulai berjalan menuju kios ikayaki.
✧ ✦ ✧
“Makanan festival rasanya
sangat berbeda. Mungkin karena suasananya?”
Chitose yang sudah memakan
yakisoba dan karaage sebelumnya, terlihat sangat senang saat memakan ikayaki
dengan ekspresi santai di wajahnya.
(Yah,
baik Mahiru maupun Chitose adalah tipe cewek yang berbeda, tapi mereka
sama-sama cantik)
Kecantikan Mahiru adalah
perwujudan dari kecantikan yang lugu dan polos, dan pesona Chitose adalah
kelincahannya dan sifat bebasnya yang seperti gadis tomboy. Secara alami,
mereka berdua menarik perhatian.
Chitose sedang memberi makan
ikayakinya kepada Mahiru, saat dia melihatnya dengan penuh minat. Jika mereka
berdua, yang sama-sama menggemaskan dan ramah, saling bercanda ria, sudan pasti
pandangan mata orang-orang yang lewat akan tertarik ke arah mereka. Mahiru hanya
tersenyum tipis, mungkin karena menurutnya itu enak, dan Amane melihat seorang
pria mendesah terpesona, jadi itu pasti sangat indah.
“Mereka berdua terlihat sangat
lucu ketika bersama,” kata Itsuki.
“Mereka imut, tapi mereka
menggoda satu sama lain, bukan dengan kita,” jawab Amane.
“Kenapa kamu malah cemburu?”
“Aku tidak cemburu ketika para
gadis tampak dekat satu sama lain.”
“Ucapan yang bagus, bung. Sekarang
mari kita duduk dan menonton. Kurasa ini bisa menyegarkan mata.” Itsuki
melanjutkan, “Melihat gadis-gadis cantik bermain satu sama lain sungguh
menyenangkan,” walaupun ucapannya terdengar sedikit vulgar, tapi Amane bisa
mengerti bagaimana perasaannya.
Amane merasa seperti dirinya
akan dianggap sebagai orang cabul jika menyetujuinya dengan keras, jadi ia menelan
kata-katanya, dan saat melihat mereka berdua tertawa satu sama lain seperti
teman dekat, Amane mendengar suara dari dekat.
“Hah? Jangan-jangan itu
Shiina-san?”
Ketika dirinya berbalik, Amane
melihat beberapa teman laki-laki sekelasnya melihat ke arah mereka. Mereka
mengenakan topeng dari kios dan memegang bungkus permen kapas di tangan mereka,
keadaan itu menunjukkan kalau mereka menikmati festival.
Yang pertama merespon adalah
Itsuki, yang mendekati mereka dengan senyum ramah dan segar serta lambaian
tangannya, seperti biasa.
“Oh, kalian datang ke festival
juga?”
“Shirakawa-san ada di sini,
begitu juga Itsuki. Itu berarti Fujimiya juga ada di sini.”
“Sebelah sini.”
Amane mengangkat tangannya
dengan ringan, meski ia tidak melambaikannya seperti yang dilakukan Itsuki, dan
gumaman pecah di antara kelompok itu.
“Eh? Pakai yukata?”
“Memangnya ada yang salah
dengan yukata?”
Amane tersenyum kecut mendengar
suara cowok itu, yang menyampaikan keterkejutannya.
“Tidak, aku hanya berpikir itu
sangat cocok untukmu…”
“Aku hanya memakainya secara
normal, kau tahu.”
Kecuali fakta bahwa mereka
mengenakan yukata, mereka tidak melakukan sesuatu yang istimewa, dan bertingkah
normal. Tapi dari sudut pandang orang lain, memakai yukata sepertinya
memberikan atmosfir yang agak spesial.
Mereka menatapnya dengan wajah
serius, dan Amane merasakan sensasi geli dan tidak nyaman yang tak terlukiskan.
Wajahnya berubah cemberut, tapi ia santai saat melihat Mahiru berjalan ke
arahnya secara alami.
“Oh. Sudah lama enggak bertemu…
atau mungkin belum, tapi aku belum pernah melihatmu sejak upacara penutupan.
Aku senang kalian semua terlihat baik-baik saja.”
“Oh… Shiina-san dengan yukata…”
"Shiina-san, kamu terlihat
sangat bagus dalam balutan yukata.”
“Terima kasih, aku senang kamu
mengatakannya.”
Mungkin dia hanya merasa malu
dengan pujian yang diberikan oleh Amane, karena Mahiru menerima pujian mereka
dengan senyum yang indah namun sopan.
“Apa kamu memakainya
sendiri?"
“Ya. Walaupun yukatanya
disiapkan oleh ibu Amane-kun, sih…”
“Kamu tidak perlu khawatir
tentang yukata. Ibu akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia, Mahiru,
secara relatif.”
Kemungkinan besar, dia juga
akan mempersiapkan kimono tahun depan. Keluarga Amane memiliki sejumlah kimono
di rumah, dan ada lebih banyak lagi di rumah kakek nenek dari pihak ibunya,
jadi Amane yakin dia akan senang menemukannya.
Adapun Amane, dirinya hanya
bisa berharap untuk melihat pacarnya dalam balutan kimono lain tahun depan.
“Tapi ... aku merasa tidak enak
karenanya.”
“Kamu tidak perlu khawatir.
Rumah kami adalah rumahmu juga sekarang, Mahiru.”
Orang tuanya sendiri yang
mengatakan kepada Mahiru bahwa dia bisa menganggapnya sebagai rumah keluarganya,
dan yang ada justru dia selalu diterima, jadi sangat disayangkan jika Mahiru
merasa sungkan. Amane mengawasi mereka dengan perasaan bahagia yang lembut saat
Mahiru, merasakan ini, menganggukkan kepalanya dan mencengkeram dadanya sebelum
melirik kembali ke teman sekelas yang telah berbicara dengannya.
Amane tiba-tiba teringat bahwa
salah satu anak laki-laki di depannya adalah orang yang mencoba menghalangi
mereka selama festival olahraga, tapi itu tidak masalah. Tidak peduli apa yang
mereka coba lakukan, mereka hanyalah orang asing bagi Mahiru. Tidak ada ruang
bagi mereka untuk ikut campur. Amane merasa tidak enak dengan perasaan
superioritasnya atas teman sekelasnya itu. Amane tersenyum kecut pada dirinya
sendiri, bertanya-tanya apakah itu membuatnya menjadi orang jahat, tapi dirinya
masih tidak berniat menyerah.
“Kalau begitu, aku tidak ingin
mengganggumu saat kalian sedang bersenang-senang, tapi ayo pergi.”
Sambil dengan santai menarik
pinggul Mahiru lebih dekat, Amane menoleh ke arah mereka dengan senyumnya
sendiri. Mahiru tampak terkejut, tetapi rasa malunya diwarnai dengan
kegembiraan yang pasti, dan dia menempel pada Amane sendiri.
“Ya. Lalu, sampai jumpa setelah
liburan musim panas.”
“Ah, y-ya. Sampai jumpa lagi.”
Setelah Mahiru mengatakan itu
sambil tersenyum, teman sekelas mereka tidak bisa mengejarnya lebih jauh, jadi
mereka melihat Amane dan yang lainnya pergi dengan ekspresi tak terlukiskan
terpampang di tampang mereka.
Saat mereka mulai berjalan
menjauh dari mereka, menuju jalan yang dipenuhi kios lagi, Itsuki berdiri di
seberang jalan dari Mahiru dan mendekatkan wajahnya sedikit ke Amane.
“Amane, kamu sengaja
melakukannya, ‘kan?”
Itsuki bertanya dengan suara
pelan, mungkin mencoba supaya tidak kedengaran oleh Mahiru di tengah hiruk
pikuk musik festival.
“Apa yang kamu bicarakan?”
“Jangan berpura-pura, deh...
kamu sengaja memperjelas posisimu, dan membahas urusan rumah orang tuamu
segala.”
Itsuki adalah orang yang peka
dan intuitif. Ia tampaknya memiliki pemahaman yang baik tentang tekad dan
desakan Amane sendiri.
“Yah, entahlah?”
“… Kamu benar-benar sudah
menjadi tangguh, ya?”
Dirinya tidak tahu apakah itu
penghinaan atau pujian, jadi Amane memutuskan untuk menganggapnya sebagai
pujian dan tersenyum penuh arti.
✧ ✦ ✧
“Selanjutnya ayo makan es
serut!”
Mereka berempat kembali
berjalan-jalan, tapi pernyataan Chitose membuat mereka berhenti lagi. Mereka
sudah melewati warung es serut. Mungkin ada satu lagi yang lebih jauh, tetapi
mereka tidak tahu di mana itu, jadi akan lebih cepat bagi mereka untuk mundur
sedikit. Daripada merasa merepotkan, Amane justru lebih merasa bingung
bagaimana dia masih bisa makan.
“Seriusan, kamu itu mempunyai perut
seperti apa, sih…?”
“Perut yang seperti perutku~”
Chitose menepuk perutnya, tapi
itu hanya menunjukkan bahwa dia kurus seperti Mahiru. Mengejutkan bahwa
perutnya bisa menampung begitu banyak yakisoba, karaage, dan ikayaki. Kemana perginya semua makanan yang dia makan
tadi…? Amane menatap perutnya dengan wajah datar, dan Mahiru tersenyum
kecut, seolah-olah dia memikirkan hal yang sama.
“Kamu tidak pernah menjadi gemuk,
‘kan, Chitose-san? Kamu kelihatan sangat kurus, aku jadi merasa iri padamu.”
“Chitose cukup sehat meski mempunyai
badan yang kurus. Menurutku leebih di sisi kencang, sih. ”Amane menimpali.
“Hehe, terus puji aku~”
“Chi sangat kurus… terutama
saat aku menggendongnya.”
Karena Itsuki sering begitu
dekat dengan Chitose, dia pasti sangat menyadari kerampingannya. Dia tidak
terlalu gemuk, tetapi dia memiliki tubuh sedang dan tinggi sedang. Namun saat
mereka berdekatan, badan ramping Chitose cenderung menonjol. Namun, upaya
Chitose dapat dilihat dari fakta bahwa dia mempertahankan fisik yang indah
dengan sedikit otot sambil menghindari kegemukan.
“Dia makan banyak, tapi berat
badannya tidak banyak bertambah.”
“Dia memiliki metabolisme yang
baik.”
“Yah, dia sepertinya tidak akan
menambah berat badan karena konstitusinya. Dan itulah mengapa semua daging itu
juga tidak masuk ke bagian lain dari tubuhnya.”
“… Ikkun, ayo ke sini ngobrol
sebentar.”
Itsuki langsung menyadari kalau
dirinya sudah menginjak ranjau darat, kemungkinan besar karena Chitose
mengangkat suaranya tanpa infleksi dengan wajah tersenyum. Bahkan, Amane mengira
dia lebih marah karena Itsuki adalah pacarnya.
“Aku minta maaf; Aku hanya bercanda,
jadi tolong berhenti menendang tulang keringku.”
“Aku tahu kamu terus mengatakan
itu, tetapi kamu tidak perlu mengatakan sepatah kata pun, kamu tahu? Mari kita
mengobrol sebentar di sana.”
“Jika burung tidak berkicau,
mereka tidak akan tertembak.”
“Kamu bilang apaan tadi?”
“Bukan apa-apa.”
Amane tidak ingin mengipasi
masalah, jadi ia segera menyangkalnya dan sengaja tersenyum pada Mahiru, yang
berdiri di belakangnya merasa bermasalah, untuk mendapatkan permintaan
bantuannya.
“Yang mana yang kamu suka?”
“Erm... yang rasa susu
strawberry?”
“Oke. Ayo membelinya, kalau
begitu. Chitose, aku akan membeli es serut dulu, jadi silakan mengobrol
sepuasnya di sana!”
“Yeeee~”
✧ ✦ ✧
Ketika mereka kembali setelah
membeli es serut, ceramah Chitose masih belum selesai.
Amane mengernyitkan bahunya
saat melihat mereka di kejauhan, berdiskusi dengan damai agak jauh dari jalan,
dan kemudian menatap Mahiru, yang tersenyum pahit saat dia berpegangan pada
lengan Amane.
“Mereka masih melakukannya,
ya.”
“Mereka terlihat dekat sekali,
‘kan?”
“Yah, mereka bermesraan dengan
cara mereka sendiri. Tapi Chitose terlihat sedikit marah padanya.”
“Ahaha…”
Amane tahu kalau dia tidak
benar-benar marah, jadi Amane tidak menghentikannya, dan malah menyerahkan
cangkir es serut yang dia pegang ke Mahiru.
“Ini, Mahiru.”
“Terima kasih. Rasa yang kamu
pilih… agak jadul.”
“Aku sangat menginginkan rasa
matcha, tetapi aku tidak dapat menemukannya di warung.”
Amane memilih rasa teh hijau
matcha. Jika tersedia, ia akan memilih versi yang atasnya dengan pasta kacang
merah, tapi agak sulit untuk meminta pasta kacang merah dan putih dari kios
festival.
“Jadi kamu juga bisa makan yang
manis-manis seperti ini. Kamu tidak terlalu sering memakannya, bukan?
“Aku bukannya tidak suka
makanan manis, mereka bukan seleraku. Aku suka pasta kacang merah, terutama
yang digiling.”
Amane tidak menikmati makanan
manis atas keinginannya sendiri, tapi Amane memakannya saat ditawarkan oleh
orang lain. Satu-satunya pengecualian untuk itu adalah custard. Tetapi karena ia
tidak makan banyak, sulit untuk membayangkan bahwa ia menyukai hal-hal yang
manis.
Amane menyukai pasta kacang
merah karena rasanya sangat cocok dengan matcha dan teh hijau. Rasa manis dan
pahit saling melengkapi dengan sangat baik, jadi ia lumayan menikmatinya.
“Jadi begitu… menurutku membuat
pasta kacang merah itu tidak mudah, pasti butuh banyak usaha untuk
menyiapkannya.”
“Mahiru, rasanya sungguh luar
biasa karena kamu langsung mulai berpikir tentang cara memasak pasta dari awal.
Kamu bisa menggunakan yang ada di pasaran … ”
Biasanya, seseorang tidak ingin
memulai dengan menyiapkan kacang sendiri. Ada paket instan yang sudah disiapkan
sebelumnya yang tersedia untuk dibeli, dan mengingat waktu dan tenaga yang
dibutuhkan, kebanyakan orang akan memilih untuk membelinya.
Namun, bagi Mahiru, membuatnya
di rumah sepertinya menjadi prioritas.
“Aku berpikir bahwa aku ingin
memberi makan orang yang aku cintai dengan makanan enak. Dengan produk instan, kamu
tidak dapat menyesuaikan rasa manis sebanyak yang aku inginkan, dan banyak dari
produk tersebut tidak mempertahankan tekstur biji-bijiannya.”
Mahiru tersenyum padanya seakan
menyiratkan jika Amane akan memakannya, dia ingin dia berpikir rasanya enak.
Amane merasa kasihan padanya, tapi juga tersentuh dengan ketekunannya. Dirinya
merasa sangat dicintai.
“… Kalau begitu aku ingin
puding matcha dengan pasta kacang merah. Dan makanan penutup yang dibuat dengan
itu.”
“Fufu. Ya~ Serahkan saja padaku.”
Mahiru menanggapinya begitu,
tapi itu tidak berlebihan. Amane dipenuhi dengan rasa malu yang tak terkatakan,
jadi untuk menyembunyikannya, ia mulai memakan esnya.
“Puding matcha~? Kedengarannya
enak!”
Saat mereka berdua sedang makan
es serut, Chitose menghampiri dan berteriak iri. Sepertinya, saat dia berbicara
dengan Itsuki dengan cara yang ramah,
dia juga memperhatikan pembicaraan mereka.
“Apa hukuman Itsuki sudah
berakhir?”
“Tentu saja. Dasar pria yang
kurang ajar~”
Jawab Chitose dengan
mengacungkan jempol. Amane dan Mahiru tertawa getir pada saat yang sama dan
melihat ke arah dimana seharusnya Itsuki berada... tapi mereka tidak melihat
siapapun.
“Lah, Itsuki kemana?”
“Ikkun pergi membeli es serut
dan pisang cokelat.”
“Kamu masih belum kenyang juga…”
“Ia harus kembali padaku,
sebagaimana mestinya!”
Chitose berkata begitu dan memalingkan
muka darinya. Meskipun ia sedikit mengkhawatirkan dompet Itsuki, itu adalah
kesalahannya sendiri, dan Amane tidak bersimpati padanya.
Itsuki telah menyinggung Chitose
berkali-kali, namun ia sama sekali tidak pernah kapok. Namun, seperti halnya
kontak fisik atau komunikasi, ini bisa menjadi cara mereka berkomunikasi.
Namun, tidak disarankan untuk berkomunikasi dengan cara yang akan memprovokasi
orang lain. Apalagi dalam hal ini, Chitose masih sedikit cemberut, seolah masih
marah.
“Bukannya aku ingin sekecil
ini~ Lagi pula, laki-laki menyukai ukuran sebesar Mahirun, ‘kan~”
“J-Jangan katakan seperti itu…”
Mahiru segera menutupi dadanya.
Dibandingkan dengan Chitose, aset Mahiru lebih banyak berisi dan cukup besar.
Ukurannya sudah pasti di atas rata-rata, tapi jika Chitose terlalu mengungkitnya,
itu akan membuat Mahiru merasa malu, jadi Amane selalu berusaha untuk tidak
melihat bagian itu.
“Aku tidak cemburu padamu,
hanya sedikit iri. Kamu cantik dan memiliki tubuh yang bagus, kamu pandai dalam
olahraga, membaca, dan pekerjaan rumah tangga, dan kamu gadis yang sangat baik.
…Kamu adalah wanita yang ideal untuk pria mana pun.”
“Mana ada hal yang seperti
itu…”
“Tapi memang begitu
kenyataannya ~ Jika Daiki-san melihatmu, Mahirun, dia akan memberi tahu Ikkun
bahwa pacarnya harus perempuan sepertimu.”
Amane mendengar hal ini, dan
melihat senyumnya yang layu, ia menebak alasan mengapa Chitose datang
menemuinya dan Mahiru sendirian di awal hari.
“Apa Daiki-san mengatakan
sesuatu padamu?”
“Hm, tidak juga. Hanya saja matanya
tidak ramah.”
Daiki adalah ayah Itsuki. Ia tidak
menyetujui hubungan Itsuki yang berpacaran dengan Chitose.
Saat Amane berkunjung ke rumah
Itsuki, ia sempat berbincang dengan ayahnya. Ayah Itsuki sepertinya tidak
menyukai kepribadian Chitose, dan menginginkan Itsuki memilih wanita yang baik
sebagai pasangannya. Beliau berpikir kalau Chitose bukan wanita yang tepat
untuknya. Daripada tidak menyukai Chitose sendiri, Ayah Itsuki percaya bahwa
putranya harus memilih gadis yang berbeda.
“Daiki-san tidak membencimu.”
“Tapi jika kamu menunjukkan
Mahirun ke Daiki-san, ia pasti akan memilihnya.”
“I-Itu benar…”
Chitose memiliki pesonanya
sendiri, beberapa di antaranya bahkan tidak dimiliki oleh Mahiru. Dia adalah
gadis cerdas sekaligus ramah yang memahami tempatnya dan dapat membaca suasana
dengan baik. Meskipun dia kadang-kadang berbicara di luar karakter dengan sengaja,
dia mempunyai sifat sedikit dewasa yang kadang-kadang melihat sesuatu dari
sudut pandang orang luar, menjadikannya seseorang yang takkan pernah terlalu berhati-hati.
Setelah memahami kedua aspek
Chitose tersebut, orang akan tahu bahwa dia bukan hanya sekedar orang yang
penuh senyuman. Namun, dia bukan tipe orang yang dicari Daiki. Dia menginginkan
seorang Yamato Nadeshiko, seperti Mahiru, seorang gadis yang mewujudkan
nilai-nilai perempuan tradisional Jepang, dan Chitose tidak cocok dengan
gambaran itu. Bukan karena Chitose adalah gadis yang nakal, atau dia telah
melakukan kesalahan. Itu hanya karena Chitose tidak cocok dengan kesukaannya
dan tidak memenuhi standarnya. Fakta bahwa Daiki tidak menyukainya tampaknya
mengganggu Chitose, dan dia menghela napas dalam-dalam.
“Tapi menjadi seperti Mahirun…
adalah sesuatu yang tidak bisa kulakukan. Meskipun Ikkun mengatakan kepadaku untuk
jangan memedulikannya, aku masih ingin menjadi menantu perempuannya di masa depan
jika bisa. Tentu saja, aku ingin menjalin hubungan yang sukses.”
“… Ini benar-benar sulit dan
bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan segera.”
“Yah, itu pasti akan memakan
waktu beberapa tahun. Aku akan mencoba yang terbaik, tetapi sulit untuk
melakukan apa pun. Lagipula, masalah kecocokan itu masih ada.”
“Kalau saja aku bisa direstui
seperti kalian berdua, rasanya pasti begitu indahnya.” imbuh Chitose, dengan
senyum bermasalah, saat dia menempel di dekat Mahiru dan memintanya untuk
berbagi es serutnya.
Amane tidak tahu harus berkata
apa padanya, dan Mahiru sepertinya tidak tahu bagaimana harus bereaksi dengan
benar, jadi dia membelai Chitose dengan lembut. Chitose pun menempel padanya
dan terus meminta es serut lagi. Ketika mereka melakukan itu, sosok Itsuki
muncul di celah antara kerumunan, memegang makanan yang diminta Chitose dengan
kedua tangannya dan berjalan ke arah mereka.
“Aku tidak tertekan tentang
itu, jadi tolong jangan beri tahu Ikkun.”
Sebelum Itsuki kembali, Chitose
menyatakan hal itu kepada Amane dan Mahiru, lalu, dengan senyumnya yang biasa,
dia berjalan menuju Itsuki. Melihat keadaannya yang seperti itu, Amane dan
Mahiru tidak tahu harus berkata apa; mereka hanya bisa menatapnya dengan
ekspresi yang tak terlukiskan.
✧ ✦ ✧
Setelah menyelsaikan tugas
mendapatkan makanan untuk Chitose, Itsuki akhirnya kembali menemui mereka
bertiga. Dan begitu mereka selesai makan makanan yang mereka beli, mereka
lanjut berjalan-jalan dengan orang banyak, melihat ke semua kios.
“Astagaaa, di sana sangat ramai
banget,” seru Itsuki.
“Pasti karena ini satu-satunya
festival di daerah ini. Skalanya cukup besar, dan ada banyak kios. Tidak heran
kita bisa bertemu dengan teman sekelas kita.” Jawab Amane.
“Yah, walaupun secara praktis kamu
sudah mengusir mereka,” tambah Itsuki sambil tersenyum.
Amane sadar betul kalau ia
sebenarnya telah mengusir mereka, tapi ia tidak berkomentar apa-apa dan
mengangkat bahunya. Mahiru sedang mendengarkan, tapi matanya terbuka lebar, dan
dia terlihat seperti tidak mengerti. Sepertinya, Mahiru masih belum memahami apa
yang dimaksud dengan mengusir mereka.
Ketimbang tidak memperhatikan,
Mahiru sama sekali tidak memberi perhatian orang-orang itu. Ada sedikit
perasaan superior melintas di hati Amane saat ia memikirkannya.
(Aku
tidak ingin Mahiru melihat siapa pun... Jadi ini yang mereka sebut keinginan
untuk memonopoli seseorang untuk dirimu sendiri.)
Dari cara Mahiru berperilaku di
sekolah, para siswa seharusnya tahu bahwa perhatian Mahiru hanya tertuju pada
Amane. Tapi sepertinya anak laki-laki itu masih tidak bisa menyerah. Namun,
bukan berarti Amane tidak bisa memahami perasaan mereka.
Mahiru merupakan gadis lugu dan
menggemaskan, tipe gadis yang menjadi idaman pria. Sulit bagi orang-orang itu
untuk diyakinkan bahwa gadis seperti itu ada di dekatnya namun dibawa pergi
oleh seorang pria yang datang entah dari mana. Namun, cara Mahiru memperlakukan
Amane sangat berbeda dari caranya memperlakukan orang lain sehingga Amane
berharap setidaknya mereka bisa memahami fakta itu.
(…
Dia sangat mencintaiku.)
Secara alami, Amane memahaminya
dengan sangat baik, tetapi akhir-akhir ini, ia semakin menyadari fakta bahwa dirinya
sangat dihargai dan disayang oleh Mahiru. Amane berpikir bahwa perasaannya pada
Mahiru tidak akan kalah dengannya. Namun, ketika berpikir dirinya sangat dicintai
begini, Amane masih merasa malu tapi bangga, dan sedikit geli.
“… Amane, kamu sangat menyayangi
Mahirun. Itu tertulis di seluruh wajahmu.”
“Hah?”
“Kamu juga jauh lebih ramah dari sebelumnya. Dan
sekarang ekspresi dan matamu sangat lembut… jadi, yah, agak sulit untuk
mengatakannya, tapi kamu benar-benar menjadi manja.”
“…Kupikir aku menjadi lebih
penyayang, tapi aku tidak berpikir kalau aku menjadi manja.”
Jika perubahan Amane mengacu
pada sikap dan cara bicaranya, itu bisa dimengerti. Tapi, jika dibilang tatapan
mata dan ekspresinya terlihat begitu manja, Amane tidak bisa mengatakan kalau
ia memahaminya. Amane tahu bahwa dia adalah orang yang jarang tersenyum, dan
bahkan menyebut dirinya penyendiri. Jika orang lain mengatakan bahwa dirinya
terlihat manja, ia akan kebingungan.
“Mahiru, apa aku benar-benar terlihat
manja begitu?”
“Eh? Y-Yah, erm… Ya, benar.”
“Kamu pikir begitu? Meski
demikiran, aku penasaran apa kamu bisa mengetahuinya hanya dari mata seseorang.
”
“Aku akan memotretnya lain
kali, jadi bersiaplah untuk menggeliat dan mengerang kesakitan.”
“Kamu akan terkejut,” katanya,
dan Amane berpikir bahwa akan lebih baik untuk tidak terlalu memanjakan Mahiru
di depan orang lain. Namun, dirinya tidak yakin ia bisa menahan diri di hadapan
kelucuannya yang tidak pernah berhenti.
Pipi Mahiru memerah saat
melirik ke arahnya. Untuk saat ini, Amane membelai pipinya dengan jari-jarinya
dan memutuskan untuk memberikan sedikit kekuatan pada otot-otot wajahnya.
“… Namun, tidak ada gunanya
bagimu untuk mengencangkan wajahmu sekarang.”
“Jangan cerewet.”
“Aku yakin Mahirun lebih suka
kamu sedikit manja.”
“Eh? I-Itu... erm, tidak peduli
seperti apa Amane-kun itu, aku akan menyukainya. Tak peduli apa itu terlihat
tajam dan teguh, manis, atau menunjukkan ekspresi seksi…”
“Oh~? Kamu telah melihat
ekspresi seksinya~”
Chitose mencibir dan menatap
Amane, tapi ia tidak melakukan kesalahan apapun. Meski dirinya tidak panik, tapi
Amane memasang ekspresi cemberut di wajahnya. Sudah dua bulan sejak Amane dan
Mahiru mulai berpacaran. Mereka sudah lama mencapai tahap ciuman, tapi hubungan
mereka belum melangkah ke tangga selanjutnya.
Amane tidak ingin melangkah
lebih jauh ketika mereka baru saja berpacaran untuk waktu yang singkat. Itu
akan membuat mereka merasa seolah-olah mereka hanya berpacaran demi mengincar
tubuh satu sama lain saja. Selain itu juga, melangkah ke tahap itu akan menjadi
beban besar bagi Mahiru, jadi Amane tidak bisa melakukannya begitu saja. Jika
Mahiru benar-benar menginginkannya, Amane tidak takut untuk
mempertimbangkannya, tapi dari suasana saat ini di antara mereka, mereka
seharusnya belum memiliki hubungan seperti itu.
“Itu bukan seperti yang kamu
bayangkan.”
“Kamu benar-benar disiplin
untuk bisa mengatakan hal-hal seperti itu dengan wajah lurus. Mungkin aku harus
menyebutnya cinta murni?”
“Tapi kalian masih berciuman,
kan?”
“… Itu tidak ada hubungannya
dengan kalian.”
Amane meraih tangan Mahiru lagi
dan dengan lembut meremasnya beberapa kali untuk menunjukkan
ketidaksetujuannya. Amane tidak bisa mengeluh, karena Mahiru mungkin mengatakannya
saat melakukan pembicaraan antar gadis, tapi ketika ditunjukkan seperti ini,
itu membuatnya merasa malu.
“Kalian berdua sangat polos. Kupikir
Amane terlalu pengecut.”
Chitose menyuarakan perasaannya
dengan penuh emosi. Amane mendengarkan dan mengerutkan kening.
“… Itu tidak masalah. Kami
memiliki tempo kami sendiri.”
“Yah, syukurlah kalau memang
begitu. Tetapi jika kamu membuat seorang gadis menunggu terlalu lama, dia juga
akan cemas. Kamu harus menghindari itu.”
“Chi-Chitose-san…”
“Mahirun, kupikir kamu juga
harus berterus terang. Misalnya, jika Amane tidak menciummu, ketimbang curhat denganku,
kamu harus—”
“Aaahhhhhhhh—! Jangan! Kamu tidak boleh berbicara tentang itu!”
Mahiru langsung kelihatan panik
dan berusaha menutup mulut Chitose. Kelopak mata Amane melebar karena terkejut.
Chitose menghindari Mahiru dan menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. Tidak
peduli seberapa atletis Mahiru, Chitose lebih baik dalam olahraga ketimbang
dirinya, dan dia juga mengenakan pakaian dengan gaya yang berbeda dari Mahiru;
Pakaian Chitose sudah lengkap dengan celana, jadi Mahiru tidak bisa
mengejarnya.
“Hehe, Mahirun jadi malu-malu,
tapi aku melakukannya karena menurutku kamu manis. Tapi aku benar-benar takjub
melihat betapa pemalunya dirimu, Amane.”
“…Ji-Jika kamu mengatakannya
lagi, aku tidak akan membantumu menyelesaikan PR musim panasmu, Chitose-san.”
“Itu sih membuatku jadi dilema.
Izinkan aku menutup mulutku.”
Menanggapi ancaman lucu Mahiru,
Chitose tertawa lebih keras dan membuat gerakan cepat dengan satu tangan di
depan mulutnya.
Seluruh tubuh Mahiru gemetaran
karena malu, dan Amane hanya bisa menatap sosoknya. Begitu dia melihat
pandangan mata Amane, Mahiru semakin tersipu dan mencoba melarikan diri, tetapi
Amane menghentikannya. Ia membawa Mahiru ke dalam pelukannya dan dengan lembut
menepuk punggungnya untuk menenangkannya.
“Kamu akan mendapat masalah
jika berpisah, dan kamu akan ditabrak. Jangan tinggalkan sisiku.”
“…Uuu~”
“Aku takkan melihatmu sekarang,
oke?”
Mata Amane tidak menatap
langsung ke arah Mahiru, tapi ia bisa merasakannya gemetar karena malu di
pelukannya. Amane dengan sabar membujuknya, jadi Mahiru juga berusaha
menenangkan diri dan perlahan mengayunkan tubuhnya dari dalam pelukannya.
Dia
manis sekali kalau jujur seperti ini, pikir Amane. Baik Itsuki dan
Chitose memandangnya dengan mata tak berdaya.
“Ekspresimu benar-benar manja.”
“Dan itu dilakukan tanpa
disadari juga. Entah kenapa rasanya jadi menyebalkan~”
Ituski dan Chitose sama-sama
menimpali. Pipi Amane berkedut kaku saat mereka berdua mulai bertingkah sembunyi-sembunyi
dengan cara yang jenaka, dengan sengaja mengatakan cukup keras sehingga Amane
bisa mendengarnya. Namun, karena ia masih merangkul Mahiru di tangannya, ia tidak
bisa menghentikan mereka, jadi Amane hanya bisa menunjukkan ketidaksenangannya
di wajahnya.
✧ ✦ ✧
Setelah menjelajahi semua kios,
Chitose mengelus perutnya dengan puas dan senyum lebar di wajahnya, “Fiuh,
rasanya sangat memuaskan sekali~” Perutnya hanya tampak sedikit lebih besar
daripada sebelum dia berkeliling di sekitar kios, tapi dia masih sangat kurus.
Amane tidak tahu apakah harus khawatir atau mengagumi berapa banyak yang bisa
dia makan.
“Setelah melahap banyak makanan,
di mana kamu memasukkan semuanya …?”
“Mmfh, makanan di festival
terasa berbeda.”
“Yah, tidak apa-apa jika kamu
puas … tapi berhati-hatilah untuk tidak makan terlalu banyak.”
“Aku biasanya tidak makan
sebanyak ini. Aku terus menjaga badanku~”
Nyatanya, bentuk tubuh Chitose
selalu sangat langsing, jadi jika dia mengatakannya, Amane harus
mempercayainya. Namun, dirinya masih berpikir bahwa Chitose benar-benar makan
terlalu banyak. Tetapi karena orang tersebut tidak memiliki masalah dengan itu,
jadi ia tidak berkomentar apa-apa lagi.
“Ngomong-ngomong, Amane, apa
kamu sudah cukup makan? Aku merasa seperti kamu tidak makan sama sekali.”
“Yah… aku akan makan lagi saat
aku pulang. Mahiru sudah menyiapkan kaldu dan mendinginkannya, jadi kupikir aku
akan menggunakannya dengan nasi dingin untuk membuat chazuke.”
“Apa-apaan itu? Kedengarannya
enak.”
“Jadi kamu masih punya nafsu
untuk makan lagi…”
Meskipun makan makanan dari
kios festival juga enak, Amane tetap memilih untuk mengakhiri hari dengan
masakan Mahiru, dan berencana menggunakan persediaannya untuk membuat chazuke.
Jadi ia tidak berniat makan banyak di festival. Namun, Amane tidak menyangka kalau
Chitose masih memiliki nafsu makan seperti itu.
“Tolong tunggu sampai waktu
berikutnya.” Chitose masih terlihat seperti belum kenyang, jadi Mahiru
tersenyum pahit dan berkata begitu.
Dari apa yang sudah mereka lalui
hari ini, Chitose sudah mencoba makan yakisoba, karaage, sosis, salah satu
takoyaki Mahiru, pisang coklat, dan sebagai tambahan, beberapa es serut. Itu sudah
cukup untuk membuat seorang anak laki-laki benar-benar kenyang. Oleh karena
itu, Mahiru mengatakannya demi perut Chitose.
Kemana
perginya semua makanan itu? Amane melihat pinggang ramping
Chitose dan dibuat penasaran. Chitose yang menyadari tatapannya, langsung berkata,
“Hyaannn—! Dasar cabul~” dengan bercanda
dan menggeliatkan tubuhnya, jadi Amane menatapnya dengan dingin.
“Yah, kita hanya perlu
mengawasi berapa banyak yang bisa diambil perutmu.”
“Wow, kamu sangat acuh banget.”
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang? Mau pulang sekarang?”
Mereka hampir selesai berjalan-jalan,
dan suasana di sekitar sudah menjadi gelap gulita, meskipun matahari terbenam
lambat selama musim panas. Waktu sekarang sudah menunjukkan hampir pukul 8:30
malam. Amane dan Mahiru tinggal jauh dari tempat festival, jadi mungkin sudah
waktunya bagi mereka untuk pulang, mengingat waktu perjalanan.
Hal yang sama juga berlaku
untuk Chitose. Meskipun dia bersama Itsuki, tidak bagus baginya untuk tetap
berada di luar terlalu larut.
“Hmm, aku tidak keberatan
pulang, tapi aku tinggal di tempat Mahirun, oke?”
“Hah?”
“Aku membawa koperku ke rumah
Mahirun sebelumnya, dan aku sudah diberi izin, tahu~?”
Chitose tersenyum pada Mahiru dan
berseru, “Iya, ‘kan~?”, dan Mahiru mengangguk dengan senyum pahit sebagai
jawaban. Meskipun itu adalah senyum pahit, ekspresinya bukanlah penolakan, karena
itu Amane tidak terlalu khawatir. Tetapi jika memungkinkan, dia lebih suka
mereka mengatakan kepada dirinya dulu. Karena Amane yang membeli bahan, sekarang
jumlahnya ada 3 orang, jadi ia harus membeli cukup untuk tiga orang.
Saat Chitose menyeringai,
Itsuki tampak menyesal, berkata, “Aku juga harus meminta untuk menginap di
rumah Amane.” Amane merasa kasihan kepadanya karena ia pulang sendirian, tapi
karena Itsuki tidak punya baju ganti, jadi ia hanya bisa pasrah.
“… Yah, jika Mahiru tidak
keberatan, kurasa tidak apa-apa.”
“Oya, apa ini, Amane-kun?
Apakah kamu sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang karena Mahirun telah
dicuri darimu?”
“Kenapa aku harus cemburu pada
seorang gadis? Aku sudah tahu Mahiru milikku, jadi tidak masalah.”
Amane tidak cemburu dengan
keterikatan konstan Chitose dengan Mahiru. Jika ia harus mengatakannya, dirinya
lebih cemburu pada kenyataan bahwa Chitose bisa datang dan pergi dari rumah
Mahiru sesuka hatinya karena mereka berdua sama-sama perempuan.
Walaupun Mahiru sudah berjanji
untuk membiarkan Amane tinggal di rumahnya, itu adalah sesuatu yang harus
diberanikan diri. Jadi Amane sedikit iri pada Chitose, yang bisa masuk kapan
pun dia mau. Karena itu, Amane mengangkat bahunya dan berkata, “Aku tidak
cemburu pada Chitose sekarang,” tapi Mahiru tersipu dan mulai melarikan diri.
“… Chitose-san, lihat, inilah
yang kumaksud. Amane-kun bertingkah seperti ini akhir-akhir ini…”
“Begitu ya~ Sepertinya kamu
juga mengalami kesulitan, Mahirun.”
“Apa-apaan dengan ekspresi
kalian itu?”
“Bukan apa-apa~”
“Benar banget ya, Mahirun?”
Dengan senyum nakal Chitose, yang benar-benar berbeda dari yang dia tujukan
pada Mahiru, Mahiru mengangguk diam-diam dan menempel di dekatnya, sambil
menatap Amane dengan malu-malu.
✧ ✦ ✧
“Amane~
Ayo mampir kemari dan bermain~”
“Sekarang sudah waktunya tidur,
jadi ada apa…”
Setelah kembali dari festival,
karena Chitose pergi ke rumah Mahiru untuk menginap, Amane menghabiskan sisa
malamnya di rumah sendirian.
Tapi saat hendak tidur, Chitose
memulai panggilan video, dan ia mengerutkan kening. Bukannya ia tidak ingin
berbicara dengannya, tetapi Amane baru saja akan tidur dan terganggu oleh
teleponnya. Walaupun merasa sedikit kesal, tapi bukannya berarti dirinya sudah
sangat mengantuk.
Wajah Chitose sangat dekat
dengan kamera, dan sudut mulutnya terangkat, tersenyum puas. Amane segera
melakukan sebaliknya, menjauhkan ponselnya dan menyimpannya di bantalnya.
“Asal kamu tahu saja … aku baru
saja akan tidur, tau.”
“Yah,
aku tahu itu. Kamu berpakaian seolah-olah sudah siap untuk tidur.”
“Sekarang setelah kamu tahu,
aku bisa menutup telepon sekarang, ‘kan?”
“Jangan
dulu~… setidaknya tunggu sampai Mahirun kembali…”
“Ngomong-ngomong soal dia, apa
yang sedang dilakukan Mahiru?”
“Dia
sedang mandi ~ Dia tidak akan mandi denganku hari ini.”
Chitose mengatakannya dengan
tatapan menyesal. Tapi pilihan Mahiru tepat.
Jika dia mandi dengan Chitose,
dia tidak akan bisa bersantai, jadi lebih baik dia mandi sendiri.
“Mahirun
sedikit murung sejak dia sadar dia belum sempat mengucapkan selamat malam
padamu. Itu sebabnya aku menyeretmu seperti ini~ jadi jangan tutup dulu.”
“… Mana mungkin aku menutup
telepon sekarang setelah kamu mengatakan itu.”
“Maksudmu
jika aku tidak mengatakannya, kamu akan menutup telepon? Dasar cowok yang kasar~”
Chitose tersenyum nakal sesaat,
lalu tiba-tiba menarik kembali ekspresinya dan menatap Amane melalui layar.
Tampang jahil Chitose saat digoda tadi kini sudah hilang. Ekspresinya tampak
tenang dan kalem, bahkan sedikit optimis. Perubahan itu begitu mendadak
sehingga Amane bingung.
“Amane,
boleh aku bertanya sesuatu?”
“Mau tanya apa?”
Melihat ekspresi Chitose
berubah seperti ini, Amane tahu bahwa pertanyaan yang akan dia tanyakan itu
serius. Oleh karena itu, Amane tidak menanggapinya dengan sembarangan,
melainkan dengan cara yang positif. Tatapan Chitose tertuju padanya.
“Amane,
seberapa besar kamu menyukai Mahirun?”
“Seberapa besar…?”
“Kamu
sangat menyayanginya, Amane, jadi aku ingin tahu seberapa besar kamu
menyukainya.”
Pertanyaannya sangat sulit
dijawab, jadi Amane hanya bisa menegangkan wajahnya. Namun, ekspresi Chitose
tetap sama.
“…Aku
tidak yakin apa itu prasangkaku atau, erm, hanya pandangan umum, tapi
berpacaran di sekolah SMA sebagian besar dilihat sebagai hal yang sementara, ‘kan?
Seperti mereka tidak menjalin hubungan dengan serius; mereka hanya melakukannya
untuk bersenang-senang.
“Apa Daiki-san mengatakan itu
padamu?”
“Ya
ampun~ Kamu benar-benar peka banget, ya~”
Setelah itu, Chitose menunjukkan
ekspresi kurang ajar, tapi kurang antusias, dan dia terlihat lesu.
Dia berbaring di tempat tidur
dan mendesah lembut sambil masih memegang ponsel.
“…Aku
tidak menganggapnya dengan enteng, seperti semacam permainan atau kesenangan
sesaat. Tapi aku selalu bertingkah jenaka dan kurang ajar, jadi mungkin itu
sebabnya aku tidak dianggap serius. Jadi itu sebabnya… Aku penasaran seberapa
banyak orang yang benar-benar melihat ke depan dan memikirkan masa depan? Itu
membuatku penasaran.”
Baru saja, ketika berjalan-jalan
di sekitar festival, Amane bisa merasakan masalah Chitose, kemungkinan terkait
dengan ketegangan yang dia alami dengan Daiki-san, ayah Itsuki. Ibu Itsuki, di
sisi lain, tampaknya sama sekali tidak tertarik, jadi Daiki-san adalah
rintangan terakhir yang tersisa di jalan Chitose.
Amane perlahan membuka mulutnya
untuk menjawab pertanyaan Chitose.
Jawabannya—bahkan tanpa perlu
berpikir, Amane sudah tahu.
“…Mari kita lihat. Sulit untuk
mengungkapkan seberapa besar aku menyukainya… tapi, aku akan memastikan bahwa
dia tetap di sampingku, selamanya tersenyum.”
Jika ditanya seberapa besar ia
menyukainya, Amane tidak bisa mengungkapkannya. Dirinyaa tidak bisa
menggambarkannya, dan tidak bisa memberikan contoh yang akurat. Yang dirinya
tahu hanyalah, dalam pikirannya, Amane pasti akan membuat Mahiru bahagia. Ia
akan menyayanginya selamanya, menjaga senyumnya saat tinggal di sisinya selama
sisa hidupnya, itulah yang diinginkan Amane. Hatinya penuh dengan keinginan
seperti itu.
“Jadi
begitu ya.”
“Apa kamu tidak berpikir
begitu, Chitose?”
“Itu
tidak benar. Tentu saja, aku pasti akan memastikan Ikkun bisa tersenyum
selamanya bersamaku.”
“Nm. Kalau begitu, itu bagus.
Jika kamu berkata demikian, maka itulah kebenarannya. Tidak peduli apa kata
orang, itu adalah fakta yang tidak akan berubah.”
Amane tersenyum menanggapi
balasannya yang sedikit kesal, dan Chitose meringis di sisi lain ponselnya.
“…
Kamu telah menjadi orang baik, dan bahkan lebih menjengkelkan,” balas
Chitose dengan bercanda.
“Karena aku pacar dari gadis
yang begitu cantik, jadi tentu saja aku ingin menjadi pria yang baik.”
“Wow,
kamu mengatakan itu dengan mudah… itu sangat membuatku frustrasi…”
Chitose bergumam begitu, dan
terdengar sangat tidak puas. Jika mereka berada di ruangan yang sama, dia akan
menampar punggungnya… Tidak juga. Sebaliknya, dia tampak agak bahagia. “Mahirun benar-benar dicintai, bukan
begitu~?” dia menambahkan, lalu tertawa.
Dan kemudian, dia berbalik.
“Apa
yang sedang kamu bicarakan?”
Suara yang akrab datang dari
layar dan bertanya. Itu pasti suara Mahiru yang baru selesai mandi. Tampak
melalui video tersebut sosok Mahiru yang berdiri di belakang Chitose berbalut daster
dengan eksposur minim. Amane baru saja melihat penampilan Chitose dengan
piyamanya, jadi meskipun menurutnya itu tidak terlalu meyakinkan, Amane tidak
berpikir dia harus menatap wanita dengan piyama. Jadi ia dengan halus
mengalihkan pandangannya dan mendengarkan dengan cermat.
Mahiru mendekati Chitose, dan
rambut pirangnya bergoyang di sudut layar.
“Hm?
Tidak, aku hanya mengatakan bahwa kamu punya pacar yang sangat baik, Mahirun.”
“Apa
yang kamu bicarakan dengan Amane-kun?”
“Aku
berkonsultasi dengannya untuk nasihat hidup.”
“Nasihat
hidup…”
“Ya,
ya.”
Chitose menyebutnya begitu,
tapi dia tidak salah. Pada saat itu, Mahiru mendesah pelan saat sosoknya
terpapar melalui video. Sepertinya dia sedikit kesal, dan Chitose bingung.
Kemudian, Mahiru duduk di sebelahnya.
“…
Kamu tidak mau berkonsultasi denganku?”
Mahiru bergumam dengan nada yang terdengar
sedikit kesal. Chitose membeku sesaat, dan saat berikutnya, dia melempar
smartphone-nya ke samping.
Video di smartphone-nya
berputar, dan, “Kyaa,” Amane
mendengar Mahiru berteriak pelan tak lama kemudian, jadi Chitose mungkin
mengaktifkan gerakan spesialnya—skinship.
“… Mahirun, kamu sangat imut! Tentu saja aku
ingin berbicara denganmu!”
“Chitose-san…
jangan menerkamku; itu terlalu berbahaya.”
Mahiru terdengar agak senang
meski ditegur, jadi dia pasti senang.
“Hehehehe~” jawab
Chitose. Kameranya diarahkan ke tempat tidur, jadi Amane hanya bisa melihat
layar yang gelap; namun, mudah untuk membayangkan bahwa Chitose terpaku pada
Mahiru pada saat itu.
“Aku
paling suka Mahirun~”
“Aku
juga menyukaimu.”
“Aku
berhasil mencuri cinta Mahirun dari Amane~”
“Erm,
ini… Amane-kun! K-Kamu spesial…!”
Mahiru mengangkat telepon dan
menjelaskan dengan cemas dan putus asa. Melihat reaksinya yang seperti ini,
Amane tersenyum tipis.
“Tentu saja, aku tahu sebanyak
itu.”
“Ughhhhhh…”
“Dasar
baka-couple generasi kedua.”
“Cerewet luh, dasar generasi
pertama.”
Mengetahui betapa Chitose
mencintai Itsuki, Amane berpikir dia tidak berhak mengatakan itu tentang dirinya
dan Mahiru.
“Ayo, nikmati malam perempuan
lebih awal dan tidurlah. Tidur larut malam tidak baik untuk kulitmu, bukan?”
Melihat percakapan itu akan
berakhir dengan baik, Amane melihat jam dan menyarankan hal itu. Sudah lewat
jam 11 malam. Mahiru biasanya tidak tidur selarut ini, jadi dia pasti sudah
merasa mengantuk. Dia berjalan-jalan dengan yukata hari ini, yang tidak biasa
dia lakukan; rasa kelelahannya pasti sudah menyusulnya.
Nyatanya, pipi Mahiru sedikit
memerah. Dia terlihat sedikit mengantuk, jadi bukan ide bagus untuk membuat
mereka berbicara terlalu lama.
“Aku
tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata itu darimu suatu hari ~ Tapi
kamu benar. Aku akan menutup telepon sekarang. … Ini, Mahirun, tidak apa-apa?”
Saat Chitose menanyakan itu,
Mahiru menyadari alasan mengapa Chitose memanggil Amane, dan matanya membelalak
kaget. Kemudian dia menatap Amane dan tersenyum lembut.
“Eh…?
S-Selamat malam, Amane-kun. Sampai jumpa besok.”
“Nm, selamat malam. Sampai
jumpa besok.”
Jika di sini ada Mahiru, aku akan mengelus kepalanya sekarang juga, pikir
Amane, tapi ia juga berharap Mahiru bisa berbicara dengan Chitose hari ini
tanpa diganggu. Bagaimanapun, Mahiru tampaknya senang berbicara dengannya, dan
mereka menginap bersama semalaman. Amane tidak menunjukkan sedikitpun
penyesalan dan tersenyum padanya dengan cara yang sama.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya