Bab 9 — Pertemuan yang Diinginkan, dan Tekad yang Ditimbulkan
Hari terakhir liburan musim
panas telah tiba. Jika itu sama seperti biasa, Amane akan bersantai di rumahnya,
tidak pergi kemana-mana secara khusus. Biasanya, dirinya akan tinggal di rumah
karena Mahiru akan datang untuk bersantai, tapi tidak demikian hari ini. Amane
berpakaian sedemikian rapi supaya tidak menyinggung saat bertemu seseorang, dan
dirinya sedang menuju ke tempat yang telah ditentukan.
(...
Semoga saja ini tidak akan memakan waktu terlalu lama.)
Kecemasan tersebut tidak muncul
dari kegugupan berbicara dengan orang asing; sebaliknya, alasannya adalah
semakin lama percakapan berlanjut, Mahiru akan semakin khawatir. Dia mencoba
bersikap acuh tak acuh ketika Amane menyebutkan bahwa ia akan menemui ayahnya, tetapi
jauh di lubuk hatinya Mahiru pasti tidak memiliki perasaan positif. Jelas
sekali kalau dia khawatir tentang apa yang akan dikatakan pria itu, dan apa
yang akan dipikirkan Amane sebagai tanggapan. Karena Amane tidak ingin
meninggalkannya sendirian dalam keadaan seperti itu untuk waktu yang lama, jadi
dirinya berangkat dengan niat untuk mengetahui niat sebenarnya dari ayahnya
secepat mungkin.
Dengan berat hati, Amane menuju
ke tempat pertemuan yang telah ditentukan. Begitu berada di dekat pintu masuk
kafe yang tidak jauh dari rumahnya sendiri, Amane melihat orang yang dicarinya
dan menegakkan punggungnya sebagai persiapan. Di sudut matanya, seorang pria
yang tampak tenang dengan rambut kuning muda dan mata karamel terlihat berdiri.
Mereka berpapasan sekali dan berbicara singkat. Meski mereka belum menyebut
nama satu sama lain, Amane mengetahui namanya dari Mahiru.
“Shiina Asahi-san.”
Amane memanggil pria itu, dan
Asahi menoleh ke arah Amane sebelum memberinya senyum tipis.
“Senang bertemu denganmu… atau
mungkin tidak perlu untuk itu. Aku percaya ini adalah pertama kalinya kita melakukan
percakapan di mana kita saling mengenal.”
“…Ya memang. Saya sudah
mendengar ceritanya dari Mahiru.”
Karena pria itu sepertinya
tidak kesal mendengar Amane memanggilnya 'Mahiru',
ia mungkin juga telah melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap situasinya.
Asahi tersenyum tipis, hampir
mendekati ekspresi masam begitu mendengar kata-kata Amane. Dirinya tampak
tenang daripada malu-malu, dan sekilas, dia tampaknya bukan tipe orang yang
keterlaluan yang akan dengan mudah meninggalkan Mahiru. Namun, itu hanya
berdasarkan kesan pertamanya saja, dan Amane tahu bahwa penampilan bisa menipu.
“Kalau begitu, aku yakin kita
bisa membuat pembicaraan kita cukup singkat. Bisakah kamu memberiku sedikit
waktu mu?”
“Bukankah itu sebabnya anda
memanggil saya ke sini?”
“Ya, persis seperti itu. Aku
sangat berterima kasih kepada mu karena mau menerimanya dalam waktu sesingkat
itu. Aku tidak pernah menyangka kamu akan menerima tawaranku setelah aku
memintamu begitu mendadak.”
“Saya hanya ingin tahu mengapa
anda bersusah payah mengundang saya. Saya pikir Anda seharusnya menghubungi
Mahiru, bukannya saya… ”
Amane sedang berpikir bahwa
jika ia tidak memahami tujuannya, akan jauh lebih baik jika ia bisa memperlakukannya
dengan ramah, tapi Amane tidak sanggup dan ujung-ujungnya berkata kasar pada
dirinya sendiri.
Asahi sepertinya memahaminya
dengan benar, dan menurunkan alisnya dengan sikap bermasalah.
“Meski kamu berkata demikian...,
kupikir gadis itu tidak ingin menemuiku.”
Senyum pahit di wajah Asahi
seakan memancarkan penyesalan. Sementara Amane membenci dan menganggap situasi
Mahiru benar-benar tidak dapat dimaafkan, pria di depannya tidak terlihat
seperti pria yang kurang empati dan kasih sayang. Jika memang bukan itu
masalahnya, pria itu takkan repot-repot mencoba menghubungi putrinya dengan
cara yang begitu tenang. Kesan seperti itu membuat Amane memiliki lebih banyak
hal untuk disangsikan.
Amane tidak mengerti alasan
mengapa ia tidak bertemu dengan Mahiru secara langsung dan malah berusaha
menghubunginya, pacarnya, dengan cara yang berbelit-belit. Dirinya masih tidak
yakin tentang apa yang dipikirkan pria itu dan apa yang diinginkannya. Mungkin
Asahi memperhatikan tatapan tajam Amane, tapi sekali lagi, ia hanya tersenyum
padanya seolah-olah dia bermasalah dan menggaruk pipinya.
“Aku yakin kamu mungkin memiliki
banyak pertanyaan untukku juga, ‘kan? Tidak pantas berbicara panjang lebar di
sini, jadi mari kita pergi ke kafe.”
Mengetahui bahwa mereka tidak
bisa melakukan percakapan serius di luar kafe, Amane mengangguk setuju atas
saran Asahi dan memasuki kafe bersamanya.
“Kamu bisa memesan apa pun yang
kamu suka. Lagipula, aku telah mengundangmu ke sini pada hari terakhir liburan
musim panasmu yang berharga.”
Kafe ini, yang juga terkadang
dikunjungi Amane, menawarkan ruang pribadi yang hanya tersedia dengan cara
pemesanan, dan ia diantar ke kamar pribadi yang telah dipesan Asahi sebelumnya.
Begitu mereka duduk saling
berhadapan, Asahi dengan senyum di wajahnya yang lembut, merekomendasikan
hidangan menu terbaik. Setelah berkata, “Kalau
begitu, saya terima tawarannya,” Amane memesan set kue harian dengan kopi
yang ada di menu, dan Asahi memesan hal yang sama dari pelayan. Ia menjaga
ekspresi tenang di wajahnya dan tidak membuka mulutnya sampai pesanannya tiba.
Amane mennyadari bahwa Asahi tidak ingin pelayan mendengar topik pembicaraan
mereka, dan tetap diam mengingat hal itu.
Terlepas dari itu, Amane duduk
di hadapan seorang pria yang hampir setua ayahnya sendiri. Dirinya merasa
canggung. Untuk meredakan kecanggungan, Amane merumuskan segala macam
pertanyaan yang ingin ditanyakan padanya, dan setelah melakukannya kira-kira
tiga kali, hidangan yang dipesan akhirnya disajikan.
“Lantas, apa yang anda inginkan
dari saya?”
Setelah memastikan bahwa
pelayan telah pergi, Amane mulai berbicara. Walaupun kedengarannya tidak sopan
melakukannya tiba-tiba, tapi Asahi tidak terlihat tersinggung dan tertawa
kecil.
“Benar juga, karena kamu
sepertinya berkencan dengan putriku, aku ingin bertanya bagaimana dia
menghabiskan waktunya… mungkin itu cara yang bagus untuk mengungkapkannya.”
“… Tidak terlalu, itu normal.”
“Kamu sepertinya agak waspada
terhadapku.”
“Memangnya ada alasan bagi saya
untuk tidak merasa waspada?”
“Tidak, aku akan terkejut jika
kamu tidak begitu.”
Asahi mengangguk seolah-olah yakin
akan sesuatu, dan tidak tahu bagaimana melanjutkannya, Amane menggigit
bibirnya.
Jika pria itu secara terbuka
bersikap kejam terhadap putrinya, sama seperti ibunya, Amane akan mampu
mengambil sikap tegas dan merespons dengan berbagai cara. Namun, kenyataan
berkata lain. Amane dapat merasakan dari sikapnya bahwa Asahi memiliki
perhatian terhadap putrinya, dan sepertinya ia bukan tipe orang yang
meninggalkan anaknya.
Jika menilai dari percakapan
mereka saja, Amane akan menganggapnya sebagai sosok ayah yang baik. Oleh karena
itu, Amane bertanya-tanya mengapa pria itu tega menelantarkan Mahiru. Bukannya
tidak mungkin menunjukkan sikap ramah kepada pacar putrinya, hanya untuk
mengungkapkan kepribadian aslinya begitu dia dapat melakukan kontak dengan
Mahiru, tetapi insting Amane mengatakan kepadanya bahwa pria di hadapannya ini
tidak memiliki sikap semaacam itu.
“Saya juga ingin bertanya pada
anda, mengapa anda repot-repot mencoba mendekati Mahiru setelah sekian lama?”
Amane memberi penekanan pada
kata-kata ‘ setelah sekian lama’, dan
mengatakannya dengan agak sinis. Hal tersebut dikarenakan Amane sudah melihat
betapa terlukanya Mahiru. Mahiru menderita duri masa kecilnya yang tidak bisa
dihilangkan, bahkan setelah bertahun-tahun. Dan sekarang. Sekarang dia akhirnya
melepaskan dirinya dari duri tersebut, lukanya akhirnya mulai sembuh, jika duri
baru muncul ke permukaan pada saat yang genting, ia tidak bisa membayangkan betapa
mengerikannya itu.
Amane yang berniat untuk
terusberada di sampingnya, tidak ingin menyakitinya dengan rasa sakit yang
tidak perlu. Ia tidak ingin menyebabkan penderitaan yang tidak dibutuhkannya.
Amane mengasihaninya. Dirinya ingin menenangkannya. Demi menjalani hidup
bersama Mahiru dan mendukungnya, mereka harus menghindari semua penderitaan
yang mereka bisa. Dan jika mereka kebetulan menghadapi masalah apa pun, mereka
harus menyelesaikannya bersama-sama, secara berdampingan.
“… Kamu benar-benar menyayangi
anak itu.”
Pria itu tidak membalas
permusuhan yang diarahkan padanya dan hanya menunjukkan ekspresi kekaguman dan
sedikit kebahagiaan.
“Aku tidak berpikir untuk membawanya
kembali atau semacamnya. Aku tidak bermaksud melakukan apa pun yang akan
mengancam hidupnya, seperti yang kamu khawatirkan.”
“…Benarkah?”
“Tentu saja… aku mengerti bahwa
aku tidak punya hak untuk mencampuri kehidupan yang dia miliki sekarang, dan
aku takkan melakukannya juga.”
“Lalu kenapa anda mencoba
melakukan kontak dengan Mahiru?”
“…Rasaya sulit untuk
menjelaskan ketika ditanya seperti itu. Aku hanya datang untuk melihat
wajahnya.”
“Meskipun selama ini anda sudah
mengabaikan Mahiru?”
Amane sangatmenyadari kalau
dirinya sudah melewati batas yang tidak seharusnya dilangkahi, karena dirinya
hanya orang luar dalam urusan keluarga mereka. Meski begitu, Amane masih tidak
bisa memaafkan orang tuanya atas apa yang telah mereka lakukan padanya. Karena ulah
perbuatan mereka, Mahiru terus mengalami rasa sakit, dan dalam upaya
menyembunyikannya dari orang lain, dia mendirikan cangkang di sekelilingnya
yang menggambarkan seorang gadis cantik dan sempurna. Dia menjangkau mereka,
berharap untuk dicintai.
Bagaimana mungkin orang seperti
itu, yang tidak menawarkan satu hadiah pun padanya, berharap menemui Mahiru
sekarang? Jika pria itu mengulurkan tangannya karena perasaan sesaat, Amane
bermaksud untuk mengusirnya. Walau bisa dibilang kalau itu berasal dari
kebencian egois Amane terhadap orang tuanya, da bermaksud untuk menyingkirkan
dunia dari apa pun yang menyebabkan Mahiru menangis kesakitan.
Asahi telah mengalami
permusuhan terang-terangan, yang tidak biasa bagi Amane, tetapi pria itu tidak
marah sedikit pun. Ia hanya menerima tatapannya dengan ekspresi tenang di
wajahnya.
“Kamu juga terlalu blak-blakan.”
Fakta bahwa Asahi cuma
membalasnya dengan tatapan tenang meskipun kemarahan ditunjukkan hanya
menyebabkan kemarahan Amane semakin berkobar. Amane mengepalkan tinjunya di
bawah meja. Hal tersebut dilakukan supaya menahan semua amarah yang muncul di hatinya,
dan merupakan satu-satunya alasan dia tidak meledakkan sumbu serta bertindak
berdasarkan amarahnya.
“Pada saat ini, aku tidak punya
hak untuk bertindak sebagai orang tua dari anak itu. Dia mungkin menganggapku
hanya sebagai kerabat yang berhubungan darang, hanya sekedar orang asing.”
“… Anda mengerti apa yang sudah
anda lakukan dengan sangat baik sehingga anda menyadarinya.”
“Aku tidak bisa terus
mengabaikan apa yang sudah aku perbuat… Sayo dan aku, kami tidak pantas
menyebut diri kami sebagai orang tua dari anak itu,” Asahi melanjutkan, “Apa
yang kami lakukan tidak berbeda dengan menelantarkannya. Aku telah dituduh dan
dikritik karena melakukan hal seperti itu, dan memang benar demikian.”
Melihat ekspresi tenang Asahi
sambil secara objektif berbicara tentang tindakannya di masa lalu, Amane
menggigit bibirnya. Kenapa… tidak lebih
cepat?
—Kenapa mereka tidak menyesali
dan merenunginya sejak awal?
Jika mereka bisa melakukannya,
Mahiru takkan terluka, dan mungkin ada masa depan di mana dia akan merasakan
kasih sayang orang tua, bahkan jika ibunya masih belum menjadi sosok yang bisa
digapainya. Mungkin ada masa depan di mana Mahiru tersenyum bahagia tanpa
peduli pada dunia.
—Kenapa ia baru bertobat
sekarang?
Amane tidak tahu kemana ia
harus melampiaskan kemarahannya. Mungkin sejak awal dirinya tidak berhak marah.
Mungkin itu hanyalah kemarahan yang lahir dari irasionalitas. Terlepas dari
semua itu, Amane mau tidak mau harus bekerja keras dan berpikir:
—Kenapa ia tidak menghubunginya
lebih cepat?
Jika mereka berada di luar,
Amane mungkin akan meninggikan suaranya dan mencengkeram dadanya, sementara
dirinya masih memiliki rasionalitas yang tersisa, Amane menahan skenario ‘seandainya’ dalam pikirannya, tidak
ingin membuat keributan di dalam toko dan menarik perhatian karena
memperhatikan situasi Mahiru.
Asahi akan menjadi ahli taktik
yang brilian, jika dirinya mengajak Amane ke kafe dengan pemikiran itu.
“‘Jika aku menimbulkan masalah sebanyak itu, dia seharusnya tidak
melahirkanku,’ menurut anda siapa yang mengatakan ini? Mahiru sendiri yang
mengatakannya. Kalian berdua membuatnya terpojok sehingga membuatnya mengatakan
itu.”
“…Itu benar.”
Amane menekan suaranya yang
gemetar sambil melanjutkan, diakhiri dengan nada dingin. Namun, tanggapan yang
ia dengar adalah salah satu penerimaan. Hal tersebut membuat Amane merasa lebih
jengkel.
“Jika anda memang merasa
menyesal sudah meninggalkan Mahiru sendirian, anda seharusnya tidak bersikap
seperti itu sejak awal. Jika anda melakukan hal itu, dia takkan terlalu terluka.”
“Aku tidak punya kata-kata
untuk membantahnya… Aku sadar bahwa apa yang sudah kulakukan merupakan
perbuatan terburuk yang dilakukan oleh orang tua.”
“… Lantas, kenapa, mengapa anda
mencoba untuk… bertemu Mahiru sekarang? Secara pribadi, saya tidak ingin anda
dan Mahiru bertemu jika itu hanya akan menyakitinya lebih jauh lagi. Walaupun
saya sadar kalau di mata anda, ini hanya ocehan orang luar, saya takkan
membiarkan anda bertemu dengannya jika itu akan menimbulkan rasa sakit lagi
kepadanya.”
Biasanya, orang tua tidak boleh
dicegah untuk bertemu dengan anak-anak mereka, tetapi dalam kasus ini, Mahiru
secara implisit menolak untuk bertemu dengan mereka, dan Amane menggunakan
bahasa yang lebih kasar sebagai hasilnya. Amane tidak berniat menyerah, bahkan
jika pria di depannya menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang sudah dilakukannya.
Asahi meminta maaf bertemu
dengan tatapan tajam Amane dan tersenyum pahit.
“Kamu bertanya mengapa aku
ingin melihat gadis itu? …Aku sendiri tidak tahu.”
“Apa anda berniat mengabaikannya
begitu saja?”
“Bukannya begitu. Rasanya
sedikit sulit untuk menyampaikannya, itu saja… Yah, kupikir kita harus bertemu
selagi masih memungkinkan.”
“Apa itu berarti kalian berdua
tidak bisa bertemu satu sama lain di masa depan, atau kalian tidak berencana
untuk bertemu?”
“Ya.”
Saat Asahi menegaskan begitu,
rasa pahit meresap ke dalam mulutnya.
“… Itu keinginan yang cukup
egois, apa aku salah?”
“Ya, itu memang egois. Aku
tidak bermaksud mengubahnya, dan itu bukan lagi sesuatu yang bisa diubah. Aku tidak
ingin membawa kemalangan lebih lanjut kepada gadis itu. Mungkin membenciku
adalah hal yang terbaik.”
“Saya tidak memahami apa yang ingin
anda katakan.”
“Kamu akan mengerti ketika
waktunya tiba.”
Dengan tatapan penuh kepuasan
di matanya, Amane menyadari bahwa Asahi tidak berniat untuk mengatakan apa-apa
lagi dan menahan diri untuk melanjutkan masalah ini.
“Ada lagi yang ingin kamu
tanyakan?”
“... Tidak, itu saja.”
“Oke. Baiklah, sekarang izinkan
aku mengajukan satu pertanyaan kepadamu.”
“Silakan.”
“… Sekarang, apa dia bahagia?”
Amane sedikit waspada sekaligus
penasaran mengenai apa yang akan ia tanyakan, tapi Asahi bertanya dengan
ekspresi tenang yang sama di wajahnya. Amane mengepalkan tinjunya,
memperhatikan sorot matanya dan nada suaranya, keduanya menunjukkan bahwa dia
mengharapkan kebahagiaannya. Amane lalu menghela napas pelan.
“Saya tidak akan tahu sampai
saya bertanya padanya, tapi saya ingin membuatnya bahagia. Saya yakin saya bisa
membuatnya bahagia, dan saya akan memastikan untuk mewujudkannya.”
Ucapannya itu mewakili
keinginan, kebanggaan, dan tekad murninya. Amane takkan pernah melepaskan gadis
yang begitu baik hati, namun sensitif yang sangat ingin dicintai lebih dari
orang lain. Dirinya ingin mempertahankan senyumnya dan ingin membuatnya bahagia
dengan kedua tangannya sendiri.
Amane bertekad. Dirinya
bertekad untuk membuatnya bahagia. Tidak peduli apa yang orang lain katakan,
Amane tidak berniat membengkokkan keinginannya. Saat Amane mewujudkan perasaan
seperti itu dengan jelas dalam suaranya, nada rendah namun tak tergoyahkan,
tatapan mata berwarna karamel di depannya melebar dengan pelan, dan di saat
berikutnya, pandangannya terlihat rileks dengan kelegaan yang jelas.
“Begitu rupanya. Aku senang
mendengarnya.”
Senyum lembut di wajahnya itu terlihat
mirip dengan senyum Mahiru.
“… Meski ini bukan tugasku
untuk memintamu, tapi tolong jaga baik-baik gadis itu untukku.”
“Saya akan membuatnya bahagia
bahkan jika anda tidak memintanya.”
"Begitu ya... Terima
kasih.”
Meskipun suara dan sikap Amane
agak kasar, dan tidak mengherankan jika dikritik karena itu, Asahi masih tersenyum
bahagia. Amane merasa agak bertentangan dan menjawab dengan, “Saya tidak pantas menadapat terima kasih,” dengan
suara yang tidak terlalu keras dari sebelumnya.
✧ ✦ ✧
Ketika Amane berpisah dengan
Asahi dan pulang ke rumahnya, Mahiru sedang duduk di sofa, menunjukkan sikap
tenangnya yang biasa.
Biasanya, jika sedang berada di
apartemen Amane, Mahiru akan menyambutnya di pintu saat ia kembali, tapi
sepertinya tidak demikian hari ini. Dengan suasana aneh di sekelilingnya,
Mahiru memaksa dirinya untuk tenang, dan melihat ke arah Amane tanpa
melembutkan ekspresinya.
“Kami sudah menyelesaikan
pembicaraan kami.”
“Jadi begitu ya.”
Sepertinya, nada suaranya yang
agak dingin merupakan efek samping dari usahanya untuk terlihat tenang daripada
menunjukkan perasaan negatif terhadap Amane.
Amane memberinya tatapan
selembut mungkin dan diam-diam bergerak ke arahnya. Ketika dia datang dan duduk
di sebelahnya, Mahiru dengan lembut mendekatkan tubuhnya. Dia tidak bertingkah
manis seperti biasanya, tetapi malah memancarkan kerinduan untuk dihibur.
(...
Dia pasti sangat cemas)
Mahiru berpura-pura tidak ada
yang salah, tapi mana mungkin begitu. Ayahnya, yang sudah lama mengabaikannya,
ingin bertemu pacarnya, bukan dirinya. Dia tidak mengira ayahnya akan memiliki
kepribadian diktator seperti itu, tetapi dia masih menganggap pria itu
meresahkan.
“Ia tidak menyerangku sebagai
pribadi untuk membuatmu khawatir,” Amane mulai berbicara, “…Dia jauh lebih
pendiam dari yang kubayangkan.”
“Jadi begitu.”
“Apa perlu ...aku memberitahumu
apa yang kita bicarakan?”
“Aku juga tidak keberatan. Jika
kamu berpikir kalau kamu harus memberitahuku, tolong lakukan.”
Sementara dia menyerahkan
keputusan kepada Amane, jelas bahwa Mahiru takut dengan apa yang akan dikatakan
kepadanya; Amane memegang tangannya yang gemetar dengan kuat.
Amane percaya bahwa dirinya
harus terbuka tentang apa yang terjadi. Amane tidak yakin dengan apa yang dipikirkan
ayahnya, karena ia justru bertemu dengan pacarnya alih-alih putrinya sendiri,
tetapi untuk saat ini, Amane merasa setidaknya ia harus memberitahu Mahiru
bahwa pria itu tidak berniat membawa kemalangan.
“Asahi-san berkata dengan
sangat jelas bahwa ia tidak ingin membuatmu tidak bahagia. Dari apa yang ia
katakan kepadaku, ia sangat menentang gagasan merusak gaya hidupmu yang
sekarang.”
“Aku senang mendengarnya.”
“Selain itu, ia tidak
memberitahuku keseluruhan cerita tentang mengapa ia ingin bertemu denganku
daripada kamu. Hanya saja, ia takkan bisa bertemu denganmu lagi dan ingin
melihatmu sebelum itu terjadi, sesuatu yang seperti itu.”
Menanggapi kata-kata Amane, Mahiru
bergumam, “Kami jarang bertemu
sebelumnya, sudah terlambat untuk melakukan itu sekarang.”
Namun, nada suaranya
menunjukkan kepahitan daripada penghinaan.
“… Dari sudut pandangku,
sepertinya Asahi-san bukannya tidak peduli padamu, Mahiru… sepertinya ia
benar-benar menginginkan kebahagiaanmu.”
Karena alasan itulah Amane tidak
benar-benar memahami ayah Mahiru. Mengapa ia menginginkan kebahagiaan putrinya
sekarang? Jika da akhirnya menyesalinya, ia seharusnya tidak meninggalkannya sejak
awal. Jika begitu, ia takkan meninggalkan Mahiru dalam keadaan kesendirian
seperti itu.
Begitu Amane selesai berbicara,
Mahiru mendesah pelan.
“Sejujurnya… harus kuakui, aku
tidak terlalu mengerti keberadaan orang tua.”
Nada suaranya yang kecil tapi
menjelaskan dengan baik merangkai kata-kata seperti itu.
“Orang asing yang satu-satunya
memiliki keterkaitan melalui hubungan darah, orang yang berpikir bahwa memberiku
uang saja sudah cukup untuk memenuhi kewajiban sebagai orang tua. Kesanku
tentang orang tuaku hanyalah seperti itu.”
Ekspresinya lebih kaku dari
biasanya, dan ekspresi wajahnya lebih gelap biasanya saat dia mengungkapkan
perasaannya yang sebenarnya dengan lantang.
“Aku selalu merasa bahwa mereka
tidak mencariku, tidak peduli seberapa baik aku berperilaku sebagai seorang
anak. Meski aku mengulurkan tangan, tapi mereka tidak sekali pun meraihnya.
Wajar jika aku berhenti menjangkau mereka. Tidak heran jika aku tidak lagi
memiliki harapan pada mereka.”
Amane merasa bahwa Mahiru sudah
tidak menaruh harapan apa-apa pada orang tuanya karena mereka tidak pernah
membesarkannya, tidak pernah memberikan perhatian atau kehangatan padanya. Ia
tidak pernah berpikir bahwa sikapnya salah. Itu adalah tanggapan alami bagi
Mahiru untuk berhenti mengharapkan sesuatu dari orang tuanya, karena meskipun
dia masih kecil, dia menyadari bahwa dia tidak dicintai oleh salah satu orang
tuanya dan tidak dapat mengharapkan mereka untuk menyayanginya.
“Aku tahu bahwa ayahku adalah pekerja
yang baik dan orang yang berkarakter baik. Tapi tak satu pun dari hal itu
mengubah fakta bahwa ia tidak peduli padaku, dan aku tidak tahu bagaimana
memperlakukannya. Aku akan bermasalah jika ia tiba-tiba menunjukkan perhatian
kepadaku sekarang.”
“Ya.”
“… Sungguh, kenapa baru sekarang?”
“Ya.”
“Seandainya saja ia
melakukannya lebih cepat, aku…”
Mahiru tidak melanjutkan
kalimatnya. Amane hanya mendengar nafasnya yang bergetar, dan segera bibirnya
tertutup rapat. Bibirnya yang rapat bergetar, seolah-olah menegang, dan kelopak
matanya berkedip berulang kali. Matanya basah seolah-olah dia hampir menangis,
tapi meski demikian, tidak ada air mata yang menetes. Mahiru tampak seolah-olah
dia akan tiba-tiba meleleh dan menghilang, jadi Amane memeluknya dan
mendekatkannya ke dadanya, membiarkannya membenamkan wajahnya di dalam dadanya.
Ketika Mahiru bertemu ibunya
sebelumnya, Amane menutupinya dengan selimut. Kali ini, tanpa menyembunyikan
tubuhnya, Amane memnyelimutinya secara keseluruhan dan merangkul tubuhnya,
memeluknya erat-erat. Tubuh ramping yang terbungkus dalam lengannya bergetar,
tetapi tidak ada isak tangis yang terdengar.
Mahiru menyerahkan dirinya pada
Amane dan kemudian membenamkan wajahnya di dadanya selama beberapa saat,
seolah-olah dia tidak berniat untuk menatapnya. Namun, begitu dia melakukannya,
matanya tidak merah. Matanya sedikit gemetar, tetapi dia tidak tampak kesakitan
atau tertekan. Mungkin terbungkus dalam pelukan Amane yang membantunya sedikit
tenang.
“… Apa yang ingin kamu lakukan,
Mahiru?”
Amane bertanya padanya setelah
memastikan bahwa dia sudah merasa tenang. Mahiru menundukkan kepalanya ketika mendengar
kata-katanya.
"…Aku tidak tahu. Tapi ini
mungkin yang terbaik, menurutku. Bahkan jika ia mengungkapkannya padaku
sekarang, aku tidak bisa mengenalinya dengan baik sebagai orang tuaku.”
“Jadi begitu ya.”
“... Apa itu kelihatan aneh,
sebagai putrinya?”
“Semua itu tergantung bagaimana
kamu melihatnya, jadi aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Menurutku
cara berpikirmu tidak aneh, Mahiru, dan aku takkan menyangkalnya juga. Jika itu
yang kamu pikirkan, maka itu baik-baik saja dan aku akan terus mendukung
keputusan apa pun yang kamu buat.”
“…Ya.”
Bukan Amane untuk memutuskan
apa yang benar atau salah.
Menurut pendapat pribadi, tidak
aneh jika Mahiru tidak mengakui mereka sebagai orang tua kandungnya. Mustahil
untuk memperlakukan mereka sebagai orang tua ketika mereka tidak pernah bertindak
sebagai orang tua atau memberinya cinta mereka.
“Aku mendukung pilihanmu,
Mahiru. Aku masih orang luar, dan tidak bisa ikut campur terlalu jauh ke dalam
situasi keluargamu, tetapi aku menghormati pendapatmu dan akan mendukungmu apa
pun yang terjadi.”
“…Ya.”
“Aku akan selalu ada untukmu,
berdiri di sampingmu. Jika kamu merasakan ketidaknyamanan, pastikan untuk mengandalkanku.
”
Amane sudah mengambil
keputusan. Dirinya sudah menyatakan kalau ia tidak berniat membiarkan Mahiru
pergi dan akan tinggal bersamanya selama sisa hidupnya. Seorang teman orang
tuanya pernah mengatakan kepadanya di masa lalu bahwa orang-orang dari keluarga
Fujimiya selalu penuh cinta dan kaish sayang, tetapi Amane tidak bisa menahan
tawa kecil ketika menyadari bahwa dirinya persis seperti orang tuanya.
Perasaannya pada Mahiru adalah satu
hal yang menurutnya takkan pernah pudar. Itu bukan intuisinya sendiri,
melainkan kepastian. Pertama-tama, Amane adalah tipe orang yang selalu menyukai
satu hal saja, dan hal tersebut akan berlaku bahkan untuk orang yang dicintaiya.
Gadis cantik di hadapannya mengernyit mendengar kata-katanya, tapi kemudian
meletakkan tangannya di punggung Amane, seakan memberi isyarat bahwa dia takkan
pernah melepaskannya.
“… Apa kamu benar-benar akan
tetap di sisiku?”
“Tentu saja.”
“...Jika aku berkata, 'Aku tidak ingin kembali, tolong jangan
tinggalkan aku sendiri,' maukah kamu menerimaku... Amane-kun?”
Mendengar dia mengeluarkan
bisikan sedih, Amane menjawab tanpa basa-basi, “Tentu saja.”
“Jika kamu menginginkannya, aku
akan selalu berada di sisimu. Aku akan selalu berada tepat di sampingmu. Apa kamu
ingin bermalam di sini sebagai latihan?”
Amane mengatakan dirinya
sedemikian rupa dengan sengaja, dan Mahiru, yang hampir menangis, sepertinya
mengerti arti di balik kata-katanya, dan wajahnya langsung berubah merah padam.
Merasa malu dengan kata-katanya
sendiri, Amane menyadari rasa malu yang muncul di dalam dirinya. Tapi melihat
tubuh Mahiru menggeliat dan matanya yang lembab karena malu, kekhawatirannya menjadi
sirna.
“… Jangan khawatir, kamu takkan
ditinggal sendirian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Ketika Amane berbisik padanya
dengan lembut,dan menutupi detak
jantungnya, tatapan mata Mahiru menjadi basah dengan cara yang berbeda dari
sebelumnya, dan dia mengangguk sebagai penegasan.