Kisah Pendek — Spesial Melonbooks
“Mahiru, coba ulurkan
tanganmu.”
Pada suatu hari biasa selama
paruh kedua liburan musim panas, Amane duduk di sebelah Mahiru seperti
biasanya. Karena ia tiba-tiba memberinya permintaan seperti itu, Mahiru
perlahan mengerjap bingung.
“Mendadak ada apa ini? Yah, aku
tidak yakin dengan niatmu, tapi ini dia.”
“Terima kasih.”
“…Apa yang sedang kamu
lakukan?”
“Hah? Otentikasi sidik jari di
ponselku.”
Merasa agak bingung, Mahiru
mengarahkan tatapan curiga saat Amane mendaftarkan ibu jarinya pada autentikasi
sidik jari ponselnya.
“… Kenapa begitu?”
“Yah, meski kamu bertanya
kenapa, tapi menurutku akan lebih praktis jika kita melakukan ini. Rasanya
bakal buruk jika aku tidak bisa membukanya dalam situasi di mana aku harus menggunakan
ponselku apapun yang terjadi.”
Amane menerima panggilan masuk
beberapa hari yang lalu sementara tangannya sibuk dengan hal-hal lain. Jika
dalam keadaan darurat dan Amane tidak bisa merespon, keadaannya bakalan buruk
jika tidak ada cara untuk memberikan respon yang jelas.
Amane berpikir akan lebih baik
jika Mahiru bisa membukanya kapan saja dengan sentuhan jika terjadi sesuatu,
tetapi untuk alasan yang tidak diketahui, tatapan Mahiru mulai menunjukkan
sedikit ketidakpercayaan.
“Aku memahami apa yang ingin kamu
sampaikan, tapi apa kamu yakin dengan ini, maksudku secara privasi?”
“Aku tidak benar-benar perlu
khawatir tentang apa pun yang terlihat. Yah, agak memalukan jika kamu melihat
percakapan pesanku dengan orang lain, tapi bukannya aku merasa bersalah atas
apa pun. Aku dapat mengatakan dengan pasti bahwa tidak ada sesuatu yang akan
membuatmu mencurigaiku, Mahiru. ”
Ada percakapan sesekali yang ia
lakukan dengan Itsuki atau Yuuta yang mencakup beberapa candaan jorok yang
mungkin canggung untuk dibaca Mahiru, tapi tidak ada yang membuatnya cemas atau
khawatir, dan karena Amane memiliki kontak yang terbatas, jadi sejak awal tidak
ada yang perlu dicemaskan.
“...Aku tidak bermaksud
mengintip kehidupan pribadimu, tapi apa kamu benar-benar yakin?”
“Aku tidak keberatan sama
sekali.”
Mahiru membuka ponselnya dan
mengintip isinya.
“Tidak hanya membuka kunci, itu
sangat bersih sampai-sampai membuatku tercengang.”
“Karena memang begitulah
adanya. Bukannya aku melakukan banyak hal secara khusus. Paling banter, aku
menggunakan ponselku untuk menghubungi dan bersosialisasi sedikit dengan orang
lain, atau mencari informasi di internet. Aku juga jarang mengambil gambar. Aku
bahkan tidak peduli jika kamu melihat data di penyimpanan, Mahiru.”
Tidak ada sesuatu yang ingin
Amane sembunyikan di sana. Dirinya hanya memiliki beberapa kontak teman,
beberapa game, dan album foto dengan beberapa foto dirinya dan Itsuki serta
beberapa penampilan menggemaskan Mahiru. Sejauh yang Amane ketahui, seperti
itulah siswa SMA, tapi Mahiru tampaknya berpikir sebaliknya, matanya sedikit
menyipit.
“Itu memang menggambarkan
kepribadianmu, Amane-kun, jadi aku sama sekali tidak meragukanmu, tapi di satu
sisi, rasanya sungguh menakjubkan bahwa kamu menghapus semua ruang untuk
keraguanmu sendiri.”
“Bukan alasan itu saja yang
ada dalam pikiranku ketika mendaftarkan sidik jarimu, tapi kurasa, selama kamu tidak
mencurigaiku, hal itu juga tidak masalah.”
“… Apa kamu ingin mendaftarkan
sidik jarimu di ponselku juga?”
“Tidak ada yang kamu cemaskan
mengenai aku melihat isinya, Mahiru?”
“Tidak ada hal yang seperti
itu.”
"Aku takkan terkejut jika
ada fotoku di sana yang tidak aku ketahui.”
Mahiru tampaknya tidak terlalu
bermasalah dengan itu, tapi dalam arti tertentu, Amane merasa pasti ada sesuatu
semacam itu yang terkubur di suatu tempat, jadi dia menatap matanya, dan tak
lama kemudian, matanya mulai melesat mencari pelarian, dengan alasan yang mudah
ditebak.
“… A-Aku tidak perlu
mengkhawatirkan tentang apapun yang kamu lihat.”
Bersandar ke belakang dan
terlihat tidak yakin, Amane tetap tersenyum, “Itu adalah hal yang menggangguku. Kurasa apa boleh buat.”
“Hyah. Ta-Tapiiiiii…”
Seperti
yang kupikirkan, dia telah menyembunyikannya, pikir Amane saat
mencubit pipinya dan memainkannya sebagai hukuman, dan tak lama kemudian, ia
mendengar kata-kata bernada tinggi yang terlihat seperti alasan.
“Jika kamu terus seperti itu,
aku akan mendapatkan fotomu dari Chitose juga, Mahiru.”
“…Sepertinya aku harus
mengambil fotoku yang lucu.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau
aku mengambilnya? Bagaimana dengan wajah ini, sebagai permulaan?”
“I-Itu enggak bagus!”
Amane tertawa sambil terus
memainkan pipinya dengan lembut, dan Mahiru yang sepenuhnya tersipu melangkah
mundur sebelum menutupi kedua pipinya dengan telapak tangannya, seolah itu saja
bisa melindunginya dari protes lebih lanjut atas tindakannya. Ketika Amane
tertawa kecil pada sikap imutnya, Mahiru memprotes dengan menampar pahanya
sambil menunjukkan ekspresi sebal di wajahnya.